Hasil pencarian
9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Wabah Rabies Munculkan Vampir
PADA abad ke-18, kepercayaan pada vampir menjadi mitos tenar di daerah Balkan. Vampir digambarkan sebagai orang mati yang bangkit dari kubur, berkelana saat malam, dan bertahan hidup dengan mengisap darah orang atau hewan. Dalam risetnya bersama Christopher Cowled, Bats and Viruses: A New Frontier of Emerging Infectious Diseases, Lin Fa Wang menduga mitos vampir erat kaitannya dengan rabies yang pernah mewabah di Eropa. Dugaan mereka berasal dari kesamaan ciri vampir dan penyakit rabies, serta kemunculan mitos vampir yang bersamaan dengan wabah. Secara umum diketahui bahwa rabies ditularkan lewat anjing atau serigala. Namun, rabies juga ditemukan menginfeksi hewan herbivora yang ditularkan oleh kelelawar. Dari situlah dokter asal Spanyol Juan Gomez-Alonso juga menduga legenda vampir dan manusia serigala mungkin berkaitan erat dengan pandemi rabies di Eropa Timur dari 1721 hingga 1728. Kelelawar juga sering muncul dalam cerita rakyat Eropa Timur. Asosiasi rabies dan kelelawar punya akar kuat dalam takhayul di daerah tersebut. Penderita rabies punya gejala yang mirip dengan ciri vampir. Wabah rabies pada abad ke-18 ini menyebar di Inggris, Spanyol, Prancis, Itali, hingga Ceko dan Slovakia. Sebelum rabies diakui sebagai penyakit, kelelawar juga dianggap sebagai penyebab kegilaan di Eropa. Orang yang perilakunya tidak menentu diasosiasikan dengan kelelawar. Hal ini dibuktikan dengan adanya istilah dan frasa seperti “ going bats ”, “ batty ”, atau “ bats in one’s belfry ” yang seringkali digunakan untuk menggambarkan ketidakstabilan mental. Akademisi Jerman, Felicitas Schott dalam bukunya The Undead Among Us menyebut mitos vampir berasal dari Eropa Tenggara, khususnya daerah yang kini jadi wilayah Serbia, Makedonia, dan Bulgaria. Segera setelah vampir jadi bagian dari cerita rakyat, kisah serupa juga muncul dalam bentuk karya sastra. Figur vampir muncul dalam beberapa puisi Jerman abad ke-18. Antara lain puisi “Main Liebes Magdchen glaubert” karya Heinrich August Ossenfelders dan puisi “Die Braut bon Korinth” karya Johann Wofgang von Goethe yang dipublikasi pada 1797. Puisi-puisi Jerman tersebut menginspirasi John Polidori dalam menulis The Vampyre pada 1819. Schott menduga, karya Polidori merupakan sastra bertema vampir pertama yang diterbitkan dalam Bahasa Inggris. Namun, kisah vampir paling terkenal ialah Dracula karya Bram Stoker yang terbit pada 26 Mei 1897. Tanggal ini diperingati oleh para pencinta sastra bertema vampir sebagai World Dracula Daya. Kisah Dracula mengambil beragam tradisi Eropa, namun fokus utamanya pada sejarah dan budaya Transylvania, Romania bagian tengah. Wang dan Cowled menduga karakter vampir yang bisa berubah wujud menjadi kelelawar dalam karya Stoker mirip dengan sifat hematophagous (pengisap darah) dan nocturnal kelelawar vampir. Sementara, Schott menyebut prototipe tokoh Dracula karya Stoker diambil dari kisah Vlad II, Pangeran Walaccia (1431-1476) yang dikenal juga sebagai Vlad Dracula atau Vlad the Impaler. Ia amat ditakuti oleh orang Walaccia karena kegemarannya menyiksa dan mengeksekusi musuh. Vlad Dracula lahir di Transylvania, Romania pada 1431 dan memerintah Walaccia dari 1456 sampai 1462. Beberapa sejarawan menggambarkan Vlad sebagai penguasa yang adil namun kejam. Citra kejam tersebut melekat karena Vlad suka membunuh musuh-musuh yang tertangkap dengan menusuk mereka di tiang kayu. Menurut legenda, Vlad Dracula juga suka menikmati jamuan makan di tengah-tengah korban yang sekarat dan mencelupkan rotinya ke dalam darah mereka. Meski kebenaran kisahnya diragukan, orang-orang yang percaya kisah ini lalu menyebarkannya. Kisah inilah yang memicu imajinasi Stoker untuk menciptakan Count Dracula, yang juga berasal dari Transylvania, menghisap darah korbannya, dan bisa dibunuh dengan menghujam jantungnya dengan pasak. Kisah ini pula yang kemudian jadi memori kolektif dalam budaya Barat. Tiap kali menyebut vampir, rujukan utamanya ialah Dracula karya Stoker. Dalam bukunya The Vampire in Folklore, History, Literature, Film and Television, J. Gordon Melton dan Alysa Hornick menyusun daftar panjang karya bertema vampir dari 1800 hingga 2013. Keduanya menemukan setidaknya ada enam ribu karya bertema vampir yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Namun, menurut Melton dan Alysa, perkembangan sastra bertema vampir belum terlihat bisa menyaingi Dracula dan sastra abad kesembilan belas lain. “Banyak dari literatur kontemporer ini dipandang sebagai cerita populer daripada sastra serius,” tulis Melton dan Alysa.*
- Stauffenberg, Opsir "Judas" Kepercayaan Hitler
DI tengah semilir angin di halaman Bendlerblock (Markas AD Jerman Nazi), dini hari, 21 Juli 1944, hatinya hancur. Pikirannya terbang jauh membayangkan nasib istri dan tiga anaknya. Pun begitu, Oberst (kolonel) Claus Graf von Stauffenberg masih bisa mengendalikan diri dengan menjaga sikap sebagai perwira meski ia bakal menjelang maut. Dari tempatnya ditahan dekat halaman, setidaknya dua kali Stauffenberg mendengar letusan-letusan senapan regu tembak yang menyasar dua koleganya. Stauffenberg di “kloter” ketiga tak lama kemudian menyusul ke tempat muasal letusan senjata itu bersama koleganya yang lain dan ajudannya, Letnan Werner von Haeften. Jarum jam yang nangkring di salah satu tembok bangunan Bendlerblock menunjuk pukul 1ketika para prajurit yang menahannya menyeret dan meninggalkannya dalam satu barisan dengan koleganya tanpa dibelenggu apapun. Tak lama kemudian, komandan regu tembak mulai memberi aba-aba. Alih-alih gentar dan kecut, ia menatap tajam para personil regu tembak yang bersiap menekan picu senapan. Seketika terdengar perintah terakhir komandan regu tembak: “ feuer !” (tembak!). Plakat peringatan para aktor "Plot 20 Juli" di kompleks Bendlerblock (Foto: Bendlerblock Memorial) Stauffenberg masih tegap berdiri. Ajudan Von Haeften rupanya sebagai bakti terakhirnyapasang badan menghalangi peluru agar tak menembus Stauffenberg. Komandan regu tembak pun memerintahkan anak buahnya mengokang lagi senapan mereka. Kini, tiada lagi yang bisa melindungi Stauffenberg dari terjangan peluru. Tetapi sepersekian detik sebelum komandan regu tembak memberi perintah tembak, Stauffenberg sempat meneriakkan kata-kata terakhirnya: “ Es lebe das heilige Deutschland !” (“jayalah Jerman yang suci!”) Eksekusi Stauffenbergjadi langkah pamungkas diktator Jerman-Nazi Adolf Hitlerterhadap kelompok “Plot 20 Juli”.Sehari sebelumnya,Plot 20 Juliberupaya membunuhnya. Upaya itu menggenapi beragam upaya percobaan pembunuhan Der Führer dengan motif menyelamatkan Jerman dari kehancuran total. Keluarga Bangsawan Stauffenberg merupakan jenderal kelahiran Jettingen, 15 November 1907. Claus Philipp Maria Justinian, demikian nama lahir Stauffenberg,datang dari keluarga aristokrat.Ayahnya, Alfred Klemens Philipp Justinian, seorang oberhofmarschall atau petinggi badan kehakiman di Kerajaan Württemberg.Ia“sekampung” dengan Generalfeldmarschall Erwin Rommel yang kelak jadi atasannya di Afrika Utara. Sementara ibunya, Caroline Schenk Gräfin von Üxküll-Gyllenband. Sebagaimana diungkapkan R. Leigh dan M. Baigent dalam Secret Germany: Claus von Stauffenberg and the Mystical Crusade Against Hitler , garis darah birunya merupakan turunan dari ibunya yang berasal dari keluarga bangsawan KatolikStauffenberg di Swabia, di mana keturunan lelaki menyandang titel Schenk Graf, sementara perempuannyabergelarSchenk Gräfin. Maka kolonel berhak menyantumkan gelar Schenk Graf von Stauffenberg, menggantikan nama famili ayahnya, Justinian. Sebagaimana kedua kakaknya, Stauffenberg memupuk jiwa petualangannya sejak ikut Neupfadfinder atau organisasi kepanduan. Saat ber usia 19 tahun, Stauffenberg meneruskan jejak para leluhurnya meniti karier di kemiliteran . Dia masuk di Resimen Kavaleri Berkuda ke-17 Bamberger Reiter. Seiring bergantinya zaman dari kavaleri berkuda ke kavaleri kendaraan tempur kala Hitler menguasai Jerman, Stauffenberg meleburkan diri ke Divisi Panzer Ringan ke-1. Mengenai sosokHitler, Stauffenberg sebagai perwira muda pernah mengomentarinya saat Hitler maju dalam pemilihan presiden Jerman tahun 1932. “Gagasan dan prinsipnya begitu erat dengan volkgemeinschaft (azas kerakyatan), prinsip kepentingan umum berada di atas kepentingan pribadi, prinsip perang terhadap korupsi di kota-kota besar, pemikirannya tentang ras dan keinginannya membawa Jerman ke era baru adalah yang baik buat masa depan bangsa,” ujarnya, dikutip Jürgen Schmädeke dan Peter Steinbach dalam Resistance to National Socialism . Stauffenberg sebagai perwira muda yang meniti karier di kesatuan Bamberger Reiter und Kavallerieregiment 17 (Foto: Bundesarchiv) Kekagumannya pada Hitler goyah kala sang diktator menggeber kebijakan-kebijakan rasis yang berujung pada sejumlah insiden kekerasan, salah satunya Kristallnacht atau “Malam Kaca Pecah”, di mana pada 9-10 November 1938rumah-rumah dan pertokoan milik warga Yahudi dihancurkan. Pun dengan sejumlah kebijakan bengis Hitler terhadap warga Yahudi, turut-sertanyaresimennya dalam invasi ke Polandia,dan perlakuan terhadap para tawanan kalapasukannya ikut dalam invasi ke Prancis. Seperti halnya Rommel, di satu sisi ia tak bisa membenarkan kekerasan-kekerasan berlebihan terhadap musuh yang tak berdaya, di sisi lain, sebagai perwira ia terikat pada Führereid atau sumpah terhadap Hitler yang dilakoni semua perwira militer Jerman sejak 1934. Membunuh Hitler Beberapa keluarga Stauffenberg merupakan politisi simpatisan kelompok-kelompok anti-Hitler. Baik sang pamanNikolaus Graf von Üxküll-Gyllenbad (Paman Nux)maupun kedua kakaknya, Claus dan Berthold, beberapa kali meyakinkan Stauffenberg agar mau bergabung.Namun Stauffenberg menolak dengan dalih ia terikat sumpahnya sebagai perwira. Awal 1943, Oberstleutnant (letnan kolonel)Stauffenberg dikirim ke Tunisia, di mana pasukannya, Divisi Panzer ke-10, diperintahkan memperkuat pasukan Afrika Korps -nya Rommel yang bertarung melawanSekutu yang mendarat di wilayah Prancis Vichy. Pada siang 7 April 1943, konvoi kendaraan Stauffenberg diserangpesawat-pesawat tempur P-40 “Kittyhawk” Sekutu dekat Mezzouna, Tunisia. Akibatnya Stauffenberg luka parah dan harus diterbangkan untuk dirawat di rumahsakit di Munich. Stauffenberg koma selama hampir tiga bulan . K etika siuman, dia harus pasrah pada kenyataan bahwa ia harus kehilangan mata kiri, lengan kanan , dan tiga jari di tangan kirinya. Di masa pemulihan di rumahsakit dan di kediamannya itulah Stauffenberg membulatkan tekad untuk terlibat konspirasi membunuh Hitler. Utamanya setelah ia dijenguk beberapa kerabat, utamanya Paman Nux. “Nux, seperti keluarganya yang lain, mulanya juga mendukung Hitler. Namun matanya terbuka sejak Hitler melakukan kejahatan perang. Untuk menyelamatkan nama baik Jerman, dia meyakini Hitler harus dienyahkan. Makasejak ia menjenguk Claus (von Stauffenberg), ia tak hanya datang sebagai paman tapi juga mewakili komplotan konspirasi itu,” tulis Danny Orbach dalam The Plots Against Hitler. Oberstleutnant Stauffenberg (kanan) saat bertugas di Afrika Utara (Foto: Bundesarchiv) Komplotan itu dipimpin Generalmajor Henning von Tresckow. Ia juga yang kemudian menempatkan Stauffenberg untuk kembali bertugas di Bendlerblocksebagai salah satu perwira staf Ersatzheer atau pasukan cadangan AD Jerman dengan panglimanya Generaloberts (jenderal-kolonel) Friedrich Fromm. Di sinilah Stauffenberg berperan merancang kudeta terhadap pemerintahan Nazi dan membunuh Hitler. Dibantu salah satu perwira senior di Markas AD yang juga anggota komplotan, Jenderal Friedrich Olbricht, Stauffenberg dan Von Tresckow merevisi rancangan Unternehmen Walküre (Operasi Valkyrie) , operasi yang memberi kewenangan terhadap Pasukan Cadangan Teritorial AD untuk menertibkan keamanan negara dalam keadaan darurat, salah satunya jika Hitler tiada. Dalam revisi itu ditambahkan bahwa pasukanitu juga berwenang menahan para pejabat pemerintahan sipil Nazi yang berpotensi melakukan kudeta inkonstitusionalseandainya Hitler wafat. Rancangannyalantas dibawa Stauffenberg dan Olbricht kepada Hitler untuk diteken. Hitler membubuhkan tandatangannya tanpa curiga karenakekagumannya pada pengorbanan Stauffenberg. Nahas, tak lama kemudian Von Tresckow dikirim ke front timur. Setelah perdebatan sengit dengan kaum politisi, kaum militer memenangkan bujukan untuk mempercayakan pimpinan konspirasike pundak Stauffenberg. Namun jika nanti Stauffenberg sukses menjalankan misinya, pimpinan negara bakal dikembalikan ke kaum sipil untuk menegosiasikan perdamaian dengan Sekutu, mengingat sejak 6 Juni (D-Day) mereka sudah mendarat di Prancis. “Pembunuhan harus dilakukan. Bahkan jika upayanya gagal, kita tetap harus ambil tindakan di Berlin. Dengan begitu kita bisa tunjukkan pada dunia bahwa rezim Hitler dan bangsa Jerman tidaklah seiya sekata dan tidak semua orang Jerman mendukung rezimnya,” cetus Tresckow sebelum menyerahkan pimpinan plotkepada Stauffenberg, dikutip Joseph Howard Tyson dalam The Surreal Reich . Generalmajor Henning Hermann Karl Robert von Tresckow (kiri); Stauffenberg & Oberst Albrecht Mertz von Quirnheim yang turut merancang Operasi Valkyrie (Foto: Bundesarchiv) Hari yang dinanti akhirnya tiba. Siang, 20 Juli 1944, Stauffenberg mewakili Jenderal Frommdatangke rapat petinggi militer dan Hitler di markasnya, Wolffschanze. Sebelum rapat dimulai, Stauffenberg meminta izin menggunakan kamar mandi di ruang kerja Kepala Oberkommando der Wehrmacht (Komando Tinggi Tentara Jerman) Generalfeldmarschall Wilhelm Keitel. Dibantu ajudannya Von Haeften, Stauffenberg berusaha untuk mengaktifkan pensil detonator untuk bom dalam koper yang dibawanya. Ia selesai tepat waktu sebelum perwira lain memerintahkannya turut bergabung ke ruang rapat bersama Hitler. Jam dinding menunjukkan waktu 12.30 siang saat rapat dimulai. Sedikit demi sedikit Stauffenberg mencoba memposisikan diri sedekat mungkin dengan Hitler. Dengan tanpa disadari perwira lain, Stauffenberg meletakkan koper berisi bom itu di kolong meja dekat Hitler. Dengan alasan menerima telepon, Stauffenberg izin undur diri dari ruang rapat agar bisa melarikan diri secara diam-diam. Boom! Sebuah ledakan mengempaskan tubuh-tubuh perwira Jerman dan Hitler seketika kala waktu menunjukkan pukul 12.42. Stauffenberg yang tengah dalam pelariannya menggunakan mobilmengaku melihat kepulan asap dari kejauhan, pertanda bomnya meledak. Dengan pesawat Heinkel He 111, ia lalu terbang ke Berlin untuk memberitahukan komplotannya bahwa ia telah membunuh Hitler. Operasi Valkyrie lantas dikerahkan. Pasukan cadangan diterjunkan untuk mengamankan kantor-kantor dan pejabat Nazi serta SS (Schutzstaffel). Tidak hanya di sejumlah distrik militer di dalam negeri, Jenderal Carl-Heinrich von Stülpnagel, panglima pasukan Jerman di Prancis, melakoni hal serupa. Pun di Win a , Austria dan Praha, Ceko. Ruang rapat dan konferensi Hitler di Wolfsschanze yang hancur akibat ledakan bom yang dilakoni Stauffenberg pada 20 Juli 1944 (Foto: Bundesarchiv) Namun angin yang berpihak ke kelompok konspirator berbalik 180 derajat kala senja menjelang. Hitler ternyata masih hidup walau mengalami luka ringan. Sang diktator mengontak Menteri Propaganda Joseph Goebbels di Berlin. Goebbels pun menyambungkan telepon Hitler itu kepada Mayor Otto Ernst Remer, komandan unit elit pasukan cadangan Wachbataillon Großdeutschlandyang mengepung kementeriannya. Entah apa yang dikatakan pada Remer via sambungan telepon itu. Selepas itu, ia memerintahkan semua pejabat partai Nazi dan SS dibebaskan. Ia segera berbalik untuk memburu kaki-tangan Stauffenberg diKompleks AD Bendlerblock. Jenderal Fromm, atasan Stauffenberg, akhirnya melumpuhkan komplotan itu, termasuk Stauffenberg, Olbricht, serta jenderal veteran Ludwig Beck. Mereka kemudian diseret untuk dihadapkan ke regu tembak di halaman Bendlerblock. Tanpa menunggu perintah lanjutan dari Hitler, Fromm segera memerintahkan anak buahnya mengubur Stauffenberg dkk . dengan upacara militer di Alter Sankt Matthäus-Kirchhof. Tetapi keesokan harinya jasad Stauffenberg digali kembali oleh SS. Seragam serta medalinya dilucuti. Jenazahnya lantas dikremasi.
- Gus Dur, Indonesia Banget.
Anak santri cucu pendiri NU yang demokratis, doyan humor, dan peka soal kemanusian dan hak asasi manusia.
- Kisah Anjing Piaraan Sukarno
BIDUK rumah tangga Bung Karno goyah sewaktu masa pengasingannya di Bengkulu. Dia kerap bersitegang dengan istrinya Inggit karena kehadiran Fatmawati, gadis yang mondok di rumah mereka. Konflik suami-istri itu membuat hari-hari di rumah terasa hampa. Dalam otobiografinya, Sukarno mengakui kegalauan hatinya.Untuk melegakan batin, Sukarno mencari keasyikan dengan bekerja. Mulai dari mengerjakan rencana rumah untuk rakyat, aktif dalam organisasi Muhammadiyah, hingga mengajar bahasa Jawa. “Akupun menerima calon menantu dari Residen sebagai murid dalam pelajaran bahasa Jawa, karena dia bekerja sebagai asisten kebun di suatu perkebunan teh dan para pekerjanya berasal dari Jawa,” kata Sukarno kepada Cindy Adams dalam otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat . Jimmy, demikian Sukarno memanggil sahabat Belanda nya yang asisten kebun teh itu, berguru kepada Sukarno karena hanya orang buangan itulah yang menguasai bahasa Jawa. Namun menurut L.G.M Jacquet dalam bukunya Aflossing van de Wacht, sejatinya Jimmy memiliki nama asli: Jaap Kruisweg. Pada 1939, Jacquet bertugas sebagai aspiran kontelir bertepatan dengan pengasingan Sukarno di Bengkulu. Sebagai pejabat kolonial, Jacquet tentu mengenal secara pribadi baik Sukarno maupun Jimmy alias Jaap Kruisweg. “Berkat kesan-kesan yang dituliskan seorang pejabat kolonial, kita beroleh pemandangan tentang kehidupan, pikiran, dan sifat Sukarno pada masa itu,” tulis Rosihan Anwar dalam Musim Berganti: Sekilas Sejarah Indonesia 1925—1950 . Ketika Jimmy hendak menikah dengan putri Residen Hooykaas, Sukarno diminta sebagai saksi. Akan tetapi, Residen Hooykaas lah yang menolak permintaan itu. Seraya meminta maaf, Hooykaas mengatakan, “Tidak mungkin seorang tawanan utama negeri ini menjadi wali dalam perkawinan anak saya.” Meskipun demikian, Hooykaas mengundang Sukarno untuk menghadiri upacara pernikahan Jimmy dan putrinya. Menurut Rosihan, Jacquet mempunyai foto resepsi pernikahan tersebut. Dalam potret itu, dapat dikenali dengan jelas sosok Sukarno. Selama setahun, Sukarno memberi pelajaran bahasa Jawa tanpa memungut bayaran. Sebagai ucapan terimakasih, Jimmy menghadiahi Sukarno dengan dua ekor anjing jenis Dachshaund . Sukarno begitu menyayangi sepasang piaraannya ini sampai dibawa tidur bersama kala malam. “Aku memanggilnya dengan mengetuk-ngetukkan lidahku. ‘Tuktuktuk’ dan karena aku tidak pernah memberinya nama, lalu binatang-binatang ini dikenal sebagai ‘Ketuk Satu’ dan Ketuk Dua,” kenang Sukarno. Fatmawati dalam Catatan Kecil Bersama Bung Karno membedakan Ketuk Satu dan Ketuk Dua dari warnanya. Seekor berwarna hitam sedangkan seekor lagi berwarna kuning. Dua piaraan tersebut pernah dijadikan oleh Sukarno untuk menyentil kaum beragama yang kolot dan konservatif. Dalam Pandji Islam edisi Maulid April 1940, Sukarno membuka tulisannya dengan kejadian Ratna Djuami yang berteriak panik karena salah satu Ketuk itu menjilati air dalam panci. Sukarno lantas meminta anak angkatnya itu untuk membuang air lalu mencuci panci bersih-bersih dengan sabun dan kreolin. Ratna terheran-heran dengan amanat Sukarno sambil menerangkan perintah Nabi bahwa yang najis harus dibasuh tujuh kali, diantaranya satu kali dengan tanah. “Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin,” demikian tamsil Sukarno dalam artikelnya bertajuk “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara.“ Masa pengasingan Sukarno di Bengkulu berakhir seturut dengan pendudukan tentara Jepang. Sukarno dikembalikan ke Batavia. Tidak lupa, dua anjing itu dibawa serta merantau ke Jawa. “Ternyata Bung Karno selamat sampai di Jawa, tak ketinggalan kedua ekor anjingnya,” kenang Fatmawati.*
