top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kasus Jenderal Tuan Tanah

    Dalam debat calon presiden minggu lalu, terungkap aset milik salah satu kandidat. Setelah disentil Joko Widodo, Prabowo Subianto mengakui punya lahan seluas 340.000 hektar. Letaknya terpencar. Sebanyak 220.000 hektar ada di Kalimantan Timur dan sisanya 120.000 hektare di Aceh Tengah. Tanah seluas itu digunakan Prabowo untuk kepentingan perkebunan seperti kelapa sawit.    Bila dikomparasi, luas tanah Prabowo ini sama dengan lima kali luas Kota Jakarta. Meski luasnya mencengangkan, Prabowo jemawa. Menurut Prabowo  masih lebih baik lahan seluas itu dikelola oleh dirinya yang berjiwa nasionalis dan patriot ketimbang dikuasai pihak asing. Politikus yang juga tangan kanan Prabowo, Fadli Zon , mengatakan lahan tersebut diperoleh Prabowo lewat proses lelang dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) pasca krisis moneter 1998. Status kepemilikannya adalah Hak Guna Usaha (HGU). Jadi sewaktu-waktu, tanah itu harus dikembalikan kepada negara sesuai kontrak dan Undang-undang yang berlaku. Lahan Berkuda dan Bertinju Di masa lalu, seorang mantan jenderal pernah terjerat kasus penguasaan lahan negara. Perwira tinggi era Orde Baru itu bernama Herman Sarens Sudiro. Sekira tahun 1966-1967, Herman memperoleh tanah di Jalan Warung Buncit, Mampang, Jakarta Selatan (berada tak jauh dari Kantor Imigrasi Jakarta Selatan, nyaris berhadapan dengan halte “Imigrasi” bus Transjakarta,  red ). Karena hobi memelihara kuda, Herman hendak menjadikan lahan seluas 29.000 meter persegi atau sekitar 3 hektar itu sebagai istal yang menampung kuda dalam jumlah banyak. Dalam otobiografinya Ancemon Gula Pasir: Budak Angon jadi Opsir , Herman mengakui memperoleh tanah tersebut atas arahan Letjen Soeharto yang baru saja dilantik menjadi pejabat presiden. Herman cukup dekat dengan Soeharto karena pernah menjadi ajudan Soeharto ketika menjabat Komandan Komando Satuan Tugas (Kosatgas) Supersemar. Soeharto-lah yang menyarankan agar Herman membeli sebidang tanah di Warung Buncit. Di sana, Herman mendirikan Djakarta International Sadie Club (DISC). Gelanggang pacuan kuda ini menjadi arena bergengsi bagi sebuah perkumpulan olahraga berkuda yang saat itu belum begitu marak di Indonesia. Di kalangan orang tertentu, DISC mendapat sambutan positif. Tempat itu menarik minat pecinta olahraga berkuda dari kelas atas. Herman lantas mengganti nama DISC menjadi Satria Kinayungan yang diambil dari nama kuda putih milik Pangeran Diponegoro. Tak hanya menjadi arena berkuda, Satria Kinayungan berkembang ke berbagai lini sport mulai dari sasana tinju, klub berburu, dan bisnis lainnya. Para tamu Herman Sarens di lokasi itu datang mulai dari Keluarga Cendana, para perwira tinggi, sampai selebritis. “Semua orang tahu bahwa Satria Kinayungan adalah Herman Sarens,” kata Herman kepada penulis otobiografi Restu Gunawan. Setelah pensiun dengan pangkat letnan jenderal, Herman lebih dikenal sebagai pegiat olahraga. Nama Herman kondang sebagai promotor tinju yang suka membawa petinju binaannya bertanding ke mancanegara. Pada 1992, Hankam Sport Center Satria Kinayungan sudah mengasuh tak kurang dari 100 petinju. “Ada yang bekas pembunuh, bekas tukang pukul. Orang-orang seperti ini kalau tidak dirangkul mau lari kemana?” kata Herman seperti dikutip majalah Pertiwi , 15-28 Maret 1992. Sengketa di Senjakala Hingga tahun 1997, lahan milik Herman itu aktif digunakan untuk berbagai kegiatan olahraga. Menurut Kompas , 21 Januari 2010, meskipun banyak digunakan orang dari keluarga penguasa dan kaum berpunya, masyarakat boleh beraktivitas di lahan itu. Warga sekitar boleh menggunakan sasana tinju, bulutangkis, atau sekadar melihat orang berlatih menunggang kuda, dan lari pagi. Menjelang akhir kekuasaan Soeharto, Satria Kinayungan mulai meredup. Pamor Herman Sarens berangsur-angsur ikut pudar. Pada awal gerakan reformasi, tiba-tiba aktivitas di pusat olahraga milik Herman itu berhenti. Herman yang telah memasuki masa tua, diusik kehidupannya. Menurut laporan Tempo , 31 Januari 2010, sejak 2005, Herman masuk daftar pencarian orang Markas Besar TNI. Sebanyak tiga kali Oditur Militer Tinggi II Jakarta memanggilnya untuk proses pengadilan. Tiga kali pula Herman mangkir. Di senjakalanya, Herman malah terlilit sengketa. Pihak TNI menyatakan, Herman menyalahgunakan wewenang saat menjadi pimpinan TNI AD tahun 1970. Herman dianggap telah menguasai lahan Satria Kinayungan semenjak dirinya menjabat Komandan Korps Markas Hankam dan Mabes AD. Herman digugat lantaran status kepemilikan lahan itu ternyata belum jelas. Pada 19 Januari 2010, Polisi Militer Komando Daerah Militer Jakarta Raya menangkap Herman karena menolak panggilan sidang Oditur Militer Jakarta. Penjemputan Herman sempat berjalan alot sehingga kediamannya di Serpong, Tanggerang Selatan dikepung aparat. Penangkapan Herman jadi pemberitaan yang menyita perhatian publik kala itu.  Proses hukum tetap berjalan meski kondisi kesehatan Herman semakin melemah karena faktor usia.   Herman akhirnya menyerahkan lahan itu kepada negara pada 17 Juni 2010 setelah ada keputusan dari Mahmakamah Militer Tinggi Jakarta. Persoalan kepemilikan lahan itu selesai dengan damai. Tak lama kemudian, Herman meninggal pada 11 Juli 2010 dalam usia 80 tahun. "Persoalan (sengketa tanah) itu selesai dengan damai,” ujar Hadijah Soediro, istri Herman, dikutip Kompas , 12 Juli 2010. “Jangankan hanya tanah, beliau pernah menegaskan bersedia menyerahkan jiwa raganya jika untuk negara," demikian pungkas Hadijah.

