Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kisah Surat Hatta untuk Baswedan
GERAM. Itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan suasana hati keluarga salah satu bapak pendiri bangsa, Mohammad Hatta, saat mengetahui surat beratasnamakan ayahandanya tersebar luas di jagat maya. “Hidup Bung Hatta menginspirasi keturunannya. Kami selalu ambil nilai-nilai baik dari teladan beliau. Tapi heran masih juga ada kelompok yang mau mempecundangi nama besar Bung Hatta,” ucap Halida Nuriah Hatta, putri bungsu Mohammad Hatta, kepada Historia . Halida Hatta pernah membagikan foto surat tersebut dalam akun media sosialnya. Di sana ia menyebut jika surat tersebut palsu dan isinya tidak sesuai dengan kepribadian Hatta. "Pelajarilah kiprah Bung Hatta dari masa remajanya sampai dengan akhir hidupnya," tulis Halida. Surat Hatta kepada A.R. Baswedan. Namun jauh sebelumnya, surat milik Hatta itu telah dikutip oleh beberapa peneliti. Seperti Hamid Algadri tahun 1984, dalam buku C. Snouck Hurgronje: Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab . Hamid menggunakan kutipan surat itu untuk menerangkan peran dan kedudukan keturunan Arab dalam politik Indonesia. Peneliti lain yang mengutip surat Hatta adalah Abdul Rachman Patji tahun 1991, dalam tesis The Arabs of Surabaya: A Study of Sociocultural Integration . Serupa dengan Hamid, Patji pun menggunakan kutipan surat itu untuk mempertegas kedudukan keturunan Arab di Indonesia melalui Partai Arab Indonesia. Surat bertanggal 24 November 1975 itu merupakan balasan atas surat yang dibuat oleh A.R. Baswedan. Di dalamnya Hatta menanggapi “Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab tahun 1934” yang pernah dicanangkan oleh A.R. Baswedan sewaktu mendirikan Partai Arab Indonesia. Hatta juga menyinggung tentang perjuangan pemuda keturunan Arab yang ikut dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Lebih lanjut Hatta menulis pemuda Indonesia keturunan Arab benar-benar berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan tanah airnya yang baru. Namun yang menjadi perdebatan publik adalah pernyataan Hatta yang menyebut warganegara keturunan Arab disejajarkan dengan keturunan Tiongkok. “Dalam praktek hidup kita juga banyak sekali W.N.I. turunan Cina yang pergi dan memihak kepada bangsa aslinya R.R.C., W.N. Indonesia keturunan Arab boleh dikatakan tidak ada yang semacam itu. Indonesia sudah benar-benar menjadi tanah airnya”. Pertanyaannya sekarang adalah sejauh mana kebenaran dan keaslian surat tersebut? Halida Hatta menegaskan bahwa seluruh isi surat itu merupakan kebohongan besar. Tidak ada satupun hal yang sesuai dengan kepribadian Hatta. “Itu sudah jelas palsu. Tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun masalahnya hal itu jangan dibiarkan,” lanjut Halida. Kepada Historia , sejarawan Asvi Warman Adam menjelaskan jika kebenaran dari surat itu perlu dikaji lebih dalam. Banyak faktor yang perlu diperhatikan, mulai dari keadaan politik tahun 1975 (saat surat itu dibuat), surat yang dikirim A.R. Baswedan kepada Hatta sebelumnya, dan lain sebagainya. “Harus diperiksa keotentikan surat tersebut. Apa ada bagian yang dikurangi atau ditambahkan seperti kasus Cindy Adams,” kata Asvi. Seperti yang kita ketahui bersama, buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams menuai polemik setelah ada dua paragraf yang diduga ditambahkan saat buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. “Sepintas lalu ada fakta sejarah yang benar tapi dicampur dengan alinea yang ditambahkan kemudian,” sambung Asvi. Jika melihat kondisi politik sekitar tahun 1970-an antara pemerintah Indonesia dengan Tiongkok, memang sempat terjadi ketegangan. Pada pertengahan 1975, dalam lawatannya ke Jepang, Suharto pernah menyebut jika Indonesia tidak akan tergesa-gesa menormalisasi hubungan mereka dengan Tiongkok sebelum dicapai hasil yang nyata dalam perbaikan kehidupan rakyat Indonesia. Persoalan itu terjadi pasca Peristiwa G30S meletus di Indonesia. Pada 30 Oktober 1967, pemerintahan Orde Baru segera mengeluarkan kebijakan untuk membekukan hubungan bilateral di antara kedua negara. Hal itu cukup berdampak pada masyarakat Tionghoa di dalam negeri. Ada beberapa peraturan pemerintah yang mengatur orang Tionghoa di Indonesia, salah satunya Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tentang perayaan masyarakat Tionghoa. Lalu bagaimana hubungan Hatta dan A.R. Baswedan dengan masyarakat Tionghoa? Menurut Asvi, baik Hatta maupun A.R. Baswedan bukanlah sosok yang rasial atau anti-Cina seperti yang terlihat di dalam surat itu. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Suratmin dan Didi Kwartanada dalam buku A.R. Baswedan: Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan , memaparkan dengan lengkap karir jurnalistik A.R. Baswedan di beberapa surat kabar Tionghoa dan pertemanannya dengan tokoh-tokoh Tionghoa. Tahun 1932, A.R. Baswedan menjadi anggota redaksi harian surat kabar Melayu-Tionghoa di Surabaya, Sin Tit Po , pimpinan Liem Koen Hian. Di sana ia berjumpa dengan kawan Tionghoanya, Tjoa Tjie Liang, yang saat itu juga menjabat Sekertaris Partai Tionghoa Indonesia. Pertemuan di Sin Tit Po itu menjadi jalan bagi pertemanan yang kekal antara dua keturunan asing tersebut. Selepas dari Sin Tit Po, keduanya sama-sama masuk dalam jajaran redaksi Soeara Oemoem , kemudian koran Tionghoa Mata Hari . Meski akhirnya dipisahkan oleh kepentingan politik masing-masing. Tetapi hubungan persahabatan mereka tetap berjalan baik. Dalam biografi itu, para penulis menyebut Tjoa Tjie Liang pernah menulis surat tentang penderitaan dan pahit getirnya hidup A.R. Baswedan. “Ia pernah menumpang tinggal serumah dengan Tjoa Tjie Liang di Semarang setelah A.R. Baswedan meletakkan jabatannya di surat kabar Mata Hari . Pada waktu itu rumah yang dipergunakan sebagai tempat tinggal mereka adalah rumah sewa,” tulis Suratmin dan Didi. Sementara itu, pendangan Hatta tentang orang-orang Tionghoa agaknya jauh lebih luas lagi. Dalam salah satu buku, Bung Hatta Menjawab , yang berisi hasil wawancara Zainul Yasni bersama Hatta menyebut orang-orang Tionghoa memiliki cara hidup yang mengagumkan. “Itulah hebatnya orang Cina ini. Kalau jadi kapitalis betul-betul kapitalis. Kalau jadi nasionalis, betul-betul nasionalis Indonesia. Ada juga yang jadi orang agama dalam Muhammadiyah, betul-betul ia jadi alim. Tetapi kalau jadi komunis Cina itu betul-betul jadi komunis tulen,” ucap Hatta. Pada sebuah pidato tahun 1946 di depan orang-orang Tionghoa, yang dimuat Portrait of a Patriot: Selected Writings karya Mohammad Hatta yang diterjemahkan dari buku Kumpulan Karangan Vol I, II, dan IV , Hatta menggambarkan bagaimana perselisihan dengan orang-orang Tionghoa telah terjalin sejak zaman Belanda. Munculnya perselisihan salah satunya disebabkan oleh kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang menempatkan etnis Tionghoa di atas kaum bumiputera. Menurut Hatta perselisihan antara orang Indonesia dan orang Tionghoa seharusnya dapat dihindari jika saja Belanda dan Jepang tidak turut campur di dalamnya. “Dengan ini saya bisa mengatakan bahwa pemerintah Indonesia menyatakan penyesalannya secara tulus atas insiden-insiden yang terjadi. Kita tak boleh lupa bahwa kelompok yang menginginkan kehancuran Indonesia adalah kelompok yang memancing rakyat untuk melawan orang-orang Cina terutama di peperangan”. “Jika orang-orang Cina dapat beradaptasi dengan jiwa ekonomi baru,” lanjut Hatta “posisi mereka dalam ekonomi Indonesia bisa berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu”. Hatta memiliki pandangan yang cukup objektif terhadap masyarakat Tionghoa dan Arab ini. Seperti terlihat pada pidato peringatan Hari Kooperasi tahun 1977, yang dimuat Mohammad Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan. Hatta menyebut masyarakat Indonesia masuk dalam kelas ekonomi kecil, di bawah orang Tionghoa dan Arab. Hal itu telah berlangsung lama, dan untuk bisa bangkit diperlukan dasar yang kuat. Terlebih, "mereka pun terikat pula dengan utang dan kredit kepada orang-orang Tionghoa dan orang-orang Arab yang banyak hidup dengan merentekan uang," tulisnya. Dari sini kita bisa melihat bahwa Hatta dan A.R. Baswedan sama-sama tidak memiliki masalah dengan etnis Tionghoa, malah sebaliknya. Lalu apakah berarti surat tersebut tidak benar? Tugas para sejarawan-lah untuk menelisik soal ini lebih jauh.
