Hasil pencarian
9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Lagu Buat Alex Kawilarang
KETIKA masih berpangkat mayor (1946), demi suatu kepentingan Alex Evert Kawilarang ada di Jakarta. Berpenampilan sebagai orang sipil, ia menumpang sebuah becak untuk sampai ke tujuan. Tak dinyana, di depan Centraal Burger Ziekenhuis (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), becak yang ditumpanginya disalip sebuah jip militer berisi 4 serdadu KNIL. Jip tersebut kemudian berhenti beberapa meter di depan becak yang ditumpangi Kawilarang. Para serdadu KNIL itu dalam gerakan kilat berloncatan dari kendaraan itu dan salah seorang dari mereka berdiri menghadang perjalanan Kawilarang. “Saya kenal orang itu. Dia perwira KNIL Sam de Jong, teman sekelas saya semasa di KMA (Akademi Militer Kerajaan),” ungkap Kawilarang seperti tertulis dalam otobiografinya, Untuk Sang Merah Putih (disusun oleh Ramadhan K.H.) Kawilarang berpikir Sam pasti belum tahu dirinya sudah bergabung dengan TKR. Setelah keluar dari becak, dia kemudian mengulurkan tangannya kepada Sam sambil berbicara dalam bahasa Belanda. “Halo Sam. Kok ada di sini? Aduh saya tidak berseragam KNIL karena masih sakit akibat ditangkap Kenpeitai,” ujar Kawilarang. Selintas muncul bisikan di pikirannya untuk tidak memberi kesempatan kepada Sam untuk bicara. “Sam kau tinggal di mana? Nanti sore saya ke sana…” “Ya, ya…” jawabnya sambl matanya terus mengawasi Kawilarang. “Aduh Sam, saya belum bisa mendapat pekerjaan setelah disiksa oleh Jepang. Saya masih nganggur,” Kawilarang terus nyerocos. Seperti tidak paham apa yang harus dilakukan, Sam de Jonge hanya bisa menganguk-anggukan kepalanya seraya bertolak pinggang. Kendati tidak terlihat memiliki niat jahat namun nampak sekali sikapnya pun agak kurang ramah terhadap Kawilarang. Sebelum kawan lamanya itu berubah pikiran, Kawilarang lantas cepat pamit. Maka selamatlah dia dari incaran kawan lamanya tersebut. 32 tahun kemudian, soal pertemuan itu dibahas oleh Kawilarang dan Sam pada saat keduanya bertemu dalam reuni peringatan berdirinya KMA yang ke-150 di Breda, Belanda. Di luar perkiraan Kawilarang, ternyata Sam sebenarnya sudah tahu bahwa kawannya itu telah bergabung dengan tentara Republik. “Kenapa kau tidak menangkap saya?” tanya Kawilarang “Bagaimana bisa kawan menangkap sesama kawan di luar pertempuran?” jawab Sam. Ternyata solidaritas korps di KMA tetap terjaga kendati dalam kondisi mereka harus saling berhadapan sebagai musuh. Penghargaan atas persahabatan satu korps juga diperlihatkan para perwira KNIL (yang pernah satu angkatan dengan Kawilarang) di medan pertempuran. Dalam otobiografinya, Kawilarang berkisah saat bergerilya di pelosok selatan Cianjur dia kerap mendapat kiriman lagu via Radio Angkatan Bersenjata Belanda. “Maka di bulan Maret, 1947 saya dengar penyiar radio itu bicara dalam bahasa Belanda: Dan sekarang untuk Letnan Kolonel Alex Kawilarang dari TNI, dari kawan-kawan lamanya, inilah (lagu) ‘Lay that pistol down’…” tutur Alex Kawilarang. Sejak itulah, sang overste hampir tiap dua minggu sekali rutin mendapat kiriman lagu-lagu yang sedang populer. Belakangan Alex mendengar bahwa permintaan tersebut berasal dari teman-teman sekelasnya di KMA sebelum perang. Kendati menjadi musuh, kawan-kawan Alex Kawilarang sangat memahami dan menghormati pilihan lelaki asal Minahasa itu untuk bergabung dengan TNI. Dalam memoarnya, Ed Mahler menulis kesan pribadi mengenai pilihan kawan seangkatannya di KMA tersebut. “Lex Kawilarang tentunya memiliki alasan tersendiri untuk memilih pihak Indonesia. Memang pada saat itu saya sempat tidak bisa memahami bahwa di tahun 1946 kami telah saling berperang dengan sengit dan penuh keyakinan,” ujar Mahler seperti dikutip Gert Oostindie dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah.
