Hasil pencarian
9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Gurauan Sukarno untuk Kennedy dan Khrushchev
MEMASUKI dekade 1960, ketegangan Perang Dingin memuncak. Kala itu, Amerika Serikat (AS) dipimpin Presiden Kennedy sedangkan Uni Soviet oleh Nikita Khrushchev. Krisis di antara Kennedy dan Khrushchev ditandai dengan perlombaan senjata dan eksplorasi luar angkasa. Ketegangan ini membagi dunia atas dua kubu Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Uni Soviet). Di tengah persaingan AS dan Uni Soviet, Presiden Sukarno tampil membawa Indonesia sebagai negara non blok. Meski demikian, Sukarno ikut aktif menjalin persahabatan baik terhadap Kennedy maupun Khrushchev. Sukarno lebih dahulu menggaet Khrushchev dengan mengundang sang kamerad berkunjung ke Indonesia. Gayung bersambut. Pada 18 Februari 1960, Khrushchev tiba di Jakarta. Ratusan rakyat memadati lapangan udara Kemayoran menyampaikan ucapan selamat datang. Sambutan terhadap Khrushchev berlanjut ke Istana Merdeka. Untuk memukau rombongan Khruschev, Sukarno menggelar pertunjukan kesenian selama tiga setengah jam. Khrushchev dalam memoarnya Memoirs of Nikita Khrushchev: Volume 3 mengaku sungguh terpesona atas sambutan kedatangannya di Indonesia. Namun ketika acara jamuan, terjadilah insiden. Sukarno bikin ulah. Dalam pidatonya, Khrushchev merasa “dikerjai” oleh presiden Indonesia itu. “Tetapi saya tidak mau menyembunyikan, bahwa juga ada sedikit perselisihan antara saya dengan sahabat saya Bung Karno. Dan malahan perselisihan itu barangkali bisa tumbuh kalau saya diberikan tekanan terus,” ujar Khrushchev dalam pidatonya yang terhimpun dalam koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), termuat di khazanah “Pidato Presiden RI Soekarno 1958—1967, No. 165”. “Di sini banyak sekali makanan dan dipaksakan terus agar makan semua,” terang Khruschev tergelak Ternyata tekanan yang dimaksud Khrushchev adalah suguhan makanan terus menerus. Demi tamu kehormatan, rupanya Bung Karno ingin memberikan pelayanan yang terbaik. Salah satu caranya dengan menyajikan begitu banyak makanan khas Indonesia yang tidak sanggup dihabiskan rombongan Soviet. Setahun berselang, giliran Sukarno yang diundang oleh Kennedy. Pada 13 September 1961, Sukarno mendarat di pangkalan Angkatan Udara Andrews. Kennedy menyambut langsung kedatangan Sukarno lengkap dengan defile militer. Setelah itu, Kennedy dan Sukarno menuju Gedung Putih untuk mengadakan pembicaraan informal. Dalam acara ramah tamah, usai jamuan makan, Sukarno melihat bahwa Kennedy tidak didampingi sang istri, Jacqueline. Ibu negara yang akrab disapa Jackie itu memang dikenal anggun dan berparas manis. Sukarno tentu ingin bertemu sosok Jackie, sekedar berkenalan. Ketika berjalan ke serambi depan Gedung Putih, Kennedy mengantarkan Sukarno menuju mobil sambil bercakap-cakap. Saat itulah Sukarno menanyakan perihal keberadaan Jackie. Di belakang mereka ada Guntur, putra sulung Bung Karno, yang menguntit dan kemudian mencatat pembicaraan kedua presiden itu dalam memoar Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku . “John, dari tadi aku tak melihat Jackie, ke mana dia?” tanya Sukarno. “Oh ya, tadi aku lupa menyampaikan permintaan maafnya, karena dia berhalangan hadir dalam jamuan,” jawab Kennedy. “Sekarang ia ada di mana?” Sukarno penasaran. “Sedang ke luar kota untuk suatu acara, dan ini berarti bahwa di Washington malam ini ada dua orang jomblo yang berbahagia! Kau dan saya! Betul atau tidak, Mr. President?” ujar Kennedy menggoda. Sambil tersipu, Sukarno berkata, “Ho, ho, John! Kau adalah betul-betul sahabatku yang baik.”*
- Tiga Generasi Dinasti Kim
KOREA Utara, negeri yang tertutup dari pergaulan internasional pernah dilanda isu kematian pemimpin mereka, Kim Jong-un. Isu yang beredar menyebut Kim Jong-un meninggal dunia karena penyakit jantung. Kim Jong-un pun kemudian muncul dan beraktivitas seperti sedia kala. Kim Jong-un telah berkuasa selama hampir satu dekade. Ia merupakan generasi ketiga rezim keluarga Kim. Bermula dari kakeknya, Kim Il-sung yang mendirikan negara itu, kemudian ayahnya Kim Jong-il, hingga Kim Jong-un sendiri yang sebenarnya bukan putra mahkota. Bagaimana perjalanan tiga Kim bercokol di utara semenanjung Korea itu? Kim Il-sung, Presiden Abadi Kim Il-sung lahir di Desa Mangyongdae, utara Pyongyang pada 15 April 1912. Nama aslinya Kim Song-ju yang pada 1930-an diubah menjadi Kim Il-sung, mengambil nama seorang gerilyawan legendaris. Ayahnya, Kim Hyong-jik adalah seorang guru, juru tulis, dan apoteker herbal. “Tak seperti kebanyakan orang Korea, yang tunduk pada otoritas pemerintah Jepang dan melanjutkan hidup mereka, keluarga Kim melarikan diri ke wilayah Cina yang belum diduduki Jepang,” tulis Ralph Hassig and Kongdan Oh dalam The Hidden People of North Korea . Kim Il-sung muda kemudian bergabung dengan Liga Pemuda Komunis Korea dan sempat dipenjara karenanya. Ia juga putus sekolah. Ketika berusia 21 tahun, ia bergabung dengan gerilyawan Korea yang disebut Tentara Revolusi Rakyat Korea. Dari situ, ia mulai memimpin kelompok pejuang yang berjumlah lebih dari 100 orang. Pertempuran paling terkenal terjadi di Desa Pochonbo pada 4 Juni 1937. Ia dan kelompoknya menghancurkan kantor administrasi Jepang, membakar kantor polisi, sekolah dasar, dan kantor pos. Pada 1940 atau 1941, Kim Il-sung dan tentaranya mengungsi ke Rusia. Ia tinggal di sana selama sisa perang dan menikah dengan Kim Jong-suk, yang juga seorang gerilyawan. Anak pertama mereka lahir pada 16 Februari 1941 atau 1942. Setelah Jepang menyerah, pada 19 September 1945 Kim Il-sung kembali ke Pyongyang dan ditempatkan di kantor oleh militer Uni Soviet. Ketidakyakinan pada pemerintahan Uni Soviet atas Korea Utara melahirkan sebuah komite rakyat pada Februari 1956. Kim Il-sung ditunjuk untuk memimpinnya. Meski demikian, Kim Il-sung tetap didukung Uni Soviet dalam mengendalikan pasukan keamanan dan militer yang baru dibentuk. Hingga tahun 1950, ia telah menciptakan versi mini Uni Soviet di utara Semenanjung Korea itu. Kemudian, melalui serangan 25 Juni 1950, ia memulai Perang Pembebasan Tanah Air Besar atau Perang Korea untuk memperluas kontrolnya di selatan. Tahun-tahun berikutnya, Kim Il-sung mulai tampil sebagai diktator totaliter. Dengan mudah ia membersihkan lawan-lawan politiknya dan memenjarakan ratusan ribu warganya untuk pelanggaran kecil. Warga Korea Utara bisa dengan mudah diciduk hanya karena mempertanyakan kebijakan. Paul French dalam North Korea, State of Paranoia menyebut bahwa Kim Il-sung telah belajar dari masa-masa di Uni Soviet dan juga dari tradisi otokratis di Cina kuno dan Korea tentang bagaimana kekuatan budaya kepribadian dapat digunakan untuk memobilisasi massa. “Memang Soviet memainkan peran mereka dalam menciptakan legenda dan mitos di sekitar Kim ketika mereka memilihnya sebagai pemimpin pilihan mereka di Korea Utara,” jelas French. Pada 1970-an, Kim Il-sung “semi pensiun”. Anak pertamanya mulai menjalankan urusan-urusan negara hingga Kim Il-sung meninggal dunia kerena serangan jantung pada 8 Juli 1994. Pada 1998, Kim Il-sung diberi gelar Presiden Abadi. Kim Jong-il, Suksesi Pertama Kim Jong-il lahir di kamp militer Rusia dekat Khabarovsk ketika orang tuanya dan para gerilyawan mengungsi. Ketika berusia tiga tahun, ia baru dibawa ke Pyongyang. Panggilan kecilnya adalah Yura hingga kemudian ia memakai Kim Jong-il. Jong-il diambil dari nama ibu dan ayahnya untuk mempertegas garis keturunannya. Menurut Paul French, selama Perang Korea Kim Jong-il dikirim ke Manchuria untuk keselamatannya dan baru kembali ke Pyongyang pada 1953. Kim Jong-il lulus dari Universitas Kim Il-sung pada 1964 dengan gelar sarjana ekonomi politik. Ia lalu bergabung dengan Departemen Propaganda dan Agitasi Partai Pekerja Korea yang dipimpin pamannya. Kemudian pada 1967, ia menjabat kepala bagian Departemen Bimbingan Budaya dan Seni dan menjadi wakil direktur pada 1970. Karier politik Kim Jong-il menanjak dengan cepat. Ia menjadi sekretaris Partai Sentral pada 