top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Cerita Sedih dari Bukittinggi

    BUKITTINGGI, 2008. Pagi baru saja menyeruak, ketika Sutan Iskandar berdiri mematung tepat di bawah Jam Gadang. Matanya seolah menyapu pemandangan sekeliling. Angin bulan Desember berdesir lembut, mengarahkan hawa sejuk pegunungan ke pori-pori tubuh. Dalam wajah sendu dan bibir agak gemetar, mulut Iskandar nampak komat-kamit membaca sebait doa. “Semoga ninik mamak kita yang sudah berpulang dan menjadi korban perang saudara di masa lalu diterima di haribaan Allah Subhanahu wa Ta'ala . Amiiinnn…” ujarnya, nyaris tak terdengar. Sutan Iskandar masih berusia 12 tahun ketika kejadian itu berlangsung. Dengan mata kepalanya sendiri, dia menyaksikan tentara-tentara pusat (sebutan orang-orang Minang saat itu kepada tentara pemerintahan Sukarno) menggiring ratusan orang dalam kelompok-kelompok kecil ke sekitar monumen Jam Gadang. Mereka mayoritas adalah laki-laki. “Selanjutnya saya tidak menyaksikan lagi mereka diapakan, tapi memang saya mendengar tembakan berkali-kali dari arah Jam Gadang,” kenang lelaki kelahiran Bukittinggi pada 1947 itu. Apa yang terjadi di ranah Minang saat itu? Tersebutlah PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang dicetuskan oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein (tokoh pejuang kemredekaan Sumatera Barat) pada 10 Februari 1958 di Padang. Gerakan ini sejatinya menurut sejarawan R.Z. Leirissa dalam PRRI Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis adalah koreksi politik terhadap pemerintahan Presiden Sukarno yang dianggap berat ke sebelah kiri. Alih-alih menerima dengan lapang dada, kritik dan tawaran untuk membubarkan kabinet Djuanda, Presiden Sukarno malah memerintahkan tentara untuk menyerang Sumatera Barat. Maka diadakanlah Operasi 17 Agustus yang diluncurkan pada 17 April 1958, dipimpin oleh Kolonel Achmad Yani dengan mengirimkan pasukan ke wilayah-wilayah Sumatera Barat. Sejak itulah ranah Minang dibekap perang saudara yang memilukan. Saya sendiri baru menulis kembali kisah sedih itu hari ini. Ketika kali pertama saya mendengarnya dari mulut Iskandar 11 tahun yang lalu, saya hanya menyimpan data sejarah tersebut dan belum sempat mengkonfirmasinya ke dokumen-dokumen atau buku-buku tentang gerakan PRRI. Hingga beberapa hari lalu saya menemukan sebuah buku berjudul PRRI: Pemberontakan atau Bukan?  hasil riset seorang guru jebolan fakultas sejarah Universitas Negeri Padang bernama Syamdani.   Dalam buku itu putra kelahiran Minang tersebut, menukil sebuah artikel yang pernah dimuat surat kabar Singgalang pada 20 Januari 2000 berjudul "Tragedi di Bawah Jam Gadang, Pasukan A. Yani Bunuh 187 Orang". Di artikel itu disebutkan dari jumlah 187 orang yang dibunuh hanya 17 orang yang teridentifikasi sebagai gerilyawan PRRI, sedangkan 170 lainnya adalah rakyat sipil yang belum tentu terlibat dalam gerakan itu. Rupanya apa yang diceritakan oleh Sutan Iskandar kepada saya 11 tahun lalu bukanlah isapan jempol semata. Selain Insiden Jam Gadang, pembunuhan, penyiksaan dan teror pun banyak dialami oleh rakyat Sumatera Barat kala itu. Betti Yusfa dalam sebuah makalah yang dikeluarkan oleh IKIP Padang pada 1998, "Kekerasan dalam Zaman PRRI di Tlatang Kamang 1958-1961", menuliskan kisah pilu keluarga seorang ulama asal Kamang bernama Kari Mangkudung. Dari hasil wawancara Betti dengan seorang tokoh masyarakat di Kamang, Z. Sutan Kabasaran, dituturkan bagaimana keluarga Kari Mangkudung musnah dibantai tentara pusat. “Mereka hanya menyisakan seorang bayi berusia tiga bulan yang kemudian dibawa seorang tentara pusat dan sampai sekarang tidak diketahui lagi di mana rimbanya,” ungkap Sutan Kabasaran seperti dikutip oleh Betti dalam makalahnya. Betti juga mengungkap insiden di Desa Bansa pada 1959. Dari saksi sejarah bernama M. Datuk Manindieh dikisahkan tentang kisah sedih tiga pemuka masyarakat Desa Bansa bernama Datuk Kabasaran, Datuk Beco dan Datuk Alam. Tanpa sebab musabab, ketiga orang tua yang tak berdaya itu diperintahkan jalan ke Desa Pauh (berjarak 4 km dari Bansa) sambil diiringi oleh sekelompok tentara pusat. Begitu sampai di Desa Pauh, para tentara itu menyuruh ketiga orang tua tersebut mendaki sebuah bukit. Sambil terseok-seok, ketiganya menuruti apa yang diperintahkan oleh para prajurit tersebut. Alih-alih dibebaskan, ternyata ketiganya hanya menjadi sasaran latihan tembak. “Dari jarak yang cukup jauh, tentara pusat menembaki mereka satu persatu hingga mayat-mayat ketiganya bergulingan ke kaki bukit,” ungkap Datuk Manindieh. Teror juga dilakukan oleh tentara pusat terhadap orang-orang Kuala Tangkar. Kesaksian seorang penduduk bernama Sanur dalam surat kabar Singgalang , 2 Februari 2000, menyebutkan bahwa pernah karena orang-orang Kuala Tangkar dianggap pro-PRRI, mereka menyerang desa itu dengan mengerahkan empat tank baja. “Tank-tank itu menghujani rumah-rumah penduduk dengan peluru-peluru secara membabi buta hingga musnah terbakar,” ungkap Sanur. Pembantaian massal juga pernah dilakukan tentara pusat pada November 1959 di Kamang. Pada hari Senin saat diadakan hari pakan/pasar, sejak pukul 7 pagi, tak hentinya tentara pusat mengirimkan peluru-peluru mortir dari Bukittingi. Tak cukup dengan menggunakan mortir, artileri berat dari Angkatan Darat pun ikut berbunyi disusul dengan serangan udara dari sebuah pesawat tempur. Akibatnya banyak rakyat bersimbah darah. Teror pun dilakukan dengan mengumpulkan anak-anak dan perempuan. Mereka kemudian diinterogasi satu persatu dan disuruh mengaku bahwa suami-suami mereka terlibat dalam gerakan PRRI. Kemudian aksi-aksi identifikasi dilkukan oleh tentara pusat dengan memberi tanda silang besar pada rumah-rumah yang dicurigai salah satu anggota keluarganya terlibat dalam gerakan PRRI. “Zaman itu adalah zaman yang penuh kesedihan, tak ada orang Minang yang hidup saat itu segera bisa melupakannya,” kata Sutan Iskandar, masih terngiang  begitu jelas di telinga saya.