- "Anak Tiri" di Pertempuran Kranji
SEEKOR ikan arapaima raksasa menjadi pemberintaan Singapura pada 6 Juli 2019. Dengan panjang dua meter dan bobot 150 kilogram, ikan itu hampir membunuh Shannon Lim, seorang peternak, saat akan dipindahkan. “Arapaima mendorong pria berbobot 92 kilogram itu –‘seperti ketika seorang ibu menyeret anaknya di sebuah mal’– sebelum menyundul dadanya, mengakibatkan cipratan hebat dan menjatuhkan Lim ke air,” demikian diberitakan channelnews asia.com . Raksasa air tawar itu berada di sebuah peternakan di Lim Chu Kang, dekat Kranji Reservoir. Di dekat reservoir itu pula seekor buaya sepanjang 3,4 meter ditemukan sebulan sebelumnya. “Waduk Kranji sebenarnya ditetapkan sebagai cagar, dan dulunya merupakan rawa bakau luas yang mendukung kekayaan satwa liar. Kebutuhan akan pasokan air yang meningkat membawa perubahan dramatis pada area tersebut,” tulis buku terbitan Centre for Advanced Studies, National University of Singappore, Public Space: Design, Use and Management . Di wilayah berawa di barat daya Singapura inilah pada awal 1942 penduduk Singapura bahu-membahu dengan pasukan Inggris-Australia menghadang pendaratan pasukan Jepang di bawah pimpinan Mayjen Takuma Nishimura. Setelah sukses menduduki Pantai Sarimbun, pasukan AD ke-25 Jepang di bawah pimpinan Letjen Tomoyuki Yamashita langsung mengambilalih Istana Sultan Johor untuk dijadikan markasnya. Yamashita kemudian menjadikan garis Kranji-Causeway Johor yang –dijaga Brigade ke-22 (bertugas di barat Sungai Kranji) dan ke-27 (timur sungai) AD Australia di bawah pimpinan Brigjen Duncan Maxwell– membentang sepanjang empat kilometer sebagai titik pendaratan kedua untuk masuk ke jantung Singapura. Untuk melaksanakan tugas itu, Yamashita menugaskan Nishimura dengan pasukan Imperial Guard-nya. Langkah Yamashita telah diantisipasi pihak Sekutu-Inggris sejak jauh hari. Pada akhir 1941, Gubernur Singapura Sir Shenton Thomas mendapat telegram rahasia dari sekretaris urusan koloni yang berisi permintaan agar menghilangkan kepentingan sepihak dengan cara merangkul kaum Tionghoa untuk ikut berjuang menahan kemungkinan pendudukan Jepang. Menindaklanjuti perintah itu, gubernur mengadakan pertemuan dengan komunitas Tionghoa di Kuala Lumpur. Hasilnya, pemilihan Tan Kah Kee, tokoh Tionghoa terkemuka di Singapura, sebagai ketua organisasi sukarelawan Tionghoa untuk menghadapi Jepang. Ribuan orang Tionghoa lalu mendaftarkan diri ke dalam barisan sukarelawan pimpinan Tan itu. Mereka lalu dilatih teknik dasar militer oleh Letkol John Dalley, perwira intelijen di Kepolisian Khusus Malaya, dan disatukan ke dalam pasukan bernama Dalforce. “Sebagai hasil dari bantuan yang diberikan Tan Kah Kee, pasukan besar gerilyawan Tiongkok, berjumlah sekitar dua ribu, dibentuk oleh Dalley di Kuala Lumpur dari beragam kelompok Tionghoa –beberapa dari mereka telah ditahan oleh Inggris sebelum perang akibat kegiatan Komunis dan dibebaskan dari penjara untuk mengabdi bersama Dalforce– yang ditambah oleh siswa, guru sekolah, penarik becak, dan buruh Tiongkok. Mereka dibagi menjadi beberapa kompi, masing-masing di bawah komando seorang perwira Inggris,” kata Leon Comber dalam bukunya Dalley and the Malayan Security Service, 1945-48 . Namun, Inggris setengah hati membentuk Dalforce lantaran banyak anggotanya merupakan komunis. Selain hanya memberi 10 hari latihan dasar militer, Inggris mempersenjatai beberapa personil Dalforce dengan senapan usang Lee Enfield .303 berikut jatah peluru 24 butir, beberapa granat tangan, dan bayonet. Banyak personil hanya bersenjatakan senapan berburu. Para personil Dalforce juga hanya dibekali seragam biru berikut ban lengan segitiga, tak ada topi apalagi helm. Meski dianaktirikan, semangat juang para personil Dalforce tetap tinggi. “Dari semua pasukan yang mempertahankan Singapura, Dalforce dikatakan yang paling termotivasi untuk melawan Jepang,” sambung Comber. Simpati terhadap saudara mereka di China yang diduduki Jepang sejak 1930-an menjadi alasan di balik keinginan mereka bertempur melawan Jepang. Kegigihan mereka dibuktikan ketika menahan gerak-maju Jepang di Pantai Sarimbun. “Pada 8 Februari 1942,” kata lektor senior Singapore University of Social Sains (SUSS) Tan Wei Lim dalam buku Cultural Heritage and Peripheral Spaces in Singapore , “Kompi Dalforce No. 2 (berjumlah 150 orang) mundur dari Jalan Lim Chu Kang dan kemudian berenang melalui Sungai Kranji untuk mencapai Jalan Choa Chu Kang, hanya sekitar 60 yang hidup untuk menceritakan kisah mereka.” Ketika Nishimura resmi melancarkan serangannya dengan dibuka oleh bombardir kanon ke Desa Kranji, para personil Dalforce dan prajurit Brigade ke-27 Australia bertahan di hutan bakau sekitar Kranji sambil menunggu kedatangan para prajurit Jepang. Mereka telah menumpahkan di depo Sungai Mandai Kecil ke sungai. Begitu para prajurit Jepang mulai menyeberangi selat dengan menggunakan perahu motor dan sebagian berenang, pasukan Sekutu langsung membakar sungai berminyak tadi dan menghujani lawan dengan tembakan. Korban Jepang berjatuhan, banyak yang mati terbakar. Pasukan Nishimura mundur kembali ke Johor. Baru di jam-jam awal 10 Februari pasukan Jepang kembali ke Kranji. Pertempuran sengit pun terjadi. Namun, kali ini perlawanan dari Sekutu hanya dilakukan pasukan Dalforce yang sudah hampir kehabisan amunisi. Kekuatan tak imbang itu membuat Jepang kemudian berhasil merebut wilayah Kranji-Causeway. “Mereka hancur berkeping-keping. Mereka menggunakan semua amunisi mereka. Tidak ada yang terluka untuk dibawa kembali. Mereka berdiri di tanah mereka. Mereka mendapat perintah untuk tinggal dan mereka tinggal. Dan mereka semua mati. Batalion senapan mesin Australia tidak tinggal di sana. Mereka mundur. Mereka ketakutan,” kata Kenneth Attiwill, personil Australia yang menyertai Dalley menginspeksi kompi Sungai Kranji pagi harinya, sebagaimana dikutip Cheah Boon Kheng dalam “Japanese Army Policy Toward Chinese and Malay-Chinese Relations in Wartime Malaya”, termuat di Southeast Asian Minorities in the Wartime Japanese Empire . Sehari sebelum Inggris menyerah pada Jepang pada 15 Februari, Dalley membubarkan Dalforce. Para mantan anggotanya melarikan diri, sebagian ke Sumatra tapi mayoritas ke Semenanjung untuk bergabung dengan Malayan Peoples Anti-Japanese Army. Mantan kombatan yang belum sempat melarikan diri dan tertangkap Jepang, dieksekusi dalam Pembantaian Sook Ching. Usai perang, Inggris menutup rapat-rapat sejarah Dalforce. Penyebabnya apa lagi kalau bukan banyak anggota Dalforce merupakan komunis. “Meskipun diadakan upacara publik 6 Januari dan 8 Juni 1946 di Singapura dan London, pihak berwenang menolak mengakui bahwa anggota Dalforce secara resmi menjadi bagian dari pasukan Kerajaan Inggris tahun 1942. Para veteran bersikeras Inggris harus mengakui mereka bukan laskar, tetapi berada di bawah Komando Malaya. Veteran mengklaim bahwa Kolonel Dalley telah memberi tahu mereka saat pembubaran pada 1942, bahwa ‘Anda tentu akan menerima perlakuan sama dengan Tentara Inggris’, kata Karl Hack dan Kevin Blackburn dalam buku War Memory and the Making of Modern Malaysia and Singapore .
- Intel Indonesia Bantu Pelarian Intel Prancis
Kapal Rainbow Warrior milik organisasi lingkungan, Greenpeace, menjadi andalan dalam kampanye menentang uji coba nuklir Prancis di Pulau Moruroa, Pasifik. Pihak Prancis tak terima. Pada 10 Juli 1985, kapal yang tengah bersandardi Pelabuhan Auckland, Selandia Baru itu, diledakkan oleh anggota Dinas Intelijen Prancis (Direction Generale de le Securite Exterieure atau DGSE). Fotografer Greenpeace, Fernando Pereira, menjadi korban tewas. Kepolisian Selandia Baru menangkap sepasang suami-istri asal Prancis, Alain Turenge dan Sophie Turenge. Hasil penyelidikan mengungkap bahwa keduanya adalah Mayor Alain Mafart dan Kapten Dominique Prieur, anggota Dinas Intelijen Prancis. Peristiwa itu membuat publik marah. Pers mencecar pemerintahan Francois Mitterand. Laporan yang dirilisnya pada 27 Agustus 1985 tak memuaskan dan mengungkap kebenaran. Pelengseran Mitterand pun menguat. Menteri Pertahanan Charles Hernu mengundurkan diri. Pada 22 September 1985 Perdana Menteri Prancis Laurent Fabius buka suara tentang keterlibatan Dinas Intelijen Prancis. “Perdana Menteri Laurent Fabius mengakui DGSE telah memerintahkan 'netralisasi' Rainbow Warrior dalam apa yang disebut Operation Satanic ,” tulis John E. Lewis dalam Terrorist Attacks and Clandestine Wars. Laksda TNI (Purn.) Soedibyo Rahardjo. (ReproThe Admiral) Ternyata, dalam peristiwa itu, Dinas Intelijen Prancis meminta bantuan intelijen Indonesia (Sintel Hankam/ABRI) untuk menyelamatkan agennya yang diburu Kepolisian Selandia Baru. Beberapa agen Dinas Intelijen Prancis melarikan diri menggunakan pesawat milik Prancis, UTA (Union de Transports Aériens). Pesawat itu melakukan refueling di Jakarta. Aparat dari Kedutaan Besar Selandia Baru sudah menunggu mereka di bandara Jakarta. “Saya diam-diam meminta para agen Prancis untuk tidak turun dari pesawat selama proses pesawat UTA itu mengisi bahan bakar. Mereka selamat dari jebakan dan pulang ke Prancis,” kata Soedibyo Rahardjo dalam memoarnya, The Admiral . Saat itu, Soedibyo Rahardjo menjabat Paban (Perwira Diperbantukan) VII Sintel Hankam/ABRI untuk urusan luar negeri. Pada 1986, Sintel Hankam/ABRI menjadi Bais (Badan Intelijen Strategis) ABRI. Bantuan intelijen Indonesia kemudian dibalas oleh Dinas Intelijen Prancis. Namun, Soedibyo tak menyebut kasusnya. “Beberapa waktu kemudian ketika Sintel ABRI memerlukan kerja sama dengan Dinas Rahasia Prancis, dengan cepat mereka memenuhi permintaan kami,” kata Soedibyo yang kemudian menjabat Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI. Soedibyo menyebut saling membantu itu sebagai “kesetiakawanan dinas intelijen.”