- Hantu Jepang di Kaki Semeru
KESEPAKATAN Perjanjian Renville antara Republik Indonesia dengan Belanda pada awal 1948, mewajibkan pihak Indonesa untuk menyerahkan para zanryu nihon hei (serdadu Jepang yang tetap tinggal dan memilih berjuang untuk Indonesia) kepada Belanda. Namun, permintaan itu direspons setengah hati. Secara diam-diam, TNI justru berupaya melindungi para eks serdadu Jepang itu. “Walau bagaimana pun kehadiran para zanryu nihon hei sangat menguntungkan untuk Indonesia, baik secara politik maupun militer,” ungkap sejarawan asal Jepang, Aiko Kurasawa. Guna menghindari itu, pada Juli 1948, Kolonel Sungkono, Gubernur Militer Jawa Timur, memanggil Tatsuo Ichiki, seorang Jepang yang sangat dituakan oleh para zanryu nihon hei . Terlebih keberpihakannya kepada Indonesia sudah sejak 1945, ketika ia bergaul akrab dengan diplomat senior Indonesia Haji Agus Salim di Jakarta. “Dia bahkan diangkat anak oleh ayah saya dan diberi nama Indonesia: Abdul Rachman karena sikapnya yang penuh kasih kepada bangsa Indonesia,” ujar Bibsy Soenharjo, salah satu putri Haji Agus Salim. Abdul Rachman kemudian ditugaskan oleh Kolonel Sungkono untuk mengumpulkan seluruh eks serdadu Jepang di Jawa Timur dan menghimpunnya dalam kesatuan khusus. Maka, pada 28 Juli 1948, berkumpullah 28 zanryu nihon hei di Wlingi dan mendeklarasikan berdirinya Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) di bawah koordinasi Brigade Surachmad. Sebagai pimpinan, Sungkono mengangkat Mayor Arif (Tomegoro Yoshizumi), senior dari Abdul Rachman. Karena Mayor Arif kerap sakit-sakitan (kemudian meninggal pada 10 Agustus 1948), akhirnya pucuk pimpinan PGI diserahkan kepada Mayor Abdul Rachman. Penyerahan wewenang tersebut diam-diam tidak disetujui oleh sebagian zanryu nihon hei pimpinan Hasan (Toshio Tanaka). Alasannya, Abdul Rachman bukan seorang militer tulen. Di ketentaraan Jepang ia hanya bertugas sebagai seorang penerjemah. “Soal ini menjadi sebab utama pecahnya PGI di kemudian hari, sehingga menyebabkan 10 anggotanya mengundurkan diri dan lebih senang bergabung dengan TNI di Jawa Tengah” ujar Shigeru Ono, salah seorang zanryu nihon hei. Sejak kemunculannya di wilayah-wilayah kaki Gunung Semeru, PGI menjadi “hantu” menakutkan bagi militer Belanda. Berbeda dengan umumnya pasukan TNI, PGI memiliki sistem organisasi dan cara bertempur yang sangat baik. Setiap kali merencanakan suatu operasi penyerangan, kerap diperhitungkan secara matang, detail, serta menyertakan rencana B, C, dan D-nya. Tak aneh jika dalam setiap aksinya, unit khusus ini sering mencapai hasil maksimal dengan sedikit korban. “Mereka memiliki semangat tinggi, kaya pengalaman tempur dan pandai bersiasat,” ujar Satmoko Tanoyo, eks prajurit ALRI Pasuruan yang pernah melakukan operasi bersama dengan PGI. Salah satu penyerangan PGI yang sukses terjadi saat bersama pasukan Brigade XIII menghancurkan markas tentara Belanda di Pajaran. Operasi ini terbilang cerdik dan cermat karena semua diperhitungkan secara matang, termasuk menjalankan operasi intelijen sehari sebelum penyerangan. PGI juga memutuskan tanggal 31 Agustus 1948 sebagai waktu penyerangan karena bertepatan dengan peringatan ulang tahun Ratu Belanda ke-68. “Kami perkirakan mereka akan sibuk berpesta dan berkurang kewaspadaannya,” ujar Shigeru. Pukul 00.00, mereka sudah mengepung posisi pos militer Belanda dari tiga jurusan. Tak ada satu pun tanda kegiatan di pos Pajaran. Menjelang dini hari, serangan dimulai. Dengan dibuka oleh ledakan granat, maka berhamburanlah tembakan dari berbagai jenis senjata (termasuk bom anti tank) menghajar tanpa ampun posisi pasukan Belanda. Tak ada perlawanan sama sekali. Prajurit-prajurit Belanda itu nampaknya tengah kelelahan usai merayakan pesta dan tak sempat meraih senjata. “Kami semua yakin, mereka yang berada di pos itu pasti mati karena tak mungkin lolos dari kepungan kami dari berbagai sisi,” ujar Shigeru seperti ditulis dalam buku Mereka yang Terlupakan karya Eiichi Hayashi. Tepat 30 menit kemudian, serangan langsung dihentikan dan seluruh pasukan diperintahkan oleh Mayor Abdul Rachman untuk mundur. Saat gerakan mundur inilah, tiba-tiba terdengar tembakan dari arah pos. Rupanya, itu adalah satu regu pasukan Belanda yang baru saja pulang dari pesta peringatan HUT Ratu Wilhelmina di balai desa terdekat. Dapat dibayangkan bagaimana marah dan terkejutnya mereka saat melihat markasnya hancur dan kawan-kawannya gugur. “Tapi mereka tidak berani melakukan pengejaran dan memilih untuk merawat mayat kawan-kawannya yang sudah tewas,” ujar Shigeru. Besoknya, seorang petugas telik sandi Brigade XIII ditugaskan untuk menyelidiki hasil serangan malam tersebut langsung ke Pajaran. Menurut informasi yang berhasil didapat dari lapangan, pasukan Belanda kehilangan 20 prajurit dan sejumlah senjata hancur. Guna menghindari balasan dari pihak militer Belanda, pada 16 September 1948, PGI memindahkan markasnya dari Dampit ke Garotan. Sukses di Pajaran, mereka ulangi pula di Poncokusumo pada 18 September 1948. Lewat suatu serangan fajar, PGI kembali berhasil menghabisi tanpa ampun posisi pasukan Belanda. “Penyerangan di Poncokusumo juga berhasil secara gemilang: serdadu musuh semua tewas, sedang di pihak kami tak ada satu pun jatuh korban. Bisa dikatakan kami terus menuai kemenangan sejak itu” kata Shigeru. Namun, hari nahas bagi PGI justru terjadi pada 3 Januari 1949. Dalam buku Perjuangan Total Brigade IV pada Perang Kemerdekaan di Keresidenan Malang karya Nur Hadi dan Sutopo, Soekardi (Nagamoto Sugiyama) bercerita: saat itu sekitar jam 04.30, mereka tengah bergerak dari Garotan menuju satu dataran tinggi bernama Arjosari. Pergerakan itu dilakukan karena berdasarkan informasi telik sandi, satu kekuatan pasukan Belanda tengah menuju kawasan yang sama, namun mereka bergerak dari arah Margosari yang berlawanan dengan posisi pasukan PGI. Versi lain menyatakan bahwa sejatinya pergerakan itu juga disertai satu regu pasukan dari ALRI Pasuruan pimpinan Letnan Satu Rachmat Sumengkar. Itu dikisahkan Letnan Kolonel Angkatan Laut Satmoko Tanoyo, salah satu anggota pasukan tersebut. “Di Garotan, kami mengadakan kerjasama dengan suatu kesatuan eks tentara Jepang, karena mereka sudah lama beroperasi di sana dan telah memiliki pangkalan sendiri,” demikian tulis Satmoko dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid V. Gabungan pasukan PGI dan Angkatan Laut Pasuruan lantas bergerak cepat lewat suatu jurang besar. Mereka berharap bisa mendahului pasukan musuh dan membuat posisi stelling di bukit yang berada di Arjosari. Namun saat akan melakukan pendakian, tiba-tiba terdengar teriakan seorang prajurit PGI dalam bahasa Jepang. “Ada musuuuhhh!!!” Dan memang, Soekardi melihat sekitar 20 meter di depan, sekitar satu kompi pasukan Belanda tengah bergerak sambil menyebar ke arah mereka. Maka dua pasukan yang bermusuhan itu lalu sama-sama kaget dan sejenak saling terdiam. Namun mereka cepat sadar dan beberapa detik kemudian keluarlah tembakan-tembakan gencar. “Tembakan dibuka oleh senapan mesin yang saya dan Umar (Tatsuji Maekawa) sedang pegang,” kenang Soekardi. Pertempuran jarak dekat berlangsung seru. Sementara pasukan Belanda tertahan namun tidak lama, karena tembakan dari arah kubu PGI semakin berkurang menyusul semakin minimnya amunisi dan tibanya bantuan musuh berupa sebuah pesawat terbang. Mayor Abdul Rachman lantas memerintahkan pasukannya untuk mundur ke suatu jurang di sebelah timur desa. Saat bergerak mundur itulah, sebutir peluru menembus kepala Mayor Abdul Rachman sehingga membuatnya tewas seketika. Mengetahui komandannya gugur, Abdul Majid (Goro Yamano) sempat bingung. Untuk menyelamatkan tubuh Mayor Abdul Rachman, ia kemudian memerintahkan dua kawannya menjalankan proses evakuasi secara cepat. Ia sendiri kemudian maju ke depan sambil melemparkan satu bom anti tank. Usai ledakan, Yamano melihat sekeliling dan tidak mendapatkan seorang pun di sekitarnya. Ia berpikir, semua anggota PGI sudah mundur, termasuk dua orang prajurit yang ia tugaskan membawa jasad Mayor Abdul Rachman. Karena itu, tanpa banyak pertimbangan, ia pun mengundurkan diri dan berusaha mendaki jurang ke arah seberang tempat pengunduran. Namun di sana pun, ia tidak menemukan kawan-kawannya. Sementara itu, pasukan PGI meneruskan perjalanan melampaui dua jurang sebelah timur untuk menjauhi musuh sehingga sampai di kampung Sumberagung. Di sana, mereka lantas beristirahat melepaskan lelah. Selang beberapa waktu kemudian, tiga orang pasukan bagian karaben tiba dalam keadaan sangat payah. Mereka datang tanpa Mayor Abdul Rachman dan Yamano serta dua prajurit lainnya. Kabar tentang komandan mereka baru jelas sekitar pukul 13.30 saat Abdul Majid datang dari jurusan Dampit. Ia menyatakan bahwa taichou sudah gugur dan kemungkinan jasadnya tertinggal di tempat pertempuran. * Tiga hari kemudian, Soekardi, Saleh (Isamu Hirouka) dan Subejo (Genji Hayashi) serta Satmoko dan Letnan Rachmat Sumengkar dari ALRI Pasuruan bergerak kembali ke Arjosari. Di sana, mereka menemui kepala desa setempat. Tanpa diminta, kepala desa memimpin 15 penduduk untuk ikut melakukan pencarian. Saat menuju lokasi, mereka menceritakan kepada keempat pejuang tersebut bahwa setelah pertempuran usai di Arjosari, sebuah pesawat terbang Belanda datang dan menembaki rumah-rumah. Banyak rakyat yang tewas dan luka-luka akibat serangan tersebut. Sampai di bekas lokasi pertempuran, mereka semua menyebar. Sulit juga untuk segera menemukan jasad Mayor Abdul Rachman. Hingga menjelang siang, Subejo tiba-tiba berlari dan berteriak bahwa ia melihat jasad komandannya di bawah jurang sebelah timur. Situasi wilayah itu sukar dijangkau pandangan mata dengan jelas karena merupakan jurang dalam yang sekelilingnya terdapat sebidang kecil padang rumput. Jasad Abdul Rahman tersandar tepat di bawah sebatang pohon besar. Sebuah lubang peluru menghiasai mata kanannya, bagian atas telinga kiri dan bahu kirinya. “Dua prajurit yang diperintahkan Yamano membawa mundur komandan tidak pernah ditemukan lagi. Bisa jadi mereka tertangkap atau dieksekusi di tempat lain,” ungkap Soekardi. Setelah berdoa, Soekardi lantas menggunting beberapa helai rambut di kepala komandannya lalu disimpan dalam sebuah amplop. Karena kondisi jasad sudah mulai rusak, maka diputuskan untuk memakamkan jasad Mayor Abdul Rachman di jurang itu. Pemakaman dilakukan secara Islam dan selesai jam 15.00. Karena tidak sempat membuat batu nisan, sebuah bambu besar ditancapkan di atas pusara. Saleh kemudian membubuhinya dengan pensil berwarna merah: Mayor Abdul Rachman Tatsuo Ichiki. Umur: 43 tahun, gugur tanggal 3-1-1949, pukul 07.30 pertempuran Arjosari, Sumberputih, wajak, Malang. Seorang samurai telah menggenapi janjinya: mati sebagai seorang petarung sejati.*
