top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Prostitusi di Perkebunan Deli

    BAGAIMANA caranya seorang perempuan Jawa di Deli bisa membeli sarung? Mereka harus susah payah mengumpulkan uang sen demi sen. Lima sen adalah harga sekali kencan melayani kuli seorang pria Tionghoa. Maka untuk bisa memperoleh sehelai sarung yang harganya 100 sen, mereka harus mampu melakukan persetubuhan dengan kuli pria Tionghoa sebanyak dua puluh kali.  Demikianlah kisah perjuangan buruh perempuan yang berprofesi sebagai pelacur di perkebunan Deli, Sumatera Timur. Kondisi miris itu digambarkan ahli hukum Belanda Mr. J. van den Brand dalam buku ringkasnya bertajuk Milioenen uit Deli (Berjuta-juta dari Deli). Brand yang seorang pengacara di kota Medan dan pemimpin redaksi De Sumatera Post menerbitkan brosurnya pada 1902. Dalam brosurnya, Brand menyingkap penderitaan yang dialami para kuli terlebih kuli perempuan yang terpaksa menjadi sundal demi bertahan hidup. “Jangan heran bahwa wanita sebagai itu (pelacur) untuk memiliki sehelai sarung sebagai penutup badannya, harus menjual diri,” kata Brand. Tulisannya membuat publik di Deli geger. Para pejabat kolonial di Hindia hingga negeri Belanda tersentak. Namun setelah itu, praktik prostitusi di perkebunan Deli masih saja tetap jalan.  Homoseksual Marajelala Homoseksual merupakan gejala yang terjadi di kalangan buruh perkebunan pada tahun-tahun pertama lahan di Deli dibuka. Menurut sejarawan Jan Breman, buruh Tionghoa merupakan pelopor kebiasaan praktik seksual menyimpang seperti ini. Selain tak begitu menghiraukan perempuan, mereka bahkan cenderung menjadi pedofil. Anak-anak di bawah umur dari kalangan buruh Jawa kerap menjadi objek seksual buruh Tionghoa.    “Anak-anak itu mereka namakan anak jawi, dan para pengawas punya hak pertama atas diri mereka,” tulis Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20 .  Praktik tersebut tidak jarang menyebabkan terjadinya pembunuhan di antara sesama kuli Tionghoa. Perkaranya biasanya menyangkut persaingan cinta. Untuk memenuhi hasrat seksual mereka, lantas dilazimkanlah keberadaan pelacur lelaki. Di dalam barak, pelacur lelaki memiliki tempat tidur sendiri, lengkap dengan gorden yang dihias dengan aksesorisnya. Praktik homoseksual ini terjadi secara terang-terangan dan di depan kuli-kuli lain. Praktik homoseksual ini juga disaksikan oleh kuli-kuli lain yang tinggal di barak. Aktivitas seksual yang buka-bukaan ini sebagaimana disebut Wahyu Putra Kelana, karena di dalam barak tidak ada pembatas ataupun kamar-kamar sebagai tempat tidur. “Kepuasan yang dirasakan oleh salah seorang kuli pada saat berhubungan seksual, meski terhadap sesama jenis menjadi penarik perhatian kuli-kuli lain. Hal inilah yang menyebabkan praktik homoseksual meluas di kalangan kuli Cina,” tulis Wahyu Putra Kelana dalam skripsinya di Universitas Sumatera Utara, “Pelacuran pada Wilayah Perkebunan Deli 1870-1930”. Pada awalnya, pihak perkebunan tidak mengetahui hal ini. Praktik homoseksual baru terendus ketika ada kuli yang terserang penyakit. Setelah diperiksa, kemudian diketahui bahwa penyakit tersebut berasal dari bakteri yang berasal dari kelamin pria. Homoseksual berangsur-angsur berkurang setelah kuli perempuan mengisi hari-hari di perkebunan.  Pemikat Kuli Lelaki Jika buruh Tionghoa bisa melampiaskan hasrat seksual lewat hubungan sesama jenis, buruh Jawa tidak seperti itu. Tanpa perempuan, mereka susah bertahan hidup. Karena itulah sejak 1873 ratusan perempuan dari Jawa didatangkan ke Deli setiap tahunnya. “Laki-laki Jawa tidak begitu pilih-pilih dalam soal perempuan. Tidak begitu memperhatikan kehidupan masa lalu atau kecantikan lahiriah bahkan usianya,” tulis Breman mengutip keterangan residen Sumatera Timur P.J. Kooreman pada 1903. Sebelum dipekerjakan, pihak perkebunan menetapkan kriteria untuk kuli perempuan: muda, (sebisa mungkin) cantik, dan berfisik baik. Mereka dipersiapkan sebagai pengambil hama ulat tembakau, pencuci, dan penjemur daun tembakau. Selain pekerjaan ringan tadi, mereka memang dipersiapkan untuk menjadi pelacur guna memikat kuli laki-laki memperpanjang ikatan kontraknya di perkebunan.     Kegiatan prostitusi biasanya marak saat hari gajian. Pada malam hari, kuli-kuli perempuan akan berdandan dengan cantik untuk menjadi penari ronggeng di pasar malam. Bisnis esek-esek ini dijalankan oleh germo. Mereka yang menjadi germo adalah para mandor besar dari suku Jawa yang berperan juga sebagai pemimpin kelompok penari ronggeng. Ketika perempuan meliukkan tarian ronggeng, kuli lelaki akan ikut menari dan menyodorkan saweran duit. Maka dari sinilah tanda transaksi pelacuran dimulai. Penari kemudian menarik kuli laki-laki yang menyawernya dengan selendang. Keduanya lantas menjauh dari keramaian mencari tempat memadu hasrat. Mereka biasanya menuju barak atau ke tempat sepi sekitar perkebunan. Bayaran sekali melacur seperti ini, menurut Liesbeth Hesselink dalam Prostitution and Gambling in Deli , sebesar setengah gulden. Hidup di perkebunan Deli memang teramat keras, khususnya bagi buruh perempuan Jawa. Untuk bertahan hidup, pilihan kerja sampingan menjadi pelacur terpaksa dilakoni. Meski demikian, tak semua dari mereka sudi menggadaikan harga diri dengan perbuatan asusila itu. “Beberapa di antaranya melarikan diri, bunuh diri atau menjadi gila karena merasa dipermalukan,” tulis arsiparis Iyos Rosidah dalam tesisnya di Universitas Diponegoro berjudul “Eksploitasi Pekerja Perempuan di Perkebunan Deli Sumatera Timur 1870-1930”. Kumpul Kebo Tak hanya prostitusi, kehidupan bergonta-ganti pasangan mewarnai kehidupan di barak-barak kuli. Perempuan Jawa yang tak bersuami di perkebunan mudah menemukan lelaki yang mau hidup bersamanya tanpa nikah. Percumbuan dapat diikat dan diputuskan seketika. Pasangan yang hidup bersama sedapat mungkin memisahkan diri dengan menyekat petak barak mereka dengan karung tua. Kehidupan di balik barak kuli memperlihatkan degradasi moral. Kesetiaan merupakan barang langka. “Di antara pasangan-pasangan itu tak dikenal apa yang dinamakan kesetiaan perkawinan. Persaingan sangatlah ketat, dan karena jumlahnya kecil, maka perempuan di perkebunan itu pun berpindah dari tangan ke tangan,” tulis Breman. Keberadaan kuli perempuan sekilas dapat menanggulangi masalah sosial dan medis akibat homoseksual. Namun liarnya perilaku seksual di kalangan mereka menyebabkan maraknya penyebaran penyakit kelamin. Laki-laki, terutama dari kalangan Tionghoa, banyak yang terkena sifilis. Menurut H.H. van Kol, anggota parlemen Belanda dari Partai Sosialis, dalam risalahnya Uit Onze Kolonien ( Dari Koloni Kita ) yang terbit pada 1903, merajalelanya pelacuran mengakibatkan timbulnya penyakit sifilis yang berjangkit. Sementara perempuan mesti menanggung beban dengan lahirnya anak-anak hasil prostitusi atau hubungan gelap. Tak sanggup membesarkan, mereka terpaksa menjual bayinya. Inilah cikal bakal perdagangan anak di Deli. “Dan dalam keadaan sedemikian setiap ibu dari anak-anak haram zadahnya bersedia saja menjual anak tersebut kepada siapa yang bersedia membeli dengan harga teratas,” kata Kol sebagaima dikutip Mohammad Said dalam Koeli Kontrak Tempo Doeloe: Dengan Derita dan Kemarahannya . Orang-orang Tioghoa kayalah yang biasanya menjadi orang tua adopsi "anak-anak kebon" yang dijual ibunya ini.   Prostistusi di perkebunan mulai surut dan berakhir seiring dengan banyaknya perusahaan perkebunan yang bangkrut akibat resesi ekonomi global memasuki tahun 1930.*

