top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Membentuk Sekutu Politik

    Pernikahan bisa jadi jalan membentuk persekutuan. Tujuannya untuk mengukuhkan kedudukan, baik sebagai raja maupun penguasa daerah.Perkawinan politis antarkeluarga penguasa tercatat dalam banyak prasasti Jawa Kuno,seperti beberapa prasasti masa Mataram Kuno. Prasasti Mungu Antan (887) menyebut Sang Hadyan Palutungan, selir Sang Dewata ing Pastika atau Rakai Pikatan, raja Mataram Kuno. Ia adalah adik dari Sang Pamgat Munggu. Prasasti Taji (901) menyebut Sri Bharu Dyah Dheta, anak Rakryan I Wungkaltihang Pu Sanggramadhurandhara, menjadi istri Sang Pamgat Dmung Pu Cintya Pu Sanggramadhurandhara yang mempunyai kedudukan rakarayan i wungkaltihang .  “Itu bersinonim dengan rakarayan I halu adalah anak raja yang mempunyai urutan kedua atas takhta setelah putra mahkota atau rakarayan mapatih I hino ,” tulis Titi Surti Nastiti, ahli epigrafi Pusat Penlitian Arkeologi Nasional, dalam  Perempuan Jawa. Lewat Prasasti Cungran II dan Prasasti Geweg diketahui bahwa Mpu Sindok, penguasa Mataram Kuno di Jawa Timur menikahi putri dari Rakryan Bawang. Ia dijadikannya permaisuri bergelar Sri Parameswari Dyah Warddhani Pu Kbi. “Perkawinan politis antara raja atau kerabat dekatnya dengan putri atau kerabat dekat bangsawan yang berada di bawah kekuasaannya bertujuan untuk memperkokoh kedudukannya,” kata Titi. Bahkan untuk tujuan yang sama, kalau memungkinkan perkawinan antar sepupu pun dilakukan. Lumrah terjadi di Jawa. Padahal dalam aturan hukum India tak diperkenankan. Kitab  Manawadharmasastra melarang seorang lelaki menikah dengan perempuan yang masih  sapinda atau ada hubungan tujuh generasi dari pihak ayah dan lima generasi dari pihak ibu dengan si laki-laki. Namun, dalam prasasti maupun naskah Jawa Kuno, sering disebut pernikahan antarsaudara sepupu. Terutama mereka yang berasal dari kalangan kerajaan.“Mungkin ini dilakukan untuk menjaga harta mereka supaya tak jatuh ke tangan orang lain,” jelas Titi. Perkawinan semacam itu disebut dalam prasasti paling tidak sejak masa Dharmawangsa Tguh, penguasa Medang pada periode Jawa Timur. Misalnya, Prasasti Pucangan (1037)mengisahkan perkawinan Airlangga dengan putri Tguh. Dalam naskah  Nagarakrtagama  atau  Desawarnana  disebutkan, Kertarajasa atau Raden Wijaya menikahi empat putri Krtanegara. Mereka adalah sepupu, kendati sepupu derajat ketiga. “Ayah Kertarajasa, Dyah Lembu Tal, masih saudara sepupu Kertanegara,” jelas Titi. Perkawinan lainnya terjadi lagi pada masa Majapahit. Raja Hayam Wurukmenikah dengan anak suami bibinya.Wikramawarddhana menikah dengan Kusumawarddhani, putri kakak laki-laki ibunya. Sedangkan Dewi Suhita menikah dengan Ratnapangkaja, anak dari adik perempuan ayahnya.  Wijayaparakramawarddhana manikah dengan Jayawarddhani, putri adik perempuan ayahnya. Sementara Rajasawarddhana menikah dengan Bhre Tanjungpura, putri dari adik laki-laki ayahnya. Girisawarddhana menikah dengan Bhre Kabalan. Penguasa wilayah Kabalan itu adalah cucu perempuan adik kakeknya. Terakhir, Singhawikramawarddhana menikah dengan Bhre Singhapura, putri dari anak sepupunya. Penguasa-penguasa daerah Majapahit pun banyak yang diikat dengan perkawinan. Mereka biasanya kerabat dekat raja. Banyak juga yang masih saudara sepupu.  Seperti tertulis dalam Prasasti Trowulan II dan  Pararaton,  Bhre Tumapel Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawarddhana mempunyai istri Bhre Singhapura Dyah Sripura Rajasawarddhanadewi. Pararaton  mencatat, mereka masih saudara sepupu. Ayah Dyah Suprabhawa yang bernama Girisawarddhana adalah kakak laki-laki ibunya Rajasawarddhanadewi. “Perkawinan antarsaudara sepupu juga adalah perkawinan politis yang sudah dilakukan sejak masa Mataram Kuno,” jelas Titi. “Dimaksudkan untuk menghindarkan kekuasaan mereka jatuh ke kekeluarga lain.” Kebiasaan itu berlanjut hingga masa kerajaan-kerajaan Islam. Misalnya, pada abad ke-18, Sunan Surakarta menjadikan sejumlah perempuan dari Pulau Madura sebagai permaisuri. Pernikahan ini dilaksanakan untuk memastikan hubungan baik dengan para penguasa lokal Madura.  Menurut sejarawan Peter Carey dalam  Perempuan-Perempuan Jawa  relasi semacam itu disebut sebagai politik penyambung dengan daerah bawahan. Fungsi utama putri raja dan bangsawan keraton dalam tahun-tahun menjelang Perang Jawa, adalah sebagai pemelihara dinasti atau wangsa dan sebagai wadah untuk berprokreasi. Kendati demikian, perkawinan politis tak menjamin hubungan yang langgeng. Seperti terjadi pada masa Singhasari. Kertanegara adalah penguasa yang memakai jalan pernikahan untuk membentuk sekutu politik. Ia mengirimkan putrinya, Dewi Tapasi untuk di nikahi raja Champa. Champa merupakan benteng pertama untuk membendung pengaruh kekuasaan Khubilai Khan. Pun dengan maksud agar jangan timbul kekeruhan dalam negeri selama tentara Singhasari bertugas di negeri Melayu, Ardaraja, putra penguasa Glang Glang yang menjadi bawahan Singhasari, diambil mantu. Sementara Wijaya, panglima perang Singhasari, dinikahkan dengan keempat putri Kertanegara. Dalam Prasasti Kudadu, Ardaraja disebut putra Raja Jayakatwang. Kertanegara memerintahkannya bersama Wijaya untuk menjumpai musuh yang datang dari utara, yaitu tentara Jayakatwang.Ardaraja bimbang dan memutuskan menyeberang ke pihak musuh. Akibatnya Wijaya mengalami kekalahan. Menjamin persekutuan politik dengan pernikahan pun rupanya tak sekuat yang diduga. Apa daya, gempuran Jayakatwang, yang telah berhubungan besan pun tak disangka-sangka malah yang mengakibatkan kejatuhan Singhasari.