- Prasasti Kutukan Sriwijaya di Wilayah Taklukkan
Prasasti kutukan terlengkap ditemukan Kota Sriwijaya, Palembang. Penguasa Sriwijaya juga menempatkan prasasti kutukan di luar pusat kota, yaitu daerah-daerah yang mereka taklukkan. Dua prasasti kutukan yang ditempatkan di Palembang, yaitu Prasasti Bom Baru dan Prasasti Telaga Batu. Selain itu, ada Prasasti Baturaja yang ditemukan di Baturaja. Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka. Prasasti Karang Berahi ditemukan di Jambi. Sementara Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Jabung ditemukan di Lampung. Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, menjelaskan Palembang telah dihuni manusia paling tidak sejak abad ke-7, tepatnya pada 682. Ini sesuai dengan pertanggalan Prasasti Kedukan Bukit yang memberitakan keberhasilan perjalanan Dapunta Hiyang, seorang penguasa dari Kedatuan Sriwijaya. Sebelum abad ke-7 pun mungkin Palembang sudah berpenghuni. Pasalnya, jauh di pedalaman Musi dan anak-anak sungainya sudah berkembang kebudayaan yang lebih awal. Misalnya di daerah dataran tinggi Pasemah, di sekitar kota Pagaralam, dan Lahat. “Melalui Sungai Musi dan anak-anaknya, manusia dari daerah pedalaman datang ke Palembang,” kata Bambang kepada historia.id . Palembang juga merupakan tempat bertemunya Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Kramasan dengan Sungai Musi. Akibatnya, ia menjadi tempat bertemunya manusia dari daerah hulu sungai-sungai yang bermuara di tempat itu. Dari situ terbentuklah pasar. Di Palembang lalu tumbuh suatu peradaban dengan institusi dalam bentuk kedatuan. Ini kemudian dikenal dengan nama Kedatuan Sriwijaya. “Saya berpegangan pada anggapan bahwa pusat Sriwijaya pada awalnya ada di Palembang,” ujar Bambang. Di kota Sriwijaya itu tinggalah para pejabat mulai dari putra mahkota hingga tukang cuci. Karenanya, menurut Bambang, di tempat itu ditanamkan prasasti persumpahan terlengkap, Telaga Batu. Pada bagian atas prasasti itu terdapat ukiran tujuh kepala ekor naga. Bagian yang ditulis ada di bawah hiasan kepala naga. Di bagian bawah bidang tulis ada saluran air yang membentuk cerat di tengahnya. Mungkin, dulu air suci disiramkan pada prasasti. Air itu mengalir ke bawah menuju ke bagian cerat. “Air ditampung pada mangkuk untuk diminumkan pada para pejabat baru yang mengangkat sumpah setia,” ujar Bambang. Prasasti Telaga Batu. Prasasti kutukan itu, kata Bambang, diletakkan di Kota Sriwijaya, yang kini menjadi wilayah Pelambang, supaya seluruh penduduk kota tak berkhianat. “Mulai dari putra mahkota hingga tukang cuci disumpah. Merekalah orang-orang paling dekat dengan raja,” kata Bambang. Jika Palembang diyakini sebagai pusat pemerintahan Sriwijaya, di luar pusat pemerintahan juga ditemukan prasasti-prasasti kutukan. Seperti prasasti yang ditemukan Karangberahi di Jambi, Kota Kapur di Bangka, Palas Pasemah dan Jabung di Lampung. Bedanya dalam prasasti persumpahan yang ini tak ditemukan nama-nama jabatan dalam lingkup kedatuan. Menurut