  • Di Balik Pernikahan Pasangan Emas Olimpiade

    SEKIRA 4000 orang undangan hadir di ballroom Hotel Gran Melia Kuningan, Jakarta, 9 Februari 1997. Selain para stakeholder bulutangkis, hadir pula stakeholder - stakeholder olahraga lain. Sebut saja Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jenderal (Purn) Wismoyo Arismunandar, Ketum PBSI Letjen (Purn) Soerjadi, Wakil Presiden keenam Try Sutrisno yang sebelumnya menjabat ketum PBSI selama dua periode. Pengusaha sekaligus pemilik Klub Jaya Raya Ir. Ciputra tak ketinggalan. Jaya Raya merupakan klub yang menaungi Susi Susanti. Ciputra dan para hadirin hari itu datang untuk menghadiri pernikahan pasangan peraih dua emas pertama olimpiade, Alan Budikusuma dan Susi Susanti. Resepsi megah dan unik juga digelar seminggu setelah keduanya menikah lewat upacara sakramen di Gereja Santo Yakobus, Jakarta Utara. Resepsinya dibuka dengan aksi pesenam Zainul Abidin yang melompati lingkaran bendera Olimpiade, lantas disambung prosesi Alan dan Susi mencium bendera merah putih. Resepsi mewah dengan tema “Grand Athena Wedding” itu jadi satu dari sekian momen terbaik dalam hidup Alan-Susi. Alexander Alan Budikusuma (Goei Ren-fang) dan Lucia Francisca Susi Susanti (Wang Lian-xiang) menikmatinya lantaran lima tahun sebelumnya jadi dua orang pertama yang membuat sang saka merah putih berkibar di olimpiade, di Barcelona 1992. Dua Perantauan di Pelatnas Di balik pernikahan Alan-Susi itu, banyak titian berliku yang mereka lalui bersama. Jalan berliku itu terus mereka temui dari sejak saling mengenal hingga saat mengurus pernikahan. Sejak masuk Pelatnas Senayan di akhir 1980-an, keduanya bisa dekat lantaran sama-sama perantau yang meretas karier bulutangkis di ibukota. Alan asal Surabaya, Susi datang dari Tasikmalaya. Berawal dari seringnya Alan meminjam buku dari Susi di asrama, keduanya menjalin asmara. Witing tresno jalaran soko kulino , kata orang Jawa. Benih-benih cinta itu datang karena seringnya mereka ngobrol tentang bulutangkis dan keluarga masing-masing. “Kami sudah mulai cukup dekat dan intens sejak 1989. Dikarenakan saya dan Susi jauh dari orangtua. Sama-sama perantauan. Tiap hari bertemu di Pelatnas dan itu membuat hubungan kami dekat. Kan tidak seperti sekarang. Gampang telefon keluarga, WA (pesan singkat WhatsApp) atau video call. Dulu telefon itu mahal,” kata Alan kepada Historia. Alan Budikusuma berkisah tentang masa-masa pacaran hingga pernikahan dengan Susi Susanti (Randy Wirayudha/Historia). Alih-alih mengganggu fokus latihan keduanya, asmara Alan-Susi justru sama-sama makin termotivasi. “Tujuan hubungan kami bukan semata-mata pacaran, tapi juga saling support . Orangtua saya dan Susi juga selalu mengingatkan. ‘Ingat lho , kamu bisa latihan di PB Djarum dan kemudian Pelatnas, sudah dikasih kesempatan bisa sampai terpilih menjadi salah satu tim nasional’. Jadi, pacaran sih oke, untuk mendukung yang positif, itu yang selalu diingatkan,” lanjutnya. Alan mengakui, kadang terbersit sedikit rasa iri lantaran tak bisa pacaran dengan Susi laiknya muda-mudi seusianya. Saat yang lain bisa memadu kasih ke berbagai tempat dengan berbagai akvititas romantis, Alan dan Susi tetap disibukkan oleh rutinitas tepok bulu. “Hampir setiap hari ya di asrama. Ketemu di lapangan setiap latihan, di jam makan siang dan malam. Hanya bisa komunikasi saja di waktu-waktu itu. Tak seperti pacaran orang lain, malam mingguan, nonton. Kalau senggang paling ramai-ramai juga pergi ke luar Pelatnas naik bus sama yang lain. Ya seperti itulah keadaannya,” sambung Alan. Kesibukan latihan lebih meningkat saat keduanya sama-sama dalam persiapan Olimpiade Barcelona 1992, saat bulutangkis untuk kali pertama jadi cabang resmi. Susi bersama Sarwendah Kusumawardhani terpilih dua andalan tunggal putri Indonesia. Sementara, Alan bersama Ardy B Wiranata dan Hermawan Susanto (kini suami Sarwendah) jadi andalan di nomor tunggal putra. Baik Susi maupun Alan mesti konsentrasi dengan program-program latihan yang porsinya lebih dari biasanya. “Hampir selalu kita enggak bisa bangun dari lapangan sehabis latihan berat itu. Tapi memang saya dan Susi berkomitmen dan saling kasih motivasi bahwa kita harus fokus dulu. Hampir tak ada waktu senggang karena kita butuh lebih banyak waktu untuk recovery . Kita kesampingkan hal-hal pribadi dan lebih fokus untuk olimpiade,” kenang Alan. Perkara SBKRI Kerja keras dan pengorbanan Alan dan Susi tak sia-sia. Pada Februari 1997, keduanya memutuskan melepas masa lajang. Namun, masalah kembali menghadang. Kendati pasangan emas olimpiade itu besar jasanya buat Indonesia, Alan dan Susi kesulitan mengurus pernikahan lantaran tersandung kebijakan diskriminatif bernama Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). “Yang pasti adalah, seluruh pengurusan, baik pembuatan dan perpanjangan paspor, pernikahan, selalu diminta SBKRI karena itu yang paling pokok. Kalau enggak punya itu, apapun pengurusan tidak bisa keluar,” kata Alan. Kendati SBKRI sudah dianulir Presiden Soeharto lewat Keppres Nomor 56 tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, praktik persyaratan SBKRI masih eksis sampai awal Orde Reformasi. Tapi setelah Susi banyak protes lewat beragam media, pengurusan dokumen pernikahannya bisa dirampungkan dengan segera. “Iya setelah Susi bicara di media-media jadinya lebih mudah. Tapi tetap saja terus terang saya kecewa. Kenapa kami harus dipertanyakan. Padahal saya juga sudah berbuat banyak. Saya juga lahir di Indonesia. Orangtua saya lahir di Indonesia. Kelak, kita pun ingin meninggal di Indonesia. Makanya saya selalu mempertanyakan SBKRI kenapa harus ada? Kenapa saya dipertanyakan tidak nasionalis. Padahal saya nasionalis, saya orang Indonesia walaupun saya etnis Tionghoa,” kata Alan sambil berkaca-kaca matanya. Beruntung, masa sulit itu segera berganti dengan kebahagiaan pernikahan. Pernikahan Alan-Susi, tulis Majalah Bulutangkis edisi Maret 1997, ongkosnya mencapai Rp1 miliar. Gaun pengantin Susi dirancang mewah, plus mahkota berlian berbobot 15 kilogram. “Kami dibantu banyak teman-teman. Gaunnya Susi dibikin Pak Kim Thong. Jas saya dari Richard Costume and Design. Panggung, dekorasi, semua mereka bantu kami. Jadi sebenarnya biaya untuk pernikahan dari kami sendiri ya minim. Karena mereka melihat suatu kebanggaan karena kita kan couple, juara olimpiade pertama dan mereka ingin bantu. Saya sangat berterimakasih pada mereka semua,” tandasnya.

