top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Awal Mula Manusia Suka Makan Daging

    Mengapa daging di atas panggangan terlihat menggiurkan? Mengapa mendengar suaranya mendesis saja bisa membuat air liur menitik? Yang jelas itu karena manusia suka makan daging. Namun mengapa manusia lebih banyak makan daging bila dibandingkan dengan sepupu-sepupu primatanya? Ada beberapa teori yang bisa menjawabnya. Termasuk soal kapan, bagaimana manusia mulai memasukkan daging dalam jumlah lebih besar ke dalam menu omnivoranya. Kisahnya dimulai antara 2,6 dan 2,5 juta tahun silam. Waktu itu, bumi jauh lebih panas dan kering. Nenek moyang jauh manusia, yang secara kolektif disebut hominin, sebagian besar hidup dari buah, daun, biji, bunga, kulit kayu, dan umbi-umbian. Saat suhu naik, hutan rimbun menyusut dan padang rumput besar tumbuh subur. Tanaman hijau pun menjadi langka. Tekanan evolusi memaksa moyang manusia itu untuk menemukan sumber energi baru. Di sisi lain, padang rumput menyebar di seluruh Afrika. Ini mendukung semakin banyak herbivora merumput. “Lebih banyak rumput berarti lebih banyak hewan yang merumput, dan lebih banyak hewan yang merumput berarti lebih banyak daging,” kata Marta Zaraska, penulis buku Meathooked: The History and Science of Our 2.5-Million-Years Obsession With Meat. Begitu manusia mencoba daging sesekali, tidak butuh waktu lama untuk menjadikannya bagian utama dari menu makanannya. Kendati begitu, nenek moyang hominin manusia diperkirakan belum mampu menjadi pemburu. Dimungkinkan, mereka hanya mengambil daging dari bangkai yang jatuh. Beberapa jalur bukti menunjuk pada perubahan pola makan Homo . Perubahan sturktur gigi Homo purba menunjukkan adanya kebiasaan makan daging. Itu sebagaimana ditunjukkan juga oleh penyempurnaan teknologi perkakas batu. History menulis, di situs-situs di Kenya yang berasal dari 2 juta tahun lalu, para arkeolog telah menemukan ribuan “pisau” batu di dekat tumpukan besar fragmen tulang hewan. Mereka membutuhkan alat batu sebagai gigi kedua. Pasalnya, gigi moyang hominin manusia lebih besar daripada manusia modern. Rahang mereka dirancang untuk menggiling dan mencerna bahan makanan nabati, bukannya daging mentah. Namun, alat itu oleh beberapa ahli dipercaya lebih digunakan untuk menghancurkan tulang besar dan mengiris daging, bukan untuk berburu mangsa hidup. Dagingnya diperoleh dari sisa hewan buruan milik predator yang hidup kala itu. Artinya, moyang manusia lebih dari satu juta tahun lalu adalah pemulung, bukannya pemburu. Kedati begitu, menurut Richard Leakey seorang ahli paleoantropologi dan konservasi di Kenya, semua itu masih merupakan kontroversi dalam antropologi. Tak jelas apakah manusia secara aktif memulung dengan menunggu kucing besar untuk membunuh mangsanya dan kemudian menakuti mereka dengan lemparan batu atau suara keras. Atau apakah mereka secara pasif mencari apa yang tersisa ketika pemburu bergigi tajam meninggalkan hasil buruannya. “Tapi saya tak ragu bahwa daging berperan penting dalam kehidupan sehari-hari leluhur kita,” tegasnya dalam Asal Usul Manusia . Daging, Bekal Evolusi Manusia Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa daging membuat manusia menjadi manusia. Leakey bilang, meningkatnya ukuran otak yang merupakan bagian dari paket evolusi Homo mungkin telah menuntut spesies ini melengkapi pola makannnya dengan sumber yang kaya energi. “Otak adalah organ yang rakus secara metabolis. Pada manusia modern, misalnya, otak hanya 2 persen berat tubuh. Namun ia melahap 20 persen cadangan energi,” katanya. Rekonstruksi manusia prasejarah sedang makan daging di The Chicago Field Museum (Henry Guttmann Collection/Hulton Archive/Getty Images) Primata adalah kelompok berotak paling besar di antara semua mamalia. Sementara, manusia telah terus menerus memperbesar ciri ini. Otak manusia tiga kali otak kera dengan ukuran tubuh yang sama. “Antropolog Robert Martin dari Institute of Anthropology, Zurich, telah menegaskan bahwa meningkatnya ukuran otak ini kiranya bisa terjadi hanya bila ada tambahan pasokan energi,” lanjut Leakey. Daging merupakan sumber yang padat kalori, protein, dan lemak. Hanya dengan menambah daging dalam jumlah yang memadai pada pola makannya, moyang hominin manusia itu bisa membentuk otak dengan ukuran melampaui Australopithecus, pendahulunya. “Berdasarkan semua alasan itu, saya menyarankan, adaptasi penting dalam paket evolusioner Homo purba adalah memakan daging,” kata Leakey. Bahkan dalam bukunya, Zaraska mengatakan manusia masih mendambakan daging hari ini sebagian karena otaknya berevolusi dari sabana Afrika dan masih terhubung untuk mencari sumber protein yang padat energi itu. Ini di samping alasan signifikansi budaya dan adanya korelasi yang jelas dengan kemampuan finansial seseorang. “Negara-negara industri Barat rata-rata lebih dari 220 pon daging per orang per tahun, sedangkan negara-negara Afrika termiskin rata-rata kurang dari 22 pon per orang,” tulisnya dikutip History. Sementara, terlalu banyak makan daging kini dikaitkan dengan penyakit jantung dan penyakit kanker tertentu. Dulu, hal-hal itu tidak dikhawatirkan oleh leluhur jauh manusia. “Karena mereka tidak hidup cukup lama untuk menjadi korban penyakit kronis. Tujuan hidup nenek moyang kita sangat berbeda dari tujuan kita. Tujuan mereka adalah masih bisa hidup keesokan harinya," kata Zaraska.

  • Pungutan untuk Bangunan Suci

    Memelihara dan mengelola bangunan suci butuh biaya tak sedikit. Sekelompok orang yang bertugaskan diperbolehkan tidak membayar pajak kepada kerajaan. Wilayahnya ditetapkan sebagai desa perdikan atau sima. Namun bukan berarti anugerah sima membebaskan mereka sama sekali dari pungutan. Menurut epigraf Boechari dalam “Candi dan Lingkungannya” yang disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi 1977, tanah sima justru punya kewajiban khusus, menghasilkan biaya bagi pelaksanaan upacara keagamaan di dalamnya. “Ada upacara keagamaan dan saji-sajian yang harus dilakukan setiap hari, setiap bulan, dua kali setahun, dan setahun sekali, juga untuk pemeliharaan bangunannya,” catatnya. Kewajiban-kewajiban itu tertulis dalam prasasti. Dalam Prasasti Kwak I (879 M) disebutkan sebidang tanah tegalan di Desa Kwak dianugerahi oleh Raja Rakai Kayuwangi dari era Mataram Kuno menjadi tanah sima. Tanah yang masih menjadi wilayah Rakai Wka itu dijadikan sima bagi prasada di desa setempat. Tanah tegalan seluas 5 tampah itu akan dijadikan sawah, dengan kewajiban mempersembahkan bunga-bungaan di bangunan suci pada tiap Bulan Caitra dan Asuji. Prasasti Taji (901 M) menyebut  kabikuan atau tempat tinggal para biksu di Raja punya kewajiban mempersembahkan uang emas sebanyak 2 ku. Itu untuk membeli dupa bagi pemujaan bhatara di Raja yang harus dilakukan tiap Bulan Caitra dan Asuji. Prasasti Gulung-Gulung (929 M) menyatakan permohonan izin kepada raja Mpu Sindok dari seorang penguasa daerah, Rakryan Hujung Mpu Madhuralokaranjana untuk menetapkan tanah sima . Tanah yang diharapkannya menjadi sima ada di Gulung-Gulung seluas tapak su 7, juga hutan di Bantara seluas setengah su. Tanah itu akan dijadikan sawah. Kewajibannya memberi persembahan bagi san hyang kahyangan di Pangawan berupa seekor kambing dan 1 pāda (beras?) yang diadakan setahun sekali. Karenanya sebagaimana dijelaskan Boechari soal ada tidaknya pungutan, tak ada yang membedakan antara tanah berstatus sima dan yang bukan. Bedanya hasil pungutan atau pajak dan denda masuk ke kas kerajaan. Sementara yang dipungut dari tanah sima digunakan untuk berbagai keperluan bagi bangunan suci. Boechari pun menjelaskan, selanjutnya sebuah daerah sima akan berstatus swatantra. Ia tak boleh lagi dimasuki oleh patih, wahuta, nayaka, pratayaya, pangkur, tawan, tirip, rama dan semua orang yang tergolong mangilala drawya haji. Mereka ini adalah kelompok pejabat yang berhubungan dengan pemungutan pajak. Pun mengenai denda-denda atas tindak pidana. Ini termasuk yang dilakukan orang asing dan orang yang tergolong wargga kilalan yang tinggal di dalam lingkungan daerah sima . Uangnya akan dikuasai oleh bhatara di dalam bangunan suci yang mendapat sima, bukannya masuk ke kas pemerintah . Lalu pemasukan untuk membiayai serangkaian upacara di lingkungan candi itu juga rupanya bisa datang dari pajak usaha dan pajak perdagangan. Ada jumlah tertentu dari pajak itu yang tidak diberikan untuk kerajaan. “Dengan kata lain, hanya sebagian saja dari pungutan pajak perdagangan digunakan untuk kebutuhan bangunan suci,” ujar Boechari. Untuk pajak usaha, ada dua macam ketentuan. Terkadang seluruh pajak usaha, yang umumnya digambarkan sebagai usaha kerajinan tangan, semata-mata diberikan untuk sang bhatara. Ada kalanya pula pajak usaha harus dibagi tiga, sepertiga masuk ke kas kerajaan, sepertiga untuk mereka yang mengurus sima, sisanya dikuasai bhatara di bangunan suci yang bersangkutan. Kata Boechari, melihat keterangan itu pastinya ada organisasi sipil yang mengelola suatu bangunan suci dan sima- nya. Bisa dibayangkan, pemerintah sipil di dalam lingkungan sima tetap berjalan seperti biasanya. Mereka, sebagaimana biasanya, menarik pajak dari petani, pedagang, dan pengusaha. Pengadilan daerah tetap mengadili semua tindak pidana dan perdata yang terjadi di lingkungan sima. Itu baik yang dilakukan oleh penduduk setempat maupun oleh orang-orang asing. Adapun organisasi keagamaan mengurusi upacara keagamaan yang harus dilakukan di dalam bangunan suci itu. “Suatu sima tak bebas sama sekali dari bermacam-macam pungutan,” lanjut Boechari.

