Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Alat Perang Made in Republik
Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo terperangah mendengar penjelasan Letnan Kolonel Eddie Soekardi. Kepala Staf TKR (Tentara Keamanan Rakyat) itu nyaris tak percaya Resimen 13 yang dipimpin Eddie akan melawan tentara Inggris dengan potongan-potongan pipa besi buat saluran air. “Pak Oerip awalnya bingung, tetapi akhirnya merasa takjub pipa besi buat air bisa dijadikan bom oleh anak buah saya…” kenang tokoh Perang Konvoi Sukabumi-Cianjur itu sambil tertawa. Bom Pipa Besi adalah salah satu senjata mematikan made in Republik yang diproduksi oleh “Pabrik Senjata” Braat Sukabumi pimpinan Kapten Saleh Norman dan Letnan Satu Djajaatmadja. Cara membuatnya sangat sederhana sekali: pipa besi dipotong-potong menjadi beberapa bagian (masing-masing panjangnya 7 cm dan garis tengahnya 4 cm) lantas diisi paku, pecahan beling dan potongan-potongan besi. Sebagai pemicu ledakan dipasang sejenis pen sederhana. “Banyak tentara Inggris yang mati karena ledakan bom ini, walau ngelemparnya harus dari jarak dekat. Biasanya sih yang ngelempar dan yang dilempar sama-sama mati…” ujar Satibi, eks prajurit Resimen 13 kepada Historia . Namun Pabrik Braat Sukabumi bukanlah satu-satunya. Di Yogyakarta ada dikenal dua produsen senjata made in Republik yakni Pabrik Demakijo dan Pabrik Watson. Keduanya bekas pabrik besi dan pabrik gula. Salah satu produk andalan Demakijo adalah granat gombyok. Granat yang bentuknya “bergombyok” laiknya ekor kuda itu memang didesain sedemikian rupa supaya jatuhnya ujung granat yang berdenoator bisa tepat menyentuh sasaran saat dilemparkan. Demakijo juga memproduksi granat yang lebih primitif lagi (alih-alih lebih modern): menggunakan tali-tali sumbu persis seperti petasan. “Banyak pengguna jenis granat bersumbu itu tewas terlebih dahulu karena granatnya keburu meledak di tangan,” ujar Sajidiman Soerjohadiprodjo, eks kadet Akademi Militer Yogyakarta pada era revolusi. Berbeda dengan Demakijo yang lebih menitiktekankan produksnya kepada jenis bom atau granat, Watson justru khusus membuat “Stengun made in Yogya”. Untuk bahan-bahannya, Watson menggunakan besi rel kereta api dan tiang listrik, sedang untuk per-nya dibuat dari kawat ban mobil truk. “Zaman susah seperti saat itu, senjata produk Watson sudah yang paling baik,” ujar sejarawan Moehkardi. Namun sebagus-bagusnya senjata produk Watson ya tetap tak memenuhi standar alat tempur. Kelemahan Stengun ini, apabila digunakan untuk menembak ganda sampai menghabiskan peluru satu houder maka otomatis akan macet. Itu terjadi karena per-nya (yang memang bukan khusus buat senjata) menjadi lembek akibat panas mesiu. Namun tak ada produk Watson yang paling fenomenal selain kapal selam mini. Menurut Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1949 , “senjata rahasia” ini awalnya dipesan oleh Kementerian Pertahanan RI sebagai upaya untuk menghabisi satu persatu kapal perusak Belanda yang banyak berkeliaran di wilayah laut RI. “Kreatornya bernama J.Ginagan, perwira muda ALRI eks anggota Marinir Belanda yang juga merupakan jebolan Akademi Angkatan Laut Den Helder,” ungkap Moehkardi. Jika terwujud, maka kapal selam mini itu memang akan menjadi senjata yang efektif dan mematikan. Dengan dikemudikan oleh seorang awak, ia bisa membawa sebuah torpedo yang digantungkan di bawa tubuh kapal selam tersebut dan menghilang secara cepat usai melakukan operasi. Percobaan pertama kapal selama mini itu dilakukan di Kalibayem (sebelah barat Yogyakarta) pada pertengah 1948 dan berhasil. Artinya kapal selam bisa bergerak dan mengapung. Tetapi ketika torpedonya ditembakkan, alih-alih meluncur, handel pengikatnya malah tak mau lepas dan tentu saja itu membuat tenaga torpedo yang sudah “tak sabar” ingin meluncur justru menyeret seluruh badan kapal selam mini tersebut. Percobaan pun gagal. “Ya wajar saja tidak sempurna, wong mesin penggeraknya memakai mesin truk…” terang Moehkardi. Kementerian Pertahanan RI lantas memerintahkan Watson untuk lebih menyempurnakan “senjata rahasia” tersebut. Namun belum sempat rampung, tentara Belanda keburu menginvasi Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Proyek pembuatan senjata pamungkas pun berantakan menyusul dirampasnya kapal selam mini itu oleh pihak militer Belanda.
- Balada Telik Sandi Putri
Kapten R.J. Rusady W selalu terkenang aksi-aksi Marie Zoemariah. Ketika tinggal di Garut pada 1946-1947, perempuan cantik -yang kemudian dinikahinya- tersebut kerap terlibat dalam upaya penyelundupan senjata dan granat dari wilayah pendudukan ke wilayah Republik. Benda-benda berbahaya itu biasanya diletakan di bawah satu tempat yang cukup tersembunyi dalam keranjang sayuran. Entah bagaimana caranya, Marie selalu lolos dari pemeriksaan. “Itu pekerjaan yang sangat berbahaya, hingga jika terketahui oleh orangtua dan kakaknya, Marie selalu kena marah. Tapi dia terus melakukannya…” kenang Rusady dalam Tiada Berita Dari Bandung Timur . Perempuan-perempuan seperti Marie memang tidak sedikit di zaman itu. Tanpa gembar-gembor, mereka melakukan aksi-aksi senyapnya bahkan jauh sampai ke garis belakang musuh. Roekojah misalnya. Perempuan sepuh itu sudah sejak berumur 11 tahun terlibat aktif, hilir mudik dari satu pos militer Belanda di kota Sumedang ke hutan Rancakalong yang dikuasai TNI pimpinan Kapten Sentot Iskandar Dinata. “Tugas saya mengantarkan peluru dan granat yang disimpan dalam kaleng mentega atau kaleng sardencis,” ungkap perempuan kelahiran Sumedang pada 1936 itu. Roekojah tidak bekerja sendirian. Ia memiliki tiga mitra lain yang merupakan para seniornya. Mereka adalah Oeta, Itjih dan Isjah. Ketiga gadis itu merupakan babu di dapur markas Belanda. Selain bertugas sebagai pengolah makanan, mereka pun dipercaya sebagai pembersih perlengkapan-perlengkapan para prajurit Belanda, termasuk memberisihkan senjata. “Saya juga tidak tahu pasti bagaimana persisnya mereka mendapatkan itu pelor dan granat, tapi yang saya tahu kakak-kakak saya itu, terutama Ceu Oeta memang lihai sekali. Saya mah taunya cuma nganterin saja,” tutur Roekojah kepada Historia . Lain Roekojah, lain juga yang dilakukan oleh Utoh. Nenek yang baru saja meninggal beberapa waktu lalu itu sempat bercerita kepada Historia bahwa dirinya pada era revolusi di wilayah Cianjur Selatan sempat bertugas sebagai “tukang gambar”. Tentunya yang digambar bukanlah gambar sembarangan, melainkan sejenis pemetaan yang menggambarkan seluk beluk atau situasi di suatu markas pasukan Belanda. “Kebetulan saya ini dipercaya sama dua pos tentara Belanda untuk jadi babu, jadi bisa tahu banyak,” ujarnya sambil terkekeh. Sebagai petugas teliksandi, Utoh tak jarang dilibatkan langsung dalam suatu operasi penyerbuan. Seperti saat kawan-kawannya akan menyerang sebuah pos tentara Belanda di kawasan dekat Sukanagara. "Saya ingat, saya didandani laiknya prajurit laki-laki dan dibekali sebilah pisau belati untuk berjaga-jaga," kenang Utoh. Operasi itu terbilang sukses karena selain berhasil menghancurkan pos militer Belanda juga mereka mendapatkan rampasan senjata yang banyak. Keberhasilan ini menjadikan nama Utoh selalu dikenang oleh anggota pasukan TNI tersebut, hingga beberapa tahun yang lalu namanya diajukan oleh mantan komandannya dan diterima sebagai penerima tunjangan veteran untuk tiap bulan. "Alhamdulillah, nasib Emak bagus, tidak seperti yang lain-lainnya. Tadinya Emak tidak percaya karena sebelumnya kebanyakan orang yang datang hanya menghasilkan janji-janji saja," katanya. Adakah peristiwa yang sampai saat ini tak bisa ia lupakan dari zaman perang dulu? "Ya, saat saya memberitahu 6 prajurit muda untuk tidak pergi menyeberang rel kereta api di Cibeber karena saya tahu di sana sering ada tentara Belanda yang kerap mengintip keberadaan tentara kita..." kenang Utoh. Namun merasa informasi itu datangnya dari seorang perempuan, keenam prajurit muda itu tak menurut pada himbauan sang telik sandi itu. Akibatnya, saat berjalan di sisi rel, mereka habis dimangsa peluru-peluru senjata otomatis dari tentara-tentara Belanda yang bersembunyi di bukit-bukit sekitar tempat itu. “Itu memang bukan salah saya, tetapi kalau saya waktu itu memberitahu komandan mereka langsung mungkin saja mereka masih hidup sampai sekarang …” ujarnya.. Sejarawan asal Australia Robert B. Cribb mengkonfirmasi soal keterlibatan kaum perempuan di era revolusi ini. Dalam Gangters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949 , Cribb menyatakan penyelundupan senjata ke pihak Republik juga melibatkan para pelacur di Pasar Senen.
