top of page

Hasil pencarian

9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Wartawan Jadi Tentara Gurkha Dadakan

    Setelah menempuh perjalanan panjang, Rosihan Anwar dan Soedjatmoko tiba di Yogyakarta. Mereka baru saja selesai meliput Konferensi Malino dari Makassar. Rencananya hasil reportase itu akan disampaikan kepada Presiden Sukarno dan wakilnya Mohammad Hatta. “Setibanya di Stasiun Tugu, Yogya, saya bergegas ke Hotel Merdeka di Jalan Malioboro, saya jijnjing kopor pakaian dan saya kepit gulungan tikar sembahyang,” tutur Rosihan dalam Musim Berganti: Sekilas Sejarah Indonesia 1925—1950 . Pada waktu itu Rosihan adalah redaktur yang bernaung di bawah harian Merdeka,  media berhaluan nasionalis di masa revolusi. Menurut Rosihan keadaan di hotel kurang terpelihara karena banyak tamu yang datang silih berganti. Beruntung Rosihan masih mendapat kamar meskipun harus berbagi dengan Charles Tambu, pemimpin redaksi suratkabar berbahasa Inggris Independen . Saat itu, Charles Tambu menghindari kejaran tentara Belanda, mengungsi ke Yogya dan diperbantukan di Kementerian Penerangan.  Masuk kamar hotel, Rosihan menaruh kopernya di kolong ranjang lalu beranjak mandi. Dia kemudian mempersiapkan diri bertemu Sukarno pada pukul 11.00. Soal protokol tiada masalah. Bung Karno cukup terbuka dan gampang dihubungi. Maklum saja, masih dalam suasana zaman berjuang. Menjelang pukul 11.00,  Rosihan dan Soedjatmoko sudah berada di gedung kepresidenan. Bung Karno dan Bung Hatta menyambut dengan ramah. Mereka menanyakan bagaimana jalannya Konferensi Malino. Soedjatmoko – pemimpin redaksi majalah Het Inzicht terbitan Kementerian Penerangan melaporkan, Konferensi Malino diselenggarakan Hubertus van Mook. Menurut Soedjatmoko, van Mook hendak menyudutkan Republik Indonesia lewat konferensi yang melibatkan orang Indonesia bagian Timur sebagai kaki tangan. Berita baiknya, tidak semua rakyat Indonesia Timur berpihak kepada Belanda. Malahan dalam Konferensi Malino ada tokoh-tokoh daerah yang mendukung Republik. Hal inilah yang disampaikan Rosihan Anwar. Rosihan menyebutkan delegasi Sulawesi Selatan Tadjuddin Noor adalah seorang Republiken. Begitu pula dengan Raja Suppa Muda, putra Raja Bone Andi Mapanyuki yang diinternir oleh Belanda di Toraja. Raja Suppa Muda bahkan menitipkan dua helai tikar sembahyang dan sarung bugis kepada Rosihan untuk diserahkan kepada Sukarno dan Hatta. Itulah sebagai simbol dukungan rakyat Sulawesi Selatan kepada pemerintah Indonesia. “Tikar sembahyang, yang saya kepit mulai dari Makassar, saya bawa ke Jakarta, saya taruh di rak kereta api menuju Yogya, sudah sampai di tangan alamatnya,” ujar Rosihan. Di kereta api, Rosihan sempat memakai tikar sembahyang itu sebagai alas tidur.  Selesai menunaikan tugasnya, Rosihan kembali ke hotel. Alangkah terkejut dirinya menyaksikan koper yang disimpan sudah tidak ada lagi di tempat. Ditanyakan kepada pelayan hotel sia-sia belaka. Kasim Mansur, kawan Rosihan yang juga tinggal di hotel itu ikut mencari namun benda yang dicari tidak ketemu. “Rupanya bukan saja sekali merdeka, tetap merdeka, tetapi sekali hilang tetap hilang,” demikian Rosihan mengingat peritstiwa apes yang menimpa dirinya.            Semua pakaian Rosihan ada di koper itu. Rosihan pun harus bertahan dengan pakaian yang melekat di badan. Lagi pula dia tidak punya uang untuk beli pakaian salin. Dengan keadaan demikian, Rosihan pulang ke Jakarta. Nasib mujur masih menaungi Rosihan. Di Jakarta, Rosihan punya kenalan seorang tentara British Indian Army (BIA) dari unit Gurkha bernama Kapten Nirmal Sen Gupta. Sang perwira Gurkha yang bekerja di stasiun radio Sekutu di Gambir Barat ini mendengar kejadian sial yang dialami Rosihan. Kapten Gupta pun berbaik hati memberikan sepasang pakaian: seragam serdadu Gurkha. Walaupun agak gombrong, apa boleh buat. Tekstil langka dan mahal pada saat itu. Jadilah Rosihan tentara Gurkha dadakan. Sejak itu, Rosihan biasa memakai uniform hijau tentara Sekutu. Orang mungkin akan menyangka Rosihan bagian dari tentara Sekutu, padahal dirinya adalah wartawan Republiken di Jakarta. “Untung, tidak ada yang bertanya mengapa saya berpakaian demikikian,” kenang Rosihan, “Sebab kalau mesti jawab, niscaya kudu mulai dengan kisah sehelai tikar sembahyang.”

  • Nas yang Nahas

    KETIKA Presiden Sukarno bingung mencari kandidat yang pas untuk mengisi jabatan KSAD yang –sementara dijabat Pj. KSAD Kolonel Zulkifli Lubis– kosong, Gatot Subroto menyarankannya agar memilih kembali AH Nasution bila presiden menginginkan sosok yang paling sesuai dengan keinginannya untuk memimpin Angkatan Darat. Presiden akhirnya menerima saran Gatot. Saran Gatot tentu berangkat dari pertimbangan-pertimbangan rasional. Namun di luar itu, Gatot mengenal betul karakter orang yang dicalonkannya. Gatot dan Nas, sapaan akrab AH Nasution, telah menjalin persahabatan sejak lama meski usia keduanya berbeda jauh. Beberapa pengalaman hubungan kedua jenderal mantan KNIL itu di masa Perang Kemerdekaan dituliskan Nas dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas . Sewaktu Nas menjadi panglima Divisi Siliwangi dan Gatot panglima Divisi Sunan Gunung Jati, misalnya, keduanya sering bertemu. “Kolonel Gatot Subroto, panglima Divisi II, sehabis menginspeksi anak buahnya sering mampir di pos komando saya, mengolok dengan kata-kata, ‘Kamu terlalu zakelijk , kamu tak tahu kesenangan’,” tulis Nas dalam memoarnya. Nas biasanya membalas celetukan itu dengan celetukan pula. Suatu ketika, Gatot yang mengunjungi pos komando Nas mendapati Nas dan bawahannya sedang sarapan. Melihat menu sarapan mereka berupa jagung tua yang direbus dengan gula, Gatot enggan ikut sarapan dan melontarkan kalimat yang menyulut tawa hadirin. “Gigi-gigi saya sudah tua, tidak bisa mengunyah jagung setua begitu. Maka itu saya cari-cari makan di luar saja!” kata Gatot, dikutip Nas. Namun, persahabatan Nas dan Gatot tak melulu berisi canda-tawa. Usai Perjanjian Renville, Gatot pernah mencurigai Nas. “Rekan Kolonel Gatot Subroto mendapat laporan-laporan yang bersifat tuduhan bahwa Jenderal Mayor Nasution adalah seorang agen NICA. Laporan-laporan itu membanjir sedemikian banyaknya sehingga ia sendiri mulai bimbang mengenai diri saya,” kata Nas mengenang. Psywar  tentang mata-mata musuh begitu masif pada masa itu. Biasanya yang menjadi korban adalah orang-orang yang punya keterkaitan latar belakang, entah pendidikan atau jabatan, dengan Belanda, atau orang-orang yang secara fisik mirip indo. Rohmah Soemohardjo, istri Jenderal Oerip Soemohardjo, salah satu yang mengalaminya. Ia dicuriga laskar sebagai mata-mata Belanda karena punya hubungan akrab dengan orang-orang Belanda dan kemampuan bahasa Indonesianya buruk. Akibat kecurigaan itu, Rohmah selama suatu waktu pernah mengalami ancaman pembunuhan setiap hari dan rumahnya pernah diperampok. Tuduhan sebagai mata-mata NICA yang berlanjut dengan ancaman penculikan juga menimpa KSAU Komodor Suryadarma yang punya tampilan fisik seperti bule dan latar belakang sebagai navigator di AU KNIL. “Pengumuman Belanda bahwa Komodor Suriadarma ‘diberhentikan dengan resmi dari dinas militer KNIL’ merupakan bahan provokasi yang luas pula, sehingga salah seorang anggota delegasi kita sudah benar-benar menganggap dia berada di pihak Belanda,” tulis Nasution. Tuduhan itu amat mengganggu Suryadarma. “Soeriadi sering merasa kecewa, sakit hati, kalau ia mendengar isu atau desas-desus bahwa ia seorang NICA karena ia bekas KNIL,” kata istri Suryadarma, Utami Suryadarma, dalam memoar berjudul Saya, Soeriadi, dan Tanah Air . “Mungkin juga desas-desus itu berasal dari pihak-pihak kita sendiri yang merasa iri.” Karena tuduhan yang amat mengganggu itulah Suryadarma akhirnya suatu hari membuka tantangan. “Ia pernah mengumbar secara terbuka di hadapan banyak perwira dan prajurit dengan berkata, bahwa silahkan siapa saja yang berani menculik dia, akan dihadapi dengan pistolnya yang dapat dipakainya dengan tangan kiri dan kanan. Dan seketika itu juga, ia mendemonstrasikan kelihaian ini. Sejak itu hilanglah suara-suara kelompok yang mau menculiknya,” sambung Utami. Berbeda dari Suryadarma yang merespon tuduhannya dengan cara koboi, Nas justru lebih banyak diam merespon tuduhan miring yang dialamatkan kepadanya. Kecurigaan Gatot terhadapnya hilang setelah Gatot mengutarakannya kepada Wapres Moh. Hatta dan mendapat penjelasan yang meyakinkannya. Namun ketika bertemu Presiden Sukarno, Nas akhirnya mengutarakan juga kegelisahannya. Nahas bagi Nas, alih-alih mendapatkan respon serius presiden untuk membahas solusinya, dia justru mendapati presiden bersikap seolah tak peduli sambil bercanda. “Waktu saya singgung hal itu di depan Presiden, ujar beliau dengan tertawa adalah sekadar: ‘Ah, mukamu juga seperti peranakan Indo’,” kata Sukarno dikutip Nasution.*

