Hasil pencarian
9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Menulis Hingga Senja
Soebagijo IN dan buku-buku karyanya. (Hendaru Tri Hanggoro/Historia). SOEBAGIJO Ilham Notodidjojo (Soebagijo IN), wartawan senior, wafat hari ini (17/9) sekira pukul 4 subuh di rumahnya, di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Semasa hidup, dia punya komitmen kuat terhadap kerja jurnalistik. Sampai masa tuanya, dia telah menulis puluhan buku dan ratusan artikel dengan menggunakan mesin tik. Hampir seluruhnya membahas sejarah pers dan biografi tokoh. Orang pun menjulukinya ‘kamus berjalan pers Indonesia’. Soebagijo lahir di Blitar, 5 Juli 1924. Berasal dari keluarga pendidik. Ayahnya mengarahkan Soebagijo menjadi guru. Maka dia harus menempuh pendidikan keguruan sejak remaja. Tapi minatnya berkata lain: menulis. Terlebih lagi dia seorang pembaca yang tekun. “Betapa menyenangkannya menulis untuk dibaca orang lain,” katanya kepada Historia , Januari 2012 lalu di rumahnya. Untuk melatih kecakapan menulis, dia mengirim tulisan ke Pandji Poestaka dan Indonesia Merdeka . Menginjak usia dewasa, Soebagijo kian yakin dengan minatnya. Dia memutuskan masuk kantor berita Antara Pusat Yogyakarta pada Juli 1946. Saat itu dia hanya lulusan Sekolah Guru Tinggi (SGT). Baca juga: Sukarno: Wartawan Pekerjaan Gawat “Apabila sekarang ini untuk bisa diterima menjadi wartawan Antara , orang minimum harus mengantongi ijazah D-III, masih pula harus menjalani aneka ragam testing , untuk kemudian bila lolos segala macam ujian tadi, masih harus disekolahkan lagi barang setengah tahun, maka pada zaman saya tidak demikianlah halnya,” tulis Soebagijo dalam “Menjadi Wartawan Antara Setengah Abad yang Lampau,” termuat di Mengabdi Kepada Republik yang terbit pada 1986 Di Antara , Seobagijo jadi wartawan paling muda. Tapi dia sudah beroleh tugas berat : meliput pertemuan-pertemuan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dia membayar tuntas kepercayaan itu. Bekerja dari pagi hingga sore dan wara-wiri dengan berjalan kaki atau naik sepeda. “Saya tak pernah datang terlambat dalam pertemuan atau wawancara khusus,” kata Soebagijo IN. Komitmen Soebagijo berbuah. Penyebar Semangat di Surabaya menariknya jadi wakil pemimpin redaksi pada 1949. Saat bersamaan, dia menyelesaikan buku biografi pertamanya tentang ibunda Presiden Soekarno. Judulnya Pengukir Soekarno . Baca juga: Penyebar Semangat Mengasong Sastra Jawa Soebagijo kembali ke Antara pada 1957. Kali ini dia bertugas di biro Jakarta. Tahun ini pula dia beroleh pengalaman berkesan. Djamaludin Adinegoro, wartawan senior, berpesan kepadanya dalam perjalanan keliling Amerika, “jangan Anda menjadi wartawan thok ; Anda juga harus menjadi pengarang.” Maka ketika pensiun dari Antara pada 1981, karier Soebagijo tak redup. Dia masih menulis di berbagai suratkabar dan majalah. Menulis biografi, menerjemahkan, menyadur aneka ragam cerita, dan menyunting buku jadi pengisi hari-hari pensiunnya. Pada 1998, buku Soebagijo PWI di Arena Masa, memantik perdebatan. Musababnya, tak ada nama Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis. Kritik meluncur deras. Terhadap kritik itu, Soebagijo menjawab, “Yang tercantum di sana adalah wartawan Indonesia yang sudah meninggal dan yang belum berusia 60 tahun. Nah, pada waktu itu mereka belum berumur 60,” dikutip Kompas 8 Desember 2003. Dari semua karyanya, dia paling bangga dengan Jagad Wartawan Indonesia (1981). Bertutur kisah 111 tokoh pers Indonesia, suka duka mewarnai penulisannya. Dia menyurati banyak tokoh pers. Ada yang dijawab. Lebih banyak lagi yang tanpa jawaban. “Tapi ini kan pekerjaan wartawan. Menyenangkan,” katanya sambil menunjukkan bukunya ke Historia . Baca juga: SK Trimurti, Menteri Perburuhan Pertama Saat Historia menemuinya kali terakhir itu, tubuhnya sudah ringkih. Langkahnya tertatih-tatih. Pendengarannya pun terganggu. Tapi dia masih getol bercerita. Terutama tentang tokoh-tokoh yang dia tulis dalam biografi, seperti SK Trimurti. Soebagijo tak bisa lepas dari pekerjaannya. Mesin tik di ruang tengah rumahnya jadi saksi. “Saya masih menulis untuk suratkabar daerah berbahasa Jawa.” Dan kepada pewarta muda dia berpesan, “jangan pernah datang terlambat saat wawancara.”