- Para Bintang yang Disanjung Standing Ovation
RIBUAN Juventini (fans Juventus) langsung berdiri dari kursi dan bertepuk tangan usai gawang tim pujaan mereka kebobolan untuk kedua kali dalam leg pertama perempat final Liga Champions kontra Real Madrid, Rabu (4/4/18) dini hari WIB. Bukan maksud “pindah ke lain hati”, mereka melakukan standing ovation (penghormatan dengan berdiri) untuk Cristiano Ronaldo lantaran bintang Madrid itu membuat satu gol indah. Pelatih Juve Massimiliano Allegri hingga Buffon sampai menyanjung gol yang terjadi di menit ke-64 itu. Tapi bukan itu yang paling diapresiasi Ronaldo, melainkan standing ovation ribuan Juventini . Aksi fans lawan macam begini masih langka dalam sejarah sepakbola. Hanya segelintir pemain beken yang pernah mendapatkannya . Ronaldo bukan satu-satunya. Siapa saja mereka? Alfredo di Stefano Pemain berjuluk “Si Panah Pirang” ini mendapatkan standing ovation pada 30 Maret 1952 kala bersama timnya Millonarios de Bogota mengikuti turnamen segitiga dalam rangka perayaan 50 tahun Real Madrid. Aksi-aksi menawan Di Stefano plus dwigolnya di menit ke-35 dan 50 tak hanya mengantar timnya menekuk tuan rumah 4-2 tapi juga membuat seisi Estadio Santiago Bernabeu terhipnotis. Gemuruh tepuk tangan sontak timbul untuknya. Selepas turnamen, Presiden Madrid Santiago Bernabeu Yeste, membajaknya dari Millonarios ke Madrid. “Pemain ini punya aroma sepakbola yang bagus,” sanjung Bernabeu, dikutip Richard Fitzpatrick dalam El Clasico: Barcelona v Real Madrid, Football’s Greatest Rivalry. Pele Edson Arantes do Nascimento alias Pele bak “dewa” dalam sepakbola. Dia juga pernah merasakan bangganya disambut standing ovation. Ironisnya penghormatan itu terjadi –di final Piala Dunia 1958 Swedia– setelah awalnya dia dipandang sebelah mata oleh hampir seisi Rasunda Stadium. Atraksi-atraksi menawan plus sumbangan dua gol Pele mengantarkan Brasil menaklukkan tuan rumah 5-2. Usai peluit panjang wasit, puluhan ribu penonton tuan rumah dan Raja Swedia Gustaf IV Adolf pun bertepuk tangan sambil berdiri di tribun kehormatan. “Rasanya mustahil tidak bertepuk tangan terhadap briliannya permainan Pele,” cetus sang raja, dikutip situs resmi FIFA, 9 Maret 2016. Gerrie Muhren Meski nama middenvelder (gelandang) Ajax Amsterdam ini kurang familiar, saat berhadapan dengan Real Madrid di leg kedua semifinal European Cup (kini Liga Champions), 25 April 1973, Gerardus Dominicus Hyacinthus “Gerrie” Muhren membuat momen spektakuler. Sekira 80 ribu fans Madrid angkat topi setelah gol tunggalnya yang ciamik. “Muhren men- juggling bola selama beberapa detik laiknya dia sedang bermain di jalanan sebelum mencetak gol. Seisi Bernabeu kemudian memberinya standing ovation ,” tulis Simo Kuper dalam Ajax, the Dutch, the War: The Strange Tale of Soccer During Europe’s Darkest Hour. Laurie Cunningham Bintang Real Madrid asal Inggris yang dijuluki “Mutiara Hitam” ini mengukir nama di laga El Clasico kontra Barcelona, 10 Februari 1980. “Dia satu dari sedikit pemain Madrid yang menerima standing ovation di Camp Nou (markas Barcelona),” tulis situs resmi klub, realmadrid.com . Bukan karena menyumbang dua gol tanpa balas Madrid atas Barca, penghormatan itu dia dapat karena aksi-aksinya mengecoh lini pertahanan lawan. Klimaksnya, Cunningham mempermainkan bek Barca Rafa Zuviria hingga frustasi tanpa sekalipun bisa merebut bola dari kakinya. Diego Maradona Bak sayur tanpa garam jika menyebut nama Pele tapi tak menyinggung nama Diego Armando Maradona Franco. Di pertandingan leg pertama final Copa del Rey kontra Real Madrid yang berakhir imbang 2-2, 26 Juni 1983, Maradona mencetak gol kedua nan fenomenal. Di menit 57, Maradona men- dribble bola dengan cepat, mengecoh kiper Agustin Rodriguez ke kanan dan mengubah alur gocekan lagi ke kiri hanya sepersekian detik untuk menghindari tekel bek Juan Jose. Dengan sontekan tipis, Maradona menceploskan bola. “Seketika para fans Madrid memberinya standing ovation ,” ungkap situs resmi klub, fcbarcelona.com. Ronaldo Ronaldo Luiz Nazario de Lima atau Ronaldo “plontos” mencetak hattrick ke gawang Manchester United di leg kedua perempatfinal Liga Champions 23 April 2003. Meski kalah 3-4, tiga gol Ronaldo tetap meloloskan Madrid ke semifinal (agregat 6-5). Saat digantikan pemain lain, Ronaldo keluar lapangan diiringi standing ovation seisi Old Trafford. “Sungguh malam yang magis, menakjubkan. Saya keluar lapangan disambut ovation dari fans (Manchester). Luar biasa rasanya,” cetus Ronaldo, disitat situs resmi FIFA. Ronaldinho Ronaldo de Assis Moreira menjadi pemain Barcelona kedua setelah Maradona yang mendapatkan standing ovation dari para fans Madrid. Kejadian itu berlangsung di Santiago Bernabeu, 19 Novemer 2005. Ribuan pasang mata di stadion tersihir oleh cantiknya permainan Ronaldinho. Madrid terbantai 0-3 dan Dinho mencetak dua di antaranya. Bek-bek Madrid terkecoh tak berdaya, pun kiper Iker Casillas. “Laga yang sempurna. Saya takkan melupakannya karena sangat langka pemain bisa diapresiasi seperti itu oleh fans lawan,” kenang Dinho, dikutip Rebecca Murcia dalam Ronaldinho. Alessandro Del Piero Publik Madrid kembali berbesar hati kala tim pujaan mereka menjamu Juventus, 5 November 2008. Kali ini mereka memberi standing ovation pada maestro Juve Alessandro Del Piero. Dua golnya membawa Juve menang 2-0 dan lolos ke 16 besar. Pelatih Madrid Bernd Schuster angkat dua jempol untuknya. “Dia pantas diberi ovation karena Del Piero pemain hebat. Dia membuktikan kelasnya dan Bernabeu mengakui fakta ini,” cetus Schuster dikutip uefa.com , 6 November 2008. Iniesta, Eduardo, Neymar dan Totti Dalam periode 2010 ke atas, tercatat nama Andres Iniesta (Barcelona), Eduardo da Silva (Shaktar Donetsk), Francesco Totti (AS Roma), dan Neymar da Silva (Santos) juga pernah dibuat bangga standing ovation. Iniesta mendapatkanya pada 12 Desember 2010 kala Barcelona melawan Espanyol. Di tahun yang sama, Eduardo juga mendapatkan ovation dalam laga Liga Champions kontra Arsenal. Sedangkan Neymar mendapatkannya usai mencetak hattrick ke gawang Cruzeiro pada 2012. Totti sang “Pangeran Roma” menikmati ovation Bernabeu pada 8 Maret 2016 saat baru masuk dari bangku cadangan di Liga Champions kontra Madrid.