1973. Setahun setelah diangkat ke Politbiro dan berkat arahan ayahnya, ia menjadi anggota Komite Tetap Politbiro, sekretaris Komite Partai Pusat dan anggota Komite Militer Pusat. Pada 1990-an, Kim Jong-il mendapat beberapa gelar dan jabatan tinggi untuk mengkonsolidasikan kendalinya atas militer, satu-satunya institusi yang dapat menjegal suksesinya. Ia juga kemudian terpilih sebagai wakil ketua pertama Komisi Pertahanan Nasional yang diketuai ayahnya sendiri. Setelah ayahnya meninggal dunia pada 1994, Kim Jong-il menggantikan posisi orang nomor satu di Korea Utara itu. “Korea Utara selalu menjadi negara rahasia, tetapi di bawah Kim Jong-il kerahasiaannya meningkat. Tidak seperti ayahnya, yang senang bertemu orang-orang dan memberikan pidato, Kim junior menghindari mata publik dan tidak pernah memberikan pidato publik atau membuat siaran media,” sebut Hassig dan Oh. Kim Jong-un, Bukan Putra Mahkota Kim Jong-nam, putra pertama Kim Jong-il gagal menjadi penerus ayahnya. Pada 2001, ia ditahan karena melakukan perjalanan ilegal ke Jepang. Ia kemudian dideportasi dan membuat malu ayahnya. Sejak itu, ia telah kehilangan kepercayaan sebagai calon pemimpin Korea Utara. Ia lalu tinggal di Macau dan beberapa kota Asia lainnya. Dua putra Kim Jong-il lainnya dari istri ketiga yakni Kim Jong-chol dan Kim Jong-un awalnya tak banyak diketahui. Mereka menghabiskan waktu bertahun-tahun sekolah di Swis. Kim Jong-chol kemungkinan lahir pada 1981 disebut bersifat agak lembut. Sementara adiknya, Kim Jong-un, yang mungkin lahir pada 8 Januari 1982 atau 1983 dianggap lebih tangguh dan lebih mirip ayahnya. Menurut seorang koki Jepang yang sering ke Pyongyang untuk memasak di rumah keluarga Kim, Kim Jong-chol memang lebih sopan dari Kim Jong-un. Seperti dikutip Bradley Martin dalam Under The Loving Care of The Fatherly Leader , koki itu menyebut Kim Jong-un lebih gigih dari kakaknya dan ayahnya menyukai itu. “Kegigihan Kim Jong-un yang mencolok, kata koki itu, menyenangkan hati Kim Jong-il. Koki mengatakan bahwa Papa (Kim Jong-il) telah mengindikasikan dia tidak akan memilih kakak laki-laki Kim Jong-un karena dia menganggap Kim Jong-chol terlalu kekanak-kanakan,” tulis Bradley Martin. Menurut laporan intelijen Korea Selatan, pada 8 Januari 2009, Kim Jong-il mengeluarkan arahan kepada anggota partai yang menyebut Kim Jong-un sebagai penggantinya. “Pada bulan Juni, orang-orang Korea Utara mulai mendengar tentang ‘Jenderal Kim yang cemerlang’ dan mereka diajari lagu baru berjudul ‘Langkah Kaki’ yang menyebutkan Jenderal Kim,” sebut Hassig dan Oh. Pada September 2010, konferensi Partai Pekerja Korea mendapuk Kim Jong-un yang kala itu berusia 28 tahun sebagai wakil ketua Komisi Militer Pusat setelah sehari sebelumnya diangkat sebagai jenderal bintang empat. Dalam beberapa bulan setelah ayahnya meninggal dunia pada 17 Desember 2011, Kim Jong-un telah mendapatkan semua posisi kekuasaan yang diperlukan. Kemudian pada 2012, ia menjadi sekretaris pertama partai, ketua Komisi Militer Pusat, dan anggota Presidium Politbiro. Selama satu hingga dua tahun, Kim Jong-un telah menyingkirkan orang-orang ayahnya dan menggantinya dengan orang-orangnya sendiri. Banyak jenderal dipindahkan, diturunkan pangkatnya, dan dipaksa pensiun. Pamannya, yang bertahun-tahun menjadi orang terkuat kedua di negara itu dituduh tidak loyal, dipermalukan di depan publik dan dieksekusi. Kini Kim Jong-un telah berkuasa hampir satu dekade dan negara itu tetap tertutup. Setelah Kim Jong-un, adik perempuannya, Kim Yo-jong digadang-gadang akan meneruskan kekuasaan dinasti Kim.*
- Kim Il-sung Menerima Gelar Doktor Honoris Causa dari UI
Presiden Korea Utara Kim Il-sung berkunjung ke Indonesia pada April 1965 dalam rangka menghadiri peringatan dasawarsa Konferensi Asia Afrika. Presiden Sukarno mengajaknya ke Kebun Raya Bogor dan menghadiahinya bunga anggrek yang dinamai Kimilsungia. Selain itu, Sukarno juga meminta Universitas Indonesia (UI) untuk memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada Kim Il-sung dalam bidang teknik. Nizam Yunus dalam biografi Soemantri Brodjonegoro, Teguh di Jalan Lurus menyebut bahwa Sukarno intensif menganugerahkan gelar doktor kehormatan dalam rangka membina poros Jakarta–Pnom Penh–Hanoi–Peking–Pyongyang dan solidaritas Nefos (New Emerging Forces) yaitu negara-negara baru merdeka. Pada 30 Januari 1964, UI memberikan gelar doktor kehormatan kepada Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja dan pada 3 Februari 1964 kepada Jenderal Carlos P. Romulo dari Filipina. "Prosedurnya sederhana saja. Bung Karno menyampaikan perintah secara lisan, dan kemudian utusan Bung Karno yang selanjutnya berurusan dengan UI, tanpa melalui menteri pendidikan/kebudayaan," tulis Nizam. Upacara penganugerahan doktor kehormatan untuk Kim Il-sung dilangsungkan pada 15 April 1965. Penanggung jawab acara tersebut adalah Prof. Slamet Iman Santoso. Rencananya acara akan diselenggarakan di halaman UI, Jl. Salemba 4, di dekat aula. Untuk itu, UI dan aulanya harus diremajakan. "Semua pekerjaan di lapangan, sayalah mandornya. Saya lapor kepada sekretaris negara. Beliau sudah mengetahui rencana promosi, dan saya langsung dapat uang 25 juta rupiah cash , tanpa kuitansi. Semua uang dapat saya pertanggungjawabkan, kecuali Rp250.000 yang disalurkan melalui Dewan Mahasiswa,” kata Slamet Iman Santoso dalam memoarnya, Warna-warni Pengalaman Hidup. Pada awal pengerjaan, Slamet meminta kepada Resimen Tjakrabirawa, pasukan pengawal presiden, untuk terus mengikuti proses peremajaan agar persyaratan keamanan terpenuhi. Pekerjaan berjalan aman, tertib, dan lancar. Sehari sebelum promosi, pasukan Tjakrabirawa memeriksa aula dan lapangan dari pukul delapan sampai pukul sebelas, dan menyatakan keamanan terjamin. "Jadi, legalah kami!" kata Slamet. Tiba-tiba, pukul dua siang saat di rumah, Slamet menerima telepon: "Seluruh upacara harus dipindah ke Istana Presiden, sebab keamanan di Salemba 4 tidak bisa dijamin!" Akibatnya, Slamet harus mengerahkan semua karyawan UI untuk memindahkan segala persiapan ke Istana Presiden. "Kok bisa, ya, dalam beberapa jam keamanan bisa berubah seratus persen! Memang Indonesia ini ajaib sekali, serba bisa!" kata Slamet. Presiden Sukarno mengucapkan selamat kepada Presiden Korea Utara Kim Il-sung yang menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia. ( kawankorea.com ). Penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa kepada Kim Il-sung pun dilangsungkan di Istana Presiden. Dalam rangka pelaksanaan promosi, sang promovendus mengucapkan pidato. Menurut Slamet, isi pidatonya khas seorang pemimpin partai komunis. Wajah Duta Besar Amerika Serikat yang menghadiri upacara menjadi merah. Namun, ia bisa menahan diri dan tidak meninggalkan upacara promosi. "Saya rasa, promovendus adalah seorang militer-komunis, yang sama sekali tidak tahu tentang kebebasan mimbar ilmu pengetahuan dan kampus. Tahunya hanya soal partainya saja," kata Slamet. Setelah selesai acara promosi, selagi Slamet duduk bekerja, datanglah Rektor UI Soemantri Brodjonegoro, duduk di antara pegawai biro rektor, sambil tertawa-tawa. Akhirnya, Soemantri menceritakan: "Presiden Sukarno menginstruksikan kepada Pak Slamet, pada saat menggantungkan kalung di leher Presiden Kim II-sung, seharusnya tidak boleh berdiri antara promovendus dan para hadirin. Ingat? Lha, kok pada saat mengalungkan, Presiden Kim Il-sung diputar dua kali sembilan puluh derajat! Satu kali sebelum mengalungkan, lantas satu kali lagi diputar kembali setelah pengalungan selesai. Sampai Presiden Sukarno bilang sama saya, hanya seorang psikiater Slamet-lah yang berani memutar seorang presiden!" "Barulah saya menyadari perbuatan saya. Saya memang memegang pundak kanan-kiri Presiden Kim II-sung, dan saya putar beliau sebelum mengalungi, kemudian saya putar kembali beliau ke posisi semula. Pada waktu saya melaksanakannya, semua berjalan otomatis, tanpa menyadari masalah perbedaan pangkat. Pelanggaran yang terjadi itu reflektoris saja!" kata Slamet.
