top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Umrah Bodong Ala Ponzi

    KECUALI sufi atau pertapa, rasanya tak ada manusia yang tak ingin bergelimang harta. Kekayaan bahkan dianjurkan dalam banyak budaya atau agama, semisal Islam. Menurut Ibnu Taimiyah di Majmuu’ul Fatawaa , mencari kekayaan hukumnya bisa jadi wajib kalau berkaitan dengan perkara-perkara yang mesti dilakukan untuk menunaikan berbagai kewajiban seperti zakat atau haji. Tanpa kekayaan, dua rukun Islam itu mustahil ditunaikan. Berdagang atau berbisnis merupakan salah satu cara yang dianjurkan. Sayang, banyak orang justru menafsirkan anjuran berbisnis dengan cara tercela. Seperti yang dilakukan First Travel dan Abu Tours dengan tawaran umrah murah mereka. Skandal First Travel mengemuka pada akhir 2017. Puluhan ribu calon jamaah umrah jadi korban penipuan Andika Surachman dan Anniesa Desvitasari, pasutri pemilik First Travel. Total kerugian mencapai Rp848 miliar. Belum juga persidangan kasus First Travel rampung, kasus investasi bodong serupa kembali muncul. Puluhan ribu calon jamaah umrah kena tipu Hamzah Mamba, pemilik Abu Tours. Kerugian ditaksir mencapai Rp1,8 triliun. Hamzah yang sudah ditetapkan sebagai tersangka menipu dengan modus berkedok bisnis umrah. Motif penipuan oleh First Travel maupun Abu Tours sebenarnya tak ubahnya modus tipu-tipu Skema Ponzi. “Memang skemanya adalah (skema) Ponzi berkedok MLM. Intinya umrah murah tapi harus mencari member baru. Ini yang marak di bisnis umrah karena pengawasannya lemah dari Ditjen (Penyelenggaraan) Haji dan Umrah (Kementerian Agama RI),” ujar Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), saat dihubungi Historia. Menurut arsip US Social Security Administration 24 Desember 2008, Skema Ponzi intinya investasi di mana penyelenggara mengiming-imingi investor dengan keuntungan berlipat cepat dari pemasukan investor baru. Iming-iming atau harapan palsu menjadi faktor penting bagi kelancaran modus ini. Model investasi ini dilahirkan pakar keuangan kelahiran Italia yang lantas jadi penipu ulung, Charles Ponzi, di akhir 1919 hingga 1920-an. Bermodalkan perusahaan yang didirikannya di Amerika Serikat, Securities Exchange Company, Ponzi menyalurkan laba dari para investor baru, yang termakan iming-iming, kepada para investor pertamanya. Para investor pertama senang bukan kepalang karena mendapat laba dengan cepat. Keuntungan itu lantas dipromosikan terus-menerus kepada para calon investor baru agar mau berinvestasi besar. Mereka diberi harapan bisa sesukses para investor pertama. Cara seperti itulah yang dijalankan First Travel dan Abu Tours. “Iming-iming berangkat umrah murah yang menarik minat para korban,” sambung Bhima. Para investor tak tahu posisi mereka rentan lantaran model bisnis itu sebetulnya amat lemah. “Kalau biaya untuk memberangkatkan jamaah membengkak dan member baru tak mencukupi, baru kelihatan bangkrut (skema) Ponzi-nya. Harusnya haram MLM umrah itu karena tujuannya ibadah, kok jadi skema bisnis yang kebablasan.” Pada akhirnya, hanya anggota-anggota (investor) pertama yang bisa berangkat umrah. Anggota-anggota berikutnya belum tentu bisa. Pemasaran menggunakan MLM indikasi (skema) Ponzi-nya besar karena ada ketidakpastian berangkat bagi anggota yang daftar belakangan. Bhima menyatakan, pemerintah diharapkan bertindak tegas dengan membekukan izin dan melakukan pengusutan mengingat kini korban sudah mencapai puluhan ribu. Bukan hanya terhadap dua kasus yang sudah “jadi bubur”, namun juga terhadap agen-agen perjalanan umrah dan haji lain yang banyak ditengarai menyontek Skema Ponzi. “Pengawasan (pemerintah) lemah. Selama ini dibiarkan dan jadi fenomena gunung es. Pemerintah sekarang baru buat rencana penetapan batas bawah biaya umrah Rp20 juta. Itu kebijakan yang bagus,” cetus Bhima. Oleh karena itu, sambung Bhima, masyarakat yang tertarik namun belum terjebak iming-iming semacam itu diharapkan bisa lebih cermat. Terlebih, kini pemerintah sudah menerapkan batas bawah biaya umrah. “Kalau ada iming-iming umrah berbiaya di bawah Rp20 juta, berarti kemungkinan itu enggak bener . Cek kepastian pemberangkatan dan perjanjian kontraknya! Kalau jadwal umrah tidak pasti dan ada biaya yang dipungut di luar kesepakatan awal, itu juga indikasi agen bodong. Intinya, masyarakat harus pro aktif melaporkan ke Kemenag jika ditemukan agen umrah yang mencurigakan,” tutup Bhima.