- Awas, Ada Busana Seksi!
BUKAN cuma di Indonesia, pada awal kemunculannya, mini skirt (rok mini) dan hotpants (celana superpendek) digandrungi sekaligus ditentang sebagian orang. Rok mini adalah sebuah revolusi mode dari Mari Quaint, perancang dan ikon busana asal Inggris, pada 1960. Sejak diperkenalkan, rok mini menjadi wabah di dunia fashion . Banyak perempuan Eropa memakainya demi tampil menarik dan seksi. Kendati demikian, busana ini sempat bikin gaduh sejumlah kota di Eropa. Pada medio 1960-an, mungkin seorang gadis berusia 16 tahun yang tinggal di perkampungan Wilmington, Kent, Inggris, bernama Mandy Cook adalah petaka bagi orang yang lewat daerah rumahnya. Sudah beberapa kali peristiwa kecelakaan terjadi di sana. Menurut laporan Varia edisi 29 Desember 1974, pada 1967 seorang supir mobil menghantam kaca pajangan sebuah toko. Seorang supir lainnya bernasib hampir serupa. Ia menabrak tonggak lampu jalan. Untung saja tak ada korban jiwa dalam kecelakaan tunggal itu. Penyebabnya, cukup menggelitik, yakni ulah Mandy yang gemar memakai rok mini. Mereka, para supir mata keranjang itu, terkesima oleh seksinya Mandy dalam balutan rok mini. Akibat rentetan kejadian itu, penduduk di desanya mengusulkan agar dipasang sebuah papan peringatan: “Awas! Ada mini-skirt di depan!” Kegaduhan gara-gara rok mini bukan itu saja. Bahkan ada yang lebih parah. Di Bristol, Inggris, seorang petugas pembersih kaca mengalami patah kaki karena terjatuh dari ketinggian enam meter. Penyebabnya, dia menjulurkan kepalanya untuk mengintip seorang perempuan memakai rok mini yang tengah membungkuk. Kegaduhan juga terjadi kala hotpants jadi tren mode. Hotpants diciptakan perancang busana asal Prancis, Yves Saint Laurent, pada 1970 . Selain pendek, hingga pangkal paha, celana ini juga ketat. Foto model Ursula Andress, Raquel Welch, dan Brigittie Bardot mempopulerkan hotpants ke dunia saat mereka tampil dalam peragaan busana mewah di Paris, Prancis, pada 1971. Setelah itu, hotpants menjadi tren dunia. Varia edisi 12 Mei 1971 menulis, pada 1971 di New York, Joan Kenedy, istri senator Edward Kenedy, menghebohkan dunia. Ia menerima tamu-tamu penting dalam sebuah acara mewah hanya memakai hotpants. Namun, tak semua masyarakat di Eropa menyukai hotpants. Penolakan terjadi di sejumlah kota di negara-negara Benua Biru itu. New York merupakan salah satu kota yang menolak perempuan memakai hotpants. “Celana hotpants itu secara ciri khas ditujukan untuk menitikpusatkan alat kelamin. Dan hal ini bertentangan dengan adat sopan santun,” kata salah seorang anggota parlemen HG Abma. Bahkan, di kota asalnya, Paris, penolakan terhadap hotpants terjadi. Di sana, hotpants hanya dipakai kalangan tertentu dan di daerah elite, seperti di Jalan Champs Elysees. Kejadian lucu dialami seorang perempuan yang mengenakan hotpants di pasar sayur di salah satu sudut Kota Paris. Perempuan itu dilempari tomat dan telur ayam oleh sejumlah pedagang. Kegaduhan gara-gara hotpants tak berhenti di situ. Seorang atlet asal Jerman, Christina Merten, diusir dari sebuah restoran di Moskow, Rusia, gara-gara pakai hotpants. Alih-alih meminta maaf, Christina malah menyindir. “Wanita-wanita Rusia memang tidak ingin memakai celana katok ( hotpants ). Ini terjadi bukan karena pertimbangan moral, melainkan semata-mata karena mereka tidak cocok untuk pakaian itu. Tubuh dan kaki mereka umumnya terlalu pendek dan gemuk,” kata Christina. Lain lagi kasus di Heilbronn, Jerman. Di sana, seorang ketua pengadilan negeri kota itu, Ludwig Hammer, melarang pegawai-pegawai perempuan yang bekerja di kantor pengadilan mengenakan hotpants. Kendati menuai pro dan kontra, toh rok mini dan hotpants hidup hingga sekarang
- Korban Kecurangan Negeri Jiran
KENDATI sudah hampir 30 tahun berlalu, momen pahit di SEA Games 1989 Kuala Lumpur masih lekat di benak mantan ratu tenis meja Indonesia Rossy Pratiwi Dipoyanti Syechabubakar. Kala itu, Rossy gagal merebut medali emas di nomor andalannya, tunggal putri. Yang menyakitkan, dia gagal bukan karena kalah “tempur” secara terhormat. “Final saya itu klimaksnya. Klimaks sudah, dari awal dicurangi terus. Terakhir, saya main dan dicurangi lagi,” ujar atlet kelahiran Bandung 28 Juni 1972 itu kepada Historia . Semua itu tak lepas dari konflik “abadi” Indonesia-Malaysia. Konflik yang berakar dari penentangan Indonesia terhadap pembentukan Malaysia itu telah menjalar ke berbagai bidang kehidupan. Sentimen negatif rakyat Indonesia maupun Malaysia terhadap negeri “lawan” begitu besar, termasuk di arena olahraga. Rossy mengalaminya di final tunggal putri tenis meja melawan wakil tuan rumah, Leong Mee Wan, 25 Agustus 1989. Di set pertama, yang dimenangi Rossy 17-16, pertandingan berjalan normal. Namun di pertengahan set kedua, kala suasana kian sengit, wasit Goh Kun Tee asal Malaysia mengeluarkan satu keputusan kontroversial. “Saat bola pengembalian Mee Wan jatuh di sisi kanannya, Rossy melancarkan forehand drive. Bola berkelebat menyentuh tepi meja sebelum jatuh. (Tapi) Wasit mengangkat tangan kanan memberi angka kepada Mee Wan (dengan keputusan bola out ),” tulis suratkabar Kompas , 26 Agustus 1989. “Padahal bola pukulan saya masuk. Banyak juga yang lihat bahwa bola itu masuk,” kata Rossy . Manajer tim Indonesia RM Nuryanto langsung memprotes keputusan itu. Rossy hanya bisa menangis histeris dalam dekapan pelatih Diana Wuisan. Namun, keputusan wasit tuan rumah tak berubah. Alhasil, tim Indonesia memilih mundur sehingga Malaysia menang WO. Rossy pun harus puas membawa pulang dua emas (beregu dan ganda putri), satu perak (tunggal putri), dan satu perunggu (ganda campuran). “Kalau enggak dicurangi, ya harusnya saya dapat tiga emas,” kata Rossy menutup obrolan.