  • Berburu Kesenangan di Pagelaran Rakyat Jakarta

    SORE itu Jakarta Internasional Expo (JIEXPO) di Kemayoran terlihat diserbu oleh ribuan orang. Mereka silih berganti berdatangan. Jakarta Fair Kemayoran (JFK) 2019, perayaan tahunan di ibu kota RI tersebut, adalah salah satu tujuan.  Farizi Fatwa (24), adalah salah seorang dari pengunjung . Antrian yang mengular di pintu masuk tidak menajadi soal baginya untuk ikut larut menikmati JFK 2019 ini. “Seumur hidup saya belum pernah mengunjungi PRJ. Karena promosi besar-besaran di media massa dan pemerintah akhirnya saya tertarik untuk datang ke sini,” ucap Farizi kepada Historia . Terlahir dari ide  Ali Sadikin (salah satu gubernur DKI Jaya yang terkemuka), Jakarta Fair menjadi pagelaran tahunan masyarakat ibu kota. Digelar pertama kali pada Juni 1968, festival rakyat ini diberi nama ‘Djakarta Fair’. Bang Ali, sapaan akrab Ali Sadikin, ingin menghidupkan kembali pasar malam yang pernah digelar masa Belanda di Jakarta (sebutannya masih Batavia kala itu). “Saya ingat, dulu semasa kecil ada Pasar Gambir. Itu merupakan keramaian yang menyenangkan,” kenang Ali Sadikin dalam biografinya, Bang Ali: Demi Jakarta . Gelaran Pasar Gambir dilakukan sebagai bentuk perayaan atas hari kelahiran Ratu Wilhelmina dan penobatannya sebagai Ratu Belanda pada 1921. Dalam perayaan itu disajikan banyak hiburan untuk masyarakat Batavia. Dalam buku Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan 1882-1959 karya Tio Tek Hong, sulap, komidi putar, dan American Carnaval Show menjadi acara yang paling diminati. Permainan panjat-panjatan juga menarik banyak perhatian pengungjung karena hadiah yang ditawarkan. Perayaan Pasar Gambir terhenti pada masa pendudukan Jepang. Setelah itu tidak ada lagi gagasan tentang festival rakyat ini. Barulah pada 1953, pemerintah kotapraja Jakarta menggelar acara bertajuk Pekan Raya Nasional. Masih di tahun yang sama, pemerintah Indonesia juga mengadakan sebuah perayaan yang dinamai Pekan Raya Internasional. Namun sayang kedunya hanya bertahan dua tahun. Tak ada lagi perayaan di Jakarta, baik bersakala nasional maupun internasional. Gagasan membangkitkan pekan raya di Jakarta kembali muncul pada 1968. Pemerintahan Bang Ali saat itu merasa kebutuhan perayaan semacam ini sudah mendesak di ibu kota. “Selain sebagai wadah promosi industri dan perdagangan, pekan raya juga dimaksudkan untuk menambah tempat-tempat hiburan yang sehat bagi warga kota,” tulis Ali Sadikin dalam Gita Jaya: Catatan H. Ali Sadikin . Setelah melalui berbagai persiapan, Djakarta Fair –selanjutnya dikenal sebagai ‘Pekan Raya Jakarta (PRJ)’ –yang pertama terselenggara pada 15 Juni 1968, sebagai bagian dari kemeriahan HUT Kota Jakarta ke-441. Acaranya berlangsung selama 30 hari. Sebagai penyelenggara, pemerintah Jakarta bekerja sama dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jaya membentuk sebuah kepanitiaan. Lokasi yang dipilih untuk acara utama adalah bagian selatan Lapangan Monas, di areal seluas kira-kira 11 hektar. Terdapat 161 peserta, terdiri dari pengusaha dalam dan luar negeri, serta pemerintah daerah, yang mengisi booth dalam acara tersebut. Antusiasme yang tinggi dari masyarakat membuat pemerintah Jakarta segera menetapkan PRJ sebagai acara tahunan. Melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah tanggal 16 Desember 1968 No. Jb.3/3/28/1968 tentang Pembentukan Yayasan Penyelenggara Pekan Raya Jakarta, didirikan badan kepanitiaan tetap perayaan tersebut. Pada perjalanannya, PRJ terus mengalami perubahan. Baik itu dalam isi acara yang dihadirkan, maupun jenis hiburannya. Tercatat pada perayaan tahun 1969, panitia menambah waktu penyelenggaraan menjadi 71 hari. Keputusan itu diambil setelah melihat sambutan yang begitu tinggi dari masyarakat pada gelaran sebelumnya. Tapi setelah itu acara tidak pernah digelar lebih dari 40 hari. Walau terus berubah, ada yang tetap dipertahankan dalam gelaran PRJ, yakni sebagai pusat kegiatan ekonomi dan sebagai pusat hiburan rakyat. Keduanya menjadi fondasi utama pagelaran rakyat di Jakarta, baik saat perayaan Pasar Gambir, Pekan Raya Nasional, Pekan Raya Internasional, hingga Pekan Raya Jakarta. Hal itulah yang terlihat pada JFK 2019 ini. Ada lebih dari 200 booth perusahaan besar dan kecil, mulai dari fashion, kuliner, furniture, elektronik, hingga otomotif yang meramaikan acara tahun ini. Mereka menghadirkan ribuan produk unggulannya dengan harga yang cukup terjangkau. Tidak lupa, diskon besar pun dipampang untuk menarik perhatian para pengunjung. Jika pada awal kehadirannya para pengunjung dikenakan tarif Rp25 (dewasa) dan Rp5 (anak-anak), tahun ini biaya masuknya sebesar Rp25.000 sampai Rp40.000. Setiap harinya JFK akan diramaikan dengan berbagai pertunjukan, baik musik maupun budaya di dua panggung utama yang dipersiapkan. Tidak hanya bagi dewasa, anak-anak pun terlihat sangat menikmati setiap acara yang disuguhkan JFK. Areal Gambir Expo, Kids Area dan Wara-Wiri menyediakan banyak booth rekreasi yang mampu menghibur mereka. Ada lempar bola, panahan, Bianglalaa, Snow Park, dan lain sebagainya yang aman untuk dimainkan. Berbagai fasilitas yang disediakan dalam pagelaran JFK 2019 ini sudah baik. Pengunjung tidak perlu khawatir kesulitan mencari toilet. Bahkan tempat ibadah pun tersedia di banyak tempat. Namun sayang sejauh yang saya lihat, panitia penyelenggara tidak tersebar secara merata. Banyak tempat yang tidak mendapat penjagaan dari panitia, sehingga agak sulit untuk menemukan mereka.

