Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Komikus Medan Menggambar Kartini
Raden Ajeng Kartini dikenal sebagai pejuang emansipasi perempuan. Jauh sebelum pemerintah menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Nasional, hari lahirnya sudah diperingati sebagai Hari Kartini oleh sejumlah kalangan. Lukisan wajahnya pun menghiasi buku-buku sekolah. Pada akhir 1949, Zainal Abidin Mohamad atau dikenal dengan nama Zam Nuldyn diminta oleh Departemen Penerangan untuk membuat ilustrasi dan lukisan wajah Kartini. Siapa Zam Nuldyn? Marcel Bonneff, peneliti komik asal Prancis, dalam bukunya Komik Indonesia menyebut Zam –bersama Taguan Hardjo– sebagai seorang kreator. Zam menyumbangkan nilai estetis pada komik, yang sebelumnya kurang mendapat perhatian para komikus. Karya komik Zam didasarkan pada pengetahuan dokumenter yang cermat, dinamis, dan lihai memanfaatkan macam-macam variasi sudut pandang. Selain itu, Zam dikenal sebagai komikus Medan yang kali pertama mempopulerkan genre cerita bergambar (cergam) ke publik lewat harian terbitan Medan. Zam yang lahir di Labuan, Deli, 31 Desember 1922, dikenal pula sebagai pelukis. Menurut Koko Hendri Lubis, penulis sejarah Medan dan peneliti komik, hanya Zam yang bisa membuat ilustrasi dan lukisan wajah Kartini di Sumatra Utara. Zam pernah pula ditugaskan sebagai pegawai di Departemen Penerangan dalam seksi pelukis dan film. “Zam melukis dengan sangat teliti dan detail,” kata Koko kepada Historia. Perkara durasi pengerjaan, Zam membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk lukisan dengan media kanvas. Sedangkan untuk buku sekolah tak sampai satu minggu saja. Untuk ilustrasi buku sekolah, Zam memanfaatkan mata pena dan tinta cina. Hasil karya Zam kemudian diperbanyak dalam bentuk poster dan buku sekolah. Kemudian hasil karyanya disebar di wilayah Sumatra Utara. “Supaya masyarakat tahu tokoh ini. Itu kan misi pemerintah dulu,” ujar Koko, yang sedang menulis buku biografi Zam Nuldyn. Kartini dianggap sebagai tokoh perempuan yang berpikiran maju di zamannya. Koko mengatakan, upaya pemerintah memperkenalkannya kepada masyarakat di luar Jawa merupakan sebuah hal yang wajar. Selain Kartini, menurut Koko, Zam mendapatkan tugas melukis wajah tokoh lain seperti Sukarno, Mohammad Hatta, dan Diponegoro. Kartini sendiri ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Sukarno pada 2 Mei 1964 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964. Presiden juga menetapkan hari lahir Kartini pada 21 April untuk diperingati sebagai Hari Kartini. Zam Nuldyn wafat pada 11 Maret 1988. Sejumlah karya terkenalnya berupa komik antara lain Dewi Krakatau, Ratu Karimata, dan Panglima Denai. Sedangkan cergamnya yang terkenal berjudul Detektif Bahtiar.
- Mengalun Bersama Sejarah Jazz
MUSIK jazz dikenal berkat warga Afro-Amerika pada akhir abad 19 hingga awal abad 20. Banyak dikatakan, jazz berakar dari musik Afrika dan Eropa. Dalam pembentukannya, jazz tak bisa lepas dari peran orang kulit hitam di Amerika serikat. Dalam perkembangannya, jazz sering disebut sebagai musik yang memusingkan. Jazz, katanya, musik yang sulit dimengerti, membosankan, bahkan dianggap jadul. Namun, seiring perkembangannya, jazz mulai berinteraksi dengan berbagai jenis aliran musik lainnya. Seringkali dalam aliran musik rock, RnB, dan pop, misalnya, irama jazz muncul. Akibatnya, Jazz kini mulai mudah diterima semua kalangan. Pun penggemarnya tak hanya orang-orang dari generasi lama. Anak-anak muda juga mulai gandrung dengan jazz. Musisi dan vokalis jazz baru juga bermunculan. Itu misalnya, Jammie Cullum, Norah Jones, Jamieroquai ( band ), Dave Koz (pemain saksofon). Di Indonesia, penyanyi terkenal seperti Tompi, Indra Lesmana, Andien, membuat jazz semakin mudah diterima siapa saja. Ragtime Pada tahun 1892, pianis Tommy Turpin menulis Harlem Rag. Ini adalah komposisi aliran ragtime yang pertama kali diketahui. Salah satu aliran musik jazz ini menjadi unik karena tidak menyertakan improvisasi dan aura blues. Aliran ini merupakan salah satu yang mempengaruhi unsur musik jazz. Ragtime mengalami masa puncak antara tahun 1897-1918. Musik Scott Joplin bisa menjadi contoh jika ingin mencicipi ragtime. Hingga kini ia masih merupakan komponis ragtime yang paling terkenal. Dixieland Salah satu genre musik jazz lainnya yang juga dikenal dengan istilah Jazz New Orleans. Dinamakan New Orleans karena gaya musik jazz ini dikenal melalui band yang bernama New Orleans pada tahun 1910. Musik ini pun dikembangkan di New Orleans sampai akhirnya merambah ke Chicago dan selanjutnya ke New York. Di samping itu, aliran ini sering pula disebut sebagai early jazz (jazz awal). Kebangkitan dixieland terjadi pada akhir 1940-1950. Adapun karakter genre ini dikenal memakai improvisasi kolektif dan permainannya yang emosional. Alat musik yang digunakan biasanya gitar, gitar bass, saksofon, trombone, piano, klarinet, trompet, drum, double bass , dan vokal. Aransemen tertulis masih tidak dibutuhkan. Pasalnya, pemainnya hanya sedikit, yaitu 6-10 orang. Pionir aliran dixieland antara lain Eddie Condon, Bud Freeman, dan Jimmy McPartland. Swing Aliran musik jazz ini mulai berkembang pada awal 1920-an. Swing kemudian menjadi aliran tersendiri pada 1935. Jika sebelumnya jazz berformat melodi romantis dengan alat musik gesek, maka swing menghilangkan penggunaan alat musik gesek itu. Swing lebih memakai aransemen yang sederhana. Aliran ini mengutamakan alat musik tiup dan improvisasi melodi. Pada akhir 1930-an hingga awal 1940-an, swing sempat menjadi musik populer. Namun, popularitas swing mulai meredup selama terjadi Perang Dunia II. Musikus yang mempopulerkan aliran ini di antaranya: Duke Ellington, Frank Sinatra, Benny Goodman, dan Ella Fitzgerald. Big Band Big band adalah salah satu aliran jazz yang populer pada era swing dari 1935 hingga akhir 1940-an. Big band biasanya terdiri atas 12 hingga 19 pemain musik. Mereka seringkali menggunakan alat-alat musik saksofon, trompet, dan trombon. Musik yang dimainkan oleh big band selalu dipersiapkan jauh-jauh hari, dan selalu melakukan proses pematangan yang lama. Pada periode awalnya big band biasanya terdiri atas 10-13 alat musik, kemudian mendominasi musik pop pada pertengahan tahun 1920-an. Genre ini dipopulerkan oleh artis terkenal seperti Paul Whiteman dan Ted Lewis. Kansas City Jazz Aliran ini adalah salah satu gaya music jazz yang berkembang di Kota Kansas, USA. Kansas city jazz lahir pada masa the Great Depression sekira 1930-an. Selama itu pula, Kansas menjadi kiblat music jazz modern di akhir tahun 1920-an hingga 19-30an. Karakteristiknya adalah gaya yang sangat soulful dan blues . Gaya ini juga menandai transisi dari aliran big band ke gaya improvisasi ala musik bebob. Musisinya antara lain Charlie Parker. Gypsy Jazz Gitaris asal Prancis, Django Reinhardt adalah orang pertama yang memperkenalkan Gypsy Jazz pada tahun 1930-an. Musik ini merupakan paduan antara Swing gaya Amerika di tahun 1930-an, musik dansa ala Perancis dan folk strain ala Eropa Timur. Gaya ini sering juga dikenal dengan nama Jazz Manouche . Karakter musik gypsy jazz ini bertempo lambat dengan irama yang mengayun. Instrumen utamanya adalah gitar berdawai nilon. Kadang-kadang dimainkan berupa ensambel, yang terdiri dari 6 orang dengan biola dan bass biola. Bebop Aliran ini dikenal karena karakteristiknya yang unik berupa tempo yang sangat cepat. Bagi hampir semua pemusik jazz dan juga peminat