- Kisah Panglima Pasukan Diponegoro dalam Perang Paderi
TAHUN 1830-an, suasana persatuan di kalangan kaum Paderi dan kaum adat mulai terasa. Antara kaum ulama dengan kaum adat mulai saling berkompromi. Kedua kubu sebelumnya terlibat perang saudara akibat perbedaan pendapat dalam proses penerimaan Islam. Kaum ulama (kaum Paderi) menginginkan penerapan ajaran Islam yang sesuai Al-Qur’an dan Hadits, sementara kaum adat merasa perlu menjaga tradisi leluhur tetap hidup. Di tengah perpecahan itu Belanda ikut campur dan membuat keadaan semakin rumit. Perlahan masyarakat sadar bahwa Belanda hanya memanfaatkan mereka untuk kepentingan kolonialisasi di Sumatera. Peperangan pun akhirnya berubah menjadi upaya mengusir pemerintah Belanda dari Tanah Minang. Kedua kelompok sepakat menghentikan perang dan bersatu menghilangkan kolonialisme dari wilayahnya. Di lain pihak, kekhawatiran mulai menyelimuti pihak Belanda. Bersatunya dua kekuatan itu memunculkan trauma jika kerugian yang mereka alami dalam Perang Jawa akan terulang di Sumatera. Maka satu-satunya jalan agar kerugian itu tidak terjadi, pihak Belanda harus mendatangkan bala bantuan dari Batavia. Di antara mereka yang dikirim ke Minangkabau terdapat satu pasukan berisi orang-orang bumiputra. Adalah Sentot Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo, pimpinan pasukan tersebut. Nama Sentot Alibasah sudah tidak asing di telinga pasukan Belanda. Dia merupakan salah satu panglima Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa. Kepiawaiannya mengorganisasi pasukan tempur begitu terkenal. “Oleh karena ia sangat pandai dalam peperangan guerilla , berani, dan gilang-gemilang dalam peperangan ia mendapat nama yang harum dan dihormati oleh kawan dan lawan,” tulis H.P. Aukus dalam Het legioen van Mangkoe Nagoro . Di akhir Perang Jawa, kegagalan demi kegagalan dialami Sentot. Dia akhirnya menyerah kepada Belanda pada 16 Oktober 1829. Sentot disebut mengambil keuntungan pribadi dalam penyerahan tersebut. Meski ada juga yang menyebut kondisi perekonomian rakyat yang terpuruk memaksa dirinya menyerah. Dia kemudian dibawa ke Batavia dan dipekerjakan dalam pasukan Belanda. Itulah sebabnya Sentot bisa berada di kubu para kolonial. Tiba di Minangkabau Sentot dan bala pasukannya tiba di Padang, Sumatera Barat pada Juni 1832. Menurut Mhd. Nur, dkk dalam Perjuangan Sultan Alam Bagagar Syah dalam Melawan Penjajah Belanda di Minangkabau Abad ke-19, Sentot diterima Residen Sumbar Letnan Kolonel Elout dan diperkenalkan kepada rakyat Minangkabau sebagai bagian dari mereka. Bagi pemerintah Belanda, pengenalan Sentot itu penting untuk memberitahukan rakyat bahwa di kubu Belanda juga ada orang-orang bumiputra. “Pendekatan tentara Belanda itu berarti bahwa banyak tentara Belanda yang beragama Islam, bahkan ibadahnya lebih taat lagi, kondisi yang sama dengan orang Minangkabau,” tulis Mhd. Nur, dkk. Beberapa waktu tinggal, Sentot semakin dekat dengan kehidupan rakyat Minangkabau. Dia sadar bahwa rakyat di sini bukanlah musuh yang harus diperangi, tetapi saudara senasib yang sedang berjuang menghilangkan kolonialsime Belanda. Teringat perjuangannya di Jawa, Sentot mulai merubah sikapnya. Dia secara diam-diam berbalik melakukan perlawanan dan membantu rakyat membangun kekuatan untuk mengusir Belanda. Sentot lalu menjalin pendekatan dengan kaum Paderi dan kaum alam. Dia seringkali melakukan pertemuan rahasia bersama Tuanku Imam Bonjol (pemimpin kaum Paderi) dan Sultan Alam Bagagar Syah (pimpinan kaum alam). Ketiganya sepakat untuk menggabungkan kekuatan dalam upaya perlawanan di dalam Perang Paderi. Sentot dan mantan pasukan Diponegoro lainnya juga telah siap melaksanakan serangan besar-besaran. Kembali Diasingkan Gerak-gerik mencurigakan dari Sentot dan Sultan Bagagar Syah mulai tercium pemerintah Belanda. Keduanya mulai tidak menjalankan tugas-tugas yang diperintahkan. Seperti ketika pemerintah Belanda menyuruh Sentot dan Bagagar Syah untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri di Balai Tengah Lintau, mereka malah mengadakan perayaan di Istana Pagaruyung bersama penghulu adat dan masyarakat. Tindakan itu membuat murka Residen Elout. Dia kemudian menulis surat ke Batavia. Isinya laporan tentang Sentot yang dicurigai akan berkhianat kepada pemerintah Belanda. Dikutip Soekanto dalam Sentot alias Alibasah Abdulmustopo Prawirodirjo , Elout tidak senang dengan pengkhianatan Sentot dan pasukannya. “Alibasah telah membuat perjanjian yang tidak saya ketahui dengan mereka, terjadinya ini sudah lama dan ia akan mengatur supaya ia dan barisannya dapat tinggal di Minangkabau. Ia telah janji kepada orang-orang ia akan tolong mereka untuk mengusir kita (orang Belanda). Yang Dipertuan dari Pagaruyung mula-mulanya tidak setuju. Dan orang-orang pada umumnya juga tidak percaya kepada Sentot dan barisannya. Akan tetapi Sentot dapat membawa hati mereka supaya mengambil pihaknya jadi tak memihak kita (Belanda),” tulis Elout seperti dikutip Soekanto. Setelah menerima surat itu, pemerintah pusat akhirnya mengeluarkan surat pemindahan Sentot dari Minangkabau. Pada 2 Maret 1833, Sentot diminta kembali ke Jawa dengan dalih membantu memulihkan keadaan di sana. Setelah sampai di Batavia, kata Mhd. Nur, Sentot ditahan dan dicap sebagai pengkhianat. Dia lalu dipindahkan ke Bengkulu pada Agustus 1833 untuk menjalani masa pembuangan dan dipisahkan dari bala pasukannya. Kepergian Sentot menjadi pukulan bagi rakyat Minangkabau. Berkurangnya kekuatan tempur dikhawatirkan akan mempengaruhi jalannya perlawanan. Tetapi rupanya semangat rakyat Minang untuk melawan tidak berkurang sedikitpun. Di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol dan Sultan Alam Bagagar Syah perjuangan terus berlangsung hingga berakhirnya perang pada 1838. “Pengalamannya bersama Sentot Ali Basya Prawirodirjo semakin meyakinkan dirinya untuk mengusir Belanda. Tiga kekuatan yang telah dibentuk di Minangkabau untuk menentang penjajah Belanda telah terorganisir dengan baik, walaupun Sentot telah diasingkan,” tulis Mhd. Nur, dkk. Sentot sendiri tak pernah bisa lepas dari kungkungan Belanda. Pada 17 April 1855, dia meninggal sebagai orang buangan di Bengkulu.*
- Gedoran Corregidor
PERASAAN Letjen Masaharu Homma membuncah. Malam itu, 6 Mei 1942, ia sudah ditunggu tamu “istimewa” di teras sebuah rumah bertembok putih di pesisir Bataan, Filipina. Namun Panglima Tentara Angkatan Darat (AD) ke-14 Jepang itu mesti menjaga sikapnya sebagai pihak pemenang. Homma sengaja membuat tamunya, Letjen Jonathan Mayhew Wainwright IV, komandan pasukan Amerika Serikat di Filipina (USFIP), menunggu dengan cemas sedari pukul 4 hingga pukul 6 petang. Walau Wainwright sudah menyiarkan menyerahnya pasukan gabungan Amerika dan Filipina pada siangnya, serdadu Jepang belum berhenti bermanuver. Sejak memulai invasi ke Corregidor, sebuah pulau benteng yang jadi kubu pertahanan terakhir Amerika di Filipina, pada dini hari 5 Mei 1942, sedikit demi sedikit tentara Jepang menerabas perimeter-perimeter pertahanan. Walau sudah mendengar siaran menyerahnya Wainwright pada pukul 11 siang 6 Mei 1942, Homma belum berniat menghentikan laju pasukannya yang nyaris mencapai markas bawah tanah Wainwright di Bukit Malinta, Pulau Corregidor atau dalam catatan resmi Amerika bernama Fort Mills. “Akhirnya setelah menunggu sejam lagi (pukul 7 malam) Homma tiba dengan sedan Cadillac-nya yang mengkilap. Tampak medali-medali memenuhi bagian dada di seragamnya, ditambah sebilah pedang dengan ukiran cantik, lantas diikuti tiga ajudannya,” ungkap Bill Sloan dalam Undefeated: America’s Heroic Fight for Bataan and Corregidor. Homma memilih tak memandang jenderal ceking berkacamata yang berdiri menyambutnya di teras rumah itu. Dengan langkah congkak, Homma lugas menuju kursi di ujung meja yang sudah disiapkan untuknya. Sorot mata tanpa ekspresinya sontak bikin lawannya di seberang meja kian merasa inferior. Ia baru melirik ke arah Wainwright ketika menerima “operan” berkas penyerahan dari Wainwright. “Jenderal Homma menjawab bahwa pihaknya tidak akan menerima kapitulasi ini jika tidak mencakup semua pasukan Amerika dan Filipina di seantero Kepulauan Filipina,” cetus sang penerjemah menyambungkan lidah Homma. Letjen Masaharu Homma (kiri) & Jenderal Wainwright kala menyiarkan kapitulasi Amerika di Filipina (Foto: Repro "Hijima haken-gun: Philippine Expeditionary Force") Sang lawan sempat balik berargumen, ia bersedia menyatakan penyerahan di empat pulau benteng semata (Fort Mills/Corregidor, Fort Hughes/Pulau Caballo, Fort Drum/El Fraile, dan Fort Frank/Carabao). Homma enggan kalah argumen. Dengan nada mengancam, Homma memberitahu Wainwright bahwa pasukannya sudah sampai di sisi timur akses markasnya di Bukit Malinta. “Tembak-menembak akan terus berlanjut kecuali syarat penyerahan Jepang diterima,” kata Homma tegas sambil meninggikan nada suaranya kepada Wainwright. Dengan berat hati, Wainwright membuat dokumen kapitulasi baru dan diteken sesuai permintaan Homma. Air mata Wainwright mengucur deras mengiringi kejatuhan resmi Filipina ke tangan Jepang sekaligus mengakhiri kampanye invasi Filipina-nya Jepang sejak 8 Desember 1941 dengan gilang-gemilang. Corregidor Benteng Terakhir Kejatuhan Corregidor sudah