  • Lelucon Long March Siliwangi

    BEGITU Belanda menyerang ibu kota Yogyakarta pada 19 Desember 1948, atas perintah Pang lima Besar Jenderal Soedirman, prajurit-prajurit dari Divisi Siliwangi bergerak kembali ke Jawa Barat. Selama perjalanan panjang ( long march ) menempuh jarak sekitar 600 km tersebut, banyak halangan yang menghadang mereka termasuk serangan tentara Belanda dan medan yang berat. Suatu hari, Batalion Kala Hitam yang dipimpin oleh Mayor Kemal Idris tengah bergerak menuruni Gunung Ijen. Untuk mencapai kampung terdekat, mereka harus melewati hutan lembab yang banyak dipenuhi pacet. Itu sejenis lintah yang hidup di wilayah lembab nan dingin. Untuk menghindari gigitan pacet, mereka mempergunakan tembakau yang dibasahi lalu digosokan ke badan dan kaki. “ Walaupun pacet tidak berbahaya, tetapi banyak orang merasa geli melihat lenturan tubuh pacet …” ujar Kemal Idris dalam otobiografinya: Bertarung dalam Revolusi. Salah satu perwira bawahan Kemal Idris ternyata memiliki rasa jijik yang luar biasa terhadap binatang melata itu. Kendati seluruh tubuhnya sudah dilumuri tembakau, namun ketegangan masih mewarnai wajahnya saat pasukan mulai memasuki hutan lembab tersebut. Satu menit, dua menit hingga setengah jam, perjalanan masih aman. Namun begitu memasuki waktu satu jam, tiba-tiba terdengar letusan pistol. Semua anggota pasukan kontan berlindung dan mengokang senjata, siap melakukan pertarungan maut. Setelah diselediki, ternyata pelepas tembakan pistol tersebut adalah letnan yang sangat jijik terhadap pacet-pacet itu. Rupanya saat seekor pacet hinggap di sepatunya, tanpa berpikir panjang ia mengeluarkan pistol dan menembaki pacet malang  tersebut. Akibatnya sungguh fatal: bukan sang pacet hancur lebur namun kaki sang letnan pun ikut terluka akibat tembakan sendiri. “ Kejadian itu akhirnya menjadi bahan lelucon saat tiba di markas kami di Cianjur…” ujar Kemal. Lain kisah Kemal, lain pula kisah J.C. Princen, serdadu Belanda yang membelot ke kubu Indonesia dan ikut long march bersama Bataliyon Kala Hitam. Princen bercerita, suatu hari rombongan  Yon Kala Hitam sampai di suatu desa yang kosong namun minim makanan. Rupanya, makanan yang ada di desa tersebut telah habis diberikan kepada rombongan long march terdahulu dari pasukan-pasukan Divisi Siliwangi lainnya. Satu-satunya bahan mentah yang bisa didapat di sana hanyalah ikan-ikan mas yang bertebaran di sebuah kolam besar. Mereka lantas mengambil ikan-ikan tersebut dan mengolahnya di dapur umum. Singkat cerita, masakan ikan mas sudah matang dan dihidangkan. Semua anggota Yon Kala Hitam pun dipanggil untuk makan, termasuk Princen. Tanpa banyak cakap, lelaki kelahiran Den Haag yang tengah kelaparan itu pun langsung mengambil sepotong ikan “yang terlihat sangat lezat”. Namun, belum sampai ke tenggorokan, potongan ikan itu langsung dimuntahkannya kembali. “ Rasanya aneh dan membuat perutku mual…” kata Princen. Selidik punya selidik, saking tak adanya bumbu ternyata ikan-ikan mas tersebut pengolahannya hanya direbus di…Air gula! Ya, semacam kolak ikan mas ala long march . “Saat tahu ikan itu hanya diolah dengan menggunakan gula merah, saya lebih memilih kelaparan dan makan dedaunan saja,” kenang Princen. Tak terasa, setelah lebih dari 40 hari berjalan kaki dari Yogyakarta. rombongan long march   Bataliyon Kala Hitam sudah mulai memasuki wilayah Jawa Barat. Di tengah kegembiraan karena sudah kembali menapaki tanah kelahiran, di suatu kawasan pegunungan, Mayor Kemal dikejutkan oleh suara teriakan anak buahnya secara tiba-tiba.  “Kita diseraaaaangggg, awasss pesawat Belandaaaaa!!!” Tanpa menunggu komando dari  Mayor Kemal, sontak semua orang berlarian. Puluhan orang menjatuhkan diri ke jurang dangkal, sedang yang lainnya memasuki hutan. Anak-anak yang menangis “dibekap” mulutnya oleh ibunya masing-masing. Suasana begitu sangat menegangkan. Namun setelah ditunggu-tunggu, pesawat Belanda itu tak jua menghamburkan peluru. Kemal yang juga ikut bersembunyi, lantas keluar semak-semak untuk memastikan keadaan. “ Setelah diperhatikan sungguh-sungguh, ternyata itu hanya seekor elang besar yang sedang mengintai mangsanya,” ujar lelaki yang kelak dikenal sebagai oposan rezim Orde Baru itu.

  • Perseteruan Keluarga Majapahit

    Perang saudara dalam peristiwa Paregreg sedikit mereda ketika Suhita naik takhta. Namun, perseteruan antaranggota keluarga Kerajaan Majapahit tak berhenti di situ.  Pararaton -lah yang menamai perang saudara setelah Hayam Wuruk mangkat itu dengan Paregreg atau peristiwa huru-hara. Pemicunya perebutan singgasana antara suami Kusumawarddhani, Wikramawarddhana, dengan saudara tiri Kusumawarddhani, Bhre Wirabhumi. Wirabhumi menuntut takhta dari Wikramawarddhana. Namun, Wirabhumi tak berhak atas takhta Majapahit karena putra Hayam Wuruk dari selir. Posisi putri mahkota disandang Kusumawarddhani, anak Paduka Sori, permaisuri Hayam Wuruk. Paregreg berakhir setelah Wirabhumi dipancung. Namun, perang saudara terus terjadi. Secara turun-temurun, Majapahit diperintah oleh garis keturunan langsung Sanggramawijaya atau Raden Wijaya, sampai Suhita, cucu Hayam Wuruk, yang memimpin dari 1427-1447. Dari perkawinannya dengan Hyang Parameswara, Suhita tak memperoleh keturunan. Dia digantikan saudara tirinya, Sri Kertawijaya (1447-1451), putra Wikramawardhana dari selir. Kertawijaya menjadi raja pertama Majapahit bukan keturunan Wijaya, sang pendiri kerajaan. Sejarawan Slamet Muljana dalam  Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara  menyimpulkan bahwa sejak pemerintahan Kertawijaya takhta Majapahit menjadi rebutan antara banyak keluarga. "Takhta diduduki silih berganti oleh berbagai raja dari berbagai keluarga yang tidak selalu keturunan langsung Sanggramawijaya," jelasnya.  Selanjutnya Kertawijaya diganti Bhre Pamotan. Kondisi politik pada masa pemerintahannya agaksedikit janggal. Berdasarkan keterangan  Pararaton , dia yang bergelar Sri Rajasawarddhana bertakhta di Keling-Kahuripan.  Arkeolog Hasan Djafar dalam  Majapahit Sesudah Zaman Keemasannya  menduga pada masa Bhre Pamotan, pusat pemerintahan telah dipindahkan dari ibu kota Majapahit ke Keling-Kahuripan. "Hal ini mungkin menunjukkan bahwa keadaan politik Majapahit telah memburuk lagi akibat adanya pertentangan keluarga yang berlarut-larut," katanya. Setelah Bhre Pamotan mangkat pada 1453, Majapahit sempat tak punya raja selama tiga tahun. Akhirnya, pada 1456 Bhre Wengker naik ke tampuk pemerintahan Majapahit. Dia adalah putra Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya. Selama sepuluh tahun masa jabatannya, pertentangan keluarga cukup mereda. Perang saudara muncul lagi ketika Bhre Pandansalas menggantikannya. Menurut Pararaton , Pandansalas berkedudukan di Tumapel  saat memerintah. Baru dua tahun menjabat, dia harus menyingkir dari keratonnya ke Daha. Menurt Hasan menyingkirnya Pandansalas dari keraton mustahil terjadi jika tanpa kejadian mendesak. Dia menunjuk Bhre Krtabhumi, paman Pandansalas, sebagai dalang yang menyerang Tumapel untuk merebut kekuasaan Majapahit dari Pandansalas. Berdasarkan prasasti-prasasti Girindrawarddhana dari 1408 Saka (1486), Hasan menduga ketika keraton Tumapel diserang Krtabhumi, Pandansalas menyingkir ke Daha. Di Daha, dia meneruskan pemerintahan sebagai raja Majapahit. Dia sempat mengeluarkan Prasasti Pamitihan tahun 1395 Saka (1473).  Putranya yang menggantikan pada 1396 Saka (1474) berusaha mempersatukan wilayah Majapahit yang terpecah. Pada awal masa pemerintahannya, sebagian wilayah Majapahit masih di tangan Krtabhumi yang berkedudukan di Majapahit. Dyah Ranawijaya yang bergelar Girindrawarddhana itu pun kemudian menyerang Majapahit untuk mengambil kembali wilayah yang direbut Krtabhumi.  "Penyerangan ini dapat juga dianggap sebagai balasan atas penyerangan Krtabhumi terhadap ayahnya," tulis Hasan.  Akibatnya, Krtabhumi gugur di keraton Majapahit pada 1400 Saka (1478). Pertanggalan inilah yang menurut Hasan, dicatat berita tradisi dalam  Serat Kanda  sebagai waktu keruntuhan Majapahit. Meski sebenarnya Majapahit masih berdiri sampai tahun-tahun berikutnya di bawah pemerintahan Girindrawarddhana.  Dengan begitu, Girindrawarddhana memang berhasil menyatukan kembali Majapahit di bawah namanya. Namun, Majapahit sudah terlanjur remuk dari dalam. Kondisinya tak terselamatkan lagi, ditambah munculnya kekuatan-kekuatan baru, khususnya di pesisir utara Jawa dan di Asia Tenggara.