  • Para Pemeran di Balik Topeng Batman

    Si manusia kelelawar alias Batman bakal berkeliaran lagi di layar perak via semesta DC Extended Universe. Era baru Batman terus bergulir seiring pemeran sang superhero ber-alter ego hartawan intelektual namun playboy , Bruce Wayne, bakal diperankan aktor baru. Mengutip Variety , Kamis (16/5/2019), aktor utama film  The Batman yang rencananya rilis Juni 2021, diperankan Robert Pattinson. Artinya, Ben Affleck tak lagi memerankan jagoan berjubah itu di produksi-produksi DCEU. Publik banyak yang menantikan Pattinson namun tak sedikit yang mencibir. Pattinson diragukan jadi pilihan pas pengganti Ben Affleck. Tapi itu lumrah, saat Ben Affleck didaulat jadi Batman di produksi DCEU pertama, Batman v Superman: Dawn of Justice (2016), deras diprotes khalayak. Sampai-sampai, muncul 30 petisi di situs change.org hingga ke Gedung Putih segala. Robert Douglas Thomas Pattinson dikabarkan bakal jadi pemeran ke-10 Batman (Wikimedia). Terlepas dari itu, pemeran Bruce Wayne lebih dulu muncul dalam film Joker yang rilis Oktober 2019. Bruce muda, sebelum beralih jadi superhero, diperankan aktor muda Dante Pereira-Olson. Maka, Dante jadi pemeran Batman kesembilan semenjak kemunculan film pertama Batman pada 1943. Berikut para pemeran Batman lain di layar lebar dari masa ke masa sebelum era DCEU: Lewis Wilson, Robert Lowery & Adam West (1943-1966) Film pertama Batman rilis pada 1943 dan aktor pertamanya Lewis Gilbert Wilson (kanan). (ReproThe Batman Filmography) Tokoh jagoan fiksi ciptaan Bob Kane dan Bill Finger pada 1939 ini pertamakali diangkat ke layar lebar lewat film seri hitam-putih The Batman garapan Columbia Pictures yang berisi 15 episode. Pemeran Batmannya Lewis Wilson. Lantaran rilis di masa Perang Dunia II, jalan ceritanya pun tak luput dari isu-isu perang. “Wilson dan Douglas Croft (pemeran Robin) mampu menghidupkan karakter Batman dan Robin. Wilson memainkan peran Batman secara lugas dengan sikap seorang pahlawan. Wilson juga luar biasa dalam menangkap karakter ganda Bruce Wayne di film bernada propaganda perang untuk menaikkan moral, walau akhirnya mengabaikan plot klasik dalam komiknya,” sebut Mark S. Reinhart dalam The Batman Filmography. Namun hanya 15 chapter itu saja Wilson jadi Batman. Dalam film seri era klasik berikutnya, Batman and Robin (1949), karakter Batman diperankan Robert Lowery. Namun penampilannya bersama Johnny Duncan yang memerankan Robin, kurang greget. Para penggemarnya kembali merindukan duet Wilson dan Croft. “Lowery dan Duncan tak seenerjik Wilson dan Croft. Dalam film, dialog yang keluar lebih seperti Lowery dan Duncan melakukan reading naskah untuk kali pertama,” tambahnya. Versi terakhir era klasik dimunculkan 20th Century Fox pada 1966 dengan tajuk Batman, diangkat dari serial televisi. Dengan pemeran utama Adam West, film ini jadi film Batman pertama yang berwarna. Sosok Robin yang diperankan Burt Ward turut dihadirkan. Menariknya, di film ini hampir semua musuh dimunculkan, mulai dari Catwoman, The Joker, The Penguin, hingga The Riddler. “Saya bisa bicara mewakili banyak penggemar bahwa Batman yang paling terkenang adalah dari seri 1966 dengan diperankan Adam West. Dia menjadi Batman yang kita tahu dan cintai. Kita tidak butuh Batman yang serius, melodramatis dan penuh kekerasan yang justru bisa merusak kelegendaannya,” tulis Michael Schilling dalam surat pembaca, dikutip James Van Hise dalam Batmania. Michael Keaton (1989-1992) Michael John Douglas Keaton memerankan Batman di dua produksi film. (IMDB) Lama absen, si manusia kalong baru nongol lagi pada 1989 lewat Batman garapan Warner Bros. Batman/Bruce Wayne-nya diperankan komedian Michael Keaton. Banyak yang tak menyenangi pemilihan Keaton. James Egan dalam 1000 Facts about Superhero Movies mencatat, terdapat sekira 50 ribu surat protes yang membanjiri studio Warner Bros. Bob Kane si pencipta Batman pun merasa Keaton bukan sosok yang pas, sebagaimana Jack Nicholson yang memerankan Joker di film itu. Namun nyatanya, film itu meledak di pasaran sampai Keaton kembali dilibatkan dalam sekuel Batman Returns (1992) meski sang pemeran sangat tidak nyaman dengan kostum Batsuit -nya. “Batsuit-nya membuatnya merasa klaustrofobia. Membuatnya juga tak bisa menengok hingga harus turut mengarahkan badannya jika mau melihat arah lain. Tapi sutradara (Tim Burton) menyukainya karena membuat Keaton bergerak bukan seperti manusia biasa. Perasaan tidak nyaman itu untungnya bisa dimanfaatkannya untuk menunjukkan betapa frustrasinya karakter (Batman) di beberapa adegan,” ungkap Egan. Val Kilmer (1995) Val Edward Kilmer jadi suksesor pemeran Batman setelah Michael Keaton mundur. (Youtube @ScreenSlam) Warner Bros kembali mengangkat Batman dalam Batman Forever pada 1995. Sayangnya, tak lagi diperankan Keaton. Mengutip EntertainmentWeekly edisi 15 Juli 1995, Keaton memutuskan mundur dengan alasan tidak sreg dengan sutradara baru, Joel Schumacher. Akhirnya pilihan jatuh pada Val Kilmer setelah Schumacher menyisihkan sejumlah opsi lain macam Daniel Day-Lewis, Ralph Fiennes, William Baldwin, dan Johnny Depp. Batman Forever toh tetap booming . Pada pekan pembukaannya, Warner Bros meraup 52,8 juta dolar Amerika, menyalip rekor Jurassic Park sebagai film terlaris di pekan pertama. Tak sedikit pula yang memuji peran Val Kilmer, terlepas ia juga mengaku kegerahan dengan kostum Batsuit -nya. “Tapi jika dibandingkan Adam West, apakah Anda bercanda? Dia aktor yang luar biasa (memerankan Batman). Gaya, kharisma, dan pergerakannya luar biasa,” ujar Val Kilmer yang enggan disebut sebagai Batman terbaik, dalam biografinya, Blessed, Life and Films of Val Kilmer . George Clooney (1997) George Timothy Clooney (kanan) sebagai Bruce Wayne/Batman di film Batman & Robin.(Warner Bros). Batman di layar lebar berikutnya merupakan sekuel persembahan Warner Bros, Batman & Robin . Val Kilmer urung tampil lantaran melanggar kontrak dengan Warner Bros akibat terlibat dalam film The Saints . “Val mengaku dia mundur namun kami menyatakan dia dipecat,” ujar Schumacher kepada Entertainment Weekly , 31 Mei 1995. Sempat mempertimbangkan William Baldwin. Schumacher akhirnya menjatuhkan pilihan pada George Clooney karena dianggap lebih bisa membawakan karakter Batman tak seserius, setegas, dan “segelap” yang dibawakan Michael Keaton. Schumacher ingin menyajikan karakter Batman yang lebih ringan dan friendly ditonton anak-anak. Sial, Batman & Robin gagal meledak dan dianggap sejumlah kritikus sebagai film Batman terburuk hingga Warner Bros batal melanjutkan sekuel dan reboot- nya. Christian Bale (2005-2012) Christian Charles Philip Bale memerankan Batman di trilogi Dark Knight (warnerbros.com) Seram dan sangar. Penuh dengan sisi gelap namun terasa greget. Itulah kesan dari era baru film Batman lewat trilogi Dark Knight garapan sutradara Christopher Nolan, masih di bawah naungan Warner Bros. Filmnya lebih cocok ditonton usia remaja ke atas lantaran terdapat banyak adegan kekerasan. Adalah Christian Bale yang dimunculkan Nolan di tiga filmnya, Batman Begins (2005), The Dark Knight (2008), dan The Dark Knight Rises (2012). Meski sudah memulai kariernya sejak 1987, Bale belum dianggap aktor besar saat casting . Saingannya saat itu mulai dari Henry Cavill, Jake Gyllenhaal, Joshua Jackson, Billy Crudup, hingga (mendiang) Heath Ledger. Namun Bale mampu memukau Nolan saat casting dan reading naskah. “Dia mempunyai keseimbangan antara sisi gelap dan terang, di mana dua hal itu yang paling kami cari,” tutur Nolan dalam rilis pers Warner Bros, 11 September 2003. Meski meninggalkan kesan karakter Batman paling gelap dan greget, trilogi Dark Knight masih kalah laris ketimbang film-film Batman terdahulu hingga kemudian masuk era DCEU, Bale digantikan Ben Affleck. Sempat ada celotehan lucu saat Affleck meminta saran Bale untuk menyuksesi karakter Batman. “Affleck menanyakan saran dari Bale soal bagaimana baiknya memerankan Batman. Bale bilang pada Affleck agar memastikan dia bisa buang air kecil saat mengenakan Batsuit ,” ungkap James Egan dalam 1000 Facts about Superhero Movies. Pattinson telah resmi menjadi pemeran Batman terbaru di semesta DCEU. Pasti bakal ada lagi perbandingan aktingnya dengan para pendahulunya. Nah, dari sekian banyak pemeran Batman/Bruce Wayne, siapa favorit Anda?