Bambang, prasasti-prasasti dibuat bukan karena ada masalah di masing-masing lokasi itu. Namun, prasasti-prasasti itu ditempatkan setelah lokasinya ditaklukkan oleh penguasa Sriwijaya. Sebelumnya pada masing-masing lokasi itu sudah terdapat permukiman. Untuk mengantisipasi agar permukiman-permukiman yang sudah ditaklukkan itu tidak memberontak, maka ditempatkanlah prasasti kutukan. “Ini sifatnya umum. Berbeda dengan yang ditemukan di Telaga Batu yang sifatnya khusus karena ditempatkan di Kota Sriwijaya,tempat para pejabat tinggal,” kata Bambang. Wilayah Malayu yang pertama kali diduduki oleh penguasa Sriwijaya pada awal masa perkembangannya. Malayu penting dikendalikan karena menguasai beberapa pelabuhan di sekitar Selat Malaka. “Salah satu tempat yang ideal di sekitar Selat Malaka adalah pelabuhan Malayu,” kata Bambang. Menurutnya, soal kedudukan Malayu yang menjadi bagian dari Sriwijaya didukung oleh catatan biksu Tiongkok, I-Tsing. Ketika kembali dari India pada 685 , dia mencatat Mo-lo-yeu , yang diartikan sebagai Malayu, sekarang sudah menjadi bagian dari Fo-shih atau Sriwijaya. Pun terbukti pula dengan adanya prasasti kutukan Karangberahi. Kemudian ada Prasasti Kota Kapur (686)yang merupakan petunjuk bahwa daerah tersebut termasuk dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya. Dalam bukunya, Pengaruh Kebudayaan India dalam Bentuk Arca di Sumatra, Bambang menulisbahwa Kota Kapur perlu ditaklukkan karena kalau tidak akan menjadi penghalang pintu masuk ke pusat Sriwijaya di Palembang.Pelabuhan di Kota Kapur berada di jalur yang menghubungkan Sriwijaya dan Jawa. Jauh sebelum ditaklukkan oleh Sriwijaya, Kota Kapur telah dihuni kelompok masyarakat yang menganut ajaran Hindu. “Sriwijaya menaklukan Kota Kapur karena telah ada permukiman Waisnawa yang mungkin menguasai sumberdaya alam tambang timah,” kata Bambang. Mungkin karena tempat tersebut dipandang strategis, yaitu di tepi Selat Bangka, Sriwijaya pun menaklukannya terlebih dahulu sebelum menaklukan tempat lain. Soal menaklukan tempat lain ini tersirat dalam Prasasti Kota Kapur. “Pemahatannya berlangsung ketika balatentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang bhumi Jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya,” catat prasasti itu. Hal yang sama dilakukan juga ke daerah lain, misalnya ke Palas Pasemah dan Jabung di Lampung. Dengan menduduki daerah-daerah itu, Sriwijaya tidak perlu memindahkan ibukotanya yang ada di Palembang. Lalu ditempatkan prasasti persumpahan agar penduduk dan penguasa di sana tak melakukan pemberontakan. “ Kala itu sumpah sangat populer dan dipercaya betul ,” ujar Bambang.
- Akhir Tragis Mantan Analis OSS
SETELAH lulus Yale College tahun 1928, Raymond Kennedy memulai kariernya sebagai pengajar di Brent School di Filipina. Namun hanya setahun. Dia kemudian bekerja sebagai perwakilan lapangan General Motors Corporation di Hindia Belanda. Selama tiga tahun, dia menjual mobil Amerika di Jawa dan Sumatra. Dia pun terpesona pada Indonesia.
