Hasil pencarian
9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kisah Mistis Candi Borobudur
Pada masa Sunan Pakubuwono I bertakhta di Kartasura, muncul pemberontakan yang dipimpin Ki Mas Dana di daerah Enta-Enta. Sunan memerintahkan Bupati Mataram, Ki Jayawinata, untuk memadamkan pemberontakan itu. Namun, balatentaranya kewalahan dan mundur ke Kartasura. Jayawinata melaporkan peristiwa itu kepada sunan. Sunan kembali mengutus orang kepercayaannya. Kali ini Bupati Kartasura, Pangeran Pringgalaya, yang diperintahkan untuk mengurus pemberontakan itu. “Tangkap Ki Mas Dana hidup-hidup!” perintah Sunan. Pertempuran terjadi. Banyak korban bergelimpangan. Pemberontakan berhasil dipadamkan. Namun, Ki Mas Dana melarikan diri ke Bukit Borobudur. Pringgalaya mengejarnya hingga tertangkap dan dibawa ke hadapan sunan untuk menerima hukuman yang kejam. Kisah itu diceritakan dalam Babad Tanah Jawi yang ditulis pada abad ke-18. Di sana nama Borobudur disebut sebagai tempat pelarian. Filolog dan sejarawan seni asal Belanda, J.L.A Brandes, sebagaimana dikutip J.F. Scheltema dalam Monumental Java, me yakini Bukit Borobudur adalah Candi Borobudur yang ada di Magelang, Jawa Tengah. Karena tak ada lokasi lain yang punya nama semirip itu. Ini menjadi menarik karena kisah tentang Borobudur telah banyak berubah sejak masa keemasannya kala Dinasti Sailendra berkuasa. Awalnya, candi ini dibangun untuk beribadah umat Buddha. Bahkan sampai sekarang, 12 abad setelah masa pembangunan candi, Borobudur masih dianggap sebagai candi Buddha Mahayana terbesar di dunia. Ada beberapa asumsi mengenai nasib Candi Borobudur setelah pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno (Medang) yang menaungi pembangunannya, tak lagi melanjutkan pusat kekuasaannya di wilayah yang kini disebut Jawa Tengah. Sejak abad ke-10, rajanya, Mpu Sindok, memindahkan kerajaannya ke wilayah Jawa Timur sekarang. Ada beberapa pendapat soal alasan kepindahannya. Arkeolog Soekmono dalam Chandi Borobudur menyebutkan bahwa sangat mungkin Candi Borobudur ditinggalkan ketika pusat pemerintahan itu berpindah. Walaupun itu tak pernah benar-benar hilang dari memori masyarakatnya. “Kalau memang begitu, Candi Borobudur sudah ditinggalkan oleh penganutnya beberapa abad sebelum candi-candi di Jawa Timur,” katanya. Kendati pusat pemerintahan Jawa Tengah meredup setelah tahun 928, Borobudur tak sepenuhnya terabaikan. Buktinya keramik dan koin Tiongkok dari abad ke-11 dan ke-15 ditemukan di sana. Pun KakawinNagarakrtagama atau Desawarnana dari masa Majapahit menyebut para peziarah masih terus mengunjungi monumen itu. Meski memang kondisi bangunannya sudah tak terjaga dengan baik. Dalam karya Mpu Prapanca itu disebutkan salah satu bangunan suci Buddha bernama Budur. Sementara dalam tulisan Thomas Stamford Raffels, History of Java, disebutkan Candi Borobudur terdapat di Distrik Budur. “Demikianlah kasugatan kabajradharan (bangunan suci Buddha Bajradhara) adalah sebagai berikut… yang lainnya yaitu Budur, Wirun, Wungkulur, dan Mananggung, Watukura, Bajrasana, dan Pajambayan, Samalanten, Simapura, Tambak Laleyan, Pilanggu, Poh Aji, Wangkali, dan Beru, Lembah, Dalinan, Pangadwan, adalah daerah perdikan pertama yang ditetapkan,” catat Mpu Prapanca. Dari situ, ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti, dalam “Reinterpretasi Nama Candi Borobudur” termuat di Jurnal Amerta Vol 30. No. I, Juni 2018 , menyimpulkan bahwa Budur pada masa Majapahit masih dipergunakan sebagai nama bangunan suci Buddha. Candi itu baru benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitarnya beralih ke Islam pada abad ke-15. Seperti disebutkan Soekmono, perubahan kepercayaan tentu saja mengarah ke perubahan sikap masyarakat terhadap candi. Akibatnya, yang berkembang adalah takhayul di seputar reruntuhan candi yang tak jelas asal usulnya bagi penduduk. Alih-alih sebuah monumen Buddha, candi itu menjadi bukit yang strategis, tempat pemberontak melarikan diri, sebagaimana dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi . Kronik Jawa lainnya bahkan menganggap Candi Borobudur sebagai tempat yang angker. Babad Mataram mengisahkan Pangeran Mancanagara, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta, mengunjungi Borobudur untuk membuktikan bahwa orang yang mendatangi seribu arca akan mati. Ia lalu mendatangi kesatria yang terpenjara di dalam sangkar, yang ada di dalam bangunan itu. Kesatria yang terpenjara itu kemudian ditafsirkan sebagai arca Buddha di dalam stupa berterawang yang ada di Candi Borobudur. Singkat cerita, setelah tidak ada pertanda kepulangannya, raja pun memerintahkan pasukan untuk membawa pulang anaknya, hidup atau mati. “Pangeran itu ditemukan, tetapi ia muntah darah, lalu meninggal dunia,” kata Titi. Keberadaan Borobudur baru terungkap lagi setelah seorang Tionghoa, Tan Jin Sing melaporkan keberadaannya kepada Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles pada 1812. Seperti dikisahkan T.S. Werdoyo, salah seorang keturunan Tan Jin Sing, dalam biografi Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta , Tan Jin Sing diminta Raffles untuk mendatangi candi yang katanya terletak di dekat Muntilan itu. Saat sampai, bangunan candi terlihat menyedihkan. Paimin, warga desa yang diajak Tan Jin Sing sebagai penunjuk jalan mesti membabat semak belukar di sekeliling candi dengan parang. Tubuh candi pun ditumbuhi tanaman. Bagian bawahnya terkubur dalam tanah, sehingga candi itu seolah-olah berada di atas bukit. Pada 1850-an, hanya empat dekade setelah Borobudur disibak dari semak belukar, orang Jawa sekali lagi melakukan ritual di tempat itu. Menurut John Miksic dalam Borobudur: Golden Tales of the Buddhas , mereka membakar dupa dan membawa persembahan bunga ke hadapan arca Buddha di teras atas dan ke depan arca Buddha yang belum selesai dibuat. Mereka memulas patung-patung itu dengan bubuk beras yang secara tradisional dipakai oleh para wanita muda untuk mendandani diri mereka. “Para pengunjung ini datang untuk meminta anugerah, untuk mendapatkan perlindungan dari penyakit, untuk meminta berkah setelah pernikahan dan kepentingan domestik lainnya,” jelas Miksic. Mitos tentang arca di dalam sangkar yang membawa sial, pada masa ini justru sebaliknya. Ada keyakinan kalau salah satu arca di stupa berlubang di teras atas justru membawa keberuntungan bagi siapapun yang bisa menyentuhnya. Masyarakat menyebutnya dengan nama Kakek Bima, tokoh dalam kisah Pandawa lima dalam epos Hindu, Mahabarata. “Wanita tanpa anak khususnya mengulurkan jari mereka ke arahnya, percaya bahwa dengan melakukan itu mereka telah memuaskan Kakek Bima,” jelas Miksic. Candi Borobudur akhirnya mulai serius diurus ketika pemerintah kolonial Belanda membentuk Borobudur Comissie. Anggotanya J.L.A Brandes, Van de Kamer (insinyur konstruksi dari Departemen Pekerjaan Umum), dan Theodore van Erp (insinyur perwira militer). Mereka bertugas menyelamatkan dan melestarikan Borobudur. Van Erp memimpin pemugaran Candi Borobudur pada 1907-1911. Pemugaran berikutnya dilakukan pemerintah Indonesia dengan bantuan UNESCO pada 1973-1983. Hasilnya, kini Candi Borobudur berdiri dengan megah, disaksikan masyarakat dari seluruh dunia. Keangkerannya pun berangsur menghilang.
- Pulau Buru dalam Kenangan Penjelajah Prancis
KEJADIAN pilu itu akan terkenang sepanjang hidupnya. Terombang-ambing di atas kapal tanpa sedikitpun makanan menjadi derita teramat pedih Louis de Bougainville. Penjelajah Prancis tersebut harus berjuang melawan rasa lapar dan ganasnya ombak samudera selama berbulan-bulan. Sejatinya mereka akan menuju Batavia, sebelum melanjutkan perjalanan ke India. Namun kondisi angin membuat para pelaut ini kehilangan arah hingga akhirnya tiba di sebuah pulau, yang kemudian mereka sebut Boero (Buru). Bagi mereka Buru adalah surga. Surga yang tergapai setelah terjerat jurang neraka. Sekira pukul 10 malam pada suatu hari di bulan September 1768, pijar api dari Pulau Buru telah menyelamatkan Bougainville dan anak buahnya. Para awak terus mengikuti keberadaan cahaya tersebut sampai nampak sebuah daratan. Namun Si Kapten tidak buru-buru menurunkan jangkarnya. Ia tidak ingin kedatangan mereka malah mengusik pemilik pulau tersebut. Dalam catatan perjalanannya, A Voyage Round the World: Performed by Order of His Most Christian Majesty in the Years 1766-1769, Bougainville menyebut kalau ia telah mengetahui jika Belanda berkuasa di sana. Tetapi karena kekurangan informasi tentang situasi politik di Eropa, maka ia harus berhati-hati dalam membuat keputusan. Meski begitu, keadaan di atas kapal memaksa Bougainville untuk segera mencari bantuan. Semua orang sudah benar-benar kelaparan. Ditambah setengah anak buahnya membutuhkan perawatan medis akibat penyakit kulit yang mereka derita. “Setengah awak kapal kami sudah tidak bisa menjalankan tugas. Seandainya kami memaksa untuk tetap melaut selama delapan hari lebih lama, kami akan kehilangan sebagian besar awak kapal dan kami semua akan sakit,” tulis Bougainville. Sejak tengah malam, kata Bougainville, tercium bau yang amat harum dari arah pulau. Ia yakin aroma yang sangat menenangkan itu berasal dari tanaman aromatis yang berlimpah di Maluku. Sensasi wangi yang lama tidak mereka rasakan itu telah meninggalkan bekas di indera penciuman Si Kapten dan awak kapalnya. “Saya membebaskan setiap orang berimajinasi betapa situasi ini membuat Pantai Boero jadi terlihat begitu indah di mata kami… Saya hanya bisa merasakannya tapi tak mampu menjelaskannya,” kata Bougainville sebagimana dikutip George Miller dalam Indonesia Timur Tempo Doeloe 1544-1992 . Di tengah lamunannya, Bougainville dikejutkan dengan kedatangan dua perwira Belanda dari arah pulau. Mereka bertanya tujuan rombongan tersebut. Ia lalu menjelaskan kejadian yang telah menimpa mereka. Dalam sebuah surat, Bougainville meminta pejabat setempat memperbolehkan kapalnya merapat. Meski tahu perbuatannya itu melanggar aturan perdagangan antara VOC dan negaranya, bahwa hanya kapal milik VOC yang boleh berlabuh di seluruh wilayah Maluku, ia tetap harus menyelamatkan nyawa awak kapalnya. Awalnya ia tidak mendapat persetujuan dari Gubernur Ambon sebagai penanggungjawab atas Pulau Buru. Namun kepala daerah Buru saat itu, Henry Ouman, memberi pengecualian. Ia meminta Bougainville membuat surat penjamin, yang akan digunakan sebagai tanda masuk mereka di Buru. Sejak itu segala urusan Bougainville dan awak kapalnya, dijamin langsung oleh Ouman. “Dengan mudahnya ia menawarkan segala yang ia punya seakan-akan ingin memberikan semua yang kami butuhkan. Kendati kedatangan kami telah membawa aib baginya, ia tetap menyambut kami dengan sangat baik,” ucap Bougainville. Keramahan Ouman dan penduduk Buru membuat para pelaut Prancis ini terharu. Bahkan di dalam sebuah jamuan makan, para penduduk Buru hanya melihat Bougainville dan kawan-kawannya melahap habis makanan di hadapannya, yang bahkan terkesan rakus. Pemandangan itu pun semakin meyakinkan Ouman bahwa kondisi orang-orang Prancis ini sudah begitu gawat. “Seseorang agaknya harus menjadi pelaut dulu dan mengalami kondisi ekstrim seperti yang kami alami untuk memahami sensasi yang dirasakan orang-orang dalam kondisi seperti kami saat melihat makanan hijau dan segar melimpah di depan mata,” kata Bougainville. “Makan malam itu merupakan momen terindah dalam hidup saya.” Hari ke-3 di pulau Buru, Bougainville membawa turun awak kapalnya yang sakit agar bisa diberi perawatan. Ia pun telah mendapat izin untuk bekeliling pulau. Dan kesempatan itu dimanfaatkan anak buahnya untuk menghibur diri, melepaskan seluruh penderitaan yang beberapa saat lalu menghantui mereka. Bougainville memanfaatkan waktunya berbincang dengan Ouman. Sambil sesekali berburu rusa di hutan bersama sang tuan rumah. Baginya saat-saat itu sungguh menyenangkan. Seakan ia tidak ingin meninggalkan pulau yang indah tersebut. Namun Si Kapten sadar bahwa semakin lama ia tinggal di sana, maka posisi Ouman akan semakin sulit. Bougainville memutuskan untuk tinggal paling lama seminggu, sampai keperluannya menuju Batavia sudah terpenuhi semua. Dalam suatu kesempatan, Bougainville membuat kesepakatan dengan para pedagang Buru. Ia membeli sejumlah kebutuhan, seperti lembu, domba, unggas, beberapa karung beras, sedikit kacang-kacangan, telur, beberapa jenis buah, serta minuman. Hari ke-6 semua barang keperluan diangkut ke atas kapal. Bougainville dan rekan-rekannya mengadakan pesta untuk terakhir kalinya di pulau yang telah menyelamatkan hidup mereka tersebut. Hari ke-7, pagi-pagi sekali, para pelaut Prancis ini sudah siap berlayar. “Bahan pangan segar dan udara Boero yang menyegarkan telah banyak membantu awak kami yang sakit. Tinggal di daratan walaupun selama enam hari saja membuat kondisi mereka bisa cepat pulih atau setidaknya mencegah agar kesehatan mereka tidak memburuk,” ucap Bougainville.