  • Mengenang Hebatnya Dolores O’Riordan di Panggung

    Vokalis band The Cranberries asal Irlandia, Dolores O’Riordan, ditemukan meninggal dunia di bak mandi kamarnya, di Hotel Park Land Hilton, London, 15 Januari 2018. Industri musik dunia gempar. Spekulasi bermunculan. Apakah Dolores bunuh diri? Catatan dokter menunjukkan kematian Dolores bukan bunuh diri, melainkan kecelakaan setelah menenggak alkohol. “Ini kecelakaan yang tragis,” ujar dokter Shirley Radclife dilansir dari  washingtonpost.com . Dolores saat tampil di Jakarta pada 2011. (Fernando Randy/Historia). Semasa hayatnya, Dolores tampil cemerlang di blantika musik. Dia memulai kiprahnya bersama The Cranberries pada 1990. Grup ini tadinya bernama The Cranberry Saw Us dengan personel Niall Quinn (vokalis), kakak beradik Noel Hogan (gitaris) dan Mike Hogan (bassis), dan Fergar Lawler (penabuh perkusi).  Begitu Niall Quinn keluar karena alasan sudah tidak ada kecocokan di antara mereka lagi, Dolores masuk menggantikannya. Kualitas vokal Dolores memikat Mike dan Noel. Mereka akhirnya merekrut Dolores dan mengganti nama grupnya jadi The Cranberries. Bergabungnya Dolores membawa peruntungan. Lagu-lagu The Cranberries bertengger di puncak tangga lagu Irlandia, Eropa Timur, dan Amerika Utara.  Hits  mereka antara lain "Ode To My Family", "Linger", "Salvation", "Dreams" dan "Zombie". Album-album mereka juga laris manis tanjung kimpul.  Dolores dengan gitar andalanya saat membawakan lagu-lagu The Cranberries. (Fernando Randy/Historia). Dolores menghibur ribuan fansnya di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Dolores bersama The Cranberries memberikan warna baru kepada blantika musik tahun 1990. Saat itu aliran  Grunge Music  lagi jaya-jayanya dengan grup Nirvana sebagai kepalanya. Lalu diikuti oleh Soundgarden dan Pearl Jam. Keberhasilan penjualan album membawa The Cranberries tur keliling dunia. Hingga akhirnya mereka sampai pada titik jenuh dalam bermusik dan menyatakan vakum.  The Cranberries kemudian bereuni. Tempat yang dipilihnya istimewa: Indonesia. Mereka tampil dalam acara "Java Rockin Land" di Ancol, Jakarta, pada 2011. The Cranberries mementaskan hampir semua  hits -nya malam itu. Mereka sadar penggemarnya rindu setengah mampus. The Cranberries telah lama menghilang. Obat paling mujarab untuk membayar tuntas kerinduan para penggemar adalah dengan memainkan  hits  yang ada.  Suara unik nan khas adalah salah satu andalan Dolores dalam bernyanyi. (Fernando Randy/Historia). Dolores bernyanyi seolah energinya tak akan habis. Vokalis kelahiran 6 September 1971 masih atraktif serupa pemudi usia 20-an. Dia fasih memainkan gitar dan bergonta-ganti pakaian. Dan yang membuat penggemarnya makin kesengsem, Dolores tak pelit menyapa. Malam itu benar-benar milik The Cranberries, Dolores, dan ribuan penggemarnya.  Aksi bersemangat dari Dolores. (Fernando Randy/Historia). Total seluruh hits dibawakan oleh The Cranbberies di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Ribuan penggemar yang menyaksikan aksi panggung The Cranbberies. (Fernando Randy/Historia). Kini setelah hampir dua tahun kepergian Dolores, The Cranberries mengeluarkan album baru sebagai penghormatan untuk sang vokalis. Album itu memuat 11 lagu yang sempat mereka rekam saat masih bersama Dolores. Dimulai dari  singel  berjudul "All Over Now" dan berakhir pada "In The End" yang menjadi tajuk album mereka.  Tanpa lelah Dolores dan The Cranberries tampil di hadapan para penggemar mereka. (Fernando Randy/Historia). Album penghormatan itu ternyata masuk nominasi untuk kategori album rock terbaik dalam ajang Grammy Awards 2020. Dolores boleh jadi sudah bernyanyi di surga sana. Tapi sisa-sisa suaranya masih  nyantol  kuat di dunia sini. Selamat jalan, Dolores.  Usai sudah penampilan The Cranbberies dan Dolores di Jakarta. (Fernando Randy/Historia).