- Yang Terbuang, Yang Gemilang
GEMURUH ribuan penonton di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta makin semarak. Sorakan dukungan hingga cemoohan untuk meneror lawan meramaikan jalannya pertandingan demi pertandingan sejak dimulainya Indonesia Open ke-38, 16-21 Juli 2019. Kendati para pendekar raket Indonesia satu per satu berguguran, dukungan para penonton tanah air tak luntur. Utamanya karena di turnamen berlevel Super 1000 ini Indonesia berhasil menaruh empat pendekarnya di partai puncak, yakni di nomor ganda putra. Pasangan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Marcus Gideon/Kevin Sanjaya berhasil membuat nomor tersebut dengan akhir All-Indonesian Final. Dari babak-babak awal, kedua pasangan andalan tuan rumah itu tampil gemilang dan tak terbendung. Pasangan “The Minions”, julukan Marcus/Kevin, akhirnya mencomot gelar juara. Padahal, nomor ganda dulu merupakan nomor buangan yang dimainkan oleh para pebulutangkis yang terdepak dari persaingan di nomor tunggal. Seperti dalam olahraga tenis, dalam bulutangkis mulanya hanya nomor tunggal putra dan putri yang punya prestis tinggi. Christian Hadinata, pemain ganda legendaris Indonesia era 1960-an, merasakan betul atmosfer itu. Saat itu bulutangkis Indonesia tengah kebanjiran pemain tunggal. Lantaran spot untuk tunggal putra di berbagai kejuaraan kaliber dunia terbatas, hanya yang terbaik bisa tampil di sektor prestisius itu. Sisanya, terdepak ke ganda. Kelaziman lainnya adalah para pemain tunggal merangkap main di nomor ganda. Selain Christian, ada Rudy Hartono atau Liem Swie King. “Memang awalnya saya tunggal. Lalu ke belakang sering double (ganda) dengan Christian atau Kartono. Waktu masih muda, fokus enggak terpecah. Fisik masih kuat. Tapi makin tambah umur, ya mulai jadi masalah. Terakhir saya merangkap di Thomas Cup 1984. Hasilnya tunggalnya kalah, double -nya menang,” ujar King kepada Historia . Liem Swie King pernah merangkap ganda putra beberapa kali dalam catatan kariernya. Titik Balik Kebiasaan rangkap itu membuat perhatian pada pembinaan sektor ganda jadi minim. Pada akhirnya, ganda dipandang sebelah mata. Namun, perlahan anggapan itu berubah sejak gelar demi gelar dibawa pulang para jagoan ganda Indonesia macam Tjun Tjun/Johan Wahyudi atau Ade Chandra/Christian Hadinata. Prestasi mereka jadi titik balik pandangan bahwa ganda putra juga bisa membanggakan, bukan lagi buangan. “Memang dulu pelatihan di pelatnas dan klub tidak spesifik ada ganda putra. Biasanya pemain tunggal merangkap ganda. Di Kejuaraan Asia 1971, saya malah merangkap di dua nomor ganda. Di ganda putra dengan Ade dan ganda campuran dengan Mbak Retno Koestijah. Prestasinya cukup baik (juara ganda campuran, red),” kata Christian kepada Historia . Pamor sektor ganda makin gemilang setelah pasangan Christian/Ade Chandra juara di All England 1972. Dunia tak menyangka Indonesia punya pasangan kuda hitam di nomor ganda yang menemani kedigdayaan Rudy di nomor tunggal putra turnamen bulutangkis tergaek itu. “Itu pengalaman yang enggak akan pernah lupa. Waktu itu kita satu-satunya ganda putra Indonesia yang ikut All England. Kita masih dipandang remeh. Selama ini kan saingan-saingan kita tahunya kekuatan Indonesia hanya di tunggal putra. Ganda putra enggak dipandang,” Christian melanjutkan. Christian Hadinata, legenda ganda putra Indonesia. (Randy Wirayudha/Historia) Prestasi tersebut membalikkan pandangan publik yang awalnya memandang sebelah mata. “Saat kita masuk semifinal, mereka heran, lho kok ada semifinalis dari Asia, dari Indonesia. Saya ingat, saat masuk lapangan, ada lampu bulat disorot ke pemain sampai ke tengah lapangan utama. Rasanya luar biasa jadi pusat perhatian ketika kita tak diunggulkan dan belum punya nama,” sambungnya. Sejak itu, pamor ganda kian melambung. Gelar demi gelar ganda putra, mulai dari All England hingga Olimpiade, nyaris tak pernah lepas dari genggaman wakil Indonesia. Sektor ganda putra pun perlahan jadi perhatian PBSI. Tongkat estafetnya diteruskan Christian sebagai pelatih sejak 1990. Nama-nama para pasangan juara terus bermunculan, menyambung estafet yang dimulai di era Christian. Ada Eddy Hartono/Rudy Gunawan, Ricky Subagdja/Rexy Mainaky, Sigit Budiardjo/Candra Wijaya, hingga yang terbaru Markus Gideon/Kevin Sanjaya.
- Batavia Kota Polusi
KAMIS (4/7/2019), Tim Advokasi Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta menggugat sejumlah pejabat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dikutip dari dw.com , diketahui ada 31 orang yang melayangkan gugatan Citizen Law Suit (CLS). Mereka menuntut pemerintah segera membuat kebijakan baru terkait polusi udara di ibu kota yang terus memburuk. Adapun pejabat yang tergugat dalam kasus ini antara lain: Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten. Sementara itu sebuah cuitan dari akun @rifandaputri di Twitter menghebohkan jagat maya. Cuitan yang telah 13.000 kali dibagikan itu memperlihatkan perbedaan kualitas udara di Jakarta dan Manado dari atas pesawat. “Mungkin selama ini gue ga begitu aware sama perubahan polusi di Jakarta, sampe akhirnya hari ini sepulang dari Manado bener-bener kaget dan jadi merasa insecure banget ternyata udah separah itu polusi udara di Jakarta,” tulis @rifandaputri . Masalah polusi bukan soal baru di Jakarta. Sudah sejak abad ke-17 pemerintah kolonial Belanda fokus menangangi hal ini. Mereka melakukan banyak perencanaan agar Batavia (sebutan Jakarta waktu itu) terlihat indah, bersih, dan terbebas dari polusi. Meski dalam praktiknya, persoalan lingkungan agaknya sulit diatasi dan terus menghantui masyarakat di Batavia. Awal Masalah Sejak pertama didirikan pada 1619, Batavia telah diproyeksikan menjadi basis kegiatan ekonomi Belanda di Hindia Timur. Hanya dalam waktu 10 tahun, kota ini telah membangun pusat-pusat kegiatan produksi dan dihuni oleh 20 ribu orang dari aneka rupa bangsa. Namun ternyata pertumbuhan itu telah memunculkan permasalahan baru, yakni polusi. Semakin berkembang Batavia, semakin cepat pula polusi ini muncul. Tidak hanya pabrik-pabrik, masyarakatnya pun ikut ambil bagian dalam pencemaran lingkungan di Batavia Dalam tulisannya, “Urban Pollution in Java 1600-1850” dimuat Issues in Urban Development , Luc Nagtegaal menyebut aktivitas perdagangan internasional yang begitu besar di Batavia telah menyisakan sampah-sampah. Bau tak sedap pun merebak di beberapa sudut kota yang menjadi pusat keramaian industri. “Pada 1630, tumpukan sampah di jalan dan kanal Batavia menjadi masalah. Sampah-sampah ini, terutama sekali, terdiri dari abu, batu bata, kapur, daun palem, dan material lainnya. Ini ditambah lagi bangkai ikan dari beberapa pasar.” tulis Luc. Tidak hanya dari aktivitas dagang dan produksi, kegiatan biologis masyarakat pun turut mencemari kanal-kanal di sana. “Bentuk utama polusi air adalah feses.” lanjut Luc. Batavia kala itu belum menerapkan sistem sanitasi yang baik. Penduduk biasa memakai guci untuk menampung kotoran. Kemudian setelah dirasa perlu dibuang, mereka akan mengalirkannya ke kanal dan kali. Praktik semacam itu sangat mengganggu mana kala kanal dan kali mampat di musim kemarau. Bau busuk kotoran akan tercium selama berhari-hari hingga aliran kanal kembali lancar. Akibatnya udara di kota pun ikut terdampak. Sama seperti pencemaran air, polusi udara juga ikut membuat penat penduduk Batavia. Pencemarannya berasal dari pabrik gula, pabrik mesiu, pabrik batu bata, penggergajian kayu, penyulingan arak, dan pabrik kapur. Mayoritas ditemukan di sepanjang kali yang membelah Batavia. Bondan Kanumoyoso dalam disertasinya, Beyond the City Wall , menyebut beberapa lokasi pabrik-pabrik gula di Batavia. Ada 16 pabrik gula di Ciliwung, 36 pabrik di sepanjang Kali Sunter, dan 26 pabrik di tepi Kali Peranggrahan. “Jumlah itu bertambah pada 1710, ketika industry ini mencapai kejayaannya,” tulisnya. Sementara itu pabrik bubuk mesiu dan lainnya telah berdiri sejak 1657 di wilayah pinggiran Batavia. Menurut Luc, dari semua pabrik yang ada, tempat produksi mesiu lah yang paling berbahaya. Zat polutan yang dihasilkan benar-benar sangat beracun. “Penduduk di kota itu tak tahan lagi. Sebagian besar memilih pindah ke wilayah yang lebih sehat di luar kota,” ucap Luc. Upaya Penanggulangan Melihat semakin besarnya dampak dari polusi di kotanya, Pemerintah Tinggi Batavia segera bertindak. Mereka menerapkan hukuman bagi masyarakat yang membuang sampah ke jalan atau kanal. Pemerintah Batavia juga mempekerjakan sekelompok orang yang bertugas mengangkut sampah. Para pertugas itu akan menyusuri kanal