  • Baghdad, Islam dan 1001 Kehancuran

    KETIKA pasukan gabungan Amerika Serikat (AS) dan Inggris menyerang Irak pada penghujung Maret 2003, kiamat seolah melanda Baghdad. Bukan hanya puluhan ribu nyawa manusia telah melayang akibat penyerangan ilegal tersebut, namun ribuan artefak dan manuskrip sejarah penting peninggalan Kekhalifahan Abbasiyah musnah dilumat rudal dan dicuri para penjarah dari Museum Nasional Irak. Sejak itulah Baghdad yang dulu dikenal sebagai “kota 1001 malam” berubah menjadi kota 1001 kehancuran. Situasi yang menyebabkan Robert Fisk, salah seorang saksi hidup penyerangan Amerika dan Inggris ke Irak, berang. ”Kehancuran total itu menjadi bencana dan simbol paling memalukan dari upaya pendudukan (yang dilakukan AS dan Inggris) terhadap kota yang pernah melahirkan peradaban dunia tersebut,” ujar Fisk dalam The Independent, 17 September 2007 . Jurnalis perang itu memang benar adanya. Baghdad adalah aset sejarah dunia. Sebagian ahli sejarah menyebut Baghdad—yang berarti hadiah Tuhan—sudah ada ada sejak 4000 SM. Tercatat berbagai bangsa yang silih berganti menguasai ranah nan subur di pinggiran Sungai Tigris itu. Mereka terdiri dari bangsaPersia, Yunani, Romawi hingga Arab. Islam sendiri masuk ke Baghdad pada 637 M. Saat itu pasukan Kekhalifahan Arab Islam pimpinan Panglima Besar Saad ibn Abi Waqqash berhasil menguasai seluruh wilayah Kerajaan Persia termasuk ibu kota Ctesiphon. Mereka kemudian mendirikan pusat penerintahan di Kufah dan Basrah. Kenapa tidak memilih Baghdad? Bisa jadi selain belum ramai, saat itu Baghdad masih merupakan perkampungan kecil belaka. Baghdad baru dilirik 125 tahun kemudian, saat Khalifah al Manshur dari Dinasti Abbasiyah meletakan batu pertama pembangunan sebuah ibu kota baru. Pemilihan Baghdad didasarkan pada beberapa alasan. Selain letaknya strategis secara militer, al Manshur juga melihat Baghdad memiliki Sungai Tigris. Itu faktor penting karena bisa menjadi sarana penghubung dengan Tiongkok sekaligus mengeruk hasil makanan dari Mesopotamia, Armeniadan daerah sekitarnya.  Untuk membangun Baghdad, menurut Al-Thabari (sejarawan Arab klasik termashur),  al Manshur sampai merogoh kocek sebesar 4.883.000 dirham dan mempekerjakan sekitar 100.000 arsitek, pengrajin, dan kuli yang berasal dari Syiria dan Mesopotamia. Sejak 762 M, Dinasti Abbasiyah memusatkan pemerintahannya di Baghdad. Berbeda dengan para pendahulunya para khulafaur rasyidin, khalifah-khalifah Abbasiyah terasing dari rakyatnya. Kebersahajaan dan informalitas lama yang menjadi ciri khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib) tergantikan oleh gaya hidup glamor dan hedonistik. “Dalam keseharian, para khalifah Abbasiyah dikelilingi para tukang jagal. Itu seperti sebuah bentuk pemberitahuan tersirat kepada khalayak bahwa mereka memiliki kekuasaan atas hidup dan mati,” tulis Karen Armstrong dalam  Islam, A Short History. Lebih dari 500 tahun, para khalifah dinasti Abbasiyah hidup dalam kejayaan dan kemewahan. Di bawah pemerintahan mereka,Baghdad yang awalnya hanya sebuah kampung kecil telah berubah menjadi pusat fashion laiknya Paris, Milan dan New York saat ini.Berbagai prilaku dan gaya pakaian keluarga besar khalifah bahkan menjadi acuan mode dunia kala itu. Salah satu selebritis mode itu adalah Ulayyah,salah seorang adik perempuan Khalifah Harun Al Rasyid (786-809). “Ulayyah pernah coba menutupi sebuah goresan kecil di dahinya dengan memakai pengikat kepala yang berhiaskan emas permata. Ikat kepala ala Ulayyah tersebut lantas menjadi trend dunia mode pada zaman itu,” ungkap Philip K. Hitti dalam  History of the Arabs . Namun tidak hanya trend mode dan kemewahan, ilmu pengetahuan pun mengalami kemajuan yang sangat pesat di Baghdad. Kala itu, hampir di setiap sudut kota terdapat perpustakaan dan laboratorium penelitian. Bahkan bisa dikatakan hampir sebagian besar masyarakat Baghdad memiliki minat besar mempelajari matematika, fisika, kedokteran, seni dan filsafat.Sejarawan Prancis Gustave Le Bon,menyebut situasi tersebut sebagai ironi bagi dunia Barat. Mengapa?   ” Karena saat pusat-pusat Islam Baghdad (dan Spanyol) sedang berada di puncak kecemerlangannya,pusat-pusat intelektual di Barat hanyalah berupa benteng-benteng perkasa, yang dihuni oleh para bangsawan semi barbarik yang merasa bangga atas ketidakmampuannya membaca,” tulis Le Bon dalam  The World of Islamic Civilization . Kendati demikian, sejarah tidak selamanya berpihak pada sebuah bangsa. Di tengah gaya hidup mewah yang sudah malampaui batas,Baghdadpada akhirnya didatangi malapetaka. Bulan Februari 1258, sekitar 200.000 prajurit Mongol pimpinan Jenderal Hulago Khan menyerbu Baghdad. Menghadapi serangan tersebut, alih-alih bertahan, tentara Abbasiyah yang secara moril sudah miskin keberanian dan semangat itu malah lari kocar-kacir.  Ibnu Katsir melukiskan ketidak-berdayaan para tentara Abbasiyah tersebut. Menurut sejarawan Arab itu, Baghdad yang mewah dan indah dibuat jadi lautan darah oleh para prajurit Hulago Khan. ”Tentara Tartar (Mongol) mengejar pasukan khalifah dan rakyat biasa hingga ke lorong-lorong kota. Mereka dengan biadab membantai tanpa ampun tentara, anak-anak, perempuan dan orang tua. Baghdad menjadi samudera darah dan penderitaan,” tulis Ibnu Katsir dalam  al-Bidayah an-Nihayah . Setelah berhari-hari bertahan di istananya yang megah, Khalifah al-Mu’thasim (1243-1258) beserta 300 pejabat dan keluarga istana akhirnya menyerahkan diri pada Jenderal Hulago Khan. Sepuluh hari kemudian para tawanan itu dipancung satu persatu, termasuk al Mu’tashim beserta dua puteranya. Syahdan sepeninggal khalifah, Baghdad dibakar dan dijarah habis-habisan. Ribuan artefak dan manuskrip sejarah pun berubah menjadi abu. Selain kepada emas, rupanya tentara Mongol sama-sekali tidak tertarik pada aset sejarah dan ilmu pengetahuan. Sebuah sikap yang pada zaman sekarang terbukti dimiliki juga oleh militer Amerika Serikat dan Inggris saat menyerang Irak.

