Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Penampilan Orang Aceh di Masa Lalu
PENEGAKKAN syariat Islam di Aceh membuat warganya kerap kena razia. Mereka terjaring karena mengenakan pakaian ketat. Kaum lelaki karena memakai celana pendek di atas lutut. Razia dilakukan sebagai implementasi Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 tentang Aqidah, Ibadah, Syiar Islam. Biasanya laki-laki yang terjaring diberi sarung dan perempuan diberi jilbab. Mereka juga dibina supaya berpakaian sesuai peraturan. Islam sudah ada di Aceh paling tidak sejak abad 13. Namun, bukan berarti penerapan aturannya sudah sama sejak masa itu. Orang-orang asing yang datang ke Aceh menggambarkan bagaimana mereka berpakaian dan merias diri. Francois de Vitre, penjelajah Prancis yang datang ke Aceh pada 26 Juli 1602 mengungkapkan, kebanyakan orang Aceh mengenakan ikat pinggang yang dililitkan pada tubuh untuk menutupi kemaluan. Bagian tubuh lain dibiarkan terbuka. Sementara para bangsawan dan pedagang menggunakan kain katun atau sutera yang dililitkan pada tubuh hingga lutut. Mereka juga memakai sejenis topi yang sangat lebar, dengan lengan yang juga lebar dan terbuka di bagian depan. Vitre mencatat, orang Aceh juga biasanya memakai pakaian dari belacu biru, warnanya merah lembayung. Menurutnya, kebiasaan mereka yang suka memakai sorban sungguh aneh. Sorban itu diikat seperti gulungan sedemikian rupa hingga ujung kepalanya tak tertutup. Di pundak mereka memakai baju atau rompi dengan lengan yang lebarnya bukan kepalang lalu ketat di bagian pergelangannya. Sebuah “lunghee” melilit pinggang, pedang panjang di sisi, yang bergantung pada sabuk yang diselempangkan. Berdasarkan sketsa seorang pedagang Inggris, Peter Mundy pada 1637 sabuk itu diselempangkan di bahu kiri, senjata yang masuk dalam sarung itu panjang sekali. Senjata ini digantungkan di bawah lengan dan pegangan senjata itu tertahan di bawah ketiak. Selain pedang panjang tadi, mereka juga memakai keris. Ini semacam pisau belati. Semua laki-laki mencukur habis kumis dan jenggot mereka. Semua berjalan tanpa alas kaki, dari raja sampai orang paling kere sekalipun. “Mereka tak berkulit sehitam orang Guinea. Hidungnya juga tak sepesek mereka. Mereka berkulit kuning atau coklat. Berperawakan cukup tinggi,” catat Vitre. Adapun perempuan umumnya mengenakan kain katun dari pinggang hingga lutut. Sepotong kain lain menutupi bagian dada hingga pinggang. Meskipun demikian ada pula perempuan yang bertelanjang dada, hanya mengenakan selendang yang disampirkan di bahu menutupi sebagian dada. Kepala mereka tak ditutup dan membiarkan rambut dipotong pendek. Setiap perempuan telinganya dilubangi dan diselipi benda selebar empat jari. Selain itu pada tulang rawan telinganya terdapat juga lubang-lubang kecil yang diselipi bunga-bunga. Mereka mengenakan gelang tembaga, timah putih, atau perak. Beberapa di antara mereka juga mengenakan cincin di jari manisnya. Agar tubuhnya wangi, para perempuan biasanya menumbuk rempah wangi dan merendamnya dalam air, seperti batang lidah buaya, cendana, dan jeruk purut. Mereka menggosokkan bahan-bahan itu ke bagian tubuh. Para gadis kalau tidak diikat rambutnya di belakang kepala, mereka berambut pendek. Sehingga membuat mereka sulit dibedakan dari lelaki, kecuali karena buah dadanya. Sementara itu, pejelajah Inggris lainnya, William Dampier pada 1688 memberikan gambaran sedikit berbeda. Katanya, masyarakat Aceh yang berkedudukan tinggi biasanya memakai kupiah di kepala dari kain wol berwarna merah atau warna lain. Mereka memakai celana pendek. Bangsawan memakai sepotong kain sutera yang longgar di atas pundak. Sementara rakyat kecil telanjang dari pinggang ke atas. Mereka juga tidak memakai kaos kaki atau sepatu. Hanya orang kaya yang memakai sandal. Penari Dalam dunia hiburan, dandanan para penarinya pun begitu semarak. Penari perempuan misalnya, sebagaimana diungkapkan Augustin de Beaulieu. Di atas rambut mereka ada sebentuk topi yang terdiri dari gulungan emas dengan jambul-jambul sepanjang 1,5 kaki juga dari gulungan emas. Topi itu ditelengkan ke sebelah telinga. Mereka memakai anting-anting besar yang juga terdiri dari untaian emas. Untaian itu menggantung hingga bahu. Bahunya ditutupi sejenis hiasan ketat yang melingkari leher dan melebar membentuk lidah lancip melengkung seperti gambaran sinar matahari. Seluruhnya dari lempeng emas yang diukir aneh sekali. Di tubuh bagian atasnya, mereka mengenakan kemeja atau baju dari kain emas dengan sutera merah yang menutupi dada dengan ikan pinggang besar yang sangat lebar. Bahannya dari untingan-untingan emas. Pinggul mereka