  • Persiapan Kertanagara Hadapi Kubilai Khan

    SEBELUM meregang nyawa, Raja Singhasari, Kertanagara, melakukan upacara terakhir untuk membangkitkan kekuatan lain di luar dirinya. Dia mendapatkannya melalui ritual Tantrayana, sekte yang sering dianggap sebagai jalan mempercepat diri mendapatkan kekuatan. Aspek religi ketika masa Hindu Buddha memang merasuk kuat dalam kehidupan masyarakatnya. Kekuatan fisik dan batin menjadi pencapaian yang diinginkan oleh orang-orang tertentu. “Realitas politik ada yang disebut balance of power . Eranya ketika itu pola keseimbangan ini merasuk di politik religi,” kata Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang. Ketika itu, Kertanagara berusaha mengimbangi Kaisar Mongol Kubilai Khan yang menganut Buddha Tantrayana aliran kalacakra. Aliran ini mulai berkembang di Benggala menjelang akhir pemerintahan dinasti Pala. Dari sana menyebar ke Tibet dan Nepal. Dari Tibet, tulis Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara, Tantrisme menyebar didorong oleh pengetahuan bahwa Kubilai Khan telah dibaiat dalam ilmu gaib serta praktik Tantris. Kubilai Khan rupanya sangat tertarik dengan aliran ini karena sesuai jiwa bangsa Mongol. Melihat hal itu, tulis Sejarah Nasional Indonesia II , Kertanagara akhirnya sengaja mempersiapkan diri secara fisik dan spiritual untuk menghadapi ancaman Kubilai Khan. Caranya dengan menjalankan ritual-ritual Tantris. Setelah merasa kuat, dia berani menolak dengan kasar utusan Mongol yang datang pada 1289. Aliran keagamaan yang dianut Kertanagara itu dapat disimpulkan lewat Kakawin Nagarakrtagama. Pun dari kenyataan dia ditahbiskan sebagai Jina di Kuburan Wurara pada 1289. Arca pentahbisannya berupa arca Aksobhya yang digambarkan dengan kepala gundul. Arca itu kini terkenal dengan nama Joko Dolog di Surabaya. Dengan tingkatannya itu, bagi Kertanagara tak ada lagi hal yang terlarang. Dia bisa dengan sadar melakukan pancamakara, atau ma lima . Menurut Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan, dengan menjadi Jina, artinya Kertanagara tak hanya menguasai kekuatan gaib di semesta alam. Dia pun menguasai kerajaan secara nyata. Diharapkan dasar pikiran Kertanagara sebagai Jina itu juga mempengaruhi politik kenegaraan yang dipegangnya. Sebagai Jina yang menguasai kekuasatan gaib di alam semesta, dia merasa kuat dan mampu menghindarkan segala bencana. Sementara, sebagai raja yang berkuasa di Singhasari, dia merasa sebagai kekuatan yang tertinggi. “Kekuasaan rohaniah, juga menguasai kerajaan secara nyata. Kekuasaan rohaniah dan lahiriah yang terdapat pada satu orang itu pasti saling mempengaruhi,” catat Slamet Muljana. Setidaknya itu yang ada dalam pikiran orang-orang di masa lalu. Tak heran, kata Suwardono, sejarawan Malang, ketika suatu kota dimasuki musuh, yang terpenting bukan hanya raja yang dibunuh. Bukan pula secara fisik kota yang dibumihanguskan. Namun, secara filsafat magis religi pun harus dirusak. Artinya, untuk membunuh kekebalan, magis dari suatu kota harus dihancurkan. “Di daerah Karangwaru, ternyata ada arca Camundi yang ditemukan dalam keadaan hancur,” jelasnya. Dewi Camundi dijadikan dewa utama yang dipuja dalam ritus Tantra. Menurutnya, arca peninggalan masa Kertanagara yang kini disimpan di Pusat Informasi Majapahit, Trowulan itu, hancur bukan karena proses alam. Dari pecahannya, bisa diketahui kalau arca itu memang sengaja dihancurkan. “Kalau hancur karena roboh pasti hanya dua tiga. Ini kecil-kecil. Kalau begitu apa? Itu berarti image religi harus dihancurkan. Sehingga tantris hilang, kekuatan tantra hilang,” jelasnya. Karena pemahaman semacam inilah, bekas bangunan keraton masa lalu di Indonesia sulit ditemukan hingga kini. Keraton yang sudah pernah dimasuki musuh, haram untuk ditempati kembali. “Sarananya harus dihancurkan,” tegas Suwardono. Meski begitu, agaknya persoalan Tantrayana ini masih menjadi perdebatan bahkan di kalangan para penulis kitab pada masa lalu. Menurut George Coedes dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, kepribadian Kertanagara ditanggapi dengan cara yang sangat berbeda oleh beberapa sumber sejarah. Misalnya dalam Negarakrtagama dan Pararaton, meskipun sama-sama membahas genealogi raja-raja Jawa. “Dia kadangkala ditampilkan sebagai budayawan yang sangat halus ( Nagarakrtagama , red.), kadangkala sebagai pemabuk,” kata Coedes. Pararaton dan Harsawijaya memilih mengabadikan Kertanagara sedang bermabuk-mabukan ketika diserang Jayakatwang. Padahal, menurut Suwardono, saat itu dia tengah melaksanakan upacara Tantrayana yang bermaksud mendatangkan Dewi Heruka, kekuatan feminim yang bersifat tantris. “Baca Prasasti Gadjah Mada, banyak pendeta dan patih yang mati bersama Kertanagara. Pendeta siapa? Ya itu mereka yang ikut upacara untuk mendatangkan Heruka. Tapi terlambat keburu datang serangan Jayakatwang,” jelas Suwardono. Upacara akhirnya berjalan tak tuntas, Kertanagara tewas dan Singhasari luluh lantak.

  • Utang Tak Terbayar?

    PADA 3 Maret 1947, pemerintah RI di Yogyakarta mengajukan rancangan undang-undang kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) mengenai pembayaran surat utang. Nilai yang diajukan untuk pembayaran surat utang itu, 5% untuk lembaran f 100 dan 4% untuk lembaran f 500 serta f 1000. Namun pembicaraan di BP KNIP tersendat karena pecah Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947. Respon baru muncul dari BP KNIP pada Nopember 1947 terkait RUU pembayaran obligasi. BP KNIP membentuk Panitia Khusus Badan Pekerja dengan tugas mempercepat pembahasan kembali pelunasan obligasi di BP. Lagi-lagi, upaya ini tertunda karena Agresi Militer Belanda II pada Desember 1948. Langkah serius pelunasan Pinjaman Nasional 1946 baru dilakukan kembali tahun 1954, semasa kabinet Ali Sastroamidjojo I. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 1954 tentang Pembayaran Kembali Pinjaman Nasional 1946. Undang-undang ini mengatur beberapa perubahan seperti nilai nominal dari surat utang. “Pemerintah berhak menguak jumlah nominal dari surat-surat pengakuan hutang, maka setiap nominal 100 rupiah nominal dari pinjaman tersebut dianggap mempunyai nilai yang sama dengan 10 rupiah dalam mata uang yang sah sewaktu undang-undang ini berlaku,” bunyi pasal 1 Undang-Undang Nomor 26 tahun 1954 tentang Pembayaran Pinjaman Nasional 1946. Mengacu pada UU No. 4 tahun 1946, nilai nominal 100 rupiah Jepang sama dengan 3 rupiah ORI (Oeang Republik Indonesia). Namun pemerintah saat itu, dalam Memori Penjelasan atas UU RI nomor 26 tahun 1954 tentang Pembayaran Kembali Pinjaman Nasional 1946 , mengubah nilai nominal dari surat utang berdasarkan pertimbangan membalas budi para obligator yang berasal dari warga negara Indonesia sendiri sejak kemerdekaan 1945 dari 100 ORI menjadi 10 rupiah uang yang berlaku. Selain perubahan nilai nominal surat obligasi, UU nomor 26 tahun 1954 juga mengatur jangka waktu pembayaran Pinjaman Nasional. “Menteri Keuangan diberi kuasa untuk melunasi Pinjaman Nasional 1946 selambat-lambatnya dalam waktu 5 tahun anggaran, dimulai dengan tahun 1954 dengan ketentuan bahwa 5% akan dibayar sekaligus dan pembayaran sisanya diatur kemudian,” bunyi pasal 3 UU tersebut. Menteri Keuangan pun mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tanggal 30 Agustus 1955 mengenai peraturan Pelaksanaan Pembayaran Kembali Pinjaman Nasional 1946. Pinjaman Nasional yang sepertinya sudah beres ternyata menyisakan beberapa obligator yang akan meminta pelunasan. Lima puluh tiga tahun setelah SK Menkeu tanggal 30 Agustus 1955 terbit, muncul gugatan dari ahli waris pemegang surat utang yang diteken menteri Keuangan Soerachman tahun 1946 yang bernama Artip dari Banten. Mereka menggugat menteri keuangan dan gubernur Bank Indonesia (BI) untuk mengembalikan pinjaman yang kini telah mencapai 1,185 miliar rupiah. “Pemerintah mengeluarkan kebijakan Pinjaman Nasional dan mempunyai hutang kepada almarhum Artip dengan perincian; Pinjaman Nasional Negara Republik Indonesia 1946 dengan bunga 4 persen, Resipis Oentoek Soerat Pengakoean Oetang sebesar f 100, pada tanggal 1 Mei 1946 No. A 92756,” seperti dikutip dari laman Kompas , 27 Agustus 2008. Dalam sidang gugatan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ahli waris Artip tak dapat melanjutkan gugatannya. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya, Februari 2009, menyatakan gugatan para ahli waris tidak dapat diterima. Utang negara yang tercatat dalam Resipis Oentoek Soerat Pengakoean Oetang 1 Mei 1946 dinilai kadaluarsa. Sebab, sejak 1954 pemerintah telah mengumumkan pembayaran utang lewat UU No. 26 Tahun 1954 tentang Pembayaran Kembali Pinjaman Nasional 1946 dan Keputusan Menteri Keuangan (Menkeu) tanggal 1 Agustus 1955 tentang Pelaksanaan Pembayaran.*