  • Penerjunan Tenaga Medis pada Wabah di Hindia Belanda

    UNTUK menangani pandemi Covid-19, Pemerintah Kota Jakarta Timur akan mengerahkan 2.500 tenaga medis muda. Pemilihan tenaga medis muda ini menurut Ketua Tim Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jakarta Timur Tedy Harto, karena mereka memiliki imun tubuh lebih baik daripada dokter senior. Tenaga medis muda tersebut rencananya disalurkan secara bergelombang ke sejumlah tempat layanan kesehatan di Jakarta Timur. Pada tahap pertama, sebanyak 2.000 hingga 2.500 dokter muda akan dikirim ke lapangan. "Tim medis yang akan dikerahkan sebelumnya kami berikan pembekalan dengan matang dan kami seleksi yang muda-muda," ujar Tedy sebagaimana diberitakan tempo.co, Kamis, 9 April 2020. Pengerahan tenaga medis dalam skala besar juga pernah dilakukan kala wabah cacar melanda Hindia Belanda pada abad ke-19. Pemerintah kolonial mengirimkan manstri-mantri cacar ke desa-desa agar vaksinasi atau pencacaran bisa dilakukan secara menyeluruh. Vaksin cacar sendiri baru ditemukan pada 1798 oleh dokter Inggris Edward Jenner. Setelah vaksin temuan Jenner bisa diproduksi massal di Belanda beberapa tahun kemudian, pemerintah Belanda mengirimkannya ke Hindia Belanda. Namun sayang, vaksin tersebut tidak efektif dipakai di koloninya. Dua faktor besar yang mempengaruhi ialah cuaca dan lama waktu kirim. Lamanya pengiriman lewat kapal membuat vaksin jadi rusak karena cuaca laut yang panas. Belum lagi lama waktu pengiriman mengurangi efektivitas vaksin cacar dari Inggris. Untuk menanggulanginya, pemerintah akhirnya memproduksi sendiri vaksin di Hindia Belanda. Begitu ketersediaan vaksin dipastikan cukup untuk mencacar penduduk pribumi (khususnya anak-anak), mantri-mantri dikerahkan ke desa-desa. Para mantri yang kemudian disebut mantri cacar itu sebelumnya telah dilatih oleh para dokter Eropa di rumahsakit di tiga kota besar di Jawa. Namun, pelatihan untuk para vaksinator umumnya hanya difokuskan pada pemberian suntikan dan pembelajaran untuk membedakan fitur-fitur vaksin. Teori kesehatan tidak diajarkan pada mereka. Dalam “Dari Mantri Hingga Dokter Jawa”, Baha’udin menyebut kala Thomas Raffles menjabat sebagai Gubernur Hindia Belanda, vaksinasi cacar dilakukan secara besar-besaran. Petugas vaksin tak hanya ditempatkan di kota besar seperti Surabaya, Semarang, dan Batavia. Penempatan mereka mencapai Jepara, Pasuruan, Bangil, dan Probolinggo. Sepanjang penelusuran Historia, tidak ditemukan angka pasti jumlah mantri cacar yang diterjunkan pemerintah kolonial. Yang pasti, jumlah petugas medis ditambah mengingat luasnya cakupan wilayah pencacaran. Pengerahan mantri cacar menurun pada 1850 semasa kepemimpinan pengawas vaksin A.E. Wazklewicz. Penyebabnya, para penduduk pribumi diminta mengantar anak mereka ke pusat vaksin yang jaraknya cukup jauh. Beberapa penolakan tentu terjadi mengingat pencacaran jadi hal baru bagi masyarakat pribumi. Untuk mengurangi penolakan, pemerintah menggunakan bantuan penghulu (pemimpin agama Islam) sebagai asisten. Liesbeth Hesselink mengisahkan dalam Healers on the Colonial Market , enam petugas vaksin perempuan di Jakarta sekitar tahun 1850 dipekerjakan lantaran perempuan pribumi dan anak perempuan yang sudah menikah tidak ingin divaksinasi oleh laki-laki. Vaksinator perempuan sebelumnya sudah  dilatih dengan baik karena pekerjaan mereka sulit untuk dipantau. Selain itu, mantri cacar juga mendampingi dokter dalam tugas dinas mobil yang keliling mengantar petugas medis untuk berkujung ke desa-desa. Ada pula mobil yang dirancang untuk melakukan penyuluhan keliling. Pada penanganan kasus malaria, pelatihan mantri malaria dilakukan untuk menambah jumlah tenaga medis. Dosen IAIN Surakarta Martina Safitry menulis dalam tesisnya di UGM, “Dukun dan Mantri Pes”, kursus pertama diadakan di Batavia pada 1926. Sebanyak 134 orang lulus setahun berikutnya. Para mantri malaria itu ditugaskan menangkap dan mengklasifikasikan nyamuk juga larva di sekitar tempat terjangkit. Mereka juga diminta untuk membuat dan memeriksa sampel darah penderita, mengawasi pembuatan saluran air, dan sebagai agen penyuluh penanggulangan malaria. Sementara, pada penanganan penyakit pes, pemerintah juga menerjunkan mantri pes untuk mengatasi masalah kesehatan ini. Mereka merupakan para pemuda bumiputra yang sebelumnya dilatih menjadi mantri. Tugas awal mereka ialah memberi penerangan tentang penyakit pes hingga ke pelosok Jawa. “Mantri pes selain bantu dokter Jawa dan dokter Eropa dia juga bertugas untuk awasi perbaikan rumah,” kata Martina kala dihubungi Historia. Pada 1914, muncul usulan untuk menggandeng Palang Merah Internasional untuk mengendalikan wabah pes. Para perawat Eropa didatangkan ke Hindia Belanda untuk melatih perempuan pribumi tentang perawatan kesehatan dan penanggaulanagan pes. Selain itu, jumlah mantri pes diperbanyak dari sebelumnya yang hanya satu mantri polisi dan satu mantri pes untuk satu distrik. “Pada 1915 berdiri satu dinas sendiri, ada tim peneliti untuk mencari cara menyambuhkan pes, dan penelusuran pasien terjangkit berserta keluarganya,” kata Martina. Setelah itu, jumlah orang yang dimasukkan ke barak diseleksi. Mulanya, penduduk yang berjarak 100 meter dari rumah penderita pes wajib dikarantina, tak jarang malah satu desa dikarantina di barak isolasi. Sejak ada proses seleksi, hanya orang-orang yang pernah kontak dengan penderita atau orang yang dianggap berpotensi tertularlah yang diisolasi. Namun, terlepas dari semua tindakan pencegahan pada wabah pes, kampanye skala besar juga menimbulkan kecurigaan pribumi. Penduduk yang masih awam menyebut prosedur desinfeksi sebagai sihir jahat yang dilakukan oleh Belanda. Di beberapa tempat, biopsi limpa –untuk menentukan penyebab kematian apakah pes atau bukan– mendapat penolakan. Bahkan, kata Liesbeth, ada seorang mantri dirajam karena keawaman penduduk pada prosedur biopsi tersebut.*

  • Unit 731, Alat Pembunuh Massal Militer Jepang

    Tahun 1918. Perang Dunia I berakhir. Saling adu kekuatan negara-negara besar ini menyisakan dua kubu: pemenang dan pecundang. Satu negara di Asia yang terlibat, Jepang, ada di antara para pemenang. Kejadian itu menjadi hajat pertama militer mereka di dunia internasional, pasca kemenangan saat berperang dengan Rusia.  Kemenangan di PD I begitu membekas di dalam diri prajurit-prajurit Jepang. Sebagai negara yang sedang menarget posisi nomor wahid di wilayah Asia-Pasifik, kuasa atas PD I merupakan hadiah yang amat besar. Peristiwa itu menjadi ajang unjuk gigi Jepang di hadapan negara Barat. Juga memberi kesempatan bagi negeri para samurai itu mengembangkan kekuatan militernya. Demi mewujudkan ambisi menjadi negara terkuat di Asia, Jepang berani menggunakan segala cara, termasuk menepikan sisi kemanusiaan mereka. Salah satunya dengan membentuk unit penelitian senjata biologis: Unit Manchuria No. 731 atau Unit 731. Sebuah kesatuan di dalam militer kekaisaran yang disiapkan untuk membuat senjata pemusnah dan menjadi pendukung kekuatan tempur utama. Unit itu turut menyumbang peran menghantarkan Jepang ke panggung utama PD II di Asia Pasifik pada 1939 sampai 1945.. Unit 731 merupakan satu dari alat kejahatan Jepang selama PD II. Korban percobaan unit biologis ini sangat banyak. Terparah terjadi di negara tetangganya, Cina. Sejak keduanya terlibat perang, kekejaman Jepang di negeri tirai bambu itu terus berlangsung (ingat Insiden Nanking pada 1937). Perbudakan, pembantaian, eksploitasi budak seks, menghiasi keberadaan militer Jepang di Cina. Percobaan senjata, beramunisi makhluk-makhluk mikrobiologis, terhadap manusia oleh Unit 731 mungkin menjadi yang terparah. “Anehnya, rakyat Jepang tidak menerima (menghindari) kenyataan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pemimpin militer mereka sebelum dan selama PD II. Hampir tidak ada masyarakat Jepang yang menyinggung persoalan itu,” tulis Sheldon H. Harris dalam Factories of Death: Japanese Biological Warfare 1932-1945 and the American Cover Up . Auschwitz versi Jepang Kendali Unit 731 ada di Harbin, timur laut Cina, di bawah pimpinan Shiro Ishii. Pasukan militer Kekaisaran Jepang di Manchuria bertanggung jawab penuh atas penelitian tersebut. Demi menjaga kerahasiaan penelitian yang dilakukan unit itu, pemerintah Jepang melakukan penyamaran. Dipilihlah lembaga pencegahan penyakit dan pemurnian air bagi kepentingan militer (Epidemic Prevention and Water Purification Departement of the Kuantung Army). Selain di Harbin, unit lain juga dibangun di Changchun. Kali ini pemerintah Jepang menyamarkannya sebagai lembaga pencegah penyakit hewan. Kompleks Unit 731 dilihat dari udara (Wikimedia Commons) Berdasar penelitian yang dilakukan sejarawan Hal Gold, aktifitas utama Unit 731 adalah melakukan eksperimen medis terhadap manusia. Sejumlah praktik medis terlarang; pemberian virus dan bakteri; serta obat-obatan diujicobakan kepada korban-korbannya. Para peneliti di sini dijaga dengan sangat ketat. Mereka tidak berhubungan langsung dengan pertempuran secara fisik. Dalam bukunya Japan’s Infamous Unit 731: Firsthand Accounts of Japan’s Wartime Human Experimentation Program , Hal Gold menyebut sampel manusia yang diambil oleh pasukan Jepang untuk kebutuhan Unit 731 kebanyakan berasal dari tahanan dan korban perang saat Jepang menginvasi Manchuria pada September 1931, serta perang besar di tahun 1937. “Pria, wanita, dan anak-anak dari berbagai daerah di bawa untuk kemudian digunakan sebagai bahan eksperimen, bahkan bayi-bayi yang lahir di dalam tahanan Unit 731 tampaknya juga tidak selamat,” ungkap Hal Gold. Segala aktifitas penelitian Unit 731 dilakukan di lahan seluas kurang lebih tiga hektar. Dengan area yang luas tersebut, Unit 731 membagi satuan kerjanya ke dalam divisi yang lebih kecil. Masing-masing divisi diberi jatah tenaga ahli, ratusan objek eksperimen, serta berbagai fasilitas pendukung. Totalnya ada delapan: Divisi 1 menjadi tempat penelitian berbagai virus dan bakteri (pes, kolera, antrax, tipus, dan tuberculosis; divisi 2 menjadi tempat pembuatan senjata sebagai media penyebar mikrobiologis; divisi 3 dan divisi 4 mengembangkan senjata kimia; divisi 5 tempat pelatihan; sementara divisi 6,7,8 digunakan untuk kepentingan administrasi. Selama melakukan penelitian, Hal Gold berhasil mengumpulkan kesaksian dari orang-orang yang terlibat di dalam Unit 731. Kisah yang paling terkenal dari kamp tersebut adalah kekejaman para dokter yang melakukan pembedahan kepada para korban dalam kondisi sadar dan tanpa obat pereda nyeri. Dapat dibayangkan bagaimana penderitaan para korban ketika itu. Kisah lain yang tidak kalah mengerikan adalah perjuangan mereka yang disuntikan bakteri dan virus ke dalam tubuhnya. Para dokter mencatat setiap reaksi yang dikeluarkan tubuh korbannya. Pada proses ini kemungkinan selamat sangat kecil. Umumnya para korban dibiarkan hingga tewas. Bekas bangunan Unit 731 di Harbin yang bisa dikunjungi (Wikimedia Commons) Dapat dipastikan, kata Hal Gold, para korban yang telah masuk ruang percobaan tidak akan pernah keluar hidup-hidup. Kalaupun dapat bertahan, tidak lama mereka pun akan meninggal di tempat penampungan. Kekejian percobaan Unit 731 milik Jepang ini mengingatkan para sejarawan kepada Kamp Auschwitz milik NAZI Jerman. Sehingga banyak yang menyebutnya sebagai “Auschwitz of the East”.