jadi keniscayaan mengingat pada 9 April pertahanan kuat Amerika dan Tentara Persemakmuran Filipina di Bataan ambruk. Bahkan panglima tertinggi pasukan Amerika di Filipina Jenderal Douglas MacArthur sudah lebih dulu kabur dari Corregidor pada Maret 1942. Bataan pun jatuh ke tangan Jepang berkat kegemilangan Homma. Kendati begitu, para atasannya di Tokyo masih mendesaknya untuk menghabisi sisa-sisa kekuatan Amerika di Corregidor sebelum bisa menguasai ibukota Manila secara penuh demi mendirikan negara boneka. Homma mulanya meyakini bahwa hanya dengan serangan-serangan udara dari Bataanlah pertahanan Amerika di Corregidor mau menyerah. Pasalnya, Homma juga mesti “mengistirahatkan” pasukannya yang menerima perlawanan sengit dalam Pertempuran Bataan (7 Januari-9 April 1942). Tetapi Tokyo tetap menghendaki Corregidor, yang dijuluki “Gibraltar dari Timur”, tetap harus digedor dan direbut dari darat. Pasukan artileri gabungan Amerika dan Filipina di salah satu baterai pertahanan Corregidor (Foto: Repro "The Fall of the Philippines") Menukil Louis Morton dalam The Fall of the Philippines , saat itu Corregidor diperkuat sekira 13 ribu prajurit gabungan Marinir, Angkatan Darat, dan Angkatan Laut Amerika, serta dua resimen artileri pantai pasukan Persemakmuran Filipina. Wainwright juga memanfaatkan jalur-jalur terowongan bawah tanah yang saling berhubungan dengan pusat di markasnya terowongan Bukit Malinta. Pertahanan utamanya digantungkan pada keandalan 56 meriam pantai, mulai dari meriam tiga inci hingga 12 inci yang disebar menjadi 23 baterai, ditambah 13 meriam anti-udara yang kesemuanya mengarah ke Bataan, mengingat kubu itu sudah direbut Jepang sejak 9 April 1942. Yang jadi kepusingan Wainwright adalah soal suplai makanan dan obat-obatan. Udara sudah dikuasai Jepang dengan ratusan pesawatnya dari Brigade Udara ke-22 yang setiap hari melayang-layang di atas Corregidor. Kadang mereka menjatuhkan bom, kadang menjatuhkan tumpukan selebaran bujukan penyerahan diri. Ransum air untuk minum sampai dibatasi sekali dalam dua hari per prajurit. Pasukan Jepang mendarat dalam dua gelombang ke pantai-pantai Corregidor (Foto: malacanang.gov.ph ) Sementara di pihak Jepang, Homma mulai mengonsolidasikan pasukannya lagi di Bataan. Selain mengerahkan pasukan kepercayaannya, AD ke-14, Homma juga mendapat tambahan pasukan segar: Divisi Infantri ke-4 dan Resimen Tank ke-7 dengan total 75 ribu personil. Sudah dari jauh-jauh hari Wainwright mengingatkan pada dua jenderal lapangannya, George F. Moore dan Samuel L. Howard, untuk menyiagakan pasukannya setiap waktu, utamanya di malam hari. Pasalnya Wainwright meyakini Jepang bakal berusaha mendarat memanfaatkan keadaan gelap gulita walau hari-H belum diketahui. Benar saja, pada kegelapan 5 Mei 1942 sekira pukul 11.30 malam, dari arah laut sejumlah kapal pendarat Jepang melipir dan menumpahkan ratusan serdadu gelombang pertama dari Divisi Infantri ke-4 ke pesisir North Point di timur Corregidor. Dimulailah gedoran yang diikuti pertempuran sengit berebut benteng terkuat terakhir Amerika di Filipina itu. “Gelombang pertama itu berkekuatan 800 serdadu dan mendapat perlawanan sengit dari pasukan Resimen ke-4 Marinir Amerika di North Point. Itu jadi serangan pertama ke arah timur, sementara pada paginya, bakal diterjunkan 2.300 prajurit lain mengarah ke sisi barat Corregidor di bawah komando Jenderal (Kuneo) Taniguchi,” sambung Sloan. Manuver pasukan Jepang yang menerobos perimeter-perimeter pertahanan Corregidor (Foto: malacanang.gov.ph ) Pasukan gabungan Amerika dan Filipina terpaksa mundur teratur, baik di kubu pertahanan North Point maupun Cavalry Point. Meski meriam-meriam dan mortir Amerika terus menyalak hingga menjatuhkan korban tak sedikit di pihak Jepang, laju pihak agresor tak terbendung. Pertempuran paling alot terjadi saat pasukan Amerika dan Filipina mundur dan mengonsolidasikan diri di Baterai Denver. Sekira dua ribu serdadu Jepang menerjang lawan yang hanya tinggal berkekuatan 500 serdadu Marinir, kelasi AL Amerika, dan sisa-sisa pasukan artileri Filipina pada pukul 4.30 pagi. Segala macam senjata dan pertarungan turut bermain. Bahkan, tak jarang terjadi pertarungan jarak dekat memanfaatkan popor senapan atau bayonet. Namun perlawanan Amerika-Filipina akhirnya runtuh juga setelah tank-tank Jepang berdatangan sekira pukul 9.30 pagi. Pasukan Amerika-Filipina yang tersisa harus mundur lagi tepat di perbatasan timur akses menuju Bukit Malinta yang jadi markas Wainwright. Pasukan Jepang menurunkan bendera Amerika untuk diganti bendera "Hinomaru" di Corregidor (Foto: malacanang.gov.ph ) Merasa sudah kalah, sang jenderal mengirim siaran radio kepada Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt, bahwa keadaan memaksanya untuk menyerah ketimbang menumpahkan lebih banyak darah prajuritnya. “Dengan hati yang hancur dan kepala tertunduk dalam kesedihan, saya melaporkan pada Anda, Yang Mulia, bahwa harus mengatur syarat penyerahan pulau benteng di Teluk Manila ini,” ungkap Wainwright dalam siarannya pada pukul 10.30, dikutip Sloan. Bendera-bendera Amerika yang tersisa terpaksa dibakar agar tak jatuh ke tangan serdadu Jepang yang bakal menjadikannya souvenir kebanggaan. Ia lantas memerintahkan beberapa prajuritnya membuat bendera putih dari sprei-sprei di barak prajurit untuk kemudian dibawa seiring menyerahkan pesan gencatan senjata sebelum kapitulasi resmi di hadapan Jenderal Homma. Pertempuran itu memakan korban masing-masing 800 jiwa di pihak Amerika-Filipina dan 900 di pihak Jepang.
- Metamorfosis Hadrah Kuntulan
DI sebuah panggung, dengan latar mirip gapura besar, sembilan lelaki berdiri berjajar sembari membawa rebana. Dalam hitungan detik, mereka menepuk rebana dengan tertib. Di sisi lainnya, ada pula iringan alat musik tambahan seperti tambur. Duduk di bagian ini pula penyanyi perempuan dan lelaki. Kurang dari setengah menit, muncul dari belakang panggung tujuh penari perempuan. Mereka mengenakan baju seragam dominan putih, omprok (mahkota) yang sudah dimodifikasi menjadi satu dengan jilbab, sarung tangan, dan kaos kaki. Para penari membawakan tari rodat sembari melantunkan bait-bait pujian Islami. Mereka unjuk gigi dalam acara Festival Kuntulan Caruk yang digelar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi di Taman Blambangan pada Oktober 2019. Festival ini diikuti puluhan grup kuntulan tingkat SLTA se-Banyuwangi. Gema syair-syair islami, rancak tabuh hadrah, dan aksi para penari menimbulkan decak kagum ratusan penonton yang hadir. “Semoga ini bisa menjadi panggung bagi anak-anak muda untuk ambil bagian dalam pelestarian budaya lokal. Kami berharap agar anak-anak Banyuwangi tetap mencintai budaya daerahnya di tengah gempuran budaya asing yang kian kuat,” kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas . Sejak tahun lalu Festival Kuntulan Caruk telah masuk dalam agenda resmi Banyuwangi Festival (B-Fest). Ini sebagai upaya Pemkab Banyuwangi untuk terus merawat dan melestarikan tradisi Banyuwangi. Tumbuh dari Pesantren Kemunculan kuntulan tak bisa dilepaskan dari perkembangan agama Islam di Blambangan, nama lama Banyuwangi. Ia merupakan perkembangan dari hadrah atau terbangan , aktivitas seni yang tumbuh di kalangan pesantren dalam rangka dakwah. Bentuknya berupa selawatan yang bersumber dari kitab al-Barzanjiy yang berisikan kisah perjalanan Rasulullah, pujian-pujian kepadanya, dan doa-doa. Kesenian hadrah sudah dikenal lama dalam masyarakat Islam di Indonesia. Belum jelas kapan hadrah dikenal di Banyuwangi. Namun John Scholte dalam “Gandroeng van Banjoewangi” (1927) sudah menyebut keberadaan sebuah kesenian bernama “ajrah”, yakni seni dakwah yang menyajikan nyanyian Islami. Menariknya, ajrah disebut mempengaruhi lagu-lagu dalam kesenian gandrung. Banyak pemerhati seni meyakini ajrah yang dimaksud Scholte adalah hadrah. Kristina Novi Susanti dalam “Kesenian Kuntulan Banyuwangi: Pengamatan Kelompok Musik Kuntulan Mangun Kerto”, skripsi pada Program Studi Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 2008, menyebut saat itu sudah ada kesenian islami yang menyajkan nyanyian sekaligus tarian sederhana, dengan seorang penari laki-laki yang disebut rudat . Kesenian ajrah dengan penari rudat inilah yang diangap sebagai bentuk awal dari hadrah yang tumbuh di pondok pesantren. Dalam hadrah, instrumen musik yang mengiringinya adalah rebana dan kendang. Gerakan tari, yang dibawakan laki-laki, umumnya menirukan gerakan wudhu, adzan, sholat, dan sebagainya. Pakaiannya serba putih, baik baju, sarung atau celana panjang, maupun peci atau ikat. Sayangnya, hadrah kurang berkembang dan perlahan memudar. Ia kemudian bermetamorfosis jadi kesenian hadrah kuntul atau kuntulan yang lebih menarik. Hal ini tak lepas dari kreativitas seniman Sumitro Hadi untuk kepentingan festival seni di Surabaya tahun 1977. Sumitro Hadi menggunakan penari perempuan dengan kostum berwarna kuning dan warna lain, omprok (penutup kepala) ala penari gandrung, kaos kaki dan kaos tangan. Sumitro Hadi lalu melakukan pengembangan lagi dengan menggabungkan penari laki-laki dan perempuan dalam satu sajian. Kreasi ini sempat populer hingga akhir 1980-an. “Perbedaan wujud yang mendasar yaitu, jika dalam hadrah unsur teks adalah unsur utama sajian dengan musik sebagai iringan, tetapi dalam kuntulan musik dan tarian adalah unsur utama sajian. Bahkan dapat dikatakan sajian tarian lebih dominan,” tulis Ciptono Hadi dalam “Perubahan Hadrah ke Kuntulan: Kajian Aspek Tekstual dan Kontekstual”, skripsi pada Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 2013. Pengembangan lebih lanjut dilakukan seniman Sahuni. Dia mengambil unsur musik, tari, dan tembang dalam kesenian tradisi Banyuwangi lainnya, termasuk gandrung. Pengembangan ini diberi nama kundaran ; akronim dari “kun” yang merujuk pada kuntulan dan “daran” yang berarti pengembangan. Nama baru itu populer dan bersanding dengan nama lain seperti kuntulan, kuntari (kuntulan tari), atau hadrah kuntulan. Proses perubahan itu membuat hadrah