  • Menelusuri Gagasan LRT di Indonesia

    Kereta Lintas Rel Terpadu atau Light Rail Transit (LRT) mulai beroperasi secara terbatas di Jakarta sejak Selasa, 11 Juni 2019. Warga boleh naik moda transportasi publik baru berbasis rel ini selama program uji coba gratis. Seluruh rutenya melayang, melintang sejauh 5,8 kilometer dari Kelapa Gading (Utara)—Velodrome Rawamangun (Timur). Satu rangkaian LRT Jakarta terdiri atas dua kereta. Tiap kereta hanya mampu mengangkut 135 penumpang sekali jalan. Lebih kecil dari kapasitas angkut kereta Moda Raya Terpadu atau Mass Rapid Transit (MRT) yang mencapai 350 orang per kereta. Sebab bobot LRT lebih ringan ketimbang kereta MRT. Kesamaan keduanya terletak pada kecepatan, ketepatan waktu, kenyamanan, dan teknologi kiwari. Pembangunan fisik LRT Jakarta mewujud pada Juni 2016. Tetapi gagasan seputar LRT di Jakarta telah mengemuka sejak 1987. Masa inilah gagasan LRT di Indonesia mulai bertumbuh. Wiyogo Atmodarminto, Gubernur Jakarta 1987—1992, memperoleh masukan dari tim gabungan studi sistem angkutan kota untuk mengembangkan transportasi massal berbasis rel. Tim studi menilai penggunaan kereta api sebagai transportasi publik masih rendah. Dari satu juta perjalanan warga per hari di Jakarta, hanya 30.000 perjalanan terlayani oleh kereta api (sekira 3 persen). Selebihnya dengan kendaraan bermotor pribadi dan umum (bus, angkot, dan taksi). “Padahal menurut teori, seharusnya sebaliknya. Pada waktu ini kami mempunyai sasaran agar warga yang dilayani kereta api bisa mencapai 20%,” kata Wiyogo dalam Catatan Seorang Gubernur . Angka 20 persen berasal dari Master Plan Jakarta 1965. Orientasi Angkutan Berbasis Rel Semangat mengembangkan transportasi publik berbasis rel di Jakarta terdorong oleh situasi dan diskusi tentang transportasi publik dari luar dan di dalam negeri. Wiyogo mengetahui Manila, ibukota Filipina, telah membangun sistem LRT pada 1984, lalu menyusul Bangkok, ibukota Thailand. Kemudian pada 1987, Asosiasi International Angkutan Umum menggelar kongres tentang teknologi LRT. “Disimpulkan bahwa sistem LRT mencakup konsep angkutan yang terpisah dari lalu-lintas pribadi, pengembangan rutenya dalam beberapa tahap, sangat fleksibel dan efisien, serta biaya investasi rendah,” catat Roos D, pengamat transportasi dalam “LRT Generasi Trem Modern”, termuat di Kompas , 7 November 1991. Dari dalam negeri, diskusi seputar kemungkinan pembangunan kereta bawah tanah (MRT) di Jakarta kian mengemuka. Tim studi dari Japan International Agency Cooperation (JICA) juga sedang berupaya gencar memperbaiki sistem Kereta Rel Listrik (KRL) komuter Jakarta—Bogor—Tangerang—Bekasi (Jabotabek). Wiyogo ingin menghadirkan alternatif transportasi publik berbasis rel. “Yang kami maksud dengan kereta api di sini adalah kereta api ringan—Light Rail Transport (LRT)—yang tidak seberat kereta api biasa,” kata Wiyogo. Keunggulan LRT di atas moda transportasi publik lainnya bertumpu pada kapasitas angkut dan kecepatan. LRT mampu mengangkut sekira 340 orang per kereta. Dua kali lebih besar daripada kapasitas angkut bus terpandu ( guided bus ). LRT sanggup bergerak lebih cepat daripada bus terpandu dan KRL. Jalur LRT melayang sehingga tidak bersilangan dengan jalur moda transportasi lain seperti KRL atau bus terpandu.   Bus terpandu merupakan salah satu rencana perbaikan transportasi publik pada era Wiyogo. Bus akan melaju di sepanjang jalur Blok M (Selatan)—Kota (Utara), satu jalur dengan MRT. “Bis terpandu bisa dipakai sebagai kelengkapan,” tambah Wiyogo. Dengan demikian, dia lebih mengedepankan moda transportasi massal berbasis rel. Semangat pengembangan transportasi publik berbasis rel di Jakarta merambah ke perusahaan swasta. PT Citra Patenindo Nusa Pratama (PT CPNP), perusahaan milik Tutut Soeharto, menyatakan siap membantu Pemerintah DKI Jakarta mewujudkan rencana pembangunan LRT. PT CPNP telah menghadirkan prototipe kereta LRT di kawasan wisata Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada April 1989. Nama kereta itu aeromovel . Tapi di TMII, penggunaan aeromovel lebih bertujuan untuk wahana wisata. Aeromovel bergerak memanfaatkan tenaga angin dan listrik. Asal teknologi ini dari Brazil. Pemerintah kota setempat sudah menerapkan teknologi aeromovel untuk sistem kereta LRT. Teknologi ini berbeda dari LRT di Eropa. Investasi pengembangan a eromovel Braziljauh lebih murah ketimbang LRT di Eropa dan sejumlah negara Asia. “Hanya US$ tiga juta per kilometer. Kalau ingin perbandingan, LRT (Light Rail Train) yang diterapkan di Bangkok —sama-sama teknologi baru di bidang perkeretaapian— menelan 19 juta untuk lintasan single track dengan panjang yang sama,” tulis majalah Clayperon , Vol. 28, Desember 1989. Tetapi keinginan PT CPNP menjadikan aeromovel sebagai teknologi kereta LRT terganjal regulasi. Aeromovel tidak kunjung menerima sertifikat kelayakan dari pemerintah sebagai moda transportasi publik. Tak ada sertifikat berarti tak ada proyek. Triple Decker Gagal dengan aeromovel sebagai LRT, grup usaha lain milik Tutut Soeharto, PT Citra Lamtorogung Persada (PT CLP), mengajukan konsep penggabungan LRT dengan jalan layang susun tiga ( Triple Decker ). Mereka menggandeng perusahaan swasta asal Swedia, Jerman, Prancis, dan Kanada demi menggolkan proyek ini. Triple decker terbagi atas jalan arteri, jalan tol, dan jalur LRT. Penggabungan ini untuk menyiasati nilai investasi, menekan harga tiket LRT, dan mempersingkat termin balik modal perusahaan tersebut. Menteri Pekerjaan Umum Radinal Mochtar (menjabat 1988—1998) cukup berterima dengan konsep triple decker . “Untuk jangka pendek, triple decker perlu segera dibangun karena investasinya lebih murah, bisa subsidi antara jalan tol dengan LRT,” kata Radinal dalam Eksekutif , Agustus 1996. Triple Decker akan melintang sejauh 25,7 kilometer dari selatan ke utara (Bintaro hingga Kota). Studi pendahuluan bersama tim Sistem Angkutan Umum Massal Jabotabek dan PT CLP menyebut kelak triple decker juga akan membujur sepanjang 36,5 kilometer dari barat ke timur (Tangerang ke Bekasi) dan membentang di pusat perkantoran/pemerintahan. Tidak seperti aeromovel , teknologi kereta LRT dalam triple decker menggunakan tenaga listrik penuh. Daya angkutnya mencapai 25 ribu orang per jam untuk dua arah. “Investasi proyek transportasi baru ini Rp2,2 triliun. Dananya 80% dari pinjaman sindikasi dan 20% modal sendiri,” catat Eksekutif . PT CLP merencanakan pembangunan fisik triple decker mulai pada 1998. Beriringan dengan pembangunan fisik MRT/ subway Jakarta. Kedua proyek itu telah memperoleh lampu hijau dari pemerintah pusat dan daerah. Tetapi bala krisis keuangan melanda Indonesia pada 1998. Rezim Soeharto rontok. Begitu pula dengan sejumlah perusahaan milik anaknya.    Setelah sekian lama terpendam, LRT akhirnya mengada di Palembang pada Agustus 2018, saat Asian Games. Tetapi keberadaannya justru menuai kritik. Antara lain tersebab ketidakjelasan studi pendahuluan dan kelayakan, besaran dana pembangunan, sudah ditinggalkan oleh negara maju, kerugian operasional, dan sengkarut izin operasi. Begitu juga dengan LRT Jakarta. Banyak keberatan dari berbagai pihak. Orang juga menduga LRT Jakarta akan bernasib serupa LRT Palembang. Benarkah demikian? Kita tunggu jawabannya kelak ketika LRT Jakarta mulai beroperasi secara komersial.

