Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Misi Diplomatik Hayam Wuruk ke Wilayah yang Memberontak
DALAM lawatannya ke Lamajang, rombongan Hayam Wuruk berjalan melewati Kunir dan Basini terus ke Sadeng. Mereka bermalam beberapa hari di sana. Sang Prabu bersantai menikmati pemandangan alam di Sarampwan. Perjalanan itu ditulis Mpu Prapanca dalam karya adiluhung, Nagarakrtagama. Rombongan itu bertolak dari ibukota Majapahit pada 1359 M. Padahal, 28 tahun lalu, Sadeng salah satu wilayah yang memberontak kepada Majapahit. Lawatan itu rupanya menjadi salah satu cara diplomatik Hayam Wuruk merekatkan kembali hubungan dengan wilayah bawahannya. Dalam karyanya itu, Prapanca memberi petunjuk kondisi politik wilayah-wilayah bawahan Majapahit pada masa Hayam Wuruk. Sebelumnya, Majapahit di bawah pemerintahan Wijaya dan putranya, Jayanagara diberondong rentetan pemberontokan yang bisa dipadamkan. Perluasan daerah Majapahit ke luar Jawa lalu dilakukan. Politik Nusantara itu diumumkan pada 1258 Saka atau 1334 M lewat sumpah Gajah Mada. Setelah sumpah, Gajah Mada melakukan perluasan daerah ke luar Jawa. Namun, sebagaimana dicatat Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, konsolidasi ke dalam terus dilakukan demi memulihkan pemerintahan akibat huru-hara pada masa lalu. Selain Sadeng, menurut Hadi Sidomulyo dalam Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca , misi diplomatik dibawa pula ke wilayah lain. Terutama daerah Arenon, Keta, Pajarakan, Gendhing, dan Patukangan. Wilayah-wilayah itu, berdasarkan keterangan Serat Pararaton, pernah berseteru dengan Majapahit. Arenon, misalnya, sering dihubungkan dengan peristiwa kekalahan Mpu Nambi pada 1316 M di tangan pasukan Jayanagara. Kini, letaknya di Desa Kutorenon, 6 km di sebelah utara Lumajang, Kecamatan Sukodono. Pajarakan dan Gendhing disebut pula dalam Serat Pararaton sebagai benteng yang diserbu Majapahit ketika melumpuhkan pasukan Nambi. Gendhing letaknya di muara sungai, 12 km di sebelah timur Probolinggo. Adapun Pajarakan mewakili sebuah kecamatan di pantai utara Kabupaten Probolinggo. Sementara di Lamajang huru-hara terjadi di era Jayanagara. Setelah diangkat sebagai penguasa Lumajang pada masa Wijaya, Arya Wiraraja tak pernah lagi menghadap ke keraton. Dia kemudian bersekutu dengan Nambi menentang raja Majapahit karena kematian putranya, Ranggalawe. Rupanya pada masa Hayam Wuruk, hubungan dengan Lamajang pun belum begitu dekat. Meskipun Prapanca menyebutkan Lamajang sebagai tujuan rombongan Hayam Wuruk, ternyata deskripsi mengenai daerah itu terbatas pada urutan nama-nama desa. Tanpa menyajikan informasi tambahan apa pun. Akibatnya, kata Hadi, pembaca sama sekali tak mengetahui keadaan di dataran sebelah timur gunung Semeru pada pertengahan abad ke-14 M. “Terdapat kesan bahwa rombongan justru tergesa-gesa dalam perjalanan melalui Lamajang dan Sadeng, dan ingin sampai di Patukangan,” lanjut sejarawan yang juga bernama lain Nigel Bullogh itu. Sebaliknya, kata Hadi, Prapanca terlihat lebih bersemangat pada waktu pulang melalui pantai utara. Banyak hal yang menarik perhatiannya. Di Patukangan misalnya, terlepas dari rasa sedihnya karena sahabatnya meninggal di sana, dia menjabarkan misi politik dan diplomatik sang penguasa Majapahit. Prapanca melukiskan kegirangan masyarakat yang menyambut kedatangan raja di wilayah mereka. Suasana serupa ditemukan pula di sepanjang pantai. Penyair memunculkan nama-nama pejabat di Ketha, Pajarakan, dan Gendhing , pertapaan di Sagara serta biara di Dharbaru . Kondisi itu, Kata Hadi, menunjukkan administrasi pemerintahan di ujung timur Pulau Jawa pada masa Hayam Wuruk lebih stabil di daerah pesisir. Daerah itu mudah dijangkau dengan kapal laut. “Kalau mengingat, baik Lamajang maupun Sadeng pernah memberontak terhadap Majapahit, ada kemungkinan bahwa sembutan yang diterima oleh raja di kedua daerah tersebut tidak semeriah di pantai utara,” catat Hadi. Selain Sadeng, Keta juga pernah memberontak terhadap Majapahit pada 1331 M. Namun, Hadi menilai Prapanca memberi kesan pada waktu dikunjungi Hayam Wuruk, Keta telah bersatu dengan pusat kerajaan. Adapun pemberontakan yang telah lalu itu sudah dilupakan. “Bahkan sambutan hangat yang diberikan oleh masyarakat setempat tidak kalah dengan yang di Patukangan beberapa hari sebelumnya,” jelas Hadi. Seperti tetangganya di sebelah timur, Keta memiliki beberapa daerah bawahan. Semuanya menghadap raja dengan sukarela sambil membawa persembahan. Di antara para pejabat tercatat kedua upapatti , yang mewakili aliran Siwa dan Buddha, serta pemimpin wilayah, bernama Arya Wiraprana. “Sekalipun hubungan dengan Keta sudah pulih kembali pada 1359 M, belum tentu di pedalaman,” katanya.
- Dari Defile hingga Kembang Api
PENUTUPAN Asian Games 2018 dilakukan pada hari Minggu, 2 September 2018, di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta. Acaranya dipersiapkan dengan sangat semarak. Pengisi acaranya beragam, mulai dari grup musik Gigi hingga boyband Korea, Super Junior dan iKon. Media massa, baik cetak, elektronik maupun internet sudah jauh-jauh hari memberitakan persiapan acara penutupan ini. Masyarakat juga memperbincangkannya; mereka bahkan rela antre untuk mendapat tiket acara penutupan. Pendeknya, upacara penutupan ini adalah salah satu acara puncak Asian Games 2018 yang paling ditunggu-tunggu publik.