  • Marilyn Monroe Indonesia

    JUMAT malam, 7 Agustus 1959. Kota Bandung geger. Kali ini bukan karena Westerling masuk kota, melainkan artis cantik Titin Sumarni yang berjalan telanjang kaki menyusuri jalanan kota. Mengenakan baju merah muda dengan bawahan hitam, dia berjalan diiringi puluhan sepeda motor dan penarik becak. Sekira 7 kilometer sudah dia tempuh. Lalu lintas kota tersendat karena ulahnya berjalan di tengah jalan raya. “Rupanya saya saat itu terlalu sedih dan bingung. Saya tak ingat lagi dimana persisnya kantor polisi karesidenan Priangan. Saya tidak tahu apakah saya saat itu berjalan di tengah seperti yang dikatakan orang. Tapi saya tahu pula bahwa di belakang saya mengarak puluhan kendaraan. Di pertigaan jalan raya barat dan jalan Garuda, seorang polisi menghentikan saya. Saat itu saya sudah sangat letih, lalu diantarkan olehnya menggunakan truk ke rumah famili saya,” ujar Titin dikutip harian Pikiran Rakjat , 10 Agustus 1959. Keesokan harinya, 8 Agustus 1959, Titin sampai di kantor polisi. Dia melaporkan Muhammad Jahja Ali, seorang pengusaha dari Bandung. “Saya sudah cukup bersabar dan telah berusaha mendapatkan penyelesaian secara langsung darinya, namun dia berusaha mengelak. Karena itu terpaksa saya melaporkannya kepada yang berwajib, dengan risiko besar karena masyarakat menjadi tahu hal ini. Namun hal itu sudah saya pikirkan masak-masak,” ujar Titin. Kecantol Pengusaha Titin Sumarni, yang oleh penggemarnya dijuluki Marilyn Monroe, sudah tiga tahun absen dari dunia film. Film terakhirnya, Janjiku produksi Persari (Perseroan Artis Republik Indonesia) milik Djamaludin Malik. Setelah itu, dia dikabarkan menjalin kisah asmara dengan beberapa pria, namun media tak menggubrisnya. Baru pada medio 1959, kisah asmaranya dengan Muhammad Jahja Ali menjadi pemberitaan media massa. Pengusaha ini adalah kolega ayahnya. Jahja mengaku mengenal Titin sejak tahun 1939. Saat itu, dia adalah karyawan Hollandsche Beton Maatschappij (HBM) yang bertugas di Surabaya. “Nyonya Titin Sumarni saat itu berumur 7 tahun. Sejak tahun 1945, saya dan istri saya mengenal nyonya Titin Sumarni. Dia juga sering datang ke rumah saya dan berteman baik dengan adik istri saya. Setelah nyonya Titin Sumarni bersuami dan pindah ke Jakarta, saya jadi jarang berjumpa,” ujar Jahja dikutip harian Pikiran Rakjat , 13 Agustus 1959. Dari sini, nampak perbedaan usia antara Titin dan Jahja yang jauh. Perjumpaan selanjutnya antara Titin dan Jahja terjadi pada Desember 1958 di studio Persari. Saat itu, Jahja sedang mengerjakan gedung-gedung milik Djamaludin Malik, pengusaha dan produser film. Pemberitaan menyoal aduan Titin kepada Jahja cukup menyita perhatian. Pikiran Rakjat , media di Bandung, merekam perseteruan Titin dan Jahja pada medio Agustus 1959. Titin menuding Jahja tak bertanggungjawab atas kehamilannya. Bahkan, saat dia mengalami pendarahan yang mengakibatkan kematian bayinya, Jahja tak kunjung datang. “Waktu itu, hati saya menjerit-jerit. Bayi akan dikuburkan, dia tak ada. Sedang saya sendiri masih belum bisa berjalan karena selain melahirkan juga karena pendarahan. Sungguh anak yang malang, dia dikuburkan tanpa disaksikan ayahnya,” ujar Titin dalam Pikiran Rakjat , 11 Agustus 1959. Titin pun akan menuntut ganti rugi sebesar Rp5 juta kepada Jahja. Jahja akhirnya buka suara. Dia menampik sebagai ayah biologis dari anak Titin yang baru meninggal dan pertemuan terakhirnya dengan Titin terjadi pada April 1959. “Titin sedang mengandung dari suaminya yang kedua dan mengajukan cerai di pengadilan agama Surabaya,” kilah Jahja. Perseteruan Titin dengan Jahja mendapat perhatian dari Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) Jawa Barat. “Apa yang terjadi pada Titin Sumarni dan Muhammad Jahja Ali adalah kesalahan perkawinan. Seharusnya, jika dijumpai kemacetan, yang tidak bisa membahagiakan kedua belah pihak, maka diperbolehkannya bercerai dengan cara baik-baik,” ujar Abdurrauf Hamidie, ketua BP-4 sekaligus kepala Kantor Urusan Agama Jawa Barat, dikutip Pikiran Rakjat , 14 Agustus 1959. Tidak jelas bagaimana akhir perseteruan Titin-Jahja. Menurut Tanete Pong Masak dalam Sinema Pada Masa Sukarno, kisah asmara Titin tak berhenti di situ. Dia masih terlibat urusan asmara dengan beberapa pria lain, seperti Enoch Danubrata, kepala polisi Jawa Barat; Entje Senu Abdul Rachman; dan terakhir dengan Sampetoding, saudagar dari Makassar. “Dia menemui ajalnya secara tragis pada tahun 1966 setelah dirawat di rumah sakit karena TBC. Kata orang, kematiannya disebabkan oleh racun yang didatangkan dari luar rumah sakit, pekerjaan salah seorang dari tujuh mantan suaminya,” tulis Tanete.