  • Perjuangan M.H. Thamrin Lewat Sepakbola

    Ada sebuah babak unik dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia. Politik dan sepakbola pernah begitu identik. Di dua lapangan inilah tokoh-tokoh pergerakan nasional berupaya menumbuhkan gagasan kebangsaaan dan memperbaiki nasib golongan anak bangsa. Salah satu tokoh tersebut adalah Mohammad Hoesni Thamrin, lahir pada 16 Februari 1894. “Thamrin adalah seorang unpredictable . Begitu luas, begitu lapang penjelajahan aktivitas politik Thamrin,” kata sejarawan JJ Rizal dalam diskusi Dari Stadion VIJ menuju Stadion M.H. Thamrin di Balaikota, Jakarta, 15 Februari 2019. Thamrin bergerak dalam lapangan politik melalui Gemeenteraad (Dewan Kota), Volksraad (Dewan Rakyat), Kaoem Betawi, dan Partai Indonesia Raya (Parindra). Dia berupaya mengangkat nasib warga kampung di Batavia melalui sidang-sidang Gemeenteraad (Dewan Kota) sejak 1919. Wujudnya berupa desakan terhadap pemerintah kolonial untuk melaksanakan program perbaikan kampung ( Kampongs Verbetering ). Ketika naik menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) selama 1927-1940, Thamrin menjembarkan perjuangannya. Dia berkhidmat untuk perbaikan nasib seluruh anak bangsa di antero Hindia Belanda. Antara lain upaya menghapus Poenali Sanctie (ordonansi merugikan bagi para kuli di Sumatra Timur). Kemudian Thamrin masuk ke lapangan sepakbola pada 1928. Tidak hanya sebagai penonton, melainkan juga sebagai pemain. Dia seorang candu bola. “Sebenarnya ini tidak istimewa. Para founding fathers, para pendiri bangsa, itu gila bola,” kata Rizal. Misalnya Mohammad Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka. Yang membuat Thamrin berbeda adalah pandangannya tentang sepakbola dan keterlibatannya secara langsung di lapangan sepakbola. Dia memandang sepakbola sebagai alat perjuangan dan penumbuh rasa kebangsaan untuk golongan anak bangsa. Dia berikhtiar mewujudkan gagasannya lewat lapangan sepakbola. Ilustrasi dalam suatu edisi surat kabar Pemandangan tentang minat orang ke Lapangan Laan Trivelli. (Festival 125 Tahun M.H. Thamrin). Politik ras di sepakbola Golongan anak bangsa ( inlander ) menempati kasta ketiga dalam susunan masyarakat kolonial. Di bawah golongan Eropa dan Timur Asing. Pembagian kasta memunculkan diskriminasi hak dan kewajiban pada tiap golongan dalam beragam aspek kehidupan: pendidikan, politik, ekonomi, sosial, dan olahraga. Diskriminasi dalam bidang olahraga tampak dalam larangan bagi anak bangsa untuk bergabung ke perkumpulan klub-klub sepakbola ( bond atau perserikatan) golongan Eropa. “Saat itu mereka dilarang bergabung ke dalam bond seperti WJVB (West Java Voetball Bond), yang kemudian berganti nama menjadi VBO (Voetballbond Batavia en Omstreken). Mereka memiliki klub, tapi tidak punya bond ,” kata Abdillah Afif, salah satu penulis dan periset buku Gue Persija . Klub-klub sepakbola berisi anak bangsa di Batavia antara lain Tjahja Kwitang, Gang Solitude, Roekoen Setia, dan Setia Oetama. Mereka bersaing dalam kompetisi khusus untuk anak bangsa (Inlandsche Voetball Competitie) garapan Oliveo dan BVC sejak 1905. Diskriminasi lain terhadap anak bangsa dalam sepakbola tampak pula pada larangan penggunaan stadion milik klub golongan Eropa. Suatu hari pada 1927, kebakaran melanda sebuah kampung di Pasar Baru —sekarang masuk wilayah Jakarta Pusat. Klub-klub anak bangsa berniat membantu korban kebakaran. Caranya dengan menggelar pertandingan amal. Mereka mencari stadion untuk pertandingan tersebut. Sebab mereka hanya punya lapangan kecil seadanya. Tak cukup layak untuk pertandingan amal. Klub-klub anak bangsa menghubungi Hercules, salah satu klub golongan Eropa. Tujuannya untuk meminjam stadion milik Hercules sebagai tempat pertandingan amal. “Tapi Hercules menolak mentah-mentah permintaan mereka,” kata Afif.      Aneka bentuk diskriminasi tersebut menyadarkan pengurus klub-klub anak bangsa bahwa sudah saatnya mereka bersatu membuat bond sendiri. Tidak bergantung pada belas kasih golongan lain. Maka lahirlah VBB (Voetball Bond Boemipoetera) pada November 1928. Sebulan setelah Sumpah Pemuda. Tapi orang-orang dalam VBB tak seirama. Sikap mereka terhadap Bond golongan Eropa terbelah. Apakah harus melawan atau berkawan. Akhirnya pada 30 Juni 1929, kelompok penentang diskriminasi di sepakbola mendirikan Voetballbond Indonesia Jacatra (VIJ). Mereka tidak memilih kata Indische. Sebab organisasi pergerakan nasional mulai menanggalkan kata itu. “Pergantian nama ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara dunia pergerakan nasional dengan sepakbola,” kata Rizal. Kelak pengurus VIJ turut berperan melahirkan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 1930. Kemudian VIJ berganti nama jadi Persija pada 1942. Keterlibatan Thamrin Thamrin memperhatikan perkembangan sepakbola di Batavia: dari pendirian VBB hingga VIJ. Rizal menduga ada peran Thamrin dalam menjembatani semangat Kongres Pemuda Oktober 1928 dengan pendirian VBB November 1928. Saat itu Thamrin telah aktif di Volksraad . Menurut Bob Hering dalam Mohammad Hoesni Thamrin: Tokoh Betawi-Nasionalis Revolusioer Kemerdekaan , dia kerap mendorong pembentukan kesatuan sinkretis yang padu demi menghapus diskriminasi pemerintah kolonial terhadap anak bangsa di beragam bidang. “Thamrin selalu bicara dalam alur perpaduan nasionalisme Indonesia baik golongan kooperasi maupun non-kooperasi,” tulis Bob. Pilihan strategi politik ini menjadikan Thamrin ibarat jembatan antara dua kelompok. Sebab masa itu terdapat dua kelompok besar dalam pergerakan nasional. Kelompok kooperasi (bekerja sama) dengan pemerintah kolonial dan kelompok non-kooperasi. Mereka bersitegang meskipun cita-cita perjuangannya sama: Indonesia merdeka. Thamrin meyakini bahwa perwujudan cita-cita tersebut bergantung pada kekuatan golongan anak bangsa. Bukan pada belas kasih etika dan moral pemerintah kolonial. Dia memang berada di Volksraad dan memilih jalan bekerja sama dengan pemerintah kolonial. “Dengan bekerja sama saya dapat berbicara, bukan?” kata Thamrin dalam Matahari Jakarta karya Soekanto S.A. Tapi kerja sama itu tak berarti meletakkan kesetiaannya pada kekuasaan kolonial. Dia justru menyerang kebijakan pemerintah kolonial dari dalam gedung milik pemerintah, di depan muka para pembesar kolonial. M.H. Thamrin dan rekan-rekannya beristirahat setelah mengadakan pertandingan eksebisi di Lapangan Laan Trivelli pada 1932. (Festival 125 Tahun M.H. Thamrin). Thamrin tak hanya berperan sebagai jembatan dalam politik , melainkan juga dalam lapangan sepakbola. Dia mendukung penuh pergantian nama VBB menjadi VIJ. Bagi Thamrin, VIJ adalah wujud elan revolusioner, elan kebangsaan. Hubungan Thamrin dan VIJ terus terbangun. Dia masuk struktur VIJ sebagai pelindung ( beschermer ). Dia lalu menghubungkan VIJ dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya seperti Otto Iskandardinata. Otto adalah kawan Thamrin di Volksraad . Otto juga pecandu bola seperti Thamrin. Dia orang Sunda kelahiran Bandung. Dia ketua Paguyuban Pasundan, salah satu organisasi pergerakan nasional. Dia sering meminjamkan gedung Paguyuban Pasundan untuk rapat pengurus VIJ. Kelak Otto berjuluk Si Jalak Harupat. Nama julukannya dijadikan nama stadion di Jawa Barat yang biasa dipakai Persib Bandung bertanding. Sekarang pendukung Persija dan Persib justru bermusuhan. Menyumbang lapangan layak Otto dan Thamrin pernah melakukan pertandingan eksebisi dua kali pada 1932 dan 1933. Mereka mengajak tokoh-tokoh pergerakan nasional mengolah bola di lapangan. Hal ini terekam dalam foto-foto pers sezaman seperti Pemandangan dan Pandji Poestaka . “Ada foto Thamrin, Otto, dan tokoh pergerakan nasional sedang rehat di pinggir lapangan, dekat gedeg (pagar dari bambu) lapangan Laan Trivelli, Jakarta Pusat,” kata Afif yang meriset hubungan Thamrin, pergerakan nasional, dan VIJ sejak 2013. Foto itu tersua dalam ‘Festival 125 Tahun M.H. Thamrin’ di Pulo Piun, sekarang dikenal sebagai Stadion VIJ. Keberadaan lapangan untuk kegiatan VIJ tak lepas dari andil Thamrin. Menurut Afif, VIJ selalu kesulitan menggelar pertandingan. Banyak lapangan di kampung-kampung Batavia tidak layak untuk memutar kompetisi antar klub VIJ. Kemudian pengurus VIJ melaporkan situasi ini kepada Thamrin. Dia menyumbangkan uang senilai 2000 gulden untuk mengupayakan lapangan layak di Laan Trivelli, sekarang terletak di Jalan Tanah Abang II, Jakarta Pusat. Bangunannya sudah berganti permukiman penduduk. “Waktu itu nilai 1 gulden bisa untuk beli 7 kilogram gula. Kalau dirupiahkan, mungkin nilai sekarang sekitar 170 juta rupiah,” terang Afif. Di lapangan inilah Thamrin mengajak Sukarno membuka kompetisi PSSI pada 16 Mei 1932. Tak lama setelah Sukarno keluar dari penjara Sukamiskin, Bandung. Selepas itu, Thamrin mengusahakan VIJ memperoleh lapangan lebih layak dengan tribun penonton dan ruang makan. Harapan itu terwujud pada 1936. Inilah lapangan Pulo Piun. Sampai sekarang masih berdiri. Thamrin wafat pada 11 Januari 1941. Begitu pula dengan perannya sebagai jembatan pergerakan nasional dan sepakbola. Banyak orang membiarkannya ikut terkubur. Festival 125 Tahun M.H. Thamrin menjadi sebentuk upaya menggali kembali gagasan Thamrin tentang hubungan sepakbola dengan politik dan perannya di lapangan sepakbola.

  • Akhir Hayat Sang Penyelamat

    SEPAKBOLA Inggris berduka. Satu legenda sohornya, Gordon Banks, mengembuskan napas terakhir dengan damai dalam tidurnya di kediamannya, Stoke-on-Trent, Selasa 12 Februari 2019 malam waktu setempat (Rabu, 13 Februari 2019 WIB) dalam usia 81 tahun. Banks menderita kanker ginjal sejak 2015. Kabar kematian kiper Inggris saat menjuarai Piala Dunia 1966 itu menuai banyak ucapan belasungkawa. Tidak hanya dari para legenda hidup, klub, FA (Induk Sepakbola Inggris) dan para pemain yang masih aktif, induk organisasi sepakbola Jerman DFB turut mengucapkan belasungkawa. “Seorang lawan yang tangguh dan pribadi yang sangat baik. Beristirahatlah dengan tenang, Gordon Banks,” cuit DFB di akun Twitter resminya, @DFB_Team_EN pada Selasa, 12 Februari 2019. Edson Arantes do Nascimento alias Pelé, legenda hidup sepakbola asal Brasil, turut terpukul mendengar kematian kiper terbaik Inggris sepanjang sejarah itu. Pelé mulai menjalin persahabatan dengan Banks pasca-sang kiper melakukan penyelamatan fenomenal dengan menggagalkan sundulan Pelé di Piala Dunia 1970. “Bagi banyak orang, memori tentang Banks ditentukan oleh penyelamatan dari peluang saya di 1970. Saya mengerti alasannya. Penyelamatan itu salah satu yang terbaik dari yang pernah saya lihat sepanjang karier saya…Saya mencetak begitu banyak gol, tapi kebanyakan orang, saat mereka bertemu saya, selalu menanyakan tentang penyelamatan itu…Jadi saya senang dia menyelamatkan sundulan saya karena itu jadi awal persahabatan kami yang sangat saya banggakan. Beristirahatlah dengan tenang, sobat. Ya, Anda adalah seorang kiper yang punya sihir. Anda adalah manusia yang sangat baik,” tulis Pelé dalam akun Facebook resminya, Selasa 12 Februari 2019. Penyelamatan fenomenal itu terjadi pada partai kedua Grup C, 7 Juni 1970 di Estadio Jalisco, Guadalajara, Meksiko. Dalam satu momen di interval pertama, Jairzinho ngacir dari sisi kiri pertahanan Inggris dan mengirim umpan lambung ke tengah kotak penalti. Pelé langsung meloncat untuk menyambut crossing itu dan menanduk bola hingga memantul lebih dulu sebelum mengarah ke sudut kanan gawang Banks. “Saya sudah berteriak ‘Gol!’ sebagai reaksi,” ujar Pelé dikutip Les Scott dalam Banksy: My Autobiograpy . Tapi betapa terkejutnya Pelé lantaran dengan cepat Banks terbang ke kanan dan menepis saat bola baru sepersekian detik memantul dekat garis gawang. Bola pun gagal bersarang dan hanya menghasilkan tendangan sudut. “Saya pikir harusnya itu gol,” cetus Pelé seketika usai sundulannya kandas. “Saya pun sempat berpikir begitu,” jawab Banks. “Anda mulai menua, Banksy. Biasanya bisa ditangkap, kan,” kata bek Inggris Bobby Moore menimpali dalam obrolan singkat. Sayang di laga itu Inggris akhirnya kalah setelah Jairzinho mencetak gol semata wayang di menit 59. Pele dan Gordon Banks yang bersahabat sejak 1970. (Facebook Pele) Dari Buruh Serabutan ke Pentas Dunia Banks lahir di Abbeydale, Sheffield, 30 Desember 1937 dari keluarga yang ekonominya pas-pasan. Di usia 15 tahun, Banks harus putus sekolah demi membantu perekonomian keluarga dengan menjadi buruh di perusahaan batubara lokal. Setelah itu, tulis Les Scott dalam autobiografi Banks terbitan 2002 itu, Banks jadi buruh bangunan di Catcliffe menyambi jadi kiper klub amatir Millspaugh. Titik balik hidupnya bermula saat Banks ditawari trial oleh pemandu bakat Chesterfield pada Maret 1953. Banks tak menyia-nyiakannya dan tampil impresif hingga mendapat kontrak paruh waktu dengan gaji tiga poundsterling sepekan pada Juli di tahun yang sama. Dari situlah namanya mulai dikenal hingga dibeli Leicester City pada 1959, Stoke City pada 1967, sampai pensiun bersama Fort Lauderdale Strikers pada 1978. Performa apiknya saat bersama Leicester menjadi bekal Banks masuk Timnas Inggris U-23 pada 1961 dan timnas senior dua tahun berselang. Karier emasnya dicetak pada Piala Dunia 1966, di mana Banks dkk memenangi trofi Piala Dunia untuk kali pertama yang hingga kini masih jadi satu-satunya kenangan paling manis buat Negeri Ratu Elizabeth II. Di Piala Dunia berikutnya, nama Banks kian melangit setelah melakukan penyelamatan terhadap sundulan Pelé. FIFA sampai menyebut aksi itu sebagai aksi penyelamatan terbaik sepanjang sejarah. International Federation of Football History and Statistics menempatkannya sebagai kiper terbaik kedua Abad ke-20 setelah Lev Yashin. Bila Banks tak keracunan makanan, bisa jadi Inggris mampu mempertahankan gelar di Piala Dunia Meksiko 1970. Namun nahas, jelang perempatfinal kontra Jerman Barat, kondisi Banks mengharuskan pelatih Alf Ramsey mencadangkannya. “Peter Bonetti menggantikan Gordon yang masih sakit di perempatfinal yang sarat drama dan membuat sakit hati,” tulis Jim Morris dalam Gordon Banks: A Biography. Inggris seolah “dikerjai” dan soal ini masih jadi misteri sampai sekarang. Banks menderita keram perut, diare, dan keringat dingin mengucur terus-menerus tak lama setelah minum bir bersama rekan-rekan setimnya. Anehnya, hanya Banks yang keracunan. “Saya tak ingat jika tutup botol yang disajikan sudah terbuka atau tidak. Yang pasti, setengah jam kemudian saya merasakan nyeri pada perut saya,” ungkap Banks dalam biografinya. Gordon Banks (jersey kuning) bersama timnas Inggris saat memenangi Piala Dunia 1966. (fifa.com) Selain itu, Inggris juga “dikerjai” sebelum menjalani laga perempatfinal di Léon, sekitar 200 kilometer dari Guadalajara yang jadi basis tim Inggris. Sedianya, tim Inggris ingin pakai pesawat ke venue , tapi panitia mengatakan landasan bandara di Léon tak cukup memadai buat pesawat tim. Padahal, pesawat tim Jerman bisa mendarat di Léon. Banks dkk. terpaksa mengarungi perjalanan darat Guadalajara-Léon dengan bus tanpa AC selama lima jam. Tanpa banks di bawah mistar, Inggris akhirnya kalah 2-3 dari Jerman Barat di Estadio Nou Camp, Léon, 14 Juni 1970. Ironisnya, nasib Banks setelah pensiun pada 1972 tak begitu cemerlang. Dari 1977-1980, Banks secara serabutan melatih klub-klub kecil Liga Inggris seperti Port Vale hingga Telford United. Pada 1980 di Telford United, Banks vakum lantaran menjalani operasi. Tapi saat kembali ke klub, Banks malah dipecat. Manajemen klub hanya bersedia menampung Banks sebagai penjual kupon undian. Banks memutuskan pergi dari klub itu tak lama kemudian. “Saya sakit hati…tidak mau lagi berada di dalam manajemen klub,” ujarnya saat diwawancara BBC , 24 Agustus 2010. Banks lantas memilih berbisnis dengan membuka hotel kecil di Leicester. Sayang, bisnisnya mandek dan bangkrut. Perekonomiannya baru bisa perlahan bangkit setelah dibantu Leicester City, bekas klub Banks yang prihatin kepadanya. Pada 2001, pria yang pernah ditawari posisi presiden kehormatan seumur hidup oleh Stoke City itu mengambil satu keputusan tersulit dalam hidupnya. Banks melelang medali emas Piala Dunia 1966 di Rumah Lelang Christie’s dan laku seharga 124.750 pounds. Keputusan itu diambil setelah Banks berpikir masak-masak tak ingin medalinya jadi biang rebutan warisan ketiga anaknya kelak jika dia meninggal.*