- Saran Para Ulama dalam Menghadapi Wabah
DUNI tengah berjuang melawan pandemi virus corona. Pemeritah Indonesia telah mengeluarkan protokol kesehatan menghadapi Covid-19. Begitu pula Majelis Ulama Indonesia pun telah mengeluarkan fatwa agar umat Islam menjaga kesehatan diri dan berperan dalam memutus penyebaran virus corona, di antaranya dengan beribadah di rumah. Dalam sejarah Islam, para ulama telah menghasilkan karya-karya tentang wabah dan cara menghadapinya. Oman Fathurahman, Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah, menjelaskan bahwa para sarjana muslim biasanya mengawali penjelasannya dengan hadis. “Kalau ada wabah di suatu daerah kamu jangan masuk ke situ, dan jangan lari dari situ karena akan menularkan. Ini kejadiannya dalam wabah amwas pada masa Sayyidina Umar,” kata Oman dalam seminar daring lewat aplikasi zoom tentang “Wabah dalam Lintasan Sejarah Umat Manusia” yang diselenggarakan Museum Nasional pada Selasa, 21 April 2020 . Memanjatkan Doa Ibnu Abi Hajalah menulis Daf’an-niqmah ketika wabah melanda Kairo pada 1362. Saat itu Maut Hitam merebak di Eropa dan Timur Tengah. Ia mengisahkan pengalamannya dalam menghadapi wabah. Michael Walters Dols, sejarawan Amerika Serikat, dalam The Black Death in the Middle East menjelaskan bahwa menurut Abi Hajalah pertahanan terbaik menghadapi wabah adalah berdoa. Salah satunya dengan memperbanyak membaca salawat nabi. "Ini menghiasi beberapa karya ulama pada masa itu (abad ke-14, red .)," kata Oman. Dols mencatat, risalah ini juga mencakup diskusi tentang tiga kepercayaan muslim terkait wabah, yaitu kematian oleh wabah adalah syahid untuk muslim yang setia, hadis mengenai seorang muslim tidak boleh masuk dan melarikan diri dari daerah yang dilanda wabah, dan bagaimana sifat wabah itu sendiri. Abi Hajalah menyebut kematian anaknya oleh wabah sebagai mati syahid. Ia menguburkannya berdekatan dengan makam seorang wali. "Sebagaimana hadis nabi, kematian sang putra, ia sebut sebagai kematian syahid," kata Oman. Ibnu Hajar al-‘Asqalani (1372-1449), ahli hadis mazhab Syafi’i yang terkemuka, juga termasuk yang memakai penjelasan teologis. Ia meyakini bahwa penyakit lahir karena kehendak Tuhan, hukuman, rahmat, atau dosa. Menurut Oman, di antara ulama-ulama yang memakai penjelasan serupa, mereka percaya penyakit menular itu tak ada. Bagi mereka, penyakit datang langsung dari Tuhan. "Al-‘Asqalani juga menulis doa supaya sehat, lalu agar bersabar dan berbaik sangka, plus di rumah saja saat ada tha’un ," kata Oman. Mencari Ketenangan Muhammad al-Manjibi al-Hambali, cendekiawan dari Suriah Utara abad ke-14, menulis kitab saat wabah merebak pada Rajab 775 H (1373). Penyebaran wabah meningkat menjelang akhir Syawal, Dzulka’dah, dan Dzulhijah, kemudian menurun pada Muharram tahun berikutnya. Kitab karya Al-Manjibi itu diterjemahkan oleh Avner Giladi, profesor sejarah Timur Tengah di University of Haifa, dalam "'The Child Was Small... Not So the Grief for Him': Sources, Structure, and Content of Al-Sakhawi's Consolation Treatise for Bereaved Parents" yang terbit di jurnal Poetics Today. Wabah itu mengakibatkan banyak rumah dikosongkan dan ribuan orang meninggal dunia. "Karena begitu banyak orang beriman yang meninggal, saya menyebut wabah ini 'wabah orang-orang saleh' ( ta’un al-akhyar )," kata Al-Manjibi. Namun, mayoritas yang tewas adalah anak-anak. "Sangat parah sehingga keluarga teman-teman kami kehilangan semua anak-anak mereka, tidak ada yang selamat," kata Al-Manjibi. Menurut Oman, Al-Manjibi menulis karya itu untuk menghibur orang yang sedang bersedih karena tertimpa wabah. Karya itu diharapkan memberikan rasa tenang kepada orang-orang yang panik. "Saya ingin menghibur supaya mereka rileks, tidak stres, maka aku karanglah kitab ini. Ini untuk menghibur mereka yang terkena wabah," kata Al-Manjibi dikutip Oman. Ibnu Khatimah, ulama sekaligus ahli medis, sejarawan, dan penyair dari Andalusia, juga menyaksikan wabah Maut Hitam merebak di Eropa. Menurutnya, ketika wabah merebak, penting untuk menjaga moral dan jiwa agar terus merasa gembira, tenang, rileks, dan penuh harapan. "Masyarakat harus mencari pendamping yang menyenangkan, pendamping yang terbaik adalah Alquran," kata Ibnu Khatimah dikutip Dols. Masyarakat yang berada di tengah wabah juga bisa mencari ketenangan lewat buku sejarah, humor, dan kisah cinta untuk mengisi pikiran. Mereka harus mengindari berbicara tentang apapun yang bisa membangkitkan kesedihan. "Intinya Anda harus ceria, harus rileks, jaga asa, di sini contohnya jangan bicara yang sedih-sedih, baca buku sejarah, humor, dan kisah cinta," kata Oman. Ibnu Khatimah juga menyarankan untuk mengurangi pergerakan supaya menghindari penularan lewat pernapasan. Mengisolasi Diri Banyak ulama dan cendekiawan muslim mendukung hadis yang melarang tidak masuk dan melarikan diri dari wilayah terkena wabah. Salah satunya Ibnu al-Khatib (1313–1375) yang lahir di Loja, Granada (sekarang masuk wilayah Spanyol). Al-Khatib banyak menulis tentang sejarah, filsafat, mistisisme, kedokteran, dan puisi. Risalahnya yang penting tentang wabah pes (Maut Hitam) berjudul Muqni’at as-sa’il ‘an marad al-ha’il. Menurut William B. Ober dan Nabil Alloush dalam "The Plague at Granada 1348–1349: Ibn Al-Akhatib and Ideas of Contagion" yang terbit dalam Bulletin of the New York Academy of Medicine , karya itu ditulis setelah tahun 1352 karena Al-Khatib juga menyebut kisah Ibnu Battutah tentang wabah di Timur Tengah. Pengelana asal Maroko itu sempat mengunjungi Granada pada 1349–1352. Al-Khatib merekomendasikan sejumlah tindakan pengobatan yang tak banyak berbeda dengan ulama lainnya. Namun yang menarik, ia menekankan adanya penularan. Penyebaran penyakit terjadi melalui kontak antarmanusia. Menurutnya orang yang kontak dengan korban wabah akan mati. Sedangkan orang yang belum terpapar akan tetap sehat. Pakaian mungkin salah satu yang bisa membawa penyakit masuk ke rumah. Bahkan anting-anting yang dipasang di telinga pun bisa berakibat fatal. "Penyakit ini bisa muncul pertama kali dalam satu rumah di kota tertentu, lalu menyebar dari sana ke tetangga, kerabat, atau pengunjung," kata Al-Khatib dikutip Ober dan Alloush. Wabah dapat merebak ke kota pantai karena seseorang yang mengidapnya datang dari seberang lautan yang wilayahnya terjangkit penyakit. "Banyak orang tetap dalam kondisi sehat jika menjaga diri mereka terisolasi dari dunia luar," kata Al-Khatib. Al-Khatib mencontohkan, seorang saleh bernama Ibnu Abi Madyan dari wilayah Salé, Maroko, percaya adanya penularan. Karenanya ia menyiapkan perbekalan, membangun rumah dengan bata, dan mengisolasi keluarga besarnya. " Kota itu sangat terdampak, tapi tak ada seorang pun dari keluarganya yang terjangkit," kata Al-Khatib. Ada banyak komunintas yang tinggal jauh dari jalan raya dan jalur perdagangan tetap sehat. "Contoh lain adalah para tahanan di Sevilla, mereka tak terdampak. Padahal kota itu sangat terpukul akibat wabah," kata Al-Khatib. Menjaga Imunitas Ibnu Khatimah menganjurkan untuk menjaga imunitas saat menghadapi wabah. Dalam karyanya, ia menjelaskan ada orang yang punya imun baik dan tidak. Oman mengatakan Ibnu Khatimah memberikan berbagai tips untuk memperkuat ketahanan tubuh. "Ulama sekaliber Ibnu Khatimah menjelaskan dari herbal. Logikanya seperti sekarang," kata Oman. Misalnya, mengolesi muka, tangan, dan tubuh dengan sitrun, kandungan dalam jeruk, atau bunga segar. Ia juga menyebutkan buah-buahan untuk diminum. "Seseorang harus menggosok wajahnya dan tangannya dengan aroma lain seperti serai, lemon, dan bunga segar seperti mawar dan violet," kata Oman. Ibnu Khatimah juga menyarankan agar banyak menghirup udara segar, tinggal di rumah yang menghadap ke utara, dan menjaga tetap terkena sinar matahari dan angin hangat. Ia juga menganjurkan agar memenuhi rumah dengan wangi-wangian, seperti membakar kayu cendana dan kayu gaharu; merendam mawar dan memercikan air mawar di rumah dan penghuninya. "Karena diyakini penyakit muncul dari tempat kotor dan bau. Campuran kayu gaharu dengan air mawar juga bisa diminum," kata Oman. Menurut Oman, kebanyakan naskah terkait wabah dihasilkan oleh para ulama yang hidup saat Maut Hitam menyergap. Wabah ini dengan dahsyat menyebar melintasi padang rumput Asia Tengah ke pantai-pantai Laut Hitam. Tak terkecuali kota-kota besar dan kecil Islam juga terdampak. "Dalam tradisi Islam, dari Alquran dan Injil dilihat secara bersama-sama, ketemu titik temunya bahwa ini wabah kemanusiaan. Sama seperti sekarang, etnis apapun, agama apapun bersama menangani wabah ini," kata Oman.*
- Curhat Soe Hok Gie Kepada Arief Budiman