jazz di seluruh dunia, era musik bebop diakui sebagai revolusi musik jazz yang paling menarik dan indah. Aliran ini mengandalkan kebebasan improvisasi musisinya, yang bahkan bisa dilakukan secara spontan. Musik bebop dikembangkan di pertengahan 1940-an. Musik ini mulai dimainkan musisi terkenal dalam dua tahun pertama di perang dunia II. Instrumen yang lazim digunakan adalah saksofon, terompet, drum, bass, dan juga piano. Format awal dari jazz bebop ini dipopulerkan oleh duet Charlie Parker dan Dizzy Gillespie. Cool Jazz Aliran ini sering dikatakan sebagai “campuran” antara gaya bebop dan swing . Pasalnya, aliran yang lahir dari gaya bebop ini menggabungkan swing dalam nada yang harmonik dan dinamis. Cool jazz terbentuk akhir 1940-an. Dijuluki juga West Coast Jazz, aliran ini inovasinya banyak berasal dari pantai barat USA, terutama kota Los Angeles. Musisi yang berkontribusi penting pada gaya cool jazz ini adalah pemain trompet, Miles Davis dan Gil Evans. Latin Jazz Banyaknya penduduk keturunan amerika latin di amerika, membuat jazz latin mulai berkembang di amerika pada tahun 1940-an. Aliran jazz latin ini berusaha menggabungkan antara musik jazz dengan ritme Amerika dan juga Afrika. Kadang-kadang musik jazz juga digabungkan dengan berbagai harmoni musik latin klasik dari Karibia, Eropa, dan Amerika Serikat. Salah satu pelopor musik ini adalah Dizzy Gillespie dan juga Stan Kenton. Sementara, komposisi lagu jazz latin pertama di dunia, yang berjudul Tanga, lahir pada 31 Mei 1943 berkat Mario Bauza. Secara garis besar, latin jazz dibagi menjadi dua, yaitu Brazilian latin jazz dan juga Cuban jazz. Salah satu aliran terkenal dari Brazilian latin jazz adalah bossa nova . Sedangkan salah satu aliran yang terkenal dari Cuban jazz adalah fusion antara musik Cuban dengan jazz amerika sperti cubop. Fusion jazz Cabang dari music jazz yang satu ini identik dengan bantuan teknologi canggih. Fusion adalah cabang dari jazz yang didalamnya sudah dicampur rock , funk ataupun jenis musik lain. Fusion mengkombinasikan kebiasan dan energi dari musik rock dengan kebebasan improvisasi Jazz. Penggunaan alat elektrik seperti gitar electrik, bass electrik sering menggantikan alat musik tradisional jazz seperti saksofon, trompet dan bass betot. Smooth Jazz Selah satu bentuk perkembangan jazz modern. Aliran ini sering kali bercampur dengan gaya music R&B . Smooth jazz berkembang sebagai bagian dari bentuk jazz fusion . Kecendrungan aliran ini adalah memberi tekanan pada melodi dibanding improvisasi. CTI Records milik Creed Taylor bagian yang amat penting dalam perkembangan aliran ini pada pertengahan 1970. Funk Jazz Di akhir era 1960-an masuk dekade 1970-an musik Funk banyak bersimbiose dengan jazz. Itu terutama ketika Miles Davis menyerap ritme funk dalam karya-karya jazz rock -nya. Musik Funk mengandung unsur musik tarian Afrika-Amerika. Umumnya aliran ini berkesan gembira ketika didengarkan. Akar funk dapat ditelusuri hingga jenis rhythm and blues dari daerah Louisiana pada tahun 1960-an. Aliran musik ini terkait dekat dengan musik soul serta jenis musik turunan lainnya seperti P-Funk dan Funk Rock . Acid Jazz Dikenal juga dengan jazz klub. Aliran ini menggabungkan elemen-elemen musik soul, funk , dan disco . Genre ini dikembangkan pada tahun 1980-an dan 1990-an, awalnya pada klub malam di Inggris Selatan. DJ Gilles Peterson dan Chris Bangs umumnya dikenal sebagai yang menciptakan istilah acid jazz , pada tahun 1987.
- Indonesia Week dalam Momentum 60 Tahun Indonesia-Jepang
NAGOYA, Jepang selama tiga hari (28-30 April 2018) bakal disemarakkan gelaran Indonesia Week. Perhelatan ini bertepatan dengan perayaan 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Jepang. Beragam kebudayaan Indonesia akan ditempilkan, mulai dari fesyen, tari tradisional, pertunjukan pencak silat hingga sajian musik. Perhelatan dalam kerangka festival kolaborasi ini awalnya digagas sebuah simpul kolaborasi, Be Indonesia. Ini jadi gelaran kedua setelah tahun lalu diadakan di Osaka. Dalam rilis yang diterima Historia , Windu Widjaya selaku direktur Be Indonesia menyatakan, gelaran ini diharapkan bisa jadi momentum Indonesia, agar siap bersaing dalam hal promosi potensi produk kreatif dan pariwisata dengan negara-negara lain. Oleh karenanya, acara ini juga menggandeng sejumlah pihak. Mulai dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kementerian Pariwisatan RI, Kementerian Perdagangan RI, Indonesian Trade Promotion Center (IPTC) Osaka, Kedutaan Besar RI Tokyo, Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo), Indonesia Ceative Cities Network (ICCN), Pemprov Jawa Barat dan Sumatera Selatan, Pemkab Cianjur dan Bekasi, Ikatan Pengusaha Kenshuusei Indonesia (IKAPEKSI), IPI Jepang, hingga PPI Nagoya. Sektor ekonomi sedari awal sudah mengiringi keterikatan Indonesia-Jepang sejak meresmikan hubungan diplomatik pasca Perang Dunia II tepatnya 20 Januari 1958. Tentu bukan hal mudah dua bangsa ini rujuk setelah apa yang dialami di masa perang. Benih hubungan Indonesia dengan Jepang bermula dari Treaty of San Francisco pada 8 September 1951. Salah satu isi traktatnya membuahkan pampasan Jepang kepada Indonesia sebesar USD220.080. Kendati begitu Jepang berupaya bernegosiasi. Satu yang paling vital, mereka berharap para nelayan mereka diizinkan mencari ikan di perairan Indonesia. “Jika Indonesia berkenan bekerjasama dengan Jepang dalam membangun Asia yang baru, Jepang bersedia menambah pampasan perang 200-300 juta dolar Amerika, namun Jika Indonesia menolak, Jepang takkan membayar sepeser pun pampasan perang,” cetus Perdana Menteri Jepang Shigeru Yoshida, sebagaimana dikutip Masashi Nishihara dalam Japanese and Sukarno’s Indonesia: Tokyo-Jakarta Relations 1951-1966 . Niat Jepang untuk “rujuk” dengan Indonesia menguat pada 1952 hingga 1957, terutama setelah PM Jepang dijabat Nobusuke Kishi. “Tidak seperti para pendahulunya, Kishi ingin menjalin integrasi ekonomi dengan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Kishi kemudian jadi PM Jepang pertama setelah perang yang mengunjungi Asia Tenggara pada Mei 1957,” tulis Indonesian Economic Decolonization in Regional and International Perspective . Presiden Sukarno dengan harapan bisa menjadikan Jepang sebagai mitra potensial membangun perekonomian nasional, menyepakati sebuah kerjasama dengan PM Kishi pada 28 November 1957. Perjanjian yang berisi bantuan pembangunan sebesar USD400 juta itu baru diumumkan 8 Desember 1957. Pembangunan dalam hal proyek transportasi, komunikasi, pengembangan tenaga kerja, industri, pertanian, perikanan, pertambangan serta jasa. Sebuah momentum laiknya peletakan batu pertama hubungan Indonesia-Jepang. Baru pada 20 Januari 1958 resmi dibuka hubungan diplomatik kedua negara dan sebulan setelahnya, Presiden Sukarno bertamu ke Jepang. Sementara kesepakatan sebelumnya yang diteken Sukarno dan Kishi dalam kerangka “Perjanjian Damai dan Pampasan Perang”, baru disahkan DPR pada 13 Maret 1958 dan diundangkan pada 27 Maret 1958. Sampai sekarang, Jepang senantiasa jadi satu dari sekian mitra terpenting ekonomi Indonesia. Mengutip situs Kementerian Luar Negeri RI 17 Desember 2017, Jepang merupakan investor terbesar kedua Indonesia dengan nilai investasi pada 2016 mencapai USD5,4 miliar. Ini merupakan realisasi kesepakatan Strategic Partnership for Peaceful Prosperous Future sejak 2006 dan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement sejak Agustus 2007.