diikat ketat dengan selajur kain emas, sebagaimana kebiasaan di negeri itu. Di bawahnya, celana juga dari kain emas. Panjangnya tak lebih dari lutut. Di bagian bawahnya digantungi beberapa kerincing emas kecil. Lengan dan kakinya telanjang. Namun, dari pergelangan tangan hingga siku tertutup berbagai renda emas berpermata. Itu seperti juga di atas siku dan dari pergelangan kaki sampai betis. Di pinggang, masing-masing ada keris atau pedang yang pegangan dan sarungnya bertahtakan permata. Tangan mereka juga memegang kipas besar dari emas dengan beberapa kerincing kecil di pinggirnya. Bagi Beaulieu pakaian yang dikenakan gadis-gadis penari itu aneh, namun mereka sangat cantik. “Tak kukira ada yang seputih itu di negeri sepanas ini, sedangkan dandanannya belum pernah saya lihat sedemikian … sukar bagi saya menerangkannya, sebab seluruhnya dari emas belaka,” kata Beaulieu. Kuku dan Keris Rupanya, selain emas dan permata, orang-orang Aceh masa lalu juga menjadikan kuku sebagai tanda status sosial. Orang kaya bisa dibedakan dari rakyat biasa lewat kukunya. Seringkali orang kaya membiarkan kuku ibu jari dan kelingkingnya tumbuh panjang. “Ini tanda kalau mereka tak melakukan pekerjaan kasar dengan tangannya,” tulis Danys Lombard. Keris juga menambah kekuasaan bagi pemiliknya. Lombard mencatat, keris pada masanya merupakan lambang kekuasaan, selain cap. Tanpa keris, tak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah raja. Para pegawai istana membawa keris kalau menyambut orang asing untuk mengantar mereka menghadap raja. John Davis, seorang juru mudi Inggris, pada 1599 menjelaskan keris semacam badik yang mata dan pegangannya terbuat dari logam yang oleh raja dinilai lebih berharga dibanding emas. Pegangannya bertakhtakan batu-batu delima. Memakai keris sembarangan sangat dilarang dan terancam hukuman mati. Namun, jika raja yang memberikan keris itu, dengan hanya memegangnya dia mampu mengambil makanan tanpa membayar dan memerintah orang lain layaknya kepada budak. “Semua penjelajah atau hampir semuanya, memberi gambaran yang sama dari kekuasaan yang berkat keris itu melekat pada si pemakai,” tulis Lombard.*
- Kala Budak Memberontak
AKIBAT jatah kain pembagian VOC-nya dicuri, seorang budak terpaksa tidur di pojokan pekarangan. Nahas, seorang komandan tentara melihat budak itu dan mengira dia telah menjual jatah kain pembagian yang diberikan saban enam bulannya itu untuk mabuk-mabukan. Alhasil, si budak kemudian mendapat hukuman cambuk hingga kulitnya mengelupas. Dua hari kemudian, dia tewas. “Kurasa, selama dua hari kehabisan kekuatan ia tak pernah merasakan derita yang lebih besar daripada yang ditimbulkan dengan siksaan ini,” tulis Jean Baptiste Tavernier dalam memoar yang dihimpun Bernard Dorleans, Orang Indonesia dan Orang Prancis. Catatan Tavernier hanyalah satu dari sekian banyak catatan orang Eropa yang menggambarkan kekejaman tuan kulit putih terhadap budak dan pelayan mereka. Para budak sering menjalani hukuman berat dari majikan karena satu kesalahan kecil. Kebanyakan meninggal dalam kondisi kekurangan gizi, tak mendapat tempat tinggal layak, dan kekurangan pakaian. Hanya sedikit budak yang beruntung, dibebaskan karena belas kasihan pemiliknya setelah si budak memeluk Kristen atau setelah majikannya meninggal. Perlakuan buruk majikan terhadap budak lelaki biasanya berujung pada dua hal: kabur atau mengamuk dan berontak kepada majikan. Budak-budak mengamuk karena stres akibat beban kerja berlebihan dan siksaan yang kejam. Mereka biasanya mengacau dan mencoba membunuh siapapun yang ada di hadapannya. Beberapa budak sangat putus asa karena siksaan kemudian nekat memukul si majikan. Para pemilik budak, tulis Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun , menyimpan senjata yang mudah dibawa untuk melawan budak yang mengamuk. Sementara, para budak yang kabur biasa bersembunyi di hutan-hutan. Batavia kala itu masih dikelilingi hutan lebat sehingga memudahkan mereka melarikan diri. Mereka akan berjalan sejauh mungkin sampai ke luar kota. Banyak pelarian budak itu kemudian menjadi perampok sehingga menjadikan tempat-tempat di sekitar Batavia tak aman pada abad ke-17. Salah satu budak-perampok itu bahkan sampai menyerang pasukan Belanda di dekat Batavia pada 1684. Budak itu berasal dari Bali, bernama Surapati. Kekejaman perlakuan terhadap budak dan pemberontakan para budak yang mengikutinya menginspirasi Dick van Hogendorp membuat sandiwara Kraspoekol pada 1800. Sandiwara itu bercerita tentang seorang majikan perempuan Eropa yang memperlakukan para budaknya dengan buruk. Para budak kemudian bersengkongkol untuk membunuh