- Salon Kitty, Tempat Prostitusi dan Sumber Informasi Nazi
Penemuan mayat perempuan di Kelurahan Dulomo Selatan, Kecamatan Kota Utara, Kota Gorontalo pada Rabu, 2 Oktober 2019 menghebohkan warga setempat. Perempuan yang bersimbah darah tak bernyawa itu ditemukan tergeletak di pinggir Jalan Brigjen Piola Isa. Polres Gorontalo kemudian menyebutkan identitas korban bernama Rosita Hulalata. Selang beberapa jam kemudian, polisi berhasil menangkap pembunuhnya, Oyong Tongkono, yang tak lain merupakan suami korban. Menurut Kapolres Gorontalo Kota AKBP Robin Lumban Raja, Oyong membunuh Rosita lantaran marah karena istrinya kembali bekerja di sebuah salon plus-plus. “Pelaku ini pernah memperingatkan korban agar jangan kembali kerja di salon itu karena menilai pekerjaannya tidak layak. Pelaku mengindikasikan pekerjaan di salon itu memberi pelayanan lebih ke para pelanggannya,” ujar Robin sebagaimana diberitakan okezone.com , 3 Oktober 2019. Salon plus-plus –salon yang memberikan layanan salon plus seksual kepada para pelanggannya– menjamur di berbagai kota tanah air sejak beberapa tahun silam. Ia merupakan bentuk prostitusi dengan selubung salon. Keberadaannya sering meresahkan warga sekitar lantaran berada di lingkungan masyarakat, dan merepotkan aparat kepolisian yang berupaya menindaknya. Kendati popularitasnya di Indonesia belum lama, eksistensi salon plus-plus di berbagai belahan dunia telah lama ada. Jerman-Nazi semasa Perang Dunia II bahkan sempat menggunakan sebuah salon plus-plus untuk mengorek informasi. Salon plus-plus itu bernama Salon Kitty. Salon Kitty yang terletak di Giebachstreasse 11 Charlottenburg, Berlin itu awalnya merupakan rumah bordil kelas atas. Didirikan dan dijalankan oleh Katharina Zammit, populer sebagai Kitty Schmidt, pada awal 1932 –versi lain menyebut 1936, para pelanggan salon berasal dari kelas atas beragam latar belakang profesi, mulai pebisnis terkemuka, diplomat asing, petinggi militer, pejabat pemerintahan, hingga anggota senior Partai Nazi. Ketika Nazi berkuasa di Jerman pada 1933, banyak orang Yahudi memilih keluar Jerman. Madame Kitty rutin mentransfer uang ke bank-bank Inggris untuk teman-teman Yahudinya yang mengungsi itu. Aktivitas amalnya itu akhirnya diketahui penguasa ketika pada 1939 dia ditangkap agen Sicherheits Dienst (SD), dinas intelijen Nazi, saat hendak menyeberang ke Belanda. Setelah tertangkap, Kitty dibawa ke markas Gestapo. Di tempat itulah ia terlihat oleh Walter Schellenberg, orang kepercayaan Jenderal SS Reinhard Heydrich, kepala SD. Heydrich merupakan veteran Angkatan Laut Jerman di Perang Dunia I yang lalu mengabdi di sayap militer Nazi Schutzstaffel (SS) pimpinan Heinrich Himmler. Kinerjanya yang mengesankan membuat Heydrich ditunjuk Himmler mengepalai SD dan ditugaskan untuk menyempurnakan dinas intelijen SS. Penyempurnaan itu terkait erat dengan ketatnya persaingan antara dinas intelijen SS dengan Abwehr, dinas intelijen militer Jerman. Abwehr didirikan pada 1921 dan sejak 1935 dipimpin Laksamana Wilhelm Canaris. “Sejak awal harus selalu diingat bahwa Canaris dan mayoritas organisasinya –terutama Abwehr II, Hans Oster– dipastikan anti-Nazi,” tulis Terry Crowdy dalam The Enemy Within: Spies, Spymasters, and Espionage . Canaris pernah merepotkan Heydrich dengan pernyataannya bahwa ras Arya Heydrich tak murni karena leluhurnya Yahudi. Pernyataan itu membuat Heydrich harus menjalani tiga kali sidang antara 1935-1937 untuk menyangkal tuduhan itu dan terpaksa mengganti nisan makam ibunya untuk menghilangkan jejak. “Hubungan Canaris dan Heydrich tampak dingin. Tidak ada yang bisa saling percaya. Keduanya saling menjaga