TAK banyak orang tahu, sejak remaja Soe Hok Gie sempat tak pernah akur dengan Soe Hok Djin, sang kakak yang kemudian merubah namanya menjadi Arief Budiman. Menurut Arief, situasi itu terjadi cukup lama: hampir 10 tahun. Gegaranya hanya soal-soal sepele saja. “Terkait soal-soal remaja-lah, misalnya saya kesal Hok Gie kadang malas mengurus piaran-piarannya yang sebenarnya itu adalah kewajibannya,” ungkap Arief kepada Rudy Badil (sahabat Soe Hok Gie) pada suatu hari. Namun seiring waktu, permusuhan itu mulai mencair ketika mereka berdua sama-sama kuliah di UI. Bahkan tiga tahun menjelang kematian Soe Hok Gie pada 16 Desember 1969 di Puncak Mahameru, bisa dikatakan hubungan Soe Hok Gie dan Arief terbilang sangat akrab. “ Gue rasa karena mereka memiliki visi yang sama dalam soal-soal prinsip politik seperti perlunya melengserkan Presiden Sukarno pada awal 1966,” ujar Rudy. Keakraban itu diperlihatkan dengan seringnya Soe Hok Gie berdiskusi secara khusus bersama Arief. Bahkan ketika Arief pindah rumah dari Kebon Jeruk (kediaman orangtua Soe Hok Gie dan Arief Budiman) karena menikah dengan Sitti Leila Chairani pada 1968, tradisi tersebut tetap berlanjut. Dalam surat-surat pribadi dan catatan hariannya (kemudian dibukukan menjadi Catatan Seorang Demonstran ), nama Arief banyak disebut Soe Hok Gie. Sebaliknya, Arief sendiri banyak dicurhati berbagai persoalan oleh sang adik, terutama terkait prinsip-prinsip politik dan masalah cinta. “Dia juga jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi orangtuanya tidak setuju,” ungkap Arief seperti dikisahkan dalam obituarinya untuk sang adik yang dimuat dalam Catatan Seorang Demonstran . Soe Hok Gie mengeluh kepada Arief jika hubungan cintanya selalu dihalangi oleh orangtua sang gadis. Dengan ayah pacarnya yang seorang pengusaha sukses, Soe Hok Gie memang telah beberapa kali bicara dan mendapat simpati atas keberanian-keberaniannya melakukan kritik kepada sesuatu yang tidak benar. “Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti menolak. Terlalu besar resikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya, tanpa mau terlibat dengan diri saya,” ungkap Soe Hok Gie kepada Arief. Arief Budiman. (Wikimedia Commons). Arief mafhum, Soe Hok Gie sebenarnya sudah siap menghadapi risiko-risiko sebagai seorang pengeritik paling keras untuk pemerintah Orde Baru. Tak ada yang ditakutkannya lagi, termasuk ketika dia diancam akan dibunuh oleh seseorang yang mengirimkan surat kaleng ke rumahnya. “Cina yang tak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja!” maki orang yang mengirimkan pesan misterius itu. Kepada Arief, Soe Hok Gie juga pernah mencurahkan tentang kekecewannya kepada kawan-kawannya para pemimpin mahasiswa yang mau saja menjadi anggota parlemen lalu berebutan mendapatkan kredit mobil Holden. Baginya, mereka tak lebih hanya “para tukang catut” perjuangan gerakan mahasiswa. “Bergabunglah dengan partai politik kalau mau berpolitik, jangan mencatut nama mahasiswa,” kata Gie dalam suatu artikel berjudul “Setelah Tiga Tahun” yang termaktub dalam kumpulan tulisannya berjudul Zaman Peralihan . Kegeraman Soe Hok Gie, tidak hanya terlontar dalam tulisan. Kurang lebih sebulan sebelum kematiannya, dia masih sempat merencanakan untuk ngerjain para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) terutama wakil-wakil dari kalangan mahasiswa. “Saya usulkan kepada Jopie untuk memberikan kain sarung dan kebaya buat Ketua DPRGR sebagai ucapan selamat atas “kepengecutannya”. Lalu ide ini beralih…hanya kepada wakil-wakil mahasiswa yang ada di sana,” ungkap Soe Hok Gie seperti yang dia tulis dalam catatan hariannya tertanggal 26 November 1969. Pada akhirnya, Soe Hok Gie dan kawan-kawannya mengirim seperangkat alat kosmetik dan cermin untuk wakil-wakil mahasiswa itu. Pemberian itu diiringi pesan agar “para wakil mahasiswa yang tak kenal menyerah dan tak mengenal kompromi” bisa tampil lebih cantik lagi di muka penguasa. “Paket ini diantar pada 12 Desember 1969,” ungkap John Maxwell dalam Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani. Beberapa waktu sebelumnya, selain kepada Arief, Soe Hok Gie juga pernah menumpahkan kekecewaannya itu pada suatu puisi panjang. Stanley Adi Prasetyo menuliskan “puisi kekecewaan” itu dalam buku Soe Hok Gie…Sekali Lagi (disunting oleh Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti dan Nessy Luntungan R): Kepada Pejuang-Pejuang Lama Biarlah mereka yang ingin mendapatkan mobil, mendapatkannya. Biarlah mereka yang ingin mendapatkan rumah, mengambilnya. Dan datanglah kau manusia-manusia Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu. Dan kita, para pejuang lama. Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut) (Kau tentunya masih ingat suara-suara di belakang…”mereka gila”) Hai, kawan-kawan pejuang lama. Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita Buku-buku kita atau pun sisa-sisa makanan kita Dan tinggalkanlah kenang-kenangan dan kejujuran kita. Mungkin kita ragu sebentar (ya kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta kepadanya) Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan pemberontak-pemberontak rakyat Di sana… Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru… Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini Biarlah mereka yang ingin pangkat, menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatkannya Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya Ayo, Langit masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini.*
- Ahmadiyah dan Sukarno
ENDEH, 25 November 1935, rasa gundah datang menyelimuti Sukarno. Sudah beberapa hari pikirannya begitu terbebani oleh sebuah surat dari kawannya, A. Hassan, di Bandung. Pasalnya, ia dituduh telah mendirikan cabang Ahmadiyah di Sulawesi. Bahkan menjadi propagandis untuk penyebaran Ahmadiyah di wilayah itu. Menurut sang kawan, berita tentang hubungan dirinya dan Ahmadiyah pertama kali tersebar di surat kabar Pemandangan , pada sebuah kolom berita singkat. Mengingat surat kabar yang dimaksud baru sampai di Endeh tiga sampai empat hari, Sukarno belum sempat membacanya. Namun ia sangat yakin dengan kabar dari kawan yang dipercayainya itu. Kerisauan Bung Karno kemudian dituangkan di dalam sebuah surat berjudul “Tidak Percaya Bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi” (dimuat dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid Pertama) . Sukarno tidak habis pikir bagaimana bisa tuduhan sebagai propagandis Ahmadiyah di Sulawesi ini dialamatkan kepadanya, sedangkan di dalam pengasingan ia tidak bisa begerak secara bebas. Sukarno lalu meminta kepada A.Hasan untuk membantunya membantah segala berita tentang dirinya di surat kabar Pemandangan . “Saya bukan anggota Ahmadiyah. Jadi mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiyah dan menjadi propagandisnya, apalagi buat bagian Celebes! Sedang plesir ke sebuah pulau yang jauhnya hanya beberapa mil saja dari Endeh, saya tidak boleh!” kata Sukarno. Diakui Sukarno, jika di Endeh dirinya memang menjadi lebih memperhatian urusan-urusan agama dibandingkan sebelumnya. Selain karena studi ilmu sosial yang mulai didalami, ia juga banyak membaca buku-buku soal agama. Tapi ditegaskan oleh Sukarno bahwa ia tidak pernah terikat oleh suatu golongan agama tertentu. Ia lebih suka disebut sebagai penganut Islam. “Dari Persatuan Islam Bandung, saya banyak mendapat penerangan; terutama personnya tuan A. Hassan sangat membantu penerangan bagi saya itu. Kepada tuan Hassan dan Persatuan Islam saya di sini mengucapkan saja punya terima kasih, beribu-ribu terima kasih,” ucapnya. “Kepada Ahmadiyah pun saya wajib berterima kasih.” Tentang Ahmadiyah Kendati menolak jika dikaitkan dengan Ahmadiyan, Sukarno mengagumi beberapa hal yang terdapat di dalam ajaran Ahmadiyah. Ia bahkan membaca beberapa buku keluaran Ahmadiyah, yang menurutnya memberi banyak pelajaran, di antaranya: “ Mohammad the Prophet ”, dan “ Inleiding tot de Studie van den Heiligen Qoer’an ” karya Mohammad Ali; ” Het Evangelie van den daad ”, dan “ De bronnen van het Christendom ” karya Chawadja Kamaloedin; serta kumpulan artikel di dalam “ Islamic Review ”. “Mengenai Ahmadiyah, walaupun beberapa pasal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, toh pada umumnya ada mereka punya features yang saya setujui: mereka punya rasionalisme, mereka punya kelebaran penglihatan ( broadmindedness ), mereka punya modernism, mereka punya hati-hati terhadap kepada hadist, mereka punya striven Qur’an saja dulu, mereka punya systematische aannemelijk maken van den Islam ,” ujar Sukarno. Menurut Lukman Surya dan Nur Kholik dalam Manifesto Modernisasi Pendidikan Islam: Ulasan Pemikiran Soekarno , tidak hanya mengungkapkan kekagumannya, Sukarno juga menolak dan tidak menyetujui beberapa uraian yang ada di dalam buku-buku Ahmadiyah. Misalnya menjadikan tokoh Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang yang dikeramatkan, dan kecintaan kepada imperialisme Inggris. Jadi Sukarno menempatkan dirinya pada posisi yang relatif netral. Ada beberapa soal di dalam ajaran Ahmadiyah yang dia terima sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang rasionil. Tapi ada pula bagian-bagian ajaran itu yang ia tolak mentah-mentah. “Toh saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasionel, modern, broadminded dan logis itu,” ucap Sukarno. Namun ditegaskan juga oleh Sukarno bahwa ia mempelajari agama Islam tidak hanya dari satu sumber saja. Karena bagi Sang Proklamator, agama Islam adalah satu agama yang luas, yang menuju kepada persatuan manusia. Untuk itu telah begitu banyak buku “yang saya datangi dan saya minum airnya”. “Buku-buku Muhammadiyah, buku-buku Persatuan Islam, buku-buku Pelajaran Islam, buku-buku Ahmadiyah, buku-buku dari India dan Mesir, dari Inggris dan Jerman, tafsir-tafsir bahasa Belanda dan Inggris, buku-buku dari lawan-lawan Islam (Snouck Hurgronje, Arcken, Dozy Hartmann, dan lain sebagainya), buku-buku dari orang bukan Islam tapi yang simpati dengan Islam, semua itu menjadi material bagi saya. Ada beberapa ratus buku yang saya pelajari itu. Inilah satu-satunya jalan yang memuaskan kepada saya di dalam saya punya studi itu,” kata Sukarno.*
- Selintas Riwayat Snouck Hurgronje
Snouck Hurgronje masyhur karena pengetahuannya, kontroversial karena perannya.