- Pekik Merdeka di Ladang Huma
SEKIRA akhir September 1945, keluarga besar Presiden Sukarno sempat “mengungsi” ke Bogor. Kepindahan itu terjadi karena di Jakarta teror tentara Belanda mulai merajalela. Namun ketika di Bogor pun, Fatmawati Sukarno merasakan hal serupa. Dia tidak merasa betah dengan situasi revolusiener yang tengah melanda kota hujan itu. “Bung Karno dan aku pulang kembali ke Jakarta, tetapi Guntur dan nenek-kakeknya tetap tinggal di Bogor (Jalan Ciwaringin No.33), bersama keluarga Harun Kabir …” ujar Fatmawati dalam Catatan Kecil Bersama Bung Karno Bagian I . Hingga kini sosok Harun Kabir dikenal sebagai tokoh pejuang di Jawa Barat. Namanya tertabalkan di tiga kota: Bogor (Jalan Kapten Harun Kabir yang lalu berganti menjadi Jalan Taman Safari), Cianjur (Jalan Mayor Harun Kabir) dan Sukabumi (Jalan Kapten Harun Kabir). “Pak Harun itu dulu pernah menjadi komandan saya di Lasykar Ciwaringin 33,” ungkap Sukarna, lelaki kelahiran tahun 1921. Siapakah sebenarnya Harun Kabir? * Sejatinya Harun Kabir bukanlah berasal dari Bogor, Cianjur atau Sukabumi, seperti banyak diyakini oleh beberapa peneliti sejarah. Aslinya dia adalah menak Bandung dan putra tunggal dari Raden Kabir Natakusumah, keturunan langsung dari Bupati Bandung ke-5 Raden Wiranatakusumah I (1769-1794). “Ayah saya lahir di Kapatihan pada 5 Desember 1910…” ungkap almarhum Hetty Kabir (putri ke-2 pasangan Harun Kabir-R.A. Soekrati) yang saya wawancarai pada 2014. Menjelang pemerintah Hindia Belanda runtuh, Harun Kabir menjabat sebagai Asisten Residen Bogor. Ketika militer Jepang berkuasa (1942—1945), dia ditempatkan sebagai pejabat di Zaimubu (Departemen Keuangan), Jakarta. Pasca proklamasi 17 Agustus 1945, Harun lantas mendirikan Lasykar Ciwaringin 33 yang memakai rumahnya sebagai markas besar. Pada awal 1946, Lasykar Ciwaringin 33 dilebur ke dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa karya Dinas Sejarah Kodam III, beberapa bulan kemudian, Divisi Siliwangi mendapuk Harun Kabir sebagai Kepala Staf Brigade Surjakantjana, dengan pangkat mayor. Namun kemudian karena ada pembenahan struktur dari Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta, semua pangkat perwira diturunkan menjadi satu tingkat. Harun pun turun pangkat menjadi kapten. Sebagai kepala staf brigade yang membawahi Bogor, Cianjur dan Sukabumi, mobilitas Kapten Harun begitu tinggi. Kendati awalnya dari dunia sipil, Kapten Harun dikenal sebagai sosok perwira yang sangat disiplin dan loyal kepada Republik. “Harun Kabir adalah perwira yang sangat cakap…” ujar Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi, eks Komandan Brigade Surjakantjana Divisi Siliwangi (1946-1947). Kesaksian soal itu terlontar pula dari mulut Hetty Kabir. Dia masih ingat bagaimana sang ayah sering jarang pulang ke rumah karena selain sibuk bertugas juga menghindari pengawasan intelijen militer Belanda. “Ayah memang menjadi incaran tentara Belanda. Begitu kritisnya situasi itu, hingga kami harus diungsikan ke rumah kerabat di Garut ” kenang perempuan kelahiran tahun 1936 itu. * Pertengahan Juli 1947, militer Belanda melancarkan agresi pertamanya ke wilayah Republik. Soekrati dan ketiga putri-nya: Tina (12), Hetty (11) dan Joyce (4), tengah dalam perjalanan ke Banten (tempat sanak keluarga Soekarti) ketika pasukan kavaleri Belanda merangsek ke Sukabumi. Karena mendengar Harun sedang ada di Perkebunan Teh Bunga Melur, mereka pun menuju ke perkebunan yang ada di Desa Takokak (selatan Cianjur) itu. Tiba di Bunga Melur, mereka akhirnya bersua dengan Harun. Suatu pertemuan yang mengharukan pun terjadi namun tidak lama karena Kapten Harun saat itu tengah melakukan rapat koordinasi dengan Letnan Kolonel Eddie Soekardi dan Mayor A.E. Kawilarang (Komandan Resimen Bogor). Saat itulah tetiba pesawat tempur Angkatan Udara Kerajaan Belanda datang dan menembaki tempat rapat para perwira Siliwangi. “Semuanya menjadi panik, kami berlindung ke kebun-kebun dan hutan-hutan,” ujar Hetty. Namun Kapten Harun sempat menemui istri dan anak-anaknya. Dengan berat hati, dia meminta mereka untuk tidak meneruskan perjalanan ke Banten. Harun menyarankan agar Soekrati, Tina, Hetty dan Joyce mengikuti Lurah Bisri Artawinita (Lurah Takokak) yang sudah dia minta mencarikan tempat buat mereka. Soekrati setuju. “Setelah memeluk dan menciumi kami satu persatu, ayah lalu berlari menuju medan pertempuran bersama yang lain,” kenang Hetty. Selanjutnya, keempat Soekrati, Tina, Hetty dan Joyce bergabung dengan warga desa dan malam itu juga meninggalkan Bunga Melur menuju Cioray (sebuah kampung yang dinilai masih aman). Masih segar dalam ingatan Hetty, sepanjang jalan ia melihat rumah-rumah penduduk terbakar akibat bombardemen militer Belanda. Dalam kondisi gelap, mereka pun harus hati-hati melewati jembatan-jembatan yang sudah dirusak oleh TNI. Menjelang tengah malam, sampailah rombongan pengungsi ke Cioray. Di sana, Soekrati dan ketiga putrinya sudah ditunggu oleh Harun. Karena alasan kemananan, mereka ditempatkan tersendiri oleh Lurah Bisri di sebuah dataran tinggi, tempat para penduduk berladang huma. “Kami mendiami sebuah gubuk agak besar yang sekelilingnya ditumbuhi pepohonan,”kata Hetty. * Selama di bukit itu, Harun relatif bisa mengunjungi keluarganya secara rutin. Jika tidak sedang memimpin pasukan atau melaksanakan tugas penting, dia pasti meluangkan waktu untuk menginap di gubuk itu: bercengkarama dengan keempat perempuan yang sangat dicintainya. Rabu malam, 12 November 1947, pintu gubuk tetiba diketuk. Begitu dibuka, masuklah Harun dengan dipopong oleh kedua pengawalnya: Letnan Dua Arifin Tisnaatmidjaja dan Sersan Mayor Soekardi. Rupanya malaria-nya yang didapnya kambuh. Setelah istirahat dan melewati masa kritis, Harun lalu menyampaikan kabar bahwa besok pagi dia harus menemui Mayor A.E. Kawilarang dan Mayor R.A. Kosasih untuk suatu tugas ke MBT Yogyakarta. “Sepeninggalnya, ayah meminta ibu dan kami untuk tidak lagi tinggal di gubuk itu dan bergabung saja dengan para pengungsi lain di kampung,” kenang Hetty. Soekrati mengiyakan. Beberapa saat kemudian, diiringi merdunya simponi serangga hutan, mereka pun tertidur. Sekira jam 4 dini hari, dari luar gubuk, tetiba terdengar suara derap sepatu lars dan teriakan dalam bahasa Belanda. Sadar bahwa dirinya sudah terkepung oleh musuh, Harun lalu bergegas memakai seragamnya. Hetty masih ingat, Soekrati terlihat sangat khawatir. Namun Harun cepat menenangkannya. Usai memakai seragam lengkap, seperti biasa, Harun memeluk dan menciumi satu persatu perempuan-perempuan yang dicintainya itu. “Saat itu, saya merasakan detik-detik perpisahan selamanya dengan ayah…” kenang Hetty. Air matanya menetes. Tak lama kemudian, sebuah seruan keras menyuruh para penghuni gubuk untuk keluar. Dengan tenang, Harun membuka pintu gubuk, seraya tangannya digandeng oleh Soekrati yang menggendong si kecil Joyce. Sementara di belakang mereka,Tina dan Hetty masing-masing tangannya dipegang oleh Letnan Arifin dan Sersan Soekardi. Seorang sersan Belanda berpakaian tempur lengkap mendekat sambil membawa senter dan pistol. “Kapitein Harun Kabir?!” teriaknya. “Benar!” jawab Harun. Ada nada ketenangan di dalamnya. Sang Sersan bule itu lantas memerintahkan Harun dan dua pengawalnya untuk memisahkan diri. Ketiganya dibariskan namun dalam posisi berhadapan (sekira 3 meter) dengan Soekrati, Tina, Hetty dan Joyce. Sambil memandang keempatnya, Harun masih sempat memainkan senyum dan membisikkan kata-kata: “Kuatlah! Jangan takut! Ada Allah…” “Rechtsomkerrrr !!!” teriak Sang Sersan. Ketiganya lalu membalik. “Mars!” Seiring kata “jalan” itu, tetiba serentetan tembakan terdengar. Peluru-peluru tajam itu kemudian menghatam tubuh ketiga patriot Republik itu sekaligus mengakhiri hidup mereka. Sebelum menghembuskan nafas yang terakhirnya, Harun masih sempat berteriak “merdeka”. Soekrati tercekat, keempat putrinya terisak. Hening kemudian. Asap mesiu mengepul, menusukan baunya yang mengotori udara sejuk pagi itu. Usai memastikan ketiganya tak bernyawa, Sang Sersan lalu melangkah ke arah Soekrati. Dalam nada lembut, dia kemudian berkata dalam bahasa Belanda: “Nyonya, maafkan kami. Ini dalam situasi perang. Suami nyonya membunuh tentara kami untuk bangsa dan negaranya, kami pun terpaksa membunuhnya demi bangsa dan negara kami. Harap Nyonya mengerti…” “Ya, saya mengerti,” kata Soekrati dalam nada tenang,”Saya hanya minta tolong kepada Sersan untuk mengangkat jenazah-jenazah itu ke dalam gubuk agar tidak didatangi binatang-binatang buas yang ada di sekitar tempat ini.” Permintaan itu diiyakan. Usai melaksanakan permintaan Soekrati, tentara-tentara itu pun pergi. Sepeninggal mereka, Soekrati seraya menggendong Joyce bergegas menuju kampung untuk meminta bantuan. Sementara Tina dan Hetty diminta ibunya untuk menunggu jenazah-jenazah itu. “Kamu bisa bayangkan, bagaimana perasaan saya dan Tina harus menunggui tubuh kaku ayah saya yang beberapa jam sebelumnya baru saja memeluk dan mencium kami?”kata Hetty kepada saya 5 tahun yang lalu. * Atas bantuan penduduk kampung, jasad-jasad itu kemudian dimakamkan di halaman gubuk. Pada 1963, jasad mereka yang sudah menjadi kerangka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Cianjur. Adhie Kabir (64) masih ingat saat dikeluarkan dari bumi, sebuah cincin perak masih tersemat di tulang jari manis Kapten Harun Kabir. “Ada ukiran HK di badan cincin itu,” kenang salah satu cucu dari Harun Kabir itu. Beberapa tahun kemudian, keluarga besar kemudian memutuskan untuk kembali memindahkan kerangka Harun Kabir ke samping makam Raden Abung Kabir Natakusumah di Ciandam, Sukabumi. Menurut Hetty, itu dilakukan karena saat hidup, Harun pernah berpesan agar jika meninggal kelak, ia ingin jasadnya disandingkan dengan jasad ayahnya tercinta.