  • Yang Kaya yang Madu Tiga

    SUATU hari, Maria Ullfah kedatangan seorang perempuan di Biro Konsultasi. Dengan berlinang airmata perempuan itu bercerita tentang suaminya yang tiba-tiba kawin lagi. Ia meminta Maria Ullfah untuk mengurus perceraian ke Raad Agama. Perempuan itu jelas bukan satu-satunya istri yang mendapati suaminya kawin lagi. Biro Konsultasi, yang dibentuk Kongres Perempuan Indonesia pada 1935, memang dibentuk untuk menangani banyaknya masalah perempuan dalam perkawinan. Kala itu, permaduan menjadi masalah yang kerap menimpa perempuan. Menurut missionaris A. Kruijt dalam penelitiannya tahun 1903 yang dikutip Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia, poligami kebanyakan dilakukan orang-orang dari kalangan bangsawan dan menengah ke atas. Di kalangan rakyat bawah, poligami jarang terjadi. “Terdapat strata yang besar… Di kalangan kaum buruh dan mereka yang kondisinya lebih baik, poligami jarang ditemui,” tulis Kruijt. Pernyataan Kruijt didukung sebuah laporan mengenai ekonomi desa yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda pada 1912. Laporan tersebut menyebut angka poligami di desa dan kalangan masyarakat bawah cenderung tidak ada alih-alih banyak dari kaum bangsawan dan kelas berada. Tingginya angka poligami di kalangan bangsawan disebabkan kurangnya bekal para perempuan bangsawan untuk bertahan hidup sendiri. Mereka tak pernah dilatih untuk menghidupi diri sendiri karena terbiasa dilayani dan sejak kecil dididik untuk menjadi nyonya rumah. Melepaskan perkawinan lantaran dipoligami berarti menyengsarakan diri dan anak-anak. Mereka akhirnya terpaksa menerima permaduan karena dianggap lebih aman dibanding menggugat cerai. “Pada umumnya wanita dari lapisan masyarakat rendah jauh lebih tegas dalam menuntut perceraian sebab mereka sudah biasa mencari nafkah sendiri,” kata Maria Ullfah dalam rekaman Arsip Sejarah Lisan Arsip Nasional Republik Indonesia. Poligami dalam Angka Poligami menjadi isu hangat yang diperbincangkan sejak akhir abad ke-19. Data sensus pemerintah kolonial tahun 1930 menunjukkan: persentase poligami di Jawa dan Madura mencapai 1,9%, di pulau-pulau luar 4%, dan di kalangan orang Minangkabau sebesar 8,7%. Dalam laporan Indisch Verslag terbitan 1939, angka poligami di Jawa mencapai 163.362. Dari angka tersebut, 1.024 poligami mengambil empat istri, sebanyak 7.696 mengambil tiga istri, dan yang terbanyak 154.642 mengambil dua istri. Angka poligami di Jawa pada 1939 tersebut menjadi yang tertinggi di antara wilayah lain. Di Sumatra, total angka poligami mencapai 69.790, di Sulawesi mencapai 22.378, serta di Bali dan Lombok sebesar 14.061. Sementara, Maluku menempati angka terkecil, yakni 5.150 praktik poligami. Namun, angka-angka tersebut hanya merujuk pada praktik poligami yang terdaftar. Faktanya, tidak semua orang melakukan pencatatan perkawinan di era kolonial dan banyak poligami dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak diketahui istri pertama. Achmad Djajadiningrat, bupati Batavia (1924-1929) sekaligus paman Maria Ullfah, yang meneliti jumlah poligami di Bojonegoro pada 1936, menemunkan bahwa di kalangan pegawai sipil, santri, dan pedagang, poligami banyak dilakukan hanya untuk kebutuhan seksual saja. Poligami, sebut Djajadiningrat, juga menjadi faktor terbesar terjadinya perceraian. Ramainya isu poligami mendorong pemerintah kolonial untuk mengeluarkan rancangan undang-undang tentang perkawinan tercatat (Ordonansi Perkawinan) untuk orang bumiputra dan timur asing bukan Tionghoa. Ordonansi itu menyebutkan bahwa semua perkawinan secara agama apapun bisa dicatatkan di kantor bupati. Dengan mandaftarkan perkawinan secara sukarela, orang tunduk pada Ordonansi Perkawinan yang berazas monogami. Ordonansi Perkawinan sendiri menurut gerakan perempuan nonagamis tidak terlalu buruk. Aturan tersebut setidaknya bisa melindungi perempuan dari permaduan sepihak. Pencatatannya pun tidak bersifat wajib. Bagi mereka yang mau mencatatkan, akan dilayani. Tapi bagi yang tidak ingin perkawinannya dicatat, diperbolehkan untuk mengabaikan. Maria Ullfah dalam bukunya Perjuangan untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan menyatakan sepakat dengan Ordonansi Perkawinan. Alasannya, tidak ada paksaan bagi seseoang untuk mendaftarkan perkawinannya. Namun, ketika pemerintah Hindia Belanda menanyakan pendapat KPI tetentang Ordonansi ini, Maria mengusulkan untuk tidak memberi jawaban. Sebab kalau kongres menyatakan tak setuju, akan menjadi suatu kejanggalan mengingat selama ini kongres memperjuangkan pernikahan yang adil, aman bagi perempuan, dan monogami. Namun kalau kongres menyatakan setuju, golongan Islam akan marah dan keluar dari kongres. Golongan Islam menolak keras Ordonansi Perkawinan lantaran produk Barat. Menurut mereka, Ordonansi Perkawinan bukti terlalu ikut campurnya Belanda dalam masalah ibadah orang Islam. Penentangan keras dari golongan Islam dan diamnya kaum perempuan Indonesia akhirnya membuat pemeritah kolonial mencabut rancangan ini. “Kalau Belanda betul-betul berniat baik seharusnya mereka mengumumkan langsung pemberlakuan Ordonansi Perkawinan tanpa perlu konsultasi ke KPI. Apa mungkin Belanda sengaja memancing simpati untuk membuat perpecahan dalam gerakan perempuan Indonesia?” kata Maria Ullfah. Dalam pidato panjangnya di Kongres ketiga yang dilaksankan di Bandung, 1938, Maria memberikan jalan tengah bagi kaum perempuan pro-ordonansi perkawinan dan mereka yang kontra. Menurutnya, undang-undang perkawinan harus dibuat beriringan dengan agama, bukan meninggalkannya. Maria meyakini agama Islam yang dipeluknya hadir tidak untuk menyakiti perempuan. Oleh karenanya lelaki muslim tak punya hak untuk menyakiti perempuan. “Poligami merupakan institusi yang merendahkan keberadaan kami,” kata Maria. Untuk itulah, negara bertanggung jawab untuk melindungi posisi perempuan dalam hubungan perkawinan yang tidak setara melalui hukum yang diterima baik golongan muslim maupun nasionalis. Dalam praktiknya, upaya tersebut sulit diwujudkan. Usaha-usaha menghapuskan poligami selalu mendapat sanggahan dari kaum lelaki. Argumen bahwa poligami hadir untuk menyelamatkan perempuan karena jumlahnya jauh lebih banyak dibanding lelaki benar-benar membuat para perempuan gondok. “Kami tidak ingin menikah karena belas kasihan... Lebih baik bekerja keras daripada menikah karena belas kasihan,” kata Maria.