- Peran Sakura Dalam Prahara 1965
Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Jepang Eisaku Sato. PADA 30 September 1965, Duta Besar Shizuo Saito berada di Cilacap seusai menghadiri peresmian sebuah proyek perusahaan Jepang. Saito diangkat menjadi duta besar pada 1964. Pilihan ini tepat karena dia pernah memiliki kedudukan penting dalam Gunseikanbu Somubu (Departemen Urusan Umum) pada masa pendudukan Jepang, dan sejak itu dekat dengan Sukarno. Dia bisa bertemu Sukarno tanpa protokol. Tanpa mengetahui apa yang terjadi di Jakarta, rombongan duta besar berangkat menuju Bandung. Setelah check in di Hotel Savoy Homann, seorang warga negara Jepang yang tinggal di Bandung memberitahu Saito bahwa telah terjadi kudeta di Jakarta. Saito segera berangkat ke Jakarta. Tengah malam dia sampai di Jakarta dan baru mendapat informasi lengkap dari stafnya. Menurut Aiko Kurasawa, profesor emeritus Universitas Keio, Jepang, pada waktu itu, sudah lewat 24 jam setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Cukup mengherankan seorang duta besar tidak mengetahui kejadian yang begitu penting dalam waktu cukup lama. “Tetapi melihat perkembangan yang begitu cepat dan sebelumnya informasi yang beredar simpang siur, maka dapat dimaklumi tindakan sang duta besar,” kata Aiko dalam seminar di Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta (17/9). Selama peristiwa itu, walaupun Kedutaan Jepang tanpa duta besar, mereka tetap mengirim telegram ke Departemen Luar Negeri di Tokyo. Dalam telegram 1 Oktober 1965pukul 12.00 siang tanggal disebut bahwa Letnan Kolonel Untung, komandan batalion Tjakrabirawa, mengambil tindakan untuk mencegah rencana kudeta oleh Angkatan Darat. Tetapi, dalam telegram yang dikirim pada jam 20.50, disebutkan bahwa peristiwa ini sebenarnya direncanakan Partai Komunis Indonesia dan penjelasan pihak Dewan Revolusi bahwa mereka mengambil tindakan untuk mencegah kudeta oleh jenderal-jenderal itu hanya dalih belaka. Laporan ini berdasarkan informasi “sumber khusus” kedutaan. Laporan ini juga menambahkan analisis bahwa “tidak mungkin presiden bisa merebut kembali kekuasaan sebelumnya” dan “ada kemungkinan terjadi civil war .” Sementara itu, Perdana Menteri Jepang Eisaku Sato dalam catatan hariannya tanggal 2 Oktober 1965 menulis: “Sejak kemarin tidak ada lagi informasi tentang kudeta, dan kita tidak bisa menangkap situasinya. Tentu ini adalah clash antara kiri dan kanan, tetapi tidak begitu jelas pihak yang mana yang menyerang dulu.” Pada masa awal peristiwa G30S, kebanyakan politisi dalam pemerintahan Jepang bersimpati kepada Sukarno dan berharap dia dapat mengendalikan keadaan. Perdana Menteri Sato mengirim pesan kepada Sukarno mengucupkan “rasa syukur atas keselamatan Presiden”, mengikuti pesan yang telah disampaikan sebelumnya oleh Tiongkok, Pakistan, dan Filipina. Pesan itu langsung disampaikan oleh Duta Besar Saito pada 12 Oktober 1965. Kalimat pesannya: “Di Jepang ada pribahasa ‘sesudah hujan tanah menjadi lebih keras lagi.’ Seperti itu kami mengharapkan agar Bapak Presiden mengatasi kesulitan yang dihadapi sekarang dan basis negara RI akan menjadi lebih kuat lagi.” “Sementara negara-negara barat tidak ada yang menyampaikan pernyataan demikian,” ujar Aiko. Pada saat itu, pemerintah Jepang merasa perlu membantu ekonomi Indonesia dan memikirkan kemungkinan memberi bantuan pangan dan sandang senilai 2 miliar yen. Tetapi, tidak jelas bantuan tersebut ditujukan kepada Sukarno atau kepada Angkatan Darat. Bantuan sebesar itu pasti memperkuat salah satu pihak yang terlibat dalam perimbangan kekuatan. Karena sandang dan pangan kebutuhan rakyat dan tidak bersifat politik atau militer, pemerintah Jepang agak naïf dan tidak memikirkan hal itu. “Hal itu sangat berbeda dengan Amerika Serikat yang selalu berhati-hati agar bantuan mereka tidak jatuh ke tangan Sukarno,” kata Aiko. Duta Besar Saito bertemu Sukarno pada 11 November dan terkejut mendengar ucapan Sukarno yang menghina CIA dengan mengatakan CIA membiayai propaganda pro-Amerika dengan memakai dana Rp150 juta. “Saito kecewa sikap Sukarno yang tidak mau memahami kenyataan dan memutuskan dia tidak bisa membela Sukarno lagi,” kata Aiko. Saito menilai Sukarno terlalu dini membuat kesimpulan kepada Amerika Serikat. Cara pandang Sukarno terhadap Amerika Serikat secara tak langsung berpengaruh kepada sikap politik Jepang terhadap Sukarno. Terlebih karena Jepang kongsi Amerika Serikat. Sejalan dengan keputusan Saito, pemerintah Jepang juga mulai mengambil sikap demikian. Padahal, Perdana Menteri Sato pernah menyatakan kepada Menteri Listrik Setiadi Reksoprodjo ketika bertugas ke Jepang, tentang kemungkinan Jepang memberikan suaka kepada Sukarno. Menurut Saito, Adam Malik juga pernah meminta kepadanya agar jangan memberi bantuan sebelum ada perubahan pemerintahan. Karena itu, kemungkinan besar Jepang tidak memberi bantuan apa-apa sebelum Maret 1966. Pada awal Desember 1965, Adam Malik sendiri menerima dana sebesar Rp50 juta dari Kedutaan Besar Amerika Serikat, melalui Shigetada Nishijima. Pada masa pendudukan Jepang, Nishijima menjadi staf di kantor Angkatan Laut Jepang di bawah pimpinan Laksamana Maeda dan mempunyai hubungan erat dengan para pemuda termasuk Adam Malik. Adam Malik menyerahkan dana tersebut kepada Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP-Gestapu) yang didirikannya bersama Soeharto dan Hamengku Buwono IX. Cerita ini baru dibongkar oleh McAvoy, mantan diplomat Kedutaan Besar Amerika Serikat yang menyerahkan dana tersebut kepada Nishijima. Nishijima sendiri belum pernah mengakuinya, namun dugaan tersebut telah beredar di kalangan komunitas Jepang di Jakarta. KAP-Gestapu diketuai oleh Subchan ZE dan Harry Tjan Silalahi. Selain dana dari Nishijima, menurut pengakuan Dewi Sukarno kepada Aiko Kurasawa, juga ada uang yang diberikan kepada Sofyan Wanandi (Liem Bian Koen) atas keputusan pribadi Perdana Menteri Sato. Dana ini untuk mendukung Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI). KAP-Gestapu dan KAMI adalah gerakan anti-komunis yang menuntut pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, perombakan kabinet Dwikora, dan turunkan harga sandang-pangan. Pada 23 Desember 1965, Duta Besar Saito bertemu dengan Sukarno dan memberikan kredit sebesar $6 juta untuk membeli kain untuk hari raya Idulfitri. Nishijima menyampaikan keberatan kepada duta besar. “Dan Duta Besar mengakui bahwa dia telah merelakan ini karena terbawa perasaan kasihan (simpati) kepada Sukarno yang terkait dengan hubungan pribadi,” kata Aiko. Pemerintah Jepang, yang semula bersimpati kepada Sukarno, kemudian realistis dan mengharapkan adanya rezim baru yang lebih memihak barat dan berorientasi kepada pembangunan ekonomi dengan menerima modal asing. Begitu kebijakan dasar pembangunan di Indonesia berubah, pemerintah Jepang segera mengambil prakarsa membantu Soeharto membangun Orde Baru dan akhirnya menjadi donatur terbesar rezim Soeharto. Di belakang itu, terdapat keinginan kalangan bisnis Jepang yang dari dulu sudah berminat menanamkan modal di Indonesia. Sejak itu, politik luar negeri Jepang terhadap Indonesia lebih cenderung mengutamakan dagang ketimbang politik.