  • Ingin Kembali ke Pulau Buru

    Lukas Tumiso telah meninggalkan kamp tahanan Pulau Buru 40 tahun yang lalu.Sejak sebuah kapal membawanya menjauh dari dermaga Pelabuhan Namlea pada Desember 1979, ia merasa kembali menjadi manusia bebas. Tumiso ditangkap pasca peristiwa 1965 karena bergabung dalam Resimen Mahasurya yang dianggap pro-Sukarno. Dengan kapal ADRI 10, ia diangkut ke Pulau Buru pada April 1969. Selama sepuluh tahun, ia hidup dipengasingan hingga dibebaskan pada 1979. Sejak 2004, Tumiso menjalani hidup di Panti Jompo Waluya Sejati Abadi, Jalan Kramat V, Jakarta Pusat. Di Panti yang dari tahun ke tahun mulai sepi penghuni itu, Tumiso seringkali teringat kawan-kawannya di Pulau Buru. Hingga pada 2016, ia kembali menginjakkan kaki ke Pulau Buru. Pada kunjungan pertama, ia menyempatkan diri mencari makam teman-temannya. Ia merasa miris karena makam teman-temannya ditemukan dalam kondisi tidak terawat. Bahkan beberapa sempat tidak ditemukan. “Makam teman-teman saya itu terletak di tengah-tengah hutan jati, di tengah-tengah padang rumput,” terang lelaki berusia 79 tahun itu. Dari kunjungan pertama itu, Tumiso berkeinginan untuk memperbaiki pusara kawan-kawan. Baginya, itu salah satu hal berguna yang bisa ia lakukan di sisa hidupnya. Tumiso pun berangkat ke Pulau Buru untuk kedua kalinya. Kali ini, Tumiso sangat terkejut karena mendapati makam teman-temannya telah berubah menjadi kubangan celeng (babi hutan). Hal ini membuat Tumiso berbulat tekad untuk mengeksekusi rencananya. Ia pun mengumpulkan teman-temannya di Jakarta dan meminta bantuan dana. Dana terkumpul sekitar 30 juta dan ia pun berangkat ke Pulau Buru untuk ketiga kalinya. Di Buru, ia bertemu dengan beberapa transmigran untuk meminta izin memperbaiki makam. “Pak ini kuburan mau saya perbaiki, pendapat bapak bagaimana?” tanya Tumiso kepada Kabul, seorang transmigran Buru. “ Lho jangan tanya saya, tanya sama penghuni,” jawab Kabul. “Penghuninya siapa?” tanya Tumiso lagi. “Tanya saja yang di dalam kubur. Coba sampean tanya besok dia sudah njawab ,” ujar Kabul. Tumiso pun mengikuti usulan Kabul. Keesokan harinya, Kabul berkabar, “ wonge klecang-kleceng, ngguya ngguyu, seneng (orangnya senyum-senyum, tertawa-tertawa, senang). Eksekusi!” Tumiso pun langsung bergegas memperbaiki makam-makam itu. Pertama-tama, ia membuat saluran air supaya air yang menggenangi areal makam bisa surut. “Besok sudah ada informasi dari kubur, penghuni lepas baju kipas-kipas ngguya-ngguyu . Jadi bajunya dilepas dia tertawa-tawa,” kata Tumiso. Selama sepuluh hari memperbaiki pemakaman, “informasi” dari dalam kubur itu keluar. Tumiso tidak mempermasalahkan benar tidaknya informasi itu. Baginya, hal itu adalah tanda bahwa apa yang dilakukannya itu memiliki arti. “Tapi apa yang dia ceritakan, satu persatu persona yang ada di sana itu adalah temen-temen saya yang satu, disruduk sapi, mati kena tanduk sapi, ada yang tenggelam, ada yang minum racun, itu muncul semua,” jelasnya. Pasca perbaikan makam teman-temannya  itu, Tumiso berpikir untuk memperbaiki makam dari unit lain. “Kalau hanya teman saya yang saya perbaiki makamnya betapa jeleknya nama saya,” kata laki-laki yang dulu menghuni unit 3 bersama Pramoedya Ananta Toer itu. Kali ini, untuk menjalankan keinginannya, Tumiso berharap bisa sekaligus tinggal di Pulau Buru. “Akan lebih baik kan kalau kuburan teman-teman saya perbaiki semua dengan catatan saya tinggal di sana. Secara fisik saya masih mampu,” ujarnya. Menurut Tumiso, terdapat 23 titik lokasi pemakaman tapol di Pulau Buru. Beberapa lokasi yang dekat dengan penduduk transmigran masih terawat, sedangkan pemakaman yang berada jauh di padang rumput dan hutan kondisinya sangat memprihatinkan. Kini, ia tengah mempersiapkan proposal pembiayaan beternak sapi di Pulau Buru yang hasilnya akan digunakan untuk memperbaiki makam dan hidup sehari-hari di sana. Di Panti Jompo yang diresmikan Presiden Abdurrahman Wahid itu, ia bersemangat menjelaskan tentang jenis sapi apa yang akan ia ternak, tentang menanam rumput untuk pakan di tebing sungai sekaligus untuk mencegah erosi, serta tentang memanfaatkan jerami yang melimpah pasca panen. Bahkan ia sudah menghitung kebutuhan asupan garam sapi-sapinya nanti. Tumiso lalu juga bercerita tentang menanam cabai, tomat, terong, mentimun hingga soal mengolah pohon-pohon kelapa yang sudah tua. “Ambisius ya?” ujarnya tak butuh jawaban. Lukas Tumiso benar-benar ingin kembali ke Pulau Buru.

  • Sukarno, Kopi, dan Peuyeum

    BANDUNG 1920-an, menjadi masa-masa tersulit bagi Sukarno dan keluarga kecilnya. Meski banyak yang telah mengakui Bung Karno sebagai pemimpin, kehidupannya tidak otomatis menjadi lebih baik. Sangat sedikit pekerjaan yang bisa diambilnya kala itu. Praktis hidup Sukarno serba pas-pasan. Untuk menyambung hidup, Sukarno mendirikan jasa biro arsitek bersama kawannya, Ir Anwari. Namun pekerjaannya itu sama sekali tidak dapat diandalkan. Diceritakan Cindy Adams, dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia , demi memenuhi berbagai kebutuhan, Sukarno terpaksa menyewakan beberapa kamar rumahnya di Jalan Dewi Sartika No.22. Sekalipun rumah itu kecil, tetapi tiga ruangan di dalamnya telah cukup memberi penghidupan bagi Sukarno dan istrinya, Inggit Garnasih. Dalam sebulan, Sukarno dapat mengumpulkan kira-kira 110 rupiah dari hasil sewa satu rumah. Itu sudah termasuk beranda rumah yang dijadikan kantor akuntan oleh Dr. Samsi. Tetapi rupanya pemasukan itu masih belum bisa menutupi keperluan mereka. Inggit pun mau tidak mau harus membantu suaminya dengan berjualan bedak dan alat-alat kecantikan lain yang dibuat sendiri di dapur rumahnya. Bahkan ketika penjualan kosmetik sedang sepi, Sukarno harus memberanikan diri meminjam beberapa rupiah kepada salah seorang penyewa bernama Suhardi. “Benar-benar suatu rahmat dari Tuhan Yang Maha Pengasih, bahwa selalu saja tersedia jalan untuk menjalani kehidupan yang berat ini,” ujar Sukarno. Meski hidup serba pas-pasan, Sukarno merasa memiliki banyak orang yang selalu siap membantunya. Setiap kali kawan-kawannya di PNI (Partai Nasional Indonesia) maupun THS (Technische Hoogeschool) memiliki uang lebih, mereka pasti selalu datang bertamu ke rumah Sukarno. Sambil membawa kopi dan peuyeum –makanan hasil fermentasi khas Jawa Barat berbahan dasar singkong– mereka akan bercengkrama hingga larut. Pernah Sukarno berjanji untuk mentraktir salah seorang kawannya, Sutoto. Ia merasa malu karena setiap kali bertemu, selalu kawannya itu yang membayar minum. Sutoto memang sering datang untuk merundingkan berbagai soal dengan Sukarno. Suatu sore ia janji untuk berkunjung. Setiba di Jalan Dewi Sartika No. 22, bukannya segelas kopi dan peuyeum yang menyambutnya, tapi lagi-lagi ucapan maaf dari Si Bung. “Maaf, Sutoto, sebagai tuan rumah aku tidak dapat menjamumu. Aku tidak punya uang,” ucap Sukarno lirih. Seperti sudah terbiasa, Suroto hanya berkata “Ah, Bung selalu tidak punya uang.” Selagi keduanya duduk-duduk dengan muka muram di beranda rumah, seorang wartawan melintas sambil mengayuh sepedanya. “Heee, mau ke mana?” panggil Sukarno. “Cari tulisan untuk koranku,” teriak Si Wartawan. “Aku akan bikinkan buat kamu,” ucap Sukarno. “Berapa?” tanya wartawan itu sambil memperlambat jalan sepedanya. “Sepuluh rupiah!” tanpa membalas penawaran Sukarno, Si Wartawan seperti hendak mempercepat laju sepedanya. “Oke, lima rupiah,” Sukarno menawar. Masih belum menerima jawaban, Sukarno menurunkan tawarannya. “Dua rupiah bagaimana? Asal cukuplah untuk bisa mentraktir kopi dan peuyeum . Setuju?” “Setuju!” Si Wartawan langsung mengiyakan.  Sang wartawan itu lalu turun dan segera memarkirkan sepedanya ke dinding rumah. Sementara dia dan Sutoto berbincang, Sukarno mulai memainkan jari jemarinya di atas sebuah kertas kosong. Bagi Sukarno menulis bukanlah sesuatu yang sulit. Begitu banyak persoalan politik yang tersimpan di pikirannya. Sukarno seakan tidak pernah kehabisan bahan tulisan apapun tema yang diajukan. Tanpa satupun coretan, kertas yang tadinya kosong telah terisi oleh kurang lebih 1.000 perkataan. Tidak sampai 15 menit, satu tulisan lengkap telah diterima Si Wartawan. Ia lalu pamit pulang. Wajahnya girang, begitu juga dengan Si Bung. Tanpa disangka-sangka Sore itu Sukarno kesampaian menraktir kawannya. Uang hasil menumpahkan unek-uneknya itu pun langsung dibelanjakan. Sutoto, Sukarno, serta Inggit duduk di beranda rumah. Mereka melewati sore itu dengan segelas kopi dan sepiring peuyeum hangat. “Bagi kami kemiskinan bukanlah sesuatu yang perlu membuat malu. Kami semua orang yang berpikiran idealis,” ungkap Sukarno.