  • Garis Finis Sang Sprinter Legendaris

    Dunia atletik Indonesia berduka. Satu legenda sprinter, Purnomo Muhammad Yudhi, mencapai garis finis dalam hayatnya. Purnomo mengembukan napas terakhirnya di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jumat, 15 Februari 2019, dalam usia 56 tahun. Purnomo meninggal setelah lama melawan kanker kelenjar getah bening yang menjangkitinya sejak 2015. Jasadnya langsung dikebumikan sekira pukul empat sore di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Di lintasan atletik, Purnomo merupakan satu dari beberapa legenda yang dimiliki Indonesia. Lahir di Purwokerto, 12 Juli 1962, Purnomo menekuni atletik sejak muda lantaran ingin seperti idolanya, Mohammad Sarengat. Di usia belia, Purnomo sudah malang-melintang di berbagai kejuaraan junior meski kerap bertanding tanpa sepatu dan hanya mengenakan kaus kaki. Kondisi itu terpaksa dia lakukan lantaran ekonomi keluarganya. Hingga usia SMA, Purnomo belum mampu memiliki sepatu lari yang memadai. Tapi kerja keras dan pengorbanannya tak mengkhianati hasil. Pada 1983, Purnomo sudah menjadi bagian dalam kontingen Indonesia di Kejuaraan Atletik Dunia (IAAF) di Helsinki, Finlandia. Setahun kemudian, namanya masuk ke dalam tim atletik Indonesia di Olimpiade 1984 di Los Angeles, Amerika Serikat (AS). Di pesta olahraga terbesar sejagat ini bintang Purnomo melesat tinggi kendati tim Indonesia tak membawa pulang medali. Rudy H. Parengkuan menuliskan dalam laporannya, “Olimpiade Los Angeles 1984: Sukses dan Lancar Sekalipun Dilanda Aksi Boikot” yang dimuat di Rekaman Peristiwa ‘84 terbitan Sinar Harapan 1985, Purnomo baik di kategori individu maupun bersama tim estafet mencetak rekor-rekor nasional (rekornas) anyar. “Semula memang targetnya bukan medali, tetapi mencetak rekornas baru dan target ini berhasil tercapai. Purnomo mencetak rekornas untuk 200 meter dengan catatan waktu 20,93 detik. Rekor lama atas namanya sendiri 21,2 detik. Dalam estafet 4x100 meter, kuartet Purnomo, Kardiono, Christian Nenepath, dan Ernawan Witarsa mempertajam rekornas menjadi 40,37 detik,” ungkap Rudy. Sebelumnya, rekornas estafet itu adalah 40,54 detik. Tidak lupa, Purnomo mengukir sejarah baru, tidak hanya untuk Indonesia tapi juga Asia. Purnomo menjadi sprinter Asia pertama yang mampu menembus semifinal 100 meter putra di Olimpiade. Di nomor 200 meter putra, Purnomo hanya mampu sampai perempatfinal. Meski di semifinal Purnomo hanya menempati urutan buncit, urutan kedelapan dengan waktu 10,51 detik, ini jadi kali kedua Purnomo jadi orang tercepat Asia. Di IAAF Helsinki 1983, Purnomo jadi satu-satunya wakil Asia di final 100 meter putra. Untuk urusan prestasi, mengutip Julius Pour dalam Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno , Purnomo menyumbangkan dua perak dari nomor 100 dan 200 meter putra di Kejuaraan Asia 1985 di Jakarta. Sedangkan di SEA Games 1985 di Bangkok, Purnomo membawa pulang dua emas dan sekeping perunggu. Dua emas diperolehnya dari 200 meter putra dan estafet 4x100 meter putra, sementara satu perunggu dari 100 meter putra. Setelah pensiun, Purnomo tak bisa jauh dari dunia atletik. Selain aktif ikut dalam kepengurusan PB PASI, Purnomo juga sempat duduk pula di kepengurusan KONI Pusat. Selain itu, Purnomo juga menjadi ketua pertama IOA (Indonesian Olympian Association) pada 2010 dan bahkan pernah mengutarakan niatnya ingin jadi Menpora untuk membantu kesejahteraan para mantan atlet yang kehidupannya memprihatinkan. “Dia pernah bilang ke saya, ‘Mbak, saya ingin tetap sehat. Saya ingin membantu para atlet,” kata Tuti Mardiko, Wasekjen PB PASI, dikutip Beritagar , Jumat, 15 Februari 2019.

  • Di Balik Pendirian Pao An Tui

    Reporter militer Hans Post meliput pendaratan tentara Belanda di pantai timur Sumatra pada Oktober 1946. Pada bulan pertama kegiatan liputannya di Medan, dia tertarik mengamati keberadaan serdadu dari kalangan Tionghoa. Hans kaget menyaksikan mereka yang berseragam aneh dengan corak kuning berbahan drill itu. Mereka memakai topi pet dan menenteng senapan laras panjang. Pemimpinnya diketahui bernama Lim Seng yang segera memberi penjelasan perihal pasukannya kepada Hans.  Lim Seng menuturkan, pemuda-pemuda Tionghoa harus selalu berjaga dan patroli untuk menghentikan aksi para ekstremis. Pejuang Indonesia bersenjata ini kerap meresahkan; menyerang rumah-rumah milik orang Tionghoa. Mereka merampok dan kadangkala berakhir dengan jatuhnya korban jiwa. Tentara Inggris menolak memasok senjata kepada pemuda-pemuda Tionghoa. Hingga Maret 1946, pemuda-pemuda Tionghoa hanya bersenjatakan tombak dan tongkat. “Inggris menyadari bahwa teror itu menjadi terlalu serius bila tetap bersikap pasif. Setelah sejumlah kecil senjata api disediakan, tak ada lagi penjahat - pencuri - berani memasuki distrik Tionghoa di bawah perlindungan pasukan penjaga Tionghoa,” demikian catat Hans Post dalam reportasenya Bandjir over Noord-Sumatra Volume I: Bandjir over Noord Sumatra yang terbit tahun 1948. Pasukan penjaga keamanan Tionghoa ini kelak lebih dikenal dengan sebutan Pao An Tui (PAT). Ketika revolusi kemerdekaan bergolak di Sumatra Utara, PAT memainkan lakon sebagai musuh orang-orang Republik. Lakon itu bukan tanpa sebab. Di masa krisis itu, mereka terjepit untuk mempertahankan diri guna melanjutkan hidup.   Aji Mumpung  Proklamasi kemerdekaan membawa posisi komunitas Tionghoa berada di bawah ancaman. Setelah pendudukan Jepang berakhir, orang-orang Tionghoa jadi sasaran intimidasi. Kaum pribumi radikal kerap menyatroni kediaman atau toko penduduk Tionghoa yang umumnya masyarakat pedagang. Sudah harta benda mereka dijarah, warga Tionghoa malang ini rentan sekali menjadi korban penculikan, pemerkosaan, hingga pembunuhan.   “Orang Tionghoa menjadi sasaran tindakan balas dendam yang sistematis, karena mereka tergolong kuat secara finansial dan melekat sebagai kolaborator oportunis Belanda,” tulis sejarawan Belanda Anne van deer Veer dalam pengantar tesisnya di Leiden University “The Pao An Tui in Medan: A Chinese Security Force in Dutch Occupied Indonesia, 1945‐1948”.   Sentimen anti-Tionghoa, menurut van der Veer tak lepas dari peran mereka di masa lampau. Di bawah pemerintahan kolonial, kebijakan Belanda memberi orang Tionghoa status yang berbeda: Timur Asing ( Vreemde Oosterlingen ). Meski tetap sebagai warga negara kelas dua setelah bangsa Eropa, orang Tionghoa (bersama Arab dan India) diperlakukan lebih istimewa ketimbang pribumi. Pasukan Pao An Tui mengendarai jeep patroli, Medan, sekitar 1947. (Arsip Nasional RI). Pada bulan November 1945, aksi pencurian dan perampokan mulai merambah rumah-rumah orang Tionghoa di Medan. Gangguan ini semakin meningkat setelah TKR-Pesindo mengumumkan keberadaan mata-mata Belanda yang turut menyeret orang Tionghoa. Laporan intelijen Belanda (NEFIS) mencatat, sebanyak 73 rumah orang Tionghoa dibakar, dan puluhan lelaki Tionghoa dieksekusi karena mencoba melawan. Menurut sejarawan LIPI, Nasrul Hamdani, penindasan atas kepentingan orang Tionghoa merupakan kelanjutan dari aksi “pembersihan” yang dillancarkan kaum Republikan. Sayangnya, tindakan ini tak dibarengi dengan koordinasi yang baik di antara badan-badan perjuangan. Orang Tionghoa jadi dimusuhi hanya karena mereka berasal dari etnis berbeda. Meski demikian, ada juga yang melihat revolusi sebagai momentum “aji mumpung” untuk mengumpulkan kekayaan. Dalam suasana demikian simbol-simbol etnisitas menjadi penting untuk mencari sekutu atau menciptakan seteru. Orang Tionghoa Bersatu Atas penyerangan yang terjadi terhadap kaumnya,  Hua Ch'iao Chung Hui (HCCH, Organisasi Cina Rantau) bereaksi. Dalam sebuah telegram yang dikirimkan kepada Chiang Kai Sek - pemimpin negeri Tongkok -, HCCH menyatakan keprihatinannya terhadap nasib  miris orang Tionghoa di Medan. HCCH  mendesak pemerintah Tiongkok mengirim utusan yang diberi wewenang penuh melindungi orang Tionghoa perantauan di Sumatra. Permintaan HCCH dikabulkan walaupun bukan dalam wujud bantuan militer langsung dari negeri Tiongkok. Sebuah milisi beranggotakan pemuda-pemuda Tionghoa dibentuk pertama kali di Medan pada permulaan tahun 1946. “Baoan Dui”, demikian orang-orang Tionghoa lebih suka menyebutkanya sementara masyarakat lokal di Medan mengucapkannya “Poh An Tui”. Mereka yang tergabung semula adalah pemuda-pemuda jago bela diri. Makin lama, kian banyak orang Tionghoa yang masuk PAT. “Di masa ini tumbuh solidaritas orang Cina hingga mampu mendirikan Pao An Tui (PAT) atau barisan keamanan yang dikenal kejam, sangar, dan tergolong milisi paling kuat di Indonesia,” tulis Nasrul Hamdani dalam artikelnya “Pao An Tui Medan 1946--1948” termuat di Indonesia Across Order: Arus Bawah Sejarah Bangsa suntingan Taufik Abdullah dan Sukri Abdurachman. HCCH menugaskan Lim Seng untuk memimpin dan mengorganisasi PAT. Van der Veer dalam tesisnya menyebut Lim Seng adalah seorang karyawan perusahaan perdagangan Belanda di Medan milik Jacobsen van den Berg di Medan. Lim Seng dibantu oleh dua orang kepercayaan, yaitu Tan Boen Djin dan Tan Boen Hock yang bertugas sebagai penghubung ke jejaring penting. Tan bersaudara ini berasal dari keluarga saudagar Tionghoa terkemuka di Medan. Pembentukan PAT berjalan mulus. Tentara pendudukan Inggris mengizinkan keberadaan PAT dalam menjaga keamanan distrik Tionghoa. Inggris bahkan ikut memasok senjata api kepada PAT. Fasilitas yang dimiliki PAT terbilang mantap dan modern. Markas PAT yang terletak di Hongkongstraat Medan ini, memiliki beberapa kendaraan patroli jenis jeep untuk mempertinggi mobilitas dan komunikasi. Setelah Inggris mengalihkan kekuasannya kepada Belanda, PAT bersekubu dengan tentara Belanda. Bagi mereka, pejuang-pejuang Republik dicap ekstremis, pengacau, dan pelaku teror. Belanda dan PAT kerap melancarkan operasi bersama memburu Tentara Republik ataupun barisan laskar. Operasi ini tak jarang memakan korban dari pihak rakyat sipil. Pada 1952, Kementerian Penerangan yang menerbitkan buku Republik Indonesia: Provinsi Sumatera Utara mengatakan bahwa aksi menyimpang orang Tionghoa dalam revolusi dapat dimaklumi. Selama pendudukan Jepang, orang-orang Tionghoa tak berdaya dan  jadi bulan-bulanan.  Ketika Indonesia merdeka, tak semua orang Tionghoa bisa mengerti esensi perjuangan kaum Republik. Padahal, pemerintah sebelumnya telah menyerukan golongan Tionghoa untuk bekerjasama dan menjauhi pekerjaan membantu musuh-musuh Republik.  “Bagi penduduk Tionghoa di Medan yang selama ini ditindas perniagaan dan perekonomiannya oleh Jepang dapat dimengerti apabila mereka itu melihat kemungkinan-kemungkinan yang menguntungkan dalam mengadakan perniagaan dengan Inggris ataupun Belanda,” tulis Kementerian Penerangan. “Akan tetapi dapat dimengerti pula bahwa semangat dan jiwa revolusi kemerdekaan yang meluap pada dada pemuda bangsa Indonesia mencurigai setiap perhubungan dengan Inggris apalagi Belanda. Maka di sana-sini terjadilah pertempuran bersenjata antara Pao An Tui dengan pemuda Indonesia.