  • Akibat Priyayi Berkunjung ke Eropa

    PERKENALAN masyarakat pribumi  dengan bahasa Belanda menjadi jalan untuk mengenal pengetahuan baru tentang negara lain. Selain itu, adanya pengajaran tentang atlas dunia juga turut mendorong hasrat para elit pribumi (termasuk bupati dan pejabat pemerintahan) untuk mulai berpergian ke luar negeri. Walau umumnya membutuhkan waktu lebih lama untuk mempelajari bahasa, tetapi keinginan kuat telah mengantar mereka pada pengalaman besar yang tidak terlupakan. Biasanya setelah kembali ke tanah air, sebagian melanjutkan karir di pemerintahan sementara lainnya menjadi akademisi yang membangun tren intelektual Barat di dalam negeri. Dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid I , Denys Lombard menulis ada sejumlah elit Pribumi di Jawa yang diberi kesempatan pergi ke Eropa. Di sana mereka melihat dan mengadopsi kebiasaan yang tidak ada di negerinya. Kemudian memperkenalkannya kepada masyarakat. "Mereka ini merupakan lambang pertemuan intelektual antara kaum priyayi dan kebudayaan Barat. Perjalanan ke luar negeri yang masih sangat langka merupakan pesona yang dimimpikan semua orang" kata Irawati Durban Ardjo dalam Tari Sunda Tahun 1880-1990 . Raden Aria Natadiningrat, alias Raden Saleh Syarief Bestaman menjadi seniman Indonesia pertama yang mendapat kesempatan pergi Eropa dan tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama. Sebagai bangsawan Semarang-Pekalongan, Raden Saleh mempunyai hubungan yang cukup baik dengan pemerintah Hindia Belanda. Hal itulah yang membuat jalannya menuju Eropa menjadi lebih mudah. Namun lebih dari itu, Raden Saleh adalah pelukis yang bakatnya telahdiakui oleh orang-orang Eropa sehingga karirnya begitu terbuka di dunia Barat. Pada 1829 ia mendapat beasiswa belajar melukis ke Eropa, dan tinggal di Belanda, Belgia, Jerman, Prancis, hingga Aljazair dan India. Dari keluarga bangsawan Banten, dua bersaudara Raden Aria Achmad dan Raden Aria Husein Djajadiningrat dikirim bersekolah di Prancis dan Belanda oleh orang tuanya pada awal tahun 1900-an. Hampir setengah dekade tinggal di Eropa, keduanya pulang dengan membawa pengetahuan barat yang sangat baik. Aria Achmad kemudian menjadi bupati Batavia dan anggota volksraad (Dewan Rakyat). Sementara Husein Djajadiningrat memperoleh gelar doktor dalam bidang sastra dan menjadi salah satu intelektual penting dalam ilmu Sosial di Indonesia. Sekitar tahun 1939-1940, bupati Ciamis, Kangjeng Raden Tumenggung Aria Sunarja, mendapat hadiah dari pemerintah Hindia Belanda berupa tiket kunjungan ke Eropa. Dia bersama istri dan seorang anaknya difasilitasi penuh untuk tinggal di sana. Negara-negara yang dikunjungi sang bupati, di antaranya Belanda, Prancis, Austria, Italia, dan Jerman. "Hadiah itu diberikan untuk menghargai jasa-jasanya karena telah membantu pemerintah kolonial di wilayah Ciamis dan sekitarnya" tulis irawati Sekembalinya dari Eropa, Aria Sunarja mulai mengadopsi beberapa bentuk kebaratan dalam kebudayaan lokal di wilayahnya. Seperti telihat pada pernikahan Rd. Sadiah Soenarya (putri bupati Ciamis) dengan Rd. Mohammad Hasan Kartadikusumah (putra jaksa Sukabumi) tahun 1938. Saat itu pengantin pria menggunakan pakaian model takwa senting yang dibuka bagian depannya, dan dipadukan dengan model ves barat kerah tinggi berwarna putih di dalamnya. Pakaian itu dilengkapi dasi kupu-kupu putih, ditambah sapu tangan dan bunga anggrek di dada kiri khas masyarakat Barat. Tidak berbeda jauh, pengantin wanita pun memakai beberapa aksesoris barat yang dipadukan dengan adat lokal. Pakaiannya tetap menggunakan kebaya tetapi hiasan di kepalanya menggunakan diadem (mahkota berlian) dengan tambahan sluier (kain tipis) di atasnya.

  • Tak Ada Dokter, Mantri pun Jadi

    ISTILAH “mantri” kini hampir tak diketahui orang. Di masa lalu, mantri menjadi andalan orang sakit untuk bisa sembuh, selain dokter, perawat, atau bidan. Mantri merupakan petugas medis yang biasanya terdapat di desa dan pelosok. “Mantri cuma ada di Indonesia karena jumlah lulusan kedokteran belum banyak sehingga mantri dikerahkan,” kata Martina Safitry, dosen Institute Agama Islam Negeri Surakarta, pada Historia. Mantri, tulis Martina dalam tesis berjudul “Dukun dan Mantri Pes”, mulanya berarti juru rembug dan sebuah pangkat dalam birokrasi keraton Jawa. Ada mantri guru, mantri tanam, mantri ukur, dan lain-lain. Mantri yang mengurus kesehatan muncul kemudian, ketika wabah cacar menjangkiti Banyumas pada 1847. Wabah itu kebanyakan menyerang buruh pribumi di perkebunan milik Belanda. Lantaran virusnya cepat menyebar dan obat penangkalnya kala itu belum mutakhir, orang-orang Belanda khawatir tertular. Selain itu, wabah cacar yang menyerang buruh membuat usaha perkebunan rugi lantaran jumlah buruh berkurang dan produktivitas turun. Untuk menanggulangi wabah itu, pemerintah kolonial mengirim banyak dokter yang semua orang Belanda. Namun jumlah dokter tak memadai. Lebih lagi, wabah cacar menyerang sampai ke pelosok sementara petugas kesehatan baru terdapat di kota. “Karena keterbatasan jumlahnya, (para dokter, red. ) merasa tidak sanggup untuk menanggulangi keganasan penyakit,” tulis  Baha’udin dalam artikelnya di Jurnal Humaniora, Oktober 2006, “Dari Mantri hingga Dokter Jawa” . Akhirnya, dibentuklah profesi baru di bidang kesehatan dengan memberikan pelatihan kilat kepada pribumi. Saat itulah profesi mantri kesehatan lahir, dengan bermacam kategori. Ada mantri cacar, mantri vaksin, mantri pes, bahkan mantri kakus. Arsip foto menunjukkan, pribumi yang dapat pelatihan mantri hanya lelaki, sehingga populer kalimat “berobat ke Pak Mantri”. Upaya pembangunan medis lebih serius baru muncul pada Oktober 1847, saat Kepala Miliataire Geneeskundige Dienst (Dinas Kedokteran Militer) Dr. William Bosch mengusulkan pada Gubernur Jenderal J.J. Rochussen agar mengadakan pendidikan kedokteran Barat untuk penduduk pribumi. Hasilnya, didirikanlah Dokter Djawa School di Weltevreden, Batavia dengan masa studi dua tahun. Di tahun pertama, para siswa diberi pelajaran seputar Fisika, Kimia, Geologi, Botani, Zoologi, dan analisis terhadap tubuh manusia. Sementara pada tahun kedua, para murid diberikan ilmu bedah, Patologi, Anatomi Patologis, material medica, obat-obat pokok, dan pelatihan praktek di klinik. Ketika lulus, siswa mendapat gelar Dokter Jawa meski sebenarnya mereka bukan dokter, melainkan pembantu dokter Eropa ( hulp geneesher ). Sebagian dari Dokter Jawa itu diberi tugas sebagai mantri cacar. Jumlah petugas medis masih belum memadai kendati sekolah dokter pribumi sudah ada. Maka ketika wabah penyakit seperti malaria atau pes muncul, perekrutan dan pelatihan mantri masih terus dilakukan. Ide pembentukan profesi mantri yang lebih paten dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada 1935 dengan mendirikan Sekolah Mantri Kesehatan, bekerjasama dengan Rockefeller Foundation. Distrik Purworkerto ditetapkan sebagai model dan labolatorium pelatihan mantri. Para lulusan sekolah itu ditempatkan di kampung-kampung dan daerah terpencil. Sosok mantri kadang tidak bisa dibedakan dengan dokter Jawa karena mereka menggunakan atribut dan peralatan yang sama. Para mantri juga berperilaku laiknya dokter, menganalisis penyakit pasien dan memberi obat. “Kalau menurut peraturan internasional, yang boleh memberi obat hanya dokter, tapi karena jumlahnya masih sedikit, mantri bertugas seperti dokter umum,” kata Martina. Kehadiran mantri di kampung-kampung menjadi jalan bagi pribumi untuk mengenal pengobatan modern yang tidak berjarak lantaran penyembuh dan pasien sama-sama pribumi. Banyak pasien pribumi lantas berobat ke “Pak Mantri” kala penyakit menyerang. Namun, jalaran banyaknya kritik pada kualitas lulusan dokter jawa, pada 1898 Sekolah Dokter Jawa diubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Masa studinya diperpanjang jadi delapan tahun dan gelar yang didapat bukan lagi Dokter Jawa, melainkan Inlandsche Arts (dokter pribumi). “Ada perbaikan kurikulum dan dokter pribumi mulai dicetak. Lulusan eranya Tjipto Mangoenkoesoemo atau Radjiman Wedyodiningrat, bukan difungsikan sebagai mantri atau dokter jawa tapi dokter betulan,” Kata Martina.