- Sang Konglomerat dan Pelukis Rakyat
Ciputra, salah satu pengusaha ternama Indonesia telah berpulang. Chairman dan pendiri Ciputra Grup itu meninggal dunia pada 27 November 2019 pukul 01.05 waktu Singapura dalam usia 88 tahun. Ciputra lahir dengan nama Tjie Tjin Hoan di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, pada 24 Agustus 1931. Selain sebagai pengusaha, dia juga dikenal karena kecintaannya pada karya seni terutama seni rupa. Ia mengklaim banyak properti maupun proyek bisnisnya yang mendapat sentuhan seni. “Di hampir semua proyek berlabel Ciputra, bisa saya pastikan ada getaran seni yang saya alirkan di antara perhitungan-perhitungan terkait bisnis,” ujarnya dalam Ciputra The Entrepreneur. Seni telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia merasa bahwa seni tidak dapat ditinggalkan di tengah kesibukan bisnis maupun pekerjaan lain. “Seni juga membantu saya menajamkan intuisi. Sebetulnya saya tidak akan pernah seutuhnya jadi pebisnis murni, karena di dalam diri saya mengalir jiwa seni yang bebas,” katanya. Pada pertengahan dasawarsa 1960-an, ketika berkunjung ke rumah kerabatnya di Jakarta Barat, Ciputra terpana oleh sebuah lukisan yang terpasang di dinding ruang tamu. “Mata saya tidak berkedip saat menatap lukisan itu,” ungkapnya. Lukisan itu begitu menyihir Ciputra. Ia menyebut lukisan itu sangat atraktif, warnanya berani, dan anatomi manusianya juga begitu berkarakter. Rupanya, lukisan yang memikatnya itu adalah karya Hendra Gunawan, sang pelukis rakyat. Sejak itu, Ciputra mulai membeli beberapa lukisan karya Hendra Gunawan. Kemudian pada satu acara seni, ia berkenalan dengan sang pelukis. Mereka berbincang soal lukisan dan dari situ pula ia merasa Hendra sangat idealis. Mereka kemudian sering bertemu dan Ciputra selalu membeli lukisan Hendra. Ia juga telah menganggap Hendra sebagai sahabatnya. “Lukisannya dahsyat. Obyeknya kebanyakan adalah manusia, dan banyak menampilkan perempuan dalam anatomi yang khas, sensual dan hidup. Lukisannya memiliki goresan kuas dan warna yang sangat berani. Ekspresif dan hidup,” sebutnya. Pasca tragedi 1965, hubungan Ciputra dan Hendra sempat terputus. Karena terlibat dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Hendra dipenjara rezim Orde Baru selama 13 tahun (1965-1978). Setelah bebas pada 1978, Hendra pindah ke Bali. Pada 1983, Ciputra baru sempat mengunjungi Hendra di Bali. Ia begitu terkejut mendapati Hendra sedang terbaring sakit di rumahnya yang sederhana. Ia juga baru mengetahui bahwa di rumah itu tidak ada satupun lukisan Hendra. 30 lukisan Hendra dijadikan jaminan atas pinjaman uang di bank. Ciputra pun lalu meminjamkan uang untuk menebus lukisan-lukisan Hendra. Namun, tiga hari berselang, Hendra meninggal dunia. Untuk membantu perekonomian keluarga Hendra, Ciputra berinisiatif membawa 30 lukisan Hendra yang sebelumnya telah ditebus, untuk dipamerkan di Pasar Seni Jaya Ancol. Namun, hanya dua lukisan yang terjual. Ciputralah yang akhirnya membeli 28 lukisan lainnya. Sejak itu jumlah lukisan Hendra yang dikoleksi Ciputra semakin banyak. “Sejumlah lukisan ada di tangan orang lain. Yang bisa saya beli akan saya beli. Saya menyimpannya dengan baik di rumah khusus, dan juga saya pamerkan di dinding rumah kami,” ungkapnya. Tak hanya sampai di situ, Ciputra juga mengurus izin dari keluarga Hendra agar lukisan-lukisan itu bisa diabadikan dalam bentuk patung dan lukisan yang diperbesar untuk dekorasi properti. Proyek menerjemahkan lukisan Hendra ke dalam seni patung itu dibantu oleh perupa bernama Munir. “Saya turut memoles patung-patung karya Munir sebagai bagian dari ekspresi seni saya yang telah mengenali jiwa Hendra Gunawan,” terangnya. Ciputra juga mengaku sangat mencintai figur-figur yang ada dalam lukisan-lukisan Hendra. “Saya seolah ingin menghidupkannya. Satu-satunya jalan, ya lewat patung. Tidak mungkin toh, menghidupkan jadi manusia?" kata Ciputra dalam majalah Gatra , 30 Desember 1996. Ciputra memoles patung tokoh-tokoh dalam lukisan Hendra Gunawan. (Repro Perekonomian Indonesia Memasuki Milenium Ketiga ). Namun, hal itu malah menjadi alasan pencurian lukisan Hendra Gunawan di Taman Ismail Marzuki (TIM). Saat itu Lukisan Hendra Gunawan berjudul Aku dan Karmini di Lonceng Kedua koleksi TIM hampir dicuri. Agus Dermawan T dalam Bukit-Bukit Perhatian dari Seniman Politik, Lukisan Palsu sampai Kosmologi Bung Karno menyebut si pencuri masuk ke dalam gedung koleksi di malam hari, mencopot spanram lukisan dan menggulungnya. Usaha itu digagalkan penjaga malam, namun si pencuri telah menginjak-injak lukisan itu hingga rusak. Menurut si pencuri, tindakan itu merupakan protes atas usaha Ciputra menggubah patung-patung berdasarkan lukisan Hendra. “Tentu saja alasan tak masuk akal ini tidak didengar orang. Walaupun akhirnya (atau anehnya) si pencuri dibebaskan,” ungkap Agus. Ciputra dianggap terlalu obsesif dan ingin menguasai karya Hendra. Namun, ia mengaku mengoleksi lukisan Hendra karena merasa mengenal jiwa lukisan tersebut. Ia juga mendukung pandangan bahwa karya seni anak bangsa hendaknya bisa disimpan di tanah air, bukan diboyong ke luar negeri. Menurutnya, Hendra berharap orang-orang seperti Ciputra terus mengapresiasi dan melindungi karya-karya itu. “Saya memegang harapan itu dalam bentuk komitmen, saya akan mengoleksinya dan tidak akan pernah menjualnya. Tapi saya akan memamerkannya agar masyarakat luar bisa menikmatinya,” ujarnya. Pada saat krisis ekonomi 1998, aset-aset Ciputra banyak yang dijual. Namun, lukisan-lukisan Hendra pantang ia jual. “Bagi saya, karya seninya begitu berharga, priceless , dan tak boleh dijual hanya karena butuh uang. TIdak. Karya Hendra akan aman di pelukan saya,” katanya. Menurutnya, sikap seperti itu merupakan tanggung jawab seorang kolektor untuk menjaga karya seni anak bangsa. Ia juga menyayangkan banyak lukisan Indonesia yang memiliki nilai sejarah berada di luar negeri. “Saya sedih ada lukisan terbaik Hendra Gunawan yang dilelang di Hongkong dan akhirnya dimiliki oleh seorang kolektor Taiwan. Sejumlah lukisan Hendra Gunawan yang lain juga beredar di luar negeri,” sebutnya. Pada 31 Agustus 2001, Ciputra meluncurkan buku khusus koleksi Hendra Gunawan. “Hendra pelukis kebanggan Indonesia. Sekaligus juga sumbangsih bagi dunia seni lukis Indonesia. Penjualan juga diperuntukan bagi pendidikan keluarga Hendra Gunawan dan juga dialokasikan untuk Institut Seni Indonesia Yogyakarta,” sebut Ciputra dalam Sisi Lain Ciputra. Pada 2015, Ciputra membuat museum untuk lukisan-lukisan Hendra Gunawan. Ia mendirikan Ciputra Artpreneur di superblok Ciputra World. Ciputra Artpreneur merupakan arena seni yang terdiri atas ruang pameran, Ciputra Museum, Art Show, dan Ciputra Theater. Museum khusus lukisan Hendra Gunawan sendiri memiliki 32 lukisan dan 18 sketsa karya Hendra. Sementara itu, masih terdapat puluhan karya Hendra di rumah dan properti-properti milik Ciputra. “Kekaguman saya pada Hendra Gunawan sungguh membahana. Sekujur rumah saya dipenuhi lukisan karyanya. Juga hotel dan gedung kantor Ciputra Group,” ungkapnya. Pada 2018, untuk mengenang 100 tahun Hendra Gunawan, Ciputra Artpreneur menggelar dua pameran. Pameran Prisoner of Hope yang juga menjadi tema baru pameran tetap menampilkan karya-karya Hendra ketika dipenjara. Sementara itu, Spektrum Hendra Gunawan merupakan tribute dari 70 seniman kontemporer untuk merefleksikan karya-karya sang pelukis rakyat.