untuk mengambil sampah-sampah di sana. Pada tempat tertentu mereka akan berhenti dan turun dari tongkang, kemudian beranjak ke jalan untuk memungut sampah. Demi mendukung kerja para petugas pemungut sampah itu, Pemerintah Tinggi Batavia menyediakan tempat sampah di banyak tempat. “Tapi itu tidak menyelesaikan masalah kekotoran di kota,” pungkas Luc. Cara lain pun ditempuh. Pada 1707, Pemerintah Tinggi mengontrak orang-orang Tionghoa untuk membereskan sampah-sampah ini. Namun keputusan itu malah menambah masalah. Bukannya membawa sampah-sampah itu ke luar kota yang jauh, mereka malah membuangnya ke laut. Kenakalan pekerja Tionghoa itu sudah sering dilakukan dengan dalih mempersingkat kerja. Alhasil pinggiran laut ikut tercemar. Pemerintah pun kembali harus menerapkan peraturan baru, baik untuk masyarakat maupun orang-orang yang bekerja di bawah mereka. Kebiasaan masyarakat membuang guci kotoran juga ikut diperhatikan. Sadar akan bahayanya terhadap kualitas air dan udara, pemerintah membuat larangan pembuangan guci sebelum pukul sembilan malam. Sebagai gantinya, pemerintah menugaskan beberapa orang untuk berkeliling mengambil guci-guci kotoran milik penduduk dan membuangnya di tempat penampungan yang jauh dari kota. Sementara untuk pencemaran udara akibat pabrik, Pemerintah Tinggi Batavia mengatasinya dengan menanam banyak pohon di taman-taman terbuka, kantor pemerintah, dan rumah-rumah pejabat yang berdiri di tengah kota. Di sepanjang jalan dan kanal juga ditemukan pohon-pohon besar. Jenisnya pun beragam, bahkan sebagian tidak dikenal oleh orang-orang Eropa. “Jalan-jalan dan kanal-kanal ditumbuhi banyak pohon besar di sisinya. Umumnya berasal dari jenis pohon anophyllum, calophyllum , dan calaba . Namun ada juga jenis pohon yang tidak dikenal,” tulis John Joseph Stockdale dalam Island of Java. Foto ini memperlihatkan jarak pandang yang pendek di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Hasil yang Didapat Lantas apakah usaha Pemerintah Tinggi Batavia berhasil? Berdasarkan arsip-arsip pemerintah Belanda, Peter H. Van Der Brug dalam tulisannya, ”Batavia yang Tidak Sehat dan Kemerosotan VOC pada Abad ke-18” dimuat Jakarta-Batavia: Esai Sosio-Kultural , menyebut jika Batavia dilanda sebuah penyakit misterius pada pertengahan abad ke-18. Anehnya, penyakit tersebut hanya menyerang para pendatang Eropa, termasuk tentara, yang baru satu atau dua tahun tinggal di sana. Tercatat hampir 85.000 orang meninggal dunia. “Ketidaksehatan kota itu, yang begitu mematikan bagi pertumbuhan dan kemakmuran koloni, menghancurkan kepentingan dan keuangan kompeni,” tulis Peter. Sejalan dengan itu, Charles Walter Kinloch, seorang penulis Inggris, menggambarkan suasana Batavia pada 1852. “Kapal-kapal harus berlabuh dalam jarak yang cukup jauh dari pantai untuk menghindari penyakit yang dibawa oleh angin darat yang buruk, proses pendaratan selalu menjadi hal yang menyulitkan”. Tetapi JWB Money, seorang Inggris, memberikan jawaban berbeda yang mengejutkan di dalam catatan pelayarannya, termuat di Jawa Tempo Doeloe: 650 Tahun Bertemu Dunia Barat . Pada 1858, dia sebenarnya hendak pergi ke Pulau Jawa untuk mencari terapi bagi kesembuhan istrinya. Tetapi perjalanan yang jauh, dari India, membuat ia terpaksa harus singgah di Batavia sebelum melanjutkan misinya menyusuri wilayah Jawa. Sesampainya di Batavia, Money tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia terkejut saat menemukan suasana di Batavia jauh dari apa yang pernah dibacanya di buku-buku, bahwa Batavia kota yang kotor. “Batavia sendiri merupakan salah satu kota terbersih dan tercantik di sana,” tulis Money.
- Biang Kerok di Balik Wabah Pes
PENYAKIT pes tidak begitu dikenal hari ini. Teknologi kedokteran berhasil memberantas penyakit mematikan inisejak lama. Tak ada pes yang mengerikan seperti di abad pertengahan. Namun, pes masih tetap eksis kendati sedikit. WHO mencatat, sepanjang 2010-2015 ada 3248 kasus pes di dunia dengan 584 kematian. Epidemi paling parah terjadi di Kongo, Madagaskar, dan Peru. Di Indonesia, pes sudah hampir dilupakan. Padahal, penyakit ini pernah amat menakutkan kala mewabah di Malang dan menyebar ke seantero Jawa pada paruh pertama abad ke-20. Keadaan itu membuat pemerintah kolonial Belanda serius menanganinya lantaran ada pengalaman pahit wabah pes di Eropa yang membunuh 60 persen populasi. Peristiwa mengerikan yang terjadi pada abad ke-14 itu dikenal dengan nama Black Death. Penderita Black Death akan mengalami kematian jaringan pada ujung jari tangan, kaki, atau hidung hingga warnanya menghitam. Dunia medis menamakan pes jenis ini septicemic plague, yang menyerang aliran darah. Jenis ini paling berbahaya karena penderitanya bisa mati bahkan sebelum gejala muncul. Penyakit ini ditandai dengan pendarahan, bagian tubuh yang menghitam, nyeri perut, diare, muntah, demam, dan lemas. Namun, sejatinya ada tiga jenis serangan penyakit pes. WJ Simpson dalam A Treatise On Plague menyebut, jenis pes lainnya ialah bubonic plague, yang menyerang sistem limfatik (sistem imun). Gejala pes limfatik muncul setelah penderita tiga hari terjangkit. Penderita pes jenis ini akan mengalami pembengkakan pada kelenjar getah bening yang terdapat di lipatan paha, ketiak, atau leher. Benjolan ini terasa lunak dan hangat ketika dipegang. Gejala lain umumnya berupa demam, menggigil, pusing, lemas, nyeri otot, serta kejang. Pes juga bisa menyerang paru-paru ( pneumonic plague ). Pes jenis ini, yang disebabkan bakteri yersinia pestis, paling cepat mengakibatkan kematian. Gejalanya bisa terlihat dalam beberapa jam setelah seseorang digigit kutu tikus. Begitu terinfeksi, penderita akan sesak nafas hingga batuk-batuk. Gejala lain yang ditermui bila terinfeksi ialah batuk darah, muntah, demam tinggi, pusing, serta lemas. “Setelah mewabah di Eropa dan mematikan banyak orang, ahli medis belum tahu persis penyebabnya. Lalu dilakukan banyak penelitian sampai akhirnya ditemukan bakteri yang terdapat di kutu tikus tahun 1800-an,” kata Martina Safitry, dosen sejarah IAIN Surakarta yang pernah meneliti sejarah wabah pes di Jawa untuk tesisnya, kepada Historia . Penemuan bakteri yersiniapestis sendiri terjadi ketika wabah pes mencapai Hong Kong pada 1894. Ahli bakteriologi Jepang Shibasaburo Kitasato berangkat untuk meneliti penyakit itu pada Juni 1894. Di saat bersamaan, Alexandre Yersin dari Institute Pasteur juga berangkat ke Hongkong atas perintah menteri kolonial Prancis. Keduanya menemukan jenis bakteri baru dalam tubuh pasien pes dan organ tikus mati di daerah wabah. Kitasato menjadi orang pertama yang mempublikasikan temuan mikroorganisme baru, di jurnal kesehatan The Lancet pada 25 Agustus 1894. Namun, identifikasi bakteri baru yang dilakukan Kisato diragukan karena keterbatasan teknis. Maka, deskripsi Yersin yang dipublikasikan setelahnya yang dianggap lebih akurat. Pada 1970, nama Yersin kemudian dipakai untuk menyebut bakteri penyebab pes, yersinia pestis . Menurut Hartmut Dunkelberg dalam “The History of The Plague and The Research on The Causative Agent Yersinia Pestis”, sebelum nama Yersin dipakai untuk menyebut penyebab penyakit, nomenklatur yang digunakan antara lain bakteri pestis hingga 1900, bacilluspestis hingga 1923, dan pasteurellapestis , merujuk lembaga yang menaungi Yersin. Temuan Kitasato dan Yersin menggiatkan penelitian tentang penyakit pes. Pada akhir abad ke-19, beberapa peneliti mencari pola-pola penyebaran wabah dan cara-cara penularan pes. Masanori Ogata, misalnya, meneliti penyebaran pes di Taiwan pada 1896. Ia menemukan bahwa cairan tubuh kutu yang masuk ke dalam tubuh tikus bisa menyebabkan binatang pengerat itu terkena pes. Dari sini anggapan bahwa tikus sebagai penyebab pes tidak sepenuhnya benar. Kutu-kutu tikuslah yang jadi biang kerok. Hasil riset Ogata serupa dengan temuan Paul-Louis Simond yang meneliti pes di India. Simond menemukan peran besar kutu tikus dalam penyebaran pes. Pada 1902 di Marseille, J.C. Gauthier dan A. Raybaud meneliti dengan menempatkan dua tikus pada kandang yang disekat jala. Kandang ini memungkinkan kutu berpindah tempat tanpa ada kontak antartikus. Mereka menggunakan dua spesies kutu yang berbeda dalam percobaan ini. Hasilnya, mereka menemukan pes dapat ditularkan antardua tikus tanpa kontak tubuh langsung. Kutu-kutu tikuslah yang bekerja dengan melompat dari satu inang ke inang lain. “Ketika pes melanda Jawa, penelitian yang telah dilakukan sebelumnya jadi bekal ahli medis Belanda memberantas pes di negeri jajahan. Tikus-tikus yang mati langsung diperiksa,” kata Martina.