  • Ketika Rumah Menteri Pekerjaan Umum Kena Gusur

    Pembangunan Jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) Jakarta Seksi 2B akan menggusur rumah pribadi Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Demikian kabar itu keluar dari akun twitter Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, pada 14 Mei 2019. Meski kabar itu belum pasti benar, perhatian khalayak telah banyak tertumpuk pada Basuki Hadimuljono. Sang menteri pun bilang penggusuran rumah pribadinya sebagai konsekuensi pembangunan. Mahfud MD memuji sikap Basuki. Sebab banyak pejabat tak rela memberikan pengorbanan untuk kepentingan masyarakat. Rencana penggusuran rumah Basuki mengingatkan pada sosok Martinus Putuhena. Dia pernah menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum pada masa revolusi. Rumah kecilnya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, kena gusur proyek pelebaran jalan pada 1976.  “Kamar tamu terpotong sama sekali,” tulis Leentje Hendrika Betsy Wattimena alias Putuwati dalam Ir. Martinus Putuhena Menteri Pekerjaan Umum di Masa Revolusi. Putuhena lahir di Ihamuha, Saparua, Maluku, pada 27 Mei 1901. Dia menghabiskan masa kecil dan pendidikan dasarnya di Ihamuha. Dia pindah ke Tondano, Sulawesi, untuk meneruskan pendidikan menengah pertama pada 1916. Lulus sekolah di Tondano, dia menuju Yogyakarta untuk menempuh pendidikan menengah atas pada 1920. Kemudian dia memilih Techinische Hoge School di Bandung sebagai tempat pendidikan tingginya selama 1923—1927.     Generasi Insinyur Pertama Putuhena termasuk generasi tukang insinyur pertama dari golongan anak negeri bersama Sukarno, Hudiono, Sutoto, Rooseno, dan Sutedjo. “Sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia hanya terdapat sekitar 20 orang insinyur Indonesia,” catat R.Z. Leirissa dalam Ir. Martinus Putuhena Karya dan Pengabdiannya . Putuhena turut bergabung dalam Algemeene Studie Club Bandung, sebuah kelompok diskusi mahasiswa tentang persoalan politik, nasionalisme, dan filsafat, pada 1925. Dia cukup dekat dengan Sukarno dan mengemban tugas khusus selama bergabung di Studie Club. “Kalau rapat sedang berlangsung dia harus berada di pekarangan kantor untuk mengawasi kalau-kalau ada orang di sekitar tempat itu. Terutama untuk mengawasi oknum-oknum intel dari pemerintah Belanda yang sangat berbahaya,” tulis Putuwati. Tetapi setelah Putuhena menikah dan Sukarno dibuang pada 1930-an, kedekatan itu merenggang. Dia juga menjauhi politik konfrontatif terhadap Belanda dengan menerima tawaran kerja di Verkeer en Waterstaat (Pekerjaan Umum dan Tenaga). Kerja di sana cukup menyenangkan bagi seorang anak negeri. Fasilitas dan tunjangan kerja tersedia untuk mereka. Perhatian pokok Putuhena masa itu pada bagaimana memanfaatkan pengetahuannya untuk kepentingan masyarakat luas. Dia berbeda dari tokoh pergerakan asal Maluku lainnya seperti dr. J. Leimena dan Mr. J. Latuharhary. Keduanya aktif berorganisasi dan menyebarkan gagasan melalui tulisan. Putuhena tidak meninggalkan tulisan dalam majalah, harian, dan lain-lain. “Maka kesadaran nasionalnya di masa penjajahan memang tidak bisa diketahui,” catat Putuwati. Ketika awal Jepang menduduki Indonesia pada 1942, Putuhena telah mencapai kedudukan tinggi di Dinas Pekerjaan Umum dan Tenaga (Verkeer en waterstaat) di Lombok. Dia punya catatan bekerja sama dengan Belanda, tetapi tidak ditangkap oleh Jepang. Dia tidak termasuk golongan gelijkgesteld alias orang Indonesia berstatus hukum setara dengan orang Eropa. Golongan inilah incaran tentara Jepang untuk ditawan. Ditangkap Jepang Putuhena tetap bekerja sebagai tenaga ahli dalam Dinas Pekerjaan Umum. Tapi segala fasilitasnya telah sirna. Jepang mengambil-alih rumah dinasnya yang besar. Dia tersingkir ke pinggiran kota. Di sini dia mengetahui perilaku kejam tentara Jepang. Dia mulai tidak suka pada Jepang dan menolak bekerja. Pilihan sikapnya berujung penangkapan oleh tentara Jepang selama beberapa hari. Masa awal kemerdekaan, Putuhena menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum dalam Kabinet Sjahrir sejak 14 November 1945 hingga 3 Juli 1947. Seluruh Kabinet Sjahrir harus terdiri dari orang-orang bersih dari cela kerja sama dengan Jepang demi meredam pandangan Sekutu bahwa Indonesia negara bentukan Jepang. Putuhena bisa dinyatakan memenuhi syarat. Selain syarat bersih diri itu, Putuhena juga memenuhi kualifikasi pengalaman dan kemampuan teknis. “Dia pernah mencapai pangkat yang cukup tinggi dalam bidang ini di masa penjajahan. Dengan demikian pengetahuan teknisnya dapat diandalkan,” catat Leirissa. Selama di Kementerian Pekerjaan Umum, Putuhena bertugas merehabilitasi infrastruktur. Banyak infrastruktur hancur pada masa pendudukan Jepang. Antara lain jalan umum. Tapi perbaikan itu sulit terwujud. Mengingat ongkos pekerjaan sangat minim, peralatan tidak memadai, dan tenaga ahli kurang. Masalah umum seperti kementerian lainnya. Sebagai gambaran betapa susahnya keuangan kementerian, lihatlah cerita perjalanan dinas Putuhena ke Purworejo pada suatu hari. Ban mobil dinas Putuhena pecah di tengah jalan. Mobil itu tak punya ban cadangan. Tiada anggaran untuk menyediakan ban serep di tiap mobil dinas. Ban kempes itu lalu diisi rumput supaya mengurangi goncangan hingga tiba di tujuan. Aktivitas politik Putuhena selama masa revolusi fisik tidak banyak menonjol. Dia memang tercatat sebagai seorang anggota Partai Kristen Indonesia sejak 1947. Dia seangkatan dengan dr. Leimena. Tetapi peranannya kurang berpengaruh dalam pengembangan partai. Usai menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum, Putuhena menjadi kepala bagian gedung-gedung Kementerian Pekerjaan Umum di Yogyakarta. Sebab ibukota telah pindah ke Yogyakarta sejak Juli 1947. Salah satu tugasnya ialah menyusun rencana pembangunan kota Yogyakarta meliputi kampus Universitas Gajah Mada di wilayah Bulaksumur.  Putuhena beranggapan perkembangan teknologi di Indonesia bisa mendapat banyak manfaat dari kerja sama yang harmonis dengan kekuatan Barat yang memiliki budaya teknologis yang tinggi. Dia percaya kemampuan diperoleh melalui pendidikan. Maka dia bentuk Akademi Teknik Pekerjaan Umum dan Tenaga (PUT) di Bandung pada 1951. Dia juga merancang pengiriman insinyur ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Jalan Beton Putuhena turut menghadiri kongres jalan raya dunia ke-9 di Lisabon Portugal. Kongres membahas penggunaan beton untuk jalan raya. Teknik ini masih langka di Indonesia. Ada pula bahasan tentang konstruksi jalan by-pass . Kelak pembangunannya berlangsung pada dekade 1960-an, merentang dari Tanjung Priok hingga Cawang di Jakarta. Putuhena pulang ke Jakarta. Tapi tak lama. Dia pergi lagi ke Paris untuk menghadiri Sidang Umum PBB. Di sela-sela acara tersebut, dia bertemu dengan ahli bidang pengairan asal Prancis. Obrolannya seputar kemungkinan proyek pengairan di Indonesia. Kelak salah satunya terwujud dalam Waduk Jatiluhur, Jawa Barat, dan pembangunan instalasi air bersih di Pejompongan, Jakarta. Sentuhan Putuhena juga berjejak dalam pembangunan kampus Universitas Indonesia di Rawamangun, Jakarta Timur. Daerah ini begitu lengang. Sampai orang masa itu bilang “tempat jin buang anak”. Harga tanah sangat murah. Melalui pembangunan kampus baru UI itu, jalan pun dibuat dan diperbagus. Lalu tumbuhlah permukiman di sekitarnya sehingga menyebabkan perkembangan wilayah ini. Meski berkiprah jauh dari kampung halaman, Putuhena tidak lantas mengabaikan tanah kelahirannya. Dia peduli dengan Maluku. Dia ingin menghapus sentimen sebilangan orang Maluku terhadap Republik Indonesia. Caranya dengan membangun infrastruktur. Hal terpenting di Maluku adalah menyentuh orang dengan agamanya. Sentuhan itu berupa pembangunan gereja. Berbagai macam kelompok terlibat dalam pembangunannya. Pada 1951—1953. Setelah pensiun pada 1956, Putuhena bekerja di perusahaan swasta. Tapi perusahaan ini kemudian bangkrut dan pekerjanya kena PHK. Dia harus menjual rumahnya di Teluk Betung, Jakarta Pusat, demi meneruskan hidup. Dari hasil penjualan rumah tersebut, dia membeli rumah lebih kecil di Tebet Timur Dalam, Jakarta Selatan. Kepindahan Putuhena masih berlanjut pada masa pensiunnya. Dia menempati rumah kecil lagi di wilayah Pasar Minggu. Di rumah inilah penggusuran sebagian rumahnya terjadi. Justru ketika dia telah memperoleh penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto pada 13 Agustus 1976. “Untunglah pada waktu itu Gubernur Ali Sadikin berbaik hati untuk menyumbangkan sejumlah dana untuk memperbaiki rumah itu,” tulis Putuwati. Di rumah yang sempat tergusur inilah Putuhena melewati sisa hidupnya. Dia wafat pada 20 September 1982 di Jakarta.