- Nostalgia Emas SEA Games di Manila
SUDAH 28 tahun medali emas sepakbola SEA Games tak pernah “mampir” ke timnas Indonesia lagi. Sejak Indonesia ikut pesta olahraga se-ASEAN itu pada 1977, Indonesia baru dua kali memetiknya, yakni tahun 1987 di Jakarta dan 1991 di Manila. Apakah prestasi itu bisa diulangi di kota yang sama? Di SEA Games ke-30 di Filipina, timnas U-23 Indonesia tergabung di Grup B. Lawannya tak main-main: Laos, Singapura, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Thailand. Tim terakhir jadi lawan perdana, Selasa (26/11/2019) sore. Lewat laga di Rizal Memorial Stadium, Manila itu asa penggila bola tanah air terbuka setelah Indonesia menekuk Thailand, tim level Asia, 2-0. Timnas U-23 bakal memikul beban berat di pundak mengingat babak belurnya senior mereka di pra-Piala Dunia. Ketum PSSI baru, Mochamad Iriawan, datang ke penginapan tim pada Senin (25/11/2019) dan menitipkan motivasi pada skuad asuhan Indra Sjafri. “Saya ingin pemain tampil maksimal. Mari kita berjuang untuk mendapatkan hasil terbaik. Dengan usaha, kerja keras, dan doa, kita yakin bisa,” seru jenderal polisi yang akrab disapa Iwan Bule itu, dikutip situs PSSI , Senin (25/11/2019). Nostalgia Manila Seperti diungkapkan di atas, sudah hampir tiga dekade sejak terakhir kali emas SEA Games dipetik Indonesia. Menariknya, emas itu diraih di ibukota Filipina. Saat itu timnas dikomando manajer IGK Manila dan pelatih Anatoli Fyodorich Polosin asal Rusia. Dalam biografi Manila yang ditulis duet jurnalis Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso, IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara , disebutkan persiapan timnas digenjot dalam empat bulan sebelum SEA Games, 24 November-3 Desember 1991. Sebanyak 18 pemain terbaik akhirnya dipilih dari 57 pemain yang turut dalam seleksi. Sebagai suntikan semangat di awal kepemimpinannya sebagai manajer menggantikan Acub Zainal, Manila menawarkan program asupan nutrisi lebih baik. Selain itu, para pemain juga diganjar gaji Rp350 ribu per bulan dan THR Lebaran Rp500 ribu per pemain. Sementara, pelatih Polosin masih di tahap pengenalan dengan gaya para pemainnya sehingga belum menggeber pola latihan yang sesungguhnya. Sempat muncul kendala kiper utama Edy Harto nyaris tak bisa bergabung lantaran klubnya, Krama Yudha Tiga Berlian, enggan melepaskannya demi Piala Winners Asia. “Waktu itu sebenarnya ada komunikasi yang kurang baik antara pengurus PSSI dengan Pak Syarnoebi Said, pemilik KTB. Setelah (komunikasi) diperbaiki, Edy bisa masuk tim,” ungkap Manila. Timnas lantas menjalani dua ujicoba, yakni tur ke Hong Kong dan Piala Presiden di Seoul. Hasilnya? Jeblok. Musababnya pada laga di Seoul, Manila ambil keputusan mencoret nama Ricky Yakob. Keputusan Manila itu mendapat tentangan dari Ketum PSSI Kardono. Kardono heran kenapa pilar penting itu bisa sampai dicoret Manila. Keputusan Manila jelas menambah beban di pundak Kardono yang di pengujung masa jabatan keduanya itu diberi misi khusus oleh Presiden Soeharto. Dalam Selamat Jalan Pak Harto: Dokumen Kepergian Pemimpin Bangsa , Soegiono M.P. menyatakan Kardono mestinya sudah lepas jabatan pasca-timnas Indonesia meraih emas SEA Games 1987. Namun, Soeharto belum berkenan Kardono meninggalkan PSSI. “Prestasi itu (emas SEA Games 1987, red .) cukup menjadi alasan Soeharto memperpanjang masa jabatan Kardono. Ternyata keinginan Soeharto untuk mempertahankan Kardono satu periode lagi, empat tahun ke depan, juga disepakati Kongres PSSI,” sebut Soegiono. Namun Manila bergeming. Ia teguh pada keputusannya dan bahkan mengancam mundur jika Kardono memaksanya kembali memasukkan Ricky Yakob ke tim. “Saya tidak melamar posisi manajer tim. Tapi saya bekerja sungguh-sungguh. Nama saya dan bapak dipertaruhkan. Saya tidak main-main,” tutur Manila pada Kardono. Kombinasi Shadow Football dan Latihan Militer Ricky Yakob bukan satu-satunya bintang Indonesia nan tengah bersinar yang bakal terpental dari seleksi Manila dan Polosin. Gelandang/sayap Mustaqim terdepak dari tim karena cedera. Fachri Husaini dan Jaya Hartono juga angkat koper sepulang dari ujicoba di Hong Kong dan Seoul. Keduanya protes terhadap pola latihan Polosin yang mulai menggenjot fisik pemain dengan beragam latihan ekstrem dan pola latihan “Shadow Football”. Fachri dan Jaya merajuk lantaran latihannya lebih mirip latihan militer ketimbang latihan sepakbola. Protes itu sontak membuat Manila geram. “Kalau kalian ragu, silakan tinggalkan tim,” katanya. Dari sisa tiga bulan masa persiapan SEA Games, dua bulan di antaranya digunakan Polosin untuk menggenjot latihan shadow football . Porsi latihan pun ditambah dari biasanya dua kali sehari menjadi tiga kali sehari. Pola latihan itu diterapkan selalu tanpa bola. “Bola imajiner ditunjuk pelatih. Ke mana tangan menunjuk, ke sana pemain harus bergerak. Metode ini juga diterapkan di pantai dan kolam renang,” ungkap Hardy dan Edy. Tak jarang IGK Manila turun langsung menemani sesi latihan timnas jelang SEA Games 1991 (Foto: Repro "IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara) Metode itu dilanjutkan dengan latihan bermain tanpa arahan Polosin. Asistennya, Urin, ditugasi mencatat hitungan sentuhan bola per pemain. Polosin menekankan pentingnya sentuhan bola dan memonitor pemain mana saja yang malas mengejar bola. Gaya macam ini kembali bikin sejumlah pemain “terpental” dari tim. Kini giliran Mecky Tata, Singgih Pitono, Eryono Kasiba, dan Ansyari Lubis yang terpental. Keempatnya dicoret lantaran tak tahan dikuras fisik lewat pelatihan ala militer pada sebulan terakhir. Latihan ala militer itu dilakukan Manila dengan mengirim tim ke Pusdik POM Cimahi untuk dilatih lebih keras. Latihan fisik ditambah lari jarak jauh naik-turun bukit dan gunung. Latihan berat itu membuat banyak pemain keteteran. “Sudirman sampai mulas-mulas dengan latihan tersebut. Terpaksa ketika berlari, Sudirman buang hajat di rerumputan bukit. Sudirman akhirnya mengaku dirinya mencret selama digojlok Polosin,” tulis Hardy dan Edy. Dari latihan ekstra berat sebulan penuh itu terpilihlah 18 anggota skuad SEA Games yang diragukan banyak pihak lantaran tak diperkuat sejumlah pemain bintang. Di mistar gawang ada Edy Harto dan Erick Ibrahim. Beknya Robby Darwis, Ferril Hattu (kapten), Sudirman, Aji Santoso, Salahuddi Abdul Rachman, Herry Setyawan. Lini tengah diisi Toyo Hartono, Maman Suryaman, Heriansyah, Kashartadi, dan Yusuf Ekodono. Barisan depannya Widodo Cahyono Putro, Peri Sandria, Hanafing, Rochi Putiray, dan Bambang Nurdiansyah. Bambang jadi yang tertua di tim, berusia 32 tahun. Ia dimasukkan terakhir atas permintaan Manila sehingga tak digojlok sebagaimana para juniornya. Manila punya “misi” lain mengikutsertakannya. Jelang keberangkatan, muncul keluhan sejumlah pemain soal rupiah. Diwakili kapten tim Ferril Hattu, mereka menyatakan kerisauan soal iming-iming bonus. Tim dijanjikan bonus Rp3 juta, padahal di SEA Games 1989 mereka diguyur bonus Rp1,5 juta per pemain setiap kali menang. Manila pun menyikapinya dengan kepala dingin. Kendati terkesan “mata duitan”, Manila sadar “neraka” seperti apa yang sudah mereka alami demi bisa lolos seleksi sejak April hingga November 1991. Oleh karena itu Manila lalu mendatangi jajaran pengurus PSSI Kardono dan pemilik klub Arseto Sigit Harjojudanto. “Saya juga ikut dimintai uang, harus patungan,” ujar Sekjen PSSI Nugraha Besoes, dikutip Hardy dan Edy. Setelah “modal” dianggap cukup, Manila menjanjikan bonus yang lebih baik. Jelang laga pembuka Grup B kontra Malaysia, 26 November 1991, Manila mengiming-imingi bonus USD100 per pemain (kurs 1991, 1USD=Rp1.900). Hasil Tak Mengkhianati Kerja Keras Kerja keras tim dan iming-iming bonus menggiurkan membuat para pemain seperti “kesetanan”. Dari empat laga di Grup B, Indonesia tak pernah kalah. Malaysia, Vietnam, dan tuan rumah Filipina dibuat tak berdaya. Di semifinal dan final, Indonesia baru mendapat ujian sesungguhnya. Di semifinal, 2 Desember 1991, Singapura sudah menunggu. Singapura sarat pemain berpengalaman dengan skill di atas rata-rata pemain Indonesia. Namun Indonesia unggul fisik dan disiplin. Alhasil dari dua babak, kedua tim bermain sama kuat tanpa gol. Pun dengan dua babak perpanjangan waktu, hingga pemenang mesti ditentukan lewat adu penalti. Dewi fortuna akhirnya memihak tim garuda, menang 4-2 di babak tos-tosan. Publik Singapura menangis. The Strait Times 3 Desember 1991 sampai menurunkan judul di halaman mukanya “ Penalty shoot-out agony for Lions ”. Di final yang dimainkan di Rizal Memorial Stadium, 4 November, Indonesia menghadapi Thailand. Ferril Hattu cs. Kembali menahan lawan tanpa gol di dua babak dan perpanjangan waktu. Publik tanah air yang menyaksikannya lewat TVRI , berharap kembali dihampiri dewi fortuna. Timnas saat perayaan emas SEA Games 1991 (Foto: Repro "IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara) Drama adu penalti itu amat mendebarkan. Saat kedudukan sudah 3-3, Polosin menunjuk Sudirman untuk jadi penentu. “Sudirman baru 21 tahun. Tapi ia punya mental dan karakter yang tegas. Teman-temannya menjuluki dia jenderal, seperti nama Jenderal Besar Sudirman di masa revolusi,” sambung Hardy dan Edy. Sementara, Manila punya cara lain untuk menyuntik spirit para pemain. Manila memperlihatkan batu aji yang dikalunginya lalu memerintahkan semua pemain menyentuh batu yang disebutnya bertuah itu. Para pemain manut . Manila lalu komat-kamit dan membakar semangat dengan seruan “Indonesia Juara.” “Padahal (komat-kamit) itu cuma acting ,” kata Manila mengenang. Yang pasti, hasilnya sepakan Sudirman merobek jala gawang Thailand. Skor akhir 4-3. Indonesia pun menyempurnakan posisi juara umum SEA Games dengan tambahan satu emas di cabang paling bergengsi. Saat para pemain dan ofisial bereuforia, Manila menangis saking bahagianya. Sepulangnya ke Jakarta, tim dijamu Presiden Soeharto di kediamannya, Jalan Cendana. Para pemain diganjar bonus US$2.000 per kepala. Manila pun lantas melepas jabatannya dan kembali bertugas di CPM.*