dokumen,” tulis John Craig dalam Peculiar Liaisons in War, Espionage, and Terrorism in the Twentieth Century . Persaingan itu membuat Heydrich terus berupaya menyempurnakan organisasi intelijen SS. Salah satu terobosan terpentingnya adalah pendirian Salon Kitty menggunakan rumah bordil Kitty Schmidt. “Misinya: Gunakan alkohol dan perempuan untuk merayu orang asing agar menumpahkan rahasia yang bisa membantu Nazi dan merayu orang Jerman agar mengungkapkan pendapat mereka yang sebenarnya tentang rezim Nazi,” tulis Kara Goldfarb dalam “Inside Salon Kitty – The Brothel Taken Over by Nazis and Used for Espionage” yang dimuat www.allthatsinteresting.com . Heydrich menugaskan Schellenberg, yang berhasil menemui Kitty di markas Gestapo setelah penangkapan Kitty di perbatasan Belanda, untuk mendirikan Salon Kitty. Dengan ultimatum “kerjasama dengan Nazi atau dikirim ke kamp konsentrasi”, Schellenberg berhasil menggaet Kitty. Kitty diperintahkan membuka salonnya seperti biasa, dengan dagangan berupa layanan, minuman, dan makanan kelas atas. Sebelum salon itu dibuka kembali, Schellenberg terlebih dahulu mempersiapkan semua hal untuk mendukung misi sang bos. “Di setiap ruangan (yang berjumlah 9, red. ), para teknisi membuat dinding palsu di belakang tempat mikrofon dipasang. Melalui alat perekam otomatis, setiap kata yang diucapkan di rumah itu direkam dan dinilai untuk kemungkinan penggunaan pemerasan,” sambung Crowdy. Schellenberg tak mau menyediakan perempuan penghibur di Salon Kitty lantaran menganggap agen-agen perempuannya terlalu berharga untuk dilacurkan. Urusan itu ditangani langsung Heydrich dengan menugaskan Kepala Kripo –Kriminal Polizei/Polisi Kriminal– Artur Nobe. Sebanyak 20 perempuan –yang kebanyakan tertipu karena mengira tugas yang akan dijalankan berupa pengabdian pada negeri– lalu terpilih untuk menjadi penghibur di Salon Kitty. Sebelum dipekerjakan, mereka terlebih dulu dilatih teknik dasar intelijen dan etiket pergaulan kelas atas. “Salon Kitty digunakan untuk memata-matai diplomat asing pro-Jerman dan juga para perwira Jerman sendiri,” tulis Richard Symanski dalam The Immoral Landscape: Female Prostitution in Western Societies . Orang penting yang acap mengunjungi Salon Kitty antara lain Menteri Propaganda Joseph Goebbels. “Goebbels, misalnya, menikmati pertunjukan lesbian di Salon Kitty yang terkenal di Berlin,” tulis Jill Stephenson dalam Women in Nazi German . Dari kalangan militer, selain Jenderal Sepp Dietrich, yang sering mendatangi Salon Kitty adalah Heydrich sendiri. “Schellenberg menemukan Heydrich hanya memiliki satu kelemahan: ‘Nafsu seksualnya tak terkendali. Untuk urusan ini dia akan menyerahkan diri tanpa hambatan atau kehati-hatian’,” tulis Craig. Heydrich biasanya memerintahkan petugas mematikan semua alat perekam di Salon Kitty saat berkunjung. Kasus paling terkenal orang asing yang menjadi korban di Salon Kitty adalah Galeazzo Ciano, menantu Mussolini sekaligus menteri luar negeri Italia. Dari kunjungannya ke salon itulah Nazi mengetahui dia anti-Nazi dan menentang aliansi Italia dengan Jerman. “Dia ditangkap Nazi, diadili karena pengkhianatan, dan dieksekusi pada Januari 1944,” tulis Craig. Salon Kitty berhenti operasi pada Juli 1942 karena bombardir udara Sekutu. SD mengembalikannya pada Kitty Schmidt dengan pesan agar tutup mulut bila tak ingin merasakan pembalasan. Keberadaan Salon Kitty baru diketahui publik setelah Schellenberg menuliskannya dalam memoar berjudul The Labyrinthe , yang dibuatnya pasca-interogasi oleh personil intelijen Inggris usai perang. Pada 1976, Tinto Brass mengangkat kisah salon itu ke layar lebar lewat Salon Kitty .