  • Roda Kehidupan Legenda Balap Sepeda

    TANGAN kanannya sibuk menggerak-gerakkan tongkat. Tangan kirinya senantiasa mencari pegangan. Dengan langkah tergopoh-gopoh, Hendrik Brocks sampai ke kursi ruang tamu. Dia tak lagi bisa melihat. Penyakit glukoma merampas penglihatan sang legenda balap sepeda itu sejak 2007. Sosok bersahaja berusia 77 tahun itu tinggal di sebuah rumah sederhana di Gang Rawasalak, Sriwidari, Kota Sukabumi hanya bersama istri, Yati Suryati, seorang pensiunan guru. Kehidupannya jauh dari kata sejahtera. Untuk biaya sehari-hari saja, harus ditopang bantuan kecil-kecilan keluarga besar dan para tetangganya. Hendrik sama sekali tak punya uang pensiun. “Ya makanya kadang sakit kalau mendengar banyak atlet sekarang dikasih bonus miliaran,” ujarnya saat ditemui Historia di kediamannya, Senin (11/2/2019). Padahal, seperti halnya sepakbola dan bulutangkis, di gelanggang balap sepeda era 1960-an Indonesia pernah jadi “Macan Asia” kala Hendrik masih jadi sosok yang disegani oleh kawan maupun lawannya. Di ajang sekelas PON (Pekan Olahraga Nasional), Kejuaraan Asia, Asian Games, Ganefo (Games of the New Emerging Forces) hingga Olimpiade, pria berdarah Jerman-Sunda itu nyaris tak pernah pulang tanpa prestasi. Dari lintasan kampung hingga dunia Hendrik lahir di Sukabumi pada 27 Maret 1942. Perkenalannya dengan sepeda terjadi sejak usia sekolah dasar kendati hanya sekadar untuk selingan bermain.  Dengan sepeda onthel milik ayahnya, Joppi Brocks, Hendrik acap bersepeda di kebun-kebun dan kampung sekitar rumahnya. Hendrik tak pernah menyangka sebuah event road race tingkat daerah di Sukabumi pada 1958 akan jadi titik balik bagi kehidupannya. “Anak-anak (teman-teman) bilang agar saya ikut. Tapi saya ragu karena enggak punya sepeda (balap),” sambungnya. Namun dorongan teman-temannya membuat Hendrik yang masih di usia sekolah menengah dan “buta” teknik balap sepeda itu pun mengikuti race dengan rute Sukabumi-Cisaat-Gekbrong-Sukabumi. “Akhirnya pakai sepeda kumbang punya teman. Pas lihat lawan-lawannya, waduh pakai sepeda balap semua. Saya bengong lihat sepeda mereka. Rantainya beda, gear -nya banyak, stang -nya yang tanduk begitu. Aneh lah pokoknya buat saya waktu itu.” Alhasil, sebelum start , Hendrik kerap mendengar sindiran meremehkan dari lawan-lawannya. “Awalnya diketawain sama pembalap-pembalap dari Bandung, Bogor, enggak tahu kenapa. Pas lagi balapan, malah dibilang: ‘Anak Sukabumi ngalang-ngalangin saja nih!’. Tapi saya diam saja,” kenangnya. Hendrik tak gentar. “Malah tambah semangat,” katanya. Tak dinyana, Hendrik yang masih “anak bawang” justru jadi yang pertama melewati garis finis. “Pas sampai Gekbrong, saya sudah tinggal sendirian paling depan. Alhamdulillah menang,” ujarnya mengenang masa lalu. Hendrik Brocks bersama kedua orangtuanya. (Dok. Hendrik Brocks) Saking bangganya, ayah Hendrik menghadiahinya sepeda balap bekas. Sejak itu, Hendrik lebih sering ikut beragam kejuaraan di berbagai kota. Namanya mulai dikenal sejak menang sebuah event road race di Jakarta tahun 1959 dengan rute Jakarta-Serang-Jakarta. Di tahun itu pula Hendrik ikut terpilih masuk Pelatnas Balap Sepeda lewat Invitasi Nasional jelang persiapan Olimpiade Roma 1960. “Usia saya masih 19 tahun waktu itu. Kita TC (Training Camp) di Semarang dan saya paling yunior usianya dari empat yang lolos seleksi nasional. Ada saya, Rusli Hamsjin, Theo Polhaupessy, dan Sanusi. Kita dilatih orang Italia yang lama tinggal di Medan, Maurice Lungo,” ujarnya. Sayang, keempatnya gagal meraih medali. Hasil terbaik dicetak lewat nomor Time Trial 100 kilometer putra. Indonesia, dilansir sport-reference.com , duduk di urutan ke-26 dari 32 tim yang ambil bagian dengan catatan waktu 2 jam 34 menit 29,98 detik. Hasil itu lumayan baik bagi peserta dari Asia. Korea Selatan yang bersama Indonesia mewakili Asia di olimpiade itu hanya hanya menempati urutan ke-30 dengan waktu 2 jam 53 menit 09,51 detik. “Makanya waktu pulang dari Roma langsung ditunjuk oleh Bung Karno (Presiden Sukarno) bahwa balap sepeda akan jadi salah satu prioritas untuk Asian Games 1962, agar bisa memberikan emas. Tapi sebelum itu kita semua kembali ke daerah masing-masing untuk persiapan PON V dulu di Bandung (1961). Saya ikut mewakili Jabar (Jawa barat). Dari 11 nomor, saya dapat 10 emas,” sambung Hendrik. Pasang surut Seusai PON, Hendrik kembali ke Pelatnas di Jakarta jelang Asian Games 1962. Kali ini, tim balap sepeda dibesut pelatih asal Jerman Timur Rolf Nietzsche. “Waduh dia sih, untuk kedisiplinan tinggi sekali, keras orangnya. Apalagi dia ngomongnya bahasa Jerman terus. Kita enggak bisa ngomong Jerman tapi tetap bisa menangkap apa yang dia mau,” katanya. Pada Asian Games 1962 yang dibanggakan Bung Karno itu, tim Indonesia memetik tiga emas. Sebagaimana dimuat dalam biografi MF Siregar: Matahari Olahraga Indonesia, tim yang berisi Hendrik, Aming Priatna, Wahju Wahdini, dan Hasjim Roesli itu memenangkan nomor Team Time Trial 100 km dengan catatan waktu 2 jam 37 menit 23,1 detik. Ketiganya, ditambah Frans Tupang dan Henry Hargini, mencomot emas kedua di nomor Open Road Race 180 km. Emas ketiga dicetak Hendrik pribadi di nomor yang sama kategori individu. Tiga medali emas Asian Games 1962 milik Hendrik Brocks (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Di Asian Games dapat tiga emas, kita semua diundang ke Istana Negara. Tapi ya, juragan (Presiden) dulu mah hanya bilang terima kasih, disuruh semangat lagi latihannya. Habis itu balik kanan, sudah. Kita mah hanya lihat punggungnya saja,” kenang Hendrik sembari memperlihatkan tiga medali yang disimpannya dengan baik di tiga kotak kayu. Roda karier dan kehidupan Hendrik terus berputar. Medali demi medali dibawanya pulang, mulai dari Ganefo 1963 (satu emas dan satu perak), hingga Ganefo Asia 1966 (satu emas, satu perak, dua perunggu). Dua emas di Kejurnas 1967 menjadi penutup karier emasnya. Dua tahun berselang, Hendrik melatih tim balap sepeda Jaawa Barat di PON VII Surabaya dan mengantarkan anak didiknya, Irwan Iskak, menggamit satu emas. Namun di PON VIII Jakarta, Hendrik kembali turun gelanggang . “Mulanya saya sama Wahju hanya disuruh melatih tim DKI. Tapi Wahju bilang, saya disuruh ikut turun lagi. Saya bilang, ‘Ah gila lu, gua kan sudah tua.’ Tapi akhirnya dia meyakinkan saya sampai akhirnya ikut turun. Dapat perunggu, lumayan, sama dikasih piagam dari Ali Sadikin (Gubernur DKI),” lanjutnya. Setelah itu, Hendrik mulai merambah level nasional kepelatihan. Setelah ikut penataran pelatih pada 1975, Hendrik mendapat sertifikat pelatih nasional. Namun tak lama kemudian, Hendrik memilih mundur. “Saya tuh gimana ya. Kalau sudah sakit hati, saya tinggalin deh itu sepeda sampai 1983,” ujarnya tanpa mau menjelaskan penyebab persoalannya. Lama vakum dan sempat berbelok jadi pelatih atletik tim Jabar pada 1980, Hendrik kembali pada 1983 dengan menjadi juri Tour de Java. Di tahun yang sama, dia melatih timnas untuk Kejuaraan Asia di Manila dengan hasil satu perak dan dua perunggu. Setahun kemudian Hendrik membawa anak-anak asuhnya memenangi satu emas di ASEAN Cup dan perak di Kejuaraan Asia 1985. Sempat dimintai bantuan melatih tim PON Lampung hingga 1995, Hendrik lalu kembali ke tim PON Jabar. “Tapi saya melatihnya tim MTB (Mountain Bike). Saya disuruh melatih tim road race , enggak mau. Saya ingin suasana baru. Di PON 1995, kita dapat satu perunggu,” ungkapnya. Selain aktif melatih, Hendrik kemudian dipercaya menjadi manajer tim Kabupaten Sukabumi tingkat Porda hingga 2008. “Saya sudah mulai tidak bisa melihat tahun 2007, tapi masih tetap, jadi si buta ini jadi tim manajer. Tapi setahun kemudian sudah saya lepas,” imbuhnya. Tapi karena minimnya perhatian pemerintah selama dia masih aktif, Hendrik menjalani masa senjanya dengan terseok-seok. Untuk biaya sehari-hari saja, harus dibantu keluarga besar dan tetangga sekitarnya. Kondisi rumahnya sepeninggal orangtuanya terus memburuk tanpa mampu diperbaikinya. Hendrik Brocks menderita glaukoma sejak 2007. (Randy Wirayudha/ Historia ). “Enggak pernah ada bonus! Enggak kayak sekarang, bonus…bonus…bonus. Enggak saya pernah merasakan bonus. Di TC saja dulu enggak dapat uang saku. Kalaupun dapat, pas lagi kejuaraan ke luar negeri. Itu pun untuk beli oleh-oleh saja tidak cukup. Pensiun juga tidak ada. Kalau sekarang, jangankan PON, Porda aja pegawai negeri udah pasti di tangan kalau berprestasi,” ujar Hendrik dengan nada meninggi. Untuk mengobati glaukomanya saat awal-awal terserang, Hendrik harus dibantu KONI Kabupaten Sukabumi dan teman-temannya lantaran BPJS Kesehatan pun tak punya. Medio 2007, Menpora Adhyaksa Dault sempat menjanjikan dana pensiun kepadanya. Hendrik juga mendapat bantuan rumah dari menpora. Setelah satu dekade, rumah itu terpaksa dia jual guna membiayai renovasi rumah warisan ayahnya yang ia tinggali kini. Rumah itu sempat hampir roboh sebelum bisa direhab. Tetapi sampai lebih dari satu dekade berlalu, dana pensiun yang dijanjikan Adhyaksa tak jua ditepati. Uang itu setidaknya bisa untuk menyambung hidupnya dan istri. “Belum lama lalu, sempat saya berkirim surat juga ke Erick Thohir (Ketua Komite Olimpiade Indonesia/KOI), namun sampai sekarang belum ada jawaban soal dana pensiun itu,” kata Hendrik menutup pembicaraan.