- Revolusi Celana Seksi
PEREMPUAN pakai hotpants alias celana superpendek dan ketat di pusat-pusat perbelanjaan atau tempat umum lainnya sudah jadi pemandangan biasa. Dulu pemakainya terbatas kalangan artis. Hotpants diperkenalkan perancang busana terkemuka asal Prancis, Yves Henri Donat Mathieu Saint Laurent atau lebih dikenal dengan Yves Saint Laurent, pada 1970. Setahun kemudian ia menjadi busana populer di dunia. Juga di Indonesia. Perancang busana dan aktris film Baby Karnadi Huwae menyebut bahwa penyanyi, pemain film, dan peragawati Marjolien Tambajong atau lebih dikenal dengan nama Rima Melati sebagai pionir hotpants di Indonesia. Meski begitu, Baby tak melihat hotpants sebagai mode yang baru. “Mode itu 25 tahun yang lalu sudah ada. Dahulu disebut orang short, ” kata Baby, yang memiliki nama asli Baby Constance Irene Theresia Huwae kepada Varia edisi 19 Mei 1971. Baby menuturkan, hotpants sebenarnya sebuah bentuk protes terhadap mode mini, maxi, dan midi. Dalam Kamus Mode Indonesia karya Ninuk Irma Hadisurya, mini adalah pakaian perempuan berupa rok atau gaun pendek di atas lutut. Ia populer pada 1960-an sebagai bagian dari revolusi mode. Maxi merupakan pakaian perempuan berupa rok atau gaun sepanjang mata kaki atau lebih dan populer pada 1970-an. Sedangkan midi adalah pakaian perempuan berupa rok atau gaun sepanjang setengah betis. Bisa dibilang, hotpants merupakan sebuah revolusi pakaian perempuan menuju lebih modern, ketimbang mini, midi, dan mixi. Pada awal kemunculannya di Indonesia, kuning menjadi warna hotpants paling populer. Bahan yang baik untuk membuat hotpants , kata Baby, harus yang mudah melar dan ketat. Keberatan Organisasi Perempuan Rima Melati percaya diri berpose mengenakan hotpants. Dia bilang suka memakai celana pendek sejak kecil. “Sejak kecil saya sering memakai celana katok. Mode ini di Indonesia masih belum begitu populer. Hanya terbatas di kalangan artis dan remaja,” kata Rima kepada Varia, edisi 12 Mei 1971. Pada awal kemunculannya di Indonesia, hotpants dikenal pula dengan istilah celana katok alias celana dalam. Bukan sesuatu yang mengherankan bila Rima terpapar mode baru itu dengan cepat. Ibunya, Non Kawilarang, seorang perancang busana terkemuka pada masa itu. Menurut Kamus Mode Indonesia, Non Kawilarang yang bernama asli Adriana Paula Adeline Kawilarang termasuk pelopor industri mode di Indonesia. Pengetahuan Rima soal hotpants bisa jadi diperoleh dari ibunya. Apalagi Rima saat itu seorang peragawati. Tak heran kalau ia pun mengikuti perkembangan mode dunia. “Di negeri yang berhawa panas, seperti Indonesia, hotpants sesuai sekali untuk semua orang,” ujar Rima, peraih Piala Citra dalam Festival Film Indonesia 1973 untuk kategori Pemeran Utama Wanita berkat aktingnya dalam film Intan Berduri . Rima memprediksi, setelah ia memakai dan memperkenalkannya, mode baru itu bakal tambah populer. Namun hanya terbatas di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan, Manado, dan Makassar. Menurut aktris yang pernah bermain di 97 judul film layar lebar itu, perkembangan hotpants terhambat lantaran keberatan sejumlah organisasi perempuan, baik dari sisi moral maupun keamanan pemakainya. Suka Tidak Suka Tak semua publik figur menyukai hotpants. Salah satu istri Bung Karno, Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi, tak mau ikut-ikutan pakai hotpants, sewaktu ia ada di Paris, Prancis. Padahal saat itu Paris sedang musim panas, dan orang-orang menggunakan hotpants dan rok mini untuk berjalan-jalan di luar rumah. “Saya tidak anti- hotpants dan tidak antimini. Tapi saya tidak suka memakainya. Saya lebih suka memakai midi atau maxi ataupun kimono Jepang atau kebaya Indonesia,” kata Ratna kepada Varia, 12 Mei 1971. Karena bentuk tubuhnya yang kecil dan agak pendek, Ratna tak percaya diri memakai hotpants. Menurutnya, hotpants hanya sesuai untuk perempuan langsing dan berkaki panjang. Tapi, tanpa terelakkan hotpants digandrungi perempuan Indonesia. “Kini telah banyak wanita-wanita di Jakarta yang muncul di jalan-jalan raya, di toko-toko, dan tempat-tempat ramai dalam pakaian hotpants, ” kata Baby, pemilik Baby Boutique, kepada Varia, 12 Mei 1971. Baby tak ketinggalan memamerkan foto-foto modelnya seperti Poppy, As, dan Rita dalam busana hotpants. Tentu saja ia tak mau melewati peluang menangguk untung dari mode yang baru dikenal di Indonesia. Celana seksi ini secara tak langsung dipopulerkan melalui media film. Aktris film Eva Arnaz dan Lydia Kandou dalam beberapa film pada 1980-an mengenakan hotpants. Seiring waktu, hotpants menjadi mode yang biasa dikenakan remaja, hingga kini. Kendati masih ada yang berpandangan negatif.
- Jawa di Mata Pangeran Tua
PAGI belum beranjak ketika meriam-meriam pasukan Inggris memuntahkan peluru ke arah keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Korban berjatuhan. Penduduk hingga Sultan Hamengkubuwono II dilanda ketakutan. Pasukan infantri Inggris merangsek maju tak lama setelah tembakan meriam membuka serangan. Pasukan keraton coba menghadang tapi jelas sia-sia. Senjata mereka usang. Para prajuritnya dibekali ketrampilan ala kadarnya dan juga bermoril rendah. Alih-alih memimpin perlawanan, para Pangeran Yogya justru bertindak pengecut. “Menghadapi mereka, kilau orang Jawa lenyap dan mereka tercengkeram oleh rasa takut, mereka sudah didatangi oleh amarah Yang Mahakuasa karena besarnya dosa mereka,” tulis Babad Bedhah ing Ngayogyakarta , yang menjadi bahasan utama buku ini. Inggris hanya butuh waktu dua hari untuk merebut keraton. Maka, dimulailah masa kekuasaan Inggris di Jawa yang singkat selama lima tahun. Babad Bedhah ing Ngayogyakarta , berisi lebih dari 100 pupuh, ditulis Bendoro Pangeran Aryo Panular dalam bentuk tembang macapat pada waktu pengeboman Inggris atas keraton pada malam 19-20 Juni 1812 dan berakhir pada 16 Mei 1816 atau sekira tiga bulan sebelum Belanda kembali memerintah Jawa. Babad ini menyajikan banyak informasi berharga mengenai pendudukan Inggris dan pengaruhnya bagi tatanan sosial, politik, maupun budaya orang-orang Jawa. Kendati demikian, penulisnya tak lupa menyisipkan kepentingan politiknya. Pangeran yang Terkucil Bendoro Pangeran Aryo Panular, lahir di Yogyakarta sekira 1771, adalah putra Sultan Hamengku Buwono I dari selir bernama Mas Ayu Tondhosari. Dia pribadi yang cerdas, taat dan santun, bahkan cenderung rendah diri. Secara politik dia ambisius tapi minim hasrat “membunuh”, yang membuatnya selalu berada di pinggiran. Ketidakberdayaan dan ambisi politiknya ditumpahkan dalam karyanya. Dengan kalimat-kalimat luwes, dibumbui sindiran dan anekdot, Panular menuangkan pengamatan maupun buah pikirannya. Dia juga menambahkan referensi dan sketsa-sketsa sehingga karyanya penuh detail dan informatif. Tak lupa dia memberikan analisis yang tajam. Melalui karyanya, Panular mengupas kebusukan elit-elit keraton: rakus, gila hormat, pengecut, licik. Persaingan dan perebutan pengaruh menyebabkan keraton dilanda intrik. Menjelang serangan Inggris, intrik memuncak. Bagi Panular, kebusukan elit keraton menjadi faktor penting bagi mudahnya Yogya takluk kepada Inggris. Mustahil bagi Panular melepaskan diri dari intrik keraton. Dia dekat