- Gebrakan Anti Korupsi Ala Jenderal Jusuf
JENDERAL TNI Mohammad Jusuf masuk gelanggang baru usai purna tugas sebagai Panglima ABRI. Presiden Soeharto menunjuk bangsawan Makassar itu untuk memimpin Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menggantikan Jenderal TNI (Purn.) Umar Wirahadikusumah. Umar berhenti sebagai Ketua BPK karena harus mendampingi Soeharto sebagai wakil presiden. Pada 29 Maret 1983, Jusuf resmi menjadi ketua BPK. Dari Istana setelah serah terima jabatan, Jusuf langsung menuju kantor BPK yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Hari itu, semua staf BPK telah menanti bos baru mereka dengan harap-harap cemas. Ketika Jusuf memperkenalkan diri, sepatah amanat terlontar. “Yang memeriksa harus lebih bersih sebelum melakukan pemeriksaan,” kata Jusuf dicatat dalam Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia: 1983—1984 . “Tidak ada bangsa di dunia ini dapat menjadi besar apabila apabila tidak memiliki harga diri dan kehormatan.” Itulah amanat perdana Jusuf yang disampaikan dihadapan seluruh jajaran BPK. Jusuf berupaya menegakkan wibawa lembaga yang saat itu dipandang sebelah mata. Memangggil Pejabat Negara Sebagai ketua BPK, Jusuf tidak begitu sering muncul ke muka publik sebagaimana waktu menjabat panglima ABRI. Penampilan pertama Jusuf di depan umum terjadi ketika Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam mengundangnya pada 12 Oktober 1983. Menteri Rustam meminta Jusuf memberikan presentasi dalam rapat kerja gubernur se-Indonesia. Dalam pertemuan itu, Jusuf berbicara blak-blakan mengemukakan berbagai penyimpangan yang terjadi di pemerintahan. Temuan penyimpangan itu diteruskan BPK dalam Hasil Pemeriksaan Tahunan (Haptah). Laporan tersebut kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam bentuk buku tebal. Walau demikian, Jusuf masih geregetan lantaran Haptah hanya dianggap sebagai angin lalu belaka oleh DPR. Di sisi lain, BPK tidak punya kewenangan untuk menindaklanjuti saran-saran yang diberikan oleh Tim Auditor BPK kepada DPR. Pada akhir 1984, Jusuf berdasarkan kewenangan yang diatur undang-undang memulai gebrakannya. Dia memanggil pejabat tingkat menteri untuk datang ke kantornya. Tindakan Jusuf terbilang berani. Pada masa itu, tidak sembarang orang biasa memanggil menteri selain presiden dan wakil presiden. Jusuf mula-mula memanggil empat menteri. Kemudian pada 11 Desember 1984, Jusuf memanggil Menteri Pekerjaan Umum Suyono Sosrodarsono, Menteri Kesehatan Suwardjono Suryaningrat, dan Menteri Pertambangan dan Energi Dr. Subroto. Pemanggilan mereka berhubungan dengan hasil auditor BPK menyangkut keuangan negara. “Pokoknya, semua pihak yang kita perlukan untuk dipanggil, ya kita panggil,” ujar Jusuf seperti terkisah dalam biografinya Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit karya Atmadji SumarkidjoSewaktu memanggil Menteri Transmigrasi Martono, Jusuf mengemukakan banyaknya penyelewengan. Diantaranya soal pemberian hak transmigran di daerah baru. Ketika keluar dari kantor BPK, Martono mengatakan bahwa Ketua BPK mengingatkan dirinya agar hak para transmigran “jangan dilipat-lipat”. Hal yang sama terjadi kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bapennas J.B Sumarlin. Dari Jusuf, Sumarlin mendapat informasi mengenai bentuk-bentuk penyelewengan yang ditemukan di kementeriannya. Tidak hanya menteri, Jusuf juga tidak segan memanggil pejabat level di bawah menteri bila diperlukan. Ini terjadi kepada Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) Bustanil Arifin yang tergolong kerabat "keluarga Cendana" dari pihak Ibu Tien Soeharto. Bustanil dipanggil karena adanya temuan auditor BPK bahwa beras yang dibagikan kepada pegawai negeri tidak sesuai dengan mutu yang ditentukan. Hingga akhir tahun 1985, Jusuf telah memanggil dan bertemu dengan hampir semua Menteri Kabinet Pembangunan IV, kecuali Menteri Pertahanan dan Panglima ABRI. Bagi Jusuf setiap warga negara menurut ketentuan undang-undang harus mau memberikan keterangan kepada BPK. “Kalau tidak, orang itu bisa aku ajukan ke pengadilan!” katanya seperti dicatat Atmadji. Ketua Dua Periode Sorotan atas Kinerja BPK di bawah kepemimpinan Jusuf terbilang positif. Tajuk rencana Suara Pembaruan , 9 Februari 1987 mengungkapkan temuan-temuan BPK atas penyalahgunaan uang negara. Kerugian negara dari Pemilu 1987 mencapai Rp1,8 milyar. Piutang Bulog di berbagai perusahaan rekanannya sebesar Rp300 milyar. Sementara itu, kredit macet di Koperasi Unit Desa (KUD) juga mencapai belasan milyar rupiah. Meski kebijakannya memanggil menteri agak kontrovesial, Presiden Soeharto tampaknya sepaham dengan Jusuf. Hal ini dibuktikan dengan dipilihnya kembali Jusuf sebagai ketua BPK. Pada 9 Agustus 1983, Soeharto melalui surat keputusannya menetapkan Jusuf menjadi ketua BPK untuk periode kedua. Kebiasaannya memanggil menteri pun tetap diteruskan. Pada 1990, Jusuf menyerahkan hasil pemeriksaan tahunan BPK kepada DPR. Dalam laporannya, Jusuf menyebut betapa banyaknya pemakaian dana-dana pembangunan yang menyimpang. Misalnya, BPK menemukan penyertaan modal pemerintah dalam BUMN yang tidak jelas statusnya. Jusuf juga melaporkan penemuan penanganan kredit macet yang tidak didasarkan atas ketentuan-ketentuan yang berlaku. Berbagai proyek Pemerintah Daerah yang tidak efektif dan efisien menjamur dimana-mana. Juga ditemukan instansi-instansi yang melakukan pengeluaran tidak pada tempatnya, seperti pembelian barang untuk jangka waktu panjang. “Sayang laporan BPK itu tidak disiarkan seluruh isinya dari tahun ke tahun untuk diketahui masyarakat. Dan pers Indonesia sendiri kelihatannya cukup lama tidak lagi bersemangat untuk membongkar kasus korupsi, kecuali pernyataan-pernyataan dari sumber resmi,” tulis Mochtar Lubis dalam Korupsi Politik . Cara kerja Jusuf melaporkan hasil temuan BPK pernah ditanyakan oleh Ben Mboi, gubernur Nusa Tenggara Timur. Menurut Mboi, Jusuf selalu membuat dua laporan temuan BPK. Laporan sesuai dengan realitas temuan diberikan kepada Presiden Soeharto agar dia mengetahui kondisi birokrasi negara yang sebenarnya. Sementara kepada DPR hanya laporan yang memperhatikan dampak-dampak poltik saja. “Hal-hal yang berdampak politik secara kualitatif saja dan bukan kuantitatif saya kirim ke DPR. Tapi Presiden harus tahu yang kualitatif dan kuantitatif,” kata Jusuf kepada Mboi dalam memoar Ben Mboi: Memoar Seorang Dkoter, Prajurit, Pamong Praja . Dengan demikian, aksi lanjutan pemberantasan korupsi terpulang kembali kepada Soeharto sendiri. Pada 1993, Jusuf mengakhiri periode keduanya sebagai ketua BPK. Kedudukan itu pula yang menjadi jabatan terakhirnya dalam pemeritahan. Setelah 45 tahun mengabdi negara yang dirintis dari prajurit hingga pejabat sipil, maka purnabaktilah Jenderal (Purn.) M. Jusuf.*