  • Pao An Tui yang Dibenci Kaum Republik

    Kawasan pecinan di Pasar Sentral, kota Medan cukup tenang pada siang hari. Aktivitas para pekerja dan pedagang berjalan sebagaimana biasa. Namun memasuki waktu malam, keadaan berubah mencekam. Letusan tembakan acap kali menggema. Demikianlah suasana keamanan di distrik Tionghoa itu pada awal 1946. Menurut keterangan warga setempat yang dikutip Abdullah Hussain, Kepala Polisi Langsa yang sedang tugas di Medan, orang-orang Tionghoa di kawasan itu telah dipersenjatai oleh NICA. Mereka membentuk sebuah barisan sendiri yang diberi nama Pao An Tui (PAT). “Dari atas loteng rumahnyalah mereka melepaskan tembakan kepada pejuang-pejuang Indonesia yang menyusup masuk ke dalam kota pada waktu malam,” kenang Abdullah dalam Peristiwa Kemerdekaan di Aceh . Perbuatan pasukan PAT itu kontan bikin jengkel. Pemuda-pemuda Medan berang. Sekali waktu mereka mencari pemimpin PAT itu. Keesokan harinya, seorang pentolan PAT ditembak mati. Ketegangan antara pejuang Republik dengan PAT masih terus berlanjut. Mulai dari pusat kota merembet hingga ke pelosok di luar kota Medan. Bentrokan dan kontak senjata sering terjadi.   Penguasa Pasar Tujuan semula pembentukan PAT adalah untuk menjaga keamanan basis masyarakat Tionghoa. Di Medan, toko-toko milik pedagang Tionghoa kerap kali dirampok oleh penjahat lokal sebagai ekses dari revolusi.  Tetapi akhirnya, dalam setiap patroli yang dilakukan tentara Inggris atau Belanda, satuan PAT selalu dilibatkan. “Pasukan-pasukan ini dipakai dalam patroli-patroli Belanda untuk menggempur laskar dan TRI. Persenjataan dan perlengkapan lainnya dari pasukan ini jauh lebih baik dari laskar dan tentara,”tulis buku Perjuangan Semesta Rakyat Sumatera Utara yang diterbitkan Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera. PAT memperoleh akses atas kawasan tertentu dengan menjalin koordinasi ke pihak tentara Belanda. Tiap daerah pendudukan yang dikuasai Belanda, PAT bertugas mengamankan kawasan pecinan didalamnya. Maka tak heran bila PAT punya kontrol atas pasar-pasar di daerah pendudukan dalam garis demarkasi. Pasukan PAT yang berpatroli memburu ekstremis di sekitar Medan, 1947. Sumber: ANRI. Menurut penelitian sejarawan LIPI Nasrul Hamdani dalam Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960 , PAT selalu menjaga ketat pasar-pasar dan tempat warga kota berinteraksi. Setiap pos di keramaian ini dijaga berlapis untuk mengantisipasi penyusup atau mata-mata Republik. Pasukan PAT penjaga pos didampingi penembak jitu Belanda yang membidik dari loteng-loteng pertokoan. Semua orang yang dicurigai diperiksa, perempuan maupun lelaki.   PAT punya cara yang terbilang unik dalam menggeledah tubuh. Mereka yang punya bahu keras akan segera diringkus dan dicap sebagai ekstremis Republik. Operasi anti-spionase PAT menyimpulkan, bidang bahu yang mengeras terjadi karena pergesekan tali senapan yang disandang saat bergerilya. Penangkapan warga atas dasar kondisi otot bahu biasa dilakukan, meski awalnya melalui prosedur resmi. “Beberapa proses interogasi berujung pada kematian, dan untuk menghilangkan jenazah korban interogasi, satu daerah semak belukar di jalan Tempel dijadikan kuburan sekaligus tempat eksekusi penyusup dan pengacau,” tulis Nasrul. Aksi PAT  Dari seratusan pemuda Tionghoa yang jago bela diri, personel PAT membengkak jadi seribuan orang. Jumlah sebanyak itu juga dimanfaatkan Belanda sebagai tenaga tambahan. PAT kadang dilibatkan dalam operasi militer Belanda ke pedalaman di luar garis demarkasi. Dalam operasi ke Deli Tua pada 10 mei 1946, misalnya. Tentara Belanda menyerbu dengan kekuatan tank, panser, puluhan truk pengangkut personel dan pasukan artileri. Serdadu PAT memainkan aksi penyusupan nya ke jantung pertahanan kubu Republik. Cara yang dilakoni PAT terbilang nekat dan berani.   Mereka menyamarkan diri sebagai laskar rakyat yang mengendarai kendaraaan tempur Belanda. Seolah-olah telah berhasil merebut fasilitas tempur itu melalui suatu pertempuran. Kendaraan yang ditunggangi PAT dipasangi bendera putih berikut papan bertuliskan nama-nama pentolan laslar rakyat seperti Bedjo dan lain-lain. Penduduk setempat yang menyaksikan konvoi “pejuang gadungan” itu terpana dan memberikan sambutan.   “Ketika warga mulai percaya, yang terjadi adalah penggeledahan warga,” tulis Nasrul. Ada kalanya mereka tergoda juga menjarah barang milik warga. PAT jadinya dibenci sekaligus ditakuti kaum Republik. Ketika melancarkan agresi militer yang pertama 21 Juli 1947,  pasukan Brigade Z Belanda berhasil menjebol pertahanan Komando Medan Area (KMA) dalam sekejap. Dalam serbuan itu, PAT lagi-lagi turut serta. Sebagaimana taktik perang kota, mereka menyerang dari belakang lewat celah-celah pertokoan.    “Kalau Belanda menyerbu bagai air bah, Poh An Tui menyerang bagai ular yang mematuk mangsanya dari atas pohon,” kenang Nukum Sanany, anggota Batalion VI Resimen II Divisi X Sumatera dalam Pasukan Merian Nukum Sanany yang disusun B. Wiwoho. Di kalangan PAT timbul penilaian yang keliru terhadap pejuang Indonesia. Mereka menilai semua barisan bersenjata Republik adalah pasukan penjahat yang suka menggarong harta benda masyarakat Tionghoa. Tindakan permusuhan sering diperlihatkan PAT tanpa pandang bulu. “Tetapi hal yang serupa ini memang sukar dielakkan, karena sumber dan partner mereka adalah musuh-musuh dari pemuda Indonesia itu,” tulis Biro Sejarah Prima dalam Medan Area Mengisi Proklamasi . “Sebaliknya, sebagai akibat kekeliruan penilaian pihak Tionghoa ini, lahir pulalah antipati yang besar terhadap mereka dalam kalangan bangsa Indonesia, sehingga PAT diidentikan dengan alat kolonialisme yang jahat.” Bagaimana akhir keberlangsungan PAT sebagai barisan pengawal kesohor di Sumatera Utara? (Bersambung).

  • Nasi Sejak Dulu Kala

    Saat itu pukul enam pagi. Penduduk Desa Rukam bergerak ke tempat upacara, duduk berkeliling di halaman menghadap batu sima dan kulumpang. Pagi itu, acara peresmian desa sebagai penerima augerah sima digelar. Beragam penganan sudah siap. Ada skul paripurna timan dan beragam lauk pauk. Semua dipersilakan mencicipi. Begitu Prasasti Rukam mengisahkan pesta rakyat yang terjadi ribuan tahun lalu (829 saka/907 M). Bukan cuma mencatat bagaimana jalannya upacara penetapan sima , prasasti itu juga menyebutkan beragam penganan yang disediakan ketika acara berlangsung. Yang paling menarik adalah penyebutan skul paripurna timan. " Skul paripurna atau nasi paripurna kalau di prasasti itu seperti nasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya," jelas Titi Surti Nastiti, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, ketika ditemui di kantornya. Arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa menulis, beras merupakan bahan makanan utama di antara sumber nabati lainnya. Bahan ini merupakan sumber makanan pokok masyarakat Jawa Kuno. Padi muncul dalam sumber prasasti, kesusastraan, dan relief. Sawah dan padi disebutkan dalam teks Ramayana. Sistem pertanian sawah yang menghasilkan padi ada dalam relief cerita Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur dan relief Candi Minakjinggo di Trowulan. Tanaman padi pada relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur. (Wikipedia) Bulir-bulir padi juga ditemukan di situs permukiman yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 M. Bukti adanya aktivitas pertanian ini didapatkan dari Situs Liyangan, yang ada di lereng Gunung Sindoro, Temanggung, Jawa Tengah. Begitu pun nasi. Selain dalam Prasasti Rukam, nasi yang disajikan bersama makanan lainnya dalam upacara sima muncul pula dalam Prasasti Panggumulan (824 Saka), Prasasti Sangguran (850 Saka), dan Prasasti Taji (823 Saka). Sementara prasasti juga menyebutkan nasi dalam berbagai variasi ketika menjadi menu utama dalam upacara makan bersama penetapan daerah perdikan. Riboet Darmosoetopo, ahli epigrafi UGM, dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU menyebutkan beberapa jenis masakan dari nasi yang pernah disebut dalam prasasti. Di antaranya skul liwêt atau nasi yang ditanak dengan pangliwêtan, skul dinyun atau nasi yang ditanak dengan periuk, dan skul matiman atau nasi yang ditim.   Produksi beras Karena menjadi makanan pokok, usaha untuk meningkatkan produksi padi pun sudah dilakukan sejak masa lalu. Prasasti dari masa Jawa Kuno memberikan petunjuknya. Paling tidak, kata Supratikno, upaya perluasan tanah sawah secara besar-besaran terjadi pada akahir abad ke-9 M. Ini sebagaimana yang terbaca dalam beberapa prasasti dari masa pemerintahan Kayuwangi (855-885 M). Dalam waktu yang relatif pendek padang rumput, kebun, tegalan, ladang ilalang, dan hutan beralih status menjadi sawah. “Ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan tanah sawah atau sumber pangan pokok memang besar. Mungkinkah upaya semacam itu dilakukan karena jumlah penduduk semakin meningkat?” ujar dia. Persawahan dalam relief Candi Minakjinggo koleksi Museum Nasional. (Risa Herdahita Putri/Historia) Di luar itu, beras telah menjadi sumber ekonomi pertanian. Berdasarkan Prasasti Pihak Kamalagi atau Kuburan Candi dari 743 Saka (831 M), Prasasti Watukura I dari 824 Saka (903 M), disebutkan adanya lahan sawah, ladang, rawa, dan kebun yang menjadi sima. Artinya, menurut Titi ,  sebelum tanah-tanah itu diresmikan menjadi sima adalah tanah yang kena pajak. “Dengan adanya keterangan yang memberikan gambaran bahwa kebun juga dikenai pajak, maka dapat diartikan kebun telah memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi,” jelas Titi dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna: Abad VIII-XI Masehi . Dalam Prasasti Panggumulan (824 Saka) dikatakan juga adanya orang-orang yang menjual beras dari Desa Tunggalangan ke pasar di Desa Sindingan. Lalu dari berita Tiongkok masa Dinasti Sung juga diketahui kalau pada masa itu beras, bersama sejumlah komoditas lainnya, telah diekspor dari pelabuhan Jawa.