  • Kerajaan Tertua di Jawa Timur

    Ada seorang raja bijaksana dan berkuasa, namanya Dewasimha. Di bawah lindungannya api putikeswara yang menyebarkan sinar di sekelilingnya. Juga Limwa, putranya, yang bernama Gajayana, melindungi manusia bagaikan anaknya, ketika ayahnya marak ke langit. Limwa melahirkan anak perempuan, namanya Uttejana. Dia adalah permaisuri raja Pradaputra. Dia juga ibu A-nana yang bijaksana, cucu Gajayana, orang yang selalu berbuat baik terhadap kaum brahma, dan pemuja Agastya, tuan yang dilahirkan dari tempayan. Demikianlah sebagian informasi dalam Prasasti Dinoyo yang beratrikh 682 Saka (760 M). Prasasti ini ditemukan terbelah menjadi tiga bagian. Bagian tengah yang terbesar ditemukan di Desa Dinoyo, Malang. Sedangkan bagian atas dan bawah ditemukan di Desa Merjosari dan Dusun Kejuron, Desa Karangbesuki, Malang. “Sejauh telah ditemukan, Prasasti Dinoyo adalah prasasti tertua di wilayah Jawa Timur,” ujar Dwi Cahyono, dosen sejarah di Universitas Negeri Malang. Dari prasasti itu dapat diketahui kalau di wilayah Malang sekarang pernah berdiri Kerajaan Kanjuruhan. Secara khusus, prasasti ini memberitakan kalau Gajayana melihat arca Agastya yang dibuat nenek moyangnya telah lapuk karena terbuat dari kayu cendana. Gajayana menggantinya dengan batu hitam yang lebih elok. “Sampai sekarang belum banyak yang tahu kalau di Jawa Timur ada kerajaan tua, tahunya sudah masa Sindok, Airlangga, lalu Singhasari, dan Majapahit,” lanjut Dwi. Melihat angka tahunnya berarti Kerajaan Kanjuruhan berkembang semasa dengan Kerajaan Tarumanegara di Jawa bagian barat, Kalingga dan Mataram Kuno di Jawa bagian tengah. Dengan begitu, Kanjuruhan menjadi kerajaan pertama yang memulai era kemonarkian di Jawa Timur sekarang. Menurut Dwi, sistem pemerintahan kerajaan di Kanjuruhan mungkin dimulai dari pemerintahan Raja Dewa Simha, ayah Gajayana. Pasalnya dialah yang disebut paling awal di antara tiga deret penguasa dalam prasasti. “Dialah penguasa pertama di Jawa Timur yang menjadi pemangku budaya Hindu sekaligus pemimpin kerajaan yang bercorak India,” kata Dwi. Prasasti Dinoyo. Dalam Kaladesa, arkeolog Agus Aris Munandar menyebut berhubung sumber tentang Kerajaan Kanjuruhan sangat terbatas, hanya Prasasti Dinoyo, kajian tentangnya pun belum ada mendalam. Nama Kanjuruhan sendiri disinyalir kemudian berubah menjadi Dusun Kejuron, tak jauh dari Dinoyo, di tepi Kali Metro. Di dusun itu sampai sekarang berdiri candi Hindu. Candi itu, menurut Agus, memiliki ciri arsitektur abad ke-8 M. Relung-relungnya sudah tak berarca yang mungkin dulunya berisi arca Nandiswara dan Mahakala (di kanan-kiri pintu), Durga Mahisasuramardini (relung di dinding utara sekarang masih ada), Ganesa (relung belakang), dan Rsi Agastya (relung selatan). Di dalam bilik candi masih terdapat lingga-yoni. “Dengan ciri arsitektur tuanya dapat dinyatakan bahwa Candi Badut, berkaitan dengan Prasasti Dinoyo yang ditemukan di kawasan yang tidak terlalu jauh dari candi itu,” jelas Agus. Selain Candi Badut, ada pula reruntuhan bangunan kuno. Penduduk setempat menyebutnya Candi Besuki dan Candi Urung. Namun, Candi Besuki hanya tinggal pecahan bata besar yang berserakan di tepi lahan garapan penduduk.   Tak lama bertahan Sulit mengetahui perkembangan Kerajaan Kanjuruhan karena hanya berdasarkan satu prasasti. Namun, Agus menduga sangat mungkin Kanjuruhan bertahan selama satu abad kemudian. Rajanya tak lagi mengeluarkan prasasti karena wilayahnya sudah menjadi bagian dari Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah sekarang. Kanjuruhan pun diperintah oleh penguasa daerah yang mungkin dianggap sebagai raja bawahan bergelar rakryan kanuruhan . Gelar ini pertama kali muncul dalam Prasasti Raja Watukura Dyah Balitung (898-910 M). Kedudukannya menjadi amat penting pada zaman Dharmmawangsa Airlangga dan masa Kadiri (Abad ke-12 M). Jabatan itu mulai nampak dalam hierarki pemerintahan pusat sejak masa Mpu Sindok. Pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Airlangga, ia merupakan pejabat terpenting sesudah para putra raja. Keadaan itu terus berlangsung sepanjang masa Kadiri. Ia pun yang utama di antara para tanda rakryan ring pakirakiran . Sementara pada masa Majapahit, ia tetap anggota kelompok yang sama tapi bukan yang terpenting. Pada masa ini yang terpenting adalah rakryan mapatih . Sebutan kanuruhan  tak lagi muncul pada abad ke-15. Kata kanuruhan muncul dalam beberapa candi perwara di Kompleks Candi Prambanan. Kompleks percandian ini selesai dibangun pada abad ke-9 M. “Hal itu dapat ditafsirkan bahwa sekira 856 M, wilayah Kanjuruhan telah berpartisipasi dalam pembangunan tempat suci terbesar bagi umat Hindu Siwa itu,” jelas Agus. Pejabat bergelar rakryan kanuruhan hingga kini hanya dijumpai dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Jawa Timur. Misalnya, Prasasti Balinawan (891 M), Prasasti Kubu-kubu (905 M), Prasasti Sugih Manek (915 M), dan Prasasti Sanguran (928 M). Menurut Agus masa surut Kanjuruhan mungkin bersamaan dengan berkembangnya Mataram Kuno. Kanjuruhan kemungkinan ditaklukkan Rakai Watukura Dyah Balitung. Pasalnya dari masa raja ini muncul Prasasti Kubu-kubu (827 Saka/905 M) yang menyebut pada masa pemerintahannya terjadi penyerangan ke Banten. Agus menafsirkan Banten sebagai daerah di Jawa Timur dan berkaitan dengan Kerajaan Kanjuruhan. Meski umurnya tak panjang, menurut Dwi, sudah cukup alasan untuk menyatakan Kanjuruhan adalah peletak dasar sekaligus pembentuk sistem sosial-budaya yang teratur di Malang Raya. Lebih jauh lagi, kerajaan dan watak Kanjuruhan merupakan modal bagi pembangunan pusat pemerintahan Kerajaan Singhasari hingga pusat negara vasal Majapahit. “Kehadiran Kerajaan Kanjuruhan menjadi pemicu bagi lahirnya areal perkotaan di lembah Metro dan Brantas, yang dalam lintas masa menjadi sentra pemerintahan dan peradaban,” kata Dwi.

  • MS Kaban, Cheng Ho, dan Buruh Cina

    JUMAT (11/1), M.S. Kaban selaku bekas menteri kehutanan era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kini menjabat Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang, berkicau begini –dengan pengubahan redaksional seperlunya– dalam akun twitter  pribadinya: “Cheng Ho pernah membawa puluhan kapal lengkap dengan pasukan untuk menyerang Majapahit karena tidak mau tunduk membayar upeti kepada kaisar China. Di era Presiden Jokowi, mendarat dengan aman dan tenang ribuan orang RRC di Morowali pakai pesawat China Airlines.”