- Dedication of Life Sukarno
Sukarno (kiri) dan Joko Widodo (kanan). GUBERNUR DKI Jakarta sekaligus kader PDI Perjuangan, Joko Widodo, membacakan pernyataan dedication of life Sukarno pada pembukaan Rapat Kerja Nasional III PDI Perjuangan di Ecopark Convention, Ancol (6/9). Saya adalah manusia biasa / Saya tidak sempurna / Sebagai manusia biasa, saya tidak luput dari kekurangan dan kesalahan / Hanya kebahagiaanku ialah dalam mengabdi kepada Tuhan, kepada Tanah Air, kepada bangsa / Itulah dedication of life -ku / Jiwa pengabdian inilah yang menjadi falsafah hidupku, dan menghikmati serta menjadi bekal hidup dalam seluruh gerak hidupku / Tanpa jiwa pengabdian ini saya bukan apa-apa / Akan tetapi, dengan jiwa pengabdian ini, saya merasakan hidupku bahagia dan manfaat. (Sukarno, 10 September 1966). “Kenapa Pak Jokowi yang membaca? Karena, ya itu sebuah makna bahwa regenerasi itu berjalan dan pasti berlanjut,” kata Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri, dikutip kompas.com (6/9). Mega juga mengatakan Jokowi memiliki “getaran” Sukarno. Khalayak pun menangkapnya sebagai sinyal pencalonan Jokowi sebagai calon presiden pada pemilihan umum 2014. Bagi Sukarno, dedication of life bermakna pengabdian. Sukarno menyinggung soal dedication of life dalam beberapa kesempatan berpidato. Misalnya pidato di hadapan mahasiswa Universitas Gajah Mada di Siti Hinggil Kraton Yogyakarta pada 1961 dan kontingen Indonesia yang akan mengikuti Asian Games IV di Jakarta pada 1962. Pada pembukaan musyawarah nasional Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI) pada 1965, Sukarno kembali menyinggung soal dedication of life: “Saya pernah pidato terhadap olahragawan-olahragawan sebelum ada Asian Games, saya katakan: hai, engkau olahragawan-olahragawani, aku minta kepadamu agar kamu jangan ingat kepada diri sendiri saja, mencari medali untuk diri sendiri saja, tetapi carilah medali untuk bangsa Indonesia, untuk negara Indonesia. Saya minta kepadamu –kataku kepada olahragawan– agar supaya engkau mempunyai dedication of life – dedication itu artinya penyumbangan, pengabdian, life artinya hidup– hidupmu itu kau sumbangkan, kau abdikan…” Pidato-pidato Sukarno yang menyinggung soal dedication of life punya substansi sama: mengajak segenap warga negara untuk melakukan pengabdian kepada bangsa dan negara. Dalam Warisilah Api Sumpah Pemuda: Kumpulan Pidato Bung Karno di Hadapan Pemuda, 1961-1964, Sukarno mengatakan: “Dan aku bertanya kepadamu sekarang, saudara-saudara. Sudahkah engkau dedicate engkau punya hidup kepada something , kepada Indonesia? Dan aku bertanya bukan hanya kepada pemuda-pemuda, pemudi-pemudi saja, juga kepada para menteri yang duduk di sini, di situ, hai para menteri apa engkau sudah dedicate engkau punya hidup kepada Indonesia?” Dalam pidatonya pada acara pemberian gelar doktor honoris causa dalam ilmu pengetahuan kemasyarakatan dari Universitas Indonesia, 2 Februari 1963, Sukarno menyatakan, “Saya dedicate saya punya hidup, I dedicate my life to what? To my country. To what? To my idealism. To what? To God , Allah Subhanahu Wataala.” Maman S. Tegeg mengambil sepenggal dari pidato Sukarno tersebut dan menjadikannya sebuah puisi, yang dimuat dalam Puisi-puisi Revolusi Bung Karno, Volume 1. Dedication of Life. Hanya manusia yang mempunyai / dan menyelenggarakan dedication of life / bisa menjadi manusia yang dinamis / bisa menjadi manusia yang bukan sekedar / ya, berbuat karena harus berbuat / tetapi menjadi manusia yang benar-benar manusia / manusia yang memiliki darma bakti / darma bakti bermacam-macam / darma bakti kepada tanah airnya / darma bakti kepada Tuhannya / darma bakti kepada diri sendiri.
- Mengenang Kereta Api Zaman Kolonial
Lokomotif NISM (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij) di Jawa, 1880. (KITLV). Pernak-pernik keretapi era Hindia Belanda, mulai dari arsip, miniatur kereta dan stasiun, foto-foto, hingga diorama, dipajang di galeri Erasmus Huis, kompleks Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. Pameran bertajuk “The History Of Indonesian Railways” berlangsung dari 24 September sampai 20 Oktober 2013. Menurut Ton van Zeeland, direktur Teater dan Galeri Erasmus Huis, sejarah perkeretapian di Indonesia selalu menarik dan penuh warna. “Dengan pembangunan jalur keretapi pertama di Hindia Belanda pada 1864 membuat banyak orang hilir mudik melewati daerah-daerah yang semula terisolir,” ujar Ton dalam pembukaan pameran itu. Jalur keretapi pertama sepanjang 26 kilometer menghubungkan Semarang-Kemijen-Tanggung Jawa Tengah. “Konstruksi jalur keretapi pertama awalnya untuk tujuan komersial. Yaitu melayani pengangkutan hasil perkebunan dari pedalaman Jawa Tengah menuju pelabuhan Semarang,” ujar Ella Ubaidi, executive vice president Pusat Pelestarian Benda dan Bangunan PT Kereta Api Indonesia. Baca juga: Strategi Kooperasi Serikat Buruh Kereta Api Setelah merampungkan jalur Semarang-Tanggung, berturut-turut jalur keretapi lain pun dibangun. Di antaranya jalur Tanggung-Kedungjati pada 19 Juli 1868, Kedungjati-Solo (10 Februari 1870), Solo-Ceper (27 Maret 1871), Ceper-Klaten (9 Juli 1871), dan Klaten-Yogya (10 Juni 1872). Pembangunan jalur-jalur keretapi ini menghubungkan pesisir utara Jawa dengan daerah-daerah pedalaman. “Sejarah keretapi pula yang menjadi faktor pengikat antardaerah di negeri yang luas ini,” kata Ton. Bersamaan dengan Belanda angkat kaki dari Indonesia, aset-asetnya termasuk sistem keretapi perlahan surut. Seperti stasiun Kemijen, salah satu stasiun pertama di jalur Semarang-Tanggung, yang terletak kurang lebih sekilo meter dari stasiun Tawang Semarang, hilang terendam rob. Bahkan jalur kereta api Kedungjati-Tuntang, bagian dari jalur Kedungjati-Ambarawa sejak 1871, tidak beroperasi terhitung 1 Juni 1970. PT KAI berusaha mengelola aset-aset keretapi peninggalan kolonial dengan membentuk Pusat Pelestarian Benda dan Bangunan pada tahun 2009. Tujuannya, menyelamatkan serta melestarikan berbagai aset peninggalan perkeretapian. Unit ini bekerja sama dengan pusat kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, menyelenggarakan pameran tersebut. Baca juga: Pemogokan Buruh Kereta Api di Bulan Puasa “Dengan menampilkan jejak-jejak bersejarah dari perkeretapian di Indonesia kepada masyarakat kami berharap muncul kesadaran dari masyarakat menghargai benda cagar budaya,” ujar Ella Ubaidi. Dalam kesempatan itu pula, Ella menegaskan kembali, bahwa dalam waktu dekat, jalur lama dari Kedungjati menuju Tuntang akan dioperasikan kembali. “Kedungjati ke Tuntang itu sudah pasti. Dan keretanya akan disiapkan kereta modern. Sementara kereta lama hanya akan digunakan untuk kepentingan wisata sejarah,” ujarnya. Keinginan PT KAI menghidupkan kembali jalur keretapi zaman kolonial mendapat tanggapan baik. “Dengan menyusuri jalur lama tersebut, maka kita seperti kembali ke masa lalu. Melewati stasiun-stasiun peninggalan kolonial. Kemudian suara mesin uap, laju kereta yang perlahan, pemandangan alam di kanan kiri tentu merupakan kenangan tersendiri,” pungkas Ton.