- T.B. Simatupang, Jenderal Jenius yang Religius
Ketika Jenderal Sudirman mangkat pada 29 Januari 1950, pucuk pimpinan TNI diembankan kepada wakilnya, Jenderal Mayor Tahi Bonar Simatupang. Kala itu, Simatupang baru sehari menginjak usia ke-30. Sejak itulah, Sim – panggilan akrabnya – diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) yang membawahi tiap matra. “Pak Sim buat saya merupakan seorang intelektual yang konsekuen dan berani. Kepemimpinannya dalam TNI kurang bersifat teknis, tapi lebih bersifat mental,” ujar Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprodjo, mantan Wakasad (1973--1974) kepada Historia . Bintang Simatupang memang sudah benderang sejak menjadi taruna militer. Sim merupakan jebolan Akademi Militer Kerajaan Belanda (KMA) Bandung angkatan 1941. Bersama Sim, Alex Evert Kawilarang dan Abdul Haris Nasution adalah kawan seangkatan di KMA. Bila Kawilarang mengambil jurusan infanteri, maka Sim memilih jurusan zeni, bidang militer yang berkaitan dengan persenjatan dan perlengkapan. “Karena dia jurusan zeni, bukan infanteri seperti Pak Nas dan Pak Alex Kawilarang, pandangan teknis taktis kurang jadi perhatiannya. Lebih berat ke strategi dan politik. Tapi karena dia di tingkat KSAP, ya bukan masalah,” ujar Sayidiman. Perwira Mahkota Perak Di KMA, tidak sembarang orang diterima di bagian zeni. Seorang taruna zeni harus memiliki nilai yang mumpuni dalam mata pelajaran eksakta. Menurut Sim, perwira zeni mempunyai pengetahuan yang menyerupai pengetahuan insinyur. Dalam benak Sim, ilmu zeni akan menjadi modal berharga andai dirinya terpaksa keluar dari dinas militer Belanda dan kembali menyandang status sebagai orang sipil. Semasa taruna, Nasution mengenang sosok Sim sebagai siswa pribumi yang menonjol. Nasution punya penilaian tersendiri sehubungan dengan pilihan Sim mengambil jurusan zeni. Sebagai prajurit, Sim tidak memilih infanteri sebagai “ratu pertempuran”, melainkan zeni, yang terkenal sebagai cabang bagi orang-orang pintar atau dalam eksesnya dijuluki tempat “untuk jadi kaya”. Pada saat pemilihan senat, Simatupang mencalonkan diri sebagai kandidat. “Harus ada calon dari Indonesia,” kata Sim kepada Nasution sebagaimana dituturkan Nasution dalam “Rekan Simatupang 70 Tahun” termuat di kumpulan tulisan Saya Adalah Orang yang Berhutang: 70 Tahun Dr. T.B. Simatupang. Kesan senada juga dikenang sejawat yang lainnya, Alex Kawilarang. Saat pelantikan perwira muda, pada seragam militer Simatupang tersemat tanda mahkota (krown) perak. Tanda itu hanya dimiliki oleh taruna yang memiliki nilai yang baik. “Seandainya Simatupang orang Belanda, dia pasti akan mendapat mahkota emas,” tutur Alex Kawilarang, kepada Ramadhan K.H. dalam AE Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih . Hengkang dari Ketentaraan Di masa perang kemerdekaan, Sim ikut bergerilya. Kepala Staf TNI Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo menempatkannya sebagai Kepala Organisasi Staf Umum Markas Besar Tentara (MBT). Pos tugas Sim ini dikenal sebagai “sarang” COAM (Corps Opsir Aliran Muda); markas kelompok intelektual tentara di Yogya. Sim menjadi satu-satunya perwira TNI yang terlibat perundingan dengan Belanda sejak 1946 hingga tentara kolonial angkat kaki dari Indonesia pada akhir 1949. Simatupang memulai karier militernya dengan gemilang. Masalahnya, Sim kurang begitu akur dengan Presiden Sukarno. Bermula dari keputusan Sukarno untuk tetap bertahan di Yogya ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Padahal, sebelumnya Sukarno selalu mengatakan akan ikut gerilya bersama rakyat dan