  • Jaringan Preman Sisa Orde Baru

    PADA 1970-an, geng-geng remaja seperti Berlan dan Siliwangi Boys berkeliaran dan tak jarang melakukan kekerasan di Jakarta. Risih dengan kerusuhan yang mereka buat, Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Jenderal TNI Soemitro memerintahkan agar kelompok-kelompok dan geng remaja dibubarkan.

  • Ingin Seperti Beckenbauer

    CHRISTIAN Hadinata tak pernah bisa jauh dari bulutangkis. Setelah gantung raket pada 1986, maestro yang akrab disapa Koh Chris itu tetap berkecimpung di olahraga tepok bulu sebagai pelatih di PB Djarum, lantas di Pelatnas PBSI. Selain ingin membalas budi kepada olahraga yang telah membesarkan namanya, alasan yang selalu diungkapkan Koh Chris adalah terinspirasi legenda sepakbola Jerman Franz Beckenbauer. Beckenbauer sudah jadi idolanya sejak muda. “Kalau idola (saya, red .) anehnya justru dari sepakbola, Franz Beckenbauer. Kenapa saya mengidolakan dia? Saya ingin meniru dia. Dalam artian, kariernya sebagai pemain hebat, jadi pelatih juga hebat,” cetus Koh Chris kepada Historia kala berbincang santai di Djarum Foundation, Jakarta, Senin (7/1/2019). Legenda hidup sepakbola dunia berjuluk Der Kaiser itu sohor lantaran sebagai pemain sukses mengantarkan Jerman Barat juara Piala Dunia 1974. Sebagai pelatih, Beckenbauer sukses membawa negerinya juara Piala Dunia 1990. Dalam sepakbola, Beckenbauer tentu bukan satu-satunya legenda jempolan. Tapi menurut Koh Chris, tak ada satupun yang kariernya selengkap Beckenbauer. “Pelé dan (Gerd) Müller itu pemain hebat tapi kan tidak melatih. Maradona juga luar biasa, sempat coba jadi pelatih tapi dia belum berhasil. Itulah saya bilang idola saya Franz Beckenbauer, itu semuanya lengkap. Saya ingin meniru seperti dia itu,” lanjut penggemar klub Spanyol Real Madrid itu. Beralih jadi Pelatih Lahir di Purwokerto, 11 Desember 1949, Christian memahat nama besarnya lewat beragam prestasi di olahraga bulutangkis. Nama besarnya terukir dari nomor ganda putra dan ganda campuran. Bersama Ade Chandra, Koh Chris jadi orang Asia dan Indonesia pertama yang mampu menjuarai ganda putra All England, tahun 1972. Bersama Imelda Wiguna, Koh Chris juga jadi atlet Asia dan Indonesia pertama yang juara ganda campuran All England (1979). Bukan hanya All England yang dijuarai Christian bersama Ade dan Imelda. Mereka mengoleksi sederet gelar perorangan maupun beregu, mulai dari Kejuaraan Dunia, Thomas Cup, hingga Asian Games. Setelah pensiun tahun 1986, Koh Chris memilih jadi pelatih. “Saya memberanikan diri untuk jadi pelatih. Selain ingin seperti Beckenbauer, saya juga ingin mengembalikan (jasa) lewat tenaga, pikiran, dan waktu untuk bisa tetap membangun prestasi bulutangkis nasional. Ya seperti pertandingan atletik lari estafet 4x100 meter saja. Jadi pelari pertama mungkin Pak Tan Joe Hok, pelari kedua Rudy Hartono, kemudian saya pelari ketiga dan lantas bagaimana saya bisa mengoper ke pelari berikutnya agar Indonesia tetap berprestasi di dunia,” ujarnya. Franz Beckenbauer mengantarkan Jerman juara Piala Dunia 1974 sebagai pemain dan 1990 sebagai pelatih. (dfb.de) Koh Chris memulainya dengan belajar dari sejumlah mentor di PB Djarum. Selain dengan Anwari, dia belajar melatih kepada Tahir Djide, Stanley Gouw, hingga teknokrat olahraga MF Siregar. “Pak Tahir itu dosen saya di STO. Kita sering diskusi tentang pelatihan fisik. Juga Stanley Gouw yang pertamakali memasangkan saya dengan Ade Chandra. Dari sisi motivasi, saya belajar dari Pak Siregar maupun Tan Joe Hok,” tambah Koh Chris. Belum lama jadi pelatih di PB Djarum, Koh Chris ditarik ke Pelatnas PBSI pada 1990 oleh MF Siregar yang kala itu menjabat Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (Kabid Binpres) PBSI. Karier moncernya di ganda putra menjadi alasan mengapa Koh Chris ditawari melatih sektor ganda putra, tawaran yang langsung diambilnya. “Ya ini kesempatan emas mempraktekkan apa yang sudah saya dapat dari para senior saya. Bermodal keberanian, saya terima tugas itu. Waktu itu PBSI sedang persiapan untuk Olimpiade 1992 di Barcelona,” sambungnya. Di Barcelona 1992 itu, di mana bulutangkis baru pertamakali jadi cabang resmi olimpiade, Koh Chris memoles pasangan Eddy Hartono/Rudy Gunawan hingga meraih medali perak. Sejak itu, namanya sebagai pelatih kian berkibar. Tak ayal, tawaran melatih di luar negeri dengan gaji menggiurkan berdatangan. Namun, Koh Chris selalu menolak. “Alasannya sarat ikatan emosi karena bulutangkis Indonesia sudah menjadikan dirinya menjadi juara dan setelah usai jadi pemain, ingin membalas kebaikan itu,” tulis Monty P. Satiadarma dalam Rahasia Ketangguhan Mental Juara Christian Hadinata . Menjelang persiapan Olimpiade Atlanta 1996, Koh Chris “naik pangkat” jadi Kabid Pelatnas PBSI. Lewat kesuksesan duet hasil polesannya, Ricky Subagdja/Rexy Mainaky, Indonesia berhasil menjaga tradisi emas olimpiade di Atlanta. Di final yang menegangkan, Ricky/Rexy membungkam pasangan Malaysia Cheah Son Kit/Yap Kim Hock 5-15, 15-13, dan 15-12. Ricky Subagdja dan Rexy Mainaky di Olimpiade Atlanta 1996. (BWF Museum) “Itu momen paling manis buat saya sebagai pelatih. Saat persiapan, saya bilang pada mereka, saya enggak mau perak lagi. Kalau perak lagi berarti (prestasi ganda putra) enggak maju. Apalagi perunggu, turun dong prestasinya! Saya targetkan kalian emas. Berani, enggak? Siap, enggak? Mereka menyanggupi. Tentu hasil itu membanggakan sekali buat saya,” kenang Koh Chris. Prestasi Koh Chris sebagai pelatih tak hanya berhenti sampai di situ. Di Olimpiade Sydney 2000, dia kembali mengantarkan Tony Gunawan/Chandra Wijaya meraih emas ganda putra. Olimpiade, Kasih Tak Sampai Ada alasan tersendiri mengapa Koh Chris lebih bangga jika anak-anak asuhnya memetik emas olimpiade ketimbang gelar-gelar kejuaraan lain. Pasalnya, sepanjang kariernya sebagai pemain, ajang multievent inilah yang belum mampu dimenanginya buat Indonesia. Prestasinya di olimpiade paling banter hanya sekadar dua medali cabang demonstrasi, di Olimpiade Munich 1972. Dari olimpiade di negeri pesepakbola idolanya itu Ko h Chris membawa pulang sekeping emas ganda putra bersama Ade Chandra dan perunggu ganda campuran bersama Utami Dewi. “Ya, memang sayangnya saat masih jadi pemain, bulutangkis belum resmi jadi cabang olimpiade. Baru sekadar cabang eksebisi tahun 1972. Tapi 20 tahun kemudian saat saya jadi pelatih, baru diterima sebagai cabang resmi di Olimpiade Barcelona,” tutupnya.