- Melongok Dapur Kolonial
Pameran kuliner kolonial "Indonesian Kitchen Throughout Ages" di Erasmus Huis, Jakarta, 24 Agustus 2013. Foto: Micha Rainer Pali. PENGUNJUNG riuh ketika Bara Pattiradjawane, chef terkenal yang sering menghiasi layar kaca, berlomba mengulek sambal dengan Ton van Zeeland, direktur Erasmus Huis. Acara ini ikut menyemarakkan pembukaan pameran bertajuk Indonesian Kitchen Throughout Ages di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis Jakarta, 24 Agustus 2013. Pameran sejarah kuliner ini menampilkan interaksi Indonesia-Belanda dalam budaya kuliner. Perpaduan ini menghasilkan makanan-makanan yang unik dan populer di kedua negara. Tujuan pameran ini untuk mengenang kembali betapa lezat dan nikmatnya masakan tempo dulu hingga sekarang. Dalam pameran tersebut, ditampilkan beberapa bumbu masakan, rempah-rempah, alat-alat masak tradisional, foto-foto koleksi KITLV , dan poster resep makanan dari masa kolonial Belanda. Yang paling menarik adalah buku-buku resep masakan dari masa kolonial yang ditulis orang Belanda ketika mereka tinggal di Indonesia. Salah satunya Groot Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek karya JMJ Catenius van der Meyden, yang terbit tahun 1902. Karya Nyonya Catenius itu berisi resep-resep masakan yang ditulis dalam bahasa Belanda. Buku ini ditujukan bagi setiap perempuan Belanda untuk menyiapkan hidangan risjtafel tanpa bantuan orang bumiputera. Buku ini, menurut sejarawan Achmad Sunjayadi, ibarat kitab suci masakan. “Khusus buku kumpulan resep Groot Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek kerap dihadiahkan kepada para wanita Belanda sebagai hadiah pernikahan. Buku ini memuat 1381 resep yang seakan menjadi kitab sucinya para ratu dapur,” tulis Sunjayadi, “Resep Masakan dari Masa Lalu,” dimuat dalam situswebnya. Berbagai resep makanan tercatat dalam buku ini. Salah satunya resep kudapan ringan asal Indonesia. Seperti Chinese Pastei (Pastel Cina), Dodol, Gemblong, Kwee Apem Ceylon (Kue Apem Srilangka), Kwee Babieka, Kwee Bugis, dan Kwee Lemper. Resep-resep makanan yang tercatat dalam buku ini dianggap masih relevan dan diminati sampai hari ini. Bahkan pada 2002, buku resep ini diterbitkan ulang oleh penerbit Tirion di Belanda dengan mempertahankan ejaan lama. Penerbitan ulang karya ini dilakukan sebagai peringatan seratus tahun buku Groot Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek pada 1902.
- Barisan Pemberontak Tionghoa
Barisan Pemberontak Tionghoa (kiri). Foto: repro buku "Semangat dalam Rekaman Gambar" IPPHOS karya sejarawan AB Lapian. BUKU foto Semangat ’45 dalam Rekaman Gambar IPPHOS karya sejarawan AB Lapian memuat tiga foto aktivitas warga Tionghoa yang terlibat dalam revolusi fisik. Ini menunjukkan bahwa warga Tionghoa bukan hanya menyambut proklamasi dengan hangat, tapi juga bertekad dan berkorban untuk mempertahankan apa yang telah diproklamasikan atas nama rakyat Indonesia. “Kekuatan-kekuatan inilah yang sering kita sebut Semangat ’45…,” tulis Lapian. Dalam buku itu, Lapian memberikan keterangan: “Markas masyarakat Tionghoa di Solo, 1949, dengan berani menyatakan identitas di depan: Barisan Pemberontak Tionghoa (foto kiri)”; “Dua anggota masyarakat Tionghoa sedang berjuang di front Jawa Timur (foto kanan)”; dan “Beberapa anggota masyarakat Tionghoa sedang berbincang-bincang di depan markas di mana bambu runcing juga tertancap. Mereka turut berjuang untuk Republik dalam mencari bahan makanan (foto tengah).” Sayangnya, foto-foto tersebut tidak dimuat dalam buku foto terbitan pemerintah Orde Baru, 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949. Ini menunjukkan bagaimana kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap etnis Tionghoa. Menurut sejarawan Didi Kwartanada dalam tulisannya “Tionghoa dalam Api dan Bara,” dimuat majalah Historia, No. 10 Tahun I, 2013 , meskipun masyarakat Tionghoa memilih tak berpihak atau netral pada masa revolusi karena posisi historis sebagai “minoritas perantara”, tak sedikit dari mereka yang turun ke garis depan dalam perjuangan kemerdekaan. Sebut saja pahlawan nasional Mayor (AL) John Lie alias Jahja Daniel Dharma sebagai pemasok senjata. Baca juga: Si Penyelundup yang Humanis Beberapa Tionghoa masuk dalam militer atau mendirikan laskar perjuangan. Di Pemalang, muncul Laskar Pemuda Tionghoa. Tokohnya adalah Tan Djiem Kwan, alumnus Sekolah Tionghoa (THHK) Tegal, yang giat memberikan kursus antikolonialisme pada pemuda Tionghoa dan mendorong pengibaran bendera Merah-Putih. Laskar ini memainkan peran penting dalam melucuti balatentara Jepang di Pemalang. Sementara di Surakarta terdapat Barisan Pemberontak Tionghoa yang dipimpin Yap Tek Thoh. Azas-tujuan Barisan Pemberontak Tionghoa, sebagaimana dimuat koran Gelora Rakjat , 20 April 1946, “untuk mempererat tali persaudaraan antara saudara-saudara Indonesia dan Tiong Hoa, juga menjunjung tinggi azas yang diwariskan oleh Dr Sun Yat Sen, bapak dari Republik Tiongkok, menjaga keamanan umum dan menurut (kepada) peraturan dari pemerintah Republik Indonesia.” Barisan Pemberontak Tionghoa geram tatkala mendengar orang-orang Tionghoa yang tergabung dalam Angkatan Muda Tionghoa di Bandung bikin ulah. Menurut kabar dan siaran radio, mereka merampas harta benda milik penduduk yang sedang mengungsi ketika peristiwa Bandung Lautan Api pada Maret 1946. Perbuatan jahat itu, kata Yap Tek Thoh, bukan saja melukai perasan saudara-saudara Indonesia, tapi juga dapat merusak hubungan antara Tionghoa dan Indonesia. Perbuatan itu juga membikin cemar nama dan kehormatan bangsa Tionghoa di seluruh Indonesia “Mengingat perbuatan-perbuatan tersebut,” Yap Tek Thoh menegaskan, “kami sebagai ketua Barisan Pemberontak Tionghoa di Surakarta, dengan ini menyatakan dengan sumpah dalam sanubari tetap setia kepada pemerintah Republik Indonesia dan tetap berpendirian dengan jiwa berontak untuk membantu menegakkan kemerdekaan Indonesia 100% yang kekal dan abadi.” Mereka juga berjanji, apabila ada orang Tionghoa di Surakarta yang melakukan perbuatan seperti Angkatan Muda Tionghoa, “kami sekalian akan menunjukkan bukti atas kesetian terhadap pemerintah Republik Indonesia dengan rela hati dan berani berkorban jiwa untuk membasmi perbuatan-perbuatan semacam itu atas tanggung jawab kami sekalian.”