TNI. Untuk itu, Sim telah menyiapkan satu batalyon Corps Polisi Militer (CPM) yang siap mengawal Sukarno dalam gerilya. Namun yang terjadi, Sukarno memilih ditangkap Belanda untuk meningkatkan bobot diplomasi sedangkan tentara bergerilya di hutan-hutan. Sim adalah orang yang menyarankan Presiden Sukarno agar tidak perlu mengenakan seragam militer. Menurut Sim, sebagai orang sipil Sukarno dapat memberikan teladan dengan mengenakan pakaian sipil pada upacara-upacara militer. Dengan demikian jelas bahwa Sukarno memperoleh penghormatan tertinggi bukan karena uniform nya melainkan karena dia adalah Presiden Negara. Dengan kata lain, tanpa menyerupai militer, Presiden RI punya wewenang penuh atas TNI. Sebaliknya, dengan berpakain militer Sukarno seperti mengurangi kekuasaannya. Namun sepertinya anjuran Sim bagai angin lalu saja bagi Si Bung Besar. Dalam berbagai hajatan negara, Sukarno selalu tampil begitu percaya diri dengan seragam militer lengkap dengan tongkat komandonya. Perseteruan Sim dengan Sukarno semakin terbuka karena keduanya tidak sejalan dalam visi membangun angkatan perang. Pada Juli 1952, Sukarno memberikan dukungannya kepada Kolonel Bambang Supeno untuk menggantikan Nasution dari kedudukan Kepala Staf Angkatan Darat. Mufakat itu terjadi tanpa sepengetahuan Simatupang selaku KSAP. Dalam suatu pertemuan dengan Sukarno, Sim menggebrak pintu di depan Sukarno lantaran kecewa atas sikapnya yang ikut campur urusan internal TNI. Hal ini tentu saja bikin Sukarno marah dan terhina. Dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia , tidak sekalipun Sukarno menyebut nama Simatupang. Konflik dalam tubuh TNI kemudian berujung pada Peristiwa 17 Oktober 1952. Buntutnya, Simatupang dicopot dari kedudukan KSAP. Sim dibiarkan bekerja tanpa jabatan dan hanya berkedudukan sebagai penasihat Menteri Pertahanan hingga dipensiunkan secara dini tahun 1959. Semua itu menimbulkan kepedihan di hati Simatupang. Kiranya rasa pahit itu diungkapkan Sim ketika putra sulungnya lahir, ia namai dalam bahasa Batak: Marsinta Hatigoran. Artinya, bercita-cita keadilan. “Nama itu mengungkapkan perasaan saya pada waktu itu, bahwa saya diperlakukan tidak adil. Terbukti bahwa diperlukan 7 tahun diantara 1952—1959 untuk mengeluarkan saya dari dinas tentara,” kata Simatupang dalam Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos. Di antara rekan sejawatnya, Sim dikenang dengan cara yang berbeda. Jika Nasution kelak dikenal sebagai jenderal besar; konseptor perang gerilya dan dwifungsi ABRI. Sementara Alex Kawilarang menjadi pencetus pasukan elite TNI (Kopassus). Simatupang berkhidmat di jalan agama. Dalam keyakinanya, Sim percaya panggilan pelayanannya dalam gereja dapat menjadi jalan berkontribusi bagi masyarakat. Selepas pensiun dari dinas tentara, Sim mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja. Adalah Profesor Sutan Gunung Mulia, seorang teolog pendiri Dewan Gereja Indonesia (DGI) yang mengajak Sim bergabung dalam DGI. Sejak itu Sim menemukan dunia baru. Dia berkhotbah dan menjadi penulis beberapa buku teologi. Sim juga aktif menulis dalam tajuk rencana harian Kristen Sinar Harapan yang kemudian berganti menjadi Suara Pembaruan . Sampai akhir hayatnya, Sim tercatat memimpin beberapa lembaga Kristen, diantaranya Persekutuan Gereja Indonesia, Dewan Gereja-Gereja Asia, Dewan Gereja-Gereja Dunia, dan Universitas Kristen Indonesia. “Keberaniannya menyatakan sikap dan pendiriannya, juga terhadap pihak yang berkuasa seperti Presiden Sukarno, merupakan tauladan yang kuat dari seorang perwira yang jujur,” kata Sayidiman.