si nyonya. Menurut sensus yang dilakukan VOC, hingga paruh terakhir abad ke-18 budak merupakan kelompok populasi terbesar. Hal itu membuat VOC khawatir kelompok ini akan berontak. Untuk mengantisipasinya, VOC membuat beberapa aturan. Antara lain, larangan mengambil orang Jawa sebagai budak karena mereka takut orang Jawa, suku terbanyak yang mendiami pulau Jawa, akan bersatu melawan orang Eropa. Untuk pekerjaan kasar, VOC lebih suka mengambil budak dari luar Jawa dalam jumlah besar. Pertimbangannya, VOC merasa lebih aman karena para budak dari tempat yang jauh dengan suku yang beragam memiliki kemungkinan kecil untuk bersatu. Mulanya, VOC mendatangkan budak-budak dari negara-negara di Asia Selatan yang memiliki jaringan dengannya. Namun ketika kekuatan melemah dan dirasa kurang efektif, VOC lebih memilih budak dari Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara pada abad ke-18. Namun karena adanya kasus perlawanan dari para budak, VOC kemudian membatasi pengiriman budak ke Batavia. Mereka tidak menerima budak laki-laki dewasa, orang Makasar dan orang Bali dihindari karena dianggap berbahaya. Setelah 1685, tidak ada budak berumur di atas 12 tahun dari kedua suku itu yang dibawa ke Batavia. “Dokumen-dokumen VOC mencatat tentang para budak yang mengamuk. Berbagai tindakan yang diambil VOC merupakan cerminan rasa takut orang Eropa terhadap para budak,” tulis Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia.
- Agar Perlawanan Yogya Didengar Dunia
SIRINE meraung-raung di atas Pasar Beringharjo, Yogyakarta pada Minggu (4/3/18) pagi. Penanda dimulainya serangan tentara republik itu langsung diikuti suara tembakan dan beraneka dentuman senjata berat. Para serdadu Belanda yang tak siap, langsung panik mendapat serangan dari berbagai pejuru kota. Pertempuran sengit itu membuat masyarakat yang tengah ber-Car Free Day di Maliboro langsung geger. Mereka penasaran. Banyak dari mereka mendekati sumber suara bahkan sampai melewati batas keamanan yang dijaga 150 personel Polda DIY. Kota Yogya dihumbalang perang. Namun, hanya perang dalam aksi teatrikal dan sosiodrama yang dihelat komunitas reenactor dari beragam kota, mulai Jakarta hingga Surabaya, bekerjasama dengan Komunitas Sejarah Djokjakarta 1945, Ikatan Keluarga Alumni Lemhanas, dan elemen TNI-Polri. Mereka menghelat acara tersebut untuk memperingati Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949. Acara teatrikal bertajuk “Jogja Mendunia” itu merupakan hasil rembukan Komunitas Djokjakarta 1945 dan pihak Museum Benteng Vredeburg. “Awalnya kita dan Museum Vredeburg punya tema masing-masing untuk diusulkan. Hasil rembukan ya menghasilkan tema itu,” kata Eko Isidianto, Ketua Komunitas Djokjakarta 1945, kepada Historia . Alasan mengapa tema itu dipilih adalah, adanya harapan agar publik Yogyakarta khususnya dan Indonesia umumnya bisa me-refresh ingatan akan pentingnya serbuan besar ke ibukota yang telah diduduki Belanda. “Kan memang serangan ini bukan kebetulan. Memang disengaja agar bisa didengungkan kepada dunia. Agar dunia tahu bahwa saat itu RI masih ada sebagai negara. Belum sirna sebagaimana yang dipropagandakan Belanda,” lanjut Eko. SO akhirnya mendunia karena banyaknya wartawan asing yang –sedang meliput kunjungan delegasi Komite Tiga Negara– memberitakannya. Meski Indonesia hanya mampu merebut Jogja selama enam jam, lewat SO Indonesia sukses mendapatkan tiga tujuan sekaligus: politis, strategis, dan psikologis. Dunia jadi tahu RI masih ada, rakyat pun kembali percaya pada perjuangan bersenjata. Walhasil, tekanan dunia kepada Belanda berhasil membawa negeri itu ke meja perundingan. Pada 29 Juni 1949, Yogyakarta kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Untuk membuat masyarakat bisa merasakan suasana tegang dari momen bersejarah itu, acara dibuat seotentik mungkin. Selain penggunaan sejumlah kendaraan tempur seperti tank AMX dan panser Anoa, para serdadu “dadakan” yang ikut aksi itu mengenakan seragam dan menggunakan beragam senjata yang sesuai masa SO 1 Maret. Empat dentuman senjata berat yang diikuti rangsekan “pejuang” republik ke dalam benteng mengakhiri visualisasi perebutan kembali ibukota itu. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DIY Umar Priyono, serangan tersebut menjadi gambagaran persatuan kuat antara TNI dan rakyat yang perlu dijaga karena belakangan muncul benih perpecahan akibat pihak-pihak tertentu. “Sejarah mengatakan saat itu penyerangan dilakukan tidak hanya oleh TNI, tetapi juga rakyat. Semoga semangat persatuan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini akan selalu terjaga dari waktu ke waktu,” katanya.