- Dulu Sekadar Rawa, Kini Menjamu Pesta Olahraga Asia
BERDIRI kokoh di ujung utara jalur protokol Jalan Jenderal Ahmad Yani Kota Bekasi, Stadion Patriot Candrabhaga menjadi satu dari sedikit landmark kota bersemboyan “Kota Patriot”. Stadion Patriot jadi ikon mendongkrak citra Kota Bekasi yang pernah di- bully warganet di media sosial. Stadion apik berkapasitas 30 ribu penonton ini baru dibangun jelang Bekasi menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Daerah (Porda) Jawa Barat 1984. “Baru dibangun tahun 1980-an bersamaan dengan pembangunan kompleks pemerintahan daerah Bekasi (di seberang stadion),” ujar Abdul Khoir, budayawan Badan Kekeluargaan Masyarakat Bekasi (BKMB) Bhagasasi cum dosen Universitas Islam ’45 (Unisma) Bekasi, kepada Historia. Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi Dijadikan Satu dari Empat Venue Sepakbola Putra Asian Games 2018 (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Mengalami beberapakali renovasi, stadion bernama awal GOR Bekasi itu mendapat kehormatan menggelar beberapa laga sepakbola putra. Stadion itu menjadi venue antara lain, laga pembuka antara Laos vs Hong Kong (1-3) dan Palestina vs China Taipei (0-0) pada 10 Agustus 2018. Masa Lalunya Berupa Rawa-Rawa Di masa lalu, kawasan yang sekarang menjadi Stadion Patriot dan kompleks Pemerintahan Kota Bekasi merupakan rawa-rawa. “Dulu perkampungan di Bekasi hanya ada di Kampung Duaratus (kini Jalan Kemakmuran Kota Bekasi). Kalau area stadion (Patriot) sekarang, dulu itu disebutnya Rawa Tembaga,” sambung Abdul Khoir. Nama Rawa Tembaga, kata Abdul Khoir, berasal dari dua versi cerita. Pertama, cerita rakyat yang muncul sejak abad ke-16. Cerita itu mengenai Fatahillah, panglima perang Kesultanan Demak, yang memerangi koalisi Portugis-Pajajaran di Sunda Kelapa (kini Jakarta) pada 1527. Abdul Khoir, Budayawan BKMB Bhagasasi cum Dosen Unisma Bekasi (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Dalam versi legenda, diceritakan Fatahillah yang punya anak perempuan, mau dilamar Prabu Siliwangi. Kemudian dipersyaratkan (mahar) Prabu Siliwangi untuk membawa miniatur perahu atau kapal dari emas. Tapi kemudian yang dipersembahkan justru (miniatur) dari tembaga, bukan emas. Maka kemudian ditolaklah miniatur perahu atau kapal itu. Nah, disebutkan dibuangnya di rawa itu. Semenjak itu makanya disebut Rawa Tembaga,” terang Abdul Khoir, yang mengakui bahwa versi legenda macam itu lemah karena tak ada catatan tertulis ilmiah. Versi kedua, lebih rasional. “Versi kedua Rawa Tembaga itu populer sebutannya baru setelah pembangunan pusat pemerintahan daerah Bekasi (di bilangan Jalan Juanda). Karena itu dikenal orang sebagai rawa yang paling dalam. Yang lain rawa bisa ‘ dijajakin ’, kalau yang ini enggak. Nah , itu waktu mau ada pengurukan kan banyak truk yang bobotnya berat. Pas lewat ke rawa itu selalu ‘ kejeblos ’. Enggak bisa diangkat lagi. Disebutnya Rawa Tembaga karena banyak truk tanah yang tenggelam di rawa itu,” tandasnya. Kawasan Stadion Patriot dan Sekitarnya Mulanya Disebut Rawa Tembaga (Foto: Youtube Bappeda Kota Bekasi) Kini sebutan Rawa Tembaga menciut. Setelah kawasannya mulai disesaki banyak bangunan pemerintahan, ruko-ruko, dan stadion, nama Rawa Tembaga hanya diabadikan menjadi nama jalan di belakang Kompleks Pemerintahan Kota Bekasi yang membentang hingga Asrama Haji Kota Bekasi. Bekasi sendiri di masa silam merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanagara (abad keempat). Saat itu masih disebut Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri. Seiring waktu, Bekasi juga pernah jadi wilayah yang dipegang Kerajaan Pakuan Pajajaran pimpinan Prabu Siliwangi alias Sri Baduga Maharaja sejak 1482.
- Onghokham, Sejarawan yang Doyan Makan
Tuyul di kebanyakan film horor diwujudkan bagai sesosok bocah dengan kepala plontos. Mirip permen lolipop. Kerjanya nyolong uang atas perintah sang tuan. Ia adalah makhluk gaib yang lahir dari mitos Nusantara. “Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, tuyul adalah sosok demit (roh halus) yang berbentuk anak kecil, gundul, dan telanjang,” tutur sejarawan Onghokham dalam artikel Kompas , 13 November 1985 berjudul “Legitimasi Melalui Gaib”. “Tuyul menurut kepercayaan, melakukan pencurian bagi yang si empunya sehingga sang pemilik menjadi kaya.” Kepercayaan pada tuyul, kata Ong, menjatuhkan status orang kaya di Jawa. Orang kaya itu bukan lagi orang Jawa sebab ia memiliki hubungan dengan setan. Lebih-lebih dalam masyarakat Jawa tradisional, orang kaya adalah pencuri. “Dan yang mencuri tentu tuyulnya,” ujar Ong. Tak hanya tuyul. Ong juga menyinggung kawanan demit lainnya, semisal babi kepet dan Nyi Blorong. Sebagai sejarawan, wawasan Ong memang kaya. Ong mengulik sejarah dari aspek keseharian bahkan yang intim dengan kehidupan. Menurut Adrian Lapian, rekan sesama sejarawan di UI, Ong mengingatkannya pada sosok sejarawan Amerika, Charles Beard yang banyak mempopulerisasi sejarah untuk kepentingan masyarakat umum. Sementara menurut sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, warisan Ong yang paling berharga adalah menjadikan sejarah sebagai sesuatu yang berasal dari masyarakat dan mengembalikannya ke masyarakat. “Ia adalah sedikit dari sejarawan Indonesia yang menulis tentang sejarah makanan termasuk menikmatinya secara total,” kata Asvi dalam “Ongokham Sejawaran Publik” termuat di kumpulan tulisan Onze Ong: Ongokham dalam Kenangan . Dari Gila Londo ke Java Junky OnghokHam lahir pada Mei 1933 di Surabaya. Ong berasal dari keluarga elite keturunan Tionghoa-Jawa di Semarang. Keluarganya sangat pro-Belanda. Di rumahnya, Ong punya panggilan akrab: Hans. Para pembantu kerap menyapa, “Sinyo Hansje”. Sehari-hari, mereka berbahasa Belanda. Yang sangat penting bagi mereka adalah pendidikan dan budaya Belanda. Keluarganya sangat jauh dari masyarakat Indonesia kebanyakan. Tapi siapa nyana Ong justru menjadi sejarawan handal dari Indonesia? “Sejak usia muda saya sudah tertarik pada sejarah,” kata Ong dalam kata pengantar kumpulan tulisannya yang dibukukan Dari Soal Priyai sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara . Ong mengakui, dirinya melahap semua buku sejarah maupun roman sejarah tentang sejarah Eropa dalam bahasa Belanda di perpustakaan sekolah. Semua berpangkal pada 1953. Ong belajar di Hoogere Burger School (HBS—semacam sekolah lanjutan tingkat menengah) Surabaya. Di sekolah itu, Ong terkesan dengan Broeder Rosarius, guru sejarah. Ong mendapat dua hal dari Broeder Rosarius: api sejarah dan kesadaran tentang kewarganegaraan. “Ketika kebanyakan anak-anak lulusan HBS Surabaya melanjutkan pendidikan mereka di luar negeri, Ong malah memilih untuk menjadi warga Indonesia dan ingin melanjutkan pendidikan tingginya di jurusan sejarah Indonesia,” kata David Reeve, sejarawan University of New south Wales yang sahabat karib Ong, dalam seminar Memaknai 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia di Tengah Dunia yang Berubah dalam Perspektif Sejarah , di FIB UI, Depok tiga warsa yang lalu. Sejarah Indonesia adalah konsep yang masih baru saat itu. Tak heran, pilihan Ong untuk menekuni sejarah Indonesia ditentang oleh keluarganya. Ong sempat menjalani studi hukum di Universitas Indonesia (UI), namun hanya sebentar karena dia bosan. Pada 1960, Ong kembali ke UI dan memilih studi jurusan sejarah di Fakultas Sastra. Pada masa ini, Ong selalu berbicara tentang topik-topik Indonesia, dengan suara sebagai seorang Indonesia, bukan sebagai Indonesia-Chinese. Ong meneliti petani-petani di Jawa dan Gerakan Samin. “Yang spesial dari Ong adalah tekanan pada kultus Bima. Dari gila-Belanda, dia menjadi Java Junky pada 1960-an. Dan minat Ong terhadap Jawa tak pernah lepas sampai akhir hidupnya. Kebanyakan penelitian Ong sesudah itu adalah tentang Jawa,” kata Reeve. Memulihkan Diri ke Luar Negeri Reeve menuturkan, Ong sempat tertekan mental sekira tahun 1964—65 karena stres politik yang ada di Indonesia saat itu. Ong tertarik pada kubu PSI Soedjatmoko-Rosihan Anwar. Ong juga tertarik kepada GMNI, tempatnya anak-anak muda nasionalis yang berkiblat pada ideologi Bung Karno. Ong ikut Kiri dan ikut Kanan. Tetapi waktu Kiri dan Kanan semakin jauh, Ong semakin tertekan dan menderita batin. “Pasca 1965, dia begitu tersentak dengan pembunuhan massal di Jawa Timur. Ong mengalami semacam mental breakdown dan mulai teriak, “hidup PKI!”, “hidup Aidit” di jalanan. Sesuatu yang tak begitu bijaksana sesudah PKI kalah dari panggung politik. Jadi, Ong ditahan dan dipenjara selama enam bulan, diselamatkan oleh Nugroho Notosutanto,” ujar Reeve. Ong kemudian dikirim ke Amerika untuk memulihkan diri sekaligus melanjutkan studi sejarahnya. Ong menemukan dirinya kembali di Amerika, di Yale University. Di sana, selain membawa pulang ijazah doktoral, Ong punya keahlian baru: memasak. Ong menulis disertasi tentang Karesidenan Madiun pada abad ke-19. Ia meneliti interaksi dan simbiosis antara kerajaan-kerajaan setempat dengan mesin kolonial Belanda. Ong menyimpulkan bahwa raja-raja Jawa ingin menegakan konsep dewa-raja lewat mesin penjajahan Belanda. Menurut Ong, pemberontakan mesianis ratu adil yang terjadi di Madiun bukan terjadi karena faktor budaya tetapi karena faktor pajak dan soal kepemilikan tanah yang dikontrol oleh sistem kolonial. Penelitian Ong itu membantu Peter Carey, yang telah bertahun-tahun meneliti struktur masyarakat Jawa. Carey sungguh menyayangkan mengapa karya semonumental ini tak diterbitkan dalam bentuk buku. Tuyul, Tempe dan Seksualitas Menurut Reeve, Ong adalah tipikal manusia dengan dua sisi. Dia adalah orang yang punya bakat, tapi bakatnya di sia-siakan dengan terlalu banyak pesta, whiski, dan menulis populer di kolom pers. Ong juga flamboyan, suka makan, suka minum, suka pesta. Ia berasal dari sub multikultur minoritas. Sangat tak biasa untuk menyebutnya sebagai sejarawan. Ketika kembali ke Indonesia pada medio 1970, Ong kembali ke alamamaternya. Dia mengajar sebagai dosen. Wilson, salah seorang mantan mahasiswa Ong yang kini dikenal sebagai aktivis, mengenang Ong sebagai dosen yang doyan guyon tapi rada bengis. Ong pernah berkelakar, katanya, sebab utama dari kolonialisme adalah ibu-ibu. “Rempah-rempah itukan kebutuhan dapur ibu-ibu, karena kebutuhan rempah-rempah untuk ibu-ibu, Barat menjajah bangsa lain, tutur Ong ditirukan Wilson dalam “Sejarawan yang Jago Masak: Mengenang Ong Hok Ham”. Ong juga tak segan melempar penghapus ke kepala mahasiswanya yang tak mampu menjawab pertanyaan. Tak seperti halnya sejarawan kampus, yang berkutat dengan penelitian atau silabus kuliah yang menjemukan. Ong malah lebih suka berkecimpung di media meluapkan gagasan dan kritik. Dia banyak menulis sejarah pop yang berangkat dari aktualita kekinian di kolom Tempo , Kompas , Prisma , dan Jakarta Post . Ia menghabiskan waktu sebagai seorang intelektual publik. Karena eksis sebagai esais, Ong tak meninggalkan karya besar sebagaimana sejarawan kelas begawan macam Sartono Kartodirjo ataupun Taufik Abdullah. Meski demikian, esai-esai Ong membuktikan bahwa dirinya kaya ide dan penuh warna . Ong menulis begitu banyak tema-tema sejarah kuliner, seksualitas, dan seni. Merentang dari budaya riijstafeel , tempe, sampai ke lukisan Mooi Indie yang dihubungkan dengan pemikiran Belanda hingga nasionalisme Indonesia. Ong menulis tentang tuyul. Dia sangat terkenal sebagai ahli tuyul, bagaimana rasionalitas ekonomis bisa dipadukan bersama kepercayaan takhayul. Dia menulis tentang Sukarno, tentang Soeharto. Ong pun menulis tentang orang marjinal, tentang jago, tentang preman, tentang gelandangan. Kemampuan yang sedemikian rupa itu memoles nama Ong sebagai public intellectual-activist historian di kalangan cendekiawan pada masanya. “Ada anggapan umum bahwa sejarah itu ilmu yang membosankan dan sejarawan juga orang yang membosankan. Tetapi Ong membuktikan bahwa sejarah bisa menjadi ilmu yang menarik dan bisa dinikmati. Dan sejarawan bisa menjadi orang yang menarik pula,” ujar Reeve sambil terkekeh manja. Selera makan yang glamor agaknya mempengaruhi kesehatan sejarawan yang memang doyan makan (dan minum) ini. Ong menghabiskan enam tahun masa senjanya di atas kursi roda karena stroke. Dia wafat di Jakarta pada 30 Agustus 2007 dalam usia 74 tahun.