- Laskar Muslim Hitler di Afrika Utara
“MUSUH dari musuhku adalah temanku.” Ungkapan politis tersebut cocok untuk menilai eratnya hubungan Adolf Hitler dengan kalangan dunia Arab di Perang Dunia II. Baik Der Führer dan Amin al-Husseini, wakil dunia Arab, punya musuh bersama: Sekutu dan Yahudi. Al-Husseini tak lain adalah Mufti Besar Yerusalem yang sempat memimpin Pemberontakan Arab di Palestina, 1936-1939. Meski disokong dana oleh bos fasis Italia Benito Mussolini, pemberontakan itu kandas. Al-Husseini lari ke Eropa hingga kemudian bersua Hitler di Berlin pada 28 November 1941. Dalam pertemuannya, Hitler menjanjikan sokongan penuh kepada Al-Husseini untuk jadi pemimpin dunia Arab, mulai dana, senjata, hingga pembentukan askar (laskar) alias prajurit muslim di bawah panji Nazi. Dalam gejolak Perang Dunia II, salah satu unit ternama hasil dari janji Hitler pada Al-Husseini itu adalah Divisi Gunung ke-13 “Handschar” di bawah naungan Waffen-SS (Pasukan Schutzstaffel). Sejatinya, beberapa bulan sebelum keduanya bertatap muka,sudah ada ratusan askar muslim Nazi yang dibentukuntuk mendukung kudeta yang ditukangi Rashid Ali al-Gaylani terhadap Kerajaan Irak yang pro-Sekutu (Inggris). Gaylani dibantu Fawzi al-Qawuqji, veteran flamboyan Perang Dunia I pemilik medali Iron Cross kelas II asal Suriah. Mengutip Robert Lyman dalam Iraq 1941: The Battles for Basra, Habbaniya, Fallujah and Baghdad , Hitler mengirim bantuan militer berlandaskan Weisung Nr. 30 atau semacam surat perintah Hitler nomor 30 tertanggal 23 Mei 1941, berupa dibentuknya Sonderstab F (Staf Khusus F). “Pergerakan kemerdekaan Arab di Timur Tengah adalah sekutu alami kita melawan Inggris,” demikian potongan pernyataan Hitler dalam surat tersebut. Mufti Besar Yerusalem Amin al-Husseini saat bersua Adolf Hitler di Berlin, 28 November 1941. (Bundesarchiv). Sonderstab F berada di bawah perwira Luftwaffe (AU Jerman) General der Flieger (jenderal penerbang) Hellmuth Felmy yang bermarkas di Yunani. Komandan lapangannya adalah Mayor Udara Axel von Blomberg. Al-Husseini juga bergerak di luar lingkar militer sebagai pengusung propaganda melawan Sekutu. Disebarkannya isu di kalangan muslim Suriah dan Irak bahwa Mussolini seorang penganut Islam keturunan Mesir bernama Musa Nilli, dan Hitler dirumorkan menjadi mualaf dan mengambil nama Hayder yang artinya pemberani. Namun meski Al-Husseini juga terjun ke medan perang sebagai pendongkrak moril, koalisi Arab Merdeka dibantu Jerman dan Italia itu dilibas Inggris pada 31 Mei 1941. Baik Rashid Ali, Al-Qawuqji, dan Al-Husseini kabur ke Eropa via Persia (kini Iran), Turki, Italia, hingga Berlin. Sementara Sonderstab F mengalihkan konsentrasinya ke Afrika Utara untuk membantu pasukan korps Afrika pimpinan Jenderal Erwin Rommel. Terbit dan Tenggelam Sebelum bersua di akhir November 1941, Al-Husseini dan Hitler sudah berkorespondensi via surat-menyurat. Sebelum Perang Anglo-Irak (2-31 Mei 1941), pada medio Februari 1941 Al-Husseini mendeklarasikan kerjasama Jerman-Arab. Sebagai kelanjutannya, ia juga membantu Sonderstab F yang akan memperkuat Afrika Korps-nya Rommel. Sebagaimana dinukil N. Hidayat dalam Legiun Muslim Hitler , Al-Husseini dan Rashid Ali menggunakan pengaruhnya untuk perekrutan para pelajar Arab. Di bawah naungan Sonderstab F mereka dilatih di Yunani untuk kemudian membentuk unit Deutsch-Arabische Infanterie Battalion 845 pada Juli 1941. Para askar inilah pionir pasukan Muslim di bawah panji Nazi. “Batalyon itu dilatih di Sounio, Yunani karena alasan iklimnya yang sama dengan iklim Timur Tengah. Selama tahap awal pelatihan, para instruktur Jerman (yang kebanyakan eks diplomat di dunia Arab dan veteran Perang Dunia I di barisan Asienkorps) melatih mereka bahasa Jerman dan pengenalan senjata,” tulis Hidayat. Tidak hanya golongan Muslim Arab, prajurit berkulit gelap pun turut dalam banyak palagan di Afrika Utara di bawah panji Nazi. (Bundesarchiv). Batalyon itu, lanjut Hidayat, kemudian bertransformasi menjadi Sonderverband 288 yang jumlahnya 150 prajurit. Medio Januari 1942, mereka dikirim ke Benghazi sebagai salah satu pasukan perbantuan untuk Afrika Korps di bawah Rommel. Pada Agustus 1942, ditambah lagi dengan unit Sonderverband 287 berkekuatan 133 prajurit. Di antara pasukan Rommel yang juga ter diri dari divisi asal Italia, unit pasukan Arab itu lantas dikenal sebagai legion “Freies Arabien”, dengan emblem bendera hijau-putih-merah di lengan kanannya. Kelak pada Mei 1943, keduanya digabungkan menjadi Resimen Panzergrenadier Afrika. “Selama pertempuran di Garis Gazala, Sonderverband 288 dan 287 mendukung Divisi (lapis baja ke-132) Ariete Italia menghadapi pasukan Prancis yang mempertahankan Bir Hakeim di ujung selatan garis pertahanan Sekutu. Namun kesempatan mereka memenuhi ambisi Al-Husseini untuk jadi pasukan pelopor pembebasan bangsa Arab tidak pernah tercapai,” imbuhnya. “Setelah kekalahan Jerman di El Alamein pada November 1942, Sonderverband 288 mundur bersama sisa-sisa pasukan Afrika Korps. Kekalahan itu bukan hanya menghilangkan ancaman Jerman di Timur Tengah namun juga melenyapkan kesempatan Husseini berparade kemenangan di Yerusalem dan menarik lebih banyak pengikutnya bergabung ke pihak Poros (Jerman-Italia-Jepang),” lanjut Hidayat. Eks-anggota Sonderverband 287 dan 288 yang dileburkan ke dalam Deutsch-Arabische Legion pada 1943 di bawah Divisi "Herman Göring". (Bundesarchiv). Kedua unit itu kemudian ditarik mundur hingga ke Italia dan Yunani dan kemudian terpencar antara front barat dan front Balkan. Husseini mengais izin lagi pada Hitleruntuk membentuk pasukan baru sebagai penyambung Legiun Arab Merdeka danmenetap di Afrika Utara, tepatnya di Tunisia, di mana sisa-sisa wilayah pasukan Poros masih dipertahankan. Kali ini perekrutannya bukan dari kalangan terpelajar, melainkan para penduduk dan veteran Prancis Vichy. Mengutip Nino Oktorino dalam Legiun Arya Kehormatan , Hitler menyetujuinya dan kemudian dibentuk formasi Kommando Deutsch-Arabischer Truppen (Kodat). Kekuatannya sekitar 3.000 personil, terdiri dari dua batalyon Arab Tunisia, satu batalyon Aljazair, dan satu batalyon Arab Maroko. Tugasnya mengawasi pantai antara Tanjung Bon dan kota Susa. “Mereka kemudian digabungkan ke dalam Divisi Panzer ‘Hermann Göring’ dan berpartisipasi dalam pertempuran terakhir antara pasukan Poros dan Sekutu di Afrika Utara. Pada 10 Mei 1943, para prajurit terakhir dari batalyon Arab itu menyerah kepada pasukan Amerika,” ungkap Nino. “Dua hari kemudian, Resimen Panzergrenadier Afrika menyerah di Enfidaville, Tunisia. Dengan demikian tahun 1943 itu mengakhiri semua tujuan politis formasi-formasi sukarelawan Arab yang awalnya merupakan dasar dari pembentukan mereka,” tandasnya.