- M. Jasin, Jenderal Penantang Soeharto
SEJAK awal berkuasa pada 1970, Presiden Soeharto kerap membuat merana para pengeritiknya. Mulai dari mahasiswa, akademisi, bekas pegawai negeri, hingga mantan jenderal sekalipun dibuatnya tak berkutik. Namun dari sekian purnawirawan penentang Soeharto, bisa jadi M. Jasin termasuk jenderal yang mengalami nasib cukup nelangsa.
- Dramatis Tanpa Adegan Sadis
UNTUK kali kedua, peristiwa evakuasi sekira 400 ribu pasukan Sekutu dari Dunkerque (Dunkirk), sebuah kota kecil di pantai utara Prancis, pada 1940 naik ke layar lebar. Kali ini tanpa adegan berdarah-darah. Tak ada duel tangan kosong atau adu rentetan senjata. Bahkan sosok serdadu Nazi-Jerman nyaris tak dihadirkan. Film dengan tema dan judul yang sama pernah dibuat sutradara Leslie Norman pada 1958. Tapi, berbeda dari pendahulunya, sutradara Christopher Nolan ingin menggambarkan bagaimana pasukan Sekutu, terlebih Pasukan Ekspedisi Inggris (BEF), tengah berada di ujung tanduk dan nyaris dihancurkan Nazi-Jerman. Dia mengedepankan drama. Tiga Plot Film ini punya tiga plot yang terkait satu sama lain. Pertama, plot “The Mole” atau tanggul di pantai Dunkirk yang jadi tujuan pasukan Sekutu melarikan diri dari kejaran Jerman. Tommy (diperankan Fionn Whitehead), seorang prajurit Angkatan Darat (AD) Inggris, kelimpungan melewati beragam rintangan menakutkan untuk bisa pulang ke Inggris dengan selamat. Sama seperti serdadu Inggris lainnya, dia kelaparan, kehausan, dan harus menghindari desingan peluru Jerman. Selamat dari hujan peluru, Tommy tiba di pantai Dunkirk dan bertemu Gibson (Aneurin Barnard), prajurit AD Inggris lainnya. Gibson belakangan diketahui ternyata serdadu Prancis yang sengaja memakai seragam AD Inggris agar bisa ikut dievakuasi. Pasalnya, para perwira Inggris ingin mendahulukan tentara mereka, sebelum serdadu Sekutu dari negara-negara lain. Proses evakuasi di bibir tanggul itu dipegang Commander Bolton (Kenneth Branagh), perwira Angkatan Laut (AL) Inggris. Dari “kacamata” Bolton, penonton disajikan tragedi kapal-kapal Inggris yang kerap jadi mangsa pesawat pembom Jerman Heinkel He 111 dan torpedo-torpedo U-Boot atau kapal selam Kriegsmarine (AL Jerman). Serdadu-serdadu Inggris di pantai Dunkirk selalu “menyilangkan jari” setiap kali mereka disasar pembom tukik Stuka (Junkers Ju 87 Sturzkampfflugzeug). Namun mukjizat terjadi. Ketika kapal-kapal besar Inggris karam beserta ribuan serdadu di dalamnya ke dasar laut, muncul gelombang perahu, feri, hingga kapal berukuran sedang yang sebagian besar dikemudikan para pelaut sipil Inggris. Sorak-sorai serdadu Inggris di pantai membuncah. Kedatangan mereka jadi klimaks atas plot kedua, “The Sea”. Plot ini fokus pada tokoh Mr Dawson (Mark Rylance) untuk mendeskripsikan bagaimana pihak sipil Inggris tak berpangku tangan atas peristiwa Dunkirk, meski tetap enggan perahunya diambil-alih AL Inggris. Namun kengerian evakuasi belum berhenti sampai di situ. Dari “kacamata” Dawson pula, para pilot RAF (Angkatan Udara Inggris) berupaya mengamankan jalur evakuasi di Selat Inggris. Keseruan terjadi saat duel udara. Farrier (Tom Hardy) dan Collins (Jack Lowden) berhadapan dengan pesawat-pesawat pemburu Messerschmitt Bf 109 dari Luftwaffe (AU Jerman). Ini jadi titik klimaks plot ketiga, “The Air”. Collins jatuh di laut tapi diselamatkan Dawson dengan perahu. Sementara Farrier mendarat darurat di salah satu pantai Dunkirk yang dikuasai Jerman setelah pesawatnya kehabisan bahan bakar dan ditangkap. Nolan menutup film dengan menggambarkan bagaimana Tommy pulang ke Inggris dengan tetap dielu-elukan rakyat Inggris dan Commander Bolton yang tetap bertahan di tanggul pantai Dunkirk demi menunggu “jemputan” lain. Menengok Fakta Sejarah Barangkali tak salah jika Christopher Nolan menyebut film ini karya terbaiknya. Sejumlah situs kritik film rata-rata menyanjung karyanya. Sound illusion yang dihadirkan lewat beragam scene patut diacungi jempol. Dramatisasinya menyentuh penonton. Belum lagi pengambilan beberapa adegan riil di