- Pemberontakan untuk Memulihkan Kesultanan Banten
PEMBERONTAKAN terhadap pemerintah kolonial Belanda terjadi beberapa kali di Banten. Pada 1810, Nuriman memimpin perlawanan terhadap pemerintah kolonial di Pasir Peuteuy, Pandeglang. Pemicunya karena pembubaran Kesultanan Banten. Pemerintah kolonial pun menobatkan kembali Sultan Banten untuk meredam pemberontakan. Namun, upaya tersebut gagal, pemberontakan terus berkobar. Selanjutnya, tidak diketahui bagaimana pemberontakan yang dipimpin Nuriman. Namun, pada 1811, Mas Jakaria memimpin pemberontakan dan dapat menguasai hampir seluruh kota Pandeglang. Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo gerakan-gerakan sosial kepribumian kerap kali menyatakan keinginan untuk menghidupkan kembali keadaan prajajahan dengan memproklamasikan kembalinya sebuah kerajaan kuno atau ditegakkannya suatu dinasti. “Selama satu setengah abad," tulis Sartono dalam Ratu Adil, "orang di Banten secara berkala telah digerakkan oleh harapan-harapan untuk memulihkan kembali kerajaan besar yang didirikan oleh para sultan mereka yang telah lama lenyap." Melalui pertempuran hebat, akhirnya Mas Jakaria tertangkap dan dipenjara di Batavia. Pada Agustus 1827, dia berhasil melarikan diri dan untuk kembali menyusun kekuatan. Dia berhasil menghimpun pengikutnya sebanyak seribu orang dan menyerbu kembali kota Pandeglang dan membunuh anggota detasemen tentara. “Kemudian Mas Jakaria hidup dalam pengembaraan untuk menghindari kejaran pemerintah Belanda. Dengan segala cara dan kekerasan pemerintah Belanda berusaha menangkap Mas Jakaria; memaksa penduduk uniuk memberikan keterangan, membakar desa, dan menteror, sehingga rakyat hidup dalam ketakutan,” tulis M. Yoesoef Effendi dalam Catatan Kepahlawanan yang Anti Kolonial Nan Tak Kunjung Padam . Untuk menangkap Mas Jakaria, pemerintah kolonial Belanda menjanjikan hadiah seribu piaster Spanyol kepada siapa saja yang dapat menangkapnya hidup atau mati. Beberapa bulan setelah menyerbu Pandeglang, Mas Jakaria dapat ditangkap dan dihukum mati dengan dipenggal kepalanya dan mayatnya dibakar. “Dalam tradisi sejarah Banten, Mas Jakaria yang dihormati dan dikeramatkan penduduk setempat adalah masih keturunan dari Kiayi Santri yang kuburannya di Kolle, dan dari anak keturunan Mas Jakaria ini muncul pemimpin-pemimpin pemberontakan yang merepotkan penjajah,” tulis Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari dalam Catatan Masa Lalu Banten. Anak-anak Mas Jakaria yang melanjutkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda adalah Mas Jabeng pada 1836, sedangkan Mas Anom, Mas Serdang, dan Mas Andong pada 1845 dalam Peristiwa Cikande Udik.
- Cita-cita Sukarno Tertinggal di Jalan M.H. Thamrin
JALAN M.H. Thamrin di Jakarta Pusat kini tampil lebih elok. Trotoar berdesain modern dan lebar terhampar di sisi kiri dan kanan untuk memanjakan para pedestrian. Lengkap dengan lampu cantik dan fasilitas pendukung untuk kaum difabel. Zebra-cross dan yellow box junction kelihatan mencolok dengan warna putih dan kuning di tiap simpangan. Marka di tengah jalan tampak cerah bagi para pengendara bermotor.
- Migrasi Muslim dari Cina ke Nusantara
LAMPIRAN XXXI berjudul “Peranan Orang2 Tionghwa/Islam/Hanafi Didalam Perkembangan Agama Islam Di Pulau Djawa, 1411–1564” pada buku Tuanku Rao karya Mangaradja Onggang Parlindungan yang menjadi rujukan utama orang-orang yang meyakini Wali Songo merupakan ulama berdarah Tionghoa itu, dimulai dengan pernyataan begini:
- Anti Klimaks Sebuah Agresi
Iring-iringan konvoi tentara Belanda itu menemui sialnya di jalan raya menuju Cikajang. Dari lima truk, para gerilyawan Republik hanya menyisakan dua truk yang berhasil kabur ke arah kota Garut dengan korban luka-luka dan beberapa serdadu tewas. Sersan Mayor (Purn) Odoy Soedarja (94) masih ingat, usai pertempuran salah satu kawannya menghampiri seorang serdadu bule yang tengah sekarat dan langsung menghabisi nyawanya dengan sekali tembakan pistol Vickers tepat di kepala. “Sebelum meninggal, anak muda itu masih berteriak-teriak: Mami! Mami!,” kenang eks anggota Batalyon Garuda Hitam tersebut. Penghadangan di jalan raya Cikajang hanyalah salah satu dari ratusan aksi TNI (Tentara Nasional Indonesia) pasca agresi militer dilakukan oleh militer Belanda pada 21 Juli 1947. Sejarah mencatat banyak aksi serupa terjadi juga di hampir seluruh palagan Jawa dan Sumatera. Aksi-aksi tersebut cukup membuat kedudukan militer Belanda berada di ujung tanduk. Arah Angin Berbalik Sejak Operasi Produk digelar pada 21 Juli hingga pertengahan Agustus 1947, secara cepat Belanda berhasil menguasai sebagian Sumatera dan kota-kota penting di Jawa Barat serta Jawa Timur. Sesuai target operasi, mereka bisa mengambilalih ratusan perkebunan serta pabrik dan memfungsikannya demi kepentingan ekonomi Kerajaan Belanda. “Perlawanan militer yang kita lakukan sebatas penahanan serangan seperlunya dan aksi bumi hangus,” ujar A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid V . Kendati demikian,secara politik, Belanda sendiri tidak mampu meyakinkan dunia bahwa invasi tersebut tak lebih sebagai upaya aksi polisional mereka. Alih-alih mendapat legitimasi, aksi itu malah dikecam dunia internasional karena dianganggap sudah menghancurkan kesepakatan damai di Linggarjati pada 25 Maret 1947. Arah angin pun mulai berbalik menghantam posisi Belanda. “Atas desakan India, Dewan Keamanan PBB berhasil menghentikan gerakan militer Belanda pada 4 Agustus 1947 dan menyerukan untuk secepatnya dilakukan gencatan senjata,” tulis Basuki Suwarno dalam Hubungan Indonesia-Belanda Periode 1945-1950. Militer Belanda Terkunci Sementara itu, tujuan utama lain dari Operasi Produk yakni menghancurkan kekuatan TNI sama sekali tak terpenuhi. Alih-alih mencapai hasil maksimal, kekuatan TNI secara kilat mulai berhasil melakukan rekoordinasi kekuatan. Di beberapa tempat, serangan-serangan balik yang dilakukan TNI malah semakin intens. Seorang Komandan Batalyon militer Belanda bernama Letnan Kolonel J. Flink dari Divisi C mengakui situasi itu. Sebulan lebih setelah Operatie Product, memang pasukannya bisa mempertahankan kondisi kemanan. Namun mulai 31 Agustus 1947 keadaan berubah. “ Batalyon saya mulai mendapat serangan-serangan gencar dan sistematis. Akibatnya, kami tidak hanya mengalami kekalahan demi kekalahan tapi juga meningkatnya kerugian personil di atas tingkat yang normal,” katanya seperti dikutip Himawan Soetanto dalam Yogyakarta 19 Desember 1948 . Apa yang dikatakan oleh Flink memang bukan isapan jempol semata. Menurut Nasution, sejak kota-kota besar di Jawa dan Sumatera dikuasai oleh militer Belanda, praktis kedudukan para serdadu Belanda terkunci. Jangankan melakukan pembersihan secara total, untuk berpindah dari pos satu ke pos lainnya, mereka harus melewati penghadangan-penghadangan maut yang tak jarang menimbulkan kerugian besar. “Otomatis mereka hanya bisa menunggu. Insiatif serangan justru jadi berpindah ke tangan kita,” ungkap Nasution. Di tengah situasi tersebut, Dewan Keamanan PBB lantas mendesak masalah pertikaian kedua negara itu kembali dibawa ke meja perundingan. Bertempat di atas anjungan USS Renville (sebuah kapal angkut pasukan milik Amerika Serikat) yang tengah berlabuh di Teluk Jakarta, maka perundingan kedua pihak dengan pengawasan Komisi Jasa-jasa Baik (beranggotakan Amerika Serikat, Belgia dan Australia) pun dilangsungkan sejak 8 Desember 1947 hingga 9 Januari 1948.