kuntulan menjadi lebih hidup dan menarik. Sajian hadrah Banyuwangi pernah tampil di TVRI Surabaya pada 28 Januari 1985. Munsief KH dalam “Diperlukan Kreativitas dalam Seni Hadrah”, dimuat majalah Amalbhakti , mengapresiasi kesenian ini. Menurutnya, “jika kita tonton sepintas nampak adanya suatu upaya untuk mendinamisir pola seni hadrah sesuai dengan tuntutan zaman.” Selain itu, jika dibandingkan pola seni hadrah di Surabaya dan sekitarnya, “nampak hadrah dari Banyuwangi lebih dinamis dan beraneka gerak dan langgamnya.” Festival Kuntulan di Taman Blambangan tahun 2016. (Twitter @infobwi). Pesan Islam Selain penyajian secara sendiri, berkembang pula kuntulan caruk – caruk dalam bahasa Osing berarti pertemuan atau bertemu. Dua kelompok kuntulan dihadirkan dalam satu pementasan untuk berkompetisi. Penilaian ditentukan penonton. Akibatnya saling dukung kerap menimbulkan ketegangan. “Pada dekade 1980 hingga 1990-an, Kuntulan caruk merupakan pertunjukan yang selalu menghadirkan suasana ketegangan pertunjukan,” tulis Karsono dalam “Seni Kuntulan Banyuwangi: Keberlanjutan dan Perubahannya”, dimuat jurnal Ikadbudi , Oktober 2014 . Saat ini ketegangan suasana pertunjukan dalam Kuntulan Caruk sudah jarang ditemui. Hingga kini, kuntulan caruk menjadi pertunjukan yang menarik penonton. Setiap tahun digelar Festival Kuntulan Caruk yang mempertemukan berbagai kelompok musik Islami dari seluruh Banyuwangi. Islam yang Santun Di Banyuwangi, pertunjukan kuntulan biasanya tampil pada acara-acara perkawinan, bersih desa, hingga peringatan hari besar keagamaan. Dalam pementasan kuntulan, terdapat sembilan pemain terbang yang terbagi dalam tiga kelompok dan repertoarnya mencakup nyanyian bernapaskan Islam ( qasidah ), lagu-lagu dalam bahasa Osing, dan terkadang lagu pop yang tengah populer. Sejumlah upaya dilakukan Pemkab Banyuwangi untuk merawat kesenian ini. Pada 2011, misalnya, Pemkab Banyuwangi menggelar pagelaran terbangan yang berkolaborasi dengan hadrah kuntulan yang dilakukan 232 orang. Pagelaran ini meraih rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai “Pementasan Terbangan dengan Peserta Terbanyak”. Hadrah kuntulan khas Banyuwangi pun tetap bertahan. Bahkan mengharumkan nama Banyuwangi. Di pentas nasional, kuntulan pernah juara lomba festival di Masjid Istiqlal Jakarta. Kuntulan juga kerap tampil di luar negeri. Awal tahun 2019, 20 seniman muda Banyuwangi tampil membawakan hadrah kuntulan di Festival Janadriyah di Riyadh, Arab Saudi, festival terbesar di kawasan Timur Tengah. Daya tarik kuntulan bisa dilihat pada Festival Hadrah Pelajar Nasional yang digelar di Banyuwangi, Mei 2019. Tampil 13 mahasiswa dari 12 negara peserta program Beasiswa Seni Budaya Indonesia (BSBI). Salah satunya Irati Gutierrez Ugarte asal Bilbao, Spanyol. Dia mengatakan berlatih tari kuntulan merupakan kesempatan baginya untuk mengenal Islam di Indonesia. “Festival ini akan menjadi media untuk merajut silahturahmi dan konsolidasi antar pelajar dan santri dari seluruh nusantara. Sekaligus, lewat festival hadrah dan sholawat ini kami ingin mengirim pesan tentang budaya Islam di Indonesia yang santun, toleran, dan inklusif, dan yang tentunya cinta damai,” ujar Bupati Anas . Festival Hadrah dan Festival Kuntulan Caruk masuk dalam agenda Banyuwangi Festival. Untuk tahun ini semestinya masing-masing akan digelar 9 Mei dan 3 Oktober 2020
- Empat Penyebar Islam Pra Wali Songo
PADA abad ke-15, keberadaan agama Islam mulai kuat di Pulau Jawa. Kehadirannya sedikit demi sedikit menggerus eksistensi Hindu-Budha yang telah hadir berabad-abad lamanya. Dianggap lebih mudah diikuti ketimbang ajaran-ajaran sebelumnya, masyarakat pun berbondong-bondong mengikrarkan diri sebagai seorang muslim. Kemunculan Wali Songo (Sembilan Wali) juga turut menguatkan proses islamisasi kala itu. Para alim –seorang berilmu dalam agama Islam– itu menjadi ujung tombak dalam penyebaran ajaran Islam. Sunan Gersik, Sunan Bonang, hingga Sunan Gunung Jati, membangun daerah penyebarannya masing-masing. Mereka menjadi salah satu pembuka jalan era kerajaan Islam di Pulau Jawa. Namun sebelum masa Sembilan Wali, masyarakat di Pulau Jawa telah mengenal tokoh-tokoh penyebar Islam. Syekh Jumadil Qubro misalnya, menjadi leluhur sebagian besar Wali Songo. Di antara ulama-ulama tersebut, berikut empat tokoh yang berhasil dirangkum Historia . Syekh Datuk Kahfi Syekh Datuk Kahfi –nama lainnya Syekh Nurjati atau Syekh Idhofi– dikenal sebagai perintis penyebaran Islam di barat Pulau Jawa, khususnya wilayah Cirebon dan sekitarnya. Lahir di Semenanjung Malaka sekitar abad ke-14, Syekh Datuk Kahfi merupakan putra seorang ulama besar Malaka yakni Syekh Datuk Ahmad. Disebutkan di dalam beberapa naskah, salah satunya Naskah Purwaka Caruban Nagari , Syekh Datuk Kahfi adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Zaenal Abidin. Syekh Datuk Kahfi pernah menuntut ilmu di Makkah sekitar pertengahan abad ke-14. Dari Tanah Suci, dia pergi ke Baghdad, Irak. Di wilayah kekuasaan Persia itu, Syekh Datuk Kahfi memperdalam keilmuannya. Banyak pemikir-pemikir Muslim Persia yang turut mempengaruhi jalan dakwah Syekh Datuk Kahfi ketika berada di Jawa. Di Baghdad ini juga Syekh Datuk Kahfi menikah dengan Syarifah Halimah, adik penguasa Baghdad Syarif Sulaiman. Kedunya dikaruniai empat orang anak, yang kelak mengikuti jejak ayahnya di Cirebon. Syekh Datuk Kahfi lalu diutus oleh Raja Baghdad menyiarkan Islam ke wilayah Nusantara, yang ketika itu menjalin hubungan dagang dengan Persia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, Syekh Datuk Kahfi akhirnya sampai di Nusantara, tepatnya Pulau Jawa. Menurut sejarawan Uka Tjandrasasmita dalam Arekologi Islam Nusantara , Syekh Datuk Kahfi dan rombongannya tiba di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon pada 1420. Dia diketahui membawa serta 20 laki-laki, dan dua perempuan dalam perjalanan dakwahnya ini. Syekh Datuk Kahfi langsung diterima baik oleh Juru Labuhan Ki Gedeng Jumajanjati (sumber lain menyebut Ki Gedeng Tapa). Dia diberi tempat bermukim di Giri Amparan Jati. “Mereka diterima dengan baik, diberikan tempat, dan dimuliakan oleh Ki Gedeng Jumajanjati,” tulis Uka Tjandrasasmita. Di Amparan Jati, Syekh Datuk Kahfi giat berdakwah. Dia mengenalkan tentang agama Islam di sekitar masyarakat yang masih menganut ajaran Hindu-Budha. Banyak orang dari berbagai daerah yang kemudian berdatangan untuk belajar tentang Islam. Namun jalan dakwahnya ini tidak selalu mulus. Syekh Datuk Kahfi banyak mendapat tantangan, terutama dari Kerajaan Galuh sebagai penguasa Cirebon kala itu. Syekh Datuk Kahfi diketahui menjadi guru bagi putra-putri Raja Sunda Prabu Siliwangi, yakni Raden Walasungsang dan Nyai Rara Santang. Keduanya memilih memeluk Islam setelah memperdalam tentang ajaran tersebut di bawah asuhan Syekh Datuk Kahfi. Raden Walasungsang (bergelar Syekh Duliman) lalu mendirikan tempat dakwah lain di Caruban Larang, tempat berdirinya Kesultanan Cirebon. Walasungsang membantu Syekh Datuk Kahfi dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, dan wilayah lainnya. Syekh Maulana Akbar Ulama lain yang menyebarkan ajaran Islam di barat pulau Jawa adalah Syekh Maulana Akbar –nama lainnya Syekh Bayanullah. Adik Syekh Datuk Kahfi ini banyak melakukan dakwah di wilayah Kuningan, Jawa Barat. Tercatat di dalam Naskah Pangeran Wangsakerta , Syekh Maulana Akbar adalah putra dari Syekh Datuk Ahmad, dan cucu Syekh Datuk Isa. Keduanya dikenal sebagai ulama besar Malaka. Syekh Maulana Akbar datang ke Jawa setelah Syekh Datuk Kahfi membangun pusat dakwah di Amparan Jati, Cirebon. Sama seperti kakaknya, Syekh Maulana Akbar juga lahir di Malaka sekitar abad ke-14. Menurut cerita di dalam Naskah Pangeran Wangsakerta , dia menimba ilmu di Makkah sejak usia remaja. Diketahui, Syekh Maulana Akbar lebih dahulu tinggal di Makkah ketimbang Syekh Datuk Kahfi. Di sana dia mendirikan pondok, dan dikenal masyarakat sebagai guru agama sekaligus saudagar. Menurut Bambang Irianto dan Siti Fatimah dalam Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi): Perintis Dakwah dan Pendidikan, kedatangan Syekh Maulana Akbar di Kuningan bermula dari kunjungan murid Syekh Datuk Kahfi, Walasungsang dan Rara Santang ke Makkah. Dari interaksi itu, dan berbagai cerita yang disampaikan Walasungsang terkait situasi di Nusantara, Syekh Maulana Akbar mulai memiliki keinginan untuk berdakwah ke Jawa, mengikuti jejak kakaknya. Syekh Maulana Akbar juga sempat pergi ke Persia. Sehingga banyak orang yang mengira kalau Syekh Maulana Akbar berasal dari Persia. Syekh Maulana Akabr tiba di Kuningan sekitar tahun 1450. Dia sempat tinggal di Cirebon bersama Syekh Datuk Kahfi. Kemudian memutuskan membangun lingkungan dakwahnya sendiri di Kuningan. Syekh Maulana Akbar mendirikan pondok di Desa Sidapurna, Kuningan. Diceritakan sejarawan Edi S. Ekadjati dalam Sejarah Kuningan: Dari Masa Prasejarah hingga Terbentuknya Kabupaten , Syekh Maulana Akbar menikah dengan Nyi Wandasari, cucu Raja Sunda Prabu Dewa Niskala di Kawali. Dari pernikahan itu lahir seorang putra berama Maulana Arifin. Putranya inilah yang nantinya menggantikan peran Syekh Maulana Akbar dalam menyiarkan Islam di Kuningan setelah dirinya wafat. “… Penduduk setempat mulai banyak masuk Islam atas upaya Syekh Maulana Akbar,” kata Ekadjati. Syekh Jumadil Qubro Syekh Jumadil Qubro dikenal sebagai guru para Wali di Tanah Jawa. Keturunannya kelak banyak yang memangku gelar Wali Songo (sembilan wali), sebagai para pendakwah Islam di Pulau Jawa. Dalam Atlas Wali Songo disebutkan bahwa Syekh Jumadil Qubro merupakan ayah dari Sunan Gresik; kakek dari Sunan Ampel; dan kakek buyut dari Sunan Bonang, dan Sunan Drajat. Syekh Jumadil Qubro lahir di sebuah desa di Samarkhand, Uzbekistan pada pertengahan abad ke-14. Syekh Jumadil Qubro terlahir dengan nama Syekh Jamaluddin al-Husain al-Akbar. Sejak kecil, dia telah mendapat pendidikan agama Islam yang baik dari ayahnya Sayyid Zainul Khusen. Beranjak dewasa, Syekh Jumadil Qubro pergi ke India