  • Air Kapur Barus Minuman Ahli Surga

    SESUNGGUHNYA kami menyediakan bagi orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan, kelak di surga minum dari gelas berisi minuman yang campurannya adalah kapur barus (air kamper/ kafur ), yaitu mata air dalam surga yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Begitu bunyi Alquran Surat Al-Insan ayat 5. Dari ayat itu, Rusmin Tumanggor dalam Gerbang Agama-Agama Nusantara, memperkirakan pada masa Nabi Muhammad Saw. menyiarkan Islam di Mekah dan Madinah, kapur barus telah dikenal di dunia Arab. Bahkan mungkin bukan barang baru lagi di pasar Arab. “Tidak mustahil jika sebagian pedagang Arab sendiri yang mengambilnya ke Barus dan membawanya ke Arab,” tulisnya. Kapur barus memang telah menjadi salah satu primadona perdagangan sejak berabad silam. Barus yang berada di pesisir barat Sumatra adalah salah satu penghasil utama komoditas berharga itu. O.W. Wolters dalam Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII, menerangkan pohon kapur barus merupakan tanaman hutan rimba Nusantara bag ian barat. Tumbuhan ini hanya tumbuh di Sumatra, Borneo, dan selatan Malaysia. Sekalipun fosilnya telah ditemukan di Jawa Barat. Sekarang ini, di selatan Malaysia, kapur barus kadang terdapat di Trengganu, Pahang, Johor, dan Selangir. Pada masa lalu mungkin tanaman itu tumbuh lebih tersebar. “Karena nilai ekonominya yang besar sebagai sumber serbuk kristal, kapur barus dan karena proses penebangan yang berlebihan, daerah yang menghasilkannya telah berkurang,” tulis Wolters. Lalu seberapa berharganya kapur barus bagi bangsa Timur Tengah hingga dijadikan perumpamaan campuran minuman para penghuni surga? Nouha Stephan dalam “Kamper dalam Sumber Arab dan Persia”, yang terbit di Lobu Tua Sejarah Awal Barus, menjelaskan, istilah kafur sudah muncul dalam syair-syair yang dipercayai ditulis sebelum Islam muncul. Di sini, kafur dibandingkan dengan minyak kesturi untuk melambangkan kontras warna putih dan hitam. “Dikontraskan misalnya warna minyak kesturi dari tinta dan warna kamper dari kertas,” tulisnya. Kemudian muncul juga dalam tulisan karya dua orang sejarawan, Ibn al-Atir dan Ibn al-Baladuri. Tercatat kalau pada 637 M, yaitu waktu perebutan ibu kota Dinasti Sassanid, Ctesiphon, para penakluk Arab menemukan kamper yang dikira garam di antara rempah-rempah dan wangi-wangian hasil rampasan. “Jika diterima, cerita ini menunjukkan kamper sebagai hasil dari pohon kapur sudah dikenal pada awal zaman Islam,” tulis Nouha. Sumber-sumber Arab pun memberikan petunjuk darimana kapur berasal. Salah satu catatan Arab paling awal menyebut daerah Fansur sebagai penghasil kamper bermutu tinggi. Kutipan itu berasal dari teks yang penulisnya tidak diektahui. Ditulis pada 851 M, catatan itu menyebutkan sebuah pulau bernama Lambri yang dihuni beberapa raja. Katanya pulau itu juga banyak mengandung emas. Nama tempat Fansur dan Balus, memang sering dikaitkan sebagai penghasil kamper dalam banyak sumber asli Arab dan Persia. Di antaranya lewat buku-buku perjalanan, botani, kedokteran dan pengobatan. Soal letaknya, menurut Nouha, untungnya kemajuan teknologi kelautan membuat penjabaran lokasi Fansur kian rinci. Ahli geografi, Ibn Sa’id al-Magribi (meninggal 1286 M) salah satunya yang memberikan deskripsi tentang Pulau Djawa (Sumatra). Dia juga memperinci letak garis lintang dan bujurnya. Ibn Said menyebutkan di selatan pulau-pulau Mahardja terletak Pulau Djawa yang besar dan terkenal. Di antara kota-kota terdapat sebuah yang terkenal, yaitu Lamuri. Di selatan, di bagian barat daya pulau ini terletak kota Fansur yang namanya diberikan kepada sejenis kamper yang disebut Fancuri .   Lalu ada ahli navigasi dan kartografi Arab abad ke-15 M, Ahmad b. Magid al-Nagd dari Oman yang memberikan informasi tentang lokasi Pulau Sumatra. Dalam kitab al-fawa’id fi usul al-bahr wa-l-qawa’id,  dia juga menyebutkan kalau di pulau itu terdapat gajah putih, kamper, bunga pala, dan kesturi, yang hanya dibeli dengan emas. Rupa-rupa gunanya Dengan bahan kapur barus itu, orang-orang Arab bisa melakukan berbagai hal. Nouha menulis, bagi ahli ilmu kedokteran dan penulis Arab, kamper merupakan salah satu dari lima rempah dasar. Sebagai rempah dasar, salah satunya, kamper dipakai untuk campuran pewangi. Di antara jenis campuran wangi-wangian yang mengandung kamper, nadd dan sukk adalah yang terpenting. Adapun pewangi dalam bentuk air kamper, hanya digunakan oleh orang-orang kaya dan golongan pemimpin. Ini khususnya pada zaman Dinasti Abbasiyah, “Tercatat dalam beberapa naskah bahwa sesudah makan, orang kaya biasanya menyediakan air berwangi kamper kepada para tamu untuk mencuci tangan,” tulis Nouha. Namun, lama kelamaan posisi terkemuka kamper di antara rempah-rempah mulai pudar. Menurut Nouha, keadaan itu terlihat dalam karya al-Qalqasandi (meninggal 1418 M). Kayu cendana disebutkan menjadi satu-satunya rempah yang dapat dikirim oleh pemimpin kepada pemimpin lain sebagai oleh-oleh bernilai tinggi. Dia juga mencatat kalau kamper dicampur air mawar untuk mengharumkan lem yang dipakai oleh para sekretaris dari kantor-kantor pemerintah. Informasi ini dapat diduga sebagai berbagai kegunaan baru untuk kamper pada sekira abad ke-14 M. Kamper pun dikenal dalam ilmu kedokteran sekira pada abad ke-10. Di antaranya ahli bibliografi dan ilmu pengobatan dari Andalusia, Ibn Gulgul, mendaftarkan kamper di antara 63 bahan obat-obatan yang tak dicatat Dioscoride, ahli kedokteran Yunani dari abad pertama masehi. Dalam bukunya, Ibn Gulgul, mendeskripsikan kamper adalah getah sejenis pohon mirip pohon cemara yang ada di Hindia. Air kamper digunakan sebagai balsam. Kamper yang sedikit panas sebelum penyulingan menjadi dingin dan kering sesudahnya. Jika dihirup atau dicampur dalam obat-obatan, kamper dapat mengobati kandung empedu panas, radang hati, dan demam tinggi.   Kamper juga digunakan untuk merempahi mayat. Seorang inspektur di kantor al-hisba, Ibn al-Ukhuwwa (abad ke-14 M) mencatatnya dalam bab mengenai pemeriksaan pekerja yang merempahi mayat berdasarkan ritus tertentu. Karyanya ini terkenal seantero Mesir, Syria, dan sekitarnya. Tertulis bahwa mayatnya dimandikan beberapa kali dan kamper dipakai pada saat terakhir kali dimandikan. Barulah setelahnya mayat itu dikebumikan. Kebiasaan itu juga tercatat dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyah: "Rasulullah Saw bersabda, ketika kematian anaknya perempuan: 'mandikanlah ia tiga atau lima kali atau lebih daripada itu dengan air dan daun bidara. Pada akhirnya taruhlah kafuuran (kapur barus) atau sedikit kapur barus'."