  • Lasykar Pelangi dan Operasi Setan

    BEBERAPA waktu lalu (17/3), Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Susi Pudjiastuti mengunjungi kapal Rainbow Warrior (lasykar pelangi) yang tengah berlabuh di perairan Sorong, Papua. Kapal milik kelompok pecinta lingkungan Greenpeace tersebut tengah memulai muhibahnya yang bertajuk “Jelajah Harmoni Nusantara”. Papua Barat merupakan tujuan pertama mereka dalam kegiatan tersebut. Sejatinya kapal tersebut bukanlah Rainbow Warrior yang pertama. Nama Rainbow Warrior sendiri awalnya diambil dari sebuah buku berjudul Warriors of the Rainbow karangan William Wiloya dan Vinson Brown (diterbitkan oleh Naturegraph pada 1962). Buku tersebut berkisah tentang suatu ungkapan dari para ahli nujum suku Indian Cree di Amerika Utara yang meramalkan akan datang suatu masa ketika planet Bumi sakit parah akibat ketamakan manusia. Dalam situasi kritis tersebut, Sang Dewa Agung lantas mengutus sekelompok manusia idealis yang datang dari berbagai latar budaya untuk melakukan suatu aksi nyata menyembuhkan Bumi yang tengah sekarat tersebut. Orang-orang Indian Cree menyebutnya sebagai Para Ksatria Pelangi ( Warriors of the Rainbow ). Pada 1971, muncul suatu gerakan menentang percobaan nuklir Amerika Serikat di Pulau Amchitka (masuk dalam gugusan kepulauan Aleutia di Pasifik Utara). Guna menentang aksi percobaan itu secara nyata, para aktivis lingkungan yang tergabung dalam gerakan tersebut menyewa sebuah kapal pencari ikan (kapal itu lantas dibeli). Terinspirasi dari cerita Wiloya dan Brown, salah seorang dari mereka yakni Bob Hunter (jurnalis yang merupakan salah satu pendiri kelompok pecinta lingkungan hidup Greenpeace) lantas memberi nama kapal tua itu sebagai Rainbow Warrior alias Lasykar Pelangi. Demikian seperti yang dituturkan oleh Bob Hunter dalam sebuah buku berjudul Greenpeace Story . Sejak itulah Rainbow Warrior setia mengikuti setiap sepak terjang Greenpeace. Kapan dan di mana pun para pecinta lingkungan hidup itu beraksi, Rainbow Warrior pasti selalu menyertai. Hingga pada suatu hari di bulan Juli 1985. Saat itu Rainbow Warrior terlibat dalam aksi nekad menentang percobaan nuklir Prancis di Pulau Moruroa, Pasifik. Stepahanie Mills, salah seorang aktivis senior Greenpeace yang terlibat dalam aksi tersebut, berkisah: ketika Rainboaw Warrior memasuki 12 mill zona terluar di pulau karang Moruroan pada pagi hari 10 Juli 1985, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh aksi sekelompok agen DGSE (Direction G n rale de la S curit Ext rieure/Dinas Intelejen Prancis) yang menyerang Rainbow Warrior. Dalam gerakan cepat mereka memecahkan jendela dan melemparkan gas airmata ke anjungan Rainbow Warrior. Demi menghadapi situasi tersebut, nahkoda kapal lantas menghentikan mesin dan mengarahkan para awak Rainbow Warrior untuk menuju dek bawah kapal. Sementara itu, sekelompok agen DGSE yang lain merobek lambung kapal. “Saya sedang ada di ruang radio ketika mereka memukulkan kapak ke pintu dan melemparkan lagi gas air mata melalui lubang patahan pintu. Nafas kami tercekik, saya mengatur untuk melarikan diri melalui jendela kapal bersama operator radio Thom Looney dan juru kampanye Perancis Jean-Luc Thierry,”ujar Mills dalam The Bombing of Rainbow Warrior. Satu persatu awak Rainbow Warrior ditangkap dan diinterogasi. Selesai penginterogasian, mereka dikembalikan lagi ke kapal dan Rainbow Warrior digiring kembali ke perairan internasional. Namun ketika hampir mencapai Auckland Harbour, Selandia Baru, tiba-tiba sebuah ledakan mengguncang tubuh Rainbow Warrior dan mengakibatkan tewasnya photographer Greenpeace Fernando Pereira. Rupanya sebelum meninggalkan Rainbow Warrior, para agen DGSE itu terlebih dahulu menanam bom di satu sudut kapal. Rainbow Warrior sendiri kemudian tenggelam. Karamnya Si Lasykar Pelangi ini menjadi penanda suksesnya Prancis melancarkan aksi intelijen yang bersandi Op ration Satanique (Operasi Setan) itu. Selanjutnya kasus ini lantas ditangani Kepolisian Selandia Baru. Mereka menangkap dua agen intelijen Prancis dan memenjarakan mereka selama 10 tahun dengan tuduhan melakukan pembakaran kapal, bekerjasama untuk membakar kapal, menjalankan aksi pengrusakan dan melakukan pembunuhan. Dunia merespon keras insiden tersebut. Beberapa hari sesudah kejadian itu, ribuan orang di berbagai kota besar Eropa dan Amerika Serikat turun ke jalan guna memprotes aksi brutal atas nama pemerintah Prancis itu. Tak tahan oleh kritik dan protes internasional, Menteri Pertahanan Prancis Charles Hernu lantas menyatakan mundur dari tugasnya. Aksi heroik Rainbow Warrior lantas didokumentasikan dalam sebuah film untuk televisi pada 1992. Judulnya The Rainbow Warrior (The Sinking of the Rainbow Warrior) yang disutradarai oleh Michael Tuchner, produser Sam Strangis, penulis skrip Martin Copeland dan Scott Busby, serta diperani oleh Sam Neill, Jon Voight, Lucy Lawless, Kerry Fox dan lain-lain. Selain film tersebut, ada juga tiga film yang menceritakan kisah yang sama yakni The Rainbow Warrior Conspiracy (1989) , dan film Prancis Operation Rainbow Warrior dan Le Rainbow Warrior . Keduanya diproduksi pada 2006.

  • Pesawat Jatuh di Tinombala

    PADA 29 Maret 1977, pesawat Twin Otter DHC-6 bernomor registrasi PK-NUP MZ-516 milik Merpati Nusantara Airlines, hilang jejak setelah lima menit lepas landas dari bandara Mutiara, Palu. Menurut jadwal, pesawat dari Manado menuju Luwuk, kemudian Palu dan Toli-Toli. Pesawat berpenumpang 20 orang dengan 3 awak itu jatuh di lereng Gunung Tinombala, Sulawesi Tengah. Badan SAR Nasional (Basarnas) TNI AU segera memerintahkan Kantor Koordinasi Rescue (KKR) Makassar untuk melakukan pencarian. Untuk menunjang Operasi Tinombala ini, dikerahkan sembilan pesawat, yaitu 1 Twin Otter, 1 Fokker-27, 1 C-130B Hercules, 1 SCSkyvan, 1 Helikopter Alloutte-III, 2 Helikopter B0-105, 1 Helikopter Hughes-500 dan 1 Helikopter Puma SA-330. Selain itu juga dikerahkan 33 anggota Paskhas TNI AU dan Linud TNI AD. Namun, pencarian tidak membuahkan hasil sampai 5 April 1977, kopilot Masykur dan dua penumpang, Hasan Tawil dan Haji Salim Midu, muncul di daerah transmigrasi Ongka Malino, sekitar 70 km di sebelah utara Gunung Tinombala atau 12 jam lebih perjalanan dengan jip dari kota Palu. Saat pesawat menghempas lereng di ketinggian 2.135 meter, Masykur terlempar keluar. Dia memberanikan diri dengan dua korban selamat lain menelusuri hutan selama enam hari. “Dengan tekad dan keberanian luar biasa, mereka mencari pertolongan. Dengan petunjuk mereka, akhirnya Tim Search and Resque (SAR) pada tanggal 6 April 1977 berhasil mencapai lokasi kecelakaan,” tulis 30 Tahun Indonesia Merdeka: 1975-1985 . Tim SAR baru menemukan lokasi jatuhnya pesawat pada hari kedelapan pencarian. Helikopter menemukan pesawat di lereng atas Gunung Tinombala yang tingginya 2.185 meter dari permukaan laut. Pesawat pecah menjadi tiga bagian, berada pada celah gunung yang tertutup pepohonan. Dengan segera dilakukan dropping makanan dan obat-obatan, dilanjutkan menerjunkan pasukan para. “Lokasi reruntuhan pesawat baru dapat dijangkau oleh dua prajurit Paskhas TNI AU, Kopral Satu Dominicus dan Kopral Dua Sunardi yang diturunkan dari Helikopter Bolkow dengan cara repelling ,” tulis Bakti TNI Angkatan Udara, 1946-2003. Kedua anggota Paskhas TNI AU tersebut kemudian membuat helipad dengan cara menebang hutan di punggung bukit. Sehingga keesokan harinya Helikopter Bolkow dapat melakukan evakuasi korban meninggal dan luka-luka ke rumah sakit terdekat. Pada saat regu penolong tiba, tiga orang meninggal; tujuh orang selamat berada di tempat; sedangkan sepuluh orang meninggalkan lokasi. Pasukan SAR berhasil menemukan mereka tapi dalam keadaan mati. Total korban meninggal 13 orang, salah satunya Husni Alatas (37 tahun), wartawan majalah Tempo . Peristiwa jatuhnya pesawat itu dan operasi penyelamatannya kemudian difilmkan berjudul Operasi Tinombala . Film ini disutradarai M. Shariefuddin dan dibintangi Kusno Sudjarwadi, Pong Hardjatmo, drg. Fadly, dan Wolly Sutinah. Kumpulan tulisan Hendri F. Isnaeni dapat dibaca di sini .