- Utusan Mesir Terdampar di Singapura
Ktut Tantri. Sultan Hamengkubuwono IX berjabat tangan dengan Abdul Mun'im, Maret 1947. Mohamad Abdul Mun’im, konsul jenderal Mesir di Bombay, India, mengemban misi penting. Dia, bertindak atas nama Raja Farouk, membawa keputusan Liga Arab yang berisi anjuran kepada negara-negara anggota Liga Arab untuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Namun, perjalanannya nyaris hanya sampai Singapura. Dia tak memperoleh visa. Lalu dia mendengar Ktut Tantri (Muriel Pearson), perempuan Amerika yang kerap membantu perjuangan Indonesia di masa revolusi, berada di Singapura. Pada suatu malam, dia mendatangi penginapannya. Pelayan rumah tempat Ktut Tantri menginap memberitahu ada “tamu asing” yang ingin bertemu. “Orangnya kelihatan terhormat. Berkulit gelap, berhidung mancung dan bengkok seperti paruh burung betet,” kata Ktut Tantri dalam memoarnya Revolusi di Nusa Damai. Setelah memperkenalkan diri, Mun’im menunjukkan surat-surat tugasnya. “Konsulat Belanda di sini menganggap sepi surat-surat kepercayaan saya dan menolak memberikan visa. Inggris tidak mau membantu. Mereka malah tidak akan memberi izin keluar Singapura, apabila itu hendak dipakai untuk pergi ke Indonesia,” ujarnya. “Tetapi kenapa Anda kini mendatangi saya, Mr Mun’im?” tanya Ktut Tantri. “Saya mendapat kabar bahwa Anda pernah berlayar dari Jawa ke Singapura, menembus blokade Belanda,” ujar Mun’im. “Saya ingin tahu apakah bagi saya bisa diselenggarakan perjalanan yang sama, dengan arah sebaliknya. Saya perlu sekali datang ke Yogyakarta –dan kini saya harus melakukannya di luar pengetahuan Inggris dan Belanda.” Ktut Tantri bersedia membantu Mun’im karena sadar pengakuan sedini itu dari Mesir serta negara-negara Arab akan menjadi dorongan semangat yang besar bagi Indonesia. Dia pun segera mencari sarana pengangkutan yang bisa menembus blokade Belanda. Sulitnya mencari tumpangan, membuat Ktut Tantri nyaris putus asa. Ktut Tantri kemudian menemui seorang pengusaha berkebangsaan Inggris yang menaruh simpati terhadap perjuangan Indonesia. Dia akan menyewakan sebuah pesawat dari Manila, Filipina, dengan navigator berkebangsaan Amerika. Biaya penerbangan yang dikenakan kepada Ktut Tantri sebesar $10.000. Napas Ktut Tantri tercekat. 10.000 sen saja dia tak punya. Uang Mun’im pun tak mencukupi. Tak ada cara lain kecuali meminta penangguhan pembayaran dua-tiga hari setelah pesawat kembali dari Jawa. Jaminannya: Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. Kesepakatan itu hitam di atas putih. Pada hari yang sudah direncanakan Ktut Tantri dan Abdul Mun’im menyusup ke areal terminal. Pesawat yang ditunggu tiba tepat waktu. Sementara baling-baling pesawat masih berputar-putar, dua orang berkulit putih meloncat ke luar. Ktut Tantri memperkenalkan diri dan Abdul Mun’im sebagai pelayannya. “Ktut Tantri dapat mengusahakan tempat baginya di pesawat yang diterbangkan oleh Bob Freeberg,” tulis Kustiniyati Mochtar dalam Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar Zaman Singapura 1945-1950 . Sebelum Indonesia memiliki pesawat, Bob Freeberg melayani Republik untuk menembus blokade Belanda. Mun’im pergi mengganti pakaian di belakang pesawat. Ketika kembali, dia mengenakan busana rapi ala diplomat. Ketika Bob datang dari kokpit ditatapnya Abdul Mun’im dengan heran. “Bagaimana Anda tahu-tahu bisa ada di sini?” kata Bob. “Katanya hanya akan ada dua penumpang.” Ktut Tantri menjelaskan bahwa Mun’im adalah utusan Raja Farouk dari Mesir dan Liga Arab untuk menyampaikan dukungan kepada Republik Indonesia. Ktut Tantri juga menjelaskan siapa dirinya dan apa tujuannya. “Astaga!” kata Bob. “Ini benar-benar semangat pejuang kemerdekaan!” Meski sempat dibuntuti beberapa pesawat tempur Belanda, dengan bermanuver Bob dapat meloloskan diri dan mendarat selamat di Yogyakarta. Pada 15 Maret 1947, Abdul Mun’im diterima secara resmi oleh Presiden Sukarno serta tokoh-tokoh Indonesia. Secara resmi pemerintah Mesir menyampaikan pengakuan kedaulatan pada Juni 1947. Berturut-turut pada tahun yang sama: Lebanon (Juni), Suriah dan Irak (Juli), Afghanistan (September), dan Saudi Arabia (November). Israel, yang kerap memicu konflik di Timur Tengah, turut mengakui kedaulatan Indonesia pada Januari 1950.