lokasi terbuka, bukan dengan green screen atau layar hijau. Menurut beberapa media Inggris, pengambilan gambar semacam itu menambah keintensitasan tempo, drama, dan tautan batin penonton. Terlepas dari itu, entah sengaja atau tidak, Nolan mengesampingkan beberapa fakta penting terkait evakuasi Dunkirk. Salah satunya soal penghentian ofensif Jerman di darat berlandaskan Halt Order dari Adolf Hitler. Hitler ingin mesin-mesin perangnya berhenti menguber pasukan Sekutu sampai ke bibir pantai demi memberi kesan baik dan bisa berdamai dengan Inggris. Hitler ingin berhenti sampai di Prancis agar bisa memusatkan ofensif besar berikutnya ke Uni Soviet. Sayang, Inggris menolak mentah-mentah niat Hitler. Nolan juga tak mengeksplorasi eksistensi pasukan Inggris asal India. Juga para serdadu Afrika dari negeri-negeri jajahan Prancis macam Tunisia, Maroko, dan Aljazair. Belum lagi nyaris tak ada kendaraan-kendaraan tempur Sekutu di pantai Dunkirk yang pada kejadian sebenarnya ditinggalkan demi mengefisiensikan evakuasi ratusan ribu serdadu. Pengesampingan itu sah-sah saja. Menjadi persoalan bila mengabaikan fakta sejarah. Itu terlihat pada keberadaan Laksamana Madya Bertram Ramsay dari AL Inggris. Di film, Ramsay berada di ujung tanggul, meski pada kenyataannya dia tak pernah menyeberang ke Dunkirk dalam proses evakuasi dan tetap berada di Dover. Nolan juga tak akurat. Yang cukup mencolok adalah adegan duel udara antara pesawat Spitfire milik RAF dan Messerschmitt kepunyaan Luftwaffe . Di film, hidung pesawat Messerschmitt Bf 109E bercat kuning. Padahal, saat evakuasi Dunkirk, Mei-Juni 1940, tak satu pun burung besi andalan Luftwaffe itu dicat kuning. “Penyeragaman” baru dilakukan sebulan setelah Dunkirk dan kemudian jadi ciri khas Messerschmit selama Perang Dunia II. Ketidakakuratan lainnya tampak dalam adegan seorang perwira memberikan hormat tanpa baret militernya. Sebuah laku menyimpang dari protokol kemiliteran, menurut para veteran Inggris. Toh, dengan menghabiskan dana USD150 juta, Nolan berhasil menyuguhkan drama yang tak biasa. Kekacauan dan kengerian peristiwa Dunkirk benar-benar terasa. Film ini lantas menjadi box office.
- Perayaan Hari Perempuan
SEJAK pukul 5.30, Isar, pengajar di Budi Luhur, sudah siap mengikuti lomba lari yang diselenggarakan IBCWE sebagai bentuk perayaan Hari Perempuan Sedunia. Dia mengikutinya karena mendukung kampanye Hari Perempuan untuk membentuk kultur egaliter antara lelaki-perempuan di tempat kerja. “Kesetaraan gender di tempat kerja sangat penting, supaya antar-rekan kerja bisa kerjasama dengan baik,” kata Isar. Pandangan serupa juga diutarakan Deva Mulia Warman dan Kartika, yang merupakan rekan sekantor di salah satu bank swasta asing. Menurut Deva, lelaki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuannya. “Di tempat saya bos perempuan juga banyak,” kata Deva. “Kita bisa bersaing secara sehat dan perempuan juga bisa memiliki jabatan tinggi,” kata Kartika menimpali. Ribuan orang adu lari di Epicentrum Epiwalk, Kuningan untuk memperingati Hari Perempuan Sedunia. Ada yang berlari sejauh 5 kilometer (km), ada pula yang 10 km. Lomba yang diikuti oleh berbagai kalangan, pekerja-mahasiswa, lelaki-perempuan ini merupakan kampanye IBCWE untuk membuat lingkungan kerja yang ramah perempuan. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran publik terhadap lingkungan kerja ramah perempuan dan menggalang dukungan untuk gerakan HeForShe. Kampanye HeForShe diprakarsai UN Women, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berdedikasi untuk masalah perempuan. “Kesetaraan gender tidak akan terjadi tanpa dukungan dan keikutsertaan laki-laki,” kata Suci Haryati, Communications Specialist IBCWE. HeForShe merupakan gerakan solidaritas yang mengajak laki-laki menjadi rekan sejajar dan sebagai agen perubahan untuk mewujudkan masyarakat egaliter. Pada perayaan Hari Perempuan kali ini, lomba lari dipilih sebagai simbol sportivitas dunia kerja. “HeForShe Run menjadi ajang bagi pelari untuk menyatakan bahwa mereka