- Pendekar Konyol dan Ajaran 212
SUATU waktu di Desa Jatiwalu pada abad XVI. Ketenangan malam terusik oleh keonaran yang dilakukan gerombolan Mahesa Birawa (Yayan Ruhian). Rumah-rumah habis dibakar. Warga desa dianiaya dengan biadab. Bulan purnama berwarna merah darah menjadi saksi bisu pembunuhan Kepala Desa Ranaweleng (Marcell Siahaan) dan Suci (Happy Salma) istrinya. Dengan adegan menyayat hati itulah sutradara Angga Dwimas Sasongko membuka film bertajuk Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 . Film ber- genreaction -komedi itu diadaptasi dari novel Bastian Tito yang terbit 185 seri sejak 1967. Film produksi Lifelike Pictures dan didistributori 20th Century Fox ini diawali dengan visualisasi tentang siapa Wiro Sableng hingga bisa jadi pendekar yang disegani di jagad persilatan. Dikisahkan, Wiro yang punya nama asli Wira Saksana merupakan putra dari pasangan Ranaweleng dan Suci, keduanya dibunuh Mahesa Birawa. Wiro sendiri nyaris ikut dibunuh. Namun, dia diselamatkan Sinto Gendeng (Ruth Marini). Selama 17 tahun, Wiro diasuh Sinto dan diturunkan bermacam ilmu silat di Gunung Gede. Wiro akhirnya menapak jalannya sendiri dengan bekal amanah Sinto berupa selalu mengamalkan ajaran 212, dan kapak naga serta batu sakti. “Di dunia ini selalu ada dua sisi kehidupan. Selalu ada hal yang saling berpasangan namun bersumber pada yang satu, Tuhan Yang Maha Esa,” tutur Sinto ketika melepas Wiro. Misi Wiro tak lain adalah mencari Mahesa Birawa. Dalam petualangannya yang berliku, Wiro didampingi dua sahabat, Anggini (Sherina Munaf) dan Santiko alias Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarizi). Adegan kocak mengiringi pengembaraan mereka lantaran karakter Wiro memang konyol, kocak, dan kadang nyeleneh plus genit . Pendekar ala Milenial Meski banjir adegan jenaka, banyak dialog dalam film disampaikan dengan gaya kekinian. Hal itu disebabkan sasaran film ini memang generasi milenial. Alasan ini pula yang berperan penting bagi pemilihan Vino Giovanni Bastion untuk membintangi tokoh utama. Terlebih, Vino merupakan anak mendiang Bastian Tito. Dari segi teknis, film bertabur bintang ini patut diacungi jempol. Efek visualnya, dibuat tim Computer Generated Imagery pimpinan Keliek Wicaksono, terbilang keren. Belum lagi ilustrasi musik yang digarap Aria Prayogi. Lalu yang tak kalah penting, film ini dengan apik menghadirkan beberapa kejutan. S cene kehadiran Herning ‘Ken Ken’ Sukendro sebagai cameo , contohnya , penting untuk membangkitkan memori generasi 1980-an terhadap sosok Wiro yang diperankan Ken Ken dalam edisi sinetron. Overall, film ini sangat layak tonton untuk beragam generasi. Selain yahud sisi teknisnya, film ini kaya nilai budaya bangsa. Paling kentara, pencak silat yang koreografinya dikerjakan tim pimpinan Yayan Ruhian sendiri. Setelah press screening dan gala premier -nya dilangsungkan pada 27 Agustus 2018, film ini akan ditayangkan di berbagai bioskop tanah air mulai Kamis, 30 Agustus 2018. Timeline Sejarah Lantaran bertolak dari novel-novel karya Bastian Tito, produser Sheila ‘Lala’ Timothy mengakui film ini cenderung bersifat fiksi-fantasi. Alhasil, detail sejarah tak terlalu diutamakan kendati film ini ber- setting waktu abad ke-16. Sayangnya, pengesampingan detail sejarah itu benar-benar total dilakukan para penulis naskah sehingga kalau dicermati, sengkarut budaya dan sejarah di beberapa adegan dan alur cerita sangat kentara. Scene soal kerajaan yang dipimpin Raja Kamandaka (Dwi Sasono), misalnya, menampilkan patih dan para prajurit berbusana Jawa namun penampilan sang raja justru mirip Prabu Siliwangi dari tanah Pasundan. Jadi, kira-kira adegan itu terjadi di Jawa atau Priangan-kah? Lebih runyam lagi, scene yang menampilkan Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti menyamar jadi penari dalam sebuah pesta di aula besar kerajaan. Tarian yang dibawakan merupakan tari topeng Betawi. Sudah adakah tarian itu di abad ke-16? Jangankan tari topeng, entitas Betawi pun di abad ke-16 belum eksis. Etnis Betawi, menurut antropolog Yasmine Zaki Shahab di buku Betawi dalamPerspektif Kontemporer: Perkembangan, Potensi dan Tantangannya, baru eksis sebagai kelompok etnis pada 1815 alias abad ke-19. Betawi sebagai suku yang mendiami pesisir utara antara Banten dan Priangan bersumber dari percampuran etnis Tionghoa, Arab, Melayu, Bugis, Ambon, Sunda, serta Jawa. Bajak Laut Bagaspati tengah Mengacungkan Pistol Flintlock di Suatu Adegan (Foto: Youtube Lifelike Pictures) Anakronisme lain yang cukup mengganggu adalah eksisnya sepucuk pistol model flintlock yang digunakan bajak laut Bagaspati (Cecep Arif Rahman). Faktanya, pistol flintlock seperti itu baru muncul di Nusantara setelah dibawa penjelajah Portugis pada abad ke-17. Tapi sudah lah , penonton yang melek sejarah pasti tak banyak. Mereka yang melek pun belum tentu mau kritis. Toh film ini kan cenderung fiksi-fantasi. “Ini memang inspirasinya Indonesia. Ini kan karya Bastian Tito yang melegenda banget. Jadi kalau orang ngeliat film ini, bisa sadar bahwa ini Indonesia. Idenya itu memang semua tentang budaya Indonesia dan tetap ingin ada sejarahnya. Baik dalam senjata, kostum, segala macam,” kata Anto Sinaga, production designer , dalam konferensi pers pasca -press screening , Senin (27 Agustus 2018).