- Cola dan Tiongkok Bawahan Sriwijaya
PEDAGANG dari Sriwijaya, Cola, dan Arab beramai-ramai mendatangi pelabuhan milik Dinasti Song di Tiongkok. Banyaknya pedagang asing yang datang dan tinggal tak pernah terjadi sebelumnya. Mereka berlomba-lomba memberikan hadiah pada kaisar agar diakui dan lebih mudah mendapat untung. Khususnya Sriwijaya, hubungan dengan Tiongkok sudah dibangun sejak tahun 702, ketika Dinasti Tang berkuasa. Pada era Dinasti Song, utusan Sriwijaya ke Tiongok makin banyak. Ada 16 utusan dari tahun 960 hingga 1017. “Jangan diartikan ini sebagai upeti, hadiah, sama saja seperti sekarang dalam hubungan diplomasi antarpemimpin negara,” kata Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Puslit Arkenas. Menjelang akhir abad 8, Sriwijaya mendapat banyak keuntungan dari kapal asing yang singgah dalam pelayaran menuju Tiongkok dari Asia Selatan. Wilayah pelabuhannya yang strategis di Selat Malaka, membuatnya menjadi salah satu pelabuhan transit teramai. Salah satu yang sering singgah adalah pedagang Tamil dari India Selatan. Persebaran mereka terdorong oleh pesatnya pertumbuhan Kerajaan Cola sejak tahun 985. Sebenarnya, tanpa singgah di pelabuhan Sriwijaya pun Cola dan Tiongkok sangat mungkin melakukan hubungan dagang langsung. Pedagang Tamil bisa saja memonopoli penjualan lada hitam dari Timur Tengah langsung ke Dinasti Song. Begitu juga, suplai dari Tiongkok ke pedagang Arab dan Yahudi bisa langsung disalurkan oleh orang Tamil. Banyak pedagang Arab dan Yahudi yang bermukim di teritori dinasti Tamil. Jika itu terjadi, Sriwijaya sebagai pusat perdagangan martim di Asia Tenggara tentu terancam. Informasi palsu pun disebarkan oleh para pedagang Sriwijaya untuk mencegah hal itu. Kenyataan ini membuat hubungan Sriwijaya dan Cola tak sebaik sebagaimana dipikir banyak ahli. Sumber-sumber India sejauh ini banyak mendukung anggapan terjalinnya hubungan baik antara Sriwijaya dan Cola. Seperti Prasasti Nalanda (860) yang menceritakan pembangunan asrama bagi pelajar-pelajar Sriwijaya di Nalanda ketika berlangsungnya Dinasti Pala. Ada pula keterangan dalam Piagam Leiden yang bercerita kalau penguasa Sriwijaya pernah menyumbang bagi pembangunan kuil di wilayah Kerajaan Cola pada 1005. Tansen Sen dalam “The Military Campaigns of Rajendra Chola and the Chola-Srivijaya-China triangle”, yang diterbitkan dalam Nagapattinam to Suvarnadwipa masih menambah daftar itu. Menurutnya hampir sepuluh tahun kemudian, perwakilan dari Sriwijaya mempersembahkan batuan mulia bagi kuil di Nagapattinam itu. “Ini berlanjut pada pemberian lampu oleh pedagang Sriwijaya. Sekira tahun1018, penguasa Sriwijaya menyebutkan pemberian hadiah, termasuk cinakkanakam (emas Cina) untuk kuil di Nagapattinam,” tulis sejarawan dari NYU Shanghai itu. Menurut Tansen bukti-bukti ini membuat banyak tafsiran. Ada yang melihatnya sebagai cara Sriwijaya membangun hubungan komersial dengan dinasti Tamil. Sementara Nilakanta Sastri (1949) melihatnya sebagai bukti hubungan mesra kedua negara sebelum serangan pertama Cola ke Kadaram, salah satu wilayah Sriwijaya di Kedah, pada 1025. Tansen tak sependapat karena “melalui analisis catatan Tiongkok yang mendalam bisa diindikasikan hubungan Cola dan Sriwijaya sebelum 1025 tak seakrab yang dipikirkan Nilakanta Sastri.” Tansen menjelaskan, berdasarkan sumber Tiongkok, Song Shi, sebuah catatan bagi Kaisar Huizong (1101-1125) pada 1106, kemungkinan utusan Sriwijaya telah memberikan infomasi yang salah tentang Cola kepada Dinasti Song. Sehingga, Tiongok mengira Cola merupakan negara bawahan Sriwijaya. Bahkan, sampai akhir abad 12, Dinasti Song masih yakin kalau Cola taklukan Sriwijaya. Dampaknya, status Cola di mata Dinasti Song sama dengan Kucha, negara bawahan Song yang kini di wilayah Xinjiang. Status suatu negara asing ditetapkan lewat kekuatan militernya. Jika status negara tinggi, para pedagangnya mendapat hak berdagang yang lebih menguntungkan di pelabuhan Dinasti Song. “Menjadikan Cola sebagai negara bawahan Sriwijaya bukan hanya Song memandangnya sebagai kerajaan dengan kekuatan militer lemah karena ditaklukkan Sriwijaya, tapi juga membuat pedagang-pedagangnya hanya mendapat akses terbatas dalam pasar di Dinasti Song,” jelas Tansen. Ternyata, Sri Lanka pun, wilayah yang ditaklukkan Cola, juga mengira Tiongkok bergantung pada Sriwijaya. Melihat hal ini, menurut Tansen, kemungkinan besar Sriwijaya adalah informan utama Dinasti Song mengenai Asia Selatan. Kesalahan informasi ini mungkin diketahui juga oleh para pedagang Tamil. Mereka mendapat buktinya ketika Cola mengirim utusan pertama kali ke Song pada 1015. “Kerajaan Sriwijaya harus melakukan langkah preventif untuk mencegah hubungan langsung Cola dan Tiongkok, setidaknya dengan merusak kondisi yang menguntungkan bagi pedangan Asia Selatan,” lanjut Tansen. Oleh karena itu, Tansen menilai, serangan Cola ke Sriwijaya pada 1017 sangat mungkin terjadi medahului serangan besar pada 1025. Sudah sejak saat itu hubungan Cola dan Sriwijaya meruncing meski sumber Tiongkok tak mencatat peristiwa serangan ini. Namun, kedatangan utusan Sriwijaya ke Dinasti Song tercatat dan mungkin membuktikan hubungan kedua negara. Berdasarkan catatan itu, Sriwijaya mengirim utusan sejak tahun 1018 hingga 1028. Sementara utusan Cola datang lagi ke Dinasti Song pada 1020. Kepala utusannya, Pa-lan-de-ma-lie-di, tiba-tiba sakit dan meninggal segera setelah tiba di Guangzhou. Namun, tak ada bukti orang Sriwijaya yang membunuh kepala utusan Cola itu. Lima tahun kemudian, Rajendracola menyerang pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya tapi tak membuahkan hasil. Serangan berikutnya pada 1025 juga tak berpengaruh banyak kepada Sriwijaya. Ia masih sanggup memperlihatkan eksistensinya dengan mendapatkan kembali posisinya di Semenanjung Melayu dan tetap menjalin hubungan dengan Tiongkok. Sejarawan asal Jerman, Hermann Kulke dalam “Naval Expeditions of the Cholas in the Context of Asian History” yang terbit dalam Nagapattinam to Suvarnadwipa mencatat pada 1079 Sriwijaya mendonasikan 600.000 keping emas untuk perbaikan kuil di Kanton. Berdasarkan laporan Tiongkok abad 12 diketahui kerajaan ini kembali dijuluki pelabuhan penting bagi rute perdagangan internasional dari Jawa, Arab, Quilon (Kollam di India), ke Tiongkok. “Sementara Cola, setelah ekspedisi angkatan lautnya sukses di Sriwijaya mereka justru enggan mengubah keberhasilan militer mereka ke dalam kekuasaan politik yang lebih permanen,” tulis Hermann.