- Motif di Balik Pembangunan Candi Borobudur
Negeri Jawa dulu pasti punya sumber daya manusia yang melimpah untuk mengangkut, menyusun, dan memahat batu dengan terampil. Sumber daya pertanian berkecukupan untuk menyediakan pangan bagi para pekerja. Mereka juga pasti memiliki institusi yang terorganisir untuk mengawal pembangunan ambisius seperti Candi Borobudur. Melihat candi megah di Magelang, Jawa Tengah itu, terbayang kondisi ekonomi Jawa pada masanya telah surplus. Sehingga bisa membiayai pembangunan yang begitu besar bahkan tak memberi keuntungan ekonomi langsung. Lalu apa motivasi di balik pembangunan Candi Borobudur? Ide Borobudur John Miksic, peneliti dari Southeast Asian Studies Department, National University of Singapore dalam Borobudur: Golden Tales of the Buddhas , menjelaskan Candi Borobudur lahir ketika agama Buddha tidak dalam keadaan tenang dan stabil. Sebaliknya, masa itu adalah periode kebangkitan intelektual yang intens. Selama abad ke-7 dan ke-8, peziarah Buddha yang berlayar melalui Indonesia semakin meningkat. Catatan yang ditinggalkan mereka men yebutkan bahwa Jawa dan Sumatra merupakan dua di antara pusat pendidikan Buddhis internasional selama periode itu. Dalam catatan mereka, tertera gambaran yang jelas tentang kegiatan penganut Buddha di pulau-pulau ini. Salah satunya tergambar dalamcatatan Yijing atau I-Tsing, biksu Tiongkok yang mengunjungi Nusantara pada abad ke-7.Pada Desember 671, ia berlayar dari Kanton dan mampir di pelabuhan milik Sriwijaya di Sumatra. Di sana, ia menghabiskan enam bulan mempelajari bahasa Sanskerta. Dari sana ia berlayar ke India menggunakan kapal milik penguasa Sriwijaya. Di India, dia menghabiskan waktu 15 tahun belajar dan mengumpulkan kitab Buddha. Dalam pelayarannya pulang ke Tiongkok, ia kembali mampir di Sriwijaya pada 686. “Yijing melaporkan bahwa para biksu dari Sichuan dan Tonkin pergi ke Jawa untuk belajar di bawah bimbingan seorang guru India yang terkenal,” tulis Miksic. Kemudian ada Vajrabodhi, salah seorang pemikir Buddhis terpenting dari abad ke-8 yang lahir di Kanci, India Selatan pada sekira 706. Ia mempelajari dan mungkin merevisi dua teks, Mahavairocana dan Vajrasekhara . Keduanya sangat penting di Jawa. Ceritanya, sewaktu muda Vajrabodhi menerima instruksi supranatural untuk menyebarkan teks-teks itu ke Tiongkok. Dia berlayar ke Sumatra pada 717 dan melanjutkan ke Jawa. Dia masih berada di Jawa pada 718 ketika bertemu dengan seorang biksu Sri Lanka berusia 14 tahun bernama Amoghavajra. Amoghavajra yang datang ke Jawa dalam kunjungan dagang dengan pamannya. Ia kemudian menjadi murid Vajrabodhi dan menemaninya ke Tiongkok pada 719.Di Tiongkok, mereka menetap sampai kematian Vajrabodhi pada 741. Amoghavajra kemudian melakukan perjalanan lagi ke Jawa. Ia mengumpulkan tulisan suci baru untuk dibawa kembali ke Tiongkok dan diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa. Murid-murid di sana tertarik padanya. Salah satunya Huiguo (746-805) yang kemudian melanjutkan ajarannya.Di antara murid-muridnyaada yang berasal dari Jawa. “Berkat kontak budaya yang dipupuk oleh para peziarah semacam itu, agama Buddha menikmati periode popularitas yang singkat tapi intens di Jawa Tengah,” jelas Miksic. Umat Buddha, khususnya di Nusantara, kala itu begitu menghormati para guru yang membawa teori dan metode ajaran baru. Dari setiap guru dan setiap negeri yang mengembangkan metode ajaran baru itu kemudian membawa pada interpretasi tersendiri. Dalam hal ini, kata Miksic, Nusantara pasti punya kontribusi besar dalam penyebaran ajaran Buddhis yang mereka serap. Sayangnya hanya sedikit manuskrip Buddhis di Nusantara yang sampai ke masa sekarang. Tapi yang jelas, ide-ide itu berdampak penting pada seni dan arsitektur Buddhis yang berkembang di wilayah itu. “Terutama ketika bangunan suci mulai digunakan dalam upacara khusus untuk mempercepat pencapaian spiritual,” jelas Miksic. Saat rute perdagangan yang menghubungkan India dengan Jawa dan Sumatra dibuka, doktrin-doktrin itu berkembang pesat. Sumatra dan Jawa dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Buddhis Mahayana yang tersebar di sepanjang rute perdagangan maritim. “Ajaran yang diserap oleh orang Jawa dan Sumatra Kuno inilah yang kemudian memotivasi dan membentuk konstruksi bangunan seperti Candi Borobudur,” kata Miksic lagi. Simbol Politik Walaupun Borobudur dibangun dengan motif keagamaan,proyek sebesar itu tidak dapat menghindari aspek politik. Tak seperti di Sumatra yang pengaruh Buddhanya tetap sebagai yang utama untuk periode cukup lama.Pada masa Jawa Kuno, tradisi Buddha tak sepopuler Hindu. Kebanyakan candi dan arca didedikasikan untuk Siwa dan Wisnu, Kisah Ramayana dan Mahabharata begitu populer, bahkan hingga sekarang. Sementara ajaran Buddha berkaitan erat dengan dinasti yang berkuasa, yaitu Sailendra yang begitu dominan dalam perpolitikan Jawa Kuno pada abad ke-8. Pada masa keemasannya Candi Borobudur lahir, yaitu antara 750 dan 850. Itu sebagaimana dijelaskan arkeolog Soekmono dalam Chandi Borobudur. Lebih spesifik lagi, Edi Sedyawati dalam Candi Indonesia: Seri Jawa men jelaskan kemungkinan candi ini berasal dari abad ke-9 berdasarkan bentuk huruf Jawa Kuno yang dipakai untuk menulis inskripsi pendek di atas panil relief Karmawibhangga, di dinding kaki Candi Borobudur. Data lainnya adalah Prasasti Karangtengah dan Sri Kahulunan. Dari sana J.G. de Casparis, epigraf asal Belanda, memperkirakan tokoh di balik pembangunan Borobudur. Dalam Prasasti Karangtengah terdapat keterangan seorang raja bernama Samaratungga. Putrinya, Pramodawardhani mendirikan bangunan suci Jinalaya serta bangunan Wenuwana. Casparis mengaitkan bangunan Wenuwana dengan Candi Mendut. Sementara Soekmono mengidentifikasinya sebagai Candi Ngawen atas dasar persamaan bunyi nama. Adapun bangunan yang disebut Jinalaya diduga merujuk pada Candi Borobudur. Keterangan lainnya, Prasasti Sri Kahulunan, dikeluarkan pada 824. Di dalamnya disebut nama Sri Kahulunan sebagai tokoh yang menganugerahkan tanahnya di desa Tri Tepusan. Tujuannya untuk pemeliharaan tempat suci bernama Kamulan I Bhumisambhara, tempat asal Bhumisambhara. Nama Bhumisambhara kemudian dikaitkan dengan sebutan Borobudur pada masa sekarang. Adapun gelar Sri Kahulunan dihubungkan dengan Dyah Pramodhawardhani, putri Raja Samaratugga dari Dinasti Sailendra. Karenanya, menurut Casparis, sangat mungkin candi itu didirikan oleh Raja Samaratungga dan putrinya, Pramodhawarddhani. Mereka inilah yang mendukung pembangunan secara materi. Dibandingkan dengan kondisi di India dan di Tiongkok, pembangunan stupa terkadang dimotivasi oleh pertimbangan politik. Misalnya Raja Ashoka dari Dinasti Maurya yang membangun 84.000 stupa sebagai tindakan kebajikan. Namun mungkin itu juga berfungsi sebagai simbol kedaulatan teritorialnya. “Puncak menara di bagian atas stupa sering dianggap sebagai paku yang secara fisik memungkinkan penguasa menjaga tanahnya stabil dan damai,” jelas Miksic. Konsep semacam itu di Jawa ditemukan pada dua kerajaan yang lebih modern. Ada Paku Alam di Yogyakata dan Paku Buwana di Surakarta. Bisa saja itu pula yang berlaku dalam kasus Borobudur. Ada legenda yang mempercayai kalau Gunung Tidar yang hanya berjarak beberapa kilometer dari candi itu adalah semacam “paku bumi Jawa”. “Kendati tak ditemukan jejak arkeologis di kawasan itu, sangat mungkin bahwa selain banyak fungsi lainnya, Borobudur juga berfungsi sebagai simbol kekuatan politik penguasa,” ungkap Miksic. Harus diakui penjelasan di balik pembangunan Candi Borobudur sejauh ini tak banyak didukung data. Edi Sedyawati bahkan menyatakan kalau tak ada keterangan pasti soal pendirian Candi Borobudur. Karenanya pembicaraan soal Borobudur belum akan usai.