  • Swadana untuk Negara

    PROGRAM Pinjaman Nasional 1946 mendapat sambutan hangat dari rakyat di berbagai daerah. Di Sleman, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten pada 22 Mei 1946 memutuskan bahwa hampir seluruh rakyat akan membeli surat Pinjaman Nasional sebesar satu juta rupiah secara gotong-royong. Setiap orang yang mengeluarkan uangnya untuk program itu akan mendapat bukti juga dari DPR. Partai Masyumi memutuskan dalam sebuah rapat di Magelang, membeli obligasi f 60.000. Beberapa partai dan organisasi, tulis Langgeng Sulistyobudi dalam artikel “Ketika Negara Berutang Kepada Rakyatnya: Pinjaman Nasional 1946”, seperti Partai Nasional Indonesia cabang Solo; PB Ikatan Pelajar Indonesia; Pusat Pimpinan Pemuda Kalimantan; Pusat Barisan Tani Indonesia, dan beberapa perkumpulan kecil lain telah memberi instruksi kepada anggota mereka untuk membeli surat obligasi tersebut, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama. Masyarakat Tionghoa tak ketinggalan. Mereka ikut dalam program Pinjaman Nasional 1946. Di samping itu, tulis Twang Peck Yang dalam Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950 , mereka juga aktif dalam program bantuan lain seperti Fonds Perjuangan, Dana Masyumi, Dana Pemondokan Kaum Buruh, dan Partai Buruh Indonesia. Demikian pula kalangan Arab. “Untuk memberikan informasi yang benar tentang ‘pinjaman nasional’ di kalangan warga negara Indonesia turunan Arab, dalam pertemuan yang dilangsungkan tanggal 2 Juni 1946 di Jakarta didirikan panitia ‘Pinjaman Nasional’ yang diketuai oleh tuan H.M.A. Husin Alatas,” tulis Langgeng mengutip Berita Antara, Mei 1946. Tak hanya kalangan sipil yang mendukung program pinjaman itu. Angkatan bersenjata menjamin akan ada pembelian secara gotong-royong di institusinya. Upaya menggalang pinjaman dari warga negara tersebut berbuah manis. Berita Antara edisi 3 Juli 1946 melaporkan hasil pinjaman nasional di daerah Priangan dengan rincian di Kabupaten Tasikmalaya terkumpul f .14.986.600, Kabupaten Ciamis f 8.134.300, Kabupaten Garut f 5.844.200, Kabupaten Sumedang f 4.253.500, Kabupaten Bandung f 4.435.900. Masih di bulan yang sama, Partai Nasional Indonesia Toeroenan Arab (PARNITA) cabang Palembang berhasil mengumpulkan uang f 70.000. Demikian pula di Banyumas, berhasil dikumpulkan f 4.460.000. Dana itu kemudian disalurkan melalui program Pinjaman Nasional. “Hasil penjualan surat obligasi tercatat di Jawa dan Madura sebesar f 318.644,50. Dan penjualan di daerah Sumatra sebesar f 208.330.100,” seperti dikutip dari UU Nomor 26 tahun 1954 tentang Pembayaran Kembali Pinjaman Nasional 1946. Dua bulan setelah UU nomor 4 tahun 1946 tentang Pinjaman Nasional itu diteken, pemerintah mengeluarkan UU baru, UU Nomor 9 tahun 1946 tentang Peraturan untuk Merubah UU No.4 tahun 1946 tentang Pinjaman Nasional. UU baru berisi dua pasal. Pertama , mengenai “bunga” dalam UU No.4 tahun 1946 tentang Pinjaman Nasional diganti menjadi “hadiah”. Kedua , mengenai pembayaran, jika pemegang surat utang tidak mau menerima “hadiah”, maka tidak akan akan dialihkan kepada badan-badan amal.

  • Antara Pujangga Mengabdi dan Melawan

    SIKAP para pujangga terhadap pemerintah kolonial terlihat dalam karya sastra yang dihasilkannya. Misalnya, naskah Hikayat Mareskalek karya Abdullah bin Muhammad Al-Misri, keturunan Arab yang mengagungkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels. Dalam Hikayat Mareskalek, Jawa digambarkan tengah mengalami kemunduran dan degradasi moral. Segala maksiat tumbuh di Jawa. Sementara kedatangan Daendels dimunculkan selayaknya mesias. Dia dan bangsa kulit putih (Belanda) adalah pembawa cahaya bagi penduduk Jawa. “Naskah semacam ini bisa muncul mengingat posisi Abdullah bukanlah bumiputra. Dalam stratifikasi sosial saat itu, posisinya ada di kelas menengah. Bahasa-bahasa yang digunakan lebih memilih menguntungkan yang di atas, daripada yang di bawah, yang di atas adalah para patron Hindia Belanda,” kata Sudibyo, dosen sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, dalam diskusi yang diselenggarakan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Kamis (29/3). Sebaliknya, sikap perlawanan terhadap kolonialis terbaca jelas dalam Syair Perang Mengkasar . Naskah itu mengangkat perang besar antara Kerajaan Goa dengan VOC. Penulis syair, Enci Amin merupakan juru tulis Sultan Hasanuddin, raja Goa. Karena berpihak pada Goa, dia pun menciptakan gelar yang menghina lawan. Misalnya, dia menyebut Belanda dengan “Welanda Iblis, si la’nat Allah, Welanda kafir yang bain.” “Sehingga peperangan yang dilakukan Goa terhadap Belanda dapat dianggap sebagai suatu kewajiban teologis,” kata Sudibyo. Ada pula pujangga yang bersifat abu-abu. Misalnya Syair Kompeni Walanda Berperang dengan Cina. Secara garis besar alur ceritanya sejajar dengan narasi sejarah pembataian etnis Tionghoa di Batavia pada 1740. Peristiwa ini menimbulkan perlawanan terhadap VOC di beberapa kota di Pantura. “Prajurit VOC tawanan Istana Kartasura dipaksa mengucap kalimat syahadat, disunat, dipaksa mengenakan pakaian ala Jawa, dan dijadikan pegawai istana Kartasura,” jelas Sudibyo. Di sisi lain, dalam naskah itu juga muncul stereotipe dan makian kepada masyarakat Tionghoa, seperti "Cina keparat salah hati, gila keparat, Cina celaka, si kutuk laknat anjing celaka, dan Cina durhaka". Stereotipe juga ditujukan kepada Madura dan Bali. Orang Bali disebut dengan "babi alas, macan alas". Dalam surat kepada Pangeran Madura, Himop (Van Imhoff, gubernur jenderal VOC) menyebut Pangeran Madura dengan sebutan "Madura Busuk Hati, binatang alas babi hutan, dan babi hutan anak asu". Pangeran Madura, juga memaki utusan Himop dengan sebutan "alperes anjing welandi". "Saya melihat sosok ini (penulis Syair Kompeni Walanda Berperang dengan Cina ) mengambil posisi tak jelas, abu-abu supaya ke sana selamat ke sini selamat. Karena dia anonim tidak bisa diidentifikasi, tahun terbit juga sama sekali tidak diketahui. Tradisi sastra lama memang begitu,” kata Sudibyo. Menurut Sudibyo naskah sastra yang dikeluarkan pujangga luar istana biasanya cenderung lebih jujur. Bahasanya jauh lebih ekspresif. Penulis bisa lebih bersuara bebas. Naskah-naskahnya bisa dianggap menggambarkan pemikiran masyarakat kala itu. Namun, kata Sudibyo, hal itu harus juga memperkirakan kapan naskah diciptakan. Jika ditulis sezaman dengan peristiwa sebenarnya, maka validitasnya masih bisa diterima. Seperti Hikayat Mareskalek yang ditulis pada pertengahan abad 19, hampir sezaman dengan Daendels di Hindia Belanda (1808-1811). “Ingatan orang pada masa itu masih tajam,” kata Sudibyo. “Namun, kalau jarak waktunya panjang, itu sudah berjarak, jarak itu kemudian diisi fiksi dan imajinasi.” Sebaliknya, naskah yang berasal dari dalam tembok keraton berbahasa lebih santun. Pujangga istana sangat terikat oleh sikap politik tuannya. “Filter karya biasanya lewat kesetiaan pujangga pada tuannya. Para pujangga istana tahu apa yang menyenangkan raja, dan apa yang tak disukai,” kata Sudibyo. Beberapa pujangga keraton juga sering mengambil inspirasi dari budaya kolonial. Seperti dalam Serat Baratayudha dari Pakualaman. Penciptanya membuat tampilan ilustrasi naskah dengan mengawinkan budaya Jawa dan Belanda. Misalnya, dalam penggambaran adegan perang, di sana ditampilkan bendera triwarna, merah-putih-biru; dan bendera gula kelapa, merah dan putih yang menjadi bendera Keraton Yogyakarta. Ada pula penggambaran jamuan makan ala Belanda, Rijsttafel. Di atas meja makan terdapat nama-nama Kurawa dan Pandawa. Namun, jenis hidangan yang disajikan merupakan hidangan Eropa lengkap dengan susunan sendok, garpu, dan pisau. “Ini adalah persentuhan kolonial dengan local genius yang ada dalam keraton Nusantara. Jadi, dalam bidang naskah para pujangga kita terutama yang bergerak di bidang artistik sudah sedemikian rupa memanfaatkan unsur asing dalam iluminasi yang dibuatnya,” kata Sudibyo.