- Selayang Pandang Lily Suhairy
Saat ini Erwin Gutawa, Addie MS, dan Ananda Sukarlan merupakan nama besar komponis Indonesia. Dahulu, ada nama beken macam WR Supratman dan Ismail Marzuki. Nama komponis Lily Suhairy mungkin terdengar asing di telinga sebagian besar masyarakat Indonesia. Lily lahir di Bogor pada 23 Desember 1915. Saat usianya masih kanak-kanak, dia menetap di Sumatra Utara. Lily ahli bermain biola. Menurut Hadely Hasibuan di dalam otobiografinya Memoar Mantan Menteri Penurunan Harga, Lily adalah murid Francois de Haan, seorang violis Belanda yang mengajarkan bermain biola di Medan pada akhir 1930-an. Namun hal itu dibantah Koko Hendri Lubis, penulis dan peneliti sejarah Kota Medan. Menurut Koko, sewaktu usia Lily masih tujuh tahun dan tinggal di Brastagi, guru musiknya orang Jerman. “Sewaktu tinggal di Medan sejak 1930, dia belajar main biola dengan Boris Mariev, guru biola kenamaan di Medan asal Rusia. Dia pimpinan musik tonil Bolero,” kata Koko kepada Historia . Pada usia 19 tahun, Lily bekerja di perusahaan rekaman His Master’s Voice di Singapura. Dia menciptakan lagu pertamanya, “Hatiku Patah”, ketika ditolak seorang gadis. Tiga tahun merantau, Lily kembali ke Medan. Mulailah dia berkarya. Karier Lily sebagai musisi profesional menanjak saat pendudukan Jepang. Hadely menyebut, dia menjadi salah seorang pemimpin sandiwara Asia Raya. Menurut buku Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Sumatera Utara, di masa pendudukan Jepang, dia menciptakan lagu-lagu yang menyindir kehidupan di zaman Jepang seperti “Makan Sirih” dan “Aras Kabu” . Keberaniannya ini bukan tanpa risiko. Menurut Koko, dia pernah ditangkap Jepang gara-gara lagu “Bayangan” , karena liriknya dinilai menyindir pemerintah pendudukan Jepang. Saat masa revolusi, Lily membuat lagu perjuangan berjudul “Pemuda Indonesia” . Lagu itu menggelorakan semangat publik. Akibat lagu tersebut, dia pernah ditahan dan disiksa Belanda. Menariknya, justru di masa-masa sulit itulah Lily produktif berkarya, antara lain menelorkan lagu “Bunga Tanjung”, “Bunga Teratai”, “Selendang Pelangi”, dan “Rayuan Kencana”. Lagu Berlanggam Melayu Sebagai musisi dan komponis, Lily bukan hanya dikenal di Medan. Tapi juga sohor di Malaysia dan Singapura. Bahkan banyak lagu ciptaannya dijiplak musisi Malaysia. Dalam Vista, 28 Februari 1970, penulis Sori Siregar menulis dia sempat menanyakan hal itu kepada Lily. Apa jawabannya: “Tidak apa. Mereka toh kawan-kawan saya.” Mayoritas lagu ciptaan Lily berlanggam Melayu. Salah satu yang populer pada 1950-an adalah lagu “Selayang Pandang”. Pada 1970, lagu ini pernah masuk dalam album piringan hitam The Rollies dengan nama pencipta disebut anonim. Lily protes. Pihak perusahaan rekaman mengaku tak tahu Namun, Lily bukan hanya menciptakan lagu berlanggam Melayu. Dia juga membuat lagu “Memori” , berdasarkan puisi Z. Pangaduan Lubis. Lagu dan syair ini diciptakan untuk mengenang penyair Chairil Anwar. Selain itu, ada lagu “Marilah Sayang” , berdasarkan puisi Aldian Aripin yang termuat dalam kumpulan puisinya Oh, Nostalgia. “Unsur kemelayuan tak terdengar di lagu-lagu itu,” ujar Sori. Lebih Baik dari Ismail Marzuki? Kepiawaiannya bermusik tak membuat hidup Lily makmur. Semasa hidupnya, selama 25 tahun, Lily bertugas sebagai pemimpin Orkes Studio Medan di RRI Nusantara III. Meski honornya terbilang kecil, dia tak pernah mengeluh. Sori Siregar mengisahkan keadaan ekonomi Lily jauh dari cukup. “Rumah saya sudah jelek, tapi rumah Lily lebih jelek lagi dan dia sudah beberapa bulan tidak sanggup membayar rekening listrik rumahnya,” kata Sori. “Saya dan penyair Z. Pangaduan Lubis, selalu dimintainya uang untuk ongkos becak pulang,” lanjut Sori. Sebenarnya, nasib Lily mungkin bisa berubah jika saja dia mau ikut hijrah ke Malaysia saat diajak sahabatnya, Ahmad Djafar. Atau memenuhi panggilan sebuah penerbit di Jakarta. Namun, dia tak beranjak dari Medan. “Saya ingin menjadi saksi dari penderitaan kawan-kawan di sini. Saya tidak akan bahagia di sana (Malaysia atau Jakarta),” kata Lily, dikisahkan Sori. Lily wafat pada 2 Oktober 1979 dalam keadaan ekonomi yang memprihatinkan. Menurut Harian Bukit Barisan, 4 Oktober 1979, Lily dimakamkan pada 3 Oktober 1979 di Taman Bahagia Makam Pahlawan Medan. Berkat dedikasinya, Lily pernah mendapatkan penghargaan dari PWI Cabang Medan pada 1975 dan Departemen P & K pada Maret 1979. Namanya diabadikan menjadi nama taman di Jalan Palang Merah, Medan. Namanya kini nyaris dilupakan. Padahal, menurut Hadely yang didengarnya dari para pakar musik, kualitas Lily sebagai komponis mungkin melebihi Ismail Marzuki. Bahkan, kata Koko, Lily bisa membuat notasi musik (not balok) kalau mendengar pesawat lewat. Koko menyebut, Lily sudah menciptakan lebih dari 200 lagu semasa hidupnya.
- Kartini Martir, Bukan Pelakor!