  • Ketika None Jakarta Bercerita

    SEJUMLAH mantan None (Nona) Jakarta lintas zaman berkumpul. Mereka menuturkan kisahnya masing-masing ihwal mula mengikuti ajang “Abang None” Jakarta. Berbagai memori digali kembali dalam suasana saling cengkrama.  Ada haru, lucu, bangga, dan jenaka yang tersua pada tiap tuturan mereka.      “Menjadi None Jakarta pasti akan mengubah hidup semua orang, tidak terkecuali saya. Pengalaman yang begitu luas membuka banyak pintu dalam kehidupan saya,” kenang Lula Kamal, None Jakarta 1990 dalam acara peluncuran buku Cerita, Cinta, dan Cita-cita: Kumpulan Kisah None Jakarta (1981--2016) di auditorium Perpustakaan Nasional, 30 Oktober 2019. None adalah bagian dari kontes “Abang None Jakarta” yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak 1968 era kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin. Para Abang dan None dibina dan ditempa sebagai duta ibu kota. Setelah terpilih, mereka akan bertugas mendampingi gubernur dalam acara resmi, termasuk membantu sosialisasi program pemerintah daerah. Selain itu, Abang dan None juga menjadi ikon dalam mempromosikan Jakarta di dalam maupun luar negeri.   “Saya banyak belajar, belajar berpakaian, pakai rok, cepol, dan pasang konde,” ujar Lula berkelakar. Lula Kamal yang kini berprofesi sebagai dokter tidak sendirian. Dalam buku setebal 192 halaman itu ada 20 None yang membagikan kisah dan pengalamannya. Mulai dari Sylviana Murni (None Jakarta 1981) hingga Yasmine Kurnia (None Jakarta 2016); mulai dari kepemimpinan Gubernur Tjokropranolo (Bang Nolly) sampai Basuki Tjahaja Purnama (Koh Ahok). Para None Jakarta lintas angkatan bersama mantan Gubernur DKI Jakarta (2007-2012) Fauzi Bowo. Foto: Martin Sitompul/Historia. Tidak cuma cantik, cerdas juga menjadi kualitas mutlak bagi para None. Selama digembleng, para None memperoleh banyak pengalaman dan cerita unik. Fifi Aleyda Yahya misalnya. None Jakarta 1995 ini awalnya merasa kurang yakin karena berpostur mungil, jauh dari semampai. Namun pada akhirnya, dia terpilih sebagai None dan mempromosikan pariwisata Jakarta hingga ke berbagai negara. Fifi kemudian dikenal sebagai pembawa acara berita di sebuah stasiun televisi swasta. Ada lagi kisah dari Santi Darmaputra, None Jakarta 1997. Ketika bertugas di Berlin selama tiga hari, dia lupa membawa kerudung. Beruntung tidak ada yang tahu. Para None memang diharuskan mengenakan pakaian adat Betawi lengkap dengan kerudung. Karena tetap percaya diri, Santi menjalankan tugasnya dengan baik. Tidak semua None Jakarta asli dari Betawi. Ada yang turunan campuran, seperti Lula Kamal yang bedarah Arab dan Devi Zuliyanti Nasution, None Jakarta 1994 yang berdarah Mandailing.  Begitu pula dengan Sussy Kusumawardhani, None Jakarta 2006. Sussy berasal dari Lampung, berkuliah di UI Depok, namun tinggal di Jakarta sehingga memiliki KTP Jakarta. Sebagai “None Pendatang”, Sussy mengatakan bahwa siapa saja punya kesempatan yang sama berkontribusi buat Jakarta. “Saya ingin membuktikan bahwa Jakarta bukan hanya kota seribu mimpi tapi juga seribu kesempatan,” ujar Sussy. Dari semua Gubernur Jakarta, barangkali Fauzi Bowo-lah yang paling intens berhubungan dengan para None. Bang Foke – panggilan Fauzi Bowo – sejak pertengahan 1970-an, menjabat biro kepala daerah yang berurusan dengan protokoler. Tugasnya pula memberdayakan Abang dan None untuk berbagai program pemerintah DKI Jakarta.    “Saya pendamping Abang None yang paling lama,” kata Bang Foke. “Cerita, cinta, dan cita-cita mereka itu saya banyak tahu, termasuk yang asli dan yang palsu,” ujar Bang Foke bergurau. Barulah ketika menjabat gubernur periode 2007—2012, Bang Foke didampingi Abang dan None. Setelah tuntas mengabdi, banyak dari None Jakarta yang berkecimpung di berbagai bidang. Ada yang meniti karier sebagai jurnalis, seniman, pengusaha, hingga dokter. Ada pula yang memilih sebagai ibu rumah tangga. Menurut Valerina Daniel, penyunting buku ini, menjadi None Jakarta tidak akan berhenti atau hanya pada saat bertugas saja.     “Setelah bertugas pun kita masih ada kedekatan, masih merasa bertanggung jawab untuk menjaga Jakarta. Walaupun kita saat ini profesinya berbeda-beda tapi tetap punya kontribusi untuk membantu Kota Jakarta,” ujar Val yang juga None Jakarta 1999.    Hingga saat ini, tradisi Abang None Jakarta masih berlangsung. Para jebolannya mengaku mendapat banyak pengalaman berharga. Ajang ini juga merupakan kesempatan berkarya sekaligus membaktikan diri bagi warga Jakarta.   “ Enggak nyesal ikutan Abang None, kalah menang menyenangkan,” ujar Lula Kamal.

  • Sejarah Lem Aibon

    Lem Aibon jadi trending topik. Sebabnya, anggota DPRD DKI Jakarta dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), William Aditya, menemukan anggaran janggal dalam APBD DKI Jakarta. Dia mempertanyakan anggaran Rp82 miliar yang diajukan oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk membeli lem Aibon yang akan dibagikan kepada 37.500 siswa. Entah untuk apa lem Aibon itu? Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Syaefuloh Hidayat menjelaskan bahwa tidak ada anggaran Rp82,8 miliar untuk pembelian lem Aibon dalam program belanja alat tulis kantor 2020.Anggaran Rp82,8 miliar itu merupakan anggaran sementara yang dimasukkan ke dalam sistem e-budgeting DKI Jakarta. Anggaran itu adalah anggaran alat tulis kantor seluruh sekolah di Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat. Namun, anggaran tersebut kemudian disisir kembali oleh Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Anggaran tersebut kemudian direvisi dari Rp82,8 miliar menjadi Rp22,7 miliar untuk alat tulis kantor di seluruh sekolah di Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat. “Belanja alat tulis kantor yang di situ ada komponen Aibon disampaikan Rp82 miliar, sebenarnya alat tulis kantor seluruh sekolah itu hanya Rp22 miliar,” kata Syaefuloh di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2019), dikutip Kompas.com . Lem Aibon yang berwarna kuning telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Bahkan, namanya telah menjadi brand image untuk produk lem. Lem Aibon telah hadir di pasaran Indonesia sejak tahun 1974. Perusahaan yang memproduksinya adalah PT Aica Indonesia. Menurut Ohiao Halawa dalam biografi Soerjadi, Membangun Citra Partai , PT Aica Indonesia didirikan tahun 1974, dengan pemilik saham Pakarti Yoga Group (milik Sofjan Wanandi), Metropolitan Group (milik Ciputra), Aica Kogyo Co. Ltd. dari Jepang, dan Mitsui Group. Perusahaan ini menghasilkan lem dan formika,yaitu bahan tipis berkilat yang terutama dipakai untuk pelapis furnitur. “Dewasa ini (1993), PT Aica Indonesia memiliki sekitar 190 karyawan. Asetnya sekitar 20 miliar rupiah. Pangsapasarnya 60% untuk ekspor. Soerjadi sendiri adalah presiden direkturnya sejak tahun 1982,” tulis Ohiao . Soerjadi menjadi presiden direktur (presdir) PT Aica Indonesia setelah beberapa tahun tidak memiliki presdir . “ Karena kata sementara orang tidak ada yang mau menjadi presdir, katanya sudah ada dua orang presdirnya yang meninggal dunia semasa memegang jabatan sebagai presdir,” tulis Ohiao. Dalam testimoninya di buku Sofjan Wanandi: Aktivis Sejati , Soerjadi mengungkapkan bahwa setelah tak lagi menjadi anggota DPR, dia menganggur karena tak memiliki pekerjaan lain selain berpolitik. Dia kemudian mendatangi Sofjan Wanandi. “Lalu saya ditawari untuk memimpin salah satu perusahaannya (produsen Aica Aibon) yang tidak memiliki presiden direktur (dua kali presiden direkturnya meninggal dunia ) ,” kata Soerjadi. Empat tahun setelah menjabat presdir PT Aica Indonesia, pada 1986 Soerjadi terpilih menjadi Ketua Umum PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dalam Kongres III PDI di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta. Dia juga kemudian menjadi anggota DPR. “Tugas saya sebagai Wakil Ketua DPR, saya jalankan sebaik-baiknya. Demikian juga di PT Aica ini. Meskipun di sini saya dapat duit cukup menurut ukuran saya, tetapi prioritas saya tetap di PDI,” kata Soerjadi. Soerjadi mengklaim PT Aica Indonesia tidak merasa dirugikan karena dia sibuk mengurus partai.“Perusahaan ini bukan punya saya, yang menilai dan menentukan adalah pemilik saham. Pemilik perusahaan yang menentukan,siapa yang akan menjadi presdir dan digajinya, kalau dirugikan tentu tidak mungkin mau mentolerirnya,” kata Soerjadiyang pensiun dari PT Aica Indonesia tahun 2004. Sementara itu, untuk memasakan hasil produksi PT Aica Indonesia, Metropolitan Group dan Pakarti Yoga Group mendirikan PT Marga Bhatara pada 1974. “Perusahaan ini memasarkan Aica Aibon, pelopor lem serba guna, dan Aica Melamine pelapis dekoratif untukmemperindah furnitur,” demikian disebut dalam buku Profil Top Indonesia , terbitan Pusat Profil dan Biografi Indonesia (PPBI). Menurut Yanri Sali, Direktur Utama PT Marga Bhatara, kedua produk tersebut telah memperoleh sertifikat ISO 9002. “Tidak mudah mempertahankan market share dari suatu produk yang sudah berumur lebih dari 25 tahun (dari 1974 hingga awal tahun 2000-an, red. ). Apalagi nyaris tanpa diversifikasi, harganya paling tinggi di antara produk sejenis, dan tiap tahun selalu bermunculan merek-merek baru. Namun berkat keuletan, dengan kiat-kiat jitu, maka produk Aica Aibon dan Aica Melamine tetap profitable setiap tahun,termasuk pada tahun-tahun krisis,” kata Yanri.