- Masa Muda Ciputra
Ciputra, chairman dan pendiri Ciputra Grup, meninggal dunia pada 27 November 2019 pukul 01.05 waktu Singapura. Informasinya disampaikan Rina Ciputra Sastrawinata, anak pertama Ciputra. Ciputra lahir di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, pada 24 Agustus 1931, dengan nama Tjie Tjin Hoan. Dia anak bungsu dari tujuh bersaudara dari pasangan Tjie Sim Poe dan Lie Eng Nio. Empat saudara tertuanya meninggal. Karena tak ada sekolah bagus di Parigi, ayahnya mengirim Nyong, panggilan Ciputra, ke Gorontalo. Dia dititipkan kepada seorang tante, Soei Tjeng Sioe, yang tinggal di rumah kakeknya di Gorontalo. Tante Sioe menerapkan disiplin yang ketat dan keras. Saking kerasnya, dia pernah dikurung dalam gudang. “Saya hanya boleh belajar, tidur siang, sekolah, dan makan. Jika ingin bermain, maka pekaranganlah tempatnya. Satu-satunya tempat di luar selain sekolah yang boleh kami kunjungi adalah sebuah kelenteng Tionghoa,” kata Ciputra dalam biografinya, Ciputra The Entrepreneur karya Alberthiene Endah. Tekanan yang keras membuat Ciputra tak dapat belajar dengan baik. Dia hanya kuat dalam pelajaran berhitung dan membenci pelajaran Bahasa Belanda. Padahal, ayahnya mengirim dia ke Gorontalo agar bisa Bahasa Belanda. Nilai pelajaran Bahasa Belandanya buruk sehingga dia tak naik ke kelas tiga. Hampir seluruh keluarga menghina Ciputra. Termasuk ayahnya yang kecewa. Hanya ibu yang menghiburnya. Meski sedih tak naik kelas, tapi dia senang karena bisa lepas dari tekanan Tante Sioe dan anaknya yang galak, Ci Tiem. Ayahnya memutuskan membawanya ke Bumbulan, desa yang lebih kecil daripada Parigi dan berjarak sekitar 140 kilometer dari Gorontalo. Mereka pindah karena Parigi dihantam gempa dan tsunami. “Tahun 1938 terjadi gempa bumi hebat di Sulawesi Tengah yang mengakibatkan tsunami dahsyat di Teluk Tomini. Parigi termasuk desa yang porak poranda. Beruntung, Papa dan Mama selamat. Tapi mereka sudah tak mau lagi membangun rumah dan meneruskan hidup di Parigi,” kata Ciputra. Tjie Sim Poe, ayah Ciputra. (Repro Ciputra The Entrepreneur ). Di Bumbulan, ayahnya mengelola toko kelontong kakeknya dan membuka pabrik kopra. Ciputra hidup bahagia. Tak ada lagi ketakutan dan tekanan seperti saat dua tahun tinggal di Gorontalo. “Saya telah aman. Berada di tengah pelukan keluarga di sebuah kampung yang begitu tenteram. Namun, segalanya runtuh setelah Jepang datang,” kata Ciputra. Ayahnya pernah menceritakan kekejaman Jepang saat menduduki Tiongkok. Untuk menghadapi masa itu, dia membeli dua ekor sapi dan sebidang tanah. Dia menggaji seorang pekerja untuk mengelola kebun itu. “Jangan sampai kita ditangkap tentara Jepang. Itu sangat mengerikan,” kata ayahnya. Nahasnya, dia sendiri yang ditangkap Jepang lalu dipenjara di Manado. Ciputra dan ibunya baru mendapat kabar ayahnya setelah Jepang menyerah. Hok Sio yang juga diciduk polisi militer Jepang ( Kempeitai ), memberi tahu bahwa ayahnya sudah meninggal. Penyebabnya bukan karena disiksa tapi sakit perut yang hebat. Dia mati pada bulan ketujuh setelah dipenjara. “Dia meninggal dalam tahanan Jepang tanpa kami ketahui sampai sekarang di mana keberadaan kuburnya,” kata Ciputra dalam “Indonesia Negara Entrepreneur”, termuat di Guru-Guru Keluhuran. Seorang tawanan lain juga memberi tahu bahwa ayahnya hampir mati di perjalanan. Dia mencoba bunuh diri dengan melompat ke laut. Dia lebih baik mati di laut daripada disiksa. Namun, bunuh dirinya gagal, dia berhasil diselamatkan. “Nyong, mungkin inilah bukti dari pesan ayahmu. Kebun dan dua ekor sapi itu menjadi peninggalannya agar kita bisa tetap hidup. Kita sudah tak mungkin lagi menggantungkan hidup dari toko. Ibumu tidak sepandai ayahmu. Kita harus bekerja keras di kebun. Hanya di sana harapan kita untuk hidup,” kata ibunya. Sambil sekolah, Ciputra berkebun dan berburu babi hutan. Dia menjalaninya hingga usia 15 tahun sampai tersadar bahwa hidupnya harus berubah. Maka, dia harus melanjutkan sekolah. Ibunya mendukung. Dia pun pergi ke Gorontalo untuk melanjutkan sekolah ke SMP. Setelah lulus, dia melanjutkan ke SMA Don Bosco di Manado. Di sinilah, dia bertemu Dian Sumeler yang kemudian menjadi istrinya. Ciputra saat menjadi mahasiswa teknik arsitektur ITB. (Repro Ciputra The Entrepreneur ). Ciputra lulus SMA pada 1953. Dengan berbagai keterbatasan, dia bisa masuk jurusan arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB). Sejak tingkat dua, dia tidak mendapatkan kiriman uang dari ibunya. Tidak ada jalan lain selain harus mencari uang sendiri. “Selama masa kuliah tersebut saya pernah berdagang batik. Saya mencari batik di Bandung lalu menjualnya ke Medan. Saya juga pernah berjualan furnitur, merancang gambarnya, dan kemudian membayar tukang mebel untuk membuatnya,” kata Ciputra. Di tingkat empat, Ciputra bersama teman kuliah, Budi Brasali dan Ismail Sofyan, mendirikan perusahaan konsultan PT Perentjana Djaja. “Untuk menjaga biduk perusahaan berjalan lancar sekaligus perkuliahaan terselesaikan dengan baik, kerja keras dan pengelolaan diri yang sangat ketat harus saya lakukan,” kata Ciputra. Namun, Ciputra tidak puas dengan perusahaan konsultan karena hanya menunggu pekerjaan dari orang lain. Dia kemudian mendirikan PT Pembangunan Jaya bekerja sama dengan pemerintah DKI Jakarta dan beberapa pengusaha nasional. “Saya bukan lagi pasif menunggu pekerjaan, tetapi aktif menciptakan pekerjaan bagi diri sendiri maupun orang lain. Keputusan menjadi pengembang tetap saya pegang sampai saat ini,” kata Ciputra. Bila Jaya Grup berdiri pada 1960, selanjutnya pada 1970 Ciputra bersama kawan-kawan dari ITB mendirikan Metropolitan Grup. Pada 1980 dia bersama anak-anaknya membangun Ciputra Grup. Spesialisasi ketiga grup itu adalah pembangunan kota baru yang lengkap dan secara keseluruhan sudah membangun lebih dari 50 kota. Ketiga grup itu juga berinvestasi di luar negeri, seperti di Hawai Amerika Serikat, Singapura, Vietnam, Kamboja, India, Tiongkok, dan negara-negara lain. Ciputra mengambil hikmah dari perjalanan hidupnya di masa kecil dan remaja yang begitu berat. Tempaan di masa sulit membuatnya menjadi manusia pantang menyerah. “Tanpa kerasnya kehidupan di bawah pengasuhan Tante Sioe dan Ci Tiem, belum tentu saya menjadi Ciputra yang sekarang. Tanpa ujian berat yang saya alami setelah Papa ditangkap polisi Jepang, belum tentu saya menjadi Ciputra yang sekarang,” kata Ciputra. Ciputra juga merasakan hikmah dari kasih sayang dan teladan dari orangtuanya. Dia berusaha menjalankan pesan ayahnya: “Kau tahu, Nyong. Semua manusia di dunia ini harus berjuang untuk bisa hidup. Selain mencukupi hidupmu dengan materi, kau juga perlu memiliki martabat. Itu sebabnya kau harus menjadi orang yang memiliki sikap baik.”
- Prasangka Pada Pasien Jiwa Pribumi
SEORANG lelaki muda dari Yogyakarta yang berprofesi sebagai asisten juru tulis diantar keluarganya ke Rumahsakit Jiwa (RSJ) Magelang. Sebelumnya, ia terserang demam. Kemungkinan besar, demamnya berasal dari stres. Selama bekerja, ia terus meragukan kemampuannya sendiri hingga stres dan membuatnya menderita gangguan jiwa. Selain stres, faktor lain yang dianggap memicu gangguan jiwa ialah kemiskinan. Pasien lain yang berobat ke RSJ Magelang merupakan mantan kuli kontrak di perkebunan Deli. Orang di sekitarnya menganggap si mantan kuli orang bingung. Begitu masuk RSJ, mantan kuli itu langsung ditanya petugas kesehatan tentang apa yang dirasakan, melihat sesuatu, atau mendengar hal-hal aneh. Diagnosis dokter, seperti dikutip Sebastiaan Broere dalam tesisnya “In and Out Magelang Asylum”, menyatakan si kuli menderita delusi parah. Mendiagnosis pasien pribumi di era kolonial tak mudah. Kebanyakan pasien menjawab tidak tahu ketika ditanya tentang kondisinya. Di RSJ Malang, mayoritas pasien dideskripsikan mengalami “bingung” atau linglung yang disebabkan oleh stres. Kebingungan para pasien itu menyebabkan para psikiatris Belanda ikut kebingungan lantaran kendala bahasa dan prasangka kolonial mereka. Psikiatris Belanda PHM Travaglino mengalaminya ketika berjaga di RSJ Malang pada 1920-an. Alhasil, Travaglino kerap kesulitan mendiagnosis pasiennya. Saking bingungnya, ia pernah membuat lelucon tentang kelompok pasiennya. Ada tiga: kelompok yang selalu menjawab tidak tahu, tidak mau, dan kelompok pasien yang belum diperiksa kejiwaannya. Travaglino percaya bahwa alam pikir orang Eropa dan pribumi berbeda. Menurutnya, kaum pribumi masih berada dalam tahap awal perkembangan evolusi sehingga kondisi psikologisnya amat emosional. Ia menganggap orang pribumi sering membuat keributan karena emosi yang meledak-ledak dan berpotensi 10 kali lebih tinggi membuat kerusuhan dibanding orang Eropa. Kebingungan dan prasangka rasial yang dialami psikiatris Eropa sudah menjadi pembahasan sejak permulaan abad ke-20. Pada 1906, Inspektur Layanan Medis Sipil AG Vorderman menyarankan Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri JH Abendanon untuk membentuk satuan tugas dokter pribumi yang khusus menangani gangguan jiwa. Pendapat Vorderman mengacu pada pengakuan Raden Soemeroe, seorang dokter Jawa, yang mengatakan pekerjaannya di RSJ Bogor amat berguna selain sebagai penerjemah juga memandu psikiatris Eropa memahami latarbelakang kultur para pasien pribuminya. “Misalnya, kata baik-buruk atau pintar-bodoh bermakna berbeda bagi orang Eropa dan pribumi. Penilaian tentang ketidaknormalan juga berbeda,” kata Soemeroe seperti dikutip Liesbeth Heeselink dalam Healers on the Colonial Market. Soemeroe lebih jauh berpendapat, pemahaman dokter Jawa pada karakter, bahasa, budaya, dan kondisi lingkugan pribumi memudahkan mereka untuk bersimpati pada pasien pribumi. Hal itu sulit dilakukan para dokter Eropa meski sudah mendapat pelatihan penanganan pasien pribumi. Pejabat layanan medis sipil agaknya mengamini pengakuan Soemeroe. Alhasil, satu atau dua orang dokter Jawa selalu dipekerjakan di RSJ Bogor dan Lawang, Malang untuk mendampingi dokter jiwa Eropa. Di sisi lain, kebijakan itu juga amat ekonomis lantaran meminimalisir anggaran untuk mempekerjakan dokter Eropa. Menurut Liesbeth, alasan ekonomilah yang paling mendorong Komite Kesehatan Kolonial menyepakati ide Soemeroe alih-alih penjabaran sosio-kulturalnya. Pada 1912, anggaran untuk RSJ makin ditekan. Alhasil, pasien pribumi lebih banyak dipegang oleh dokter Jawa dengan pengawasan rutin dokter Eropa. Padahal, seperti ditulis Hans Pols dalam NurturingIndonesia, para pendukung Politik Etis berpendapat bahwa psikologis pribumi dan orang Eropa sebenarnya serupa. CF Engelhard, pengawas kesehatan yang bertugas di Surakarta dan tinggal di Jawa hingga pasca-kemerdekaan, berpendapat bahwa perbedaan kondisi terjadi karena faktor eksternal. “Dengan penuh hormat pada budaya mereka, symptom, perkembangan, dan psikosis orang Jawa tidak berbeda dengan apa yang saya temui di Eropa,” kata Engelhard. Engelhard menyadari bahwa cara pandang semacam ini berkebalikan dengan apa yang diamini para psikiatris di era kolonial seperti Travaglino. Alih-alih menggarisbawahi persamaan, psikiatris Travaglino lebih menekankan pada perbedaan mendasar antara kondisi kejiwaan pasien pribumi dan Eropa.