SETIAP hari Kartini tiba, selalu saja ada perdebatan. Itu bagus tentu saja, namun beberapa di antara perdebatan itu berbumbu olok-olok, mengejek Kartini: dia pejuang perempuan penentang poligami namun pasrah diperistri seorang bupati berbini tiga. Lantas meme beredar, pesan WA berantai disebar kemana-mana. Intinya mau mengatakan bahwa perjuangan Kartini sia-sia karena perempuan tetaplah perempuan yang pada akhirnya harus jadi istri, beranak, dan mendekam di dapur seumur hidupnya. Ada juga narasi lain yang terkesan menyudutkan Kartini sebagai seorang yang memandang sebelah mata agama Islam –namun akhirnya insyaf setelah bertemu Kyai Soleh Darat. Dia digambarkan seakan-akan seorang mualaf tobat yang akhirnya menemukan jalan menuju Tuhannya, setelah tiada henti-hentinya mempertanyakan agamanya sendiri. Itu terjadi karena Kartini hanya diwajibkan membaca Alquran tanpa pernah diajari apa arti di baliknya. Sementara itu sebuah pesan WA yang mengedarkan artikel tentang “Sisi Lain Sosok RA. Kartini,” mengutip pendapat sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah . Menurut artikel itu ada sisi lain Kartini yang selama ini ditutup-tutupi oleh “pihak Barat” dan “kaum sekuler”, yakni perlawanan Kartini terhadap praktik “kristenisasi” dan “westernisasi”. Kesimpulan tersebut ditarik dari surat Kartini kepada Ny. Van Kol bertitimangsa 21 Juli 1902. Dalam suratnya, seperti juga dikutip dalam tulisan tersebut, Kartini bersiteguh untuk tetap memeluk agama Islam setelah (konon) Ny. Van Kol menawarkan agar Kartini memeluk agama Kristen. Dalam surat kepada Abendanon, 31 Januari 1903, Kartini memang mengkritik misi zending yang terlalu vulgar dalam usahanya menyebarkan agama Kristen di Jawa. Artikel yang sama menafsirkan kritik Kartini kepada zending Kristen itu sebagai bentuk perlawanan terhadap kristenisasi yang berkelindan dengan kolonialisme Belanda. Membaca surat-surat Kartini tanpa memahami konteks situasi zaman memang berpeluang menghasilkan penafsiran yang terpenggal. Soal agama, sikap Kartini jelas. Dia mengkritik otoritas agama yang sering di(salah)gunakan dalam praktik permaduan (poligami). Dalam suratnya kepada Stela Zeehandelar, 23 Agustus 1900, Kartini menggugat praktik tersebut. Menurutnya banyak perempuan saat itu yang mengutuk, namun tak bisa berbuat apa-apa karena aturan agama Islam memperbolehkannya. Mengenai zending Kristen, Kartini menghargai upaya misionaris menyebarkan kasih dan kepeduliannya kepada rakyat Jawa. Namun dia mengharapkan agar kebaikan itu dilakukan atas nama kemanusiaan, bukan karena tujuan mengganti agama yang sudah dianut orang. Kartini menganjurkan agar agama menjadi jalan untuk mengenal Tuhan yang maha penyayang, pengasih dan hendaknya Tuhan diperkenalkan sebagai “Bapak semua makhluk, orang Kristen maupun dia orang Islam, Budha, Yahudi dan sebagainya,” ujarnya kepada Abendanon. Dari surat tersebut kita bisa memahami betapa luasnya pengertian Kartini terhadap agama. Menurut Kartini agama hendaknya membawa berkah, “supaya memperkaribkan semua makhluk Allah, yang berkulit putih maupun yang berkulit hitam, tidak pandang pangkat perempuan ataupun laki-laki agama mana yang dipeluknya.” Upaya menggerus peran Kartini sudah dimulai sejak 1979 saat Harsja Bachtiar, seorang sosiolog, yang mendelegitimasi ketokohan Kartini dalam artikelnya, “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Dia menggugat kultus Kartini sebagai pelopor emansipasi perempuan di Indonesia, karena curiga ada muatan kepentingan Belanda di dalamnya. Kartini terkesan “dipromosikan” oleh orang Belanda sebagai sosok perempuan berpikiran maju yang beritikad mendobrak tradisi kolot yang mengungkung masyarakatnya. Cara pandang Harsja memunculkan pengertian kalau Kartini adalah produk kolonial, narasi liyan yang kurang cocok diaku sebagai narasi sejarah produk Indonesia. Sehingga ada kesan membela Kartini artinya berada di posisi yang sama dengan kaum kolonial Belanda. Harsja menawarkan tokoh perempuan lain yang menurutnya jauh lebih jelas peran dan perjuangannya ketimbang Kartini yang hanya menulis surat. Mereka adalah Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin dari kesultanan Aceh dan Siti Aisyah Wa Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Harsja mungkin mengabaikan jasa terbesar Kartini, yang bukan terletak pada kepalan tangan menggenggam senjata atau duduk di tampuk kekuasaan. Api semangat pada setiap lembar suratnya jadi sumber inspirasi perjuangan banyak perempuan generasi berikutnya. Surat-surat Kartini, sebagai buah pikiran dan cerminan situasi batin kaum perempuan sezamannya, sumber otentik yang tak bisa tergantikan oleh legenda atau dongeng keperkasaan perempuan di masa lalu. “Di tahun 1922 aku mulai berkenalan dan sangat kagum kepada gagasan R.A. Kartini melalui bukunya,” ujar Sujatin Kartowijono, tokoh pionir gerakan perempuan Indonesia, dalam biografinya Mencari Makna Hidupku: Bunga Rampai Perjalanan Sujatin Kartowijono . Enam tahun setelah membaca surat-surat Kartini, Sujatin turut menggagas penyelenggaraan kongres perempuan Indonesia pertama, 22 Desember 1928. Kelak kongres tersebut dirayakan sebagai hari ibu setiap tahunnya, wujud konkret usaha perempuan Indonesia untuk membawa keluar kaumnya dari jeratan tradisi kuno dan kungkungan peran domestiknya. Maka alih-alih merendahkan atau bahkan mengabaikan peran dan pengaruh Kartini, ada baiknya memperkaya deretan kisah perjuangan perempuan Indonesia dengan beragam kisah inspiratif dari beragam tokoh perempuan di masa lalu. Bukan dengan saling menyisihkan peran perempuan satu sama lain. Yang paling mengerikan dari era media sosial ini adalah meme ejekan terhadap Kartini yang lahir sebagai anak dari istri ketiga dan dipersunting oleh seorang bupati yang telah pula beristri lantas disebut sebagai contoh “ibu teladan dalam poligami.” Mungkin para pencela itu lupa. Kartini menerima pinangan bupati Rembang karena dia seorang duda ditinggal mati istri pertamanya. Penderitaan baru datang ketika Kartini yang sedang hamil muda mengetahui suaminya memelihara dua gundik. Sejak itu Kartini tak lagi menulis surat, memilih menyendiri, menolak untuk tidur bersama suami sebagai bentuk perlawanannya. Kartini wafat empat hari setelah melahirkan Soesalit. Ada dugaan kematiannya disebabkan oleh preeklamsia, tekanan darah yang melonjak tinggi disertai kejang-kejang. Kisah Kartini adalah inspirasi sekaligus ironi dari sebuah negeri: dia melawan tradisi kolot yang menindas perempuan namun gugur sebagai kurban dalam jeratan praktik permaduan.