- Penjelajahan Antariksa dari JFK hingga Trump
Tinggalkanlah bulan. Tataplah planet Mars sebagai tujuan berikutnya dalam penjelajahan angkasa! Setidaknya begitu inti pesan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kepada NASA (Badan Antariksa AS). Ia ingin bendera AS jadi yang pertama tertancap di permukaan Mars sebagaimana bendera yang sama pernah terpasang di permukaan bulan pada 1969. Tepat hari ini, 20 Juli, lima dasawarsa lewat, misi Apollo 11 mendarat di bulan. Dua astronotnya, Neil Alden Armstrong dan Edwin Eugene ‘Buzz’ Aldrin Jr., jadi manusia pertama menjejakkan kaki di bulan sehari setelahnya dan melakukan eksplorasi selama enam jam 39 menit. “Bagi Amerika tiada yang mustahil. Tepat 50 tahun lalu di bulan ini, dunia menyaksikan astronot-astronot Apollo 11 menancapkan bendera Amerika di permukaan bulan. Gene (Kranz, direktur Program Apollo), saya ingin Anda tahu bahwa suatu hari nanti kita harus menancapkan bendera di Mars,” seru Trump dalam pidato peringatan kemerdekaannya di Lincoln Memorial, Washington DC, 4 Juli, dikutip space.com . Kepala NASA Jim Bridenstine menyanggupi ambisi Trump itu. Pun begitu, dunia mesti bersabar. Ambisi mengeksplorasi “Planet Merah” itu tak bisa diwujudkan dalam waktu dekat. Dengan Misi Artemis, mengutip situs yang sama, 16 Juli 2019, ia juga memperkirakan NASA butuh dana sedikitnya 20 miliar dolar AS. “Presiden bilang kita harus mencapai Mars. Kita harus menancapkan bendera Amerika di Mars, itu misinya. Saya pikir itu tak lepas dari pencapaian hebat yang menginspirasi generasi baru, seperti Apollo yang telah menginspirasi generasi kami. Soal waktu, saya rasa misinya akan bisa diwujudkan pada 2033,” terang Bridenstine. Presiden John F. Kennedy berpidato soal pentingnya Amerika Serikat memasuki Space Race. (nasa.gov). Perang Dingin di Antariksa Misi Apollo 11 yang membawa astronot Neil Armstrong, Aldrin Jr., dan Michael Collins merupakan klimaks dari program Project Apollo (1961-1972). Apollo jadi program ketiga NASA setelah dua misi luar angkasa Program Mercury (1958-1963) dan Project Gemini (1961-1966). Program-program itu tak lepas dari imbas Perang Dingin AS-Uni Soviet. Jika di bumi mereka saling berlomba soal senjata, di antariksa mereka berlomba mengirim manusia ke luar angkasa. Di masa kepresidenan JF Kennedy, AS tertampar reputasinya setelah dunia melihat Uni Soviet jadi yang pertama mengirim manusia ke luar angkasa (kosmonot Yuri Gagarin) lewat lewat Misi Vostok 1 pada 12 April 1961. JFK merespon pencapaian Negeri Tirai Besi dengan ambisi yang lebih dahsyat. John Logdson, pendiri Institut Kebijakan Antariksa di George Washington University, dalam bukunya John F. Kennedy and the Race to the Moon mengungkapkan JFK segera membicarakan mimpinya itu ke hadapan publik dan Kongres AS pada 25 Mei 1961. Direktur Wernher von Braun (kiri) menjelaskan roket Saturn I kepada Presiden John F. Kennedy dan Wakil Presiden Lyndon B. Johnson di NASA Marshall Space Fight Center di Huntsville, Alabama. ( Nasa.Gov ) Dalam pidatonya, JFK mendorong persetujuan kongres agar tak mau kalah dari Uni Soviet, di mana misi yang lebih hebat dalam sains harus tertuju ke bulan. “Misinya harus mendarat di bulan pada akhir dekade ini dan membawa mereka (kru) kembali ke bumi dengan selamat,” kata JFK dikutip Logsdon. Di sisi lain, muncul pula pemikiran JFK untuk melancarkan misi bersama ke bulan dengan Uni Soviet, yang proposalnya dilayangkannya pada 31 Oktober 1961. Pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev mulanya ingin menyetujui, namun akhirnya menolak. Mengutip pernyataan putra sang pemimpin, Sergey Khrushchev, Logsdon menyatakan, kerjasama itu dikhawatirkan malah membuka banyak rahasia persenjataan Uni Soviet. “Kami saat itu punya sejumlah misil (Intercontinental Ballistic Missile/ICBM, red ) R-16. Jika kerjasama itu terjadi, Amerika bisa mempelajari kekuatan dan kelemahan kami, juga sumber daya dan perekonomian kami,” tutur Sergey Khrushchev. Meski ditolak, justru JFK kian ‘ ngotot ’ membuktikan diri. Pada pidatonya di Rice University, 12 September 1962, JFK memberi alasan kenapa misi antariksa kebanggaan AS harus bisa mencapai bulan. Profesor Sejarah Rice University Douglas Brinkley dalam American Moonshot: John F. Kennedy and the Great Space Race , “menangkap” pidato JFK bahwa bulan jadi semacam trofi tertinggi dalam Perang Dingin. “Kenapa Bulan jadi target kita? Kita memilih pergi ke bulan dekade ini bukan karena misinya mudah tapi karena misinya sulit. Karena tujuannya akan jadi ukuran dan sampai di mana energi dan kemampuan kita, karena tantangan ini bisa kita jalani dan bisa kita menangkan,” demikian penggalan pidato JFK, dikutip Brinkley. Neil Armstrong manusia pertama yang menginjakkan kaki di Bulan. (Foto: nasa.gov) Setelah lampu hijau Kongres menyala, dana besar pun digelontorkan. Catatan The Planetary Society yang dilansir CBS News , 16 Juli 2019, misi Apollo 11 yang menggunakan roket Saturn V dan pesawat ulang-alik Apollo CSM-107 “ Eagle ” menelan dana sekira USD25 miliar (kini setara USD100 miliar) untuk desain, tes, dan peluncurannya. Proyek itu resmi berangkat dari Launch Operations Center (kini Kennedy Space Center) NASA di Florida pada 16 Juli 1969 pukul 13.32 waktu setempat. Pesawat Eagle lantas tiba di permukaan bulan pada 20 Juli 1969 pukul 20.17 waktu Florida. Pun begitu, Armstrong dkk. baru memulai persiapan operasi di permukaan menjelang tengah malam. Pintu Eagle tercatat dibuka pada pukul 02.39 dini hari dan 12 menit kemudian, keluarlah Armstrong dari pesawat dan jadi yang pertama memijak permukaan bulan, disusul Aldrin. “Satu langkah kecil dari seorang manusia, satu lompatan besar bagi umat manusia,” ujar Armstrong dalam potongan rekaman suara yang ditangkap NASA lewat arsipnya, “Apollo 11 Lunar Surface Journal: One Small Step” di situs resmi NASA. Ironisnya, salah satu pencapaian sains tertinggi umat manusia itu tak bisa disaksikan JFK. Sang presiden lebih dulu terenggut nyawanya pada 22 November 1963 di Dallas, Texas.
- Benarkah Samudera Pasai Kerajaan Islam Pertama di Nusantara?