- Mencintai Indonesia dalam Suka dan Duka
AGNES Monica alias Agnez Mo bikin heboh. Dalam wawancaranya dengan Build Series by Yahoo, penyanyi kelahiran Indonesia yang tengah go-international itu mengaku tak punya keterkaitan apapun dengan Indonesia. “Sebenarnya aku enggak punya darah Indonesia atau apapun itu. Aku (berdarah) Jerman, Jepang, China dan aku hanya lahir di Indonesia. Aku juga Kristen dan mayoritas di sana Muslim. Aku tidak bilang bahwa aku tidak berasal dari sana karena saya merasa diterima. Tetapi saya merasa tidak seperti yang lain,” cetusnya. Pernyataan itu sontak memancing respon netizen Indonesia. Banyak yang mengecam ia seolah jadi kacang lupa pada kulitnya atau mengutuk betapa tak bersyukurnya Agnes yang memulai kariernya dari penyanyi cilik di Indonesia. Pun begitu dengan sejumlah media yang ramai-ramai memberitakan pernyataan kontroversial Agnes dengan menitikberatkan pada “saya enggak punya darah Indonesia.” Alhasil, sejumlah tokoh maupun politisi ikut mengkritik Agnes. Padahal, bukan seperti itu maksud Agnes. Ia merasa pernyataannya disalahpersepsikan hingga dipelintir sejumlah pihak. Lewat akun Instagram -nya, Agnes memberi klarifikasi. “Orang-orang yang hanya ingin menyebar kebencian dengan memelintir pernyataan dan niat saya harusnya malu. Saya hanya mengatakan hal baik, bahkan ketika saya seorang minoritas, saya turut menyebarkan perbedaan yang luar biasa yang saya pelajari di negeri saya. Saya tak bisa memilih darah atau DNA saya, namun saya selalu berdiri untuk negara saya,” kata Agnes di akunnya, @agnezmo. Baginya, Indonesia tetap negeri yang dicintainya, terlepas baik atau buruk pengalaman hidup dalam keragaman yang pernah dirasakannya. Nama besar Indonesia tetap ingin diusungnya di pentas internasional manapun dia berkiprah sebagaimana dilakukan Luis Leeds, pembalap mobil milenial blasteran Indonesia-Australia. Luis Leeds bermimpi tampil di ajang F1 dengan bendera Indonesia (Foto: luisleeds96.com ) Belakangan, Leeds “pulang” ke Indonesia, tanah kelahiran ibunya, karena menjatuhkan hati pada Indonesia ketimbang Aussie . Leeds mendambakan jadi pembalap Formula One (F1) dengan bendera merah-putih melekat di mobilnya. Dia tak peduli minimnya infrastruktur pendukung kariernya. “Saya bisa duduk seharian dan berbicara tentang mengapa saya mencintai Indonesia dan mengapa saya terinspirasi untuk pulang ke rumah. Dalam karier balap saya selalu memiliki bendera Indonesia tapi saya tidak pernah berdiri di podium dengan bendera Indonesia di belakang. Saya menyelesaikan musim 2018 (Formula 4) sebagai juara Australia. Jadi sekarang saatnya saya memberikan pengakuan kepada Indonesia bahwa saya merasa layak dan di sinilah saya,” ungkapnya saat diwawancara Kumparan , Jumat (22/11/2019). Hidup-Mati untuk Indonesia Harus diakui, hingga kini pengakuan dunia kepada Indonesia lebih banyak berasal dari bidang olahraga dibanding bidang musik yang dijalani Agnez Mo. Mayoritas pengakuan internasional itu datang dari bulutangkis, olahraga yang semua gelar kejuaraan prestisius internasionalnya pernah dijuarai atlet Indonesia. Dari sekian banyak “pahlawan” yang mengharumkan nama bangsa lewat bulutangkis itu, banyak yang beretnis Tionghoa, beragama minoritas, dan punya pengalaman pahit soal diskriminasi. Pun begitu, mereka hanya mengakui Indonesia sebagai negerinya. Tak pernah ada pernyataan “sekadar numpang lahir di Indonesia” dari mereka. Lie Ing Hoa alias Ivana Lie, contohnya. Kendati status kewarganegaraannya lama tak diakui, dia berulangkali memberi kebanggaan pada negeri dengan menjuarai berbagai kejuaraan internasional. “Lima tahun bertanding di luar negeri, (saya, red .) pakai selembar kertas seperti surat jalan yang menyatakan saya warga negara Indonesia. Jadi sebenarnya lima tahun itu saya stateless . Sedih rasanya. Secara manusia perlu pengakuan ya. Saya merasa bahwa saya lahir di Indonesia, saya berbudaya, berbahasa, merasa sebagai bangsa Indonesia dan sudah membuktikan dengan bertanding bawa nama Indonesia,” kata Ivana kepada Historia. Ivana baru mendapat kewarganegaraan pada 1982 dengan keluarnya SBKRI. Selepas pensiun pada 1990, ia tetap mendarmabaktikan diri menjadi pelatih tim bulutangkis Indonesia hingga kemudian dipercaya jadi staf ahli Menpora Andi Mallarangeng dan Roy Suryo. Kisah serupa juga dialami Liang Tjiu Sia, pelatih yang melahirkan banyak srikandi bulutangkis tingkat dunia seperti Susy Susanti. Sia lahir di Cirebon 69 tahun lampau. Kendati merintis karier di China akibat diskriminasi rasial pada 1966 membuat sekolah Tionghoa yang diikutinya bubar, ia kembali ke Indonesia pada 1985 untuk menjadi pelatih pelatnas putri PBSI. SBKRI didapatnya baru empat tahun kemudian. Kiri ke kanan: Ivana Lie, Christian Hadinata, Liang Tjiu Sia, Alan Budikusuma (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Kepelatihan Sia berjalan hingga 2003. Meski China meminta servisnya kembali setelah itu, Sia menolaknya. “Separuh hidup saya sudah di sana (Cina). Saya inginnya menghabiskan umur di sini. Saya kan lahir di sini. Mati juga inginnya di sini,” ujarnya kepada Historia . Kebanggaan pada Indonesia sebagai “tanah tumpah darah” juga lekat di diri Tjhie Beng Go’at alias Christian Hadinata. Pria kelahiran Kebumen, 11 Desember 1949 ini enggan “menggadaikan” negerinya demi apapun. Setelah jadi langganan juara di mancanegara sebagai pemain, ia memilih jadi pelatih Indonesia. Pantang ia menerima tawaran melatih negeri lain. “Bulutangkis Indonesia sudah membesarkan nama saya. Masak sih enggak mau mengembalikan sesuatu untuk bulutangkis nasional? Saya kepingin mengembalikan, dalam arti tenaga, pikiran, waktu, untuk bisa tetap membangun prestasi bulutangkis Indonesia seperti yang sudah dibangun para senior saya,” ujar Christian. Kebanggaan pada Indonesia sebagai tanah-air yang tak kalah besar tentu terdapat dalam diri Susy Susanti (Wang Lianxiang). Ketika ia berlaga di Uber Cup 1998 di Hong Kong yang berbarengan dengan huru-hara 1998, Susy tetap mati-matian memperjuangkan nama baik negerinya di lapangan meski rumah orangtuanya di Tasikmalaya sempat dibakar massa. Kebanggaan pada Indonesia itu tercermin dari jawabannya ketika diwawancara reporter CNN, apakah dirinya akan meminta suaka ke pemerintah Hong Kong dan apakah dia masih menganggap orang Indonesia. “Saya tidak menganggap diri saya orang Indonesia. Saya tidak perlu menganggap begitu. (Karena) saya orang Indonesia. Dan akan selalu menjadi orang Indonesia,” jawab Susy. Alan Budikusuma (Goei Renfang), suami Susy yang kala itu masih jadi pacar, setali tiga uang dengan Susy. Saat ingin menikahi Susy pada 1997, keduanya kesulitan mengurus dokumen pernikahan gegara perkara SBKRI. Betapapun demikian, cintanya pada Indonesia tak luntur. “Saya mempertanyakan kenapa SBKRI harus ada? Kenapa saya dipertanyakan tidak nasionalis, padahal saya bangga dengan Indonesia. Saya lahir di Indonesia (Surabaya, 29 Maret 1968). Orangtua saya juga lahir di Indonesia. Kita pun ingin meninggal di Indonesia, bukan di luar (negeri). Saya orang Indonesia walaupun saya orang Tionghoa,” tutur Alan. Ragam Indonesia dalam DNA Kisah-kisah mereka hanya seujung kuku dari sejumlah orang Indonesia lain yang bangga mengakui Indonesia sebagai negerinya kendati pernah didera perlakuan diskriminatif. Isu rasial memang masih jadi “penyakit” yang belum kunjung sembuh. Penyakit sosial warisan kolonial Belanda itu menyisakan kepahitan pada golongan minoritas. Celakanya, banyak orang tak paham terhadap konsep Indonesia sehingga seringkali berlaku rasis, seperti yang dilakukan dalam merespon pernyataan Agnes. Fenomena ini membuat sejarawan Bonnie Triyana mengatakan bahwa apa yang disampaikan Agnes esensinya sudah betul karena Indonesia dibangun dari konsensus beragam orang dengan latar belakang ras, etnik, politik, dan agama berbeda. Indonesia tidak dibangun dari keterikatan ras yang homogen. Namun, cara penyampaian Agnes saja yang kurang tepat sehingga menimbulkan misinterpretasi dari masyarakat, terutama di dumay. “Identitas kebangsaan Indonesia tidak dibentuk berdasarkan darah (biologis). Kalau Agnes mau menjelaskan dia secara biologis bukan orang Indonesia, padahal untuk jadi orang Indonesia enggak butuh pembuktian biologis, ya dia enggak bisa membedakan konsep ras (biologis), etnis (non-biologis) dengan kebangsaan (sosiologis-politis),” cetus Bonnie. Najwa Shihab dan Grace Natalie yang turut mengikuti tes DNA dalam rangka Pameran Asal Usul Orang Indonesia (Foto: Dok. Historia) Ketidakpahaman masyarakat akan keindonesiaan itulah yang mendorong Historia . id bersama Kemendikbud menggelar pameran Asal Usul Orang Indonesia (ASOI) melalui proyek tes DNA. Sejumlah relawan yang dites ternyata memiliki nenek moyang beragam darah dari berbagai penjuru dunia. Hasil tesnya menjadi bukti bahwa apa yang disebut orang Indonesia menggugurkan konsep pribumi-nonpribumi, warisan kolonial yang menguat sejak beberapa tahun ke belakang. Bukti heterogenitas individu Indonesia antara lain, hasil tes DNA presenter kondang Najwa Shihab . Di ranah publik ia disebut berdarah Arab. Namun hasil tes DNA-nya menyatakan mayoritas DNA-nya berasal dari Asia Selatan, yakni 48,54 persen. DNA Timur Tengahnya hanya 3,48 persen. Sementara, di tubuhnya bercampur banyak DNA mulai dari Afrika Utara, Asia Timur, hingga Eropa Selatan. “Di tengah begitu banyak perbedaan yang ada di dalam diri kita, sesungguhnya ini juga menguatkan bahwa satu hal yang menjadikan kita Indonesia adalah niat bersama untuk menjadikan ini rumah bagi semua. Indonesia adalah rumah bersama dan merah-putih jadi tujuan kita sama-sama,” kata Najwa. Hasil tes DNA Grace Natalie , ketua Partai Solidaritas Indonesia, juga menjadi bukti bahwa Indonesia merupakan percampuran banyak ras. Kendati penampakannya sangat Tionghoa, yang membuatnya acap jadi korban diskriminasi, hasil tes DNA- Grace adalah: 76,92 persen Asia Timur, 21,98 persen Diaspora Asia, 1,11 persen Asia Selatan, dan 0,01 persen Afghanistan. "Yang menyatukan kita adalah kesamaan nilai, kesamaan visi, kesamaan cita-cita,” kata Grace.