  • Ketika Bung Sjahrir Pergi

    MINGGU pagi, 10 April 1966. Dalam suasana Paskah, Jakarta yang baru saja tenang dari demonstrasi-demontrasi mahasiswa tetiba terhenyak. Antara  menyiarkan sebuah berita duka: Sutan Sjahrir meninggal di Zurich (Swis). Kantor Berita milik pemerintah Republik Indonesia (RI) itu mengutip keterangan dari seorang jurnalis Reuters  (Kantor Berita Kerajaan Inggris). “ Reuters  sendiri mendapat berita itu dari seorang petugas rumah sakit tempat Sjahrir dirawat,” ungkap wartawan senior, Rosihan Anwar dalam Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir. Tokoh pejuang sekaligus Perdana Menteri Republik Indonesia pertama itu pergi meninggalkan seorang istri, Siti Wahjuni Poppy Saleh (yang dinikahinya pada 1951) dan putra-putri yang masih kecil: Krya Arsjah alias Buyung (9) dan Siti Rabyah Parvati alias Upik (5). Tiga tahun sebelumnya. Presiden Sukarno lolos dari upaya pembunuhan di Jalan Cendrawasih, Makassar. Tuduhan langsung dilontarkan kepada orang-orang Republik Persatuan Indonesia (RPI), yang merupakan terusan dari pemberontakan Pemerintah Revolusiener Republik Indonesia (PRRI). Tak lama kemudian Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Majelis Sjura Moeslimin Indonesia (Masjoemi), dua partai politik yang sebagian anggotanya terlibat dalam RPI, dibubarkan. Pembubaran itu diikuti aksi penangkapan para tokoh PSI dan Masjoemi. “Didesas-desuskan bahwa sesuatu menunjuk ke arah ' Bali connection ',” ungkap Rudolf Mrazek dalam Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia . “ Bali connection ” merupakan istilah Soebandrio, Kepala Badan Poesat Intelijen (BPI) untuk sebuah kelompok rahasia yang merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno. Lebih jauh tuduhan kemudian mengarah kepada pimpinan-pimpinan PSI dan Majsoemi, termasuk Sutan Sjahrir. Sukarno sendiri nampaknya percaya terhadap informasi dari BPI tersebut. Itu dikatakan sang presiden dalam otobiografinya, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia  yang disusun oleh penulis Amerika Serikat, Cindy Adams. “Aku dapat memahami bila ada yang tidak puas (kemudian) berusaha untuk membunuhku. Oleh karena itu, aku juga mengerti bahwa aku harus membalas dan berusaha mendapatkan mereka. Beberapa waktu yang lalu, Sjahrir merencanakan komplotan untuk menggulingkanku dan merenggut pemerintahan.” Kawan lama Sukarno dan Sjahrir, Mohammad Hatta, sempat meyakinkan sang presiden bahwa kepercayaannya itu adalah salah. Lewat sepucuk surat dia mengatakan kepada Bung Karno bahwa meskipun Sjahrir tidak segan melakukan oposisi yang keras dalam berpolitik seperti zaman pergerakan, namun untuk mengikuti cara teror, Hatta menegaskan ketidakpercayaannya. “Sjahrir dan lainnya itu secara prinsip menentang segala macam teror dalam politik karena bertentangan dengan sosialisme dan perikemanusiaan,” ujar Hatta seperti dikutip Rosihan Anwar. Tapi nampaknya Bung Karno lebih mempercayai penjelasan kepala intelnya dibandingkan kawan lamanya itu. Jakarta, 16 Januari 1962. Sekira pukul 04.00. Beberapa petugas dari Corps Polisi Militer (CPM) menggeruduk rumah Sjahrir di Jalan H.O.S. Cokroaminoto No. 61. Pagi itu juga, dia diambil dan ditahan di mess CPM, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta. Tiga hari kemudian Sjahrir bersama tahanan-tahanan lainnya dipindahkan ke wilayah selatan Jakarta (Jalan Daha, Kebayoran Baru). Tepat tiga bulan setelah penangkapannya, dia dipindahkan lagi. Kali ini lebih jauh: ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun. Menurut Rosihan Anwar, di Madiun pada 16 November tekanan darah tinggi Sjahrir kembali kambuh. Dia kemudian dibawa ke RSPAD Jakarta. Setelah delapan bulan dirawat dan dianggap sembuh, Sjahrir kembali dipindahkan ke sebuah rumah di Jalan Keagungan, Jakarta. “Di sinilah kondisi kesehatannya terus mundur karena tak ada perawatan dokter yang teratur,” ujar Rosihan. Dalam situasi yang sulit seperti itu, tetiba pada 9 Februari 1965, Sjahrir dipindahkan ke RTM di Jalan Budi Utomo, Jakarta.  Padahal, menurut Rosihan, RTM Budi Utomo sangatlah tidak layak untuk Sjahrir mengingat tempat itu merupakan penjara tua yang tidak memenuhi standarisasi kesehatan yang layak. Terlebih di sana, Sjahrir ditempatkan pada sebuah kamar yang lembab (persis di sebelah kamar mandi/toilet). “Dan selama hari-hari pertama di sana, kiriman makanan dietnya dari rumah tidak boleh masuk sama sekali,” kenang Rosihan. Akibat berbagai faktor tersebut, pada 22 Februari 1965, Sjahrir mengalami stroke  pertamanya di RTM Budi Utomo. Beberapa waktu kemudian, dia mengalami stroke  keduanya saat berada di kamar mandi. Kawan-kawan sepenjaranya sudah melakukan protes agar Sjahrir cepat dibawa ke rumah sakit. Namun Si Bung memilih bertahan. “Biar dulu, biasanya setelah setengah menit juga akan berlalu,” katanya. Kendati sempat reda, namun beberapa jam kemudian seorang prajurit berteriak minta tolong karena melihat Sjahrir kembali roboh. Semua kawan-kawannya mengupayakan agar dia cepat ditolong oleh seorang dokter. Namun karena itu memerlukan izin khusus dari Jaksa Agung dan saat diupayakan tak jua tiba izinnya, pertolongan untuk Sjahrir menjadi tertunda. “Barulah keesokan harinya dengan susah payah Bung Sjahrir dapat diangkut ke RSPAD,” ujar Rosihan. Siang itu, Hasjim Ning bergegas menemui Presiden Sukarno.  Pengusaha nasional yang dikenal dekat dengan Hatta, Sjahrir dan Sukarno sendiri itu sebelumnya mendapat berita: Sjahrir stroke  dan sedang tergolek di RSPAD. Karena dikabari bahwa Sjahrir tidak bisa ditangani oleh dokter dalam negeri, maka satu-satunya jalan dia harus berobat ke luar negeri. Persoalannya, izin untuk ke sana harus langsung dapat dari presiden. “Bapak, Bung Sjahrir sudah demikianparah sakitnya. Kalau tidak berobat ke luar negeri, tak lama lagi ia akan mati,” ujar Hasjim begitu berhadapan dengan Bung Karno. Alih-alih merasa tersentuh, Presiden Sukarno malah memperlihatkan kejengkelannya dengan permohonan itu. “Mengapa kamu ribut-ribut tentang Sjahrir?” katanya dalam nada tidak suka. “Aku banyak berutang budi kepadanya,” jawab Hasjim. “Kamu. Orangnya sendiri tidak minta.” “Aku yang minta.” “Kamu bukan saudaranya. Kamu tidak siapa-siapanya,” jawab Sukarno meninggi. Dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang  ya disusun oleh A.A. Navis, Hasjim menyatakan keputusasaannya atas jawaban Sukarno. Tapi muncul ide untuk menghubungi Poppy Sjahrir agar bicara langsung kepada sang presiden. Namun sebelum itu dilakukan, rupanya Bung Karno berubah pikiran. Sejarah mencatat, dia kemudian memberikan izin kepada Sjahrir untuk berobat ke luar negeri. “Hanya di surat yang mengizinkan Sjahrir meninggalkan negeri, Sukarno dilaporkan menambah syarat: Tidak ke Negeri Belanda,” demikian penulis Mrazek mengungkapkan. Maka dipilihlah Swiss sebagai tujuan berobat. Salah satu alasannya karena Poppy menguasai sedikit bahasa Jerman (bahasa yang banyak digunakan di Swiss). Mereka bertolak dari Bandara Kemayoran pada 25 Juli 1965. Tetapi kepergian ke Swiss ternyata tidak memberikan perubahan yang berarti. Setelah sembilan bulan bergelut dengan rasa sakit dan kerinduan akan tanah air, Bung Kecil akhirnya pergi untuk selama-lamanya pada 9 April 1966.*