- Mereka yang Dirundung Pasung
EKRAM, lelaki asal Cianjur, Jawa Barat hanya bisa pasrah. Sepanjang hari dia tak dapat melakukan banyak hal lantaran dikurung dalam sebuah gudang di belakang rumah keluarganya. Hidupnya tak jauh beda dengan penjara. Untuk mendapat makanan, dia mengambil antaran makanannya dari sebuah lubang kecil. Ekram tak sendiri, di kabupaten yang sama seorang lelaki penderita gangguan jiwa dipasung selama sembilan tahun. Ketika ia dibebaskan, kakinya tak bisa digunakan lantaran berhenti tumbuh. Keterkungkungan serupa juga dialami seorang perempuan penderita gangguan jiwa di Ponorogo, Jawa Timur. Ketika ditemukan pada 2016, perempuan ini dirantai dalam sebuah ruangan yang sengaja dibangun keluarganya. Aktivitas makan, minum, tidur, bahkan buang hajat terpaksa dilakukannya di ruangan yang sama. Dari laporan Kriti Sharma untuk Human Right Watch yang dirilis pada 2016, ada sekira 57 ribu penderita gangguan jiwa yang hidup dalam pasung, baik pasung tradisional menggunakan balok kayu, dirantai, atau dikurung dalam ruangan. Sebagian beruntung lantaran dibebaskan oleh Dinas Kesehatan setempat. Sisanya, masih terus hidup dalam pasung. Beberapa bahkan dipasung sampai akhir hayat. “Dari temuan kami, ada penderita gangguan jiwa yang dibebaskan setelah 15 tahun dipasung. Beberapa ada yang menghabiskan sisa hidupnya dalam pasung. Seperti hidup di neraka,” kata Kriti pada Historia. Ada banyak penyebab seseorang dipasung oleh keluarganya. Tapi yang terpenting, ketidakpahaman tentang kesehatan jiwa. Masyarakat yang tidak paham tentang kesehatan jiwa akan menyangka penderita sebagai orang kurang iman, kerasukan roh jahat, atau pengacau. Alih-alih menumbuhkan empati, gangguan jiwa malah jadi stigma negatif bagi keluarga dan masyarakat. Banyak keluarga merasa malu bila ada kerabat mereka terkena gangguan jiwa dan mengaggapnya sebagai aib. Mereka juga khawatir penderita gangguan jiwa akan mengganggu tetangga atau kabur. Alhasil, banyak keluarga memilih jalan pintas untuk menangani penderita gangguan jiwa dengan cara memasung. “Praktik pasung terjadi ketika keluarga tidak tahu tentang kesehatan jiwa sehingga merasa tidak punya pilihan lain selain memasung kerabatnya,” kata Kriti. Pemasungan Zaman Belanda Pemasungan penderita gangguan jiwa bisa ditelusuri sejak zaman Belanda berdasarkan laporan ahli jiwa Belanda JW Hofmann. Dia menemukan seorang penderita gangguan jiwa di Bogor terus-menerus mengerang dalam kurungan. Di Banyumas, ada seorang penderita gangguan jiwa yang dikurung keluarganya karena pernah merusak barang milik tetangga. Tetangga itu meminta ganti rugi pada keluarga si penderita yang sangat miskin itu. Lantaran layanan kesehatan jiwa belum menjangkau pelosok, keluarga memilih mengurung si penderita gangguan jiwa. Dalam laporan yang dirilis pada 1931, JP Kleiweg de Zwaan mengungkapkan pola serupa juga terjadi di Batak, di mana keluarga bertanggungjawab penuh atas perilaku kerabatnya yang menderita gangguan jiwa. “Adanya aturan adat tersebut menjadi alasan penting keluarga atau warga desa di Indonesia terpaksa mengurung kerabat yang menderita gangguan jiwa,” tulis Sebastiaan Broere dalam In and Out Magelang Assylum. Para keluarga memilih merantai, memasung dengan balok kayu, atau mengurung dengan rumah bambu kecil kerabat yang menderita gangguan jiwa karena adanya aturan denda bagi keluarga penderita gangguan mental yang tidak menjaga ketertiban umum. Kurangnya jumlah layanan kesehatan jiwa di negeri jajahan menyebabkan ribuan penderita gangguan jiwa dikurung secara illegal. “Saya yakin mengurung orang, sekalipun mereka menderita gangguan jiwa, adalah hal yang illegal. Aturan ini juga berlaku di Eropa,” kata Sebastiaan pada Historia . Banyaknya pemasungan mendorong beberapa ahli jiwa mendesak pemerintah Belanda untuk mengembangkan layanan kesehatan mental di negeri jajahan. Hoffman meggunakan temuannya tentang pemasungan untuk membujuk pemerintah mengizinkan pribumi menerima layanan kesehatan jiwa. Hal serupa dilakukan J.A. Latumeten, yang mendorong peningkatan jumlah klinik psikiatri dan neurologis. Hasilnya, beberapa penderita gangguan jiwa bisa terbebas dari kurungan dan menerima layanan kesehatan jiwa. Pasca-kemerdekaan, pemerintah Indonesia selain melarang pasung sejak 1977 juga terus mengkampanyekan kesadaran sehat jiwa. Undang-undang Kesehatan Jiwa tahun 2014 mengharuskan pelayanan kesehatan jiwa terintegrasi ke dalam layanan kesehatan umum. Semua upaya itu ditempuh untuk membebaskan para penderita gangguan jiwa dari pasung sehingga terhindar dari penderitaan berlipat. “Sampai hari ini masih ada ribuan orang gangguan jiwa yang hidup dalam pasung,” kata Kriti.
- Bagaimana Gajah Mada Menjadi Mahapatih?