- Sengketa Lama di Laut Mediterania
Perang Suksesi Spanyol (Spanish Succession War) di Gibraltar, 1704. SENGKETA mengenai Gibraltar antara Spanyol dan Inggris, yang pernah terjadi tiga abad lalu, kembali mencuat. Pemicunya adalah pembangunan terumbu karang buatan oleh Gibraltar –wilayah di barat laut Laut Mediterania yang jadi bagian dari Inggris– di lepas pantai dengan menggunakan puluhan blok beton pada Juni lalu. Sebagaimana dilansir bbc.co.uk (14/8), Ignacio Ibanez, direktur jenderal urusan luar negeri Spanyol, mengatakan perselisihan itu tak akan berakhir sampai terumbu karang buatan itu menghilang dari perairan Gibraltar. Pemerintah Spanyol menganggap terumbu karang buatan itu berada di kawasan konservasi yang akan akan berdampak pada ekosistem dan tangkapan ikan nelayan. Sebagai balasannya, Spanyol memperketat pengawasan perbatasannya dengan Gibraltar namun dengan dalih Gibraltar gagal mengendalikan penyelundupan. Inggris bereaksi, menganggap kebijakan Spanyol itu melanggar aturan Uni Eropa. Isu ini kemudian berubah menjadi badai internasional. Inggris berencana membawa masalah ini ke Mahkamah Eropa. Namun, menurut The Globe and Mail (12/8), Inggris akan menghadapi argumen yang membuatnya tak nyaman. Sebab, Inggris bukan bagian dari sistem perbatasan terbuka Uni Eropa. Artinya, pemeriksaan perbatasan di Gibraltar diizinkan. Sementara Spanyol mempertimbangkan untuk menggalang dukungan di PBB dari Argentina –yang memiliki keluhan sendiri dengan Inggris atas Kepulauan Malvinas pada 1982. Menurut Chris Grocott, dosen sejarah ekonomi Universitas Leicester yang mengkhususkan diri pada kajian mengenai Gibraltar, posisi PBB jelas bahwa pada 2000 bekas wilayah kerajaan itu harus didekolonisasi. “Ada banyak resolusi PBB yang mendukung Spanyol,” ujarnya, dikutip The Globe and Mail . Spanyol semula menguasai Gibraltar selepas merebutnya dari kerajaan Islam Granada (abad ke-15). Ketika Raja Charles II yang berdarah Habsburg mangkat, dia meninggalkan testamen berisi penyerahan tahta kerajaan kepada Philip Duc d’Anjou (keturunan Raja Prancis Louis XIV). Ini berarti penyatuan Spanyol-Prancis. Inggris dan Belanda adalah negara yang paling gigih menentang penyatuan itu karena akan mengubah keseimbangan kekuatan di Eropa. Dengan dukungan provinsi-provinsi penentang, Austria, Belanda, dan Raja Leopold I (raja Romawi Suci sekaligus Prusia), Inggris mendirikan Grand Alliance of Hague pada September 1701. Aliansi kemudian memerangi Spanyol-Prancis. Apa yang dikenal sebagai Perang Suksesi Spanyol pun dimulai. Pada Juli 1704, armada Inggris-Belanda di bawah Laksamana Sir George Brooke mendarat di Teluk Gibraltar dan membombardir Spanyol-Prancis. Inggris-Belanda akhirnya menguasai Gibraltar. Melalui Perjanjian Utrecht pada April 1713, Spanyol secara formal menyerahkan wilayah itu kepada Kerajaan Britania Raya. Beberapa upaya Spanyol untuk menguasai kembali Gibraltar gagal. Gibraltar diakui secara resmi sebagai bagian dari kerajaan pada 1830. Pada 1967, mayoritas penduduk Gibraltar memilih menjadi bagian dari Inggris melalui referendum pada 10 September –kemudian diperingati sebagai hari jadi. Gibraltar mengesahkan konstitusinya pada 1969 dan menjalankan pemerintahan sendiri. Sepanjang perjalanannya, Spanyol berupaya menguasai kembali upaya Gibraltar. Terutama, ketika era diktator Fransisco Franco berkuasa di Spanyol. Ketegangan sempat mengendur namun kini kembali mencuat. Sejak berkuasa tahun 2011, pemerintah konservatif Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy jauh lebih agresif ketimbang pendahulunya dari kalangan sosialis. Mereka memandang Gibraltar sebagai peninggalan zaman kolonial yang harus dikembalikan
- Alkisah Celeng, Celengan, dan Babi Ngepet dari Zaman Majapahit
CELENGAN banyak ditemukan di situs Trowulan, ibukota kerajaan Majapahit. Pembuatan celengan telah berkembang antara abad ke-13 dan 15. Celengan yang pernah ditemukan terdiri dari tiga bentuk: manusia berupa anak kecil, binatang (babi atau celeng, domba, kura-kura, dan gajah), dan yang terbanyak berupa guci. Menurut arkeolog Supratikno Rahardjo dalam “Tradisi Menabung dalam Masyarakat Majapahit: Telaah Pendahuluan Terhadap Celengan di Trowulan,” belum diketahui secara persis berapa banyak celengan yang dibuat untuk masing-masing bentuk binatang tersebut. “Tetapi ada kesan bahwa bentuk babi menempati jumlah terbanyak, kemudian domba, kura-kura, kuda, dan gajah,” tulis Supratikno, termuat dalam Monumen: Karya Persembahan untuk Prof. Dr. R. Soekmono. Meskipun bentuknya bisa manusia, guci, atau binatang lain selain babi, namun sebutan yang dipilih adalah celengan. Sebutan ini digunakan sampai sekarang. Apakah masyarakat Majapahit juga menyebutnya dengan istilah celengan? Menurut Supratikno kata celengan agaknya baru diperkenalkan oleh orang Jawa pada masa kemudian, karena bahasa Jawa Kuno hanya mengenal kata celeng (babi atau babi hutan) dan pacelengan (kandang babi). Kamus Javaans-Nederlands Woordenboek karya Th. Pigeaud, memuat sejumlah kata Jawa yang berkaitan dengan aktivitas menabung, yaitu celengan berarti spaartpot (tempat menabung), dicelengi berarti opgespaard (disimpan), dan dicelengake berarti men spaart voor iemand (menabungkan untuk orang lain). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , kata celengan berasal dari kata Jawa yang berarti tabung pekak untuk menyimpan uang; tabungan atau uang simpanan itu sendiri. “Kita masih belum tahu apakah kata-kata tersebut ada hubungan dengan kata celeng yang berarti babi hutan,” tulis Supratikno. Kalau memang celengan harus dikaitkan dengan binatang celeng, lanjut Supratikno, “dapatkah kita menghubungkan munculnya istilah itu dengan mitos babi ngepet atau celeng daden (babi jadi-jadian) yang berhubungan dengan upaya mencari kekayaan secara cepat seperti umum dikenal dalam tradisi Jawa atau Sunda?” Menurut sejarawan Denys Lombard, kebiasaan menabung dalam celengan pada masyarakat Jawa terpengaruh oleh orang Tionghoa. “Istilah celengan –yang dibentuk dari kata Nusantara (tepatnya Jawa, red ) celeng– jelas mengacu pada binatang pembawa rezeki dalam mitologi Cina yang semenjak zaman Majapahit telah memberi bentuk bulat pada celengan Jawa yang terbuat dari tanah liat,” tulis Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya. Supratikno berbeda pendapat dengan Lombard. Menurutnya, celengan-celengan Trowulan terutama menggambarkan guci-guci dan beberapa figur anak kecil, mengingatkan pada dewa Kuwera. Tradisi Hindu-Budha di Nusantara mengenal konsep kemakmuran yang diwujudkan dalam bentuk arca dewa Kuwera atau Kubera, yang telah dikenal di Jawa Tengah sejak abad ke-9 atau sebelumnya. Sebagai simbol kemakmuran, Kuwera mewakili penguasa kehidupan duniawi yang bergelimang dengan barang-barang berharga dan mewah. Dewa ini digambarkan sebagai manusia dalam wujud anak kecil yang montok dan berperut gendut, sedang duduk di atas singgasana berhias bunga teratai, memegang pundi-pundi harta dan benda-benda lain yang melambangkan kekayaan dan kenikmatan duniawi. Di sekelilingnya terdapat guci-guci yang penuh dengan permata. Dengan demikian, menurut Supratikno “bukti-bukti di atas agaknya cukup masuk akal bila dipakai sebagai dasar anggapan bahwa bentuk-bentuk celengan Trowulan (juga celengan-celengan masa kini) sesungguhnya diilhami oleh bentuk arca Kuwera beserta atribut-atributnya.”*
- Perjalanan Ziarah Raja Majapahit
SETIAP tahun pada “akhir musim dingin” atau setelah panen, Hayam Wuruk raja Majapahit (1350-1389) bergelar Sri Rajasanagara berkeliling hingga ke luar ibukota. Dia pergi menggunakan pedati yang ditarik sapi, diiringi rombongan. Perjalanannya tercatat dalam teks Desawarnana (Nagarakretagama) karya Mpu Prapanca, yang turut dalam perjalanan tersebut. Bersandar pada teks Desawarnana , TH Pigeaud dalam Java in the 14th Century: A Study in Cultural History Vol. IV mencatat bahwa Hayam Wuruk melakukan enam kali perjalanan mengunjungi Pajang (1353), Lasem (1354), Lodaya (1357), Lumajang (1359), Tirib Sompur (1360), Palah Blitar (1361), dan Simping (1363). Dalam kunjungannya ke Lumajang pada bulan purnama dalam Bhadrapada tahun saka 1281 atau sekira minggu pertama September 1359 M, “merupakan kesempatan pertama bagi sang penyair (Mpu Prapanca, red ) untuk mendampingi rajanya dalam sebuah kunjungan kerja, sekaligus mengumpulkan bahan pokok untuk kakawin -nya,” tulis Nigel Bullough, naturalis Inggris yang bernama Jawa Hadi Sidomulya, dalam Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca . Pigeaud beranggapan bahwa perjalanan Hayam Wuruk ke beberapa tempat bersifat keagamaan. Hal itu ditandai oleh kegiatan dan kunjungannya ke tempat suci guna menghormati leluhur dinasti Majapahit. Tempat-tempat yang mendapat perhatian khusus adalah Singhasari, Kagenengan, Kidal, dan Jajaghu (candi Jago). Di Singhasari, Hayam Wuruk melakukan puja bhakti di sebuah dharma atau candi pendharmaan milik buyutnya, Kertanegara, raja terakhir Singhasari. Kertanegara didharmakan di Singhasari dengan arca berwujud Siwa-Buddha . Setelah melakukan puja , raja beristirahat selama beberapa waktu sambil menikmati keindahan alam di Kedhung Biru dan Bureng . Dari Singhasari, raja beriringan ke arah selatan menuju Kagenengan. Di Kagenengan, raja melakukan puja pada candi pendharmaan Sri Ranggah Rajasa , Ken Angrok , raja pertama Tumapel dan pendiri wangsa Rajasa. Pagi harinya, Hayam Wuruk berkunjung ke pendharmaan candi Kidal, 11 km tenggara kota Malang, yang dibangun untuk Anusanatha (Anusapati), pengganti Ken Angrok yang wafat tahun 1170 saka atau 1248 M. Selepas memberi sembahan, Hayam Wuruk melanjutkan perjalanan dan tiba di desa Tumpang yang terletak 6 km sebelah timur Kidal. Terdapat sebuah bangunan pedharmaan (dharma Jajaghu) untuk Wisnuwardhana, raja ketiga Tumapel. Wisnuwardhana didharmakan sebagai Siwa di Waleri dan sebagai Buddha di candi Jago. Di candi Jago, hingga kini terdapat “sebuah arca Buddha dalam bentuk Amoghapasa , yang dianggap sebagai wujud Wisnuwardhana,” tulis Bernet Kempers, ahli purbakala, dalam Ancient Indonesian Art . “Perjalanan Rajasanagara (Hayam Wuruk, red ) itu sebagai dharmayatra , yaitu ‘ziarah ke kuil kuil,’ jadi sebagai perbuatan yang berdasarkan keagamaan,” ujar Stutterheim, dikutip dari Penulisan Sejarah Jawa karya C.C. Berg. Agus Aris Munandar, arkelog Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa saat Hayam Wuruk berkunjung ke beberapa tempat pendharmaan yang merupakan perwujudan dari wangsa Rajasa; Ken Angrok, Anusanatha, Wisnuwardhana, dan Kertanegara, dilakukan pembacaan mantra oleh para pendeta yang diikuti oleh sang raja. Air yang disertakan dalam puja kemudian dibalurkan pada candi pendharmaan. “Dalam perjalanan Hayam Wuruk, selain berkunjung ke pendharmaan, pathirtan, dan kadewaguruan yang bersifat keagamaan, dia juga memantau wilayah kekuasaannya dan berwisata di beberapa tempat yang dilaluinya, seperti di Blitar pada 1357 dengan menikmati pemandangan di pantai selatan,” ujar Agus.*
- Peristiwa Pahit di Pura Majapahit
PENGERAN Agong Wilis berserta 40 pengikutnya dari Kerajaan Blambangan hijrah ke Bali. Mereka bermukim di sekitar pohon beringin besar di Desa Banyubiru –kini Baluk. Di situ, selain berlindung, mereka membangun Pura Majapahit. Pura Majapahit terletak di Desa Baluk, Kecamatan Negara, Kebupaten Jembrana, Bali. Lokasinya persis di pinggir jalan raya Gilimanuk-Denpasar. Berkendara sekitar 30 menit dari Pelabuhan Gilimanuk. “Nenek moyang kami dari Blambangan. Dulu, Blambangan wilayah jajahan Majapahit. Saat Majapahit runtuh karena terdesak oleh Islam, sebagai wilayah jajahan kami ikut terdesak. Maka lari ke Bali,” kata Mangku Gede Pura Majapahit Wayan Wenen, 63 tahun, kepada Historia . Pada 1945 ada peristiwa aneh tapi nyata di Pura Majapahit. Beberapa hari setelah Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tiba-tiba tumbuh jamur raksasa di dalam pura. Jamur berwarna merah dan putih itu tumbuh di pokok batang beringin besar. Pihak Belanda mengira jamur tersebut sengaja