  • Pembatasan Sosial dan Isolasi Diri dalam Lukisan

    SIAPAPUN Anda, yang berada di epicenter pandemi virus corona (SARS-Cov-2) diimbau keras untuk membatasi diri dari aktivitas sosial ( physicaland social distancing ). Isolasi diri jika tak punya keperluan penting ke luar rumah. Demikianlah inti pesan pemerintah setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan di ibukota per Jumat (10/4/2020). Imbauan, bahkan peringatan keras senada juga digaungkan sejumlah negara yang melakoni lockdown dengan tujuan memutus mata rantai penyebaran virus corona . Intinya, setiap orang diimbau untuk tetap berada di rumah. Tentu kebosanan datang. Yang biasanya sering kelayapan entah untuk bekerja atau nongkrong, kini terpaksa harus anteng di rumah. Pasti ada banyak di antara kita yang hanya bisa menatap kosong ke arah luar dari jendela rumah, kangen akan dunia di luar rumah, dan mengharap pandemi virus corona ini segera berlalu. Percaya atau tidak, kondisi semacam itu pernah dilukiskan Edward Hopper dalam beberapa karyanya di era 1920-an hingga 1950-an. “Semua merasa sendiri dan kesepian namun berada dalam kondisi yang sama. Beberapa orang mengatakan sekarang kita hidup di dalam lukisan Edward Hopper. Tak peduli lukisan yang mana,” ungkap kritikus seni Inggris Jonathan Jones dalam ulasannya, “We Are All Edward Hopper Paintings Now” yang dimuat The Guardian , 27 Maret 2020. Edward Hopper dikenal sebagai pelukis realis asal Amerika Serikat kelahiran New York, 22 Juli 1882. Ia acap melahirkan karya-karya tentang “sikon” urban dan kehidupan di pinggiran kota, hingga akhir hayatnya pada 15 Mei 1967. Situasi Serupa dalam Empat Karya Meski semasa hidupnya ia tak pernah terimbas pandemi seperti yang terjadi saat ini, sejumlah hasil karyanya begitu intim dan visioner yang nyaris merefleksikan kondisi yang dialami berjuta-juta manusia yang terdampak virus corona zaman kiwari. Dalam lukisan berjudul Automat yang –dibuat dengan cat minyak di atas kanvas berukuran 71,4 cm x 91,4 cm– dikreasi Hopper tahun 1927, misalnya, sang pelukis menggambarkan seorang wanita dengan pakaian cukup mewah terduduk sendirian di sebuah automat di malam hari. Automat adalah semacam restoran cepat saji yang makanannya didapat konsumen lewat mesin makanan otomatis. Lukisan "Automat" yang dibuat Edward Hopper tahun 1927 (Foto: edwardhopper.net ) Diungkapkan Wieland Schmied dalam Edward Hopper: Portraits of America , model wanita dalam lukisan Automat tak lain adalah istri sang pelukis, Josephine Verstille Nivison Hopper. Hopper ingin mendeskripsikan wanita tersebut tengah diterpa kesepian yang amat sangat. Selain seorang diri, nuansa kesepian dihadirkan dari automat yang tak seramai biasanya gegara depresi ekonomi sejak awal abad ke-20. “Sang wanita menatap cangkir kopinya seolah-olah hanya secangkir kopi itu yang ia miliki di saat itu,” papar Schmied. Kondisi itu “11-12” dengan yang terjadi saat ini meski penyebabnya berbeda. Lukisan Automat lantas dijadikan gambar sampul majalah Time edisi 28 Agustus 1995 yang mengulas tentang depresi ekonomi di abad ke-20 itu. Adapun lukisan aslinya saat ini menjadi koleksi Des Moines Art Center, Iowa, Amerika Serikat. Beralih ke era 1940-an, ada lukisan Nighthawks yang dibuat Hopper pada 21 Januari 1942. Lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 84,1 cm x 152,4 cm itu menggambarkan suasana malam di sebuah restoran sederhana dengan seorang pelayan di belakang meja counter dan tiga konsumennya, ditambah deskripsi sisi luar restoran nan gelap. Lukisan "Nighthawks" yang disebut sebagai salah satu karya terbaik Edward Hopper (Foto: Arts Institute of Chicago) Jembatan antara kondisi saat ini dan gambaran dalam lukisan itu adalah jaga jarak ( social distancing ). Nighthawks memperlihatkan sejoli lelaki dan perempuan yang duduk berjarak agak jauh dari seorang konsumen pria lain. Beberapa kritikus menginterpretasikan lukisan itu sebagai potret keadaan Amerika yang terbilang sepi dan tenang sebelum Amerika terjun ke Perang Dunia II. Keadaan masyarakat urbannya saat itu menyukai ketenangan dan menyepi di restoran yang buka sampai tengah malam, tanpa diganggu kasak-kusuk tentang perang. “Gambaran yang cukup menghantui namun sangat populer (di negara di mana seni tinggi tak dihargai sebagaimana mestinya), lukisan ini menunjukkan sosok-sosok yang kesepian di sebuah restoran sederhana di sebuah kota pada larut malam dan lukisan ini bisa menjadi jendela untuk melihat kondisi Amerika yang tak pernah lagi kembali seperti dulu,” ungkap Gordon Theisen dalam Staying Up Much Too Late: Edward’s Hooper Nighthawks and the Dark Side of the American Psyche. Lukisan Nighthawks disebut-sebut sebagai salah satu karya terbaik Hopper. Karya itu terpajang di Art Institute of Chicago setelah galeri seni itu membelinya USD3 ribu pada 13 Mei 1942. Lukisan lain Hopper yang relevan dengan yang dirasakan sebagian besar orang terdampak virus corona adalah Cape Cod Morning . Lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 86,7 cm x 102,3 cm yang dibuat pada Oktober 1950 itu kini bisa dilihat di Smithsonian American Art Museum. Lukisan "Cape Cod Morning" yang sedikit berbeda dari beberapa lukisan Hopper bergaya urban (Foto: americanart.si.edu ) Sejarawan seni Gail Levin membeberkan detail lukisannya dalam Edward Hopper: An Intimate Biography , di mana terdapat sesosok wanita pirang bergaun pink tengah melongok ke arah luar rumah dari jendelanya. Ia menatap kosong ke arah pepohonan lebat dan rerumputan yang menguning di luar rumahnya. “Sikap tubuh sang wanita tampak tegang, menciptakan rasa penasaran dan penggambarannya begitu kental menjelaskan pemisahan antara tempatnya berdiri di sisi dalam rumah dan dunia luar,” ungkap Levin. Lukisan itu juga mendeskripsikan kecemasan sang wanita apabila ia keluar dari rumahnya dan melangkah ke dunia luar. Suasana batin ini familiar dengan situasi sekarang, di mana banyak orang takut jika keluar rumah bisa terjangkit virus corona. Meski begitu ada sedikit perbedaan dalam Cape Cod Morning dengan beberapa karya Hopper lain yang “berbau” pembatasan diri antara di dalam sebuah ruangan dan dunia luar. Jika dalam beberapa karya lain latarbelakangnya melulu urban, dalam Cape Cod Morning latar panoramanya berupa rumah pondok di dekat hutan di daerah terpencil. Diuraikan Levin, nyatanya rumah di South Truro, Cape Cod, itu adalah rumah peristirahatan yang biasa ia dan istrinya datangi setiap musim panas sejak 1934. Hopper pertamakali datang ke Cape Cod pada 1930 dan merasa mendapat banyak inspirasi untuk karyanya. Empat tahun kemudian rumah itu ia beli untuk rumah musim panas. Sosok wanita di Cape Cod Morning pun tak lain adalah istrinya yang dijadikan modelnya. Lukisan "Morning Sun", sebagaimana beberapa lukisan Hopper lainnya, juga memanfaatkan istrinya, Jo Nivison sebagai modelnya (Foto: edwardhopper.net ) Deskripsi lukisan Cape Cod Morning juga mirip dengan karya Hopper yang dibuat pada 1952, Morning Sun . Dalam lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 71,4 x 101,9 cm yang kini terpajang di Columbus Museum of Art itu, Hopper juga menggambarkan seorang wanita berpakaian pink yang menatap kosong ke arah luar via jendelanya. “Sesosok wanita terduduk di atas tempat tidur yang terekspos cahaya pagi yang sejuk, di mana tatapannya mengarah ke jendela terbuka. Penggambaran interior mirip di dalam sebuah apartemen dan dunia luar yang bernuansa kota modern dipisahkan oleh jendela, seolah sang wanita tengah terisolasi oleh dirinya sendiri,” tulis Kerstin Stremmel dalam Realism. Hopper menguraikan tentang lukisan itu, bahwa fokus utama dalam Morning Sun lebih kepada sinar mentari pagi yang menerpa sosok wanita tersebut. Juga efek siluet dan bayangan dari sinarnya, baik terhadap sang wanita maupun interior ruangan di mana wanita itu berada. “Mungkin saya bukan manusia pada umumnya. Perhatian saya adalah melukiskan sinar matahari yang mengarah ke dinding ruangan. Menjadikan sosok wanitanya bermandikan sinar itu,” tutur Hopper dikutip Stremmel.