  • Penculikan Tokoh Bandung di Awal Revolusi

    MASIH lekat dalam ingatan Amarawati Poeradiredja ketika sekelompok pemuda mendatangi rumah Residen Priangan Kardata Poeradiredja, kakeknya, pada 24 Oktober 1945. Mereka menggedor pintu dan memaksa masuk. Begitu pintu dibuka, mereka mendorong istri Kardata dan langsung mencari sang residen. “Nenek saya didorong, hampir dicekik. Kakek saya ditangkap,” kata Amarawati pada Historia . Kardata saat itu berusia 65 tahun. Ia ayah dari perempuan pejuang Bandung Emma Poerdiredja dan Perdana Menteri Pasundan Adil Poeradiredja. Kardata mengundurkan diri karena tidak berhasil mempertahankan otoritasnya sebagai residen. Dalam pengumuman publiknya tanggal 12 oktober 1945, ia menyatakan bahwa dirinya tidak lagi bertanggung jawab pada pemeliharaan ketertiban umum. Secara resmi ia mengundundurkan diri pada 24 Oktober dan absen pada hari yang sama. Tepat setelahnya, ia diculik. Selain Kardata, dua tokoh di Bandung lain juga ditangkap, yakni Niti Sumantri dan Ukar Bratakusumah. Mereka kemungkinan besar ditangkap antara 25 dan 26 oktober 1945. Ketiga orang itu diculik oleh kelompok pemuda yang sama dengan penculik Kardata. Para pemuda itu, kata Amarawati, bukan orang Sunda. Mereka berbaju putih, celana hitam, dan berdasi kupu-kupu. Menurut John RW Smail dalam Bandung Awal Revolusi, para pemuda itu merupakan pemuda dari badan perjuangan Bandung yang hampir semua pemimpinnya adalah orang non-Sunda. Penculikan Kardata, Niti, dan Ukar jadi buntut diplomasi yang ditempuh para pemimpin politik di Bandung. Para pemuda itu kecewa terhadap langkah diplomatif Poeradiredja dan KNI Karesidenan Priangan yang pada 10 Oktober 1945 membuat kesepakatan dengan Komandan RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees) di Bandung, Mayor Gray bahwa unit pasukan Jepang telah diperintahkan untuk mundur ke pos masing-masing dan mengimbau agar rakyat tidak melakukan serangan dan kembali ke rumah masing-masing. Mayor Gray memberi jaminan bahwa tidak ada organisasi NICA di Kawedanan Preanger selama ia memegang kendali. Kenyataannya, pihak Jepang tetap melakukan penembakan, penahanan, dan penggeledahan. Setelah 10 Oktober 1945, atas perintah Inggris, Jepang kembali mengontrol kota Bandung hingga pertengahan November. Sekira 1500 serdadu Jepang yang diperkuat tentara Inggris diturunkan ke kota itu. Sebuah laporan menyebutkan bahwa orang-orang Kenpeitai mencegat dan menganiaya pedagang pribumi yang berangkat ke pasar. Mereka memaksa para pedagang untuk menjual barang dagangan hanya kepada Belanda. Usut punya usut, tindakan ini didukung oleh Gray yang memerintahkan Jepang untuk melanjutkan kontrol penuh. Kontrol Inggris-Jepang mengakibatkan semacam kebuntuan semangat di kalangan pemuda Bandung. Gerakan pro-kemerdekaan melemah. Suara teriakan “Siap!” yang biasa digaungkan para pejuang tidak terdengar untuk sementara. Atmosfer revolusi meredup. Kondisi itu makin diperparah dengan adanya pertemuan 22 Oktober 1945 yang menghasilkan pembentukan Badan Perhubungan, yang tugasnya mengurusi hubungan dengan staf Brigadir Jenderal N Mac Donalnd, komandan Brigade Infanteri India ke-37 yang menjadi penguasa tertinggi di Bandung. Melalui Badan Perhubungan, Inggris meminta Indonesia sepakat mengumpulkan seluruh persenjataan untuk diserahkan padanya. Indonesia menolak permintaan itu karena hal semacam ini terlalu berat dilakukan masyarakat yang masih berada dalam atmosfer revolusi. Untuk membujuk pihak Indonesia, pada 23 Oktober Inggris mengatakan orang Belanda, Eropa, dan pegawai RAPWI sudah dilucuti sehingga rakyat Indonesia juga harus meyerahkan senjatanya dalam 48 jam. Rakyat Indonesia mengajukan protes, “Jika inggris berniat melucuti rakyat, maka terjadi perlawanan”. Frustasi karena terus ditekan dan tidak berdaya melawan pasukan kecil Jepang, mereka  jadi mudah terpancing. Para pemuda ini pun mencari pihak yang dianggap bertanggungjawab. Selain Kardata, Niti, dan Ukar, mereka juga menculik dan membunuh Otto Iskandardinata. Tokoh lain seperti Suhari (kepala BKR Kota Bandung) dan Sukanda Bratamanggala (bekas komandan kompi Peta) hampir diculik namun gagal lantaran dihalang-halangi bawahannya.   Penculikan yang dilakukan merupakan taktik penghukuman pada para tokoh Bandung setelah diangap terlalu lunak dalam berdiplomasi dan mengakibatkan tekanan penjajah pada rakyat. Namun, masih menurut Smail, taktik ini tidak efektif karena dilakukan di tengah hubungan baik Indonesia-Inggris. Pada akhirnya, para tawanan diangkut ke Surabaya, ditahan selama terjadi pertempuran dan dibebaskan setelahnya. “Kakek saya dibawa ke timur. Katanya di sana perlakuannya buruk,” kata Amarawati.