  • Tan Malaka di Hong Kong

    HONG KONG yang lazimnya ramai oleh beragam aktivitas bisnis dan kehidupan sosial dengan udara bebas, kini bergejolak. Sekira satu juta penduduknya turun ke jalan menentang Undang-Undang Ekstradisi yang tengah dibahas badan legislatifnya. Jika UU itu disahkah, roda kehidupan di Hong Kong dipercaya takkan lagi sama.

  • Ganja untuk Ritual Pemakaman

    Baru-baru ini sebuah penelitian menunjukkan kalau mengisap ganja sudah dilakukan manusia paling tidak sejak 2.500 tahun lalu di Tiongkok. Dari hasil penelitian para arkeolog dan ahli kimia dari Chinese Academy of Sciences dan Chinese Academy of Social Sciences di Beijing, sejenis ganja teridentifikasi sebagai tanaman yang dibakar dalam ritual di makam purba dari 500 SM. Masyarakat di Pegunungan Pamir, Tiongkok Barat, yang melakukan ritual dengan membakar ganja tersebut. Berdasarkan artikel berjudul “The origins of cannabis smoking: Chemical residue evidence from the first millennium BCE in the Pamirs” yang diterbitkan Science Advance, Rabu (12/6), kandungan ganja ditemukan saat menganalisis potongan kayu sisa pembakaran di makam. Residu yang ditemukan di situs mengandung senyawa kimia yang menunjukkan tingkat tetrahydrocannabinol (THC) dalam kadar tinggi. Itu adalah senyawa tanaman yang bersifat psikoaktif atau bisa memunculkan efek euforia pada penggunanya. Selain sisa kayu bakar, peneliti juga menemukan piring dan mangkuk, manik-manik kaca, kain sutra, dan harpa Tiongkok. Ada pula tulang-belulang manusia yang memiliki lubang ditengkoraknya. Lubang pada tengkorak itu diperkirakan akibat hantaman benda keras. Karenanya para peneliti menduga beberapa orang yang dimakamkan di lokasi itu tewas dalam ritual pengurbanan manusia. “Kita dapat mulai menyatukan gambaran tentang upacara penguburan yang meliputi api, musik dan asap halusinogen, yang semuanya dimaksudkan untuk membimbing seseorang ke dalam kondisi setengah sadar,” tulis para peneliti itu. Sebelumnya, batang dan biji ganja pernah ditemukan di beberapa situs pemakaman di sekitar Eurasia. Namun bukti di pemakaman Pamir, yang diverifikasi oleh teknologi ilmiah canggih, menunjukkan hubungan yang lebih langsung antara tanaman dan ritual pada masa-masa awal. “Temuan baru ini memperluas jangkauan geografis penggunaan ganja di wilayah Asia Tengah yang lebih luas,” kata Mark Merlin, profesor botani di Universitas Hawaii di Manoa, yang tidak ikut serta dalam penelitian ini. Menurut sejarawan yang meneliti ganja itu, temuan ganja itu penting. Artinya ganja pernah digunakan untuk memfasilitasi tubuh berkomunikasi dengan alam baka dan dunia roh. Dari penelitian itu juga bisa dikatakan orang pada masa itu telah sengaja menanam ganja dan secara sadar memilih spesies yang efeknya lebih kuat karena temuan itu mengandung senyawa THC tinggi. “Ganja liar, yang tumbuh secara umum di kaki gunung berair di Asia Tengah, biasanya memiliki kadar cannabinol yang rendah, itu suatu metabolit THC,” tulis para peneliti. History  mencatat ada beberapa bukti bahwa orang-orang dari budaya kuno sudah tahu tentang sifat psikoaktif tanaman ganja. Mereka mungkin telah menanam beberapa varietas yang menghasilkan THC lebih tinggi untuk digunakan dalam upacara keagamaan atau praktik penyembuhan. “Benih ganja yang terbakar telah ditemukan di kuburan dukun di Cina dan Siberia sejak 500 SM,” tulis laman itu. Ilustrasi tanaman ganja dalam Vienna Dioscurides (512 M) Kendati begitu, studi lain pernah diterbitkan oleh para peneliti dari Freie Universität Berlin dua tahun lalu. Lewat jurnal Vegetation History and Archaeobotany diungkapkan kalau ganja telah digunakan di Jepang dan Eropa Timur dalam waktu hampir bersamaan, yaitu antara 11.500 dan 10.000 tahun yang lalu. Sebagaimana dikutip laman New Scientist, penelitian itu mengkaitkan peningkatan penggunaan ganja di Asia Timur dengan meningkatnya perdagangan lintas benua antara Eropa dan Timur antara 4.000 dan 5.000 tahun yang lalu, pada awal Zaman Perunggu. Orang-orang Yamnaya, yang bermarkas di tempat yang sekarang disebut Eropa Timur, diperkirakan telah mengangkut ganja melintasi benua saat mereka melakukan perjalanan ke arah timur. Diperkirakan ganja adalah salah satu barang komoditas di sepanjang Jalur Perunggu ke Asia, yang kemudian jalur itu dikenal sebagai Jalur Sutra. Jalur itu adalah jaringan kuno rute perdagangan yang menghubungkan Eropa dan Cina. "Tanaman ganja tampaknya telah didistribusikan secara luas sejak 10.000 tahun yang lalu, atau bahkan lebih awal,” ujar Tengwen Long, yang memimpin tim peneliti. Dia menambahkan nilai tinggi tanaman sangat bisa digunakan sebagai alat tukar. Selain sifat piskoaktifnya, ganja juga diambil seratnya untuk bahan pembuatan kain.  “Ini akan membuatnya menjadi barang yang ideal,  yaitu sebagai tanaman komersial sebelum ada uang tunai,” jelas Tengwen Long.