- Pesona Braga Tak Pernah Usai
Jika berkunjung ke Bandung, tentu saja tak akan melewatkan untuk jalan-jalan di sepanjang Braga. Di sana berjajar bangunan berarsitektur Eropa yang masing-masing memiliki kisah masa lalu. Sudah lama Braga menjadi destinasi wisata. Setiap hari, ada saja pelancong berlalu-lalang. Apalagi jika hari libur, pejalan kaki di Braga menyemut. Entah sekadar cuci mata atau melampiaskan hasrat berbelanja. Pengunjung menikmati Braga di kota Bandung. (Fernando Randy/Historia). Seorang anak kecil saat bermain di depan toko zaman dulu di Braga. (Fernando Randy/Historia). Para pengunjung di antara lukisan kawasan Braga. (Fernando Randy/Historia). Namun siapa sangka jika dahulu kawasan Braga adalah salah satu kawasan yang dihindari oleh masyarakat. Awal abad ke-19, Jalan Braga berjuluk Jalan Culik karena hanya jalan kecil dengan permukiman penduduk yang sunyi. Seiring berjalannya waktu kawasan tersebut mulai bersolek. Para usahawan yang rata-rata berkebangsaan Belanda mulai membangun toko, bar, tempat hiburan dengan konsep Eropa. Braga makin moncer dengan adanya gedung Societeit Concordia. Di gedung inilah sosialita dan kaum elite kota Bandung berkumpul. Mereka rajin menggelar berbagai pertunjukan kesenian seperti musik dan tari. "Pesta yang pernah usai" di Concordia ini turut merangsang beberapa pertokoan di Jalan Braga menyediakan keperluan pesta. Salah satu bangunan lama di kawasan Braga. (Fernando Randy/Historia). Braga yang berusia dua abad tetap menjadi pesona bagi wisatawan. (Fernando Randy/Historia). Seorang wisatawan berfoto di kawasan Braga. (Fernando Randy/Historia). Braga yang sudah berusia dua abad seperti tak kehilangan pesonanya. Arsitektur khas Eropa tetap dipertahankan. Pertokoan yang menjual pernak-pernik antik, lukisan hingga wayang masih bisa ditemui. Toko roti Sumber Hidangan sejak 1929 juga masih melayani pembeli. Bahkan penjual jamu gendong juga masih sesekali ditemukan. Kini bisa dibilang Braga makin "modis" dengan hadirnya berbagai kedai-kedai kopi kekinian. Ramdan Kosasih salah satu penjual wayang di Braga. (Fernando Randy/Historia). Toko roti dari jaman Belanda, Sumber Hidangan. (Fernando Randy/Historia). Salah satu toko yang menjual pernak-pernik dari zaman dulu. (Fernando Randy/Historia). Salah satu toko di kawasan Braga. (Fernando Randy/Historia). Pedagang jamu tradisional turut menambah kesan zaman dulu di Braga. (Fernando Randy/Historia). Kehidupan di sekitar kawasan Braga. (Fernando Randy/Historia). Seorang anak memakai jersey Persib Bandung, klub sepakbola dengan pendukung terbanyak di Jawa Barat. (Fernando Randy/Historia). Seorang kasir di toko roti Sumber Hidangan di Braga. (Fernando Randy/Historia). Di malam hari, Braga tak pernah sunyi karena banyak bermunculan tempat hiburan malam. Itulah Braga dengan segala daya pikatnya. Ia menjadi tujuan orang melepas penat sekaligus menjadi tumpuan banyak orang untuk bertahan hidup. Centre Point salah satu bangunan bersejarah di Braga. (Fernando Randy/Historia).
- Kawanan Serigala Berburu Mangsa
““YA Tuhanku, biarkanlah malaikat kudus-Mu membimbing dan menyertaiku,” tutur Kapten Ernest Krause (diperankan Tom Hanks) dalam doanya di atas kapal perusak USS Keeling . Doa itu sebagai penguat batinnya lantaran nantinya ia bakal dihadapkan pada marabahaya pertempuran dahsyat yang belum pernah ia alami sebelumnya. Kisahnya diangkat ke layar perak bertajuk Greyhound. Film yang disutradarai Aaron Schneider itu merupakan adaptasi dari novel The Good Shepherd karya CS. Forester, nama pena novelis Inggris Cecil Louis Troughton Smith, yang terbit 1955. Kisahnya berpusar pada epik Kapten Krause yang bertugas melindungi konvoi Sekutu berisi 37 kapal logistik dan kapal dagang melintasi Samudera Atlantik Utara, demi menyokong Inggris dan Uni Soviet di awal 1942 di tengah Perang Dunia II. Meski sang kapten merupakan perwira senior, itu jadi penugasan lapangan pertamanya. Kala langit mulai dibalut awan gelap dan ombak mulai mengganas, alarm dan sirine tanda bahaya kapal meraung-raung. Benar saja, sebuah Unterseeboot atau yang dikenal U-Boat di kalangan Sekutu alias kapal selam Kriegsmarine (AL Jerman) menampakkan bagian sail -nya. USS Keeling segera mengejar untuk melepaskan belasan depth-charge (peledak kedalaman). U-Boat Jerman itu pun hancur dalam sekali hantam. Krause dan para krunya masih larut dalam euforia ketika tanpa dinyana kemudian sirine dari salah satu kapal dagang meraung-raung lagi. Satu kapal lainnya pun terbakar dan karam. Krause segera insyaf. Ia terhenyak ketika menyalakan radar dan mendapati belasan titik di sekitar posisi kapalnya. Itu artinya konvoi mereka tengah dikepung belasan U-Boat yang bersiap menyerang mangsanya dalam formasi wolfpack (kawanan serigala). Lantas, apa yang terjadi? Anda mesti bersabar. Jadwal tayang film yang tadinya akan dirilis pada 12 Juni 2020 ini diundur ke waktu yang belum ditentukan. Apa lagi penyebabnya kalau bukan gara-gara pandemi virus corona . Namun sepertinya tak sia-sia menunggu, mengingat di belakangan ini jarang film mengangkat epik tentang wolfpack di front Atlantik sebagaimana Das Boot (1981), U-571 (2000), atau In Enemy Hands (2004). Tom Hanks (kanan) sebagai Kapten Krause di atas kapal perusak USS Keeling menghadapi kawanan U-Boat Jerman. (Sony Pictures). Mula Kawanan Serigala Bila di darat Jerman-Nazi gilang-gemilang pada awal Perang Dunia II berkat taktik blitzkrieg dengan pasukan lapis baja sebagai ujung tombaknya, di laut, Kriegsmarine dengan tulang punggung sejumlah U Boat mengembangkan pola berbeda tapi memiliki kesamaan esensi dalam “sengatan” terkonsentrasi dan terkoordinir pada kubu musuh yang lemah. “Menurut saya tetap beda konteksnya. Wolfpack hanya pengembangan strategi kapal selam Jerman dalam Perang Dunia II yang pada intinya adalah mengeroyok konvoi. Awalnya strategi ini dari zaman Perang Dunia I. Populer diterapkan di Perang Dunia hasil buah pikir (Panglima Kriegsmarine, großadmiral ) Karl Dönitz,” ujar peneliti sejarah Perang Dunia II cum penulis buku 1000+ Fakta Nazi Jerman Alif Rafik Khan kepada Historia . Adalah Laksamana Hermann Bauer, Führer der Unterseeboote (FdU) atau Panglima Unit U-Boat Jerman di Perang Dunia I, yang disebut-sebut membidani embrio taktik kawanan serigala. Pada awal 1917, ia menggagas garis patroli U-Boat secara terkoordinir dan disokong kapal logistik Kriegsmarine di Atlantik Utara dengan tujuan menerkam konvoi Sekutu. Percobaannya pada Mei 1918 gagal. Banyak dari enam U-Boat dalam operasi perdana di Selat Inggris itu malah tumbang tertabrak kapal-kapal tempur dalam konvoi Sekutu. Penyebab utamanya soal komunikasi. Baru pada 1935 ketika Kriegsmarine mulai membangun lagi kekuatannya, sejumlah taktik eksperimental sebagai revisi strategi Bauer dilancarkan Dönitz yang saat itu komandan sebuah armada kapal torpedo. Dalam penilaian Dönitz, kapal selam mesti jadi tulang punggung baru bagi Kriegsmarine. Großadmiral Karl Dönitz di salah satu pangkalan U-Boat di St. Nazaire, Prancis, medio 1941. (Bundesarchiv). Pokok dari revisi Dönitz adalah pendekatan koordinasi dan komunikasi yang lebih canggih menggunakan mesin kode enkripsi Enigma. Kode yang biasanya berisi perintah ini datang dari stasiun komando BdU di Kerneval menginformasikan posisi-posisi konvoi yang bisa diterkam. Ketika formasi kawanan serigala itu sudah siap, setiap komandan U-Boat diberi keleluasaan memilih mangsanya satu per satu. Konsep Dönitz itu mulanya menuai penolakan, salah satunya dari Panglima Kriegsmarine Großadmiral Erich Raeder . Namun, gagasan Dönitz justru didukung Adolf Hitler. “Ia mengembangkannya menjadi konsep Rudeltaktik ( wolfpack /kawanan serigala). Gagasan yang kemudian diapresiasi Kanselir Adolf Hitler dan membuahkan promosi menjadi Befehlshaber der Unterseeboote/BdU (komandan unit kapal selam) di tahun yang sama,” ungkap David T. Zabecki dalam The German War Machine in World War II: An Encyclopedia. Dönitz pun memberi bukti di awal-awal Perang Dunia II. Buah pikirannya kemudian bikin keringat dingin para pembesar Sekutu di fase Pertempuran Atlantik (3 September 1939-8 Mei 1945). Pasalnya, sebelum 1943 konvoi Sekutu minim pengawalan kapal perang. “Satu-satunya yang membuat saya benar-benar ketakutan selama perang adalah bahaya U-Boat… Saya merasa lebih gelisah terkait pertempuran ini ketimbang Battle of Britain (pertempuran udara Inggris, 10 Juli-31 Oktober 1940),” kata Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, dikutip Jonathan Dimbleby dalam The Battle of the Atlantic: How the Allies Won the War. Kapitänleutnant Günther Prien dan U-Boat yang dipimpinnya, U-47. (Bundesarchiv). Pemburu Berbalik Diburu Dalam catatan sejarawan Bernard Edwards yang dituangkannya dalam Dönitz and the Wolfpacks: The U-Boats at War , sepanjang Perang Dunia II Kriegsmarine mengerahkan 248 kawanan serigala. Wolfpack merupakan gugus tempur kecil yang kekuatannya minimal dua atau tiga U-Boat. Jika di darat perwira yang mengukir prestasi pertama menggunakan blitzkrieg adalah Jenderal Heinz Guderian dan Erwin Rommel, di laut dengan wolfpack perwira kondangnya adalah Korvettenkapitän (setara mayor) Gunther Prien. Wolfpack Prien, gugus tempurnya berkekuatan tujuh U-Boat yang berburu dalam kurun 12-7 Juni 1940, sukses memangsa lima kapal (40.949 ton) dalam Konvoi Sekutu HX 47. Kendati Wolfpack Prien lebih tenar di kalangan Kriegsmarine, catatan lebih fenomenal digoreskan Wolfpack West. Dengan kekuatan 23 U-Boat, kawanan yang berburu sepanjang 8 Mei-20 Juni 1941 itu menelan mangsa 33 kapal logistik/kapal dagang (191.414 ton) dan empat kapal tempur (33.448 ton) dari 10 konvoi yang diterkamnya. Namun, taktik wolfpack nan moncer itu seketika berbalik. Mulai akhir 1942 hingga akhir Perang Dunia II, kawanan serigala yang menjadi pemburu malah balik diburu gugus-gugus tempur Sekutu. Ini berkat keberhasilan Sekutu memecahkan kode-kode Enigma andalan kawanan serigala U-Boat dan mengembangkan alat pencegat transmisi komunikasi U-Boat, Huff-Duff (High Frequency Direction Finder). Alat itu membuat Sekutu tahu isi perut musuh. Mereka bisa melacak posisi-posisi musuh untuk kemudian mengerahkan gugus tempur pemburu U-Boat dari mulai kapal perusak hingga pesawat anti-kapal selam. “Ya, faktor kemunduran prestasi wolfpack karena Sekutu kemudian mengembangkan pertahanan yang lebih maju untuk menangkal serangan keroyokan dari U-Boat. Di antaranya adalah mengawal konvoi kapal dagang mereka dengan banyak destroyer (kapal perusak) dan mempersenjatai setiap kapal dagangnya,” tandas Alif.