  • Mengurai Nenek Moyang Ayu Utami Via DNA

    JUSTINA Ayu Utami. Meski lahir dari orangtua asal Jawa, ia lahir dan tumbuh di lingkungan yang dominan orang Sunda. Maka perempuan k e lahiran Bogor, 21 November 1968 itu pun kadang ia tak luput dari perundungan. “Sebagai orang Jawa, ya pernah sih saya di- bully. Karena saya tinggalnya di Bogor, kan daerah (orang) Sunda ya. Biasa pulang sekolah lewat di satu komplek perumahan yang dominan orang Sunda, suka dikatain: Jawa lu! Jawa kowek,” kata Ayu mengenang. Namun, Ayu jarang memasukkan perundungan itu ke dalam hati. Baginya, perundungan yang diterimanya tak separah yang diterima banyak temannya dari etnis Tionghoa maupun Arab. Di Masa Orde Baru yang jauh dari demokratis itu, Ayu yang tumbuh menjadi wartawan hingga turut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), perlahan menggali pemahaman akan Indonesia majemuk. Manusia Indonesia asal-usulnya bercampur-baur. Pun saat ia mulai mengukir namanya di bidang sastra sebagai novelis, ia tak luput menyelipkan banyak keresahannya terhadap rezim Soeharto. Lewat novel pertamanya, Saman, terbit pada 1998, Ayu mempelopori gaya sastra baru: sastra wangi. Genre ini menyodorkan isu-isu seksual dan feminisme. Langkah Ayu diikuti banyak novelis lain macam Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, atau Dewi ‘Dee’ Lestari. Kendati lewat karyanya Ayu kerap memuntahkan kritik tajam pada Soeharto, ternyata leluhur Ayu masih sekampung dengan Soeharto. “Bapak-ibu saya dari Yogya. Ibu saya asal Gamping, bapak saya asal Gayam. Dari garis ibu, saya enggak tahu apa-apa tentang leluhur. Tapi dari (garis) bapak, pernah ada cerita tentang mbah (kakek) buyut seorang lurah di Desa Kemusuk. Konon Soeharto masih hormatlah sama mbah buyut saya. Sampai saat Mbah buyut saya meninggal, Soeharto datang (melayat),” kata Ayu mengisahkan cerita dari ayahnya. Justina Ayu Utami menguraikan ia punya leluhur yang sekampung dengan penguasa rezim Orde Baru Soeharto (Foto: Dok. Historia) Ayu menjadi satu dari 16 relawan tes Deoxyribonucleic acid (DNA) yang diadakan Historia . id bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI lewat Proyek Asal Usul Orang Indonesia (ASOI) , yang pamerannya dihadirkan di Museum Nasional, 15 Oktober-10 November 2019. “Ini (tes DNA) proyek yang sangat penting karena saya tuh capek dengan pemahaman mengenai identitas yang membatasi. Seolah-olah ada yang murni dalam hal suku atau ras. Kan kita selalu bercampur. Tes ini sangat baik untuk menelusuri asal-usul kita. Diam-diam kita percaya ada percampuran DNA fisik dan terpenting adalah yang menjadi riset saya, kita punya kemampuan fisik dan kultural untuk mencampurkan. Jadi percampuran itu adalah DNA kehidupan,” kata Ayu. Dalam risetnya, Ayu mendapati suku Betawi, yang banyak diakui orang sebagai suku asli Jakarta, mulanya punya kekhasan dan ragam hasil percampuran budaya lain. Namun, kini Betawi mengerucut pada satu identitas tertentu. Padahal menurutnya, etnis Betawi terbentuk dari percampuran etnis-etnis lain. “Betawi sendiri datang dari nama Batavia, satu wilayah di Belanda. Kemudian orang-orang yang ada di kota Batavia itu percampuran Bugis, Bali, Sunda, Jawa, bercampur jadi satu. Tadinya kita lihat upacara kawinan orang Betawi macam-macam. Ada (sentuhan) Arabnya, Sundanya, Tionghoanya. Jauh lebih kaya daripada sekarang. Sekarang jadi pengerucutan satu identitas tertentu saja,” sambungnya. Itu hanya satu contoh dalam hal perbedaan muasal etnis yang lantas jadi pembatas dari kacamata Ayu. Padahal, kata Ayu, para pendiri bangsa sudah bersepakat bersatu dalam perbedaan. “Indonesia kan beragam. Waktu para ibu dan bapak bangsa ini mendirikan negara yang namanya Indonesia, kita sepakat mengatasi yang namanya perbedaan. Bahkan sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, kita sudah menyatakan sepakat. Jadi perbedaan itu harus diterima dan harus berjalan secara alamiah,” tambah Ayu. Hasil Tes DNA Ayu Utami Meski sudah punya prediksi dan prediksinya tak melenceng jauh, Ayu mengaku deg-degan ketika mengetahui hasil tes DNA-nya. “Tuh, East Asian (Asia Timur) paling besar. Agak cocoh sih dengan dugaan, ya,” kata Ayu begitu berhasil mengeluarkan kertas hasil tes DNA-nya dari selubung amplop. Ayu Utami sedikit terkejut dia punya gen nenek moyang Kurdi dan Dhangar (Foto: Dok. Historia) Rinciannya gen nenek moyang Ayu Utami: Asia Timur 79,94 persen, Diaspora Asia 18,61 persen, Asia Selatan 1,43 persen, dan Timur Tengah 0,03 persen. Yang dimaksud Diaspora Asia adalah orang-orang Asia yang bermigrasi ke Benua Amerika. Sementara gen nenek moyang Asia Timur Ayu merupakan campuran antara gen Austronesia dan Austroasiatik yang meliputi Taiwan, Melayu, Cina, Filipina, Makau, Hong Kong, Jepang, dan Guam. “Jadi hampir sebenarnya 98 persen itu Mbak Ayu Utami dari Asia Timur. Ini banyak sekali Austronesian, tapi saya juga melihat jejak Austroasiatik tadi. Memang dari data-data yang kami kumpulkan, untuk dari Jawa memang Austroasiatiknya cukup tinggi. Kemudian Austronesianya juga, hampir 50:50,” kata pakar genetika dari Lembaga Biologi Molekular Eijkman Profesor Herawati Supolo-Sudoyo ketika memaparkan hasil tes DNA Ayu. Herawati juga melihat ada jejak gen yang cukup unik dari tubuh Ayu Utami, yakni gen Asia Selatan dan Timur Tengah. Jika Asia Selatannya berasal dari gen suku-bangsa Dhangar, gen Timur Tengahnya dari suku-bangsa Kurdi. “(DNA) Timur Tengahnya dari Iranian-Kurds ini. Suku bangsa Kurdi di daerah Iran. Kalau Asia Selatannya secara spesifik menyebut satu populasi, Dhangar, di daerah Maharastra, India. Suatu populasi yang biasanya hidup terisolasi, menggembala, dan nomadik atau berpindah-pindah,” lanjut Herawati. Pakar genetika dari Lembaga Biologi Molekular Eijkman Profesor Herawati Supolo-Sudoyo (Dok. Historia) Sang novelis pun mengaku sedikit terkejut punya gen Timur Tengah dan India. “Mayoritas gen saya karena saya dari Jawa, memang pasti dari Asia. Tapi yang tidak saya duga, yaitu dari gen Timur Tengah, spesifiknya Kurdi. Suatu data yang menarik dan kebetulan juga berasal dari daerah-daerah yang punya sejarah agama dan pemikiran yang asyik,” ujar Ayu. Dhangar yang gennya ada dalam tubuh Ayu merupakan masyarakat nomaden di wilayah Maharastra. Etnis yang punya sistem kasta ini sudah dikenal sejak berabad-abad lampau. Sebagian kecil dari etnis itu mengembara sampai ke wilayah Uttar Pradesh. Mengutip sensus dari Komisi Sensus dan Kependudukan Federal India tahun 2011, jumlah etnis Dhangar tidak lebih dari 44 ribu jiwa di berbagai pelosok India. Pun begitu, hingga kini masih belum diketahui sejak kapan orang-orang Dhangar mulai mendiami Maharastra. Antropolog Shyam Singh Shashi dalam The World of Nomads menguraikan, istilah “Dhangar” berasal dari dua kata Sanskerta: Dhang yang artinya bukit dan Gar yang artinya gembala. Secara sederhana, Dhangar berarti masyarakat penggembala di atas bukit. “Kata Dhangar juga tertulis di pahatan sebuah gua Budha di Distrik Pune, Maharastra. Gua ini dipercaya berasal antara dari abad pertama atau ketiga Masehi,” tulis Shashi. Sistem kasta dalam masyarakat Dhangar sedikit berbeda dari sistem kasta etnis-etnis India lain. Sistem kasta di masyarakat Dhangar terbagi tiga. Yang tertinggi adalah Kasta Khute Dhangar, disusul Kasta Bargi atau Hatker Dhangar, dan terakhir Kasta Jhade Dhangar. Sosok wanita sukubangsa Dhangar di Maharastra, India (Foto: behance.net/Raginee K/museandmirror.in) Kendati hidupnya terisolasi, orang-orang Dhangar juga mengembara untuk menggembala ternak mereka. Pengembaraan itu membuat mereka bertemu dan kawin-mawin dengan etnis-etnis lain. Dari situlah kemungkinan 1,43 persen darah Dhangar Ayu berasal. Fakta itu membuat Ayu makin percaya bahwa Indonesia adalah sebuah negeri di mana tidak ada satu pun etnis atau suku yang bisa mengaku paling asli dari etnis lainnya. “Saya percaya dan ini jadi passion dan riset saya juga bahwa kita tidak hanya punya DNA fisik tapi juga DNA Nusantara. DNA Nusantara itu bentuknya persilangan, penyatuan yang bertentangan tanpa mengubah pertentangan. Nah itu yang membuat bangsa Indonesia ini bisa membuat rumusan seperti Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila dan kita harus menerimanya dengan bahagia,” tandas Ayu.