Desa Lamreh terletak di Kecamatan Mesjid Raya, Kabupatan Aceh Besar, Provinsi Nanggroe AcehDarussalam. Di sana terdapat tinggalan Kerajaan Lamuri berupa bangunan seperti benteng, kompleks pemakaman, dan bekas hunian yang ditandai sebaran fragmen keramik. Di pemakaman itu ditemukan beberapa nisan unik. Berbentuktugu persegi yang meruncing ke atas seperti piramida. Penduduk setempat menyebutnya plakpling. Menurut Repelita Wahyu Oetomo, peneliti dari Balai Arkeologi Medan, nisan itu mungkin bentuk peralihan dari masa pra-Islam ke Islam. Pasalnya , bentuk nisan itu menyerupai lingga dan menhir. Salah satu nisan ditemukan di dalam Benteng Kuta Lubuk. Cirinya menunjukkan masa yang jauh lebih tua daripada benteng itu. Di nisan itu tertulis: “...assulthan Sulaiman bin Abdullah bin al Basyir Tsamaniata wa sita mi’ah 680 H (1281 M).” Bila Sultan Sulaiman bin Abdullah bin Al Basyir wafat pada 680 H (1281 M), artinya masyarakat Lamreh telah lama mengenal Islam. Hal ini diketahui dari nama ayah dan kakek Sultan Sulaiman Abdullah bin Basyir yang berbau Islam. Pertanggalan itu pun menunjukkan umur yang lebih tua dibandingkan nisan milik Sultan Malik as-Shaleh dari Kerajaan Samudera Pasai yang bertarikh 696 H (1297). Banyak sejarawan menjadikan nisan itu sebagai tanda masuknya Islam di Nusantara sekaligus bukti keberadaan Kerajaan Samudera Pasai. Dengan demikian, menurut Repelita, Samudera Pasai dengan rajanya Malik as-Shaleh bukan merupakan kerajaan Islam tertua di Nusantara. “ Lamuri berkembang menjadi Kerajaan Islam yang cukup besar sebelum Samudera Pasai berdiri. Namanya sudah dikenal sejak masa Hindu-Buddha,” tulis Repelita dalam “Lamuri Telah Islam Sebelum Pasai” termuat di Jurnal Berkala Arkeologi Sangkhakala. Lebih lanjut Repelita menjelaskan keberadaan Lamuri lama diperhitungkan berkat hasil alamnya. Letak nya cukup penting yaitu di wilayah perairan Selat Malaka. K epopuleran Lamuri paling tidak sudah bertahan sejak abad ke-10 karena pada 916 penjelajah Arab, Abu Zaid Hasan , telah mencatat Lambri sebagai Rami/Ramni. Catatan tertua lainnya tentang Kerajaan Lamuri muncul dalam Prasasti Tanjore yang berbahasa Tamil dari tahun 1030. Prasasti ini dibuat Raja Rajendra Cola I dari Kerajaan Cola di India Selatan. Ilamuridesam dalam prasasti itu diterjemahkan oleh George Coedes dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, sebagai Lamuri yang berada di ujung utara Sumatra. Ilamuridesam adalah salah satu negara yang ditaklukkan ketika Kerajaan Cola menyerbu Sriwijaya. “ Lambri kemudian berubah menjadi mandala kerajaan Tamil itu,” tulis O.W . Wolters dalam Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII . Kendati demikian, pada 1225, Zhao Rugua, orang Tiongkok yang sering mengunjungi pelabuhan di Sumatra, menyebut bahwa Nanwuli atau Lambri membayar upetinya kepada Sanfoqi (Sriwijaya). Sementara pada masa berikutnya, Mpu Prapanca dalam Negarakrtagama , menggambarkan Lamuri sebagai negeri yang mendapat pengaruh Majapahit. Lamuri terus disebut dengan berbagai nama. Orang-orang Arab, Marco Polo, Biarawan Oderic, dan penjelajah abad pertengahan lainnya, menyebut Lamuri sebagai Lamori atau Lambri. Marco Polo, penjelajah Italia, pada 1292 menyebut Lambry sebagai salah satu tempat di utara Sumatra. Dia mencatat, kerajaan itu telah mengaku tunduk pada Kaisar Mongol, Kubilai Khan. Menurut W.P. Groenevledt, Lan-bu-ri yang diterjemahkan menjadi Lambri muncul dalam catatan salah seorang jend e ral utusan Kubilai Khan, Ike Mese. Catatan i tu termuat dalam Sejarah Dinasti Yuan dari abad ke-13 . Disebutkan ketika pasukannya tiba di Champa dalam perjalanannya ke Jawa, mereka mengirimkan sejumlah utusan ke beberapa negara untuk meminta pernyataan tunduk kepada Tiongkok. Lambri dan Sumatra ada di antara negara-negara itu. Lambri masih disebut kemudian dalam catatan Cheng Ho, yang termuat dalam Sejarah Dinasti Ming dari abad ke-15. Lambri termasuk di antara 30 negara yang dia singgahi dalam ekspedisinya. Groeneveldt juga mengidentifikasi Lam-bo-li sebagai Lambri dalam catatan Ma Huan, penerjemah resmi Cheng Ho. Lewat Yingya Shenglan, Ma Huan cukup panjang lebar menjabarkan Lambri. Menurutnya negeri itu terletak di sebelah barat Sumatra dan berjarak tiga hari pelayaran. Waktu itu, dari 1.000 keluarga yang mendiaminya, seluruhnya sudah memeluk Islam. Begitu pula rajanya. “Ketika kapal Tiongkok merapat di Lambri, raja menggunakan kesempatan ini untuk mengirim upeti ke Tiongkok,” catat Ma Huan. Adapun penjelajah Portugis, Tome Pires dalam Suma Oriental , menceritakan bahwa Aceh merupakan negeri pertama yang dia temukan setelah menelusuri Pulau Sumatra. Sementara Lamuri terletak tepat setelahnya. Wilayah ini membentang hingga ke pedalaman. "Laporan Portugis masih menyebut Lambri pada 1511," tulis Wolters. "Tetapi pusat perdagangan kerajaan baru yang disebut Aceh, beberapa kilometer lebih ke timur, segera menggantikannya."
- Melihat Budapest Lewat Kanvas
KEDUTAAN Besar Indonesia untuk Hungaria hendak mengadakan pameran bersama antara seniman Indonesia dan Hungaria. Para pelukis Indonesia akan diberangkatkan ke Budapest, Hungaria untuk observasi dan penggalian ide lukisan. Sebaliknya, perupa Hungaria akan berkunjung ke Indonesia guna mencari ide. “Ini bisa sekalian jadi promosi pariwisata kita,” kata Duta Besar Indonesia untuk Hungaria Dimas Wahab. Pameran bersama ini diprakarsai Dimas Wahab. Dua orang kurator dipilih untuk menanganinya, yakni budayawan Toeti Heraty dan Ari Kupsus, pemilik gallery di Budapest. “Budapest, Hongaria sering disebut Parisnya Eropa Tengah. Di sana penuh peninggalan budaya karena pernah dikuasai Romawi, Mongolia, Turki, Austria, dan pernah jadi bagian dari Uni Soviet,” kata Toeti Heraty dalam konferensi pers di Roosseno Plaza, Rabu (17/07/2019). Budapest merupakan gabungan dua kota yang dipisahkan Sungai Danube, yakni Kota Buda (Obuda) dan Pest di sebelah kiri sungai. Setelah jembatan rantai Széchenyi dibangun pada 1839 di bagian anak sungai Danube yang menyempit, kedua kota pun terhubung. Pada 17 November 1873, gabungan dua kota itu diresmikan menjadi Budapest. Penemuan arkeologis membuktikan adanya permukiman besar suku Celtic di Budapest selama ribuan tahun. Mereka menetap di kedua tepi Sungai Danube sejak abad ke-3 SM. Bangsa seperti Romawi, Turki, Jerman, Latin dan pedagang muslim dari Bulgaria juga pernah bermukim di sini. Periode besar pertama pembangunanan Buda (sebelah kanan Sungai Danube) terjadi pada paruh kedua abad ke-13. Beberapa gereja dan biara didirikan, di antaranya Gereja Bunda Maria (sekarang Gereja Matthias) dan Gereja St. Mary Magdalene. Pembangunan skala besar antara abad ke-14 dan ke-16 membentuk pola jalan dan tata letak kota Buda yang tidak berubah hingga hari ini. Sementara, Kota Pest berada di posisi penting rute perdagangan ke Eropa Barat, dikenal sebagai Jalan Kiev. Pada abad ke-11, tembok yang jadi cikal-bakal Gereja Dalam Kota Parish dibangun di atas tembok bekas kamp Romawi. Populasi kota Pest tumbuh pesat pada paruh pertama abad ke-13, mayoritas orang Jerman. Perkembangan Kota Buda dan Pest kemudian terhenti lantaran kalah perang dari Turki pada 1526. Sebagian penduduk kaya melarikan diri keluar kota Buda, sementara seluruh Hungaria berada di bawah kekuasaan Turki dari 1541 hingga 145 tahun kemudian. Institute Riset Metropolitan Urbanisztika menyebut pada abad ke-19 Budapest dikuasai Kekaisaran Austro-Hungaria sampai Perang Dunia I. Hingga empat dekade terakhir abad ke-19, gaya romantis dominan dalam rancang-bangunan di Budapest. Gaya Art Nouveau ini jadi upaya sadar menciptakan gaya nasional, seperti terdapat pada bangunan Museum Seni Terapan (Museum of Applied Arts, Budapest) karya Odon Lechner. Ketika Hungaria dikuasai Jerman-Nazi pada Perang Dunia II, pembangunan dihentikan. Kondisi Hungaria kacau-balau selama delapan bulan. Budapest sendiri jadi medan pertempuran selama dua bulan. Pengeboman dan baku tembak merusak 75 persen bangunan di Budapest. Hanya sekira 10 ribu bangunan yang tersisa tanpa cacat. Suasana gawat itu baru berhenti ketika Hungaria dibebaskan tentara Soviet yang berhasil memukul mundur pasukan Jerman. Sejak itu, Hungaria menjadi bagian blok Timur. “Setelah Perang Dunia II, Budapest masuk Uni Soviet dan jadi komunis,” kata Toeti. Runtuhnya Uni Soviet mengakhiri pula komunisme di Hungaria. “Pada 1989 (Hungaria, red .) bertransformasi jadi negara demokrasi. Sejarahnya sudah dimulai dari dari dua ribu tahun lalu. Jadi, akan ada banyak jejak-jejak kebudayaan yang bisa digali untuk jadi sasaran seni di sana,” sambung anak mendiang Ir. Roosseno itu. Beberapa seniman Indonesia yang akan diberangkatkan antara lain Afriani, Hardi, Baron Basuning, Tatang Ramadhan Bouqie, dan Hannyoto Roosseno. Mereka akan mengunjungi Budapest pada September 2019 dan menginap di kastil milik Ari Kupsus. Hardi merupakan pelukis yang menjadi salah satu pencetus Gerakan Seni Rupa Baru. Karya-karyanya kebanyakan mengambil tema realisme sosial. Semasa Orde Baru, Hardi yang menampilkan diri sebagai presiden tahun 2001 lewat pamerannya di Taman Ismail Marzuki, dicap melakukan tindakan subeversif. Sementara, Hannyoto merupakan seorang arsitek sekaligus perupa. Dia mempopulerkan gaya gedung berpilar ke Jakarta pada 1970-1980-an. Pada 2006, Hannyoto memenangkan penghargaan arsitektur terbaik Skala +02. “Lukisan jadi penghubung kerjasama dua negara ini karena Hungaria dikenal sebagai kota seni,” kata Dimas Wahab. Pameran akan diselenggarakan pada Oktober mendatang di Indonesia dan Hungaria. Pameran di Hungaria berbarengan dengan Indonesian Food Festival di Budapest sehingga akan ada satu rangkaian pemeran tentang budaya Indonesia, baik makanan maupun lukisan.