  • Penginjil Kristen dan Wabah di Tanah Batak

    Makhluk-makhluk yang telah membangkai itu berpuluhan ribu jumlahnya. Manusia yang tewas maupun kuda perang yang mati akibat pertempuran terserak bergelimpangan. Jasadnya terapung-apung di tepi sungai dan danau. Benih penyakit pun menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru. Demikianlah keadaan di Tanah Batak setelah kaum Padri melancarkan serangannya. Augustin Sibarani penulis buku Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamngaraja XII mencatat higienitas udara di Tanah Batak pada waktu itu sebenarnya sudah mulai mengerikan. Musababnya adalah merebaknya tiga macam wabah misterius. Tiga "hantu" sedang menghinggapi daerah Humbang dan Toba Holbung, yaitu: Begu Attuk , Begu Aron , dan Ngenge na Birong . “Ini adalah nama-nama yang amat kesohor di Tanah Batak, tiga macam penyakit terkutuk yang amat sering melanda daerah-daerah indah di sekitar Danau Toba ini berupa epidemi-epidemi yang membawa banyak putra-putra Batak ke liang kubur: kolera, tipus, dan penyakit cacar,” tulis Sibarani. Misionaris Inggris Ditolak Ragam penyakit yang mewabah di Tanah Batak memantik penguasa kolonial untuk bertindak. Sir Thomas Stamford Raffles menginginkan agar misi penginjilan masuk ke Tanah Batak. Menurut Gubernur Jenderal Inggris di Asia itu wilayah itu perlu di-kristenkan dengan menakar berbagai pertimbangan strategis. Meskipun sarat muatan politik, pada 1824 dikirimkanlah tiga misionaris dari Baptis Mission Society of England ke Tapanuli. Mereka antara lain: Richard Burton, Nathaniel Ward, dan Evans. Pendeta Ward juga seorang ahli medis yang bertugas menyelidiki keadaan kesehatan dan penyakit menular di Tapanuli bagian utara, terutama di Lembah Silindung dan Toba. Di tempat inilah berjangkit penyakit kolera .Ward dan kawan-kawan diterima dengan ramah setibanya di Lembah Silindung pada 4 Mei 1824. Orang-orang Batak di sana lebih besar keingintahuannya dibanding memantik bermusuhan. Burton dan Ward melaporkan bagaimana orang-orang Batak menganggap dirinya sebagai penghuni asli di daerah itu. Sultan Minangkabau diakui sebagai penguasa tertinggi atas raja-raja setempat. Ketika para misionaris itu mengabarkan ajaran Kristen, orang-orang Batak merasa tidak sanggup meninggalkan tradisi adat yang sudah mendarah daging. “Akibatnya bahwa tawaran-tawaran untuk menginjil dan dalam hal-hal lain membantu orang-orang Batak, ditolak dengan hormat,” tulis Paul B. Pedersen dalam Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja Batak di Sumatra Utara . Setelah kunjungan Ward dan Burton, kaum Padri kembali melancarkan agresi. Pada 1833, Tuanku Imam Bonjol memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Tanah Batak ikut terseret lagi dalam pergolakan. Ketika tentara Bonjol menduduki Tanah Batak, orang-orang Batak mengingat sebuah kalimat dari khotbah Richard Burton beberapa tahun sebelumnya. “Anda harus berkurang dulu dan menjadi kecil dan hanya dengan demikian anda dapat memasuki Kerajaan Allah,” kata Burton dikutip Pedersen. Sejak saat itu misionaris-misionaris Barat yang melawat ke Tanah Batak ditentang dengan keras. Kedatangan Nommensen Keadaan di Tanah Batak tidak banyak berubah malahan makin parah. Disamping wabah-wabah yang telah disebutkan, muncul pula lagi penyakit lepra. Orang-orang yang terkena lepra dalam bahasa Batak disebut nahuliton.  Hingga kemudian datanglah misionaris asal Jerman bernama Inger Ludwig Nommensen. Nomensen merupakan utusan Seminari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) di Wupertal-Barmen, Jerman. Sejak 1863, Nommensen telah menjalankan misi kristenisasi di Tanah Batak. Berbasis di Pea Raja, Tarutung, dia mendirikan sekolah misi bernama Batakmission . Sedari mula, usaha penginjilan Nommensen tidak mendapat respon yang bagus dari raja-raja Batak setempat. Dia bahkan sempat menjadi sasaran pembunuhan lantaran pengaruh dan ajarannya tidak disukai. Ketika Nommensen memulai siar Injil, bertepatan pula dengan masa merajalelanya wabah penyakit menular di Tanah Batak. Pada 1866, epidemi cacar yang dalam bahasa Batak disebut ngenge na birong membuat banyak anak-anak Batak mati terkapar. Saban hari kira-kira 20-30 orang anak dimakamkan ke liang kubur di sekitar Huta Dame. Selain cacar, ada kampung-kampung disekitar Tarutung yang seluruh penduduknya semua mati disambar penyakit begu attuk  alias kolera. Penyakit ini terus menular kemana-mana. Nommensen tidak tutup mata menyaksikan rentannya orang Batak terserang wabah penyakit. Menurut Guru Besar STT Jakarta, Jan Sihar Aritonang, Nommensen tidak melulu menyebarkan ajaran agama lewat pengajaran pendidikan. Salah satu ujung tombang misi penginjilannya adalah pelayanan kesehatan. Bersama rekannya sesama zendeling  maupun penduduk setempat yang telah dibaptis, Nommensen menarik jiwa dengan berbagi pengobatan. Lewat pendekatan itulah orang-orang Batak mulai bersimpati sehingga tertarik terhadap ajaran Kristen. “Akibat wabah penyakit menular, para zendeling  dibantu guru-guru dan murid sekolah di beberapa tempat menjalankan pelayanan kesehatan, antara lain merawat yang sakit, membagikan obat, dan memberikan penyuluhan,” tulis Jan Sihar Aritonang  dalam Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak . Sibarani bahkan mencatat, “adalah suatu kenyataan bahwa orang-orang (Batak) Kristen sedikit yang menjadi korban wabah penyakit.” Mereka lebih banyak kesempatan untuk mendapat perawatan higienis dari pendeta-pendeta Batakmission . Disamping menginjil, para pendeta dan pembantunya sering merangkap sebagai jururawat. Mereka bekerja keras menyembuhkan orang sakit.  Karena para misionaris itu memberikan pelayanan medis dan obat-obatan secara cuma-cuma, berduyun-duyun penduduk mencari perlindungan ke basis Kristen di Pea Raja, Tarutung. Kepercayaan orang Batak terdap misi suci pengabar Injil itu semakin menguat dalam tempo singkat. “Setelah menjalarnya penyakit-penyakit itu, banyak orang yang datang mendaftarkan untuk dibaptiskan sebagai orang-orang Kristen.” Tulis Augustin Sibarani. Dari yang semula sinis kini banyak banyak penduduk Batak yang menjadi pengikut Kristus. Hingga tahun 1870, sudah berdiri 10 sekolah zending Batakmission  di lembah Silindung. Pada dekade ini, populasi Batak yang sudah di Kristen-kan sudah cukup besar untuk menjadi sebuah kekuatan sosial dan politik.  ah di Kristen-kan sudah cukup besar untuk menjadi sebuah kekuatan sosial dan politik.