dengan lingkaran Putra Mahkota (kelak jadi Sultan Hamengku Buwono III), menantunya, yang berseberangan dari para pendukung Sultan Sepuh (Hamengku Buwono II). “Pada November 1812, Panular sudah dijuluki oleh Residen Belanda sebagai seorang pendukung kuat Putra Mahkota dan sebagai seorang sekutu potensial dari pemerintah dalam hubungannya yang tegang dengan Sultan Kedua yang keras kepala itu,” tulis Peter Carey, sejarawan Inggris, yang menyusun buku ini. Ketika Inggris menyerang keraton, digambarkan dalam pupuh kelima, Panular dengan heroik menantang peluru Inggris untuk memandu rombongan Putra Mahkota ke Taman Sari yang luas dan aman. Dia kemudian menjaga mereka dengan tombak pusakanya, Kiai Kondhang. Panular memandang tindakannya tak mementingkan diri sendiri sehingga dirinya layak dipertimbangkan secara khusus dalam pemerintahan baru menantunya. Untuk alasan itulah Panular mulai menulis babad ini. Kenyataan berkata lain. Keponakannya, Diponegoro, muncul sebagai “orang kuat” dari pemerintahan Sultan Ketiga. Digambarkan dalam babad ini, Diponegoro seolah menjadi tonggak utama negara dan bertindak hampir seperti seorang raja karena punya banyak tanggungjawab. Panular sendiri hanya mendapat “hadiah hiburan” berupa pengangkatan sebagai seorang Pangeran Mijil. Diponegoro, yang kelak memimpin Perang Jawa, digambarkan Panular sebagai pribadi ambisius dan ingin mendominasi. Elit keraton lain yang disorotnya adalah Pakualam, kakaknya. Pakualam, bahkan sejak sebelum serangan Inggris, membiasakan diri dengan etiket Eropa, baik dalam hal pakaian, bahasa, maupun gaya rambut. Namun justru karena itulah Raffles memilih Pakualam sebagai Pangeran Wali sekaligus meruntuhkan Dewan Perwalian ketika pemerintahan baru sultan bocah (Hamengku Buwono IV). Posisi politik baru Pakualam menghidupkan kembali permusuhan lama di dalam keraton. Saat itu pamor Panular meredup. Ketika menantunya wafat, Panular harus menerima kenyataan bahwa cucunya seorang perempuan. Baru setelah Perang Jawa pecah, dia menerima posisi politik penting sebagai salah seorang dari dua wali sultan bocah (Hamengku Buwono V). Sembilan bulan kemudian, 30 Juli 1826, dia dibunuh bersama sejumlah pangeran yang setia kepada Belanda oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Ali Basah Sentot di Desa Lengkong, perbatasan Kedu-Sleman. “Panular yang ramah pun akhirnya menjadi korban dari semacam kebiadaban yang selalu mendasari manuver politik halus di Keraton Yogya,” tulis Peter Carey. Jendela Baru Selama ini, pengetahuan dan pemahaman terhadap keraton dan pendudukan Inggris serta respon masyarakat hanya bergantung pada sumber-sumber resmi (Barat). Babad ini menyajikan alternatif baru. Ia menjadi satu-satunya sumber lokal yang mumpuni: ditulis langsung dari pandangan mata saksi sezaman di lingkaran dalam keraton, dengan cakupan luas dan kaya detail. Kendati demikian, tulis Peter Carey, babad ini tidak dimaksudkan untuk memberi satu tinjauan terhadap kejadian-kejadian sezaman dari sutu pandang politik nyata. “Sebaliknya, catatannya selalu dipahami sebagai satu sarana untuk memproyeksikan pemahaman sang pangeran yang bersifat sangat pribadi tentang masalah-masalah sekaligus meredakan keinginannya yang sering dikecewakan,” tulisnya. Kekayaan referensi dan kecakapan analisis Peter Carey jualah yang akhirnya membuat babad ini “naik kelas”, dari karya yang hampir tak dikenal menjadi karya penting sekaligus sumber primer sejarah Jawa pada masa pendudukan Inggris. Menurut Carey, babad ini penting untuk dibukukan. Sebab, ia menyajikan informasi yang kaya tentang kepribadian, kebudayaan, dan masyarakat dari sebuah keraton yang dihancurkan oleh trauma Perang Jawa. “Jadi babad ini memetakan nasib satu masyarakat di ambang era yang baru; satu masyarakat yang tidak hanya penuh kesangsian akan masa depan, tetapi juga memelihara banyak kemegahan masa lalu."
- Didamba Sejak Jawa Kuna
TERPIKAT oleh kecantikan Sinta, istri Rama, Rahwana nekat menculiknya. Akibatnya, Rahwana mesti bertarung melawan raja monyet Hanoman yang diminta bantuan oleh Rama. Hanoman menang dan berhasil menemukan Sinta. Saat ditemukan, wajah Sinta digambarkan putih bersinar bagai bulan purnama yang redup oleh kabut. Sinta selalu diibaratkan dengan bulan dan digambarkan penuh kebaikan. “Ketika aku lihat Ramayana , Sinta dipuji sebagai sosok yang cantik. Dia selalu digambarkan dengan hal-hal yang terang. Jadi perempuan yang didefinisikan sebagai cantik itu yang kulitnya terang,” kata Luh Ayu Saraswati, dosen kajian perempuan Universitas Hawaii, menjawab pertanyaan Historia . Bulan menjadi kiasan paling banyak digunakan untuk menggambarkan kecantikan perempuan. Dalam Ramayana, metafora bulan digunakan tiap delapan atau sepuluh baris dan paling banyak digunakan selain api dan matahari. Bulan, tulis Ayu dalam bukunya Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional, juga dijadikan pembanding untuk menunjuk hal-hal yang memiliki warna putih, terang, dan bercahaya sekaligus menggambarkan perasaan positif. Namun, gambaran kecantikan tidak pernah disampaikan dalam kiasan bulan sabit. Hanya bulan purnama yang digunakan untuk menggambarkan kesempurnaan, kecantikan, kulit putih, juga cemerlangnya seorang perempuan. Dalam kisah Ramayana , metafora ini menyiratkan sebuah rasa khusus seperti kecintaan pada perempuan cantik. “Jadi kita selalu dibuat untuk merasa senang ketika melihat perempuan yang kulitnya terang seperti bulan. Kita jadi dibuat senang dengan dia. Karena cantik itu banyak versi tapi bagaimana rasa menjadi penanda bahwa putih itu cantik. Jadi yang kulitnya terang, bukan putih seperti orang Kaukasia,” kata Ayu. Warna putih sendiri ditampilkan sebagai hal yang diidamkan karena identik dengan kecantikan, kebersihan, dan kemurnian. Untuk memperoleh kulit putih dan cantik, perempuan dalam kisah Ramayana menggunakan serbuk sari pandan sebagai bedak wajah. Jika tokoh baik digambarkan berkulit terang, putih, dan bercahaya, tokoh-tokoh jahat digambarkan berkulit gelap, menyeramkan, dan menyiratkan rasa negatif seperti yang terdapat pada diri para pembantu Rahwana. Gambaran tentang warna kulit juga terdapat dalam tipologi perempuan Jawa kuno. Dalam Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok, Suwardono menulis empat tipe perempuan dari yang paling tinggi: padmini, citrini, sankini, dan hastini. Dari empat tipe itu, hanya dua tipe yang menggambarkan warna kulit, yakni padmini, perempuan berwarna wajah keemasan seperti bunga campaka; dan sankini, disebut berkulit sawo matang. Perempuan tipe hastini tidak dijelaskan warna kulitnya tapi hanya digambarkan pucat. Pucat dalam arti lesu, kusam, bukan penanda warna kulit. Kulit terang sebagai hal yang didambakan dalam kecantikan perempuan Jawa kuno juga berkaitan dengan kasta. Ketika Sinta dan Rama akan berangkat ke hutan karena diusir dari istana, Sinta diminta untuk mengoleskan arang ke seluruh tubuhnya agar tak terlihat oleh rakyatnya sebagai putri raja. “Kalau kita baca Ramayana, kulit orang biasa, bukan orang kerajaan, lebih gelap dibanding putri raja. Jadi bagaimana cara kita mengasosiasikan yang cantik dan menarik itu yang putih juga berkaitan degan kastanya,” kata Ayu.