- Awal Mula Barang Plastik di Indonesia
RISET International Pollutant Elimination Network (IPEN), jaringan lembaga swadaya masyarakat internasional untuk lingkungan hidup, menyebutkan telur ayam di dua desa di Jawa Timur berbahaya bagi manusia. Telur itu mengandung dioksin, senyawa hasil pembakaran sampah atau limbah plastik. Demikian rilis IPEN seperti diberitakan bbc.com .
- Terbunuhnya Mitra Dagang VOC
MAKAM tua berukuran sekira 1x2 meter itu tersudut di Komplek Pemakaman Pamoyanan, Cianjur. Permukaanya yang dibeton seolah pintu raksasa yang terhampar di tanah. Ada nama tertera di nisannya: Raden Kanjeng Dalem Aria Wiratanu Datar IV (Dalem Dicondre). “Beliau ini bupati ke-2 Kabupaten Cianjur,” ujar Pepet Johar, salah seorang pemilik sekaligus pengelola Museum Bumi Ageung Cianjur. Berbeda dengan keterangan di nisan tersebut, sumber-sumber tertulis mengenai Cianjur menyebutkan bahwa Dalem Dicondre adalah Aria Wiratanu Datar III bukan Aria Wiratanu Datar IV. Keterangan tersebut misalnya disebutkan dalam buku berbahasa Sunda, Sejarah Cianjur sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur karya Bayu Surianingrat. Aria Wiratanu Datar III sejatinya bernama Raden Astramanggala. Dia merupakan putra sulung (dari 14 anak) Aria Wiratanu Datar II (Bupati Cianjur pertama). Raden Astaramanggala naik tahta menggantikan sang ayah pada 1707. “Pada era pemerintahan Aria Wiratanu III, ibu kota Kabupaten Cianjur dipindahkan dari Pamoyanan ke Kampung Cianjur,” ungkap Reiza D. Dienaputra dalam Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg. Distributor Kopi Terbesar Dalam beberapa catatan sejarah, Aria Wiratanu Datar III tersohor sebagai mitra dagang VOC yang paling setia. Adalah komoditas kopi yang menjadi andalannya untuk berbisnis dengan Maskapai Dagang Hindia Timur tersebut. Begitu puasnya VOC dengan pelayanan Aria Wiratanu Datar III hingga dua gubernur jenderal VOC yakni Christoffel van Swol (1713--1718) dan Hendrick Zwaardecroon (1718--1725) menghadiahinya wilayah-wilayah baru: Distrik Jampang dan Distrik Sagara Kidul. “Dia pun mendapat gelar bekende grooten koffi leverancier (distributor besar kopi yang termasyhur),”tulis Otto van Ress dalam Overzigt van de Geschhiedenis der-Pranger Regentschappen (Sejarah Para Bupati Priangan). Berbeda dengan pandangan para pejabat VOC, sebagian besar rakyat (terutama para petani kopi) justru menyimpan kebencian kepada Aria Wiratanu Datar III. Rupaya sikap keras Aria Wiratanu Datar III terhadap para petani kopi menjadi sebab kebencian itu muncul. “Dalam prakteknya, VOC bekerjasama dengan bangsawan lokal (menak dan sentana) untuk menekan massa di bawah,” tulis Jan Breman dalam Keuntungan Kolonial dalam Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870. Selain itu, dalam menjalankan bisnis kopinya, Aria Wiratanu III dinilai tidak jujur dengan mengambil laba yang terlalu banyak dari para petani. Menurut sejarawan Gunawan Yusuf, harga kopi perpikul yang disepakati adalah 17.50 ringgit.Namun nyatanya, Aria Wiratanu Datar III hanya membayar 12.50 ringgit perpikul. Uang 5 ringgit yang seharusnya menjadi hak para petani kopi itu dimasukannya ke kantong pribadi. “Karena soal itulah, rakyat lantas tidak puas...,”tulis Gunawan Yusuf dalam Sejarah Cianjur Bagian ke-7. Amuk Petani Kopi Suatu senja di tahun 1726, seorang penyusup berhasil memasuki pendopo kabupaten Cianjur. Setelah berhasil menemukan Aria Wiratanu Datar III yang tengah bersantai di katil, secepat kilat dia menancapkan sebilah condre (pisau kecil yang biasa difungsikan sebagai konde rambut) ke lambung sang bupati. Mendengar teriakan majikannya, seorang pengawal datang. Lantas terjadilah perkelahian seru yang berakhir dengan terbunuhnya sang penyusup. Namun akibat luka tiga tusukan di lambungnya, Aria Wiratanu Datar III sendiri mengalami luka parah dan beberapa jam kemudian (tepatnya setelah magrib), dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Demikian dikisahkan oleh sejarawan Gunawan Yusuf. Menurut Jan Breman, terbunuhnya Aria Wiratanu Datar III secara tidak langsung terjadi karena adanya keputusan VOC. Pada tahun itu, VOC yang sudah mulai dililit masalah keuangan, menurunkan secara drastis harga beli kopi dari 21 rijksdaalder (ringgit) menjadi hanya 5 rijksdaalder. “Penghematan itu memancing perlawanan petani,” ungkap Breman. Tidak cukup mengirimkan pembunuh untuk Aria Wiratanu Datar III yang dianggap pro kompeni (VOC), para petani pun secara spartan melakukan perusakan tanaman kopi. Aksi itu dilakukan tentu saja sebagai bentuk protes mereka secara langsung kepada pihak kompeni. Tidak jelas benar, apakah selanjutnya pemberontakan kaum petani itu cepat ditumpas. Yang jelas usai insiden pembunuhan tersebut (1729), para bupati di Priangan menggunakan cara-cara yang lebih keras untuk mengerahkan penduduk dalam proses penanaman kopi. Tetapi kerugian di kalangan rakyat tetap saja tidak berbanding lurus dengan kerugian di kalangan para bupati dan VOC. Menurut sejarawan Saleh Danasasmita dalam Sejarah Bogor Bagian I , dalam kenyatannya, dari perdagangan kopi tersebut kas keuangan para pebisnis Belanda tetap mendapat laba besar bahkan hingga masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808—1811). Begitu juga dengan kondisi para bupati. “Pada waktu meninggal, Bupati Cianjur (Aria Wiratanu Datar III) masih berhak mendapat 26.000 ringgit gulden berikut bunga atas jumlah itu,” ungkap Breman. Karena Cinta Hingga kini, kisah terbunuhnya Aria Wiratanu Datar III masih dikenang oleh orang-orang tua di Cianjur. Namun berbeda dengan versi penuturan sejarah yang terdapat dalam arsip-arsip lama, insiden pembunuhan sang bupati itu lebih mengarah kepada motiv cinta sebagai sebabnya. Adalah Tjoetjoe Soendoesijah (74), salah satu penduduk Cianjur yang meyakini versi tersebut. Menurut nenek dari 6 cucu tersebut, Aria Wiratanu Datar III terbunuh karena faktor kecemburuan seorang pemuda yang calon istrinya akan dinikahi sang bupati. “Cerita itu saya dapatkan dari nenek saya yang disampaikan secara turun temurun,” ujar Tjoejoe. Dikisahkan, suatu hari Aria Wiratanu Datar III melakukan perburuan ke daerah Cikembar, Sukabumi. Di sebuah desa terpencil, dia bertemu dengan seorang dara elok bernama Apun Gencay. Sang bupati yang sudah memiliki beberapa istri itu lantas jatuh cinta dan “meminta” Apun Gencay kepada orangtuanya. Tentu saja Apun dan orangtuanya tidak bisa menolak permintaan Kanjeng Sinuwun Bupati itu. Sebagai cacah kuricah (rakyat kecil) adalah terlarang untuk mengatakan tidak kepada penguasa. Padahal secara pribadi Apun telah memiliki tambatan hati. Singkat cerita, beberapa hari kemudian saat matahari nyaris tenggelam di sebelah barat, Apun datang ke pendopo kadaleman Cianjur. Namun tidak sendiri. Dia ditemani oleh seorang pemuda yang diakunya sebagai saudara. Begitu sampai di pintu rumah Aria Wiratanu III, nampak sang dalem tengah duduk di katil dalam wajah yang cerah didampingi seorang pengawalnya bernama Ki Purwa. “ Yap kadieu (ayo mendekatlah)…”,”panggil sang dalem. Dengan kepala menunduk, Apun mendekat ke arah Aria Wiratanu Datar III. Sementara Apun mendekat, seolah tersihir kecantikan Kembang Cikembar itu, kedua mata sang bupati tak berkedip menikmati kemolekan wajah Apun Gencay. Dalam situasi itulah, sang pemuda yang ada di sebelah Apun tetiba menyeruak ke arah Aria Wiratanu Datar III. Sebilah condre terhunus di tangan kanannya. Demi menghadapi serangan tiba-tiba itu, tentu saja sang bupati terkejut. Namun dia terlambat untuk melakukan tangkisan hingga perutnya menjadi sasaran tusukan condre. Gerakan kilat sang pemuda membuat Ki Purwa juga terkesima. Barulah setelah dia mendengar jerit Apun dan teriakan majikannya, dia bereaksi. Namun sang pemuda sudah kabur. Maka diikuti oleh beberapa pengawal, Ki Purwa mengejar Lantas terjadilah perkelahian tak seimbang hingga menyebabkan mundurnya sang pemuda ke wilayah alun-alun. Di area terbuka menghadap masjid agung inilah, Ki Purwa berhasil memenggal kepala sang pemuda, yang tak lain adalah tunangan Apun Gencay. “ Saurna mah dugi dicacag diwalang-walang,dagingna di sebar dugi ka tungtung alun-alun palih kaler (Katanya sampai dicincang habis dan dagingnya di sebar sampai ke ujung alun-alun sebelah utara),” tutur Tjoejoe. Potongan-potongan daging itulah yang konon kemudian dipungguti satu persatu oleh Apun Gencay. Sang Kembang Cikembar memungguti potongan daging kekasih nya seraya meratap. R atapan itulah yang kemudian mengilhami pujangga Sunda kenamaan Yus Rusyana menulis naskah drama monolog dan cerita pende k berjudul Apun Gencay .






