  • Mataram Batal Menyerang Banten

    Setelah kekalahan Cirebon, Raja Mataram Sunan Amangkurat I,merencanakan sebuah ekspedisi ke Banten. Waktunya ditetapkan pertengahan tahun 1652. Pamannya, Pangeran Purbaya, ditunjuksebagai pemimpin penyerangan. Tiba-tiba para pemuka agama memberi tahu bahwa ayahnya, Sultan Agung, pada waktu akhir hayatnya telah berpesan agar senjata Mataram pertama-tama harus diarahkan ke timur kemudian ke barat; kalau tidak, Mataram tidak akan memperoleh berkah. “Berarti pertama-tama Blambangan (Banyuwangi, red. ) harus direbut dari orang-orang Bali yang kafir, sebelum dapat menyerang kaum seagama di Banten,” tulis H.J. de Graaf dalam Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I. Sunan tak menghiraukan pesan itu. Dia malah memerintahkan para pembuat senapan dan meriam untuk membuat 800 senapan dan banyak meriam kecil dalam satu triwulan. Setelah selesai, dia meminta meriam-meriam itu dicoba di lapangan alun-alun. Sunan juga menyuruh mencoba meriam Belanda diisi peluru yang dua kali lipat lebih besar daripada peluru untuk meriam Jawa. Dia heran meriam Belanda itu hanya sedikit melompat ke belakang. Dia kemudian bertanya apakah meriam Jawa juga bisa diisi peluru yang sama beratnya. Pembuat meriam itu mengisi meriam buatannya dengan peluru dua kali lebih berat kemudian ditembakkan. Meriam Jawa tak sekuat meriam Belanda. “Meriam itu meledak dan hancur berantakan berkeping-keping. Keping terbesar jatuh di depan Sunan,” tulis De Graaf. Sunan luar biasa terkejut. Dia memerintahkan pembuat meriam itu ditangkap. Lapangan dan pintu gerbangnya ditutup semen. Berita yang dilaporkan Rijcklof van Goens, utusan Gubernur Jenderal VOC ke Mataram itu , dibenarkan Babad Sangkala bahwa pada 1651 sebuah meriam meledak di paseban (alun-alun); tidak lama sesudah itu, pintu gerbang dipindahkan. Ini merujuk kepada meledaknya meriam Jawa dan disemennya pintu gerbang ke lapangan besar. Mengapa Sunan memerintahkan mempersiapkan meriam? Menurut Sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2 , seperti halnya gajah, meriam menjadi simbol kekuatan supernatural para raja yang sanggup menggertak dan menakutkan musuh-musuh domestik yang tidak memilikinya. Setelah lama tak digunakan secara militer, meriam-meriam dijadikan sumber magis dan benda-benda keramat dari zaman kejayaan. Di Asia, lanjut Reid, senjata-senjata raksasa itu nampaknya tidak banyak membunuh musuh dalam pertempuran dan tidak mudah dipindah-pindahkan dalam perang seperti halnya di Eropa. “Para penguasa menggunakannya dengan efektif untuk menakut-nakuti warganya. Paling tidak di Aceh dan Mataram, dua di antara ‘kerajaan mesiu’ terbesar, meriam-meriam raksasa digunakan untuk mengumumkan perhelatan umum menggantikan gong dan drum yang digunakan sebelumnya.Di Aceh, bulan puasa diawali dan diakhiri dengan suara dentuman keras dari meriam,” tulis Reid. Meriam yang paling besar dan paling keramat di Mataram, Sapu Jagad, selain untuk mengumpulkan penduduk, juga digunakan untuk menunjukkan kemarahan Sultan bila ingin mengusir para bangsawan kerajaannya, dan untuk perkabungan istana. Sapu Jagad dibuat tahun 1625 pada masa Sultan Agung berada di puncak kekuasaannya. Menurut Reid, pengganti Sultan Agung yang lemah, Amangkurat I , mencoba melakukan hal yang sama pada 1652, tetapi ketika dia menyuruh pembuat senjatanya mengisi mesiu pada meriam besar kebanggaannya, meriam itu meledak berkeping-keping, salah satu keping hampir saja melukai Sunan . Sunan ketakutan dan menganggapnya sebagai pertanda buruk. Dia pun memerintahkan menangkap pembuat meriam itu, mengutuk alun-alun yang besar dan indah itu, dan menembok gerbangnya secara permanen, sehingga menimbulkan kekacauan di keraton. Pada malam harinya, dia bermimpi menakutkan dan dalam beberapa hari seluruh badannya membengkak. Menurut De Graaf, badan Sunan penuh bisul bernanah. Inilah yang mematahkan kemauannya yang keras. Dia menjadi relijius dan meminta para pemuka agama untuk mendoakannya. Dia bersumpah akan melancarkan perang ke timur dan berjanji akan membina hubungan baik dengan Banten.Para pemuka agama bersedia berdoa dan menyembuhkannya. “ Sejak itu hubungan antara Banten dan Mataram bertambah baik, tetapi tidak ada berita akan dilancarkan ekspedisi terhadap Blambangan,” tulis De Graaf.

  • Perang Saudara Berebut Singgasana Majapahit

    SEPENINGGAL Raja Hayam Wuruk terjadi perebutan kekuasaan takhta Majapahit. Pertentangan antara keluarga kerajaan pertama kali muncul ketika Wikramawarddhana atau Bhra Hyang Wisesa memerintah. Wikramawarddhana merupakan suami Kusumawarddhani, putri Hayam Wuruk. Dalam Kakawin Nagarakrtagama, Kusumawarddhani disebut sebagai rajakumari yang berkedudukan di Kabalan. Kendati bukan anak sulung, Kusumawarddhani diangkat menjadi putri mahkota karena lahir dari permaisuri. Namun, yang memakai mahkota adalah suaminya. Wikramawarddhana masih saudara sepupu Kusumawarddhani. Dalam Nagarakrtagama dan Pararaton disebut dia adalah anak Rajasaduhiteswari atau Bhre Pajang, adik Hayam Wuruk. “Wikramawarddhana adalah keponakan dan menantu Hayam Wuruk,” tulis arkeolog Hasan Djafar dalam Masa Akhir Majapahit . Pangkal perselisihan karena Bhre Wirabhumi menuntut takhta dari Wikramawarddhana. Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari seorang selir. Karenanya dia tak berhak atas takhta Majapahit. Kendati begitu, dia masih diberi kekuasaan untuk memerintah daerah bagian timur, yaitu Blambangan. Sedangkan Kusumawarddhani dan suaminya mendapatkan bagian barat dan berkedudukan di Majapahit. Sebenarnya, dalam Pararaton disebut bahwa Wirabhumi masih saudara ipar Wikramawarddhana. Dia menikahi adik Wikramawarddhana yang disebut alemu atau si gendut. Di dalam Pararaton, perseteruan Wirabhumi dan Wikramawarddhana disebut Paregreg, artinya peristiwa huru-hara. Peristiwa itu mulai terjadi pada 1323 Saka atau 1401. Tiga tahun kemudian perseteruan itu menjadi peperangan. Awalnya perang saudara itu dimenangkan oleh Wirabhumi. Namun, setelah Wikramawarddhana mendapat bantuan dari Bhre Tumapel, Kedaton Wetanpun dikalahkan. Wirabhumi melarikan diri, dikejar Raden Gajah (Bhra Narapati) dan tertangkap. Wirabhumi pun dipenggal kepalanya. “Peristiwa ini terjadi pada 1328 Saka (1406),” jelas Hasan. Perang saudara itu muncul pula dalam catatan Tionghoa dari masa Dinasti Ming. Lewat Ming Shih yang diterjemahkan W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, disebutkan setelah Kaisar Ch’eng-tsu bertakhta pada 1403, dia mengadakan hubungan diplomatik dengan Jawa. Dia mengirim utusan kepada raja “bagian barat”, Tu-ma-pan dan kepada raja “bagian timur”, Put-ling-ta-hah atau P’i-ling-da-ha. Laksamana Cheng Ho pun pada 1406 menyaksikan kedua raja di Jawa itu sedang saling berperang. Kerajaan bagian timur kalah dan dirusak. “Pada waktu terjadinya peperangan antara kedua raja, perutusan Tiongkok sedang berada di kerajaan bagian timur,” tulis Groeneveldt. Hasan memaknai berita dari Tiongkok itu sebagai perseteruan antara Wikramawarddhana sebagai raja “bagian barat” dan Wirabhumi sebagai raja “bagian timur”. Namun, Peter Amiot dan G. Schlegel, sejarawan yang menyusun literatur Tiongkok Kuno pada 1800-an, menyebut Tumapan sebagai gelar raja barat atau Kerajaan Pajajaran. “Jika hal ini benar, mungkin saja raja-raja Jawa bagian barat yang berasal dari negara lama Tumapel yang terletak di bagian timur pulau, tetap menggunakan nama ini sebagai salah satu gelar mereka?” tulis Groeneveldt. Wikramawarddhana, menurut Hasan Djafar, memerintah Majapahit sampai meninggal pada 1351 Saka (1429). Dia digantikan putrinya, Suhita, yang memerintah pada 1429-1447. Awalnya putra mahkota adalah kakak Suhita, Bhra Hyang Wekasing Sukha. Namun dia keburu mangkat pada 1399 sebelum ditahbiskan menjadi raja. Menurut Hasan, kemungkinan Suhita adalah anak dari putri Wirabhumi. Karenanya Suhita dijadikan pengganti Wikramawarddhana mungkin untuk meredakan persengketaan antara pihak keluarga ayahnya dan keluarga ibunya. Namun, berdasarkan Pararaton , sewaktu Suhita berkuasa, Raden Gajah (Bhra Narapati) dibunuh atas tuduhan memenggal Wirabhumi. “Dengan terjadinya pembunuhan terhadap Bhra Narapati, persengketaan keluarga itu dapat dikatakan masih terus berlangsung,” catat Hasan.*