  • Cheng Ho Tak Menyerang Jawa

    HUBUNGAN Tiongkok dan Jawa memang pernah tak baik ketika Raja Kertanagara memerintah menjelang masa akhir Singhasari. Kondisi itu yang sepertinya ingin diungkit oleh Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang, M.S. Kaban melalui cuitan di akun twitter -nya, @hmskaban, Jumat (11/1). “Cheng Ho pernah bawa puluhan kapal lengkap dengan pasukan untuk serang Majapahit karena tidak mau tunduk bayar upeti pada kaisar China. Era Presiden Jokowi mendarat dengan aman dan tenang ribuan orang RRC di Morowali pake pesawat RR China Airlines. Apakah tampil lagi Gajah Mada dgn Bhayangkara nya,” cuit mantan menteri kehutanan itu. Sayangnya, yang sebenarnya terjadi berdasarkan catatan-catatan Tiongkok, Cheng Ho tak punya niat buruk pada Jawa, khususnya Majapahit. Bahkan, Tiongkok yang kala itu di bawah Dinasti Ming berhubungan baik dengan Majapahit. Jauh sebelum itu, Jawa adalah wilayah pertama di Nusantara yang menjalin hubungan bilateral dengan Tiongkok. Mulai tahun 131 M, Kerajaan Jawa berinisiatif memulai hubungan itu dengan mengirimkan utusannya. Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia, mengatakan kedatangan utusan Jawa itu disebutkan dalam catatan resmi kerajaan di Tiongkok, yaitu Hou Han Shu bab ke-6 dan bab ke-116 . Penyusunnya adalah sejarawan istana masa Dinasta Han (206 SM-220 M). Setelah itu, hubungan Jawa dan Tiongkok makin terjalin. Utusan-utusan yang datang dan dikirim dari Jawa terus muncul dalam catatan-catatan resmi kerajaan. Keadaan mulai berubah ketika Tiongkok dikuasai Mongol pada 1279 M. Penjabaran dalam naskah Sejarah Dinasti Yuan sebagian besar soal perseteruan dengan Jawa, khususnya dengan Singhasari. Khubilai Khan, kaisar Dinasti Yuan (1279-1294) mengirim utusan ke Jawa pada 1280, 1281, dan 1286. Dia menuntut Kertanagara, raja Singhasari, untuk mengakui kekuasaannya dengan mengirimkan anggota keluarga Singhasari ke istananya di Beijing. Namun, Kertanagara justru merusak wajah Meng Qi, utusan Mongol terakhir pada 1289, sebagai wujud pernolakan. Khubilai Khan pun marah dan mengirim tiga jenderalnya, Shi Bi, Ike Mese, dan Gao Xing (bukan Cheng Ho) untuk menyerang Jawa. Adapun nama Cheng Ho, atau Zheng He, baru muncul dalam Ming Shi atau Sejarah Dinasti Ming.  Dia diutus ke Jawa pada 1405. Dalam Sejarah Dinasti Ming, s ejarawan Dinasti Ming memasukkan namanya dalam bab biografi orang terkenal dengan judul Catatan Zheng He. “ Ini bisa dibilang merupakan dokumen resmi yang mewakili sudut pandang pemerintah Tiongkok,” kata Nurni. Menurut Nurni berbeda dengan catatan resmi Dinasti Yuan, dalam Sejarah Dinasti Ming s udah ada pengertian soal pentingnya hubungan dagang dan bagaimana menjaga hubungan dua negara walaupun Jawa dianggap pernah bersalah pada penguasa Tiongkok. “Kenapa sampai begitu?" kata Nurni. "Karena pertalian dagang kalau sampai putus rugi karena menyangkut uang dalam jumlah besar." Narasi tentang Majapahit pun cukup panjang dibandingkan catatan sejarah resmi pada dinasti sebelumnya. Majapahit dalam Sejarah Dinasti Ming muncul pada bab tentang “Jawa.” “Majapahit ada di tiga per lima bagian dari seluruh naskah,” kata Nurni. “Inilah naskah pertama yang memperlihatkan bahwa hubungan bilateral merupakan hal yang sangat penting.” Saking mesranya hubungan Jawa dan Dinasti Ming, dalam naskah tercatat lebih dari 30 kali utusan Jawa mengunjungi Tiongkok, lebih sering dibandingkan masa-masa sebelumnya. Terlepas dari itu, meski Jawa muncul dalam catatannya, Dinasti Ming hanya merujuk pada Jawa Timur. “Hubungan sangat pragmatis antarnegara kaitannya hanya dengan Majapahit,” ujar Nurni.