- Kiai Pelihara Anjing
HESTI Sutrisno (38), muslimah bercadar ramai diberitakan karena memelihara sebelas anjing terlantar dan 32 kucing. Perbuatan baik itu menuai pujian sekaligus ancaman. Mereka yang keberatan meyakini bahwa orang Islam lebih baik tak memelihara anjing karena najis. Namun, K.H. Mas Mansyur, ketua Muhammadiyah (1937-1943), pernah memelihara anjing betina jenis Keeshond. Anjing itu hadiah dari pemilik restoran Molenkamp, langganan Sukarno, di Pasar Baru, Jakarta. Menurut Darul Aqsha dalam Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946: Perjuangan dan Pemikiran , seorang kiai memelihara anjing rupanya menjadi sorotan karena banyak yang beranggapan bahwa air liur binatang itu najis. Padahal, anjing dikisahkan dalam Alquran sebagai binatang yang menemani Ashabul Kahfi yang lari dari kejaran raja yang lalim. “Menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, Mas Mansur mengemukakan alasan: ‘Di Makkah banyak anjing berkeliaran. Nah, apa itu tidak najis?’” tulis Darul Aqsha. Mas Mansyur lahir pada 25 Juni 1896. Ayahnya, KH Mas Ahmad Marzuqi, keturunan bangsawan Astatinggi, Sumenep, Madura. Dia menjadi imam dan khatib di Masjid Agung Ampel Surabaya. Sedangkan ibunya, Raudhah, seorang perempuan kaya dari keluarga Pesantren Sidoresmo, Wonokromo, Surabaya. Selain belajar agama pada ayahnya, Mas Mansyur juga berguru pada Kiai Muhammad Thaha di Pesantren Sidoresmo. Setelah itu, dia mondok ke Pondok Pesantren Kiai Kholil di Demangan, Bangkalan, Madura. Sepulang dari Pesantren Demangan pada 1908, Mas Mansyur belajar ke Makkah selama kurang lebih empat tahun. Situasi politik di Arab Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar selama kurang lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, dia singgah di Makkah selama satu tahun, dan pada 1915 dia pulang ke Indonesia. Dia bergabung dengan Sarekat Islam, kemudian memimpin Muhammadiyah. Darul Aqsha menceritakan, suatu ketika KH Abdul Wahab Hasbullah, pendiri Nahdlatul Ulama, berkunjung ke rumah Mas Mansyur di Jakarta. Ketika sedang menikmati jamuan makan, Ibrahim, anak Mas Mansyur, melepas anjingnya dan mendekati tempat makan. Melihat ada anjing mendekatinya, Kiai Wahab langsung melompat dari tempat duduknya. Suasana jadi ramai. Ibrahim segera mengambil anjing itu. Setelah Kiai Wahab pulang, Mas Mansyur memarahi Ibrahim yang melepaskan anjing itu sewaktu Kiai Wahab bertamu. Sewaktu mau melahirkan, anjing yang biasa tidur bersama Ibrahim itu, dihadiahkan kepada dr. Soeharto, staf Mas Mansyur di Putera (Pusat Tenaga Rakyat) pada masa pendudukan Jepang. Soeharto kemudian menjadi dokter pribadi Sukarno.*
- Tenis Meja Adalah Segalanya
SEJAK dikenalkan tenis meja oleh ayahnya, Ali Umar Syechabubakar, Rossy Pratiwi Syechabubakar langsung jatuh cinta. Antusiasmenya untuk menjadi atlet nasional terus tumbuh. Berbagai turnamen kampung diikutinya. Jalan Rossy terbuka lebar begitu bergabung dengan klub PTM (Persatuan Tenis Meja) Sanjaya Gudang Garam, Kediri. Meski harus berpisah dari kedua orangtuanya lantaran mesti tinggal di asrama, Rossy tetap bersemangat menggembleng diri. “Alhamdulillah, orangtua mendukung saya menekuni jadi atlet,” ujarnya kepada Historia . Dukungan orangtua menjadi modal berharga Rossy untuk membunuh kehidupan monoton selama di klub. “Kita tidak seperti anak-anak yang lain main atau gimana. Kita hanya latihan, belajar (sekolah), latihan,” sambungnya. Saban hari, Rossy hanya latihan pagi jam 5, lalu sekolah sampai jam 1 siang, dan lanjut latihan dari jam 3 sore sampai jam 7 malam. Keterbiasaan itu membuat Rossy tak kaget ketika mengikuti latihan berat Pelatnas PTMSI (Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia) dalam rangka persiapan SEA Games 1987 dan 1993. Pelatih asal Korea Utara Kang Nung-ha tak hanya menggojlok fisik tapi juga mental. “Orangnya galak, terutama soal disiplin. Latihannya juga berat. Tapi ya ada hasilnya,” kata Rossy menjelaskan mantan pelatihnya. Rossy terus merengkuh prestasi di berbagai ajang baik nasional, regional, maupun internasional. Dua kali dia mewakili Indonesia di olimpiade, Barcelona 1992 dan Atlanta 1996. Kecintaannya pada tenis meja membuat Rossy nekat mengabaikan anjuran dokter yang mengoperasi usus buntunya menjelang olimpiade 1992. “Kata dokter, ‘Kamu jangan macam-macam (langsung aktivitas fisik) ya.’ Saya di rumahsakit seminggu, pemulihan di rumah juga seminggu. Setelah itu, saya pilih latihan. Hanya dua minggu persiapan latihan. Syukur enggak ada apa-apa dan alhamdulillah, walau saya enggak izin dokter, saya lolos untuk Olimpiade Barcelona,” kata Rossy mengenang. Meski gagal membawa pulang medali, Rossy dipercaya menjadi pembawa obor olimpiade. “Saya ikut bawa obor dengan berlari sepanjang rute 500 meter sama pelari Ethel (Hudzon). Saya sendiri nggak tahu kenapa bisa dipilih. Waktu itu saya dan Ethel dipanggil untuk mewakili kontingen dari Indonesia, itu saja. Tentu bangga rasanya,” sambung Rossy. Setelah pensiun dan sudah memiliki empat putri yang acap dia sebut “Fantastic Four”, Rossy tetap bergelut di dunia tenis meja. Pada 2011, dia melatih timnas putri Indonesia di SEA Games 2011 Jakarta-Palembang. Rossy juga melatih tenis meja kontingen Jawa Barat di PON 2016. Seakan gatal lantaran tak lagi menepok bola, Rossy kembali giat mengikuti beragam turnamen kecil. “Cuma sekarang-sekarang saya ikut veteran lagi. Desember (2017) lalu ikut Kejuaraan Asia-Pasifik di Jepang, saya kalah di delapan besar. Terakhir, di Cina, Januari 2018, saya dapat perak di nomor beregu putri,” tuturnya. Kecintaan pada tenis meja membuat Rossy berharap kelak ada setidaknya satu dari empat putrinya yang bisa mengikuti jejaknya menjadi srikandi tenis meja. Buah Cinta Tenis Meja Meski beragam prestasi tenis meja telah diukirnya, Rossy mengaku prestasinya paling berkesan adalah di SEA Games 1993 Singapura. Saat itu, dia menyapu bersih emas di empat nomor yang diikutinya. Buahnya, “Kita dijamu di Istana. Ya dijamu makan, salaman. Kita juga dikasih wejangan bahwa apa yang kita perjuangkan adalah untuk negara, untuk membanggakan Indonesia,” ujarnya mengenang undangan kehormatan dari Presiden Soeharto itu. Undangan ke Istana jelas bukan satu-satunya buah dari cinta dan kerjakeras Rossy di dunia tenis meja. Sejak amatir, dia telah memetik buah demi buah dari usahanya. “Sekolah juga gratis. Bisa keluar negeri pertamakali