  • Srikandi Dunia Telekomunikasi

    TELEPON selular (ponsel) kini jadi barang “wajib” bagi hampir semua orang. Maraknya penggunaan ponsel ini bermula dari inisiatif Telkomsel untuk meliberalisasi perangkat sejak berdiri pada 1995. Harga ponsel yang semula selangit, turun jadi terjangkau. Kala itu, Telkomsel satu-satunya perusahaan yang memisahkan bisnis layanan telekomunikasi dengan penjualan perangkat sebelum liberalisasi telekomunikasi dilakukan besar-besaran oleh pemerintah pada awal 2000. Di balik turunnaya harga ponsel itu, ada seorang perempuan yang duduk di tataran elite. Dialah Koesmarihati, direktur utama (dirut) Telkomsel pertama. Marie, begitu ia disapa, menjabat posisi dirut pada 1995 hingga pensiun pada 1998 ketika usianya 56 tahun. Lahir di Bogor, 9 Oktober 1942, Koesmarihati merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Koesnowarso, bekerja sebagai inspektur kehutanan Provinsi Jawa Barat. Sebagian masa kecil Marie dihabiskan di Bandung, di rumah dinas ayahnya. Begitu ayahnya meninggal pada 1951, Marie sekeluarga pindah ke Madiun. Di Madiun, mereka tinggal di rumah nenek. Lantaran uang pensiun ayahnya tidak kunjung cair selama beberapa tahun, ibunya, Koesmarlinah, jungkir-balik membiayai tujuh anaknya. Koesmarlinah bekerja sebagai penjilid buku di percetakan milik saudaranya. Tiap pulang sekolah, Marie dan saudara-saudaranya membantu ibu menyortir halaman-halaman yang akan dijilid dan mengoleskan lem. Melihat ibu dan neneknya bahwa perempuan mampu dan aktif pantang menyerah untuk terus bergerak, Marie mencontoh. Langkah pertamanya, Marie berhasil menyelesaikan SMA sebagai lulusan terbaik kedua se-Kota Madiun pada 1961. Prestasi itu membawanya mendapat beasiswa Colombo Plan, yang mengambil siswa terbaik di tiap kota. Dari Madiun, Marie terpilih bersama rekannya yang rangking 1, Sungkowo. Selain Marie, ada satu siswi lain yang terpilih dalam beasiswa itu, yakni Trismiati asal Kediri. Gadis keturunan Tionghoa itu kemudian jadi sahabat Marie setelah tinggal di tempat yang sama, saat sama-sama kuliah di jurusan Teknik Elektro, Universitas Tasmania, Australia. “Tapi Tris tidak bekerja di Indonesia. Mungkin karena ada sentimen Tionghoa, maka agak lebih sulit dapat pekerjaan,” kata Koesmarihati pada Historia . Di Australia, Marie juga seangkatan dengan Jonathan L Parapak, direktur utama Indosat periode 1976-1980. Marie, Tris, dan Jonathan lulus tahun 1966. Marie kemudian bekerja sebagai teknisi Kelas 1 di Hydro Electric Commission. Setelah itu, dia bergonta-ganti pekerjaan baik di Indonesia maupun Australia, mulai dari Laboratorium PLN, Telcom Australia, sampai Nederlandse Kabel Fabriek (NKF). Pada 1975, NKF bekerjasama dengan Kabelindo untuk merencanakan pembangunan kabel jaringan Telkom di Jabodetabek. Marie terlibat dalam proyek ini mewakili NKF. Pada 1976, Marie bergabung dengan Telkom Indonesia. Di hari pertamanya bertugas di Telkom, Marie langsung diminta memimpin rapat. Orang-orang NKF yang sebelumnya bekerja dengannya keheranan. “NKF ada di situ, bengong semua ujug-ujug aku yang mimpin rapat,” katanya. Usai rapat, salah satu rekan Marie di NKF menanyakan alasannya pindah ke Telkom. Rekannya itu juga meledek keputusan Marie yang bakal membuatnya kurus lantaran tak bisa lagi makan enak. “Katanya, nanti kalau aku nggak bisa makan steak lagi, mau ditraktir di Hotel Indonesia,” sambungnya. Karier Marie di Telkom dirintis dari posisi staf dalam proyek Telekomunikasi Nusantara untuk menyambung kabel jaringan se-Jabodetabek. Pada 1978, Marie naik jadi kepala teknik jaringan hingga proyek itu kelar tahun 1980. Ketika itu, Telkom masih menggunakan kabel tembaga. Ketika teknologi fiber optic mulai digunakan untuk sambungan telepon pada 1977 di Amerika, Marie mulai memikirkan agar Telkom ikut menggunakan teknologi mutakhir itu. Ide Marie diterima, dia pun ditunjuk menjadi kepala PilotProject pembangunan fiberoptic sepanjang Jatinegara-Gambir pada 1980. Proyek inilah yang mempelopori penggunaan kabel fiber optic dalam sistem telekomunikasi di Indonesia dan memberi Marie anugerah Satya Lancana Pembangunan pada 1996. Koesmatihati bersalaman dengan Menparpostel Soesilo Sudarman Ketika teknologi telepon seluler makin dikembangkan, pada 1993 Marie ditunjuk menjadi Direktur Pembangunan Telkom. Divisinya bertugas merancang masa depan telepon seluler dan membangun teknologi GSM. Sementara, pilotproject pembangunan BTS dikepalai Garuda Sugardo. “Kami ditantang, sebelum ayam berkokok 1 Januari 1994 GSM harus sudah mengudara,” kata Marie. Kerja keras semua akhirnya tak sia-sia, proyek percontohan itu berhasil. Pada sore 31 Desember 1993, Marie menjajal komunikasi GSM pertama itu. Keberhasilan itu dilanjutkan Telkom, dengan membangun sarana lanjutan untuk calon anak perusahaan telekomunikasi selulernya, Telkomsel. Proyek kelar menjelang akhir 1994. Menristek Habibie meresmikannya dengan menjajal teknologi baru itu untuk menghubungi beberapa duta besar Indonesia di luar negeri. Kesuksesan proyek ini mengantarkan Marie jadi Direktur Utama Telkomsel pada 1995 sekaligus jadi perempuan pertama yang duduk sebagai pemimpin di dunia telekomunikasi. Sementara, Garuda Sugardo duduk di jajaran direksi. Dalam 1,5 tahun, Telkomsel berhasil mambangun BTS di seluruh ibukota provinsi. Bukan hanya itu, lewat strategi yang hanya menjual layanan jaringan –sedangkan penjualan ponsel diserahkan ke pasar atau distributor– Telkomsel berhasil membuat harga ponsel turun dari 15 juta-an rupiah jadi empat juta-an. Model pemasaran itu berbeda dari NMT, AMPS, dan Satelindo yang menjual perangkat dan nomor sekaligus dengan harga selangit. Gebrakan Telkomsel membuat para pesaingnya kelimpungan. Pernah dalam sebuah rapat, Telkomsel diminta untuk mengeluarkan daftar resmi merek perangkat GSM yang bisa dipilih masyarakat. Telkom menolak dan tetap tegas untuk tidak ikut campur dalam penjualan ponsel. “Kertasnya disobek-sobek sama Pak Garuda,” kata Marie. Usai pensiun dari Telkomsel, Marie tetap aktif di dunia telekomunikasi sebagai konsultan, pengawas, dan terkahir sebagai penasihat Badan Aksesbilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kominfo. Atas ketelatenannya di dunia telekomunikasi, Marie mendapat gelar kehormatan honoris causa dari Universitas Tasmania pada 2009. “Tidak ada masalah perempuan memimpin. Saya pun tak pernah merasa dunia teknik atau telekomunikasi itu maskulin kalau kesempatan yang diberikasan sama. Perempuan sangat bisa terjun,” kata Marie.

  • “Say Cheese, Mr. Aidit!”

    D.N. Aidit pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) dikenal anti Amerika Serikat (AS), negara adikuasa yang berideologi kapitalisme. Ketika Amerika membentuk pakta pertahanan Asia Tenggara (SEATO), Aidit mengecam keras kebijakan itu. SEATO sendiri dibentuk pada 1954 untuk membendung pengaruh komunisme di Asia Tenggara. Beberapa negara tetangga Indonesia seperti Filipina dan Thailand bergabung di dalamnya. “Dengan dukungan Amerika, negara-negara ini telah membentuk sebuah persekongkolan subversif di antara kekuatan imperialis dan kekuatan reaksioner yang ada di Indonesia untuk merongrong pemerintah Indonesia dan menariknya ke kubu mereka,” kata Aidit dalam pidatonya “Untuk Kemenangan Front Nasional dalam Pemilihan Umum” termuat di Pilihan Tulisan Jilid 1 . Seruan itu disampaikan Aidit di hadapan Pertemuan Paripurna Ketiga Komite Sentral  PKI, 7 Agustus 1955. Aidit juga menyerang sikap Presiden Dwight Eisenhower yang mendukung kekuasaan Belanda atas Irian Barat. Dalam sebuah rapat Komite Sentral PKI, Aidit menyerukan segenap kadernya untuk menghadapi kekuatan Blok Barat. Bukan hanya Belanda yang bercokol di Irian Barat, melainkan sebuah kekuatan yang lebih besar dan lebih keji di belakangnya, yakni imperialisme Amerika. Meski anti dengan ideologinya, Aidit punya pengalaman unik dengan negeri Paman Sam itu. Dalam lawatan Presiden Sukarno ke markas PBB di New York untuk mengikuti sidang majelis umum, Aidit ikut serta. Selain Aidit, menurut Juru Bicara Departemen Luar Negeri, Ganis Harsono, beberapa pejabat negara lain menyertai kunjungan Sukarno pada 30 September 1960. Mereka antara lain: Jenderal TNI Abdul Haris Nasution, Menteri Luar Negeri Soebandrio, Ali Sastroamidjojo, dan Sekretaris Jenderal Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Roeslan Abdulgani. Menjelang pukul 3 sore, rombongan Presiden Sukarno bersiap memasuki ruang sidang. Kerumunan wartawan dan juru foto segera menghampiri. Mereka menyerbu ke tengah-tengah ruangan sidang tempat delegasi Indonesia duduk. Hanya ada tiga orang yang menjadi pusat perhatian: Presiden Sukarno, Jenderal Nasution, dan siapa lagi kalau bukan Aidit. Para awak media dari berbagai kantor berita Amerika dengan antusias membidikan lensa kameranya kepada ketiga orang ini.   “Tujuh menit lamanya mereka membidik Presiden Sukarno, Jenderal Nasution, dan pemimpin komunis Aidit,” tutur Ganis Harsono dalam memoarnya Cakrawala Politik Era Sukarno. “Say cheese, Mr. Aidit!” kata seorang wartawan, dan Aidit pun menurut menyunggingkan senyum. Para jurnalis foto tersebut memberikan perhatian istimewa kepada Aidit. Wajar belaka, Aidit adalah orang komunis Indonesia pertama yang diizinkan masuk ke Amerika Serikat.*