  • Sejarah Gedung Mahkamah Konstitusi dan Medan Merdeka Barat

    Pagar kawat berduri, ratusan polisi, dan tameng anti huru-hara. Beginilah pemandangan keseharian di halaman depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jalan Merdeka Barat, Jakarta, menjelang hari sidang Perselisihan Hasil Pemilu pada Jumat, 14 Juni 2019. Polisi telah melarang massa berunjuk rasa di depan gedung MK. Mereka juga akan menutup Jalan Medan Merdeka Barat ketika sidang berlangsung demi menjaga keamanan gedung MK dan kawasan bersejarah di sekitarnya. Gedung MK belum lama berdiri. Gedung ini mulai dibangun pada Juli 2005. Penggunaan gedung MK secara resmi berlangsung pada 13 Agustus 2007, bertepatan dengan hari jadi MK. Sebelum menggunakan gedung ini, MK berkantor secara nomaden dan menumpang ke beberapa lembaga negara. Antara lain di Hotel Santika, parkir Plaza Centris, dan gedung milik Kementerian Komunikasi dan Informasi. Adolf Heuken dalam Medan Merdeka Jantung Ibukota RI menyebut gedung MK berarsitektur campuran: gaya modern dan neo-klasik. Dua gaya itu terwakili oleh menara 16 lantai (modern) di belakang gedung utama dan pilar besar di sisi depan (fasade) gedung utama (neo-klasik). Paduan dua gaya ini bermaksud menciptakan kesan berwibawa, monumental, dan megah. Pilar di gedung utama berjumlah sembilan, melambangkan jumlah hakim agung MK. Tetapi, menurut Heuken, jumlah pilar ganjil di depan menyimpang dari kode dan semangat arsitektur neo-klasik. Lazimnya pilar fasade berjumlah genap. “Akibatnya gedung gado-gado ini tampak kurang elegan dan maksud semula tidak tercapai,” ungkap Heuken. Heuken juga menyebut ketiadaan standar perancangan gedung di Jalan Merdeka Barat ikut menyumbang ketidakharmonisan lingkungan. Keadaan ini tidak terjadi pada masa sekarang saja, melainkan juga berjejak pada masa kolonial.    Jauh sebelum gedung MK berdiri, Jalan Medan Merdeka Barat bernama Koningsplein West. Peta Koningsplein West sebelum 1900-an menunjukkan bangunan di tepi jalan masih sepi. Hanya ada sejumlah rumah dan museum. Rumah saat itu kemungkinan bergaya indische woonhuis . Tetapi memasuki 1900-an hingga 1930-an sejumlah bangunan baru berdiri dengan beragam gaya. Antara lain bangunan milik pemerintah, rumah pribadi, kantor usaha swasta, perkumpulan teosofi, hotel, dan konsulat negara tetangga. Ada dua bangunan menonjol milik pemerintah di Koningsplein West : gedung Bataviaasch Genotschap van Kunsten Wetenschappen (sekarang menjadi Museum Nasional) dan Rechtshoogeschool (sekarang menjadi Kementerian Pertahanan). Masing-masing bangunan mewakili tahun dan gaya berbeda. Bangunan pertama bergaya klasik dan berasal dari tahun 1864, sedangkan bangunan kedua bergaya modern dan dibangun pada 1924. Catatan mengenai rumah pribadi di Koningsplein West sangat langka. Dalam bukunya, Heuken hanya menghadirkan satu foto tentang dua rumah bergaya modern. Scott Merillees, seorang kolektor kartu pos jadul, menyatakan dua rumah tersebut berlahan lebih sempit daripada rumah model mansion atau bergaya indische woonhuis . Menyiasati keterbatasan lahan, rumah tersebut dibangun bertingkat. Merillees menduga bertumbuh cepatnya populasi orang Eropa di Batavia sebagai penyebab perubahan gaya rumah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kebanyakan mereka bekerja sebagai pegawai perusahaan atau pegawai negeri ketimbang pedagang besar. Penghasilan mereka lebih rendah daripada pedagang besar sehingga berpengaruh terhadap kemampuan membeli lahan. Dua rumah tersebut kini sudah runtuh. Tergerus perluasan Museum Nasional pada dekade 1990-an. Demikan catat Merillees dalam Greetings From Jakarta: Postcards of a Capital 1900—1950 . Bangunan swasta di KoningspleinWest terekam dalam koleksi kartu pos lain milik Merillees dari tahun 1902. Sebuah bangunan beratap trapesium dan berlantai agak tinggi dengan beberapa tiang kecil di sejumlah sudut lantai menjadi kantor The Netherlands Indies Sport Company . Perusahaan ini berkutat di bisnis jual beli dan servis sepeda. Memanfaatkan demam sepeda di Hindia Belanda pada 1890-an. Tak jauh dari kantor The Netherlands Indies Sport Company , berdiri sebuah bangunan dengan kubah kecil. Di atasnya terdapat mahkota menyerupai bintang. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat pertemuan (loji) masyarakat Teosofi. Perkumpulan Teosofi berdiri di New York pada 1875. “Mereka memperoleh sambutan baik di kalangan elite Eropa dan Jawa di Hindia Belanda pada 1910-an,” tulis Merillees. Mereka memiliki jadwal pertemuan teratur di loji dan mengumumkannya di media massa. Sekarang loji beralih rupa menjadi gedung Sapta Pesona milik Kementerian Pariwisata. Zaman bergerak. Beberapa bangunan lama di Koningsplein West sempat dirombak. Tujuannya untuk memperbaharui citra. “Usaha ini biasanya meleset. Bagian dalam dan belakang bangunan seringkali tidak diubah,” catat Heuken. Akibatnya lingkungan jadi kurang harmonis. Kini hampir semua bangunan di Jalan Medan Merdeka Barat telah menjadi milik pemerintah, bergaya modern, dan tinggi menjulang. Terdapat satu gedung milik swasta, kantor Indosat Ooredoo di bagian selatan jalan tersebut. Beberapa bangunan tua masih tersisa. Seperti Museum Nasional. Tetapi terbenam di antara ketinggian gedung jangkung modern.

bottom of page