juga karena tenis meja (di Asia Junior Championship 1986 Nagoya, Jepang,” kata Rossy. Bonus merupakan buah yang paling sering dipetik Rossy. Namun, bonus yang diterima atlet di eranya tak sebesar bonus atlet-atlet sekarang. “SEA Games 2011 saya jadi pelatih dan anak didik saya dapat perak dan perunggu. Bonusnya 750juta. (Ketika – red .) Saya sapu bersih empat emas (SEA Games 1993) hanya TV 14 inch. Jadinya ya jauh perbandingannya ya,” jelasnya. Toh, besaran bonus tak mampu mengusik kecintaan Rossy pada tenis meja. “Arti tenis meja dalam hidup saya ya segalanya. Di tenis meja, terutama SEA Games, saya dari yang paling muda (di tim 1987) sampai yang paling tua (di tim 2001). Dari tenis meja saya juga bisa ketemu sama suami (Rany Kristiono),” tandas Rossy, yang dipinang Rany pada 2001. Rangkaian Prestasi Rossy Syechabubakar: Pekan Olahraga Nasional (PON) -1985 (Mewaliki Jawa Timur): 1 Perak (Beregu), 1 Perunggu (Ganda Campuran) -1989 (Jawa Timur): 4 Emas (Tunggal Putri, Ganda Putri, Ganda Campuran & Beregu) -1993 (Kalimantan Timur): 3 Emas (Tunggal Putri, Ganda, Beregu), 1 Perunggu (Ganda Campuran) -1996 (Jawa Barat): 1 Perak (Beregu), 3 Perunggu (Tunggal, Ganda, Ganda Campuran) -2000 (Jawa Barat): 4 Perak (Tunggal, Ganda, Ganda Campuran, Beregu) -2004 (Lampung): 1 Perak (Ganda), 2 Perunggu (Tunggal, Beregu) -2008 (Sumatera Selatan): 2 Perunggu (Ganda, Beregu) SEA Games -1989: 2 Emas (Beregu, Ganda), 1 Perak (Tunggal), 1 Perunggu (Ganda Campuran) -1991: 2 Emas (Tunggal, Ganda Campuran), 2 Perak (Ganda, Beregu) -1993: 4 Emas (Beregu, Tunggal, Ganda, Ganda Campuran) -1995: 2 Emas (Beregu, Ganda), 1 Perak (Tunggal), 1 Perunggu (Ganda Campuran) -1997: 1 Emas (Beregu), 2 Perak (Tunggal, Ganda), 1 Perunggu (Ganda Campuran) -1999: 3 Perunggu (Beregu, Ganda, Ganda Campuran) -2001: 2 Perunggu (Beregu, Ganda)
- Menyibak Aktris Berbulu Ketiak
DI sebuah klub malam, Eva Arnaz bernyanyi enerjik. Pakaian dengan lengannya yang terbuka membuat bulu ketiaknya terlihat. Saat itu, Eva berperan di dalam film Lima Cewek Jagoan (1980). Dalam film laga ini, selain Eva, bermain pula empat aktris cantik, yakni Debby Cynthia Dewi, Yatti Octavia, Lydia Kandou, dan Dana Christina. Eva, yang berperan di 43 judul film selama kariernya di layar lebar, di kemudian hari menjadi ikon bintang film yang punya bulu ketiak lebat. Banyak filmnya menampilkan bulu ketiaknya yang menjuntai. Keluarga Eva pernah mempermasalahkan adegan syur dalam film-film yang dimainkannya. Namun, keluarga dan barangkali penonton film kala itu, tak pernah sekalipun mempermasalahkan bulu ketiaknya yang lebat. Ajimat dan Seni Tampaknya bulu ketiak bagi sejumlah aktris pada 1970-an hingga 1980-an merupakan hal yang wajar. Bisa jadi salah satu standar kecantikan dan tren. Jauh sebelum karier Eva meledak, Dally Damayanty merupakan pragawati dan aktris film yang percaya diri dengan bulu ketiaknya. Menurut Varia, 16 Maret 1975, Dally terjun ke dunia peragawati pada 1973 dan kariernya langsung melejit. Dally kemudian menjadi peragawati yang menonjol dan ditampilkan oleh desainer Fauzan Ramon dalam acara peragaan busana pada malam Tahun Baru 1974 di Taman Wisma Nusantara, Jakarta. Pada 1974, Dally ikut keliling Asia untuk peragaan busana. Lantas, sepulang dari tur itu, ia pun disodori kontrak bermain di film Dasar Rezeki (1974). Tak hanya itu, Dally yang berani berpose mengenakan bikini di sejumlah media juga menjadi objek reklame Ajinomoto. “Apakah sukses Dally yang subur, dengan jerawat di mukanya ini berkat ‘ajimat’ bulu keteknya yang lumayan lebatnya ini, tentu Dally sendirilah yang lebih tahu bukan?” kata wartawan Varia, 16 Maret 1975. Wartawan Varia menyebut bulu ketiak Dally itulah sex appeal yang ia miliki. Selain Dally, aktris dan foto model Waty Siregar percaya diri berpose genit dengan pakaian lengan kanan terbuka dan bulu ketiak terurai. Foto itu merupakan hasil jepretan Cendrawasih 2000 di sampul belakang majalah Selecta edisi 12 Februari 1979. Di dalam kalender 1978 dan 1979, foto-foto seksi Waty pun terpampang. “Tapi, itu kan rasa seni, penuh keindahan, dan saya tidak berbugil,” kata Waty, yang pernah bermain di 30 judul film selama kariernya, kepada Selecta, 12 Februari 1979. Ratu Ketiak Cara Joseph Oliviero dalam artikelnya “Segi-Segi Keindahan Ketiak”, dimuat Sport Fashion Film edisi Februari 1973, menulis orang-orang di Italia dan Turki berpendapat bulu ketiak merupakan keindahan, karena memberikan kesan merangsang. “Ada semacam tendensi pada mereka yang menyatakan bahwa perempuan yang punya bulu ketiak lebat punya kemampuan seks besar. Sehingga orang Italia dan Turki pantang mencukur habis bulu ketiaknya,” tulis Cara. Pada awal 1970-an, yang menjadi ikon bulu ketiak bukanlah Eva Arnaz, melainkan Yana Schurman. Yana seorang model, yang hanya bermain di satu judul film Pat Gulipat (1973). Dalam artikel Cara, terpampang foto Yana dengan bulu ketiaknya, memakai keterangan: “Pantas dijuluki Ratu Ketiak. Kelihatan sexy dan pantang dicukur dari sejak lahir.” Meski demikian, tak semua perempuan ingin memelihara bulu ketiak. Menurut Cara, memangkas bulu ketiak menjadi sebuah kebiasaan di luar negeri sejak berkembangnya mode pakaian tanpa lengan pada 1924. Melihat peluang, Profesor Kromayer menciptakan alat pencabut bulu ketiak. Namun, alat Kromayer ini masih meninggalkan bekas dan terasa sakit bila digunakan. Seiring waktu, tren aktris memelihara bulu ketiak kian surut. Pandangan masyarakat pun berubah. Meski begitu, di luar negeri menunjukkan hal yang berbeda. Di sana, bulu ketiak aktris justru sedang tren. Sejumlah aktris, seperti Madonna dan Julia Roberts, justru pernah menampilkan ketiak mereka dengan bulu alami.*
- Wajib Helm di Indonesia