  • Kisah Para Pertapa Perempuan

    Arjuna singgah di sebuah pertapaan di tengah hutan dalam perjalanannya menuju Gunung Indrakila. Pertapaannya indah. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan adegan dari kisah Ramayana. Melihat Arjuna datang, dua orang pertapa perempuan ( kili ) menghampiri. Dari sikapnya, kedua kili itu seperti pernah dibesarkan di keraton. Rupanya mereka menganggap ringan sikap ingin melepaskan diri dari hal-hal duniawi, sehingga mau menyepi ke pertapaan. Kedua kili itu dirundung rasa ingin tahu, siapakah gerangan pemuda rupawan bagai dewa asmara yang kini tengah beristirahat di atas bale-bale itu? Pura-pura mereka menundukkan pandangan, bersikap malu-malu. Namun, mereka tak sanggup menyembunyikan perasaan mereka sesungguhnya. Mereka pun menduga si tamu tak lain adalah Arjuna. Arjuna pun segera menerangkan maksud kedatangannya. Dari kedua kili itu, dia tahu kalau pertapaan itu bernama Wanawati. Pendirinya bernama Mahayani, seorang perempuan berdarah ningrat dari kalangan keraton. Kedua kili kemudian mengantar Arjuna ke bagian dalam pertapaan, di mana Mahayani tinggal. Dari Mahayani, Arjuna mendapatkan pelajaran mengenai rajas , tamas , dan satva , yaitu pelajaran tentang pengendalian nafsu, keikhlasan, dan sifat-sifat lain yang selalu membelenggu manusia. Malam harinya, ketika semua sudah terlelap, seorang kili mendatangi bilik Arjuna. Kepada sang Dananjaya, dia menyatakan cinta. Kili itu mengaku, ketika masih hidup di keraton, dia sudah jatuh cinta dengan Arjuna. Kini perasaan itu masih berkobar. Dia bahkan rela terpergok dan dilaporkan kepada Mahayani. Namun, Arjuna menolak cintanya dan menasihati untuk mengendalikan hawa nafsu.   Begitulah kehidupan pertapa perempuan dalam cerita Parthayajnya. Seseorang yang memutuskan menjadi pertapa harus rela meninggalkan segala kemewahan, nafsu duniawi dan hidup menyepi. Kehidupan yang demikian berat nyatanya juga menjadi pilihan bagi perempuan. Arjuna bersama Mahayani (tokoh bertudung kepala, depan) dan duakili (dua tokoh bertudung, belakang) dalam reliefParthayajna di dinding Candi Jago. (Risa Herdahita Putri/Historia Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa menerangkan, dalam pertapaan yang disebut tapowana atau pajaran umumnya dipimpin seorang mahaguru laki-laki. Dia biasanya membawahi seorang pertapa perempuan yang disebut ubwan. Tempatnya disebut Panubwanan. Di tingkat bawahnya ada pertapa laki-laki yang disebut manguyu. “Terakhir adalah pertapa laki-laki dan perempuan yang paling rendah tingkatannya yang punya sebutan macam-macam, mereka tinggal di lembah dalam bangunan yang disebut yasa atau rangkang,” jelas Titi.   Gambaran pertapa perempuan Penggambaran keberadaan pertapa perempuan muncul dalam berbagai media: kesusastraan, relief, bahkan arca. Dalam Kakawin Sutasoma yang digubah Mpu Tantular pada abad ke-14 M menyebut pertapa perempuan dengan istilah kili dan walkali. Sementara Kakawin Arjunawijaya menyebutnya  tapi. Teks Ramayana juga menyebut pendeta perempuan yang tinggal di hutan, berpakaian kulit kayu, dan hanya makan buah-buahan . Adapun dalam Kakawin Krsnayana disebutkan salah seorang dayang Rukmini yang telah berumur, pernah menjadi seorang kili . Sang dayang kemudian menuturkan pengalamannya ketika berkeliling mencari derma. Dalam perjalanannya, dia sempat melihat Keraton Dwarawati, tempat tinggal Kresna. Selama sepuluh hari dia dapat menikmati keindahan keraton itu dengan diantar seorang kawan. “Cara hidup seorang pertapa yang keras itu untuk beberapa hari ditinggalkannya," tulis Mpu Triguna pada masa Kadiri abad ke-12 M . Kemudian dalam  KakawinSumanasantaka kata kili muncul pada awal kisah. Ketika pertapa Brahmin Trenawindu, murid Agastya, mengira seorang bidadari yang ditugasi menggoda tapanya sebagai seseorang yang ingin menjadi  kili .  Penggambaran lain juga muncul dalam relief kisah Parthayajnya di dinding Candi Jago, Malang. Melihat reliefnya, para kili itu mengenakan tata rambut yang biasa dikenakan seorang rohaniawan. “Bentuk tatanan di kepala itu lebih cocok bagi seorang perempuan,” tulis P.J. Zoetmulder, pakar sastra Jawa Kuno, dalam  Kalangwan. Arjuna disambut dua kili  dalam relief Parthayajna  di dinding Candi Jago. (Risa Herdahita Putri/ Historia ). Sementara arca pertapa perempuan ditemukan di Kediri dari sekira abad ke-11 atau 12 M. Kini arca itu menjadi koleksi Museum Nasional, Jakarta. Arca perempuan itu digambarkan duduk bersila. Rambutnya terbungkus lilitan kain, sehingga tampak seperti gundukan besar di atas kepalanya. Bahu kanannya terbuka, kecuali itu dia memakai kain yang digunakan dengan melilitkannya di pundak dan tubuhnya. Sebelah tangannya tampak menyangga mangkuk di atas pahanya. Dewi Kili Suci Kata kili juga menjadi tak asing jika dihubungkan dengan kisah tradisi Dewi Kili Suci. Cerita rakyat ini menempatkannya sebagai putri mahkota Raja Airlangga, Sri Samgramawijaya Dharmaprasadottunggadewi yang menolak takhta dan lebih memilih menjadi pertapa.  Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti  menjelaskan, identifikasi Kili Suci dengan Sri Samgramawijaya Dharmaprasadottunggadewi hingga kini tidak didasarkan atas petunjuk yang tegas. Namun, memang benar kalau berdasarkan prasasti Samgramawijaya sekira tahun 959 Saka (1037 M) telah melepaskan haknya sebagai putri mahkota. Lalu pada 964 Saka (1042 M) Airlangga menempatkan anaknya di dalam tempat suci dharma gandhakuti di Kamban Sri. Itu meski tak jelas apakah anak yang dimaksud laki-laki atau perempuan. “Maka mungkin sekali tradisi Kili Suci itu berdasarkan fakta sejarah, atau kalau nanti ternyata anak Airlangga yang disebut dalam Prasasti Gandhakuti ternyata seorang lelaki, tradisi telah mencampur kedua fakta sejarah itu,” jelas Boechari. Boechari pun mengatakan bukan hal aneh jika seorang ayah pada masa lalu menempatkan putrinya ke dalam kabikuan. Dalam Prasasti Taji dari 823 Saka (901 M) diketahui kalau Rakryan I Watutihan pu Samgramadurandhara telah menempatkan anak perempuannya, Rake Sri Bharu dyah Dheta, istri Samgat Dmun pu Cintya ke dalam kabikuan i Dewasabha . Pada masa yang lebih modern, para pertapa perempuan itu masih bisa disaksikan oleh penjelajah asal Portugis, Tome Pires. Dalam Suma Oriental,  dia mencatat ketika tiba di Jawa pada awal abad ke-16 M ada kurang lebih 50.000 pertapa di Jawa. Di antara mereka banyak pula yang perempuan. "Mereka tidak menikah dan tetap perawan," catat Pires. Para pertapa itu membangun rumah di tempat terpencil, seperti pegunungan dan tinggal di sana hingga akhir hayatnya. Seperti juga pertapa laki-laki, mereka meminta makanan (derma) dengan berkah Dewata sebagai balasan.  Beberapa orang lainnya memutuskan untuk menjadi pertapa setelah mereka kehilanga suami pertamanya. Mereka ini menolak membakar diri. Pires mencatat jumlah mereka konon lebih dari 100.000 perempuan. Mereka hidup dalam kesucian hingga mati.