bersedia untuk bersikap sportif dan mendukung kesetaraan gender di dunia kerja dan pemberdayaan ekonomi perempuan,” kata Anne Patricia Sutanto, Ketua Pelaksana HeForShe Run yang juga Anggota Dewan Pembina IBCWE. Hari Perempuan Sedunia di Masa Lalu Hari Perempuan Sedunia yang diperingati tiap 8 Maret bermula dari aksi demonstrasi buruh perempuan di New York, Amerika Serikat pada 1857. Mereka menuntut kesejahteraan di tempat kerja dan kenaikan upah. Protes serupa muncul kembali di New York tahun 1908, ketika ribuan buruh menuntut pengurangan jam kerja dan hak politik mereka sebagai perempuan. Dua tahun setelah protes besar di New York, Clara Zetkin yang aktif di Partai Sosialis Jerman mengusulkan untuk menjadikan 8 Maret sebagai Hari Perempuan. Usulan itu diterima Konferensi Kaum Sosialis Internasional di Swis. “Usulan tersebut disepakati oleh para delegasi yang mewakili 17 negara dan dihadiri lebih dari 100 peserta perempuan,” tulis Umi Lasminah dalam “8 Maret Hari Perempuan Internasional” yang dimuat Wartafeminis.com. Di Indonesia, perayaan Hari Perempuan Sedunia hanya diperingati oleh beberapa organisasi perempuan. Di awal Indonesia merdeka, 8 Maret tak sepopuler sekarang. Tahun 1950-an justru organisasi-organisasi perempuan sosialis yang merayakan 8 Maret. Bahkan Kongres Perempuan Indonesia KWI baru memperingati 8 Maret pada 1966. “Tahun 1952 Gerwani mengajak organisasi perempuan lainnya untuk ikut serta merayakan Hari Perempuan tanggal 8 Maret,” tulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Pengahancuran Gerakan Parempuan di Indonesia . Tuntutan perempuan soal pemenuhan hak mereka pun disuarakan tiap perayaan Hari Perempuan Sedunia. Pada peringatan tahun 1954, misalnya, para perempuan menekankan tuntutan pada hak dalam perkawinan, moralitas, serta masalah lain yang dihadapi perempuan. Sedangkan pada 8 maret 1961, Wanita Komunis (Wankom) menyatakan kaum wanita Indonesia harus memperkuat persatuan dengan kaum buruh dan tani anti-feodal. Meski berbagai suara perempuan tentang upaya penghapusan diskriminasi sudah suarakan pada Hari Perempuan Sedunia sejak lama, hingga kini kesetaraan gender di Indonesia masih sangat rendah. Indonesia menempati posisi ke-88 dari 144 negara dalam hal kesetaraan gender.
- Lima Jenderal yang “Dimatikan” Soeharto
MESKI cenderung menghindari konflik terbuka, Soeharto beberapa kali terlibat konflik baik sejak masih jadi opsir maupun setelah jadi presiden. Ada yang selesai dalam waktu sebentar, tapi tak sedikit yang berbuntut panjang.
- Wahabisme di Cina
GERAKAN pemurnian Islam ( al-harakah al-tandhifiyah al-Islamiyah ) dalam mazhab Hanbali di Arab Saudi dimotori Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) sejak pertengahan abad ke-18. Gerakan Wahhabi atau Wahabisme ini menjalar ke Cina yang mayoritas muslimnya bermazhab Hanafi pada akhir abad ke-19 melalui seorang ulama dari suku Dongxiang keturunan Mongol bernama Ma Wanfu.
- Feminis Rasis
MERASA ada yang salah dengan daftar nama calon anggota perempuan Dewan Rakyat (Volksraad) yang diusulkan Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht (VVV), Nyonya Datoe Toemenggoeng langsung mengeluhkannya. Daftar itu hanya memuat nama calon yang merupakan perempuan kulit putih. Nyonya Toemenggoeng kemudian mengusulkan agar VVV mencalonkan juga perempuan-perempuan dari berbagai organisasi perempuan Indonesia. Tapi, usulan itu tak didengar. Nyonya Datoe Toemenggoeng keluar dari VVV tak lama kemudian. Ketidakpedulian pimpinan VVV menunjukkan adanya ambivalensi dalam sikap dan perjuangan perempuan Belanda terhadap hak pilih perempuan di negeri jajahan. Meski berupaya memperjuangkan hak pilih perempuan, di saat bersamaan mereka memandang rendah perjuangan perempuan Indonesia. Hal itu terlihat dari pandangan pemimpin VVV Nyonya M. Nittel-de Wolff van Westerode dalam tulisannya di tahun 1917, “Doel en Atreven van de Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht”. Menurutnya, seperti dikutip Elsbeth Locher-Scholten dalam Women and the Colonial