  • Ketika Hatta Menolak Papua

    BERBEDA dengan mayoritas anggota  BPUPKI yang menginginkan Indonesia merdeka meliputi seluruh negeri Hindia Belanda, Malaya, Borneo Utara, Timor Portugis, dan Papua, Hatta adalah kekecualian. Menurutnya Indonesia cukup meliputi negeri Hindia Belanda saja. Adapun Papua – yang di sebut-sebut kaya dan punya ikatan sejarah dengan Nusantara – tidaklah masuk dalam keluarga besar Republik Indonesia. “Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka,” kata Hatta pada sidang BPUPKI 11 Juni 1945  yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945. Menurut Hatta memasukan Papua yang secara etnis berbeda dapat menimbulkan prasangka bagi dunia luar. Bertolak dari hukum internasional yang berlaku, tuntutan atas wilayah ini akan memberi kesan Indonesia memiliki nafsu imperialistis. Kecuali rakyat Papua sendiri yang menginginkan untuk bergabung, Hatta tidak menolak.   “Jadi jikalau ini diterus-teruskan, mungkin kita tidak puas dengan Papua saja tetapi (kepulauan) Salomon masih juga kita minta dan begitu seterusnya sampai ketengah laut Pasifik. Apakah kita bisa mempertahankan daerah yang begitu luas?,” tanya Hatta kepada hadirin sidang. Hatta juga menentang pandangan Yamin yang bersikukuh mengatakan Papua bagian dari Indonesia sejak zaman kerajaan Nusantara. Yamin secara panjang lebar menguraikan pendapatnya soal Papua lewat analisis historis, politik, dan geopolitik. Bagi Hatta, semua itu omong kosong. “Kalau sudah ada bukti, bukti bertumpuk-tumpuk yang mengatakan bahwa bangsa Papua sebangsa dengan kita dan bukti-bukti itu nyata betul-betul, barulah saya mau menerimanya. Tetapi buat sementara saya hanya mau mengakui, bahwa bangsa Papua adalah bangsa Melanesia, ” kata Hatta. Ketimbang Papua, Hatta lebih cenderung mempertimbangkan Malaya dan Borneo Utara. Pasalnya, rakyat di kedua wilayah  ini  - yang kini menjadi negeri Malaysia – sama-sama beretnis serumpun Melayu seperti halnya Indonesia. Oleh karena itu, Hatta mempertahankan usulannya agar wilayah Indonesia terdiri dari Hindia Belanda dan Malaya minus Papua. Akhir kata dalam sidang, Hatta menghimbau rekan-rekannya di BPUPKI agar bersikap realistis dalam membangun bangsa dan negara. Ini menurut Hatta, penting sebagai teladan bagi generasi muda. Menghilangkan nafsu ekspansi ke luar dan mengubahnya untuk mempertahankan kedaulatan. “Marilah kita mendidik pemuda kita, supaya semangat imperialisme meluap ke dalam, membereskan pekerjaan kita ke dalam, yang masih banyak harus diperkuat dan disempurnakan,” pungkas Hatta.   Sayangnya, gagasan Hatta harus kandas dalam pemungutan suara. Konsep kesatuan gagasan Yamin dan Sukarnolah yang diterima dengan perolehan suara terbanyak. Meski kalah dalam BPUPKI, Hatta tetap konsisten dalam pendapatnya soal Papua. Ini pun disampaikan Hatta kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Dirk Stikker, dalam sebuah perundingan pada November 1948. Sejarawan Belanda, Pieter Drooglever mencatat, Hatta mengulangi kepada Stikker pendiriannya yang bertahun-tahun silam sudah diutarakan dalam BPUPKI, yaitu bahwa ia tidak berminat terhadap Papua, karena tidak termasuk Indonesia. Bagi Stikker, pernyataan Hatta ini merupakan ucapan penting. “Ia segera menarik kesimpulan dari situ, bahwa wilayah ini dapat direservasi untuk Belanda,” tulis Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri . Sikap Hatta tidak berubah ketika memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Oktober 1949 di Den Haag, Belanda. Hatta tampak enggan beradu klaim menghadapi Menteri Urusan Negeri Hajahan Belanda, Henricus van Maarseven yang begitu menginginkan Papua. Hatta bersedia menangguhkan status kepemilikan wilayah itu dan membicarakannya lagi setahun kemudian. Hatta kembali pulang ke Indonesia membawa oleh-oleh pengakuan kedaulatan. Namun Papua masih jauh dari genggaman Republik - sebagaimana yang dipesankan oleh Sukarno. “Dalam keadaan semacam itu, jalan sebaiknya ialah menunda penyelesaian. Orang yang berpendirian semuanya harus tercapai 100% sekaligus, tentu tidak puas dengan cara begitu. Tapi adakah jalan untuk mencapai tuntutan itu sekarang juga?,” kata Hatta di depan Badan Pekerja KNIP, 25 November 1949 dikutip Soebandrio dalam Meluruskan Sejarah Irian Barat . Menurut Mavis Rose dalam Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta, Hatta tahu mengapa Belanda ngotot mempertahankan kekuasaannya di Papua. Alih-alih meneruskan tuntutan, Hatta lebih memilih untuk menyelesaikan perundingan lewat kompromi. Misi pengakuan kedaulatan menjadi yang terpenting sedangkan masalah Irian Barat dapat diselesaikan di kemudian hari. Bagi Hatta, revolusi telah selesai dengan memperoleh kedaulatan politik meski tanpa Papua. Seiring dengan itu, tibalah saatnya membangun negara. Namun tidak demikian halnya dengan kaum Republiken lain yang mendambakan kekuasaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Kendati sudah menjadi bagian dari Republik Indonesia, siapa nyana soal Papua malah menjadi batu sandung Indonesia dalam pergaulan internasional hingga kini.

  • Akhir Tragis Alutsista Legendaris

    LEMPENGAN logam sepanjang lebih dari satu meter itu tegak berdiri di Heritage Room Lanud Atang Sanjaya (ATS), Semplak, Bogor. Warnanya putih sudah kusam, namun kondisinya masih baik. Lempengan itu persis seperti yang terdapat di ekor helikopter yang menjadi latar belakang dalam foto Marsda (Purn.) Tatang Kurniadi, penerbang TNI AU yang kala itu masih berpangkat kapten di Skadron 6. “Ini (foto Mi-6 era 1970-an) sebelum dibongkar. Dulu kepingin juga menerbangkan tapi ya memang ditugaskannya di heli lain (Sikorsky UH-34-D “Sea Horse”, red),” tuturnya kepada Historia. Lempengan itu merupakan bekas rotor ekor helikopter buatan Uni Soviet Mi-6 Hook milik Angkatan Udara Repubik Indonesia (AURI). “Iya, ini satu-satunya sisa dari Mi-6 itu. Heli raksasa yang kalau kita istilahkan seperti (pesawat) Hercules dikasih baling-baling,” terang Kadispers Lanud ATS Letkol (Pnb) Sigit Gatot Prasetyo. Di masanya, Mi-6 merupakan heli angkut berat terbesar di dunia dengan dimensi panjang 33 meter dan tinggi 9,86 meter. Ia lahir dari Pabrik Helikopter Mil di Moskva pada 1957. Heli pertama bertenaga turboshaft itu ditenagai dua mesin Soloviev D-25V. Kecepatan maksimalnya 300 kilometer per jam. Ia mampu mengangkut 90 orang dan beban maksimal 12 ton. AURI mendatangkannya sekira 11 unit (beberapa sumber menyebut sembilan dan enam unit) pada 1960-an. Untuk mewadahinya, lebih dulu dibentuk Skadron Helikopter Mi-6 Persiapan melalui SK Menpangau Nomor 12 tahun 1965 tertanggal 11 Februari 1965. Kelak, skadron ini beralih menjadi Skadron 8 di bawah naungan Wing Operasi 004. Danskadron pertamanya Mayor Udara Imam Suwongso. Mayor Udara Imam Suwongso, Komandan Skadron 8 pertama (Foto: Dok. Lanud ATS) Kedatangan rombongan pertama Mi-6 pada 29 Juli 1966 memakan korban perwira teknik AURI Mayor –kemudian dinaikkan secara anumerta menjadi letnan kolonel– Atang Sendjaja. Kala itu, Mayor Atang hendak memimpin konvoi dua unit Mi-6 menuju Lanud Halim Perdanakusuma untuk dirakit, sebelum dikandangkan di Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Semplak (nama lama Lanud ATS). “Kakek meninggal ketika bawa heli itu dari Tanjung Priok ke Halim. Saat itu kakek ada di dalam heli ketika buntut helinya terkena kabel listrik sebelum masuk Halim,” kenang Fajar Anugrah Putra, salah satu cucu Atang Sendjaja, kepada Historia . Nama Atang kemudian diabadikan menjadi nama PAU Semplak. Hingga akhir masa tugasnya pada 1968, tulis T. Djohan Basyar dalam Home of Chopper: Perjalanan Sejarah Pangkalan TNI AU Atang Sendjaja 1950-2003 , heli-heli Mi-6 turut serta dalam operasi-operasi (masa-masa akhir) Trikora, hingga Dwikora dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia di Kalimantan. Namun dampak politik pasca-Peristiwa 1965 dan transisi rezim Orde Lama ke Orde Baru menyebabkan ketiadaan suku cadang heli tersebut. Armada Mi-6 akhirnya di- grounded pada 1968 dan Skadron 8 sendiri dibekukan pada 1971. Satu-satunya peninggalan heli Mi-6 berupa sebilah baling-baling belakang di Heritage Room Skadron 8 Lanud ATS (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Efek dari kejadian 1965 itu kan hampir semua alutsista dari Rusia di- grounded dan baru nantinya digantikan heli-heli dari Amerika. Sisa-sisanya semua di- scrap , dipereteli. Ada yang jadi panci, penggorengan, ya perabotan rumah tanggalah. Sedih sih ceritanya. Satu-satunya peninggalan ya tinggal ini,” ujar Letkol Sigit sembari menunjukkan sisa sebilah tail-rotor itu. Marsda Tatang Kurniadi juga masih ingat nasib heli Mi-6 nan tragis laiknya armada jet bomber Tupolev Tu-16 Badger atau kapal penjelajah berat KRI Irian milik ALRI. Semua disingkirkan lantaran alasan politis. “Sekitar 1975 saya lihat dari hanggar Skadron 6 di kejauhan. Di seberang grass-strip (landasan rumput, red. ) di deretan Mi-6 diparkir, ada kegiatan bongkar Mi-6. Malah beberapa waktu kemudian terlihat ada unggun api membakar bagian-bagian heli tersebut. Jumlahnya sekitar 4-5 heli,” kenangnya.