ARYA Tadah, patih amangkubhumi Kerajaan Majapahit sedang sakit. Dia tak enak hati karena sering absen menghadap Tribhuwana Tunggadewi. Dia pun mengajukan pengunduran diri, tapi Sang Rani menolak. Arya mendekati Gajah Mada agar suka menjadi patih, tapi bukan amangkubhumi. “Seganlah saya. Jika nanti sepulang dari Sadeng, saya baru mau. Maafkanlah segala kesalahan saya. Mudah-mudahan saya bisa,” jawab Gajah Mada. “Baiklah anakku, dalam segala kesulitan kau akan saya bantu,” janji Arya. Gajah Mada kemudian berangkat ke Sadeng untuk memadamkan pemberontakan terhadap Majapahit. Jika berhasil di Sadeng, dia akan terima tawaran seniornya itu. Namun, alangkah sedih hatihnya ketika mengetahui pengepungan Sadeng telah terjadi sebelum kedatangannya. Ra Kembar mendahului Gajah Mada. Mendengar berita itu, para menteri dan patih sangat marah. Patih amangkubhumi lalu mengirim utusan seorang mantra bersama 30 orang untuk mencegah Kembar dan pasukannya agar tak menyerbu Sadeng. Ketika utusan datang, Kembar sedang duduk di atas batang kayu di dalam hutan. Posisinya seperti orang mengendarai kuda. Tangannya membawa cemeti. Para utusan menyampaikan pesan patih amangkubhumi agar menghajar Kembar karena mendahului perintah kerajaan. Bukannya gentar, Kembar malah memecut dahi utusan itu. Untungnya utusan itu segera berkelit, bersembunyi di balik batang kayu. “Kembar tiada takut kepada tuanmu!” kata Kembar. Mendengar ucapan itu, para utusan kembali dan menyampaikan ujaran Kembar itu. Untuk menghindari sengketa antara Kembar dan Gajah Mada yang sedang kecewa, Sang Rani datang ke Sadeng memimpin tentara Majapahit. Kemenangan atas Sadeng pun akhirnya tercatat atas nama Sang Rani. Nagarakrtagama hanya mencatat sepintas bahwa pemberontakan di Sadeng terjadi pada 1253 Saka atau 1331 M. Serat Pararaton mencatat tahun yang sama lewat candrasangkala, kaya bhuta non daging artinya seperti raksasa melihat daging. Dalam Nagarakrtagama , peristiwa Sadeng disatukan dengan peristiwa di Keta. Sementara dalam Pararaton penundukan Keta tak disinggung sama sekali. Hal yang sama dijumpai dalam pemberitaan tentang penumpasan pemberontakan Nambi dan Wiraraja di Pajarakan dan Lumajang. Penumpasan itu dilakukan dalam rentetan dan dianggap sebagai satu peristiwa saja. Menurut arkeolog Agus Aris Munandar, baik Sadeng maupun Keta ada di wilayah Besuki. Dalam Gajah Mada Biografi Politik, Agus menjelaskan ketika Gajah Mada diminta jadi patih oleh Arya Tadah, dia telah berkedudukan sebagai Patih Daha (Kadiri), salah satu wilayah paling penting Majapahit. Hayam Wuruk sebelum jadi raja, kemungkinan ditunjuk oleh ibunya untuk memimpin wilayah itu. “Dia sangat mungkin ditunjuk sebagai penguasa Daha dan didampingi oleh Gajah Mada,” tulis Agus. Adapun Kembar menurut Agus punya alasan kenapa menyerang Sadeng mendahului Gajah Mada. Dia berkeinginan juga menjadi patih amangkubhumi menggantikan Arya Tadah. Namun, pada akhirnya tetap Gajah Mada yang diangkat sebagai patih amangkubhumi. Sementara Kembar menjadi bekel (koordinator) para mantra araraman (kekuatan bersenjata pemukul musuh). Para pahlawan Majapahit lainnya, seperti Jaranbhaya, Jalu, Demang Buncang, Gagak Minge, Jenar, Arya Rahu, dan Lembu Peteng menjadi pejabat setingkat tumenggung. Setelah menjadi patih, Gajah Mada mengucap Sumpah Palapa di balairung istana di hadapan para pembesar Majapahit. Namun, mantan patih Arya Tadah malah mengoloknya. Dia bersama Jabung Tarewes, Lembu Peteng, Kembar, dan Warak, menertawakannya. Gajah Mada tak terima lalu ke halaman istana menantang Kembar yang congkak. Dalam perkelahian, Gajah Mada menewaskan Kembar. Begitu juga Warak, Jabung Tarewes dan Lembu Peteng. “Dengan demikian melalui sumpah itu Gajah Mada telah membuka jalan mempersatukan Nusantara,” tegas Agus.*
- Ikhtiar Mengubah Wajah Film Silat Indonesia
Sheila Timothy, produser perusahaan film Lifelike Pictures, memperoleh tawaran mengejutkan dari Vino Giovani Bastian, aktor sohor sekaligus adik iparnya, pada 2015. Tawaran dari Vino berupa memfilmkan cerita silat laris Wiro Sableng karya Bastian Tito, ayah Vino. Lala, panggilan akrab Sheila Timothy, seperti memperoleh kembali serpihan masa lalunya ketika mendapat tawaran itu. Lala mengaku masa remajanya tumbuh bersama film-film silat. “Karena termasuk angkatan tua, saya suka nonton film silat zaman dulu. Saya suka sejarah,” kata Lala kepada Historia . Dia juga punya mimpi suatu hari nanti ingin mencipta film aksi dan fantasi. Dia menilai tawaran Vino cukup menarik. “Tapi saya takut untuk memfilmkan Wiro Sableng . Saya masih ragu-ragu. Saya tahu untuk membuat Wiro Sableng jadi film yang keren pasti butuh persiapan matang, riset mendalam, dan budget yang tak sedikit,” ungkap Lala. Padahal saat itu Lala belum pernah sekalipun membaca buku Wiro Sableng . Dia hanya tahu Wiro Sableng dari sinetron televisi dekade 1990-an. Vino kemudian memberi Lala sepuluh buku Wiro Sableng. Lala membacanya dan langsung jatuh hati. “Pak Bastian punya style sendiri. Cara dia bercerita itu detail. Karakter tokohnya, kostum, dan perguruan si tokoh. Saya jatuh cinta dengan ceritanya,” terang Lala. Dia berpikir jika Wiro Sableng beralih rupa menjadi film akan cemerlang. Ketakutan Lala perlahan sirna. Dia mulai berani wujudkan mimpinya. Dia menghubungi teman-temannya seperti Yayan Ruhian, instruktur silat; Adrianto Sinaga, desainer produksi; dan Aria Prayogi, komposer musik. Ketiganya nama tenar pada bidangnya masing-masing dan bersedia membantu Lala. Kepada Yayan, Lala mengatakan ingin silat di Wiro Sableng berbeda dari film-film silat umumnya. “Silat itu beauty . Banyak filosofinya. Bukan violence ,” kata Lala. Lalu dia berdiskusi dengan Adrianto tentang detail produksi seperti konsep seni, ilustrasi, komik, game , latar tempat, senjata, dan arsitektur bangunan. Terakhir dia menemui Aria untuk memintanya menghadirkan musik yang sesuai dengan cerita Wiro Sableng . Lala dan teman-temannya berupaya menuju ke satu titik: menghadirkan wajah Indonesia dalam Wiro Sableng . “Film ini harus kelihatan Indonesia. Jangan sampai penonton malah berpikir, ‘kok film Hongkong sih, kok film Korea sih’,” kata Anto, panggilan akrab Adrianto Sinaga. Adrianto Sinaga, production designer Wiro Sableng, di kantor Historia . (Dok. Sheila Timothy). Film Silat Masa Lalu Ikthiar Lala dan teman-temannya serupa dengan segelintir idealis perfilman nasional masa lalu. Mereka punya kepercayaan bahwa film silat juga mampu