Laporan Global Status Report on Road Safety 2013 dan 2015 garapan WHO menempatkan Indonesia dalam kelompok 10 besar negara dengan jumlah korban tewas kecelakaan kendaraan bermotor tertinggi di dunia. Sebagian besar korban tewas merupakan pemotor roda dua. Beberapa korban tewas setelah berbenturan keras dengan aspal. Mereka tak menggunakan helm. Padahal pemotor roda dua wajib menggunakannya. Gagasan mewajibkan penggunaan helm bermula dari peralihan kebiasaan orang Indonesia ketika keluar rumah. Mereka perlahan meninggalkan sepeda kayuh dan memilih sepeda motor pada dekade 1970-an awal. Jaringan transportasi umum memang telah berkembang di desa dan kota. Tetapi kelayakan dan kenyamanannya masih jauh dari harapan kebanyakan khalayak. Penumpang berjejalan dan beberapa di antaranya justru pencopet. Di ibukota Jakarta, Gubernur Ali Sadikin sampai misuh kepada angkutan umum. “Monyet pembawa celaka,” hardik Ali Sadikin kepada Ekspres, 9 Agustus 1971, setelah melihat perilaku ugal-ugalan sopir angkutan umum sehingga menyebabkan kecelakaan dan korban tewas. Karena angkutan umum tak layak, warga butuh pilihan alat transportasi lain. Dan pilihan itu tertuju pada sepeda motor bikinan Jepang. Bentuknya menyerupai fisiologi bebek dan kubikasi mesinnya 70 cc. “…Kendaraan-kendaraan bermotor yang ringan, berkecepatan tinggi, dan tangkas berbelak-belok,” tulis Ekspres, 23 Agustus 1971. Serbuan motor Jepang ke Indonesia tak lepas dari kebijakan ekonomi Orde Baru. Rezim ini membuka keran lebar untuk investasi dan impor barang dari dua sumber: negeri-negeri Barat dan Jepang. Saat bersamaan, industri otomotif Jepang terus bersitumbuh. Mereka berhasil merakit motor murah. “Maka itulah jenis kendaraan pribadi yang terjangkau harganya oleh kebanyakan anggota masyarakat,” kata Hoegeng Iman Santoso, Kapolri 1968-1971, kepada penulis Abrar Yusa dan Ramadhan KH dalam Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyaataan . Sepeda motor itu pas pula untuk kebutuhan transportasi sehari-hari orang Indonesia di desa dan kota. Sepeda motor pun jadi raja jalanan menggantikan sepeda kayuh. “Dewasa itu sepeda motor berbagai merk, terutama dari Jepang, menguasai jalan-jalan raya,” kata Hoegeng. Jumlah mobil dan angkutan umum pun kalah dari jumlah pemotor roda dua. “Menurut data statistik, kata polisi, lebih dari 50% kendaraan bermotor di Indonesia terdiri dari sepeda bermotor. Di Jakarta saja ada 98.202 buah,” tulis Ekspres , 23 Agustus 1971. Peralihan dari sepeda kayuh ke sepeda motor itu tak imbang dengan peralihan sikap berkendara. Banyak pemotor roda dua berkendara selayaknya menggunakan sepeda. Mereka melenggang di jalanan dengan kecepatan tinggi tanpa topi pengaman, sebutan awal untuk helm di Indonesia. Pemotor roda dua merasa tidak perlu benar memakai topi pengaman. Mereka justru lebih memilih menggunakan peci dan sorban ketika berkendara. Perempuan pembonceng pun lebih suka menghias rambutnya dengan konde ketimbang memakai topi pengaman. Polisi tak bisa ambil tindakan. Sebab aturan resmi tentang topi pengaman belum ada. Tapi ketika kepolisian memperoleh data dari Rumah Sakit Umum (RSU) Malang tentang penyebab kematian pemotor roda dua, polisi gencar mengusulkan kewajiban menggunakan topi pengaman. Menurut RSU Malang, dikutip Ekspres 27 September 1971, sebanyak 49.1% pemotor roda dua terluka pada bagian kepala setelah kecelakaan. Persentase luka lainnya merentang dari tungkai, lengan, dada/leher, perut, sampai pinggul. Polisi berpikir jika cedera pada kepala pemotor roda dua bisa diminimalisasi, jumlah korban tewas setelah kecelakaan akan berkurang. Cara melindungi kepala adalah dengan topi pengaman atau helm. Kapolri Hoegeng ikut turun tangan mewajibkan pemotor roda dua mengenakan helm dengan mengeluarkan maklumat kewajiban pemakaian helm yang mulai berlaku pada 1 November 1971. Pengabaian pada maklumat Kapolri akan berakibat pencabutan rebewes atau Surat Izin Mengemudi (SIM). Lalu banyak orang bertanya, seperti apa kira-kira wujud helm untuk pemotor roda dua itu? Polisi pun merumuskan secara lebih terang apa itu topi pengaman. Pertama , pinggir topi harus berlapis karet atau plastik supaya tidak melukai orang. Kedua , bagian dalam topi mempunyai bantalan untuk meredam benturan. Ketiga , topi memiliki tali pengikat agar tak mudah lepas. Keempat , topi pengaman mesti berlubang ventilasi angin demi memudahkan sirkulasi udara. Mengenai bentuk, polisi menyarankan serupa topi pengaman serdadu tempur yang berbentuk setengah lingkaran (sekarang kita menyebutnya helm cetok). Karuan khalayak mencibir urusan selingkar desain topi pengaman itu. Tidak artistik, menurut khalayak. Lainnya bilang, “Tampangnya jadi pada serius, seperti orang mau berangkat perang atau seperti juru-juru las karbit di bengkel-bengkel pengelasan,” tulis Ekspres , 23 Agustus 1971. Selain urusan desain, Keberatan khalayak terhadap maklumat menggunakan helm menjembar dari soal remeh temeh berbusana, ekonomi, sampai cantolan aturan resminya. Soal busana menyangkut ketidakpaduan helm dengan kain ibu-ibu. Soal ekonomi berkaitan dengan pengeluaran tambahan khalayak jika harus beli helm. Soal cantolan aturan resmi berkisar pada pertanyaan hukum positif mana yang mengharuskan pemotor roda dua mengenakan helm. Keberatan soal yuridis ini berasal dari selingkar ahli dan praktisi hukum. Antara lain Asikin Kusumaatmadja, Hakim Mahkamah Agung RI, dan Tjiam Joe Khiam, salahsatu pengacara sohor. Mereka berdua punya kesamaan pandang dalam menolak helm: polisi telah bertindak melampaui kekuasaan hukum atau Abus De Puissance jika mewajibkan helm dan menindak pemotor roda dua tanpa helm. Demikian menurut mereka kepada Ekspres , 27 September 1971. Tapi dari lingkaran lain praktisi hukum muncul suara berbeda. Antara lain Adnan Buyung Nasution, pengacara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Menurut Buyung, polisi berhak mewajibkan helm dan menindak pelanggarnya. Dasarnya ialah tiga aturan rujukan: Undang-Undang Lalu-Lintas No. 3 1965 beserta peraturan pelaksanaannya, Ordonansi tanggal 11 Maret 1918 dalam Staatblad tahun 1918 No. 125, dan Undang-Undang Tahun 1961 No 13. Buyung juga mengatakan segi keselamatan pengendara menjadi hal pendukung lain sebagai kekuatan maklumat Kapolri. Ali Sadikin dan SK Trimurti, mantan Menteri Perburuhan pertama Indonesia, berada pada sisi yang sama dengan Buyung. Menurut mereka, helm penting untuk keselamatan pemotor roda dua di Indonesia. Perdebatan berakhir pada 1 November 1971. Maklumat Kapolri mulai berlaku. Pemotor roda dua tak punya pilihan. Mereka mesti rela membeli dan memakai helm. Sesuatu yang mengejutkan banyak orang ketika itu. “Tak pernah terbayangkan bahwa haji-haji dengan sepeda motor tua mengganti peci putih dan sorbannya dengan topi pengaman,” tulis Ekspres , 27 September 1971. Kewajiban memakai helm berlaku hingga sekarang. Tapi masih ada saja pemotor roda dua mengganti helm dengan peci dan sorban ketika berkendara. Suatu perilaku lawas yang salah dari dekade 70-an terulang kembali.





