  • Stunting dan Sejarahnya di Indonesia

    Aktif mengikuti Historia di media sosial Twitter mengantarkanTriawan (24 tahun) ke acara Ngobras (Ngopi Bareng Rasa Sejarah) pada 16 Mei 2019. Acara yang diadakan Historia bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika ini berlangsung di Beranda Coffee, Jakarta Selatan. Ngobrasedisi kali ini mengangkat tema “Stunting dan Sejarahnya di Indonesia”, dengan menghadirkan para pakar kesehatan di Indonesia, di antaranya Agus Setiawan, Ph.D (dosen sejarah kesehatan Universitas Indonesia), dan dr. Dermawan C. Nadeak, Sp.GK (dokter spesialis gizi klinik). “Tema yang diangkat menarik. Jarang ada bahasan tentang stunting di sejarah kesehatan,” ucap mahasiswa sejarah UNJ itu. Antusiasme para peserta Ngobras begitu besar. Terbukti dari banyaknya pertanyaan dan tanggapan tentang materi stunting ini. Kendati kursi telah habis, mereka rela berdiri demi dapat mendengarkan pemaparan dari para pemateri. Gizi dan Stunting Permasalahan kesehatan gizi, lebih lanjut dapat menjadi stunting , telah menjadi momok bagi dunia kesehatan Indonesia. Stunting terjadi manakala seorang bayi tidak tumbuh secara optimal akibat asupan gizi pada 1000 hari pertama kehidupannya tidak terjaga. “Dampak jangka panjang dari stunting ini cukup mengkhawatirkan. Misal meningkatkan risiko penyakit, postur tubuh tidak optimal, produktivitas yang tidak maksimal, dan sebagainya,” kata Dermawan. Sejak masa kolonial, pemerintah sudah memberikan fokus terhadap persoalan gizi buruk tersebut. Agus mengatakan bahwa bentuk nyata dari perhatian pemerintah Hindia Belanda terhadap permasalahan kesehatan dilakukan dengan membangun banyak fasilitas kesehatan. Namun awalnya hanya untuk menjaga kesehatan para tentara. “Perhatian pemerintah kepada sipil ini malah belakangan mendapat prioritas karena tentara kolonial menjadi ujung tombak pemerintah Hindia Belanda,” ujar Agus. Masalah kesehatan terburuk dialami oleh rakyat Indonesia sejak diberlakukannya kebijakan Tanam Paksa pada 1830. Terjadi kelaparan besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia. Jangankan gizi, pangan pun tidak tercukupi. “Orang-orang Indonesia itu jangankan untuk mendapatkan nutrisi yang cukup, untuk mendapatkan bahan pangan dasar saja sudah sangat terbatas,” kata Agus. Kasus gizi buruk di masyarakat terus meningkat, terlebih sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1930. Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan penanggulangan dengan mendirikan Instituut Voor de Volkvoeding (IVV) pada 1934. Melalui lembaga riset ini, pemerintah mencoba membuat solusi terkait permasalah gizi. Seorang konsultan pertanian untuk pendidikan, G.A. van de Mol, dalam tulisannya Gezonde Voeding (Makanan Sehat), menyerukan agar orang Eropa yang tinggal di Hindia untuk beralih ke pangan “pribumi”, yang lebih kaya sayuran dan buah-buahan ketimbang daging, sebagai alternatif. Namun, kesulitan harus dihadapi masyarakat Indonesia. Upaya perbaikan gizi kembali terhalang saat masa pendudukan Jepang. Kebijakan yang mengharuskan rakyat menyetor hasil pertanian membuat mereka kekurangan pangan. Rakyat harus hidup dengan makanan seadanya. Dalam bukunya Mobilisasi dan Kontrol, Aiko Kurasawa menjelaskan keadaan yang dialami rakyat Indonesia saat menghadapi krisis tersebut. Untuk mengatasinya, diperkenalkanlah resep-resep makanan baru pengganti beras. “Salah satunya adalah ‘bubur perjuangan’, yang terbuat dari campuran ubi, singkong, dan katul,” tulis Aiko. Pada masa pendudukan Jepang segala lembaga kesehatan dan hasil-hasil riset yang telah dibangun oleh Belanda dikuasai sepenuhnya untuk kepentingan militer Jepang. Tidak sedikit pun mereka memberi ruang bagi pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia. “Satu kata untuk masa pendudukan Jepang ini: gizinya sangat buruk,” kata Agus. Agus kemudian menulis dalam makalahnya bahwa setelah Indonesia merdeka, Kementerian Kesehatan segera dibentuk atas usulan panitia kecil (Sukarno, Hatta, Agus Salim, Achmad Subardjo, dll). Setelah itu kementerian kesehatan bergerak cepat mengatasi permasalah kesehatan ini. Pada 1950, dibentuk Lembaga Makanan Rakyat (LMR), kelanjutan dari IVV pada masa Belanda. Lembaga pimpinan Poorwo Soedarmo ini merintis berbagai program gizi nasional, seperti penyuluhan, penanggulangan, dan pendidikan untuk para ahli gizi. Tetapi bukan persoalan mudah bagi LMR menjalankan misinya. Keadaan ekonomi yang belum stabil, ditambah tidak meratanya pemahaman masyarakat tentang kesehatan membuat LMR harus bekerja sangat keras. Pada 1951, LMR mendirikan Sekolah Juru Penerang Makanan. Hal itu dilakukan untuk mencetak ahli-ahli gizi di Indonesia. LMR juga menginisiasi diadakannya Hari Gizi Nasional pertama pada pertengahan 1960-an. Untuk mempercepat program kerja LMR, Poorwo kemudian membuat slogan “4 Sehat 5 Sempurna”. Hasilnya, kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga keseimbangan makanan terus meningkat. “Kalau saya pribadi sebagai dokter gizi mengatakan bahwa 4 sehat 5 sempurna ini sudah lebih gampang diterima,” ucap Dermawan. Pada 1999, pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan desentralisasi untuk urusan kesehatan ini. Mereka memberikan wewenang penuh kepada pemerintah daerah untuk mengatasi berbagai persoalan kesehatan di wilayahnya, termasuk urusan gizi. Namun, hal itu sangat memberatkan. Pemerintah daerah yang kekurangan fasilitas dan tenaga kesehatan kesulitan menanggulangi perosalan gizi tersebut. Acara Ngobras diakhiri dengan pemaparan dari perwakilan Kominfo, Irawan, mengenai program-program yang telah dijalankan dalam persoalan stunting . “Sejak tahun 2014, Kominfo diberi kepercayaan untuk mengkampanyekan stunting di Indonesia,” terang Irawan. Sebagai langkah nyata, Kominfo kemudian membentuk sebuah gerakan yang dikenal sebagai “Genbest” (Generasi Bersih dan Sehat). Gerakan ini ditujukan untuk menyelesaikan persoalan gizi di berbagai daerah di Indonesia. Caranya dengan penyuluhan langsung pada masyarakat, terutama generasi-generasi muda.