  • Dua Legenda Ludruk Indonesia

    Nama Cak Gondo Durasim sudah melegenda di dunia kesenian ludruk. Ia memimpin Ludruk Genteng yang justru lebih terkenal dengan nama Ludruk Gondo Durasim. Ludruk ini melakukan pembaruan terhadap kesenian ludruk dan melakukan pertunjukan-pertunjukan revolusioner selama masa kolonial. Cak Gondo adalah seniman ludruk kelahiran Jombang, di mana diyakini juga merupakan tempat kelahiran kesenian ludruk itu. James L. Peacock dalam Ritus Modernisasi, Aspek Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia  menyebut pada akhir abad ke-20, Cak Gondo telah mengorganisir sebuah rombongan ludruk yang jumlah anggotanya tak terbatas. Rombongan ludruk ini kemudian memainkan pertunjukan utuh dengan cerita, karakter dan tokoh yang beragam. Mereka juga tidak menggunakan lagi peran dan nama yang sama dalam semua pertunjukan. “Sebuah deskripsi mengenai ludruk yang diterbitkan pada tahun 1930 melaporkan bahwa Durasim baru saja mengorganisir sebuah 'jenis ludruk baru', yang tampil di hadapan kelompok studi nasionalis, Persatuan Bangsa Indonesia atau Perhimpunan Indonesia,” tulis Peacock. Menurut laporan yang dikutip Peacock, Cak Gondo pernah dianugerahi penghargaan oleh dr. Soetomo, pendiri Boedi Oetomo, sebagai pelopor dalam memanfaatkan pertunjukan rakyat demi nasionalisme. Ludruk yang dipimpin Cak Gondo telah menjadi media yang membuat ide-ide nasionalisme bisa diterima pikiran rakyat. Dr. Soetomo juga mensponsori ludruk Cak Gondo tampil di Gedung Nasional Indonesia. Namun, pada 1936, mereka tidak lagi bisa tampil karena dilarang oleh Belanda. Ketika Jepang mulai menduduki Indonesia pada 1942, ludruk digunakan untuk menyebarkan propaganda Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Meskipun dalam kontrol Jepang yang ketat, Cak Gondo Durasim justru menciptakan kidungan yang legendaris: “ Pegupon omahe doro, melok Nipon tambah soro .” Artinya, “pegupon rumah burung dara, ikut Nipon tambah sengsara.” “Sebagai akibatnya, menurut satu cerita, dia disiksa oleh tentara Jepang dan kemudian meninggal dunia pada tahun 1944,” sebut Peacock. Semangat Cak Gondo Durasim dilanjutkan oleh Wibowo atau Cak Gondo bersama Ludruk Marhaen. Cak Bowo lahir ketika Cak Gondo Durasim tengah jaya memimpin ludruknya. Menurut obituari di Harian Rakyat , 10 Mei 1964, Cak Bowo adalah anak seorang Digulis. Ia dibesarkan dan banyak belajar perjuangan revolusioner para perintis kemerdekaan di tanah pembuangan. “Saya belajar melawak dan untuk pertama kali naik panggung, ketika saya masih mengikuti ayah di Digul yang dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda di sana. Waktu itu saya masih berumur 5 sampai 6 tahun dan Moestadjab yang menjadi bintang film itulah yang pertama kali mengajar saya naik ke atas panggung,” kata Cak Bowo seperti dikutip Harian Rakjat. Setelah Indonesia merdeka, Cak Bowo turut serta dalam perjuangan melawan Belanda di Surabaya. Ia bergabung dengan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan aktif di bagian Penerangan dan Propaganda DPP Pesindo. Pada 18 Juni 1949, Ludruk Marhaen didirikan oleh pelawak Rukun Astari dan Shamsudin. Ludruk asal Surabaya ini sebenarnya telah dibentuk pada 1945 namun sempat tidak aktif pada 1948. Ludruk ini juga merupakan sayap kebudayaan Pesindo. Cak Bowo bergabung dan menjadi ikon Ludruk Marhaen. Ludruk Marhaen menjadi salah satu ludruk paling terkenal pada masanya. Rombongan ini memulai tradisi baru di dunia ludruk yakni drama tragedi dengan semangat revolusi. Meski demikian, mereka tetap mempertahankan gaya satir yang khas ludruk. “Nama Bowo dengan Ludruk Marhaen tidak bisa dipisahkan, sudah menjadi satu. Setiap pertunjukan Ludruk Marhaen tanpa Bowo seperti minum kopi tanpa rokoknya,” tulis Harian Rakjat . Harian Rakjat menyebut nama Cak Bowo kala itu patut disejajarkan dengan Cak Gondo Durasim sebagai pelawak ludruk kenamaan abad ke-20. Sementara itu, Ludruk Marhaen sering mendapat undangan pentas di Istana Negara. Sukarno sendiri yang menginginkannya. Pasalnya, Ludruk Marhaen juga kerap mempropagandakan ide-ide politik Sukarno. Ludruk Marhaen juga dikenal dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) meski tidak secara resmi menjadi bagian dari partai itu. Perjalanan panggung Cak Bowo terhenti pada 4 Mei 1964. Ia mengalami kecelakaan bersama rombongannya dengan menumpang bus hadiah presiden ketika menuju Lumajang untuk pementasan. Cak Bowo meninggal dunia dalam kejadian itu sedangkan empat anggota rombongannya luka berat.

  • Inspeksi Pesawat AU, Panglima Soedirman Diterbangkan ke Bali

    Hari ini TNI AU berdirgahayu ke-75. Garda langit NKRI itu lahir di masa revolusi fisik pada 9 April 1946 dengan nama Tentara Repoeblik Indonesia (TRI) Oedara. Sebelumnya, TRI Oedara menyandang nama Tentara Keamanan Rakjat (TKR) Djawatan Oedara. Matra udara militer Indonesia itu kekuatannya dibangun dengan sisa-sisa pesawat bekas Jepang. Salah satunya pernah digunakan untuk menerbangkan Panglima Besar Jenderal Soedirman hingga ke Bali. Pada akhir 28 April 1946, sang jenderal melakonis itu punya agenda tugas ke Malang, Jawa Timur. Mengutip Taufik Abdullah dkk dalam 50 Tahun Indonesia Merdeka: 1945-1965 , Panglima Soedirman akan menginspeksi tawanan tentara Jepang yang sudah dilucuti TRI. Para tawanan yang sebelumnya ditahan di Penjara Lowok Waru, Malang, hendak diberangkatkan ke Surabaya untuk diserahkan kepada pihak Sekutu yang akan memulangkan mereka ke Jepang. Namun sehari sebelumnya, 27 April, atau 18 hari setelah TRI Oedara (kini TNI AU) lahir lewat Penetapan Pemerintah Nomor 6/SD Tahun 1946, sang jenderal lebih dulu menginspeksi kekuatan TRI Oedara di Pangkalan Bugis, Malang (kini Lanud Abdulrahman Saleh). Pasalnya ia mendengar bekas pesawat Jepang yang diambilalih untuk menjadi kekuatan tempur AU banyak terdapat di Malang selain di Pangkalan Maguwo, Yogyakarta dan Pangkalan Andir, Bandung. Kunjungan istimewa sang jenderal itu ditemani sejumlah pejabat Jawa Timur. Selain Gubernur Jawa Timur RMT Ario Soerjo, turut pula Panglima Divisi VII/Oentoeng Soeropati Jenderal Mayor Imam Soedja’i, Ketua KNI Surabaya Doel Arnowo, dan Ketua Barisan Pemberontak Repoeblik Indonesia (BPRI) Soetomo alias Bung Tomo. “Dalam kunjungan ini, ikut pula perwira dari Markas Besar TRI Angkatan Oedara Yogyakarta, Halim Perdanakusuma dan Abdulrachman Saleh. Dua penerbang andal TRI Oedara masa itu,” ungkap tim sejarah MBAU dalam Sedjarah Pertumbuhan AURI. Pesawat PD-I yang hendak dijajal Panglima Jenderal Soedirman (Foto: Repro "Sang Elang") Komandan Pangkalan Bugis cum  Ketua TRI Oedara Malang saat itu dijabat Lettu Imam Soepeno. Sementara tanggungjawab atas perbaikan semua pesawat Jepang yang diambilalih terletak di pundak Komandan Pertahanan Teknik Pangkalan Lettu Hanandjoeddin. Kala itu, Pangkalan Bugis punya belasan pesawat serbu Cukiu (Tachikawa Ki-55), tujuh pesawat pembom tukik Guntai (Mitsubishi Ki-51), serta masing-masing satu unit pesawat angkut Rocojunana dan pembom ringan Sokei (Kawasaki Ki-48). Dua pesawat terakhir diberi nama Pangeran Diponegoro I (PD-I) dan Pangeran Diponegoro II (PD-II) setelah siap terbang usai diperbaiki dan diujicobakan sebelumnya. Mulanya, Jenderal Mayor Imam Soedja’i menawarkan Panglima Soedirman untuk menjajal PD-II. Namun ia lebih tertarik menjajal PD-I   alias pesawat pembom ringan Sokei Ki-48. Menariknya, Jenderal Soedirman justru ingin “disopiri” oleh pilot yang sebelumnya mengujicobakan PD-I ketimbang dipiloti Halim atau Abdulrachman Saleh yang sudah diakui keandalannya sebagai penerbang. “Siapa yang kemarin menguji coba pesawat ini?” tanya Soedirman, dikutip Haril Andersen dalam biografi H. AS Hanandjoeddin, Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI.   “Siap, Panglima! Penerbang Atmo yang sudah mengujicobanya,” jawab Jenderal Imam Soedja’i. “Kalau begitu, saya minta Atmo untuk menerbangkannya lagi. Saya mau mencoba naik pesawat ini,” pinta Soedirman. Seraya memanggil Atmo, Hanandjoeddin meminta komandan regu perbaikan PD-I opsir Mohammad Usar untuk menyertai Panglima Soedirman. Setelah sedia, keduanya berbaris di hadapan panglima dengan sikap siap. “Ketika itu barulah Pak Dirman tahu kalau Atmo seorang penerbang Jepang. Namun ia sudah dijamin membaktikan diri menjadi penerbang Indonesia. Atmo adalah seorang sahabat AURI di masa kemerdekaan. Cukup besar andilnya dalam menguji coba pesawat-pesawat peninggalan Jepang,” lanjut Haril. Lettu Hanandjoeddin (kanan) dan anak buahnya yang menukangi pesawat PD-I (Foto: Repro "Sang Elang") Soedirman tetap pada pendiriannya untuk menjajal kokpit pesawat PD-I dengan dipiloti Atmo dan ditemani Usar sebagai teknisinya. “Pesawat PD-I stand by  di ujung landasan. Suara mesinnya meraung-raung. Tak lama kemudian pesawat take off  dengan mulus. Sesuai permintaan Pak Dirman, pesawat terbang di atas kota Banyuwangi, lalu ke arah Bali. Kemudian kembali lagi ke Pangkalan Bugis setelah terbang tiga perempat jam,” sambung Haril. Pesawat itu kembali mendarat di Pangkalan Bugis dengan selamat. Raut wajah Pak Dirman tampak puas kala keluar dari pesawat. Hanandjoeddin lega Pak Dirman bisa kembali dengan “utuh”. Maklum, pesawatnya membawa orang nomor satu di militer Indonesia. Kelegaan lain Hanandjoeddin adalah ketika mengecek kondisi pesawat, ternyata masih prima. Padahal, pesawat itu mengalami kebocoran hidrolik dan pompa oli kala diujicobakan pada medio Februari 1946 usai diperbaiki siang-malam oleh teknisi Usar, Kartono, Mat Karim, Naim, dan Moedjiman dengan pengwasan Hanandjoeddin. “Di kemudian hari pesawatnya dibawa ke Yogyakarta. Meski begitu pesawat Pangeran Diponegoro-I tak pernah digunakan dalam misi pengeboman. Lebih sering digunakan Jenderal Mayor Soedibjo untuk mengurus tawanan perang RAPWI,” tandas Haril.