- Melacak Jejak Kerajaan Panai di Tanah Batak
Sekira menjelang akhir milenium pertama masehi, muncul Kerajaan Panaidi Sumatra bagian utara. Sepertinya ia kerajaan penting karena Kerajaan Cola di India dan beberapa kerajaan lain di Nusantara menyebut namanya dalam dokumen resmi mereka. Panai pertama kali diketahui lewat Prasasti Tanjore yang berbahasa Tamil dari tahun 1030. Prasasti ini dibuat Raja Rajendra Cola I dari Colamandala di India Selatan. Di dalamnya disebut bahwa Panai yang dialiri sungai merupakan salah satu yang digempur sang rajaselain Sriwijaya. Penyerbuan Cola telah menaklukkan juga Malaiyur, Ilangasogam, Madamalingam, Ilamuri-Desam, dan Kadaram. Tiga abad kemudian nama Panai kembali muncul dalam Nagarakertagama , kakawin dari Kerajaan Majapahit karya Mpu Prapanca . Sebutannya sedikit berubah menjadi Pane . Ia disebut sebagai bagian dari negeri di Sumatra yang berada di bawah pengaruh Majapahit. Menurut Keram Kevonian, pengajar di EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales), Paris, Panai menjadi salah satu dari dua kerajaan yang tak dicatat Marco Polo. Padahal, penjelajah asal Venesia itu sempat menyusuri pesisir Sumatra pada 1292. "Mungkin karena Panai letaknya di daerah yang tak dikunjunginya," tulis Keram dalam "Suatu Catatan Perjalanan di Laut Cina dalam Bahasa Armenia", termuat di Lobu Tua Sejarah Awal Barus . Sumber-sumber Tionghoa pun tak memuat informasi keberadaan kerajaan Panai. Bahkan tak ada dalam catatan Ma Huan, penerjemah resmi yang mendampingi Laksamana Cheng Ho ke Nusantara pada abad ke-15. “Bukan berarti Kerajaan Panai ketika itu telah hilang,” jelas Keram. Pasalnya, pada era Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dari Kesultanan Aceh, Kerajaan Panai kembali disebut-sebut. Dalam suratnya kepada Jacques I, sultan mencatat Pani sebagai jajahan Aceh di Pantai Timur Sumatra. Nampaknya, menurut arkeolog Rumbi Mulia, Panai telah berhasil melepaskan kewajibannya, mungkin berupa upeti kepada Kerajaan Cola setelah digempur pada awal abad ke-11. Pada masa berikutnya kerajaan itu justru menampakan perkembangan nya secara mandiri. Panai melakukan pembangunan besar -besaran di negaranya . Kini diyakini kompleks percandian di Padang Lawas adalah salah satu peninggalannya. Sayangnya,di antara peninggalan itu belum ada yang menyebutkan nama raja atau yang mendukung kerajaan itu sebagai sebuah struktur politik mandiri. Baru kemudian ditemukan prasasti yang menyebut nama Paṇai. Prasasti Panai tak memiliki angka tahun yang absolut. Ia menggunakan aksara Kawi akhir dan berbahasa Melayu Kuno. Pada dua baris terakhirnya, dikisahkan seorang tokoh mendirikan suatu daerah ( bhumi ). Daerah yang dimaksud kemungkinan adalah Pannai. Ada kabar dari prasasti itu, seorang pejabat desa bergelar kabayan diberi tugas yang berkaitan dengan bangunan suci agama Buddha. Bangunan suci itu diduga sebagai pendarmaan tokoh hinan dan haji . Sementara tokoh kabayan, sebagai seorang pesuruh, disebutkan membawa sesuatuyang tak jelas dalam prasasti, kepada semua orang yang tinggal di Paṇai. "Adanya gelar haji menunjukkan kalau Pannai adalah kerajaan kecil," tulis Rumbi dalam The Ancient Kingdom of Panai and the Ruins of Padang Lawas (North Sumatera). Meski namanya masih disebut hingga masa berikutnya, kemerosotan Kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-13 serta hilangnya kekuasaan atas kawasan selat, pasti ikut melemahkan Padang Lawas-Panai. Pasalnya, menurut Rumbi, dengan disebutkannya Kerajaan Pannai sebagai salah satu yang ditaklukan Raja Rajendra Cola Idalam penyerbuannya ke Sriwijaya memunculkan dugaan kerajaan ini adalah salah satu anggota mandala Sriwijaya. Penghasil Kamper Menurut Lisda Meyanti, peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, kemungkinan pada masa lampau Padang Lawas lebih subur dibandingkan sekarang. Karenanya Kerajaan Panai sangat kaya akan hasil hutan, khususnya kapur barus dan ternak. Belum lagi hasil perut buminya seperti emas. "Hanya masyarakat yang kaya dan makmurlah yang mampu membangun candi," tulis Lisda dalam "Prasasti Panai: Kajian Ulang Tentang Lokasi Kerajaan Paṇai" termuat di Jurnal AMERTA . Dalam catatan perjalanan berbahasa Armenia, Nama Kota-Kota India dan Kawasan Pinggiran Persia, Pane disebut sebagai nama pelabuhan di mana banyak kamper bermutu. Keram menjelaskan kamper bersumber dari dua pelabuhan, yaitu Barus yang ditulis Pant’chour di pantai barat, dan P’anes atau P’anis yaitu Pa n ai di pantai timur. Kedua pelabuhan itu saling membelakangi. Letaknya satugaris, memisahkan sumbu Sumatra secara tegak lurus. Daerah yang paling kaya dengan kamper terletak di antara keduanya, di Bukit Barisan. Menurut Keram untuk mengekspor kamper dalam jumlah besar pada abad ke-12, Panai mesti berhubungan dengan daerah-daerah yang terletak di perbatasan bagian hulu Sungai Barumun, di Padang Lawas. Sungai ini mengalir ke utara hingga ke pantai timur Sumatra dan bermuara di Selat Malaka. Namun, sewaktu Melaka dan Aceh berkembang pada abad ke-16, navigator Arab Sulayman al-Mahrimengenal sebuah pelabuhan saja untuk kamper di seluruh Pulau Sumatra, yaitu Fansur. Ia tidak mencatat Panai atau apapun yang bernama mirip. Sementara Tome Pires , pejelajah asal Portugis, malah meletakkan Kerajaan Arcat sebagai bawahan Aru di daerah yang diduga bernama Pa n ai pada zaman sebelumnya. Dalam Suma Oriental, dia menulis Aru sebagai penyedia sejen i s kamper yang kualitasnya lumayan. Sebagian dari barang dagangan itu beredar di Minangkabau sedangkan sebagian lainnya dibawa ke Panchur seperti zaman dahulu. Kerajaan di tanah Batak itu pun seakan sepenuhnya terlupakan. Catatan mengenainya belum lagi ditemukan. Namun nama Panai masih tersisa dalam berbagai bentuk. Ia menjadi sungai, distrik, dewa kuno orang Batak, dan nama marga di Batak. Sungai Batang Pane ada di utara sebagai anak Sungai Barumun, dan bermuara di Selat Malaka. Sepanjang sungai inilah berdiri kompleks percandian Padang Lawas. Lalu ada Kecamatan Pane di Simalungun, timur Danau Toba. Rumbi mencatat bahwa menurut legenda, raja di wilayah itu bersatu dengan roh suci yang disebut parpanean. Setiap akan membuat keputusan penting sang raja selalu berkonsultasi dengan si roh. Dia pun menjadi raja yang sukses dan menamai daerahnya “Pane” untuk menghormati sekutu rohnya. Mitologi Batak juga mengenal Pane na Bolon sebagaidewa yang menguasai dunia tengah, tempat manusia tinggal.Adapun marga Pane termasuk kelompok Suku Batak Angkola di Tapanuli Selatan. Namun, Keram masih ragu: "tidak tentu apakah semua tempat ini berkaitan dengan sebuah kerajaan yang dulu bernama Panai ."