  • Qatar di Gelanggang Sepakbola

    KENDATI dikucilkan saat datang ke Piala Asia 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), tim Qatar mampu tampil cemerlang. Negeri itu dikucilkan gara-gara krisis diplomatik dengan negara-negara di Teluk Persia lain sejak 2017. Alhasil, Almouz Ali dan kawan-kawan berlaga nyaris tanpa dukungan suporter. Namun, Al-Annabi (julukan timnas Qatar) justru bikin geger. Untuk kali pertama, Qatar pulang dengan trofi Piala Asia. Skor kemenangan 3-1 di final kontra Jepang juga jadi satu-satunya momentum jebolnya gawang Qatar sepanjang turnamen. Prestasi itu menjadi pemanasan apik bagi Qatar jelang Piala Dunia 2022 di negeri sendiri. Dalam persepakbolaan Asia, nama Qatar memang kalah mentereng dibandingkan Arab Saudi, Iran, Korea Selatan, atau Jepang. Nama Qatar paling banter terdengar jika bersinggungan dengan sponsorship terhadap klub raksasa Spanyol Barcelona dan pemilik klub kaya Prancis, Paris Saint-Germain (PSG). Penyebab kekurangtenaran Qatar apalagi kalau bukan prestasi. Namun, itu bisa dimaklumi mengingat negeri itu telat mengenal sepakbola. Yang pasti, dengan menjuarai Piala Asia 2019, negeri kaya minyak dan gas alam yang merdeka pada 3 September 1971 itu berhasil membuktikan dirinya bukan “anak bawang” lagi. Mula Qatar Mengenal Sepakbola Jika tak ditemukan ladang minyak di Dukhan dan Doha, mungkin Qatar akan sangat telat mengenal sepakbola. Pasalnya, dari para ekspatriat Inggris dan India yang bekerja di perminyakan itulah sepakbola diperkenalkan ke Qatar, bermula pada 1948. Sebelumnya, masyarakat lokal hanya mengenal beragam olahraga tradisional, salah satunya balapan unta. Wartawan Inggris Anthony Haywood mengorek kisahnya dari Tom Clayton, mantan insinyur perminyakan British Petroleum (BP) yang ikut proyek eksplorasi minyak di Qatar pasca-Perang Dunia II. Clayton tiba di Qatar pada 1948 bersama sejumlah pekerja asal India yang didatangkan Iraq Petroleum Company (IPC), konsorsium perminyakan milik sejumlah perusahaan besar seperti Anglo-Iranian Oil Company (AIOC). AIOC pada 1954 berubah nama menjadi BP. “Awalnya yang bermain hanya para pekerja India dan beberapa insinyur produksi asal Inggris. Para insinyur itu juga yang mulanya mengajari aturan sepakbola kepada para pekerja India,” ujar Clayton kepada Haywood, dimuat di Daily Mail , 22 November 2018. Lama-kelamaan, orang-orang lokal yang turut dipekerjakan di kamp pengeboran minyak mulai tertarik sepakbola walau hanya sekadar menonton. “Kami tak pernah tahu olahraga semacam itu, namun masyarakat kami sangat menikmati permainan yang buat kami masih asing dan aneh itu,” kenang anggota Komite Olimpiade Qatar, Ibrahim al-Muhannadi. Sepakbola di Qatar mulanya digelar sederhana, dimainkan di lahan berpasir dengan karung-karung sebagai gawangnya. Seiring pesatnya perkembangan sepakbola yang mulai menular ke masyarakat lokal, klub-klub pun bermunculan. Ben Weinberg dalam Asia and the Future of Football menulis, klub tertua Qatar adalah Al-Najah Sports Club (kini Al-Ahli SC) yang lahir pada 1950. Kompetisi pertama di Qatar adalah turnamen Izz al-Din, yang diikuti sejumlah klub di bawah naungan perusahaan-perusahaan minyak di Qatar. Dukhan SC, klub jawara liga yang digagas Petroleum Development Qatar pada 1950-1951 (Foto: Daily Mail) Pada 1950-1951, Petroleum Development Qatar membuat kompetisi bertipe liga di mana juara pertamanya adalah Dukhan Sports Club. Naiknya animo masyarakat terhadap sepakbola kemudian melahirkan induk sepakbola, Qatar Football Association, pada 1960 QFA. Liga resmi Qatar mulai bergulir tiga tahun berselang. Pertandingan-pertandingannya berlangsung di Doha Sports Stadium, stadion pertama Qatar yang dibangun pada 1962 dan menjadi satu-satunya lapangan yang beralaskan rumput sebelum adanya Khalifa International Stadium pada 1975. Selesai dengan urusan liga, Qatar serius membangun timnas sejak 1969. Adalah Taha Toukhi, pelatih asal Mesir yang jadi pembesut pertamanya. Hingga kini, Qatar lebih sering menggunakan pelatih asing. Data RSSSF menyebut hanya empat pelatih lokal yang menangani timnas Qatar: Mohammed Daham (1988), Abdul Mallalah (1993), Saeed al-Misnad, Fahad Thani (2013-2014). Tampil di Peta Sepakbola Dunia QFA melamar ke FIFA pada awal 1970 dan diterima tahun itu juga. Qatar melakoni laga internasional resmi pertamanya di ajang Arabian Gulf Cup (kini Gulf Cup of Nations) kontra tuan rumah Bahrain, 27 Maret 1970. Qatar keok 1-2 di turnamen yang hanya diikuti empat negara itu (Bahrain, Kuwait, Qatar dan Arab Saudi). Di tingkat benua, Qatar pertamakali eksis di kualifikasi AFC Cup pada 1975, namun gagal lolos ke putaran final yang digelar 1976. Pun di kualifikasi Piala Dunia 1977, Qatar gagal lolos ke Piala Dunia 1978. Pun begitu, Qatar telah menegaskan identitas mereka di peta sepakbola dunia. Tim junior mereka bahkan pernah bikin kejutan di Piala Dunia Junior (kini Piala Dunia U-20) di Australia, 3-18 Oktober 1981. Setelah lolos dari Grup A, Qatar menyingkirkan Brasil 3-2 di perempatfinal dan Inggris 2-1 di semifinal. Sayang, kejutan Qatar terhenti di final kala Badr Bilal dkk. kalah 0-4 dari Jerman Barat. “Momen melawan Inggris tak diragukan lagi jadi momen terhebat dalam karier saya,” kenang Bilal yang mencetak gol kemenangan Qatar atas Inggris di semifinal. Timnas Qatar di final Piala Dunia Yunior 1981 kontra Jerman Barat (Foto: fifa.com) Prestasi itu berulang 11 tahun berselang di Olimpiade Barcelona 1992. Qatar, yang ditukangi pelatih legendaris Brasil Evaristo de Macedo, melaju sampai perempatfinal. Laju mereka baru berhenti setelah dikalahkan Polandia 0-2 di Camp Nou.  Di tahun yang sama, Qatar untuk kali pertama juara Gulf Cup di negeri mereka sendiri. Prestasi itu mereka ulangi tahun 2004 dan 2014. Walau pelan, kemajuan sepakbola Qatar berjalan konstan. Penyebabnya, pemerintah Qatar punya perhatian besar di sektor olahraga. Terlebih, setelah Qatar National Vision 2030 dicetuskan pemerintah pada Oktober 2008. Selain banyak membangun infrastruktur sepakbola, Qatar membangun para atletnya secara serius lewat Aspire Academy, yang dibuat Emir Qatar lewat dekrit Nomor 16 Tahun 2004. Qatar juga terus menyempurnakan liganya dengan mendatangkan banyak pemain asing untuk diambil ilmunya. “Timnas yang bagus itu hasil dari liga profesional yang bagus. Liga yang bagus bahan bakunya ya dari akademi. Makanya akademi harus dijalankan secara profesional. Jangan melihat investasi akademi itu sebagai beban,” kata pengamat sepakbola Timo Scheunemann kepada Historia , Oktober 2018. Upaya serius Qatar akhirnya membuahkan hasil di AFC U-19 2014 di Myanmar. Kesuksesan itu tak lepas dari komposisi tim, yang berisi atlet-pelajar jebolan Aspire Academy. Untuk mengatasi kekurangan pemain mengingat kecilnya jumlah penduduk, Qatar belakangan mengisi timnasnya dengan pemain naturalisasi, yang juga juga bertujuan agar lebih kompetitif. “Satu-satunya cara Qatar bisa kompetitif adalah mengimpor pemain dan menaturalisasi mereka,” ungkap Jesse Fink dalam 15 Days of June: How Australia Became a Football Nation .

  • Santapan Aneh Para Raja

    Pada masa lalu di Jawa, tak semua orang bisa makan daging. Rakyat dan kalangan kerajaan memiliki perbedaan tingkat konsumsi daging. Sementara raja memiliki hak istimewa dalam menyantap daging bahkan makanan yang tidak biasa, seperti kambing yang belum keluar ekornya, penyu badawang, babi liar pulih, babi liar matinggantungan, dan anjing yang dikebiri. “Kadang kalau orang sekarang mikir itu makanan menggelikan. Tapi itu dulu dimakan. Misalnya asu buntungan, anjing yang tak punya buntut. Lalu cacing. Itu dibuat masakan,” kata Lien Dwiari Ratnawati, peminat kuliner, arkeolog, dan kepala Subdirektorat Warisan Budaya Tak Benda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam berbagai sumber teks kuno, makanan tak biasa bagi raja disebut rajamangsa. Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, menjelaskan sebutan rajamangsa terdiri atas dua kata, yaitu raja dan mangsa . Kata raja mendapat serapan dari bahasa Sanskreta, rajya . Secara harfiah berarti raja, yang bekuasa, pemimpin. Adapun mangsa atau mansa juga dari bahasa Sanskreta, artinya daging, mangsa, makanan, pemakan daging, menghabiskan, melahap. “ Rajamangsa secara harfiah berarti makanan raja, makanan yang khusus disediakan untuk raja,” kata Dwi. Rajamangsa diperuntukkan bagi penguasa tertinggi kerajaan, baik di kerajaan pusat (maharaja) maupun di kerajaan bawahan (raja).  Selain dalam kitab Purwadigama dan Siwasasana , kata rajamangsa juga ditemukan dalam prasasti. Transkripsi prasasti milik H. Kern (VG VII.32f dan VIIIa), ahli epigrafi Belanda, menyebut wangang amangana salwir ning rajamangsa, badawang baning, wedus gunting, asu tugel, karung pulih .  “ Wedus gunting artinya kambing yang belum keluar ekornya; baning itu penyu, kura-kura; karung itu babi hutan, diberi sebutan karung pulih, kata pulih bisa jadi menunjuk pada babi dikebiri,” kata Dwi. Dalam transkripsi prasasti milik epigraf lainnya, A.B. Cohen Stuart, dengan kode CSt 7 disebutkan karung mati ring gantungan . Kemudian pada kumpulan transkripsi prasasti milik J.L. Brandes terdapat sebutan lain asu ser . Karung mati ring gantungan , kata Dwi, mungkin menunjuk pada babi yang ditangkap mati dalam jerat. Asu tugel artinya anjing yang dikebiri atau dengan sebutan asu ser. Kata ser mungkin artinya sama dengan sor, yang berarti dikebiri, yang ditandai dengan memotong ekornya ( asu buntung ). Dalam Prasasti Rukam (907 M), Prasasti Sarwwadharmma dari masa Singhasari (1269 M), dan Prasasti Gandhakuti (1043 M), juga disebut makanan yang hanya boleh disantap oleh raja: badawang, wedus gunting, karung pulih, asu tugel. Arkeolog Universitas Indonesia, Kresno Yulianto Sukardi, dalam makalahnya, “Sumber Daya Pangan Pada Masyarakat Jawa Kuno: Data Arkeologi-Sejarah Abad IX-X Masehi”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV , menerjemahkan wedus gunting sebagai kambing muda yang belum keluar ekornya. Sedangkan karung pulih adalah babi hutan aduan. Kendati rajamangsa dikhususkan untuk raja, dalam beberapa kesempatan orang di luar lingkungan istana juga bisa mencicipi santapan itu. Mereka adalah penerima anugerah ( waranugraha ) dalam upacara sima. Arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa menulis, hak mengonsumsi makanan itu umumnya dijumpai pada prasasti yang memuat pemberian hak istimewa yang dikeluarkan sejak masa Mpu Sindok hingga masa Majapahit. “Anugerah berupa hak istimewa, dia dan keluarganya diperkenankan untuk menyantap menu khusus raja itu,” kata Dwi.

bottom of page