mengetengahkan wajah dan permasalahan tentang keindonesiaan. Buat mereka, film silat bukan sekadar alat dagang dan hiburan bermutu rendah. Kehadiran film silat di Indonesia tak lepas dari pengusaha film berdarah Tionghoa. “Ada kemungkinan mereka yang membawa film-film itu ke Indonesia pada saat bisnis film mulai berkembang pada 1920-an,” kata Sofian Purnama, pengajar mata kuliah kajian film Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Banyak film impor dari negeri Tiongkok menghadirkan kuntao (salah satu ilmu beladiri dari Tiongkok) sebagai unsur utama. Film-film seperti ini kurang berkutat pada jalan cerita dan urusan estetik, tapi mempunyai banyak penggemar dari kalangan bawah. Tergiur dengan kelarisan film silat Tiongkok, pengusaha film di Hindia Belanda berupaya menerapkan resep ala film silat Tiongkok. J.B. Kristanto, kritikus sohor film, mencatat ada beberapa judul film bertema silat produksi dalam negeri selama 1930-an. Antara lain Si Ronda, Si Pitoeng , dan Delapan Djago Pedang . Dua judul pertama mengangkat cerita tentang jago silat lokal di Batavia. “ Si Pitoeng jadi pola film silat berlatar Betawi,” tulis J.B. Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-1995 . Sedangkan Delapan Djago Pedang bercerita tentang para ahli kuntao. Resep laris ala film silat Tiongkok mulai dapat lawan pada 1953. Masa ini mencatatkan kesan berbeda pada film silat berjudul Harimau Tjampa produksi Perfini, perusahaan film pimpinan Usmar Ismail, tokoh film idealis. Harimau Tjampa tak lagi menjadikan silat sebagai unsur utama dalam film. Unsur kekerasan berkurang, sementara penceritaan memperoleh porsi tambahan. Tapi jalan ceritanya masih mirip kebanyakan film silat: tentang balas dendam. “Dengan dendam terhadap pembunuh ayahnya, Lukman berguru silat di Kampung Pau,” demikian J.B. Kristanto mendeskripsikan jalan cerita awal Harimau Tjampa . Film ini mengambil latar alam Sumatra Barat dan memakai bakaba —cara bercerita tradisional masyarakat Minangkabau— untuk menghadirkan wajah Indonesia. Dan untuk itu pula, bebunyian alat musik tradisional Minangkabau diperdengarkan dalam film ini. Hasilnya, panitia Festival Film Asia di Singapura pada 1955 memberi film ini penghargaan kategori musik terbaik. Selain itu, Harimau Tjampa juga menyabet penghargaan dalam Festival Film Indonesia 1955 untuk skenario terbaik. Setelah keberhasilan Harimau Tjampa, produksi film silat dalam negeri justru menghilang. Kalaupun ada, film silat itu bermutu rendah. “Film silat tidak dibuat berencana dan massal sehingga lekas saja dilupakan orang,” tulis Kompas , 5 Mei 1971. Film-film silat dari negeri Tiongkok, Hongkong, dan Jepang mengisi kekosongan pasar film silat dalam negeri. Penonjolannya pada kekerasan, darah, eksploitasi tubuh perempuan, dan seks. Keadaan ini berlangsung hingga akhir 1960-an. Saat bersamaan, produksi film nasional turun drastis. “Pada tahun 1967 film impor mencapai 499 judul, sedangkan film nasional hanya berjumlah 6 judul saja,” catat Haris Jauhari dalam Layar Perak 90 Tahun Bioskop di Indonesia . Penyebabnya, masyarakat enggan menonton film Indonesia. Mereka menilai film Indonesia tidak bermutu. Karena film nasional sepi penonton, pengusaha film kesulitan memutar modal untuk bikin film. Keadaan ini mendorong Menteri Penerangan mengeluarkan kebijakan Nomor 71/SK/M/1967. Isinya kewajiban importir film menyisihkan uang sebesar 250 ribu rupiah untuk tiap satu film asing yang mereka impor mulai 1 Januari 1968. Dana itu akan masuk kas Dewan Produksi Film Nasional (DPFN), kemudian menjadi modal bagi pengusaha film nasional untuk memproduksi film. Salah satu hasilnya ialah film silat berjudul Djampang Mentjari Naga Hitam pada 1969. Film ini berasal dari cerita silat bersambung karya Zaidin Wahab di harian Api Pancasila pada 1967. DPFN memilih cerita ini lantaran cerita silat ini punya banyak pembaca dan menampilkan hal-hal yang dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia seperti makanan, bebuahan, alam, dan masalah-masalah sosial yang biasa ditemui di Indonesia. Pertimbangan lainnya ialah besarnya selera publik pada film-film silat. Lilik Sudjio, sutradara Djampang Mentjari Naga Hitam , mengatakan bahwa selera publik boleh saja diikuti. “Asal kita mampu memberi variasi,” kata Lilik dalam Kompas, 22 Januari 1969. Untuk menghindari latah dan hal klise seperti dalam film silat Tiongkok dan Jepang, dia menekankan pentingnya kreativitas. “Dengan silat saja akan membosankan,” lanjut Lilik. Cerita film Djampang Mentjari Naga Hitam masih sekitar pembalasan dendam dan kemenangan kebaikan atas kejahatan. Tapi tim DPFN berupaya menonjolkan segi estetis silat dengan melibatkan instruktur silat dari Korps Pentjak Silat DCI Djaja. Latar keindahan alam dan kekayaan busana Nusantara tampil sebagai unsur penguat film ini. Kekerasan, darah, eksploitasi tubuh perempuan, dan seks hanya memperoleh ruang minimal. Sehingga film ini diikutsertakan dalam sejumlah festival film di luar negeri seperti Kairo (Mesir) dan Frankfurt (Jerman). Ikhtiar DPFN bikin film silat bermutu baik tak menyentuh pengusaha film. Sebagian besar pengusaha film justru memproduksi film silat dengan pakem lama yang itu-itu saja: kekerasan, darah, eksploitasi tubuh perempuan, dan seks. "Ini dimaksudkan penuh sebagai film silat. Dramanya bukan soal yang penting," kata Tati Widodo, produser Tati and Sons film yang memproduksi film Tjisadane dalam Kompas , 9 Agustus 1971. Film itu memuat adegan penari sensual dan ciuman panas. Asrul Sani, sutradara film sohor, mengkritik keras perilaku jumud semacam itu. Menurutnya, terus berpaku pada pakem yang itu-itu saja merupakan sebentuk bunuh diri. “Bangsa yang tidak kreatif adalah yang tenggelam dalam lubuk yang airnya tidak mengalir lagi dan makin lama makin berbau busuk, untuk akhirnya berubah jadi racun yang membunuh bangsa itu sendiri,” tulis Asrul dalam “Sikap Kreatif dalam Pembuatan Film Indonesia” termuat di Surat-Surat Kepercayaan . Bertahun-tahun kekerasan, darah, seks, dan eksploitasi tubuh perempuan mendominasi film-film silat. Kini Lala dan kawan-kawannya berupaya mengusung kreativitas dalam film silat Wiro Sableng . Janji Lala dan kawan-kawan Wiro Sableng akan berbeda dari film silat yang sudah-sudah. Mereka coba menghadirkan wajah Indonesia lewat elemen sejarah, fantasi, aksi, dan komedi. Benarkah? Mari tunggu penayangan Wiro Sableng pada 30 Agustus 2018 nanti di bioskop.





