State, “Jika 'orang pribumi yang tidak berpendidikan' memperoleh hak politik, apa lagi wanita Eropa yang terpelajar?” Pandangan rasis juga terlontar dari anggota terhormat VVV Ny. M. Stibbe-Knoch. Ketika berdebat untuk calon anggota Volksraad tahun 1934, dia mengatakan bahwa perempuan pribumi tidak berpendidikan sehingga menjadi anggota Dewan Rakyat adalah hal yang sulit. Dalam beberapa kesempatan, mereka kerap menyebut diri sebagai penyelamat peradaban. Maka ketika merespon realita adanya perempuan pribumi yang maju, semisal Kartini, mereka pasti menitikberatkan pada pendidikan Barat dan perempuan Eropa yang jadi sahabat pena Kartini, bukan pada pemikiran Kartini. Para feminis Eropa berpendapat, perempuan pribumi terbelakang karena pemikirannya didominasi agama dan adat. Hal itu menyalahi realita kala itu bahwa sudah banyak perempuan pribumi mengenyam pendidikan tinggi dan berprofesi sebagai guru, dokter, atau pengacara serta aktif dalam gerakan perempuan. Beberapa perempuan pribumi bahkan berpendidikan lebih tinggi ketimbang anggota VVV. Maria Ulfah, misalnya, dengan gelar sarjana di bidang hukumnya dari Universitas Leiden jelas membuatnya berpendidikan lebih tinggi dari Cornelia Metzer, anggota perempuan pertama Volksraad asal VVV, yang hanya mengenyam sekolah guru. Menurut Elsberth, penyataan dan sikap para feminis Eropa menunjukkan adanya prasangka rasial dan pemeliharaan prestis orang kulit putih. “Wanita Eropa yang progresif dalam perilaku mereka di satu sisi menunjukkan sikap kolonial. Meskipun secara eksplisit mereka tidak membatasi hak pilih hanya untuk perempuan Eropa, pernyataan dan argumentasi mereka meninggalkan sedikit ruang untuk hak perempuan Indonesia,” tulis Elsbeth. Pandangan dan sikap para feminis Eropa itu datang dari minimnya pengetahuan mereka terhadap perempuan pribumi. Di sisi lain, mereka sangat berani menyimpulkan. Hasilnya, mereka membuat kesimpulan amat sembrono yang menjadi dasar tindakan mereka. Alhasil, sikap berat sebelah kerap mengiringi perjuangan mereka. Sikap berat sebelah itu antara lain ditunjukkan saat VVV mengajukan usulan anggota Dewan Rakyat. Lantaran mendapat protes dari Nyonya Datoe Toemenggoeng, yang merupakan pribumi, VVV tak mau mendengar. Sehingga, Nyonya Datu pun keluar. “(Keluarnya Datu Tumenggung, red .) mungkin karena perbedaan pendapat antara dia dan anggota VVV tentang posisi perempuan Indonesia dalam VVV,” tulis Elsbeth. Hubungan Tegang dengan Gerakan Perempuan Indonesia Sejak bersatu di Kongres Perempuan Indonesia (KPI), gerakan perempuan Indonesia tak pernah ambil pusing dengan keberadaan VVV. Hubungan kedua organisasi perempuan itu sangat berjarak. “Kebanyakan anggota VVV memandang rendah saudari pribumi yang dianggap kurang tercerahkan. Cara pandang mereka pun sangat konservatif, mencerminkan masyarakat Eropa di Hindia pada akhir 1920-an dan 1930-an,” kata Susan Blackburn dalam Women and the State in Modern Indonesia. Terlepas dari progresifnya feminisme di Eropa, feminisme di Hindia-Belanda yang dijalankan para feminis Belanda masih rasis. Sebagian karena para feminis bagian dari sayap kanan politik kolonial. Pemimpin VVV berafiliasi dengan Vaderlandsche Club (VC), partai sayap kanan ultra-konservatif yang mayoritas anggotanya pro pemerintah kolonial. Hal itu membuat hubungan VVV dan gerakan perempuan Indonesia terus tegang karena sebagian anggota KPI adalah sayap organisasi nasionalis. Pada 1928, VVV tak bisa menghadiri Kongres Wanita Indonesia pertama meski amat ingin hadir. Penyelenggara kongres tidak menghendaki kehadiran perwakilan VVV. Ketua VVV Sophie van Overveldt-Biekart amat menyayangkan penolakan itu. Menurutnya, gerakan perempuan Indonesia bisa belajar dari organisasi perempuan Eropa karena mereka merasa lebih berpengalaman terkait pergerakan perempuan. “Sejalan dengan partai politik Eropa konservatif, feminis kolonial Belanda menampilkan dirinya terlibat penuh dalam proyek kolonial…. Dengan demikian tidak ada alasan sama sekali untuk solidaritas perempuan,” tulis Elsbeth.