untuk belajar Tasawwuf dan ilmu agama lainnya. Kemudian Syekh Jumadil Qubro melanjutkan pencarian ilmunya ke Makkah. Berbagai ilmu keislaman diterimanya dari sejumlah ulama besar Makkah dan Madinah. Dalam buku Sejarah Islam Nusantara , Syekh Jumadil Qubro menikah dengan seorang putri dari Uzbekistan dan dikaruniai tiga putra: Maulana Malik Ibrahim, Ibrahim Asmaraqandi, dan Maulana Ishaq. Selain dikenal sebagai pendakwah, Syekh Jumadil Qubro juga seorang saudagar. Ketika sedang berada di Champa, dia berhasil mengislamkan penguasa di wilayah yang sangat kental dengan ajaran Hindu-Budha tersebut. Di sana, Syekh Jumadil Qubro menikahkan Ibrahim Asmaraqandi dengan putri Raja Champa Dewi Candrawulan. Perjalanan lalu berlanjut ke wilayah Samudera Pasai di Aceh. Syekh Jumadil Qubro didampingi oleh putra-putranya saat berdakwah dan berdagang di Nusantara. Syekh Jumadil Qubro tiba di Jawa pada 1399. Dia langsung dihadapi dengan situasi politik kerajaan Majapahit. Ajaran Hindu Budha saat itu pun masih sangat kuat di wilayah Jawa. Untuk beberapa waktu, Syekh Jumadil Qubro melakukan pengenalan ajaran Islam secara perlahan, dan sembunyi-sembunyi. Dia mengalami berbagai kesulitan dalam upaya Islamisasi tersebut, mengingat pengaruh Majapahit. “Kegiatan dakwah secara terang-terangan tidak memungkinkan beliau lakukan, karena hal tersebut tentu akan mengundang kemurkaan kerajaan,” tulis Cholil Nasiruddin dalam Punjer Wali Songo: Sejarah Sayyid Jumadil Kubro . Meski begitu, banyak orang, termasuk kalangan bangsawan, yang akhirnya memilih memeluk Islam dan menjadi murid Syekh Jumadil Qubro. Perlahan upaya Islamisasi di sekitar kekuasaan Majapahit semakin kuat. Banyak masyarakat yang meninggalkan ajaran Hindu-Budha, sehingga pengikut Syekh Jumadil Qubro semakin besar. Pada masa ini juga mulai bermunculan ulama-ulama lain yang melakukan dakwah ke seluruh penjuru Jawa. Syekh Quro Ulama lain yang memberi pengaruh besar kepada penyebaran Islam di Pulau Jawa adalah Syekh Quro –nama lainnya Syekh Mursyahadatillah, atau Syekh Hasanuddin. Syekh Quro berasal dari Champa, putra seorang ulama besar bernama Syekh Yusuf Siddik. Dia mendapat pengetahuan Islam dari ulama-ulama besar Makkah. Peneliti Atja dalam Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari , menyebut jika Syekh Quro pergi ke Nusantara dalam perjalanan dakwahnya. Dia ikut di dalam rombongan orang-orang Cina yang datang ke Champa. Syekh Quro sempat mengajar keislaman di Kesultanan Malaka pada permulaan abad ke-15. Dari sanalah dia melanjutkan dakwahnya ke Pulau Jawa. Menurut Uka Tjandrasasmita, daerah pertama yang disinggahi Syekh Quro adalah Pelabuhan Cirebon, di wilayah Kerajaan Galuh-Sunda. Kedatangannya pada 1418 itu disambut Syahbandar Muara Jati Ki Gedeng Tapa. Di sana, Syekh Quro melanjutkan syiar agamanya. Banyak masyarakat di sekitar pelabuhan yang akhirnya memeluk Islam setelah menerima ajaran Syekh Quro, termasuk Ki Gedeng Tapa sendiri. Syekh Quro tidak lama tinggal di Cirebon. Halangan dari para penguasa membuat dia terpaksa pergi dan melanjutkan dakwahnya di Karawang. Di tempat baru ini, Syekh Quro membangun sebuah pondok sebagai tempat dakwah dan penyiaran agama Islam. Diketahui, Syekh Quro memiliki suara yang merdu ketika membaca Al-Qur’an. Hal itu menjadi daya tarik yang membuat banyak orang tertarik mempelajari Islam. Melalui penelitian Ading Kusdiana dalam Sejarah Pesantren: Jejak Penyebaran, dan Jaringannya di Wilayah Priangan , diketahui bahwa Ki Gedeng Tapa menyuruh putrinya Nyai Subang Larang pergi ke Kerawang guna menuntut ilmu agama di bawah asuhan Syekh Kuro. Di sinilah Nyai Subang Larang memeluk Islam dan mulai mengajarkan pengetahuan Islam kepada anak-anaknya: Raden Walasungsang dan Nyai Lara Santang. Keduanya kemudian menjadi murid Syekh Datuk Kahfi. “Ada beberapa indikasi bahwa penyebaran Islam dan kegiatan pendidikan pesantren masuk ke wilayah Priangan dari Cirebon dan dari Karawang,” tulis Ading.*
- Ideologi Juche Korea Utara
JIKA Sukarno menggagas Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, sahabatnya, Kim Il-sung juga merumuskan sendiri ideologi Korea Utara yang bernama Juche . Dan pada 1965, Juche diumumkan secara internasional di Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Jakarta. Juche atau chuch’e (bisa diartikan sebagai berdikari) merupakan ideologi resmi Korea Utara. Menjadi pandangan hidup orang Korea Utara serta digunakan sebagai identitas politik negeri itu. Gagasan politik Juche secara bertahap memasukan empat konsep yakni chuch’e , chaju , charip , dan chawi . Keempat konsep tersebut dikembangkan sejak 1950 hingga 1960-an. Konsep “ chuch’e dalam pemikiran” muncul pertama kali pada Desember 1955 dalam pidato Kim Il-sung tentang “Menghilangkan dogmatisme dan formalisme dan membangun juche [ chuch’e ] dalam kerja ideologis”. Ia menyebutkan istilah chuch’e untuk pertama kalinya dan menunjukan perlawanannya pada kebijakan Soviet yang dipimpin Nikita Khrushchev. “Ia menggunakan chuch’e sebagai konsep untuk melawan hegemoni Soviet. Dengan kata lain, benih ide chuch’e ditanam selama perpecahan Soviet-Korea Utara,” sebut Jae-Cheon Lim dalam Kim Jong Il’s Leadership of North Korea. Konsep chuch’e digunakan untuk menghilangkan budaya Soviet yang membanjiri Korea Utara sejak 1945. Juga diharapkan dapat membangkitkan kesadaran identitas nasional Korea Utara. Kim Il-sung juga memanfaatkan gagasan chuch’e untuk membersihkan lawan-lawan politiknya yang ia cap dogmatis atau kutu busuk. Pada 1956, pemerintah Korea Utara mengangkat slogan “Mari wujudkan Chuch’e !”. Rakyat Korea Utara didorong untuk tidak bergantung pada pengalaman revolusi negara lain tetapi atas dasar sejarah revolusioner Korea Utara sendiri, prinsip-prinsip Marxisme-Leninisme, dan kebijakan partai yang dikembangkan secara kreatif. “Substansi utama ‘ chuch’e dalam pemikiran’ pada saat itu adalah untuk merebut kembali Korea dan menerapkan prinsip-prinsip Marxisme-Leninisme ke realitas Korea dengan cara yang kreatif,” tulis Lim. Konsep chaju (penentuan nasib sendiri) muncul berikutnya. Konsep ini terkait dengan urusan luar negeri Korea Utara. Kim mulai menggunakan chaju dalam hubungan diplomatik setelah menghadiri peringatan 40 tahun revolusi Soviet pada Desember 1957. Prinsip-prinsipnya antara lain kesetaraan, penghormatan terhadap integritas wilayah, kemerdekaan nasional, dan non-intervensi. Kemudian dalam pidato peringatan ulang tahun ke-15 Tentara Rakyat Korea pada 1963, Kim Il-sung secara khusus berbicara tentang chaju . Ia mengatakan bahwa tanpa chaju , seorang politisi tidak dapat bekerja untuk rakyat, melainkan hanya menjilat orang lain dan menjadi tangan negara-negara besar serta menjadi konspirator dengan menjual negaranya. Elemen ketiga yakni charip (kemandirian) dalam ekonomi. Konsep ini berkaitan dengan strategi yang memprioritaskan industri militer. Menurut Kim, intervensi Krushchev dalam perekonomian Korea Utara telah mendorong perlunya charip ekonomi. Sebelumnya, pada Konferensi Partai Pertama 1958, Kim telah menyinggung bahwa charip ekonomi bertujuan untuk membangun ekonomi mandiri, di mana Korea Utara dapat mencari nafkah sendiri dan mendukung diri sendiri. “Belakangan, Kim merinci hubungan antara chaju politik dan charip ekonomi. Tanpa charip ekonomi, chaju politik tidak dapat dipertahankan –hanya keduanya yang bisa menjamin kemerdekaan nasional,” jelas Lim. Konsep terakhir yang diperkenalkan namun tak kalah penting adalah chawi (pertahanan diri) dalam pertahanan nasional. Kim mengembangkan kebijakan baru pasca pengurangan bantuan militer Soviet di awal 1960-an. Pada Oktober 1963, chawi dalam pertahanan nasional diumumkan melalui pidato upacara wisuda ketujuh Akademi Militer Kim Il-sung. Akhirnya, jelas Lim, gagasan chuch’e yang berisi empat konsep yakni chuch’e , chaju , charip dan chawi diumumkan secara internasional di Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Jakarta pada April 1965. Pada kesempatan itu, Kim Il-sung menjelaskan bahwa “mendirikan chuch’e ” adalah prinsip “pemecahan bagi semua masalah revolusi dan konstruksi sesuai dengan kondisi suatu negara dan terutama dengan upaya sendiri”. Kuliah Kim Il-sung yang disampaikan di akademi yang didirikan Partai Komunis Indonesia (PKI) itu berjudul On Socialist Construction and the South Korean Revolution in the Democratic People’s Republic of Korea. Kim Il-sung menyebut bahwa chuch’e telah ditetapkan sejak 1955 dan terus menerus diperjuangkan secara enerjik agar terwujud. Sejak itu pula, ia mengklaim telah memulai pertarungan melawan revisionisme modern yang muncul dalam kubu sosialis. “Kami telah dengan penuh semangat melakukan pekerjaan ideologis di antara para kader dan anggota partai sehingga mereka semua dapat berpikir sehubungan dengan niat partai, membuat studi mendalam tentang kebijakan partai, bekerja sesuai dengan kebijakan ini dan dengan penuh semangat berusaha untuk penerapannya,” jelas Kim Il-sung dalam kuliahnya seperti termuat dalam Juche! The Speeches and Writings of Kim Il Sung. Kim Il-sung juga berulang kali mempertegas ajakan persatuan di antara negara-negara sosialis, negara-negara yang baru merdeka serta negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk menyingkirkan imperialisme. “Perjuangan Komunis dan rakyat Indonesia yang anti-imperialis, anti-kolonialis konduktif bagi perjuangan bersama rakyat Asia. Rakyat Korea sangat menghargai ikatan dan persatuan mereka dengan Komunis Indonesia dan rakyat Indonesia, dan secara aktif mendukung perjuangan revolusioner mereka,” ujarnya. Dengan mengibarkan panji revolusi, kata Kim Il-sung, “kaum Komunis dan rakyat kedua negara kita akan setiap saat bertarung dalam persatuan yang teguh untuk kemerdekaan nasional, sosialisme, dan perdamaian, melawan kekuatan agresi imperialis yang dipimpin oleh imperialisme A.S.”*
- Liur Walet yang Sehat dan Mahal
Sarang burung walet dipercaya memiliki daya penyembuh. Menjadi primadona niaga dari Nusantara ke Tiongkok. Pernah dilarang pada masa Ketua Mao berkuasa.