  • Cara Raja Bali Menangani Pengacau

    SAMA seperti Inggris yang menjadikan Australia tempat pembuangan orang-orang bermasalah. Raja-raja Bali –terutama dari Klungkung, Gianyar, Bangli– menjadikan Nusa Penida tempat menyingkirkan para pembuat onar dari negerinya. Umumnya yang dikirim ke Nusa Penida adalah para terhukum yang mendapat ganjaran harus diasingkan dari Bali. Mereka kemudian tinggal bersama penduduk yang sejak era kekuasaan Lombok sudah menempati Nusa Penida. Ida Bagus Sideman dalam Penjara di Tengah Samudra: Studi tentang Nusa Penida Sebagai Pulau Buangan menyebut ada lima desa yang menjadi tempat bernaung para terhukum setibanya di Nusa Penida, yaitu Batununggal, Ped, Batumadeg, Batukandik, dan Jungutbatu. Mereka ditempatkan di sana oleh pemerintah Klungkung yang membawahi Nusa Penida. “Empat desa terletak di Nusa Penida dan satu desa (Jungutbatu) di pulau Lembongan,” tulis Sideman. Di pulau seluas kurang lebih 200 km² ini para terhukum harus bekerja menggarap lahan untuk komoditi-komoditi ekspor beberapa kerajaan Bali, termasuk Klungkung, yang pada abad ke-17 resmi menjadi pemilik Nusa Penida. Kerja paksa tersebut dilakukan seumur hidup hingga diturunkan kepada generasi setelahnya. Hampir semua literasi Barat yang terkait dengan Nusa Penida menyebut Nusa Penida sebagai pulau bagi orang-orang bermasalah atau Bandieten Eiland (Pulau Bandit). Seperti Claire Holt dalam tulisannya “Bandit Island: A Short Exploration Trip to Nusa Penida” dimuat Traditional Balinese Culture . Namun penyebutan itu dirasa terlalu berlebihan. Karena seolah mengartikan penduduk Nusa Penida sebagai keturunan bandit. Tetapi agaknya perlu juga dicermati arti di balik nama tersebut. Apa yang menyebabkan para penulis Barat menyematkan nama yang cenderung negatif itu pada Nusa Penida. Syarat Para Terhukum Mendengar kata ‘bandit’ otomoatis pikiran kita akan terarah pada kasus-kasus pelanggaran berat seperti perampokan dan pembunuhan. Namun nyatanya para terhukum yang dikirim oleh raja-raja Bali ini sangat sedikit yang diadili atas tindakan tersebut. Kebanyakan dari mereka adalah para pelanggar politik, ekonomi, adat, dan kepercayaan, yang oleh raja dianggap dapat mengganggu kekuasaannya. Di antara kasus-kasus pengasingan ke Nusa Penida, para terhukum kasus ilmu hitam atau kepercayaan menjadi yang paling berat. Di dalam transkripsi naskah “Paswara Bangli” dimuat Penjara di Tengah Samudra dijelaskan bahwa mereka yang terjerat kasus ini umumnya dijatuhi hukuman mati. Caranya dengan ditenggelamkan di laut. Hukuman teringan yakni diasingkan seumur hidup. Terpidana kasus politik menjadi yang paling banyak. Dalam buku Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali karya Made Sutaba, dkk terbitan Direktorat Sejarah disebutkan bahwa para terpidana kasus politik banyak bermunculan sekitar abad ke-19. Saat itu Bali sedang berada di puncak upaya-upaya perluasan wilayah suatu kerajaan terhadap kerajaan di sekitarnya. Hingga tidak jarang menyebabkan perang saudara. Selama perang tersebut bermunculan kelompok-kelompok pemberontak dari kalangan rakyat kecil. Kelompok pertama adalah mereka yang berusaha menggulingkan pemerintahan yang dirasa tidak adil. Salah satunya terjadi di kerajaan Karangasem. “… masa pemerintahannya penuh dengan kekejaman. Ia menjalankan dengan tangan besi, sehingga rakyat mengalami kecemasan dan penderitaan,” jelas Sutaba. Sementara kelompok lainnya tidak dalam kepentingan menghentikan praktek kekejaman penguasa. Mereka berasal dari luar daerah yang diutus oleh musuh untuk memata-matai berbagai aktifitas di dalam kerajaan sasarannya. Para terduga yang terjerat kasus ini mendapat hukuman terberat. Para terhukum kasus politik, kata Sideman, jumlahnya sangat banyak pada akhir abad ke-19. Situasi politik yang terus memanas, ditambah campur tangan Belanda, semakin memperkeruh suasana di Bali. Satu contoh pengasingan yang cukup banyak diceritakan adalah kasus keluarga bangsawan Gianyar bernama Cokorda Rai Banggul. Bersama istri dan anaknya, Banggul dibuang ke Nusa Penida atas tuduhan pengkhianatan. Ia dihukum seumur hidup dan tidak diberi akses kembali ke tanah Bali. Sedangkan para terhukum kasus hutang piutang (ekonomi), termasuk denda dan pajak, jumlahnya tidak terlalu banyak. Mereka yang terjerat kasus ini biasanya berusaha sekuat tenaga melunasi dendanya tersebut. Dan jika memang tetap harus dihukum, masa pengasingannya tidak lebih dari 2 tahun. Namun jangan dibayangkan para terhukum ini selama di Nusa Penida tinggal di sebuah bangunan penjara dengan kamar-kamar kecil di dalamnya. Selain karena memang tidak ada bangunan seperti itu, para pejabat di Nusa Penida berusaha membuat cara yang baik dalam menanggulangi para terhukum di pulau tersebut. “Narapidana kasus politik, hutang piutang (ekonomi), dan pelanggaran adat ditempatkan bersama-sama di antara penduduk. Nara pidana kasus ilmu hitam ditempatkan dalam barak-barak,” tulis Sideman.