  • Pak Haji dan Ringkikan Kuda

    HAJI Agus Salim dikenal sebagai tokoh Indonesia yang pandai berbicara dalam berbagai bahasa dunia. Bukan saja bahasa negara-negara selain Indonesia, namun juga bahasa-bahasa daerah. Bahkan begitu menguasainya, hingga ia bisa meniru logat tokoh-tokoh penjahat yang ia dapat dari pertunjukan drama atau tonil. Kendati hampir sebagain besar tidak mengeyam bangku pendidikan formal, kemampuan menguasai berbagai bahasa tersebut ternyata menurun pula kepada semua putra dan putrinya. Termasuk kepada Muhammad Islam yang sangat pandai sekali berbahasa Inggris. Kepandaian itu pula yang membuat Jef Last, salah seorang tokoh sosialis Belanda terkesan dan merasa penasaran. Untuk menuntaskan keingintahuannya itu. Suatu hari Jef menanyakan soal tersebut secara langsung kepada Agus Salim. “Pak Haji bagaimana bisa, Islam begitu fasih berbahasa Inggris kalau dia tidak pernah disekolahkan?” tanya Jef seperti termaktub dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim. Ditanya demikian, Agus Salim malah balik bertanya kepada Jef: “Apakah anda pernah dengar tentang sebuah sekolah di mana kuda diajari meringkik? Kuda-kuda tua meringkik sebelum kami, dan anak-anak kuda ikut meringkik. Begitu pun saya meringkik dalam bahasa Inggris dan Islam pun ikut meringkik, juga dalam bahasa Inggris…” Di lain waktu, kala Agus Salim mengunjungi Amerika Serikat kali pertama pada 1947, beberapa jurnalis muda setempat secara iseng menanyakan pendapat Haji Agus Salim mengenai new look , busana yang tengah menjadi trend para gadis Amerika ketika itu. Apa jawaban Agus Salim: “Rok-roknya memang bagus sekali, tetapi menurut pendapat saya betis-betis di bawah rok-rok itu malah lebih bagus.” Karena kecerdikannya dalam berdiplomasi, Agus Salim kerap dipanggil oleh pers Barat sebagai The Old Fox (Srigala Tua). Sebutan itu sangat populis hingga di kalangan para pejabat pemerintahan Republik. Namun tak ada orang yang menyangka, julukan tersebut akan memicu terjadinya suatu kejadian lucu di tahun 1946. Ceritanya, sebelum meninggalkan Indonesia, tentara Inggris mengadakan pesta perpisahan. Dalam situasi yang sangat sentimental itu, ada beberapa perwira Inggris yang berinisiatif mengadakan toast tradisional Inggris yakni to the old folks at home . Karena tidak mengerti dengan tradisi tersebut dan salah paham dengan istilah itu ( old folks bunyinya hampir sama dengan old fox ), maka begitu diserukan kata-kata itu, orang-orang Indonesia ramai-ramai bangkit sambil menjawabnya: Haji Agus Salim. HAS sendiri cuma senyum mesem saja melihat peristiwa itu. Lain lagi kisah pertemuan antara Agus Salim dengan Buya Hamka. Menurut salah satu cucu Agus Salim, Agustanzil Sjahroezah, pada suatu hari di tahun 1927 pemuda Hamka yang tengah menimba ilmu di Mekah pernah dinasihati oleh Agus Salim. Nasehatnya supaya Hamka jangan terlalu lama tinggal di tanah suci tersebut. Menurut Agus Salim, Hamka harus mengikuti jejak sang ayah: Syaikh Abdul Karim Amrullah yang jadi ulama besar di alam tanah air sendiri. Kata Agus Salim, soal-soal agama yang timbul di Indonesia yang harus memecahkan masalahnya adalah orang Indonesia sendiri. “Kalau engkau terbenam bertahun-tahun di Mekah, pulangnya kau hanya akan menjadi tukang baca doa di pesta kendurian,” ujar Agus Salim. Namun tak banyak orang tahu jika sang diplomat terkemuka Indonesia itu pernah “dikalahkan” oleh seorang sais andong. Menurut salah satu putri Agus Salim, almarhumah Bibsy Soenharjo saat tinggal di Yogyakarta pada 1948, Agus Salim pernah menaiki sebuah andong. Saat mulai berjalan tiba-tiba terdengar suara dari bagian belakang tubuh kuda dibarengi bau tak sedap. Rupanya kuda tersebut tengah buang gas. “Wah kudanya masuk angin,” ujar Agus Salim secara spontan. “Salah Pak, bukan masuk angin, tapi keluar angin,” jawab Si Sais Andong. Demi mendengar bantahan itu, Agus Salim langsung terdiam namun sambil tersenyum. Rupanya itu pertanda bahwa Agus Salim membenarkan jawaban sang sais andong tersebut.