- Kode Bahaya Masa Perang Kemerdekaan
SUKANAGARA, Cianjur Selatan pada 1947. Soma baru saja melantunkan azan ashar saat sudut matanya menangkap gerakan beberapa serdadu Belanda di jalanan kampung. Tetiba dia ingat beberapa gerilyawan Republik yang sedang mandi di sungai belakang surau. “Saya yang tadinya mau teriak hayya’ ala shalah, ku bakat geumpeur (karena saking gugup) dan takutnya, jadi teriak aya walandaaa (ada Belandaaa),” kenang lelaki berusia 92 tahun itu. Namun, lantunan azan Soma yang tak lazim itu, lekas ditangkap oleh para gerilyawan dan penduduk kampung. Secepat kilat mereka langsung menghindar dari kawasan itu. Ada yang langsung masuk hutan, ada juga yang pura-pura mengerjakan sesuatu. Kelompok terakhir itu adalah orang-orang kampung yang tak sempat menyelamatkan diri. Kode di masa Perang Kemerdekaan (1946-1949) memang bisa bermacam-macam. Umumnya di kampung-kampung, tanda bahaya atau informasi datangnya tentara Belanda disebarkan dengan bunyi kentongan yang dilakukan secara estafet dari kampung ke kampung. Namun menurut eks pejuang di wilayah Banyumas Iman Sardjono (91), cara itu terlalu “berisik” dan mudah didentifikasi musuh. Tak jarang akibat bunyi kentongan itu, tentara Belanda justru bisa tahu mana saja kampung yang berpihak kepada kaum Republik. “Mereka memang tidak menemukan siapa pun di kampung-kampung itu, tetapi sebagai penumpah rasa kesal, para serdadu itu tak jarang membakar seisi kampung. Itu kan merugikan rakyat juga,” tutur eks anggota Tentara Pelajar (TP) itu. Untuk memelihara kesenyapan, maka para pejuang di kaki Gunung Sumbing menciptakan sistem geplak . Sistem kode bahaya tradisional itu dalam prakteknya memang termasuk sangkil dan tidak mengeluarkan suara. Geplak terdiri dari sebuah tiang bambu yang tingginya kurang lebih 8-10 meter. Alat ini dilengkapi dengan sejenis bendera yang dibuat dari gedeg (anyaman bambu) berukuran kurang lebih 1x1 meter. Bentuknya menyerupai pemukul lalat dalam ukuran yang lebih besar. Setiap geplak didirikan tegak lurus di atas sebuah bukit yang menjadi pembatas desa. Jika bahaya datang (patroli tentara Belanda) maka tiang tersebut langsung dijatuhkan. Begitu pula hal yang sama dilakukan jika seorang pengawas (atau siapa pun warga yang melihat) mengetahui geplak di desa tetangga sudah dijatuhkan. Sistem geplak ini sempat membuat para serdadu Belanda patah arang. Dalam buku Met de TNI op Stap karya (veteran Perang Kemerdekaan) Ant. P. de Graaf mengisahkan mereka kerap jengkel jika akan menyasar sebuah tempat ternyata sesampai di sana tak ditemukan apapun. “Padahal orang intelijen sebelumnya sudah bilang bahwa di kampung itu ada konsentrasi pasukan TNI,” ungkap de Graaf, yang waktu masa perang ditugaskan di wilayah Banyumas. Sebaliknya, mereka pun tak jarang sering merasa kewalahan jika ketika suatu patroli belum mencapai tempat yang menjadi target, tetiba di tengah jalan, sekelompok pasukan TNI menghadang kedudukan mereka. Itu pernah terjadi di Desa Banaran, Wonosobo, saat sistem gedek berhasil menghancurkan satu unit patroli pasukan KL (Angkatan Darat Kerajaan Belanda). Juli 1949. Siang itu Letnan Muda Aman Sujitno dari Pasukan Tjadangan Ronggolawe tengah mendaki sebuah puncak bukit di Desa Banaran. Dia disertai oleh Letnan Satu Suhadi dari Kompi Leman. Mereka berdua tengah mencari posisi yang cocok guna memasang pertahanan mitralyur berat 12.7 mm. Setelah beberapa saat mengubek-ubek puncak bukit tersebut, mereka akhirnya menemukan tempat yang baik dengan bidak tembakan pertigaan Banaran. Mitralyur berat dipasang dan bidang tembakan dinyatakan sudah tepat. Baru beberapa menit selesai memasang senjata, Sujitno menyaksikan gedek di bukit desa sebelah tetiba dijatuhkan. Mereka pun bersiap. “Beberapa saat kemudian datang beberapa orang kampung, mereka memberitahu bahwa Patroli KL sedang bergerak menuju Banaran dari Sapuran," kenang Suhadi seperti pernah dikisahkan kepada Hardijono dalam Pasukan "T" Ronggolawe . Pertahanan pun disusun di bukit-bukit yang terletak di atas jalan dekat pertigaan Banaran. Pasukan yang dipimpin Suhadi berada di sisi utara, sedangkan Pasukan T berada di timur laut jalan. Sambil menunggu sasaran, mereka terdiam dalam lamunannya masing-masing. Ketegangan mewarnai suasana tempat itu. Sekitar 15 menit kemudian, terdengar suara derap sepatu lars diiringi suara-suara perbincangan dalam bahasa Belanda. Nampak sekitar satu seksi (60 personil) tentara Belanda (sebagian besar bule) tengah berbaris dalam posisi berbanjar namun tak beraturan. Sebagian di antara mereka memikul brengun. "Dor!" Aksi penghadangan dibuka dengan sebuah tembakan jitu yang menyasar pemegang brengun. Sang serdadu pun langsung terjungkal. Bersama dengan itu, hujan peluru berhamburan dari ketinggian bukit-bukit yang ada di sekitar pertigaan Banaran. Patroli militer Belanda itu pun panik. Tidak perlu waktu setengah jam, pertahanan mereka pun sudah hancur lebur. Suara desing peluru bersanding dengan suara teriakan ketakutan dan teriakan kesakitan akibat terhantam peluru Pasukan T dan Kompi Leman. Kendati persenjataan pasukan KL lebih unggul, namun karena posisi pasukan TNI lebih baik, patroli tentara Belanda itu semakin tak berdaya. Sebagai jalan keluar, pimpinan pasukan KL hanya bisa menyuruh anak buahnya untuk kembali mundur ke arah Sapuran dengan membawa korban tewas dan luka-luka yang sangat banyak. Setelah palagan ditinggal pasukan KL, secara bertahap pasukan TNI turun dan memeriksa bekas tempat pertempuran. Suasana mencekam mewarnai kawasan tersebut. Di sela-sela asap mesiu yang masih mengepul, mereka menemukan jejak-jejak darah berceceran dan sepasang sepatu lars yang nyaris tak berbentuk karena terhantam peluru. Di sisi lain dari bekas palagan itu, anak-anak Pasukan T menemukan sebuah helm tempur yang dipenuhi lubang peluru dan darah. Di helm itu tertera ukiran nama seorang perempuan Belanda bernama "Wies". Mungkin nama anak atau istri dari sang empunya helm tersebut. Demi melihat helm itu, anak-anak Pasukan T sejenak terdiam. Mereka sadar, seperti mereka, para prajurit KL pun datang bertarung ke tanah Hindia tentunya dengan meninggalkan orang-orang yang dicintainya. Bagaimana perasaan anak, istri dan handai taulan mereka begitu tahu bahwa orang yang dicintainya saat ini sudah tak bernyawa lagi? "Mengingat itu, hati kami terasa sedih, hampa dan sepi. Perang memang selalu memunculkan kenestapaan, yang sebenarnya kami pun tak menginginkannya," ujar Letnan Suhadi. Militer Belanda sendiri tak tinggal diam terhadap kejadian di Banaran tersebut. Seminggu kemudian, satu kesatuan besar pasukan mereka menyebu Desa Marongsari (desa terdekat dari Banaran yang dianggap berpihak kepada TNI). Menurut de Graaff, mereka menghajar Marongsari tanpa ampun. “Sekitar 10 rumah penduduk dibakar hingga menjadi abu,” ungkapnya. Kendati sangkil dan mangkus sebagai tanda bahaya, namun sistem gedek kadang menimbulkan cerita lucu juga. Pernah suatu hari, ketika beberapa serdadu KL terlihat keluar dari pos-nya, sistem gedek pun bergerak, menjalar hingga ke desa-desa tertinggi di Gunung Sumbing. Semua gerilyawan pun bersiap di posisi masing-masing “Padahal para serdadu itu keluar cuma sebentar, mungkin mereka mau mandi atau buang hajat saja,” pungkas Iman Sardjono.*






