  • Di Bawah Simbol Banteng

    FOTO usang itu menyiratkan kegagahan. Sekelompok pemuda dengan takeyari (bambu runcing) terhunus berbaris rapi.  Wajah-wajah mereka terlihat keras seolah siap menghancurkan musuh yang datang menghadang. Sementara  salah satu dari pemuda itu memegang panji bersimbol siluet kepala banteng.  Siapakah mereka? “Anak-anak muda itu adalah anggota sebuah lasykar ternama di era revolusi, namanya BBRI (Barisan Banteng Republik Indonesia),” ungkap sejarawan Rushdy Hoesein. Kendati didirikan oleh kaum nasionalis  dan kerap dihubungkan dengan PNI (Partai Nasional Indonesia), pada kenyataannya  BBRI bukanlah “milik seutuhnya” dari partai kaum nasionalis tersebut. Menurut Kemal Asmara Hadi, pada awal pendiriannya loyalitas BBRI lebih cenderung ditujukan kepada Sukarno. “ Wajar karena sebagian besar pimpinannya seperti dr. Moewardi dan Soediro adalah kader Bung Karno,” ungkap salah satu putra dari tokoh BBRI, Asmara Hadi itu BBRI memang salah satu milisi terkuat di Indonesia pasca proklamasi. Menurut George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia , pada akhir 1945, anggotanya melampaui angka 20.000 orang. Suatu jumlah yang hanya bisa dikalahkan oleh Hizboellah (Masyumi), Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) dan Lasjkar Rakjat (Murba). Awalnya Barisan Pelopor Di tengah gelora permusuhan terhadap Sekutu yang ditiupkan oleh pemerintah militer Jepang, kaum nasionalis Indonesia mengajukan permohonan untuk membentuk suatu badan semi militer. Menurut Rushdy Hoesein, permohonan itu direspon secara cepat oleh Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat). Maka  pada 1 November 1944 didirikan sebuah organ bernama Barisan Pelopor ( Syuisyintai ) yang ada di bawah kendali  Djawa Hokokai. “Sebagai pimpinan diangkatlah Ir. Sukarno, sedangkan tiga wakilnya adalah R.P. Suroso, Otto Iskandardinata dan dr. Buntaran Martoatmojo serta dr.Moewardi selaku pimpinan Barisan Pelopor cabang Jakarta,” ungkap Rushdy. Kendati disiapkan untuk menjalankan bela negara, namun dalam kenyataannya kegiatan Barisan Pelopor (BP) hanya difokuskan kepada upaya menggalang massa aksi dan upaya pengamanannya saat berlangsung pidato-pidato para tokoh nasionalis. Namun, struktur dan pengorganisasian BP bisa disebut sangat baik. Itu dibuktikan dengan berdirinya cabang-cabang BP hingga tingkat kawedanaan bahkan sampai tingkat kelurahan. “ Jumlah anggotanya diperkirakan meliputi 60.000 orang…” tulis Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI . Sejarah mencatat peran besar BP dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Selain mengurusi hal-hal teknis, mereka pun terlibat dalam pengamanan Sukarno-Hatta.  “Para komandannya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa radikal yang aktif di grup Menteng 31,” ujar Rushdy. Terbentuknya Barisan Banteng Pada 16 Desember 1945, di bawah dr.Moewardi BP merubah namanya menjadi BBRI. Walaupun jumlah anggotanya melorot tajam dibanding saat masih bernama BP, namun BBRI dikenal sebagai milisi yang memiliki persenjataan lengkap dan jaringan paling kuat di pelosok Jawa dan Sumatera. Wajar dengan kondisi seperti itu BBRI bisa bicara banyak di berbagai palagan, baik saat menghadapi militer Inggris maupun ketika berhadapan dengan militer Belanda. Salah satu contoh, pada  awal 1946, BBRI pimpinan Soeroso secara heroik  sempat membuat kalangkabut Batalyon 3/3 Gurkha Rifles di palagan Cianjur.  “ Padahal yang mereka hadapi adalah pasukan elite milik Inggris, pemenang Perang Dunia II…” ujar Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi, salah satu sesepuh Divisi Siliwangi. Namun menurut Kahin, melimpahnya persenjataan dan keberanian mereka kerap tidak dibarengi dengan penerapan disiplin yang bagus. Terlebih di BBRI, jumlah komandan yang cakap secara militer sangatlah sedikit. Otomatis itu menimbulkan lebih banyak masalah di lapangan. “ Akibatnya, semangat tempur dan kekuatan politik BBRI perlahan mengecil,”ujar pakar sejarah revolusi Indonesia asal Amerika Serikat itu. Akhir April 1946, BBRI terlibat dalam kericuhan di Surakarta. Berawal dari adanya tuntutan PNI Surakarta yang meminta agar kekuasaan Sunan dicabut dan provinsi yang ia kuasai dimasukan ke dalam Republik dengan tingkat pemerintahan yang sama sebagaimana wilayah yang diperintah secara langsung. Beberapa hari kemudian, pasukan BBRI mengepung kepatihan dan gudang logistik milik Sunan. “ Aksi ini dilakukan bersama Rono Marsono, seorang pemimpin serikat buruh lokal yang kuat tetapi bejat,” ungkap Kahin. Akibat kejadian tersebut,pada Mei 1946, Pemerintah Sjahrir menangkapi 12  pemimpin PNI dan BBRI, termasuk dr.Moewardi.  Tentu saja BBRI tidak menerima penangkapan itu. Mereka lantas melakukan demonstrasi besar-besaran di Solo guna menuntut pembebasan pemimpin-pemimpin mereka. Aksi tersebut ditanggapi secara positif oleh pimpinan TRI (Tentara Republik Indonesia) Jenderal Soedirman dengan membebaskan 12 orang itu. Tanpa Kompromi S ecara politik, BBRI menganut  pendirian “tak mengenal kompromi dengan Belanda”. Pilihan ini jelas membuat milisi bersimbol banteng kekar tersebut bersimpangan jalan dengan PNI, yang mendukung Perundingan Linggarjati dan Perundingan Renville laiknya sang patron: Presiden Sukarno. “Di sinilah simpang jalan itu, Moewardi melihat PNI dan Sukarno mulai “tidak konsisten” terhadap garis perjuangan semula,” kata Rushdy Hoesein. Sebaliknya pendirian BBRI itu justru bertemu dengan para pendukung Tan Malaka yang berprinsip: Indonesia harus merdeka 100%. Maka bertempat di Surakarta, pada 25 Januari 1948,terbentuklah GRR (Gerakan Revolusiener Rakyat), suatu aliansi antara para nasionalis yang ada di BBRI dengan para murbais (pendukung ide-ide politik Tan Malaka) dan kaum komunis di luar PKI (Partai Komunis Indonesia) pimpinan Musso. Pembentukan GRR memantik konflik dengan FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang di antaranya disponsori oleh PKI dan Pesindo. Puncak perseteruan terjadi kala dr.Moewardi (yang saat itu sudah menjadi Ketua GRR) diculik oleh sekelompok orang bersenjata pada 13 September 1948. “Karena BBRI dan GRR menuduh pelakunya adalah orang-orang Pesindo, mereka lantas memberikan ultimatum agar mengembalikan secepatnya dr.Moewardi,” ujar sejarawan Harry A.Poeze dalam Madiun 1948:PKI Bergerak . Hingga insiden di Madiun pecah enam hari kemudian, Moewardi tak kunjung muncul jua. Maka terjadilah “persekutuan aneh” saat secara bahu membahu GRR bersama Divisi Siliwangi (pasukan yang ditugaskan Hatta menumpas gerakan Musso cs) menghabisi kubu FDR tanpa ampun. Usai Insiden Madiun 1948, nama BBRI secara perlahan mulai sirna dari pentas revolusi kemerdekaan. Itu terjadi karena sebagian anggotanya banyak bergabung dengan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Sedang sisanya, mendirikan milisi-milisi lokal yang secara sentimentil masih terhubung dengan ide-ide BBRI, seperti Banteng Ketaton di wilayah Purwakarta atau Lasykar Napindo (Nasionalis Pelopor Indonesia) di Sumatera Timur.

  • Perubahan Wajah Manusia

    Wajah manusia masa kini telah berubah dari wajah milik spesies manusia lainnya yang telah punah. Pun dengan kerabat terdekat manusia secara evolusioner, seperti bonobos dan simpanse, wajah kita berbeda. Kenapa begitu? Arkeolog dari Universitas Flinders, Ian Moffat dalam The Conversation menulis spesies Homo erectus adalah nenek moyang pertama manusia yang secara fisik sudah mulai menyerupai manusia masa kini. Mereka lebih tinggi dan otak mereka lebih besar dari spesies hominin sebelumnya seperti Australopithecus sp. atau Homo habilis . “Namun, mereka memiliki wajah yang agak berbeda dengan kita, yaitu datar dengan alis yang lebih menonjol,” tulisnya. Bukti fosil menunjukkan, wajah manusia telah banyak berubah dalam 20.000 tahun terakhir. Menurut Paul O’Higgins, profesor anatomi University of York di Inggris, pola makan, fisiologi pernapasan, iklim, dan lingkungan adalah faktor utama yang membentuk wajah. Tengkorak hominin selama 4,4 juta tahun terakhir. (Rodrigo Lacruz) Seperti disebutkan dalam Phys , pola makan secara mekanis, khususnya, telah membuat wajah manusia makin mengecil sejak lebih dari 100.000 tahun yang lalu. Pasalnya kemampuan manusia untuk mengolah makanannya membuat kerja mekanis lebih ringan. Mereka tak butuh banyak waktu untuk melumat makanannya. Proses penyusutan wajah ini menjadi sangat terlihat sejak revolusi pertanian, saat manusia beralih dari pemburu dan pengumpul makanan menjadi petani. Bentuk Alis Baru-baru ini, dalam jurnal Nature Ecology and Evolution , O'Higgins bersama para peneliti lainnya menyampaikan gagasan lain, yaitu kombinasi pengaruh biomekanik, fisiologis, dan sosial telah membentuk wajah manusia modern. Faktor-faktor itu mengubahnya dari bentuk mirip kera menjadi morfologi yang lebih lembut dan lebih halus. Dia mengungkapkan perubahan kemampuan sosial manusia merupakan hal penting yang mampu mengubah bentuk wajah manusia. Peralihan gaya hidup ke bertani memberikan manusia lebih banyak kesempatan untuk membentuk komunitas. Dengan itu, wajah manusia telah menyusut secara signifikan dalam ukuran, menjadi lebih ramah dan seperti bayi. Sementara temuan fosil menunjukkan, Neanderthal dan hominin terkait lainnya tampak sangat mirip dengan manusia modern. Namun, mereka memiliki wajah yang sangat besar dengan tonjolan alis yang mencolok. Mereka punya hidung besar, alis besar dan rahang besar yang terdorong ke depan. "Gagasan baru adalah bahwa ekspresi sosial itu penting. Kita, sebagai manusia modern, sangat bergantung pada pembacaan ekspresi wajah," kata O'Higgins, seperti dikutip CBC Radio . Perubahan bentuk wajah membantu manusia dalam hal komunikasi sosial. “Perubahan ini didorong kebutuhan kita akan kemampuan sosial yang baik,” kata O'Higgins. Selama 80.000 tahun terakhir, ketika manusia pindah dari Afrika, mereka harus semakin bergantung satu sama lain untuk bertahan hidup di lingkungan baru. Untuk melakukannya, penting bagi mereka untuk mampu mengkomunikasikan perasaannya. "Wajah kita berkurang kesan kekarnya dan lebih seperti bayi melalui evolusi. Itu membuka peluang untuk komunikasi. Orang-orang lebih cenderung berkomunikasi dengan makhluk yang tampangnya empatik daripada agresif," papar O’Higgins. Transisi ke bentuk alis yang lebih kecil dengan dahi yang rata membebaskan alis untuk bergerak ke atas dan ke bawah. Ini penting untuk mengekspresikan semua jenis emosi. Perubahan itu memungkinkan manusia untuk mengekspresikan lebih dari 20 jenis emosi termasuk emosi yang halus seperti pengakuan dan simpati. “Itu membuatnya mudah bagi kita untuk bekerja bersama dalam suatu komunitas, yang mana itu menjadikan kita sangat sukses sebagai spesies yang bertahan hidup hingga sekarang,” kata O'Higgins. Di masa depan, O'Higgins percaya bahwa wajah manusia akan terus berubah. Dia memperkirakan wajah manusia akan menjadi lebih seperti bayi dengan makanan yang semakin diproses dan gaya hidup yang tidak banyak bergerak. “Tetap ada batas seberapa banyak wajah manusia dapat berubah, misalnya bernapas membutuhkan rongga hidung yang cukup besar, tetapi evolusi wajah manusia kemungkinan akan berlanjut selama spesies kita bertahan, bermigrasi dan menghadapi kondisi lingkungan, sosial, dan budaya baru," jelasnya.

bottom of page