- Dari Rumah Rakyat ke Real Estate
Thio Teck Hian, lelaki perantau dari Jawa Tengah, sudah lima tahun tinggal di Jakarta. Dia pekerja rendahan dan punya seorang istri. Dia tinggal di rumah mertua sejak menikah. Suatu hari dia melihat iklan rumah di koran. Dia kepikiran pisah rumah dengan mertua dan punya rumah sendiri. Atau setidaknya menyewa. Tapi uangnya tak cukup. Uang di tangan Thio hanya Rp5.000, sedangkan uang kunci untuk sewa rumah terkecil ialah Rp10.000. Istilah uang kunci merujuk pada uang tanda jadi awal untuk menyewa rumah selama setahun. Istilah uang kunci sohor pada dekade 1950-an. Ia menghambat banyak orang berpenghasilan rendah untuk sewa rumah. “Bagi manusia-manusia yang kantongnya tidak padat, sebagai aku ini, segala usahanya untuk mendapatkan rumah itu pasti akan sia-sia saja,” kata Thio dalam Sunday Courier , 23 Juni 1955. Thio menambahkan, bahwa orang seperti dia ada banyak di Jakarta. Kalau dijembarkan ke wilayah lain, jumlah mereka lebih banyak lagi. Beli rumah tidak bisa, sewa pun susah. Akhirnya mereka pilih bangun rumah seadanya. Tanpa memenuhi syarat teknis dan kesehatan, sebagaimana anjuran para ahli perumahan lima tahun sebelumnya pada 1950. Para ahli perumahan menggelar Kongres Perumahan Rakyat Sehat di Bandung pada 25-30 Agustus 1950. Tujuannya memecahkan masalah rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Kongres itu dihadiri oleh pejabat pemerintah pusat dan daerah. Wakil Presiden Mohammad Hatta berkesempatan pidato di kongres. Dia mengemukakan, “Bahwa tentang perumahan rakyat kita menunjukkan ketinggalan yang besar, dan sebagian besar rakyat masih menempati rumah yang tidak layak bagi bangsa merdeka,” tulis Oleh Sardjono dalam “Menuju Tinggal Landas Pembagunan Nasional di Bidang Perumahan Rakyat”, termuat di Prisma , No. 5, 1986. Para peserta kongres berembug perisoal teknik, syarat, pembiayaan, dan lembaga untuk pembangunan rumah rakyat. Kemudian kongres bersepakat mengenai beberapa tindakan ke depan untuk bidang perumahan. Antara lain mendesak pemerintah agar lekas membangun perumahan dan fasilitas penunjang, mengusul pembentukan lembaga khusus untuk mengurus perumahan, dan merumuskan norma dan syarat minimum perumahan rakyat. Istilah perumahan rakyat mengacu pada perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. “Luas rumah induk 36 m2 dengan dua kamar tidur, luas rumah samping 17,5 m2. Hal ini diusulkan kepada pemerintah agar dimasukkan dalam peraturan perundang-undangan,” lanjut Oleh Sardjono. Tapi syarat minimum perumahan rakyat tak hanya berkisar pada luas, melainkan juga menyentuh aspek kesehatan rumah. “Rumah yang sehat memerlukan sirkulasi udara yang cukup dan sinar mentari yang bisa menembus masuk,” tulis Freek Colombijn dalam Under Construction: The Politics of Urban Space and Housing during the Decolonization of Indonesia, 1930-1960 . Syarat lainnya, bahan lantai rumah mesti terbuat dari ubin atau semen sehingga bisa dibersihkan saban kali kotor. Konsep rumah sehat ini beroleh tempat di banyak pemerintah daerah seperti Medan, Surabaya, dan Semarang. Mereka berlomba-lomba membangun rumah sehat. Tapi ketika situasi ekonomi Indonesia memburuk dan harga bahan bangunan naik pesat, konsep rumah sehat mulai goyah. Tak banyak rakyat mampu memenuhi konsep rumah sehat pada dekade 1960-an. Sebab kenaikan pendapatan mereka tak sebanding dengan kenaikan harga bahan bangunan. Akibatnya banyak rakyat mengurungkan niat membangun atau membeli rumah. Kekurangan rumah pun terjadi lagi. “Kita kekurangan 4 juta rumah tinggal,” tulis Star Weekly , 1 Februari 1961. Memasuki dekade 1970-an, pemerintah pusat bikin terobosan. Mereka berupaya mengintegrasikan lembaga yang mengurus pembangunan rumah rakyat. Sebelumnya tumpuan pembangunan rumah rakyat berada pada pemerintah daerah. Sekarang urusan rumah tersebar ke berbagai lembaga, mengingat pembangunan rumah berkelindan dengan banyak lapangan seperti ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi. Pemerintah pusat juga memasukkan urusan pembangunan rumah rakyat ke dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Dalam Repelita itu pembangunan perumahan tak lagi berfokus pada masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi juga menyebar ke berbagai lapisan masyarakat sehingga makna perumahan rakyat menjadi sangat luas. Rumah mewah bergaya Romawi di Real Estate Masnaga, Bekasi, pada 1980-an. (Prisma, No. 4 April 1983). Untuk membantu penyediaan rumah rakyat, pemerintah mendirikan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) pada 1974. Saat bersamaan, pemerintah pusat juga mengajak swasta untuk turut membantu penyediaan rumah rakyat. Lembaga swasta itu bernama Real Estate Indonesia (REI). Perumnas dan Real Estate Indonesia memiliki sasaran berbeda. Perumnas menyasar golongan berpenghasilan rendah, sementara REI menarget golongan berpenghasilan sedang dan tinggi. Pengembangan tipe rumah keduanya pun berbeda. Perumnas mengembangkan tipe rumah inti atau tumbuh, yaitu rumah yang masih bisa dikembangkan oleh penghuni sesuai kemampuannya. Sedangkan REI mendirikan kompleks rumah villa atau mewah. Ada kewajiban pula bagi REI untuk turut membangun rumah murah, tapi tak sebanyak Perumnas. Selama satu dasawarsa (1974-1984), pembangunan rumah rakyat di Indonesia meningkat pesat. Banyak rakyat telah memiliki rumah. Tapi kritik terhadap kebijaksanaan perumahan rakyat malah bermunculan. “Seperti mereka yang menghuni rumah Perum Perumnas, banyak yang mengeluh, jauh dari tempat pekerjaan,” tulis Prisma, No 4, April 1983 dalam laporan khusus “Pembangunan Perumahan Maju Pesat Dikhawatirkan Tumbuh Slum Baru”. Kritik lain sekitar penyaluran kredit rumah murah yang tak tepat sasaran dan kualitas fisik rumah murah. Pembangunan rumah oleh REI juga dapat serangan. Onghokham, sejarawan Universitas Indonesia, mengecam perkembangan konsep rumah Real Estate yang menyerupai kompleks tertutup sehingga menghambat pembauran masyarakat. “Hal itu sangat kami sayangkan dan pantas untuk dikecam,” tegas Ong dalam Jakarta-Jakarta, No 6, April 1981. Di luar kritik terhadap kebijaksanaan pembangunan rumah rakyat, banyak orang masih mencari rumah yang sesuai kepadatan kantongnya. Sampai sekarang.
- Kiprah Bomber 29
DI tanah air, jumlah pelawak perempuan bisa dihitung dengan jari. Keadaan ini juga terjadi pada masa lalu. Sekarang ada Tri Retno Prayudati atau lebih dikenal dengan Nunung. Dulu ada Suratmi atau tenar dengan sebutan Ratmi B-29. Ratmi B-29 lahir di Bandung pada 16 Januari 1932. Sejak kecil dia suka menyanyi. Sampai-sampai sang nenek ngomel, tak sudi cucunya jadi ronggeng. Tapi Ratmi kecil bergeming. Saat masih bocah, ayahnya, Salimin, meninggal dunia. Ratmi pun harus menjalani hidup prihatin bersama ibunya, Sainem. “Keadaan inilah yang memaksa diri saya untuk membulatkan tekad dalam usaha saya memenuhi panggilan hidup yang sebenarnya, yakni kesenian,” ujar Ratmi kepada majalah Djaja tahun 1969. Ratmi belajar kesenian secara otodidak. Dia rajin menyaksikan pertunjukan dan mempraktikkannya. Dan dia berhasil. Bahkan menjadi seniman multitalenta: sebagai pesinden, penyanyi keroncong, pemain sandiwara dan film, serta pelawak. Nama Ratmi B-29 pun melambung, terutama pada 1970-an. Sang Penghibur Ratmi mengawali karier di panggung hiburan pada 1943 sebagai penyanyi keroncong. Beberapa kali dia harus meninggalkan panggung karena ikut perang. Ratmi melanjutkan karier di dunia hiburan usai agresi militer Belanda II. Dia