  • Kepak Sayap Dara asal Yogyakarta

    SEBUAH undangan dari aktivis perempuan India datang kepada Siti Sukaptinah (Nyonya Sunaryo Mangunpuspito) saat Perang Kemerdekaan masih berkecamuk. Undangan itu berisi permintaan agar Sukaptinah hadir dalam All Indian Women’s Congress yang diselenggarakan di Madras, November 1947. Sukaptinah bingung. Di satu sisi dia ingin datang untuk mengabarkan kemerdekaan Indonesia yang baru berumur dua tahun supaya mendapatkan pengakuan dari negara lain. Di sisi lain, dia tak punya modal. Jangankan paspor, uang pun tak ada. Berkunjung ke luar negeri di tengah situasi krisis menjadi hal yang agak muskil dilakukan. Tapi tekad Sukaptinah kadung membara. Bermodal kenekatan, dia akhirnya mengepalai keberangkatan delegasi Indonesia ke India. Sukaptinah ditemani Utami Suryadarma dan Sulianti Soekonto. Dalam rombongan itu hadir pula Herawati Diah, wartawan Harian Merdeka yang ditugaskan meliput. Mereka semua menumpang pesawat Kalingga Airlines milik Bijayananda (Biju) Patnaik, pengusaha dermawan India kepercayaan Jawaharlal Nehru. Patnaik kerap mengemban misi rahasia bolak-balik terbang ke Yogyakarta untuk membawakan obat-obatan juga bantuan lain untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kebetulan, kala itu Patnaik di Yogyakarta untuk menemui Sukarno. Informasi tentang rencana kepulangan Patnaik ke India didapat dari suami Utami, Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Soeriadi Suryadarma. Sukaptinah, kala itu merupakan anggota Badan Pekerja Komisi Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), langsung melobi sekretariat negara untuk menjadi perantara agar rombongan Korps Wanita Indonesia (Kowani) bisa menumpang pesawat Patnaik. Lobi Sukaptinah berhasil. Pesawat bertolak ke India pada akhir 1947. Saat transit di Singapura, rombongan disambut Mr. Oetojo Ramelan, kakak Utami, yang menjadi anggota perwakilan RI di Singapura. Utami menceritakan dalam memoarnya, Saya, Soeriadi, dan Tanah Air, selama di Singapura mereka mengurus siaran radio luar negeri dan mengadakan konferensi pers dengan para wartawan Singapura untuk memberitakan kemerdekaan Indonesia. Setelah menyelesaikan tugas, Sukaptinah dan rekan-rekannya cuci mata ke pusat perbelanjaan di Arab Street dan Change Aley. Mereka keasyikan jalan-jalan lantaran lama tak melihat barang mewah dan pernak-perik lucu. Alhasil, keempat perempuan itu terlambat sampai lapangan terbang. Muka masam Patnaik dan kru yang marah langsung menyambut mereka. Sesampainya di New Delhi, mereka langsung menggunakan kesempatan untuk menemui Mahatma Gandhi guna memperbincangkan kemerdekaan Indonesia. Baru setelah itu mereka terbang ke Madras, India Selatan. Di Madras, Sukaptinah dan rekan-rekan menginap di rumah Swaminatham yang juga peserta kongres. Sebagai Ketua Kowani dan kepala delegasi Indonesia, Sukaptinah menceritakan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang menarik simpati peserta kongres. Dalam kongres itu delegasi Indonesia berkenalan dengan tokoh perempuan India, seperti aktivis buruh dan ketua kongres Shrimati Anusuyabai Kale, penulis kenamaan Avabai Bomanji Wadia, dan pengacara perempuan Mithan Jamshed Lam. Mereka saling tukar pikiran, terlebih soal politik perempuan. Sukaptinah yang sudah malang-melintang dalam gerakan perempuan sejak era kolonial menemukan kesamaan perjuangan dengan perempuan India. Gerak dalam Politik Sepakterjang Sukaptinah dalam gerakan perempuan terkenal sejak era kolonial. Selain aktif di berbagai organisasi, seperti mengikuti kongres perempuan sejak pertama diadakan, Sukaptinah ikut membidani beberapa organisasi perempuan seperti Istri Indonesia. Sukaptinah ikut membubarkan Fujinkai dan menggantinya dengan Perwani yang merupakan fusi dari beberapa organisasi perempuan. Di pemerintahan, Sukaptinah pernah duduk di Dewan Kota Semarang (Gemeente Raad Semarang) sebagai wakil perempuan dari Parindra. Setelah dari Parindra, Sukaptinah bergabung dengan Masyumi pada 1946, persis setelah pindah dari Jakarta ke Yogyakarta bersama rombongan presiden. Ia masuk anggota Pengurus Besar (PB) Muslimat Masyumi, diketuai Zainab Damiri yang kelak menjadi perempuan pertama di DPRD DIY. Keaktifan Sukaptinah di Masyumi, tulis  Sri Sjamsiar Issom dalam tesisnya “Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito Sosok Wanita Pergerakan Indonesia (1928-1956)” terus berlanjut hingga ia naik menjadi ketua PB Muslimat Masyumi. Pada 1950 ia menjadi anggota DPRS dan menjadi wakil ketua panitia Rancangan Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran. Pada pemilu 1955, Sukaptinah mencalonkan diri sebagai wakil perempuan dari Masyumi untuk pemilihan anggota DPR. Ia terpilih sebagai satu-satunya perempuan yang duduk di DPR plus menjadi anggota Dewan Konstituante. Ketika UU Perkawinan yang adil dibahas di parlemen, sikap Sukaptinah berubah. Jika di masa kolonial dia bergabung dan menjadi ketua Istri Indonesia yang menentang poligami, di parlemen dia tampak mendukung. Dukungan itu terlihat kala Komisi Nikah Talak dan Rujuk tak kunjung menggolkan RUU perkawinan yang adil. Nyonya Sumari, anggota DPR dari fraksi PNI, maju membawa usulan tentang hukum pernikahan yang menolak keras poligami. Usulan itu ditentang Sukaptinah. Perubahan sikap Sukaptinah, seperti ditulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, lantaran ia datang dari golongan Islam. Menurut Saskia, perempuan yang tergabung dalam organisasi Islam sayap perempuan cenderung berada di posisi pro poligami. Hal ini lantaran induk organisasi mereka yang dikuasai kaum laki-laki mengambil posisi pro sehingga sayap perempuannya mau-tak-mau harus mengekor. Secara pribadi, beberapa anggota organisasi Islam sayap perempuan menolak poligami secara diam-diam atau memilih tak bersuara. Keaktifan Sukaptinah dalam tiga lembaga di kota yang berbeda membuatnya harus bolak-balik Yogyakarta-Jakarta-Bandung. Anak dan suaminya tinggal di Yogyakarta, kerja-kerja DPR dilakukan di Jakarta, sementara Konstituante di Bandung. Perjalanan Sukaptinah dari kota ke kota itu berakhir di masa Demokrasi Terpimpin ketika Sukarno membubarkan Masyumi dan PSI serta menekan simpatisannya. Karena partainya dibubarkan, otomatis Sukaptinah keluar dari DPR. Sukaptinah juga disingkirkan dari kepengurusan Kowani, seperti halnya Maria Ullfah. Sukaptinah kembali ke Yogyakarta dan tetap aktif dalam gerakan perempuan, antara lain dengan mendirikan Wanita Islam –organisasi perempuan independen yang bukan sayap organsasi– pada 1962. Sukaptinah juga membidani kelahiran Badan Musyawarah Wanita Islam Yogyakarta (BMWIY), semacam forum kerjasama antar organisasi perempuan Islam di Yogyakarta. Atas jasanya dibidang politik dan gerakan perempuan, pemerintah menganugerahinya Bintang Mahaputra paa 1993, dua tahun setelah Sukaptinah meninggal. Penerimaan anugerah itu diawakili Indiarto, anak Sukaptinah.

  • Penjaja Diri di Kebun Deli

    TERCIDUKNYA artis beken berinisial VA kembali menguak tabir prostitusi yang melibatkan artis. Angka transaksinya mencengangkan: 80 juta rupiah. Kabar ini lantas viral dan jadi perbincangan. Dari masa ke masa, faktor ekonomi (baca: uang) memang selalu memainkan peran utama dalam bisnis esek-esek macam ini. Di kalangan selebritis, gaya hidup yang serba glamor menuntutnya agar terus eksis. Dan ini perlu biaya tinggi. Tidak heran keputusan untuk melacurkan diri jadi opsi. Apalagi di zaman sekarang, semakin majunya teknologi informasi, memungkinkan bisnis prostitusi dilakukan secara daring. Bila sudah berususan dengan hukum, kaum perempuanlah yang paling merasakan nahasnya. Kembali ke masa silam, fenomena yang hampir serupa juga pernah mewarnai kehidupan masyarakat perkebunan di tanah Deli, Sumatera Timur. Prostitusi awalnya diperkenalkan sebagai solusi persoalan sosial di perkebunan. Seiring waktu, ia menjadi bisnis hitam yang mengeksploitasi perempuan. Sejak lahan di buka tahun 1860, penggarapan perkebunan tembakau Deli hanya menggunakan tenaga kerja laki-laki. Pertama-tama didatangkan kuli dari Tionghoa kemudian Jawa. Maraknya praktik homoseksual di kalangan sesama kuli lelaki mendorong para tuan kebun merekrut pekerja wanita. Pada 1873, kuli-kuli perempuan didatangkan dari Jawa. Mereka dikaryakan untuk pekerjaan ringan, seperti menyortir daun tembakau. Tidak heran mereka menerima upah yang lebih kecil daripada kuli laki-laki. Mereka hanya mendapat 1,5 gulden atau 2,20 dolar, setengah dari pendapatan buruh pria. Selain itu, kuli perempuan tidak diberi fasilitas tempat tinggal. Untuk bermukim, mereka harus membaur di barak laki-laki. Menurut Ann Laura Stoler dalam Kapitalisme dan Konfrontasi diSabuk Perkebunan Sumatera 1870-1979 , banyak dari kuli perempuan yang datang dari Jawa ke Deli karena tipu daya. Sebelum hijrah, mereka dijanjikan pekerjaan sebagai buruh perkebunan dengan upah tinggi. Setiba di Deli, kenyataan berbicara lain. Bahkan, untuk tempat tinggal saja kuli perempuan ini tidak diberi fasilitas.  Untuk melanjutkan hidup yang lebih berada, kuli perempuan dijepit oleh keadaan. Mereka dihadapkan pada pilihan terbatas: tetap menjadi kuli perkebunan dengan upah yang sangat sedikit atau memperoleh penghasilan tambahan dengan melacurkan diri. Sejarah mencatat, cukup banyak yang melakoni pilihan terakhir.        Menurut Jan Breman, sejarawan Belanda yang meneliti sejarah perkebunan di Hindia, kuli-kuli perempuan di perkebunan Deli sejatinya memang diproyeksikan untuk menjadi pelacur. Mereka terpaksa melacurkan diri demi sekedar bertahan hidup atau supaya bisa membeli kebutuhan seperti pakaian, sabun, bedak, dan lulur. Akibatnya, terjadilah praktik prostitusi. Transaksi sekaligus praktiks seks kerap terjadi di tengah rerimbunan tembakau ataupun di barak-barak tempat tinggal para kuli lelaki. Pasangan yang merasa cocok akan mengikat diri ke dalam relasi sejoli meski tanpa status pernikahan. Di sisi lain, tuan kebun pemilik modal diuntungkan karena prostitusi menjadi alat pemancing untuk membuat betah kuli laki-laki bekerja di perkebunan. Bahkan, tidak jarang pula tuan kebun yang terhormat itu juga ikut memakai jasa kuli perempuan guna memuaskan birahinya. “Menurut anggapan yang berlaku di perkebunan; semua kuli perempuan adalah pelacur, atau terpaksa menjadi pelacur,” tulis Jan Breman dalam Menjinakan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20. “Walaupun demikian, para tuan kebun memanfaatkan juga pelacur kontrak itu untuk memuaskan nafsu seksual mereka, yang berarti bersaing dengan dengan kuli lelaki.” Perempuan lagi-lagi menjadi pihak yang paling nelangsa. Dalam romannya Berjuta-juta dari Deli: Satoe Hikajat Koeli Contract, -  yang diadaptasi dari brosur De Millioenen uit Deli  yang terbit pada 1902 - Emil W. Aulia menggambarkan penderitaan kaum kuli perempuan. Katanya, Di Deli, perempuan-perempuan muda Jawa hidup lebih menderita dibandingkan orang Kristen yang hidup di zaman Romawi era Kaisar Nero.Mereka menjadi korban nafsu kuli pria Tionghoa selama masa kontrak tiga tahun lamanya. “Tuan-tuan kebun membiarkan perempuan-perempuan Jawa hidup dalam kelaparan hingga mereka kemudian dijadikan santapan pria-pria Cina,” tulis Emil. “Perempuan-perempuan Jawa, baik lahir maupun batin, sangat menderita dan pengusaha perkebunan menganggap hal itu bukan sesuatu yang serius.”