- Meneropong Jejak Konflik di Tanah Rencong
BERBEKAL janji yang sudah dibuat sejak jauh hari, Siti Rahmah berangkat ke rumah Bambang Darmono di Cikeas, Bogor. Sempat menunggu, dia akhirnya bertemu tuan rumah yang datang terlambat. “Rumah SBY sebelah sana, nggak jauh dari rumahku,” kata Rahmah menirukan ucapan Bambang, ketika berbicara dalam peluncuran bukunya, Jejak Setapak di Tanah Rencong (berikutnya disebut Jejak Setapak ) , Rabu (28/2/18) sore di The Atjeh Connection, Sarinah, Jakarta Pusat. Bambang merupakan panglima Komando Operasi TNI di Aceh sewaktu provinsi paling barat Indonesia itu ditetapkan Darurat Militer pada 2003. Dari Bambang, Rahmah ingin mengorek informasi tentang konflik Aceh dan penyelesaiannya versi TNI. Dan, Rahmah mendapatkannya. Tulisan tentang Aceh semasa konflik dan persahabatan Rahmah dengan sang jenderal menjadi satu dari sekian tulisan di buku tersebut. Bambang hanyalah “minoritas” di buku kumpulan tulisan Rahmah. Mayoritas narasumber dalam tulisan-tulisan Rahmah di buku tersebut adalah “orang-orang kecil”, mulai dari pasukan dan pemasok senjata GAM, Inong Balee (pasukan perempuan GAM), kurir, aktivis penyelesaian konflik Aceh, hingga penerjemah GAM. “Buku Rahmah bercerita tentang orang-orang biasa. Bukan orang besar. Peristiwa-peristiwa kecil dan orang-orang kecil,” kata Budi Setiyono, penyunting Jejak Setapak , yang juga menjadi pembicara di acara itu. Selama 10 tahun sejak 2008, Rahmah melakukan riset mendalam, menemui orang-orang yang terlibat dalam konflik, dan melakukan pendekatan secara personal. “Ketemu dulu, ngobrol ringan, dapat banyak cerita lalu saya bilang, ‘gimana kalau saya tulis jadi buku?’, kemudian mulai menulis,” kata Rahmah. Ide penulisan Jejak Setapak tidak muncul begitu saja. Bermula dari diskusi ketika dia menjadi peneliti program conflict and development di Bank Dunia, Rahmah lalu terjun ke lapangan, bertemu dengan masyarakat korban konflik. Dari situ ia mulai tertarik menulis tentang mereka. Jejak Setapak memuat 19 tulisan. Sebagian pernah dipublikasikan di media massa, terutama di pantau.or.id . Rahmah memberi porsi besar pada kisah para perempuan dalam konflik Aceh. Cut Farah Meutia atau Farah, misalnya. Dia beserta 20-an teman sesama anggota Perempuan Merdeka menolak kehadiran TNI di Aceh dan menuntut penyelesaian konflik Aceh secara damai. Mereka berdemonstrasi ketika Megawati datang ke Aceh, 8 September 2001. Kegiatan Farah ini menarik simpati pemimpin GAM dan memintanya memberi pengetahuan politik untuk InongBalee . Integritas Farah membuatnya terpilih sebagai peninjau sipil, mewakili Perempuan Merdeka, di perundingan Tokyo, Mei 2003. Farah tak pernah menduga dirinya bakal menjadi penentu dalam perundingan itu. Para anggota delegasi GAM lepas tangan dalam menentukan keputusan akhir, apakah akan menerima otonomi khusus yang disodorkan delegasi Indonesia atau menolak dengan risiko diserang, dan memasrahkannya pada Farah dan Erwanto. Erwanto pun kemudian melemparkannya pada Farah. “Karena keputusan dimandatkan ke tangan saya, posisi saya seperti simalakama. Jika saya mengatakan otonomi, saya akan diklaim sebagai pengkhianat sepanjang masa oleh GAM dan juga rakyat Aceh. Jika saya ambil keputusan untuk berperang, tentunya itu bukan kapasitas saya,” kata Farah membatin. Sambil terus diburu waktu yang hanya 10 menit, Farah terus menimbang-nimbang. Dia akhirnya mengambil sikap ketika waktu untuk menyatakan keputusan tiba. “Kita siap berperang melawan Indonesia sampai kapanpun,” kata Farah kepada mediator dari Henry Dunant Centre. Perundingan pun gagal. Indonesia menjawab keputusan delegasi GAM, yang dibuat Farah, dengan memberi status Darurat Militer untuk Aceh. Pertumpahan darah kembali terjadi. Bersama perang, beragam cerita lahir dan mengiringi. Perempuan Merdeka, oraganisasi yang didirikan Farah bersama temanny,a lahir di tengah konflik. “Perempuan Aceh pada masa konflik sangat kuat. Banyak perempuan Aceh yang saya temui sangat berani dan perempuan di garis depan. Dari dulu sangat berani,” kata Rahmah. Rahmah juga mewawancara Abdullah Puteh yang kala konflik menjadi Gubernur Aceh. Puteh punya peran penting dalam penyelesaian konflik Aceh, penghubung antara pemerintah RI dan GAM. “Rahmah menulis sesuatu di tengah konflik. Banyak peristiwa-peristiwa lain yang tidak diketahui dan perlu digali lagi,” kata Puteh yang juga hadir di peluncuran buku. Tapi, tidak seluruh isi buku Rahmah membahas tentang konflik Aceh. Ada pula pembahasan lain, seperti kesenian Aceh. “Saya meyayangkan buku ini tidak ada indeksnya. Tapi Rahmah memotret semua dimensi di Aceh. Potret dinamika masyarakat Aceh, tsunami, konflik, maupun perdebatan masalah perdamaian Aceh. Kebaruannya tidak lepas meski rentang waktu 10 tahun,” kata Irine Gayatri yang juga menjadi pembicara. Rahmah mengajak pembaca mengikuti jejaknya menelusuri konflik Aceh. Dengan sangat dekat, dengan gaya bercerita yang membuat pembaca merasa hadir bersama Rahmah.
- Nasib Jenderal Pembangkang di Era Soeharto
DI ujung senjanya, Jenderal TNI Abdul Haris Nasution masih mendapat perlakuan tak menyenangkan meski di tengah suasana dukacita. Kala melayat mantan koleganya Jenderal T.B. Simatupang yang wafat pada 1 Januari 1990, Nasution dengan kasar didorong ke luar ruangan jenazah oleh para pengawal Soeharto. Waktu itu, Presiden Soeharto memang akan tiba juga untuk melayat.





