ditanam sebagai simbol keberpihakan kepada Indonesia. Maka Belanda menangkap Ketut Nista, Mangku Gede Pura Majapahit saat itu. “Setelah sehari-semalam ditahan di penjara Negara, kakek saya dilepas,” kenang Wayan Wenen. Dua minggu kemudian, jamur itu lenyap. Hingga kini, setiap menceritakan zaman perang kemerdekaan, kisah jamur raksasa merah putih masih menjadi topik utama di desa Baluk. Duapuluh tahun kemudian, ketika meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965, Pura Majapahit berdarah. Keluarga Mangku Gede Pura Majapahit dibantai. Wayan Wenen satu-satunya yang selamat dan menjadi buronan. Dia diburu beserta orang-orang kampung lainnya karena dituduh sebagai anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam sebuah perjumpaan di Bali tempo hari, para tetua desa Baluk menceritakan kepada Historia , suatu malam di masa perburuan, tentara beserta orang-orang berkumpul di pekarangan Pura Majapahit. Tiba-tiba ada anak kecil kesurupan. “Namanya Sutarna,” kenang mereka. Anak kecil itu mengamuk. Awalnya dikira pura-pura, tapi setelah tak ada yang bisa mengendalikannya, seluruh orang menjadi ketakutan. Suara Sutarna berubah. Dalam suasana mencekam, anak kecil itu berpesan: “Jangan saling bunuh! Hentikan pembunuhan!” Sutarna juga meminta pura dipindahkan dan dibangun ulang. Dia langsung memilih beberapa orang menjadi panitia pembangunan pura. “Kamu… kamu jadi panitia,” ujarnya seraya menunjuk beberapa orang. Dan, “kamu… kamu jangan. Kamu jahat,” tandasnya kepada beberapa orang lainnya. Lazimnya sebuah pura, harus ada mangku atau ahli agama. Karena semua ahli agama sudah dibunuh, orang-orang pun bertanya: “Siapa yang jadi mangku?” Sutarna menjawab: “Wayan Wenen.” Semua saling pandang. Heran. Seseorang diangkat menjadi mangku harus menguasai agama dan biasanya berusia di atas 50 tahun. Sementara Wayan Wenen saat itu masih muda. Tapi, karena sudah amanah, semua patuh. “Saat diangkat menjadi mangku saya kelas dua Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP),” kata Wayan Wenen yang masih menjadi Mangku Gede Pura Majapahit hingga hari ini. Pohon beringin besar sudah tak ada. Pura Majapahit bergeser mundur ke belakang dari lokasi sebelumnya. Di gerbang pura tumbuh pohon Maja –siloka Majapahit. Dulu, leluhur Pura Majapahit hijrah dari Blambangan ke Bali karena terdesak Islamisasi. Kini, penduduk sekitar pura mayoritas Muslim. Sebagai bentuk toleransi, orang-orang di Pura Majapahit tidak memotong babi dalam setiap ritual, tapi menggantinya dengan itik.*
- Sukarno dan GBK
TAGAR #SaveGBK menjadi trending topic di twitter . Tagar itu muncul sebagai bentuk penolakan atas rencana konser boy band asal Inggris, One Direction, pada 25 Maret mendatang, di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK). Pasalnya, penyelenggaraan konser itu berdekatan dengan jadwal kualifikasi Piala Asia U-23. Para netizen menganggap GBK adalah stadion sepakbola, bukan untuk konser. Sukarno membangun GBK karena Federasi Asian Games menetapkan Jakarta sebagai tuan rumah Asian Games IV pada Agustus 1962. Syarat minimum yang harus dipenuhi tuan rumah adalah ketersediaan kompleks multiolahraga. Maka, Sukarno mengeluarkan Keppres No. 113/1959 tanggal 11 Mei 1959 tentang pembentukan Dewan Asian Games Indonesia (DAGI) yang dipimpin Menteri Olahraga Maladi. Sebagai insinyur teknik sipil, dan juga karena memiliki ambisi dan selera tinggi dalam proyek-proyek pembangunan, Sukarno tak tinggal diam. Dia turun tangan, mulai dari pemilihan tempat sampai perancangan. Awalnya Sukarno mengusulkan lokasi dekat Jalan MH Thamrin dan Menteng, yaitu kawasan Karet, Pejompongan, atau Dukuh Atas –usulan lain adalah kawasan Bendungan Hilir atau Rawamangun. Arsitek Frederik Silaban, yang mendampingi Sukarno meninjau lokasi melalui helikopter, tak menyarankan pemilihan Dukuh Atas karena akan memperparah kemacetan dan juga rawan banjir. Sukarno pun mengalihkan perhatian dan menetapkan kawasan Senayan seluas kurang lebih 300 hektar. Pilihan ini disetujui Frederik Silaban. Setelah diberikan pengertian dan ganti rugi, warga kampung Senayan sekira 60.000 jiwa dipindahkan ke perumahan baru di Tebet, Slipi, dan Ciledug. Pada 8 Februari 1960, Sukarno memancangkan tiang pertama proyek pembangunan GBK. Pemancangan tiang keseratus secara simbolis dilakukan Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev. “Sesuatu yang bisa dimaklumi oleh karena proyek pembangunan stadion tersebut memperoleh bantuan kredit lunak sebesar 12,5 juta dollar AS yang disediakan pemerintah Uni Soviet,” tulis Julius Pour dalam Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno . Sukarno meresmikan GBK, yang berdaya tampung 110.000 orang, pada 21 Juli 1962. Keunikan GBK yang dibanggakan Sukarno terletak pada atap temu gelang , yang dianggapnya sebagai yang pertama di dunia. Sukarno mendapat inspirasi atap temu gelang ketika melihat air mancur di halaman Museo Antropologia de Mexico di Mexico City. Sejak itu, Indonesia memiliki kompleks yang menyediakan beragam fasilitas: stadion utama untuk sepakbola, gedung dan lapangan berbagai cabang olahraga, gedung serbaguna untuk acara kesenian, dan berbagai fasilitas penunjang lainnya. Bahkan, agar kegiatan di kompleks GBK dapat disaksikan seluruh rakyat Indonesia, bersamaan dengan persemian GBK, diresmikan pula TVRI (Televisi Republik Indonesia). Untuk menghormati Sukarno, kompleks olahraga serbaguna tersebut dinamakan Gelora (Gelanggang Olahraga) Bung Karno. Namun, penguasa Orde Baru menggantinya menjadi Stadion Utama Senayan. Pada 2001 Presiden Abdurrahman Wahid mengembalikan nama Gelora Bung Karno. Kompleks GBK, bagi Sukarno, tidak hanya untuk keperluan olahraga, memupuk persaudaraan bangsa-bangsa di dunia melalui olahraga, tetapi juga memperkuat rasa kebangsaan. “Nah, aku sekarang bertanya kepada saudara-saudara sekalian, apakah engkau tidak bangga punya stadion seperti ini? Apakah engkau tidak bangga bahwa stadion yang hebat ini milik bangsa Indonesia?”*






