  • Mula Dokter Masuk Bisnis Kecantikan

    MELIHAT kulit temannya halus, Helen Kristin Dewi Siregar menanyakan temannya cara merawat kulit. Dia kemudian ikut-ikutan merawat kulit di klinik kecantikan. “Awalnya rutin sebulan dua kali, facial atau peeling. Kalau sudah enam bulan nggak perlu. Pakai krim saja, tapi tiap dua bulan kontrol, “ kata Helen. Melakukan perawatan kulit di klinik kecantikan sudah dilakukan Helen sejak akhir 2016. Ketika kulitnya sedang berjerawat¸ Helen menjalani perawatan laser. Perawatan ini ditangani langsung oleh dokter kulit di klinik langganan Helen di Kemanggisan, Jakarta Barat. Apa yang Helen lakukan tak dilakukan oleh orang-orang di tahun 1950-an. Kala itu klinik kecantikan belum ada. Pilihan untuk merawat kulit terbatas pada ramuan tradisional, produk-produk kosmetik, dan salon kecantikan. Ramuan tradisional masih diproduksi secara rumahan. Perekonomian masih sangat lemah, pabrik kosmetik belum ada di Indonesia. Kosmetik-kosmetik yang ada, produk luar negeri. Pembelinya pun masih terbatas pada kelas menengah-atas karena terhitung barang langka dan mewah. Sementara, produk kosmetik dalam negeri belum muncul. Merek kosmetik dalam negeri pertama, Viva, baru keluar pada 1960-an. Begitu masuk era Orde Baru, tulis Jean Couteau dalam The Entrepreneur Behind The Science of Beauty, pertumbuhan ekonomi meningkat dibarengi kenaikan jumlah kelas menengah. Daya beli masyarakat meningkat. Produk-produk kosmetik dalam negeri bermunculan. Kesadaran orang untuk merawat kulit meningkat. Perawatan dilakukan antara lain dengan membeli kosmetik. “Jaman dulu mulanya dari salon kecantikan, setelah itu mereka mendirikan pabrik, baru bikin kosmetik. Martha Tilaar dulu mulanya dari salon di Menteng,” kata Sjarif Wasitaatmadja, dokter kulit sejak 1970-an, kepada Historia . Sjarif pernah menjadi asisten dr. Retno Iswari Tranggono selama 10 tahun. Retno merupakan penggagas berdirinya subbagian kosmetik dan bedah kulit (kini dikenal dengan dermatologi kosmetik) di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Subbagian ini mulai dirumuskan sejak 1967 dan diresmikan pada 1 April 1970. “Di situ dokter mulai ikut di dunia kecantikan. Kami melakukan pertemuan dengan Ikatan Ahli Kecantikan Wijaya Kusuma. Saya baru ikut tahun 1970-an sebagai asisten Ibu Retno. Kami membangun citra kenapa dokter harus berada di situ (perawatan kecantikan, red .),” kata Sjarif. Perawatan kecantikan, lanjut Sjarief, tidak mungkin lepas dari unsur kedokteran. Kosmetik atau zat lain yang dioles ke kulit pasti akan berpengaruh pada kulit. Beberapa zat bahkan mempengaruhi fungsi dan struktur kulit. Oleh karena itu, dokter seharusnya ikut campur untuk mengawasi efek samping dan kebergunaan zat dalam perawatan kulit. Mulanya, kehadiran dokter dalam perawatan kecantikan mendapat penolakan dari para ahli kecantikan. Pengobatan jerawat yang semula dipencet, misalnya, kemudian dilarang oleh para dokter. “Mereka juga perlu saran dari kami (dokter, red. ). Saya ingat pertemuan dengan Wijaya Kusuma, kami dikecam. ‘Buat apa ngobatin jerawat harus begitu?’. Kalau kita kan harus pakai antibiotik dan lain-lain,” kenang Sjarif. Penolakan itu tak berlangsung lama. Perawatan kulit yang melibatkan ahli medis mulai diterima dan menjadi pilihan. Pada 1980-an klinik kecantikan bermunculan. Sebagian merupakan pengembangan dari salon kecantikan, sebagian lain pengembangan dari praktik dokter kulit. Saking banyaknya pendirian klinik kecantikan, Departemen Kesehatan (Depkes) sampai mengeluarkan Pedoman Penyelenggaraan Klinik Kecantikan tahun 2007. “Depkes mengatur karena terlalu banyak klinik kecantikan muncul. Sama Depkes dibenerin . Harus ada syaratnya, tidak hanya sekadar ada dokter untuk memenuhi syarat jadi klinik,” kata Sajrif. Masuknya dokter dalam lini kecantikan kemudian mengubah pola perawatan kulit di Indonesia. Namun, itu tak menghapus orang yang memilih tetap merawat kulit dengan cara tradisional atau ke salon kecantikan. “Kulit orang sekarang bagus-bagus,” kata Sjarif.

  • Polemik Keruntuhan Majapahit

    SAMPAI sekarang masih banyak yang percaya berita tradisi bahwa Kerajaan Majapahit runtuh pada 1400 saka (1478 M). Keruntuhannya disimpulkan dalam candrasengkala sirna ilang kertaning bhumi. Pembahasan soal keruntuhan Majapahit masih belum berakhir hingga kini. Arkeolog Hasan Djafar menyebut bukti-bukti sejarah memperlihatkan kerajaan itu masih ada sampai beberapa tahun kemudian. “Sumber sejarah Majapahit akhir yang ada sangat sedikit jumlahnya. Selain itu, sumber-sumber yang ada tidak banyak memberikan keterangan,” tulis Hasan dalam Masa Akhir Majapahit . Thomas Stamford Raffles, salah satu yang mendukung pendapat keruntuhan Majapahit pada 1400 saka. Dalam The History of Java , dia menyebut Majapahit diruntuhkan Demak pada 1400 saka ( sirna ilang kertaning bhumi ) berdasarkan Serat Kanda. Sejarawan Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara menyatakan hal senada dengan Raffles. Majapahit sirna pada 1400 saka akibat gempuran Demak. Pendapatnya berdasarkan berita-berita tradisi dan resume laporan Residen Poortman tentang naskah kronik Cina dari Kelenteng Sam Po Kong Semarang dan Kelenteng Talang Cirebon. Di luar itu, masalah ini juga memancing banyak pendapat lain. P.J. Veth, profesor geografi dan etnologi dari Belanda, berpendapat Majapahit baru runtuh sesudah 1410 saka (1488 M). Dalam Java: Geographisch, Ethnologisch, Historisch (1875-1882), Veth menyebutkan beberapa permasalahan Majapahit Akhir, khususnya mengenai Girindrawarddana. Di antaranya, dia memakai sumber Prasasti Girindrawarddhana yang dikeluarkan pada 1408 saka (1486 M). Pada 1899, G.P. Rouffaer dalam Wanneer is Madjapahit Gevallen ? juga secara panjang lebar mengupas masalah keruntuhan Majapahit. Dia berpendapat kerajaan itu tumbang antara 1516 dan 1521, yaitu sekira 1518. Kemudian sejarawan Belanda, N.J Krom berpendapat Majapahit masih berdiri sampai 1521. Bahkan, berdasarkan temuan prasasti tembaga dari daerah Malang, Prasasti Pabanolan (1463 saka atau 1541 M), Krom berpendapat Majapahit masih ada pada 1541 M. Lebih jauh, Krom tak setuju keruntuhan Majapahit karena serangan koalisi daerah Islam pesisir, yang dipimpin Demak. Menurutnya, Majapahit bubrah akibat serangan kerajaan Hindu lainnya dari Kadiri, yaitu dinasti Girindrawarddhana. Dinasti ini kemudian meneruskan pemerintahan Majapahit sampai beberapa lamanya. Arkeolog Belanda W.F. Stutterheim menduga Majapahit berakhir antara 1514 dan 1528, yaitu 1520. Itu dengan menyadari berakhirnya Majapahit tidak benar-benar diketahui pasti. Adapun B.J.O Schrieke, indolog, etnolog, dan sejarawan Belanda, mengemukakan Majapahit runtuh pada 1468 M ketika diserang oleh Bhattara ring Dahanapura dengan bantuan raja-raja daerah pesisir. Bhattara ring Dahanapura yang dimaksud tak lain adalah Bhattara I Klin atau Dyah Wijayakarana Girindrawarddhana yang meninggal pada 1396 saka (1474 M). Pada waktu itu raja Majapahit adalah Sinhawikramawarddhana. Muhammad Yamin juga mengemukakan pendapatnya soal masalah akhir Majapahit. Menurutnya, Majapahit runtuh antara 1522 dan 1528, yaitu sekira 1525. Pendapatnya berdasarkan keterangan penjelajah Italia, Pigaffeta, yang menyebut adanya Majapahit ( Magepaher ) pada 1522. Selain itu, pendapat Yamin juga didasarkan pada keterangan Joao de Barros, sejarawan Portugis, yang menyebut daerah Panarukan mengirim duta ke Malaka pada 1528. Dengan adanya perjanjian antara Panarukan dan Portugis pada 1528, Yamin menafsirkan kalau pusat politik Majapahit sudah tak ada lagi. Sementara itu, Hasan Djafar percaya kalau 1400 saka lebih masuk akal jika ditafsirkan sebagai peristiwa perebutan takhta Majapahit oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya terhadap Bhre Krtabhumi. “Dalam penyerangan itu, Bhre Krtabhumi gugur di kadaton dan Ranawijaya sebagai pewaris sah berhasil menguasai kembali Majapahit,” kata Hasan. Menurut Hasan, selain prasasti Raja Girindrawarddhana (1408 saka), bukti lain yang menguatkan Majapahit masih lama berdiri yaitu pembangunan tempat keagamaan bercorak Hindu di lereng Gunung Penanggungan pada masa Ranawijaya antara 1408-1433 saka (1486-1511 M). Hasan menjelaskan, antara 1518 dan 1521, terjadi pergeseran politik di Majapahit yaitu beralihnya penguasaan Majapahit ke tangan Adipati Unus yang memerintah di Demak. Hal itu berdasarkan pemberitaan Pigafetta pada 1522 bahwa Pati Unus adalah raja Majapahit yang sangat berkuasa ketika masih hidup. “Pati Unus meninggal pada 1521. Jadi memang benar jika pada 1522 Pigafetta menyebutkan Pati Unus sebagai penguasa Majapahit dengan kata-kata ‘ketika rajanya (Pati Unus) masih hidup’,” tulis Hasan. Dengan dikuasainya Majapahit oleh Pati Unus, kerajaan ini pun kehilangan kedaulatannya. “Dengan demikian, pada 1519 untuk sementara dianggap sebagai saat keruntuhan Majapahit,” ujar Hasan. Namun, Hasan menambahkan, dengan berakhirnya Majapahit, bukan berarti semua bekas kekuasaan Majapahit menjadi Islam setelah direbut Demak. Pasalnya, hingga abad 17, daerah Blambangan masih menjadi kekuasaan Hindu.*