  • Perjalanan Dinas Menyedihkan Demi Planetarium

    SIAPA sangka Jena, kota kecil yang tenang di Jerman, punya pertautan dengan Jakarta? Kota ini menjadi rujukan para ilmuwan dalam membangun Planetarium. Di kota inilah ilmu astronomi berkembang pesat. Kemudian di sini pula planetarium modern pertama di dunia berdiri pada 1925.

  • Siksa Neraka dalam Relief Candi Jago

    Yaksa Kunajarakarna melakukan meditasi Buddha di Gunung Semeru agar dapat dibebaskan dari watak sebagai setan dalam inkarnasinya. Setelah diizinkan menghadap Buddha, dia mengajukan permohonan agar diberikan pelajaran mengenai dharma . Dia berharap diberi penerangan mengenai berbagai nasib yang dialami makhluk hidup. Sang Buddha pun memuji keprihatinannya. Dia kemudian memerintahkan Kunjarakarna agar mengunjungi daerah para orang mati, yang menjadi daerah kekuasaan Dewa Yama. Kunjarakarna mematuhi perintah itu. Di persimpangan, dia berjumpa raksasa Kalagupta dan Niskala. Keduanya tengah menunjukkan jalan kepada arwah-arwah yang lewat. Entah ditunjukkan ke surga maupun neraka, itu tergantung perbuatan para arwah di masa lampau. Salah satunya jalan selatan yang menuju “daerah besi”. Jalur itu berisi pohon-pohon pedang, sebuah gunung yang terbuat dari besi yang menganga dan menutup diri, burung-burung berekor pisau-pisau belati dan rerumputan dengan paku-paku sebagai dedaunan. Di sana, dia menyaksikan, bagaimana arwah orang mati disiksa oleh para pembantu Yama, para kingkara , dalam aneka bentuk yang mengerikan. Kunjarakarna sangat terharu dengan apa yang dilihatnya. Dia pun berterima kasih kepada Dewa Yama yang telah memberinya kesempatan untuk melihat nasib bagi seorang pendosa. Begitulah Kunjarakarna menjalani pertobatannya agar lepas dari wujudnya sebagai raksasa . Kisah ini muncul dalam Kakawin Kunjarakarna,  teks religius dalam bentuk lontar. Versi kakawin ini merupakan bagian dari lontar yang ditemukan di Lombok, yang juga memuat teks Nagarakrtagama. Selain dalam versi kakawin, kisah Kunjarakarna juga ditemukan pada dinding relief Candi Jago di Malang, atau yang dalam Nagarakrtagama disebut dengan Jajaghu. Candi Jago yang merupakan candi pendharmaan bagi Raja Singhasari, Wisnuwardhana (1248-1268) itu sekaligus menjadi satu-satunya candi yang menampilkan kisah ini. Kendati begitu, menurut pakar sastra Jawa, P.J. Zoetmulder dalam Kalangwan , agaknya belum bisa disimpulkan apakah kisah yang ada di dinding candi dari abad ke-13 itu bersumber dari Kakawin Kunjarakarna. Dalam relief, cerita ini ditampilkan singkat. Lebih singkat dari relief cerita lainnya di candi itu, misalnya Partayajna. Kata Zoetmulder, tak ada detil-detil yang mirip dengan teks dalam kakawin. Kesamaannya, relief ini cukup banyak menggambarkan suasana di neraka. Misalnya terdapat penggambaran periuk berbentuk lembu dengan kobaran api di bawahnya. Di dalam tempat pembakaran itu terdapat orang-orang yang direbus. “Atas pertanyaannya (Kunjarakarna, red. ), dia mendapat jawaban bahwa itu (periuk, red. ) adalah untuk seorang pedosa besar yang jiwanya akan direbus di dalamnya selama 100.000 tahun,” tulis Zoetmulder berdasarkan Kakawin Kunjarakarna . Kemudian, terdapat adegan yang memunculkan tokoh berwajah raksasa (Dewa Yama) dalam posisi dan tangan berkacak pinggang. Sebelah tangan lainnya menunjuk ke depan seolah memberi perintah. Di depannya seorang manusia tengah merangkak ke arah tempat penyiksaan berbentuk lembu tadi. Lalu ada gambaran sebuah jembatan yang mirip jungkat jungkit. Para arwah harus melewati itu dengan hati-hati atau bisa tergelincir dan masuk ke dalam kobaran api di bawahnya. Relief itu kemudian diikuti adegan arwah-arwah yang berjalan berbaris dalam bentuk manusia berkepala aneka binatang dan setan.   Relief jembatan jungkat jungkit. (Risa Herdahita Putri/Historia). Penggambaran tentang neraka juga sebelumnya sudah muncul di kaki Candi Borobudur, candi Buddha dari abad ke-9 M. Suasana neraka itu ada dalam relief kisah Karmawibhangga. Mirip dengan di Candi Jago, dalam relief Karmawibhangga pun salah satunya mencitrakan hukuman bagi manusia yang jahat, yaitu direbus dalam periuk besar di atas api yang membara. Arkeolog Universitas Indonesia, Hariani Santiko dalam Adegan dan Ajaran Hukum Karma pada Relief Karmawibhangga menjelaskan menurut Karmawibhangga, perbuatan manusia juga akan berakibat pada bentuk kelahirannya kembali. “Seseorang bahkan bisa dilahirkan menjadi dewa, binatang, hantu kelaparan, asura,” catatnya. Misalnya, orang yang suka bergunjing atau memukul orang lain akan dilahirkan kembali sebagai binatang. Mereka yang merusak kuil, pemarah, pembohong, dan durhaka kepada orang tua terlahir dengan buruk rupa. Relief yang menggambarkan arwah-arwah berkepala binatang dan setan. (Risa Herdahita Putri/Historia). Menariknya, kedua kisah tentang neraka itu bisa jadi muncul dari ekspresi lokal. Zoetmulder berpendapat, Kakawin Kunjarakarna asalnya dari masa Majapahit. Pengarangnya menulis berdasarkan sumber teks prosa lain. Dia bukan pula dari lingkungan keraton, melainkan seseorang dari dusun. “Dia ingin mempersembahkan karyanya sebagai hormat baktinya kepada yang memberikan bimbingan. Saya mempunyai kesan yang dimaksud bukan sang raja atau bangsawan, melainkan guru rohani,” tulis Zoetmulder. Begitu pula dengan relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur. Arkeolog UGM, Djaliati Sri Nugrahani, dalam Adegan dan Ajaran Hukum Karma Pada Relief Karmawibhangga menulis kendati relief itu bersumber dari salah satu kitab suci Buddha Mahayana, yaitu Maha Karmawibhangga, kemungkinan ceritanya telah diintepretasi ulang. “Sehingga menghasilkan gambaran yang berbeda dari kitab aslinya. Pantas diasumsikan Kitab Maha Karmawibhangga telah mengalami proses pelokalan,” tulisnya.

bottom of page