  • Di Balik Keindahan Nusa Penida

    NUSA PENIDA seolah terlupakan di dalam narasi sejarah bangsa ini. Pulau yang sangat terkenal dengan keindahan lautnya itu menyimpan masa lalu yang amat kelam. Mungkin tak ada orang menyangka begitu banyak misteri yang terkubur di sana. Lokasi Nusa Penida berada di antara Bali dan Lombok, Nusa Tenggara Barat. Jika melihat peta, akan tampak sebuah gugusan pulau di tenggara Bali yang menyerupai sebutir telur  burung sedang dierami induknya. Gugusan yang terdiri dari 3 pulau (Nusa Penida, Nusa Ceningan, dan Nusa Lembongan) dengan luas sekira 200 km² itulah penjara yang dahulu digunakan para raja Bali untuk menyingkirkan orang-orang bermasalah dari pulau utama. Pengaruh Kuat Bali Sejak abad ke-9 hingga permulaan abad ke-10, Nusa Penida telah memiliki tempat tersendiri di dalam sejarah Bali. Tersebut pada sebuah prasasti batu bertahun saka 835 (913 M) yang ditemukan di desa Blanjong, Nusa Penida menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Warmadewa pimpinan Raja Sri Wira Kesari Warmadewa. Dalam penelitian sejarawan Ida Bagus Sidemen, Penjara di Tengah Samudra: Studi tentang Nusa Penida sebagai Pulau Buangan , disebutkan kalau Kesari Warmadewa menggunakan Nusa Penida sebagai simbol kemenangan atas musuhnya di Gurun –diyakini para ahli sebagai Lombok– yang tengah berkonflik dengan Bali. Saat itu, Nusa Penida telah dihuni oleh orang-orang dari Lombok. Mereka telah membangun sebuah pemerintahan di sana. Ketika berhasil ditundukan, Bali segera menempatkan orang-orangnya untuk menempati pemerintahan di Nusa Penida. Digunakanlah pulau ini sebagai salah satu basis perdagangan daerah Bali. “Hubungan antara Nusa Penida dengan Bali, terutama dalam bidang perdagangan dan pelayaran, masih berlanjut sampai abad ke-11. Salah satu bandar di Bali yang melayani pelayaran antara Bali dengan Nusa Penida adalah bandar Ujung di desa Ujung Hayang, Karangasem,” tulis Sidemen. Di dalam transkripsi Prasasti Bali yang diterbitkan Lembaga Bahasa dan Budaya Universitas Indonesia terdapat infromasi bahwa hingga dekade pertama abad ke-17, Nusa Penida tetap menjadi penyangga perdagangan kerajaan-kerajaan di Bali. Namun ketika Bali dikuasai dinasti Kresna Kepakisan (abad ke-14), para penguasa Nusa Penida mulai menunjukan itikad memerdekakan diri. Beberapa sumber lokal, semisal Lontar Sawangan , menyebut Nusa Penida sempat mendirikan negeri merdeka pada permulaan abad ke-16. Di bawah pimpinan Ratu Sawang, Nusa Penida membangun pusat pemerintahan di Bukit Mundi. Mengetahui hal itu, Dalem Waturenggong mengirim pasukan untuk menyerang Ratu Sawang. Dikomandoi Dukut Petak, laskar Bali berhasil menaklukan Nusa Penida. Pada pertengahan abad ke-17 Nusa Penida dapat mengusahakan kembali pemberontakannya. Pemerintahan Dalem Di Made dari Kerajaan Gelgel Bali yang kekuasaannya mulai goyah di Nusa Penida mendapat serangan dari seorang penguasa bernama I Dewa Bungkut. Namun kekuatan para pemberontak ini terlampau lemah. Pasukan Ki Gusti Jelantik yang dikirim raja Bali pun dapat menguasai kembali Nusa Penida. Ketika Bali terpecah ke dalam kerajaan-kerajaan kecil, Nusa Penida dinyatakan sebagai bagian dari wilayah kerajaan Klungkung. I Dewa Agung Putra berikrar atas pengaruhnya di Nusa Penida. Semua kerajaan setuju sehingga pulau itu tidak menjadi sengketa di antara para raja Bali. Pulau Bandit Sebagai pemilik Nusa Penida, Klungkung mengangkat beberapa pejabat kerajaan untuk menjalankan pemerintahan di sana. Selain sebagai pengawas, para pejabat ini juga bertugas memperkuat kedudukan politik Klungkung di Nusa Penida sehingga pulau itu tidak diambil alih oleh kerajaan lain. Di dalam beberapa literasi Barat, Nusa Penida dan dua pulau di sekitarnya dikenal sebagai Bandit Island atau Bandieten Eiland (Pulau Bandit). Seperti tulisan Claire Holt, “Bandit Island: A Short Exploration Trip to Nusa Penida”, dimuat Traditional Balinese Culture . Dengan melampirkan beberapa sumber lokal dan arsip Belanda, Holt menyebut pulau Nusa Penida sebagai wilayah yang diisi oleh orang-orang bermasalah dari pulau utama, yakni Bali. “Nama yang menyolok ini menggelitik untuk berusaha mengetahui apa yang ada di belakang nama yang bernada negatif ini,” tulis Sidemen. Julukan bandit yang disematkan para penulis Barat itu, tambah Sideman, sangat berkaitan dengan kebijakan raja-raja Bali yang menjadikan Nusa Penida tempat “pembuangan” untuk nara pidana di kerajaan mereka. Kerajaan Klungkung, Gianyar, dan Bangli, menjadikan Nusa Penida penjara utama bagi para pelanggar hukum yang dijatuhi hukuman pengasingan seumur hidup. Nusa Penida dipilih karena keadaan alamnya dianggap dapat menyengsarakan para terhukum. Kondisi pulau yang kering dengan musim kemarau panjang, ditambah benteng laut di sekelilingnya yang berarus deras disertai gelombang besar, membuat para raja yakin siapapun tidak akan bertahan hidup di sana. Selain itu, ada kepercayaan di antara raja Bali tentang keberadaan ilmu hitam di Nusa Penida. Bagi mereka, para tahanan itu juga merupakan tumbal untuk kekuatan gaib di Nusa Penida yang setiap tahun selalu menyerang Bali. Nusa Penida sendiri penting bagi Klungkung karena secara ekonomi wilayah tersebut menjadi tempat ditanamnya beberapa komoditi ekspor, seperti kacang merah, jagung, ternak sapi dan babi, serta tenun. “Para tertuduh yang dibuang ke Nusa Penida, dengan hukuman kerja paksa membuka perladangan baru, diharapkan dapat melipatgandakan hasil ekspor tersebut,” kata Sideman.