menjadi penyanyi keroncong Orkes Studio Bandung pimpinan E. Sambojan. Ratmi pindah ke Jakarta pada pertengahan 1950-an. Dia bergabung dengan grup wayang orang Tritunggal di Kebon Kelapa, Jatinegara, pimpinan suaminya, Idris Indra. Tugasnya sebagai penari dan pesinden. Sesekali, agar memeriahkan suasana, dia melawak. Setelah bercerai, Ratmi pindah ke Bandung dan kembali bergabung dengan grup wayang orang. Dia juga mulai memasuki dunia film sebagai figuran lewat dua film komedi Si Djimat (1960) dan Kuntilanak (1961). Di Bandung, Ratmi kerap menghibur keluarga TNI Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dengan lawakannya. “Rupanya dengan lawakan saya itu, mereka selalu merasa puas. Oleh karena itu, saya dijuluki dengan sebutan B-29 (dari jenis pesawat Bomber 29). Seperti adik tahu bahwa pesawat itu sangat dahsyat dan lawakan saya diterapkan dengan dahsyatnya B-29,” kata Ratmi kepada Angkatan Bersenjata, 5 Desember 1974. Ratmi memang punya hubungan lekat dengan tentara. Pada masa revolusi fisik, Ratmi ikut berjuang dalam kancah revolusi fisik sebagai anggota Barisan Srikandi/Lasykar Wanita Indonesia (Laswi). Pernah pula jadi anggota staf Batalyon Brigade D/X-16 di Jawa Tengah. Dia mengundurkan diri dari ketentaraan dengan pangkat terakhir sersan dua. Penghormatan terakhir. Ratmi B-29 dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara militer. (Angkatan Bersenjata, 2 Januari 1978/Koleksi Perpusnas RI) Hanya Ratmi Setelah ibunya meninggal dunia, Ratmi pindah ke Jakarta pada 1966. Pada tahun itu pula Ratmi memasuki dunia lawak. Kepada Angkatan Bersenjata , Ratmi bilang dia mendapat kesempatan menjadi pelawak terkenal melalui perantara dedengkot lawak saat itu, Bing Slamet. Ratmi punya modal yang cukup sebagai pelawak. Selain mengenal teknik melawak, dia punya postur tubuh yang bisa “dimanfaatkan”. Tubuhnya subur. Pipinya tembem. Hidungnya pesek. Ratmi gabung dengan grup lawak Agora Djenaka bersama Hardjomuljo, Drajat, dan Slamet Harto. Kendati kwartet lawak itu tak pernah bubar, Ratmi membentuk grup lawak Ratmi Cs bersama Bandot dan Teten. Kehadiran Ratmi di pentas lawak diapresiasi banyak pihak. “Kita bisa menghitung dengan jari, berapa jumlah pelawak wanita. Bahkan di ibukota yang merupakan pusat segala macam kegiatan, barangkali hanya ada seorang pelawak wanita, yakni Suratmi Bomber-29. Memang masih ada yang lain, tapi hanya Ratmi B-29 saja yang benar-benar mengkhususkan diri di bidang dagelan,” tulis majalah Selecta tahun 1969. “Kita telah beberapa kali menyaksikan Ratmi beraksi baik di atas pentas maupun di televisi. Kesimpulan kita mengenai dirinya: ia memang seorang pelawak!” Ratmi B-29 bersama Benyamin S. dan Rano Karno bermain dalam film komedi anak-anak berjudul Si Karno yang disutradarai oleh Montinggo Busye. (Harian AB, 1 Maret 1974/Koleksi Perpusnas RI) Seiring popularitasnya, Ratmi pun kembali merambah ke layar lebar. Dia memegang peran-peran penting dalam film Ketemu Jodoh (1973), Si Rano (1973), dan Ratu Amplop (1974) . Sepanjang hidupnya, Ratmi setidaknya membintangi 32 film. Saking terkenal, pada 1970-an ada merek sabun colek produksi PT Sinar Antjol dengan nama yang sama. Ratmi pula yang menjadi bintang iklannya. Popularitas itu membuat Ratmi sibuk bukan kepalang. Pada 1977, dia menjalani syuting tiga film sekaligus: Direktris Muda , Sembilan Janda Genit , dan Hujan Duit . Pada 31 Desember 1977, Ratmi baru saja menyelesaikan pengambilan gambar di Ujungpandang (kini, Makassar), Sulawesi Selatan, untuk film Direktris Muda. Ketika hendak masuk ke pesawat, untuk bertolak ke Surabaya merayakan Tahun Baru, tiba-tiba Ratmi ambruk. Dia terkena serangan jantung. Dalam perjalanan ke rumah sakit, dia menghembuskan napas terakhir. Karena memiliki tanda jasa Bintang Gerilya, Bintang Kemerdekaan I dan II, serta Bintang Gerakan Operasi Militer I dan V, Ratmi B-29 dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Ratmi menjadi pelawak pertama yang dimakamkan di sana –menyusul kemudian Triman, anggota Srimulat, pada 2003.
- Ketika Pedagang Ikut Berjuang
KETIKA matahari masih pulas dalam tidurnya, para perempuan-pedagang asal Kulon Progo, Bantul, dan Gunung Kidul setiap hari sudah berangkat ke Pasar Beringharjo di Kota Yogyakarta sambil menggendong bakul berisi dagangan di punggung. Aktivitas itu merupakan rutinitas mereka. Namun, di masa perang itu, mereka tak hanya berdagang. Mereka menjadi pembawa pesan rahasia dari para gerilyawan di luar kota, pemasok logistik, sekaligus kurir. Peran mereka amat krusial. “Itu poin penting. Perempuan menjadi bagian dari usaha kemerdekaan,” kata sejarawan Ita Fatia Nadia kepada Historia . Para perempuan-pedagang itu menjadi komunikator antara gerakan bawah tanah di kota dengan para gerilyawan di daerah Godean, Imogiri, dan berpusat di Wiyoro. Ketika berangkat, mereka membawa pesan untuk para pemikir strategi di Kota Baru, Yogyakarta. Sewaktu pulang, mereka menyampaikan pesan balasan untuk para gerilyawan di pinggiran kota. Pertukaran informasi perjuangan yang dibawa para pedagang berlangsung di Pasar Beringharjo untuk menghindari kecurigaan Jepang. Menurut dosen sejarah UGM Dr. Mutiah Amini, Pasar Beringharjo menjadi ajang revolusi untuk para perempuan. “Para pedagang mentransfer kebutuhan para pejuang lewat pasar. Orang tidak mengira, dikiranya dia mau ke pasar, berjualan. Padahal untuk kebutuhan revolusi,” kata Mutiah. Sambil membawa dagangan, mereka membawa barang-barang kebutuhan untuk revolusi seperti pakaian, gula, teh, uang, atau pakaian. Barang dagangan dan kebutuhan revolusi ditumpuk jadi satu untuk mengelabui tentara Jepang. Umi Sardjono, Ketua Umum Gerwani, ikut menyamar jadi pedagang sayur ketika gerilya melawan Jepang mulai marak. Sebagai mata-mata, tugas utamanya mengumpulkan informasi. “Perempuan lebih luwes karena bisa menyamar sebagai ibu rumahtangga sehingga tidak dicurigai tentara Jepang,” tulis Ruth Indiah Rahayu dalam “Menulis Sejarah Sebagaimana Perempuan”, dimuat di Sejarah dan Budaya , Th X, No. 1, Juni 2016. Peran itu terus berlanjut sampai masa Perang Kemerdekaan ketika Jepang sudah hengkang. Menurut Galuh Ambar Sasi dalam artikel “Menjadi (Manusia) Indonesia: Pergulatan, Jejaring, dan Relasi Perempuan di Yogyakarta Masa Revolusi”, dimuat di Pluralisme dan Identitas , banyak perempuan jadi mata-mata dengan menyamar sebagai pedagang buah atau sayur, salahsatunya Alfiah Muhadi. Menurut Suhatno dalam “Sumbangan Wanita Yogyakarta pada Masa Revolusi” yang dimuat Jantra Vol. 1 No. 2, Desember 2006, keahlian menyamar dan menyiapkan logistik para perempuan itu diperoleh ketika mengikuti pelatihan Fujinkai. “Di masa Jepang, semua wanita diharuskan mengikuti latihan-latihan untuk menghadapi segala kemungkinan dalam membantu Jepang di Perang Asia Timur Raya.” Banyak di antara mereka kemudian bahkan membuka warung. Banyaknya warung sempat mebuat Belanda khawatir. Belanda menganggap warung hanyalah kamuflase mata-mata orang republik. Ketakutan Belanda itu ditunjukan antara lain lewat selebaran peringatan untuk tidak makan di warung pribumi. Peran berisiko tinggi itu jelas tak semua berhasil. Ada beberapa perempuan-mata-mata yang ketahuan dan dihukum. Salah satunya menimpa seorang kurir yang menyamar jadi pedagang telur saat membawa pesan rahasia di Wirogunan, dekat Taman siswa. “Pedagang telur itu tertangkap dan ditembak mati oleh Jepang. Perannya penting. Gerakan bawah tanah tidak bisa bekerja melawan Jepang tanpa perempuan,” kata Ita.