- Orang Dayak Menghadapi Wabah Penyakit
PENYAKIT menular mulai muncul pada masyarakat prasejarah yang menetap, bertani, dan beternak. Sebagian besar hidup dalam permukiman permanen. Permukiman yang padat dan tak higienis menjadi sarang bagi munculnya wabah. “Sebagian besar penyakit menular, seperti campak, cacar, kolera, TBC, dan sebagainya, ditularkan dari hewan yang didomestikasi oleh umat manusia sendiri,” kata Muslimin A.R. Effendy, kepala BPCB Kalimantan dalam diskusi daring lewat aplikasi zoom tentang “Wabah Penyakit Menular dan Bencana Kemanusiaan Perspektif Sejarah dam Budaya” pada Kamis 30 April 2020. Di Indonesia, penyakit menular muncul sejak akhir masa neolitik 2.000 tahun lalu. Di Lambanapu dan Melolo, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, ditemukan rangka manusia dalam jumlah banyak dan betumpuk. “Kesimpulannya kematian dalam jumlah banyak ini diduga karena epidemi wabah penyakit yang menyerang wilayah itu,” kata Muslimin. “Dari hasil ekskavasi peneliti menemukan rangka dan temuan lain berada di lapisan yang sama, jadi diduga berasal dari periode sama.” Ekskavasi di Jembrana, Gilimanuk, tahun 1963 ditemukan wadah kubur yang sebagian besar berisi rangka anak-anak muda berusia 21–30 tahun. Diduga bukan sekadar penyakit tulang, tetapi juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan berbatu gamping. Akibatnya, banyak penyakit epidemi menyerang masyarakat Jembrana. “Rangka di Jembrana ini kesimpulannya ada pelapukan pada tulang akibat mengkonsumsi bahan makanan dan sumber air yang tak higienis. Penyakit ini berlangsung cukup lama sehingga masih ditemukan pada orang-orang dari masa berikutnya,” kata Muslimin. Memasuki masa sejarah, pada Oktober 1880, berawal dari Kalimantan Barat, kolera dan cacar menyebar ke Banjarmasin, Martapura, Amungtai, Sampit, Samarinda, dan Kutai. Banyak korban jiwa berjatuhan. Namun, wabah itu tidak menyebar di pedalaman Dayak. Menurut Muslimin karena pemimpin adat mampu melakukan isolasi dan mendata orang-orang yang masuk ke lingkungannya. Namun, isolasi itu tak bertahan lama. Muncul pula pemikiran kalau penyakit itu datang dari Tuhan, bukan ditularkan antarmanusia. “Lambat laun wabah penyakit yang diproteksi oleh tokoh-tokoh adat itu kembali mewabah di daerah itu. Akibatnya jumlah korban makin banyak. Di Kutai pada 1882, korban makin banyak,” kata Muslimin. Kolera dan cacar muncul di Muara Teweh dan Martapura pada Juni 1884. Untuk menghadapinya, pemerintah kolonial memerintahkan sekolah untuk menyusun protokol kesehatan, di antaranya membersihkan lingkungan sekolah dan rumah, membiasakan siswa minum air matang, menghindari mandi di sungai yang tercemar bakteri kolera, tak mengkonsumsi ikan di sungai tercemar, dan mandi minimal sekali. “Menariknya dalam laporan kolonial ternyata masyarakat di sana jarang mandi, jadi wabah kudis, disentri, kolera mudah menyerang,” kata Muslimin. Protokol kesehatan lain yang diterapkan adalah rajin mencuci pakaian, alat makan, dan bahan makan yang akan diolah. Mereka juga harus menghindari kontak fisik dengan orang yang sudah tertular. “Kalau dibandingkan dengan kondisi sekarang, walaupun tak selalu sama karena waktunya cukup jauh, sebetulnya masyarakat kita dulu sudah melakukan protokol kesehatan,” kata Muslimin. Hingga tahun 1910, korban meninggal dunia karena kolera dan cacar di Kutai, Banjarmasin, Amungtai, Sampit, berjumlah 1.940 orang. Sedangkan korban meninggal dunia karena cacar di seluruh Kalimantan mencapai 2.000 orang. Jumlahnya meningkat sebagaimana tercatat dalam laporan kolonial ( Kolonial Verslag ) tahun 1919. Penderita kolera di Banjarmasin berjumlah 5.191 orang dan 316 orang meninggal; Hulu Sungai (penderita 11.907 orang dan 1.131 orang meninggal); Kuala Kapuas (penderita 1.184 orang dan 75 orang meninggal); Tanah Dusun (316 orang meninggal); serta Samarinda dan sekitarnya termasuk Kutai (penderita 2.900 orang dan 212 orang meninggal). “Jadi pada 1919 saja total yang meninggal karena penyakit kolera berjumlah 2.050 orang,” kata Muslimin. “Saya belum menemukan sumber lokal yang memadai, seperti manuskrip yang bisa mendokumentasikan wabah itu.” Kolera juga menyebar ke area pertambangan batu bara di wilayah Prapatan, Berau, dan area pengeboran minyak di Balikpapan. Wabah itu mengakibatkan 85 pekerja meninggal. Wabah yang tak kunjung teratasi menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat. Pada 1910, kepala suku Dayak yang tinggal di perbatasan Dusun Tengah dan Kutai berusaha menghimpun masyarakat untuk mengadakan upacara adat berejo . Penduduk yang ikut membawa sesaji agar terbebas dari wabah. Upacara adat berejo ini diyakini dan diteruskan oleh pengikutnya. Menurut Muslimin, upacara adat itu semacam gerakan kebatinan yang mencoba mengumpulkan pengikut dan memberikan suatu mantra dan jimat agar mereka kebal penyakit. “Sebetulnya gerakan keagamaan ini dalam tataran tertentu karena ketidakmampuan mereka menjelaskan secara logika dan mencegah tersebarnya wabah, mereka lalu melakukan kontemplasi dengan membuat gerakan spiritual keagamaan,” kata Muslimin. Kearifan Lokal Masyarakat Dayak sebenarnya telah memiliki kearifan lokal dalam menghadapi wabah. Menurut Nasrullah Mappatang, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, orang Dayak memiliki pandangan kosmologis bahwa wabah datang karena keseimbangan alam rusak. Mereka percaya penyakit bisa diobati dengan ritual dan pantangan makanan dan aktivitas fisik lain. Pada 1894, orang Kayan di Borneo Tengah dan Bahau di Kalimantan Timur selain melakukan ritual juga memiliki ramuan untuk mengobati penyakit. Mereka menerapkan pantangan terhadap setiap penyakit. Ritual-ritual yang dilakukan antara lain ritual mencari penyebab penyakit ( senteau ); ritual penyembuhan ( balian bawo ) dilakukan masyarakat Dayak Benuaq dan Tunjung di Kalimantan Timur; ritual meminta perlindungan kepada para leluhur ( manggatang sahur lewu ); dan ritual bersih kampung dari pengaruh jahat akibat ulah manusia ( Amapas Lewu ). Orang Dayak Badamea, Sambas, Kalimantan Barat, melakukan ritual basaman. Doa dan ritual Parauh/Paramak dengan memasang tabit ayar dan berdoa kepada Jubata (Tuhan) agar dijauhkan dari wabah penyakit dan roh-roh jahat. Ketika wabah merebak, ada beberapa pantangan yang harus dijalani, seperti dilarang mangas (membunuh binatang dan memotong hewan ternak), ngingso (menebang pohon), bahanyi (panen), dan keluar kampung selama dua hari ( lockdown atau karantina wilayah). Selain ritual, ada perilaku pencegahan seperti pungan bengan, yaitu mengisolasi diri dari orang lain untuk mencegah penularan penyakit. Tindakan ini seperti pembatasan jarak dan isolasi mandiri. Misalnya dalam pencegahan cacar, orang Dayak di Borneo percaya cacar dapat dihindari dengan melarang orang pergi ke dataran rendah dan berada di sekitar “orang asing”. Mereka melakukan transaksi dengan cara barter bisu, lewat jarak jauh, dan menghindari dataran rendah. “Cacar dikenal sejak abad ke-16 di Asia dan muncul kembali sekira abad ke-18,” kata Nasrullah. Menurut Nasrullah, masyarakat tradisional di Kalimantan melihat penyakit lebih kepada relasi mereka dengan lingkungan dan alam. Mereka melakukan ritual karena menganggap roh jahat adalah penyebab orang terkena penyakit atau merebaknya wabah. “Makanya penyakit tidak dibunuh, tapi dikembalikan ke tempatnya. Salah satu cara pandang yang relevan sampai hari ini, yakni bagaimana relasi kerusakan habitat hidup menyebabkan lahirnya penyakit,” kata Nasrullah. Cara pandang itu, kata Nasrullah, secara simbolik menunjukkan betapa berjaraknya manusia dengan alam. Ketika alam dirusak, maka “roh” hutan atau lingkungan yang marah pun mengganggu manusia. “Jadi manusia itu selalu reflektif, kita sakit, kita diserang penyakit itu karena ada kerusakan di sekitar kita. Karena sangat menyatu manusia dengan alam,” ujar Nasrullah. Kendati begitu, karena melihat kurangnya pengetahuan tentang penyakit menular di tengah masyarakat adat, Nasrullah menilai edukasi dan sosialisasi cara-cara pencegahan dan pengendalian wabah penyakit masih dibutuhkan. “Pendekatan dialogis antara paradigma kesehatan secara tradisional dan modern,” ujarnya. Muslimin pun mengatakan, mewabahnya penyakit diakibatkan karena ada pengabaian. Seperti dalam sejarah terjadinya wabah kolera pada masa kolonial. Pemerintah Hindia Belanda mengabaikan peringatan pada 1819 ketika penyakit ini sudah menyerang Penang dan Malaka. Peringatan ini tak diindahkan karena pemerintah Hindia Belanda percaya penyakit akan dengan sendirinya mati di tengah iklim tropis di Nusantara. “Nyatanya penyakit ini menyerang semua kalangan, yang paling terdampak adalah kaum pribumi miskin, gizi di bawah standar, dan mengkonsumsi makanan tak sehat, inilah yang membuat mereka rentan terserang penyakit,” ujarnya.*






