  • Pemuda Peranakan Tionghoa asal Palembang di Kongres Pemuda

    Malam Senin, 28 Oktober 1928, di gedung Indonesische Clubhuis, Kramat, Batavia. Para pemuda berkumpul, menyimak paparan wakil-wakil organisasi peserta Kongres Pemuda II tentang kepanduan, pergerakan pemuda, dan persatuan Indonesia. Kongres terbagi atas tiga sidang dan telah berjalan dua hari. Malam itu Kongres masuk agenda sidang terakhir. Sugondo Djojopuspito, ketua Kongres, mendapat giliran bicara setelah paparan wakil-wakil organisasi permuda. Dia membacakan tiga keputusan Kongres: bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia, dan berbahasa Indonesia. Peserta Kongres menyetujui tiga keputusan itu secara bulat. Tak ada diskusi lagi. Peserta Kongres membaca ulang keputusan dengan nyaring. Kemudian Wage Rudolf Supratman memainkan lagu Indonesia Raya dengan biola. Dolly, putri Haji Agus Salim, mengisi vokalnya. Peserta berdiri dan menyanyikannya bareng-bareng. Kongres pun selesai. Peserta merayakan hasil kongres dengan cara dan kelompoknya masing-masing. Anggota Jong Sumatranen Bond (JSB) menggelar acara api unggun di daerah Tanah Tinggi, Batavia. “Ternyata api unggun diserbu polisi Belanda, sehingga terpaksa bubar dan sebagian hadirin digiring ke Hopbiro (kantor polisi),” ungkap Kwee Thiam Hong dalam “Ada Juga Pemuda ‘Non-Pri’ dalam Sumpah Pemuda 1928”, termuat di Kompas , 25 Oktober 1978. Kwee Thiam Hong kala itu remaja peranakan Tionghoa kelahiran Palembang. Umurnya 15 tahun dan duduk di MULO (setingkat SMP). Dia termasuk anggota JSB sekaligus peserta Kongres Pemuda II. Dia hadir bersama tiga orang kawannya: John Liauw Tjoan-hok, Oei Kay-siang, dan Tjio Dinkwie. Kwee diinterogasi oleh polisi semalaman di Hopbiro . Pertanyaan polisi berputar pada nama, alamat, dan jabatan organisasi Kwee. Terhadap pertanyaan jabatan organisasi, Kwee menjawab: “Pemukul genderang dalam kepanduan JSB.” Nama Kwee dan kawan-kawannya jarang tersua dalam sejarah Kongres Pemuda. Padahal kehadiran mereka menandakan bahwa pemuda peranakan Tionghoa turut mendukung Sumpah Pemuda.   Aktif di JSB Kwee datang ke Kongres tidak sekadar ikut-ikutan. Dia memiliki kesamaan pandangan dengan para pemuda penyelenggara dan peserta kongres. “Kami merasa senasib dan sependeritaan, menghadapi lawan yang sama, yaitu kolonialisme Belanda. Saya tidak benci Belanda lho, tapi yang kami lawan adalah stelsel kolonialismenya,” kata Kwee. Kesadaran Kwee terhadap adanya kolonialisme muncul ketika dirinya merasakan sendiri diskriminasi di HBS (pendidikan setingkat SMP untuk golongan terpandang). Dia tidak betah bersekolah di HBS dan memilih pindah ke MULO. “Di MULO siswanya campur baur dari pelbagai daerah suku dan keturunan… Melahirkan suatu solidaritas yang mengatasi suku dan golongan,” cerita Kwee. Kwee lantas bergabung dengan JSB. “Sebab saya wong Palembang, saya lahir di Palembang.” JSB berdiri pada 9 Desember 1917 di Batavia. Bahder Johan, salah satu pendiri JSB, mengatakan bahwa tujuan JSB antara lain menghilangkan semua prasangka mengenai ras atau suku bangsa dan memperkuat ikatan di antara pemuda-pemuda Sumatra yang sedang belajar di perantauan. Demikian catat almarhum Magdalia, pengajar Program Studi Sejarah Universitas Indonesia, dalam Jong Sumatranen Bond . JSB juga mengadakan kursus politik informal untuk mencapai tujuan lainnya, yaitu membentuk pemimpin di masyarakat. Pematerinya tokoh-tokoh pergerakan Nasional seperti H.O.S Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, dan Sukarno. Dari kursus-kursus politik itulah Kwee memperoleh pandangan tentang Indonesia merdeka. “Ketika itu kami sudah menghendaki Indonesia merdeka. Hanya waktunya belum dapat dipastikan,” kata Kwee dalam Tempo , 6 November 1982. JSB tercatat sebagai salah satu organisasi penyelenggara Kongres Pemuda II. Ikhtiar JSB dan organisasi pemuda lainnya menggelar Kongres Pemuda II mengarahkan para pemuda ke tindakan kebangsaan yang lebih luas. Misalnya dengan membentuk organisasi persatuan pemuda bernama Indonesia Moeda pada 31 Desember 1930.   Tapi Kwee tidak lagi terlibat dalam peristiwa itu. Dia bilang tidak tertarik lagi terjun ke dunia pergerakan dan kepemudaan setelah Kongres. Dia absen selama beberapa lama dari dunia tersebut. Jadi Intel Sjahrir Menjelang kemerdekaan, ketertarikan Kwee pada gerakan kebangsaan mencuat lagi. Dia sangat kepincut dengan gagasan Sutan Sjahrir dan mengikuti diskusi-sikusi politiknya. “Mengagumi pikiran-pikiran sosialismenya Sjahrir, di belakang hari Thiam Hong menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia,” catat Tempo . Ketertarikan dan keterlibatan Kwee dengan gagasan Sutan Sjahrir tidak lepas dari lingkaran pergaulannya semasa sekolah MULO. Dia punya teman sekamar bernama Djohan Sjahroezah. Temannya ini kelak menjadi menantu Haji Agus Salim dan penggerak Partai Sosialis Indonesia. Kedekatan Kwee dengan Djohan tergambar dalam peristiwa pembebasan Djohan pada masa Agresi Militer Belanda pertama (Juli—Agustus 1947). Belanda sempat menahan Djohan beberapa waktu. Kwee mengetahui penahanan ini. Dia melapor ke Haji Agus Salim. “Atas pertolongan mertuanya yang memang disegani lawan dan kawan itulah Djohan selamat,” lanjut Tempo . Pembebasan ini melambungkan nama Kwee di hadapan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Kwee memperoleh tugas tidak resmi menjadi intel Republik dari Sutan Sjahrir. “Soalnya Belanda kan selalu bersikap lunak menghadapi orang-orang keturunan Tionghoa daripada terhadap orang Indonesia asli,” kata Kwee. Setelah kekuasaan Sjahrir tumbang, aktivitas politik Kwee kembali samar. Dia lebih banyak terlibat urusan bisnis dan ekonomi. Dia mendukung penuh gagasan ekonomi koperasi ala Bung Hatta dan pembauran keturunan Tionghoa. Kwee mengganti namanya menjadi Daud Budiman pada 1965. Sebabnya bukan karena dia setuju pembauran, melainkan lantaran anaknya dipersulit masuk universitas. Melalui perubahan nama, anaknya baru bisa masuk universitas. Kwee tak pernah suka namanya berganti. Menurutnya pembauran tak mesti berhubungan dengan perubahan nama. “Nama itu kan pemberian orangtua yang sudah dipikirkan masak-masak waktu lahir… Buat apa pakai nama Indonesia kalau jiwanya bukan Indonesia lagi?” ungkap Kwee. Kwee lebih menekankan pentingnya pembauran melalui gagasan dan perilaku ketimbang lewat hal-hal formal dan lahir dari situasi terpaksa. Dia juga sempat menyayangkan masih adanya pengotakan garis rasial pribumi dan non-pribumi. Kwee tutup usia pada 1997, setahun sebelum kerusuhan berbau etnis pada Mei 1998. Meski dia telah lama meninggal, kegusarannya masih terasa hingga sekarang. Terutama menjelang pemilu atau pilkada ketika politik identitas dimunculkan untuk memperoleh suara.

  • Panggil Pengusaha Kepercayaannya, Sukarno Kena Batunya

    SEBUAH undangan sarapan tiba di meja Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta dan pengusaha berjuluk “Raja Mobil”, pada suatu hari di tahun 1962. Pengirimnya, WaKSAD Jenderal Gatot Soebroto. Sang jenderal ingin menduskiskan hal penting dengan Hasjim. Selain sangat mempercayai Hasjim, Gatot melihat sang pengusaha punya akses besar ke dalam kekuasaan. Meski sempat bingung karena tidak biasa Gatot mengundang sarapan bareng, Hasjim memenuhi undangan itu. Hadir pula pengusaha Agus Dasaad dalam sarapan itu. Setelah berbasa-basi, Gatot langsung membuka pembicaraan kepada dua tamunya. “Tuan-tuan berdua aku undang karena aku mau minta bantuan,” kata Gatot sebagaimana dikutip Hasjim dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Demi menenteramkan hati lantaran mengetahui kebiasaan jenderal yang meminta bantuan tak lain berujung pada pengeluaran sejumlah uang, Hasjim pun menyela Gatot. “Bisa kita makan dahulu baru ngomong? Ngomong soal bantuan lebih baik bila kami sudah kenyang, Jenderal,” kata Hasjim. Pembicaraan pun berjalan kembali sesaat menjelang sarapan bersama itu selesai. Gatot membukanya dengan permintaan agar Hasjim menyampaikan pesannya kepada Presiden Sukarno. “Bilang pada raja Jawa itu, kalau Nasution diangkat jadi Kasab, suruh angkat A. Yani jadi Kasad,” kata Gatot, yang memaksudkan “raja Jawa” sebagai Presiden Sukarno, dikutip Hasjim. Beberapa waktu kemudian, Hasjim menyampaikan pesan Gatot itu ke presiden ketika dirinya diundang sarapan bareng sebagaimana biasa dilakukan Sukarno kepada orang-orang terdekatnya. Sukarno senang mendengar pesan Gatot itu karena dia rupanya juga hendak berdiskusi tentang siapa calon pengganti KSAD Nasution. Sebelumnya, Sukarno telah menolak permintaan Nasution yang mengusulkan Gatot Soebroto sebagai penggantinya kelak ketika dirinya telah diangkat presiden menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB). Penolakan itu membuat Nasution mencarikan nama lain. A. Yani, deputi operasi KSAD, lalu dipilih Nasution untuk diajukan kepada presiden. Nama terakhir ini rupanya membuat Sukarno kesengsem. “Dia (Yani, red .) telah memperoleh reputasi yang baik ketika memimpin pasukan dan dengan mudah menumpas pemberontakan PRRI tahun 1958, dan sebagai seorang antikomunis yang keras, mendapat kepercayaan Nasution dan korps perwira umumnya,” kata Harold Crouch dalam bukunya, Militer dan Politik di Indonesia . Di luar prestasi Yani, Sukarno terkesima oleh Yani lantaran sang jenderal bisa bekerjasama dengan baik dengannya selama di Komando Operasi Tertinggi (KOTI). Sebagai orang Jawa, Yani paham etika Jawa, hal yang diinginkan Sukarno. Namun, Sukarno saat itu tak langsung menjatuhka pilihan. Dia bingung lantaran masih ada calon lain, yakni Sudirman (komandan Brigade I Ronggolawe semasa Perang Kemerdekaan). Dalam penilaian Sukarno, keduanya sama-sama berbobot sehingga sulit untuk ditentukan mana yang lebih pantas dipilih. Oleh karena itu, Sukarno perlu mendengar suara dari kalangan lain di luar Angkatan Darat. Hasjim sebagai sahabat yang paling dipercayainya, lalu diajak berdiskusi.  “Ada calon lain, Sudirman. Di antara keduanya, siapa yang jij pilih?” Sukarno bertanya pada Hasjim. “Jenderal A. Yani,” jawab Hasjim. “Kenapa?” “Kalau keduanya punya nilai yang sama, maka aku pilih yang muda.” “Ah, Jij seperti memilih perempuan saja.” “Memilih perempuan lain, Pak. Kalau orang muda suka sama perempuan lebih tua. Tapi laki-laki tua akan memilih yang paling muda.” “Menyindir kamu ya?” Terlepas dari gurauan yang biasa mewarnai pertemuan-pertemuan Sukarno, sang presiden akhirnya menjatuhkan pilihan pada Yani.

bottom of page