- Main Bola Bukan untuk Pamer Paha
SIANG itu tribun Stadion Tamansari, Jakarta Barat, sesak penonton. Mayoritas kaum Adam. Mereka bersemangat memelototi jalannya pertandingan. Maklum, pertandingan yang dimainkan bukan melibatkan klub UMS 80, Warna Agung, atau Arseto, tapi pertandingan Parkit vs Buana Putri alias pertandingan sepakbola putri. Alhasil, saban para “Kartini” berkostum dengan paha terbuka itu menggiring atau menendang bola, sorakan penonton membahana. Rasa gemas meluap di benak mereka tatkala mendapati pemain terjatuh karena tekel lawan. Meski itu hanyalah scene dalam film Warkop DKI Maju Kena Mundur Kena (1983), bisa jadi susasana itu merupakan gambaran umum publik terhadap sepakbola putri di negeri ini. Pertandingan dianggap tak lebih dari tontonan menghibur belaka karena sarat aksi “pamer paha” dan goyang payudara. Padahal, bukan itu yang menjadi tujuan perempuan ketika main sepakbola. Melawan Budaya Ketimuran Sejak akhir 1960-an, ketika perempuan Indonesia mulai antusias bermain bola, para pesepakbola putri hanya punya dua tujuan: penyaluran hobi dan meraih prestasi. Namun, hal itu tak mampu menghindarkan mereka dari kritik. Akibatnya, perkembangan sepakbola putri dalam negeri terhalang tembok tinggi. Ketika sepakbola putri mulai makin marak digemari pada 1980-an, cibiran dan kritikan bahwa perempuan di Indonesia tak pantas bermain bola terus mengiringi. Bukan semata soal pakaian yang dianggap terlalu seksi jadi sorotan, tapi juga soal kesehatan bahkan budaya. Dalam budaya Timur, perempuan main sepakbola dianggap bertentangan dengan kodrat. Tak hanya dari masyarakat, komentar miring bahkan datang dari Menteri Muda Urusan Peranan Wanita Lasiyah Soetanto. “Masih banyak olahraga yang lebih pantas dilakukan wanita timur dan pantas dilihat mata,” katanya sebagaimana dimuat Majalah Femina, 11 Agustus 1981. Majalah yang sama juga memuat komentar miring pengurus DPP Wanita Katolik Martha Hadi Mulyanto. “Kasihan kalau wanita-wanita itu hanya jadi bahan tertawaan. Apalagi sepakbola itu permainan yang keras. Biarlah kaum pria saja yang melakukannya,” kata Martha. Akibatnya, beberapa pesepakbola putri mesti membela diri. Muthia Datau, kiper Buana Putri dan timnas putri era 1980-an mengatakan, dia main bola karena hobi dan untuk menyehatkan tubuh. Muthia Datau, eks kiper Buana Putri dan Timnas Putri PSSI (Foto: Majalah Femina, 11 Agustus 1981, Randy Wirayudha/Historia “Pasti ada pro dan kontranya. Kita kan di Timur. Padahal, seragam enggak ketat juga sebenarnya. Hanya celana pendek kok. Namanya juga main bola. Memang sepakbola itu konotasinya olahraga laki-laki. Tapi seiring perkembangan zaman, laki-laki dan perempuan disetarakan. Tinggal bagaimana orang mau mengartikannya. Saya sih tidak peduli orang mau bilang apa. Memang kenapa? Apa salahnya?” ujarnya kepada Historia. Hal senada diutarakan Papat Yunisal, eks pemain Putri Priangan dan timnas putri era 1980-an. “Jadi salah kaprahnya dulu, kesannya wanita tidak boleh aktivitas berat. Banyak yang bicara ini-itu. Tapi ya kita harus tunjukkan (kemampuan),” ujarnya kepada Historia . Ketua Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia (ASBWI) itu justru mempertanyakan kenapa hanya sepakbola putri yang dipermasalahkan pakaiannya, sementara cabang olahraga lain tidak. “ Ginideh, ambil contoh cabang renang. Bagaimana itu? Pakaiannya apa enggak (umbar) aurat? Lalu untuk yang lain-lain, tinju, gulat, angkat besi, itu jelas merusak tubuh,” sambung Papat. Papat Yunisal, eks Putri Priangan & Timnas Putri PSSI yang kini menjabat Exco PSSI merangkap Ketua ASBWI (Foto: Sejati Nugraha/Historia) Toh , penjelasan-penjelasan itu tetap tak mampu menghapus pandangan miring masyarakat terhadap sepakbola putri. Akibatnya, sepakbola putri dalam negeri mundur jauh dari era ketika Muthia dan Papat masih merumput. “Jangankan tahun 1980-an, sekarang saja masih begitu kok . Wajar ada yang menentang. Jangankan main bola, keluar rumah saja lewat jam 6 sore, itu enggak boleh. Dulu juga banyak yang berpendapat keperawanan bisa hilang kalau main bola. Padahal tidak begitu. Keperawanan ya harus dijaga masing-masing sampai punya suami,” kata Papat menutup pembicaraan.
- Perempuan Yogyakarta dalam Perjuangan
TANPA menghiraukan para serdadu Jepang yang berjaga di luar pagar, Ngaisyah dan Oemiyah langsung naik ke atap Gedung Agung Yogyakarta setelah mendapat pinjaman tangga dari kawan pelukis Rusli dan Soemardi (pamong Taman Siswa). Kedua perempuan itu lalu menurunkan bendera Jepang dan menggantinya dengan bendera merah putih sebagai penegasan bahwa Indonesia telah merdeka. Aksi pada September 1945 itu merupakan puncak dari demonstrasi massa-rakyat yang menuntut penurunan bendera Jepang. Aksi berjalan mulus lantaran Oemiyah dan Ngaisyah merupakan pegawai Jawatan Pos Telepon Telegram (PTT), institusi telekomunikasi resmi semasa pendudukan Jepang, sehingga gerak-gerik mereka tak mengundang kecurigaan Jepang. Sejak lama, Oemiyah –yang juga ketua serikat buruh PTT dan kelak menjadi sekretaris Kabinet Amir Syarifudin bagian stenografi– dan Ngaisyah serta Rusli dan Soemardi menjadi anggota perlawanan bawah tanah yang dijalankan kelompok Pemuda Pathuk (PP). Kelompok perjuangan beranggotakan kelas menengah terdidik dari beragam kalangan ini muak terhadap fasis, yang berkuasa dengan kejam. Para anggota PP memanfaatkan keadaan untuk perjuangan. Oemiyah dan Ngaisyah memanfaatkan betul status pegawai dan posisi sebagai ahli stenografi untuk menyadap pesan-pesan rahasia Jepang. “Kalau malam, mereka tidak pulang. Para perempuan tersebut menyadap berita-berita yang dikirim dari Jepang lewat kode-kode yang bisa mereka terjemahkan,” kata sejarawan Ita Fatia Nadia, yang merupakan anak Oemiyah. Hasil sadapan itu menjadi bahan PP merancang strategi. Dalam perjuangan, PP bertugas menyusun strategi melawan Jepang. Mereka bekerjasama dengan kelompok-kelompok perjuangan lain, termasuk para gerilyawan di luar kota. Komunikasi mereka lakukan lewat perantaraan para pedagang di Pasar Beringharjo. “Para pedagang perempuan menjadi penyampai pesan antara para gerilyawan di gunung ke Sukarno atau ke tokoh-tokoh pemikir yang berada di Kota Yogyakarta,” kata Ita. Hal serupa juga dilakukan oleh Umi Sardjono, Ketua Umum Gerwani, seperti ditulis Ruth Indiah Rahayu dalam “Menulis Sejarah Sebagaimana Perempuan” diterbitkan Sejarah dan Budaya , Th X, No. 1, Juni 2016. Selama gerilya melawan Jepang, Umi bertugas sebagai kurir dengan menyamar sebagai ibu rumah tangga yang berbelanja di pasar. Peran ini menurutnya lebih luwes dikerjakan perempuan karena perempuan pandai menyamar dan tidak dicurigai tentara Jepang. Kucing-kucingan dengan serdadu Jepang itu jelas memiliki risiko besar. Seperti yang menimpa Wasimah, seorang suster yang ikut berjuang, kala ketahuan membawa kebutuhan gerilya berupa obat juga pesan rahasia dari para pejuang. “Wasimah tertangkap di Taman Siswa, lalu ditembak. Salah seorang perempuan di PTT juga ada yang tertangkap menyadap berita Jepang. Ia kemudian dihukum mati di Kantor Pos Besar,” kata Ita. Toh, risiko kehilangan nyawa tak menyurutkan tekad para perempuan ikut memperjuangkan kemerdekaan. Komunikasi-komunikasi rahasia yang mereka lakukan amat menentukan kelanjutan perjuangan hingga akhirnya Indonesia bisa lahir. “Para pedagang mentransfer kebutuhan para pejuang lewat pasar. Orang tidak mengira, dikiranya dia mau ke pasar, berjualan. Padahal untuk kebutuhan revolusi,” ujar Ita.*





