  • Negara Baru, Utang Baru

    NYAK Sandang, 91 tahun, bertemu Jokowi, sembari membawa obligasi tahun 1950. Kemunculan pria Aceh itu menjadi santapan media. Pun demikian, sejarawan meragukan obligasi yang dibawanya itu didapat dari hasil menyumbang uang untuk pembelian pesawat Seulawah RI-001. Obligasi atau pinjaman nasional dikeluarkan oleh Pemerintah berdasarkan Undang-Undang No.4 tahun 1946 yang menyatakan, Menteri Keuangan diberi kuasa untuk menjual surat-surat pengakuan utang atas tanggungan negara. Sejak mula berdiri, pemerintah Indonesia sudah akrab dengan utang. Sebagai negara baru merdeka, kemampuan finansial Indonesia kala itu masih minim. Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah finansial. Salah satunya, menggalang partisipasi masyarakat. Pada 29 April 1946, Presiden Sukarno dan Menteri Keuangan Soerachman –atas persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP)– meneken Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1946 tentang Pinjaman Nasional 1946. Menteri Keuangan, tulis pasal pertama ayat 1 pada UU tersebut, memiliki kekuasaan untuk menjual surat-surat pengakuan utang atas tanggungan negara dengan kurs dan bunga yang sudah ditentukan guna mendapatkan uang seribu juta rupiah. Pada ayat kedua dan ketiga pasal 1, surat-surat pengakuan utang tersebut hanya bisa dimiliki oleh warga negara RI serta tidak bisa “dilepaskan” (dijual, digadaikan, diwariskan, dan sebagainya) kepada warga negara negeri lain atau kepada badan hukum negeri lain. “Pinjaman yang hendak ditutup besarnya seribu juta, dipungut dua kali, masing-masing f 500.000.000. Jumlah ini akan dipergunakan masing-masing 400.000.000 untuk pembangunan, membantu perusahaan umumnya dan membangunkan perumahan rakyat. f 100.000.000 untuk membantu belanja negara berhubung dengan jatuhnya harga uang Jepang,” tulis Pantja Raja nomor 13 tahun I, yang terbit 15 Mei 1946. Selain untuk membiayai pembangunan dan masalah pertahanan, ada tujuan lain dari dikeluarkannya Pinjaman Nasional. “Pemerintah mengumumkan Undang-Undang Pinjaman Nasional guna meringankan beban rakyat dengan jalan mengurangi peredaran uang Jepang,” tulis Pramoedya Ananta Toer, Koesalah, dan Ediati kamil dalam Kronik Revolusi Indonesia jilid II. Peredaran mata uang Jepang di masyarakat saat itu diperkirakan sejumlah empat milyar. Sampai Agustus 1945, tulis Heru Soekadri cum suis dalam Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Jawa Timur , mata uang Jepang yang beredar di Jawa saja berjumlah 1,6 milyar. Beragam upaya ditempuh untuk merealisasikan pinjaman kepada rakyat. Publikasi program itu dilaksanakan melalui berbagai media, mulai radio, surat kabar, sampai badan-badan pemerintah. Dalam hal pelaksanaan penjualan obligasi, tulis Langgeng Sulistyobudi dalam artikel bertajuk “Ketika Negara Berhutang Kepada Rakyatnya: Pinjaman Nasional 1946”, Kementerian Keuangan menyerahkan tugas tersebut kepada Bank Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, dan dua bank swasta: Bank Surakarta dan Bank Nasional. Di Jakarta, lanjut Langgeng yang mengutip Berita Antara Mei 1946, pendaftaran juga dibantu oleh Sekolah Menengah Tinggi. Pendaftaran Pinjaman Nasional berlangsung sejak 15 Mei 1946 hingga 15 Juni 1946, namun diperpanjang sampai akhir Juni 1946, bahkan di bulan-bulan sesudahnya. Nilai obligasi atau surat pengakuan utang yang ditentukan pemerintah adalah lembar obligasi f 100 (uang Jepang), lembar obligasi f 500 (uang Jepang), dan lembar obligasi f 1.000 (uang Jepang). “Dari surat-surat hutang itu telah dikeluarkan terlebih dahulu di Jawa dan Madura dengan jumlah nilai f 500.000.000 dan di Sumatra f 500.000.000,” seperti dikutip dari UU nomor 26 tahun 1954 mengenai Pembayaran Kembali Pinjaman Nasional 1946. Melalui pasal 3 butir 4, negara menjamin pelunasan utang akan diselesaikan sekurang-kurangnya 40 tahun.

bottom of page