  • Jenderal Jusuf dan Para Wartawan

    BISA dikatakan Jenderal TNI M. Jusuf adalah Panglima ABRI yang paling disenangi wartawan pada masanya. Selain dikenal ramah terhadap kuli tinta, Jusuf juga tidak “pelit” berbagi dengan mereka. Jusuf membuktikan itu dengan kebiasaan mengajak para wartawan untuk meliput perjalanan dinasnya. “Antara tahun 1978-1983, Jusuf identik dengan perjalanan keliling Indonesia. Perjalanan pun identik dengan hidup, makan, tidur di dalam perut (pesawat) Hercules,” tulis Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit . Bagi kalangan wartawan, kunjungan ke penjuru negeri ini disebut sebagai “Safari Jusuf”. Hampir sebagian besar perjalanan Jusuf ke luar kota diawali pada dini hari. Artinya, berangkat sekitar pukul 05.00 pagi. Maka bagi wartawan yang diajak untuk meliput sudah dijemput oleh staf Menhankam pada pukul 02.00-03.00 dini hari. Jusuf punya aturan terhadap para wartawan yang berkesempatan mengikuti safarinya. Mereka harus mengenakan seragam serba hijau, baik seragam formal ataupun lapangan (Pakaian Dinas Lapangan). Di balik aturan itu terselip alasan khusus. “Supaya mereka menghayati dan merasakan denyut nadi para prajurit ABRI,” kata Jusuf ditirukan Atmadji. Sekira 30 menit setelah pesawat berangkat dari Pangkalan Halim Perdanakusumah, Jusuf suka melakukan inspeksi dalam pesawat. Dia melihat siapa-siapa saja penumpang yang jadi anggota rombongan. Kesempatan itu juga yang selalu digunakan Jusuf untuk menyapa para wartawan. Kadang-kadang Jusuf memberikan informasi kepada wartawan mengenai tujuan yang harus dicapai dalam kunjungan tersebut. Pembicaraan Jusuf dengan wartawan acap kali diselingi canda. Bagi yang sudah dikenalnya baik, Jusuf kerap melayangkan tanya, “Bagaimana kabarmu? Baek-baek  saja kan?” Jusuf juga tidak sungkan memperhatikan penampilan wartawan yang terlihat agak urakan. Misalnya, jika dilihatnya ada wartawan yang gondrong, Jusuf akan berseloroh, “Kau rapikan sedikit rambutmu ya, biar kelihatan bagus.” Di dalam pesawat, Jusuf tidak senang kepada mereka yang punya kebiasaan merokok. Dia bisa marah kalau melihat asap membubung, sekalipun terhadap sesama perwira tinggi. Namun Jusuf toleran kalau soal tidur. Jusuf senang jalan ke kabin belakang dan mengamati para penumpang yang tertidur lelap. Beberapa jam kemudian dalam suasana yang santai, dia sering meledek para wartawan. “Wah enak sekali kalian ini, sudah nggak bayar naik pesawat terbang, tidurnya pulas pula,” celoteh Jusuf . Siapapun tidak ada yang marah karena tahu bahwa itu sekedar senda gurau belaka. Setiap kali ikut serta meliput kunjungan kerja Jusuf di daerah, semua kebutuhan wartawan ditanggung. Mulai dari transportasi, makan, hingga akomodasi. Mereka yang sudah jadi langganan tetap masuk kategori “rombongan sirkus”. Namun ada pula wartawan yang diajak secara dadakan. Suatu siang usai rapat kerja DPR, empat orang wartawan menunggu Jusuf untuk melakukan wawancara. Ketika Jusuf berjalan ke luar ruangan, otomatis para wartawan mengerumuninya sambil menyodorkan alat perekam. Namun Jusuf sedang dalam kondisi kurang mood  untuk diwawancarai. Dengan tongkat komandonya, dia menunjuk satu-satu ke perut wartawan itu. “Aku sedang malas bicara. Kau, kau, kau, dan kau, ikut aku saja sekarang ke Halim! Kita berangkat ke Medan satu jam lagi,” ujar Jusuf spontan. Dengan cepat, staf Jenderal Jusuf mencari sebuah mobil untuk menaikan para wartawan itu. Keempat wartawan tadi pun diangkut dalam keadaan setengah bengong . Setibanya di Medan, barulah mereka punya waktu untuk buru-buru membeli sikat gigi, odol, pakaian dalam dan baju ganti. Salah satu wartawan yang beruntung selalu mengikuti kunjungan Jusuf ialah Atmadji Sumarkidjo. Ketika itu, Atmadji masih seorang reporter muda harian Sinar Harapan . Menurut Atmadji, hubungannya dengan Jusuf pada awalnya sebatas profesionalitas antara wartawan dengan narasumbernya. “Kemudian hubungan tersebut berkembang menjadi hubungan pribadi yang amat berkualitas dan tak pernah satu kali pun terhenti hingga Pak Jusuf wafat,” kenang Atmadji. Hubungan karib tersebut dimulai dengan perhatian khusus yang diberikan oleh istri Jusuf, Elly Jusuf Saelan atas tulisan-tulisan yang dimuat di surat kabar  Sinar Harapan . Atmadji kemudian dipercaya untuk menuliskan biografi M. Jusuf yang berjudul  Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit.   Seiring waktu, karier jurnalis Atmadji kian menanjak di  Sinar Harapan . Namanya pun malang melintang di dunia media maupun penerbitan tanah air. Kini Atmadji lebih dikenal aktif sebagai staf khusus Menteri Kordinator Bintang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.*

  • Krisis Ekonomi Masa Sukarno

    KRISIS ekonomi beberapa kali mewarnai sejarah Indonesia. Penyebabnya beragam: bisa karena pengaruh perubahan dunia luar atau lantaran dinamika politik dalam negeri. Untuk penyebab kedua, Indonesia mengalaminya pada dekade 1960-an. Banyak orang terkapar menyusul krisis itu. Tapi segelintir kecil lainnya justru makmur.

bottom of page