- Budak Hindia di Negeri Belanda
ORANG Belanda yang tinggal dan bekerja di Hindia memiliki cara tersendiri untuk memamerkan kekayaannya. Selain dari besarnya tanah dan megahnya rumah, jumlah budak juga menjadi parameter kekuatan ekonomi mereka. Semakin banyak budak, maka status yang dimilikinya pun dianggap tinggi. Hal itulah yang membuat perdagangan budak di kota-kota besar masih sering dijumpai hingga abad ke-18. Sebagian dari orang-orang Belanda itu ternyata sudah begitu tergantung dengan keberadaan para budak. Ketika mereka kembali ke negeri Belanda kebiasaan tersebut tidak begitu saja bisa dihilangkan. Sehingga banyak dari mereka yang membawa serta budak peliharaannya. Ada yang hanya membawa satu, namun tidak sedikit yang membawa lebih. Namun kehadiran para budak dari Hindia itu tidak diterima oleh pemerintah dan masyarakat Belanda. Dalam tulisannya, “Utusan, Budak, Seorang Pelukis, dan Beberapa Siswa” dimuat Di Negeri Para Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 , C. van Dijk menyebut banyak budak yang ditinggalkan begitu saja oleh majikannya setelah tinggal sebentar di Belanda. “Dalam banyak hal, Belanda telah terpengaruh oleh kebiasaan-kebiasaan yang ada, yang dulunya telah dilakukan oleh kaum bangsawan dan orang Portugis. Tidak hanya dalam penggunaan budak dalam kehidupan kota, tetapi juga dalam hal perdagangan budak,” tulis Anwar Thosibo dalam Historiografi Perbudakan: Sejarah Perbudakan di Sulawesi Selatan abad XIX . Kelakuan para pedagang itulah yang membuat pemerintah Belanda jengkel. Mereka pun akhirnya enggan memberi izin para pedagang dari Hindia untuk membawa dan memelihara budak di negerinya. Peraturan Pada Budak Pada September 1636, pejabat VOC mengeluarkan peraturan yang melarang para pedagang membawa budak dari Hindia. Jika melanggar, budak-budak itu akan disita untuk kemudian dipulangkan ke tanah airnya. “Jumlah budak itu agaknya tidak banyak, tapi cukup menimbulkan kesulitan bagi VOC di Negeri Belanda, terutama ketika VOC terancam harus menanggung perawatan budak-budak yang ditinggalkan oleh pemiliknya,” terang van Dijk. Peraturan itu ternyata tidak mampu mengikat orang-orang Belanda untuk tidak membawa budak dari Hindia. Mereka bahkan melayangkan protes. Akhirnya VOC mengganti peraturannya menjadi pembatasan jumlah budak yang bisa dibawa. Para pelanggarnya pun tidak hanya dihukum penyitaan tetapi pemotongan gaji selama tiga bulan. Meski peraturan telah diubah dan hukumannya diperberat, pelanggaran terus saja terjadi. Agaknya para pedagang itu lebih melihat keuntungan dari penyelundupan budak-budak ini ketimbang beratnya hukuman yang akan mereka terima. “Orang yang mengetahui terjadinya pelanggaran, tetapi tidak melaporkannya juga diancam hukuman,” ucap van Dijk. Pemerintah pun terus berusaha menghentikan gelombang kedatangan para budak ini. Sejak 1644 sampai 1657 peraturan demi peraturan silih berganti diterapkan, dengan hukuman yang terus diperberat. Tahun 1657, hukuman yang diterima para penyelundup adalah denda uang sebanyak 1.000 gulden. Sementara jika yang melakukan pelanggaran itu pegawai VOC maka mereka tidak akan mendapatkan kompensasi uang perjalanan ke Hindia, yang saat itu bisa menghabiskan ribuan gulden. Disertasi berjudul The Personnel of the Dutch East India Company in Asia in the Eighteenth Century karya Frank Lequin, menyebut jika kegiatan membawa budak ke Negeri Belanda bukanlah sebuah hal baru, tetapi telah menjadi kebiasaan yang aneh. Lebih lanjut Lequin menerangkan, dari sekian banyak budak Hindia yang tinggal di Belanda, umumnya meminta untuk dikembalikan ke tanah airnya. “Setiap hari pejabat VOC menerima banyak kunjungan. Mereka sangat direpotkan dengan permintaan budak laki-laki dan perempuan yang minta dipulangkan”. Tetapi tidak banyak permintaan yang dikabulkan, namun bukan berarti ditolak. Pejabat VOC memperhitungkan kemungkinan terburuk jika para budak terus tinggal di Belanda, namun mereka juga enggan kalau harus mengeluarkan uang untuk para budak yang mereka pandang rendah itu. Akhirnya dibuatlah sebuah peraturan yang tidak membebankan pemerintah pada 1657. Jika orang Belanda di Hindia ingin membawa budak, mereka harus mengeluarkan sejumlah uang ketika masih berada di Batavia. Uang itu nantinya akan disimpan oleh pemerintah Belanda, dan digunakan saat para budak meminta pulang atau dipulangkan oleh majikannya. Pada 1700, VOC menetapkan jumlah budak yang boleh dibawa, yakni 2 orang. Sementara untuk uang perjalanan pulang masih dalam aturan sama, harus dibayar sebelum sampai di Negeri Belanda. Pada 1743, peraturannya sedikit diubah. Jumlah maksimal budak yang boleh dibawa disesuaikan dengan kedudukannya. Misal pejabat tinggi VOC boleh membawa maksimal 5 orang. Sedangkan pejabat rendah hanya boleh 2 orang saja. Kondisi Para Budak Tidak banyak yang mengetahui bagaimana para budak diperlakukan oleh majikannya. Namun dari begitu banyaknya budak yang meminta pulang, pejabat VOC menduga mereka tidak mendapat penghidupan yang layak dari tuannya. Walau begitu tidak semua budak mengalami pengalaman yang sama. Seperti Eva misalnya, budak perempuan yang dahulu dibeli oleh pejabat Belanda, Catharina Vonck. Sebelum sang majikan meninggal dunia, Eva diberi warisan berupa uang sebesar 600 gulden untuk biaya hidup dan pulang ke negaranya. Bahkan tidak hanya Eva, putranya pun mendapat 300 gulden dari Catharina. “Sesudah dibebaskan, kadang-kadang budak terabaikan. Tapi kadang-kadang pula bekas pemilik budak mengambil langkah-langkah agar budak yang sudah dibebaskan itu tetap terjamin secara material,” tulis van Dijk. Para budak yang sudah dibeli akan diberi nama baru oleh majikannya. Karena tidak ingin bersusah-susah, biasanya mereka dinamai sesuai dengan tempat kelahiran atau tempat mereka dibeli. Seperti “Eva van de Coromandel”, berarti seorang budak bernama Eva yang dibeli di Koromandel. Namun ada juga yang hanya terdiri dari satu kata, misal “Coridon”, “Claes”, dan “Aaltje”. “Dalam perdagangan tampaknya budak Hindia dianggap sebagai benda mati yang disamakan dengan barang seperti mebel dan rumah,” kata van Dijk.
- Teuku Hasan Yang Terpaksa Jadi Gubernur
BILAMANA musim pemilihan kepala daerah (Pilkada) bersemi, para politisi berbondong mencalonkan diri. Entah itu jadi gubernur atau bupati. Cara yang ditempuh guna menarik pemilih pun beragam. Mulai dari kampanye obral janji hingga menggelontorkan uang untuk meraup suara. Praktik demikian berbeda halnya pada masa awal kemerdekaan. Gubernur pertama Sumatera terpilih secara musyawarah. Bermula dari pembicaraan antara dr. Mohammad Amir dan Mr. Mohammad Hasan. Keduanya adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang sama-sama mewakili Sumatera. Amir berasal dari Minangkabau sedangkan Hasan berasal dari Aceh. Namun keduanya lebih dikenal sebagai orang terkemuka dari kota Medan. Amir dikenal sebagai dokter pribadi Sultan Langkat. Sementara Hasan merupakan pegawai pemerintahan di masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Pada 18 Agustus 1945, sidang PPKI menetapkan dasar negara serta memilih Sukarno-Hatta sebagai presiden dan wakilnya. Malam harinya, Amir dan Hasan berbincang di kamar Hasan di Hotel des Indes, Jakarta. Amir mengatakan bahwa dia duduk sebagai anggota panitia kecil yang akan memberikan pertimbangan kepada Presiden Sukarno tentang beberapa hal. Salah satu bahasan yang akan diajukan kepada Sukarno adalah siapa yang akan menjadi Gubernur Sumatera. Hasan menyambutnya dengan menyebut Amir sebagai calon yang pantas sebagai gubernur. Alasannya, Amir adalah seorang intelektual yang pernah membukukan pemikirannya dalam karangan bertajuk Bunga Rampai (1940). Amir menolak karena merasa dirinya hanya seorang psikiater dan tidak memahami apa-apa soal pemerintahan. “Lalu saya menyebut Saudara Mr. Abdul Abbas, anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dari Sumatera sebagai calon Gubernur Sumatera,” kata Hasan dalam memoarnya Mr. Teuku Hasan dari Aceh ke Pemersatu Bangsa . Amir tidak setuju dengan Abbas. Menurutnya Abbas yang seorang advokat itu kurang mengetahui soal pemerintahan. Hasan kembali mengusulkan agar dipilih dari kalangan demang (kepala distrik) Sumatera yang berpengalaman. Dia menyebutkan nama Mangaradja Soangkupon yang pernah menjadi anggota Volksraad dan juga beberapa nama demang lainnya. Amir masih belum setuju. “Demang baru itu berpendidikan menengah, belum berpendidikan tinggi, bukan sarjana,” kata Amir. Menurut Amir calon Gubernur Sumatera harusnya berpendidikan tinggi, sarjana, dan berpengalaman dalam pemerintahan. Amir lantas menjatuhkan pilihannya kepada Hasan. Pertimbangannya, Hasan pernah telah bekerja pada kantor “Gouvernor van Sumatera (Kegubernuran Sumatera)” pada masa Hindia Belanda. Pengalaman itu seyogianya dapat membantu dalam menjalankan pemerintahan di Sumatera. Akhirnya, Amir menanyakan kesediaan Hasan menjalankan tugas sebagai pejabat sipil tertinggi di Sumatera. “Jika sekiranya saya diangkat menjadi Gubernur, terpaksa menerima jabatan ini untuk melaksanakan urusan kemerdekaan tanah air, meskipun belum pernah memegang jabatan itu,” ujar Hasan menjawab panggilan tugas. Selesai pembicaraan, Amir kembali ke kamarnya. Keesokan harinya, setelah wilayah Indonesia ditetapkan, penunjukkan Hasan sebagai Gubernur Sumatera disetujui Presiden Sukarno. Hasan menjadi satu dari delapan gubernur pertama Indonesia yang memimpin di daerah-daerah. Mereka antara lain: Soetardjo (Jawa Barat), Soeroso (Jawa Tengah), Soerjo (Jawa Timur), Pangeran M. Noor (Kalimantan), Samuel Ratulangi (Sulawesi), I Gusti Ktut Pudja (Sunda Kecil), dan Johannes Latuharhary (Maluku). “Hasan menerima ajuan itu semata-mata karena cita-citanya demi mengabdi kepada Indonesia merdeka,” tulis Raisa Kamila dalam Gubernur Pertama di Indonesia . Ketika diangkat pada 22 Agustus 1945, sebutan untuk jabatan Hasan adalah pemimpin besar untuk seluruh Sumatera. Dengan adanya pengakuan pemerintah, Dwi Purwoko dalam biografi Dr. Mr. T.H. Moehammad Hasan: Salah Seorang Pendiri Republik Indonesia dan Pemimpin Bangsa menyebut Hasan berkuasa penuh untuk melaksanakan segala keputusan PPKI di wilayah yang dipimpinnya. Setelah itu, Hasan leluasa bergerak ke seluruh penjuru Sumatera menyatakan kemerdekaan dan seruan untuk berpihak kepada Republik. Beberapa kota yang dikunjunginya antara lain: Jambi, Bukit Tinggi, Tarutung, Medan, dan Pematang Siantar. Baru pada 29 September 1945, Hasan resmi menjadi Gubernur Sumatera setelah mendapat persetujuan Komite Nasional Indonesia (KNI) Sumatera. Amir sendiri, yang mengajukan Hasan sebagai Gubernur Sumatera, pada Desember 1945 ditunjuk mendampingi Hasan sebagai wakil gubernur. Inilah awal dua sekawan tersebut bergerak secara resmi mempersatukan rakyat Sumatera untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan RI.





