- Darah dan Air Mata Long March Siliwangi
MINGGU pagi, 19 Desember 1948. Langit Yogyakarta dipenuhi pesawat-pesawat tempur Angkatan Perang Kerajaan Belanda. Mereka menembaki Lapangan Udara Maguwo dan menerjunkan pasukan elitenya, Korps Speciale Troepen (KST). Setelah berhasil mendaratkan pasukannya di Lapangan Terbang Maguwo, secara kilat mereka langsung melakukan serangan ke jantung Yogyakarta. “Tujuh jam kemudian, lewat aksi militer yang mereka namakan sebagai Operatie Kraai (Operasi Gagak), tentara Belanda berhasil menguasai Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu…” tulis Himawan Soetanto dalam Yogyakarta 19 Desember 1948. Operatie Kraai dengan sendirinya menghancurkan Perjanjian Renville yang ditetapkan oleh Belanda-Indonesia, setahun sebelumnya. Situasi itu juga memaksa para pejuang Siliwangi harus menghadapi jalan ujung yang pernah disiapkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam Perintah Siasat No.1 pada Mei 1948: harus kembali bergerak ke Jawa Barat dan membangun kembali perlawanan total di sana. Perjalanan panjang ( long march ) para maung kembali ke kampung halamannya harus ditempuh dengan banyak pengorbanan. Bukan hanya kehilangan harta dan benda, darah dan air mata pun harus mereka keluarkan. Sepanjang jarak 600 km, para peserta long march harus berkawan akrab dengan kelaparan, penyakit hingga serangan militer Belanda dan teror pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Letnan Dua (Purn) JC. Princen, serdadu Belanda yang membelot ke Siliwangi, melukiskan proses long march itu sebagai perjalanan panjang yang menyiksa hati nuraninya sebagai manusia. Di tengah perjalanan tak jarang, ia harus menyaksikan anak-anak dan perempuan tewas terbunuh oleh bom pesawat-pesawat yang dikendalikan teman sabangsanya. “Ratusan Multatuli tak akan dapat menggambarkan penderitaan ribuan Saija dan Adinda dalam perjalanan ini…” kenang anggota Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi itu. Pengalaman yang hampir sama juga dialami oleh Prajurit Alleh (92). Masih segar dalam ingatannya, menjelang keberangkatan mereka kembali ke Jawa Barat, pimpinan Markas Besar Tentara (MBT) membagikan sarung baru kepada seluruh pasukan. Sarung itu ternyata sangat berguna bagi mereka, bukan saja sebagai selimut penghangat tidur namun juga bisa digunakan untuk hal-hal yang bersifat darurat. Misalnya saat mereka harus menyeberang Sungai Serayu. Dengan sambungan sarung yang beruntai mereka bisa menyeberangi sungai yang berarus deras tersebut. Namun, proses penyeberangan itu tetap meminta korban, terutama anak-anak dan perempuan yang hanyut oleh hantaman arus sungai yang deras. Dengan hati hancur, mereka harus menyaksikan beberapa bocah dan perempuan yang ikut dalam rombongan hanyut ditelan derasnya air sungai. “Ayah dan suami-suami mereka hanya bisa berteriak dan menangis putus asa…” kenang Alleh. Tidak cukup itu, Alleh pun menjadi saksi bagaimana para ibu yang baru melahirkan “anak-anak maung” di tengah perjalanan harus rela memberikan bayi-bayi itu kepada penduduk desa yang dilewati. “Ya, daripada bayi-bayi itu menderita dan menjadi ‘beban’ selama perjalanan, lebih baik diselamatkan oleh para penduduk…” kata mantan prajurit Siliwangi dari Batalyon ke-29 pimpinan Kapten Hoesinsjah tersebut. Lain lagi dengan pengalaman Kopral Soehanda dari Batalyon ke-27. Bersama lima kawannya, ia terpisah dari rombongan batalyon sejak awal rombongan bergerak dari Salatiga. Tak ada sebutir pun nasi yang masuk dalam perut mereka selama perjalanan ke kawasan Jawa Barat. Paling bagus, kata Soehanda, mereka menemukan daun singkong atau jamur kayu untuk dimakan. “Baru setelah 40 hari lebih berjalan, akhirnya kami dapat menemukan nasi di daerah Ciamis,” kenangnya. Peristiwa unik dan misterius sempat dialami oleh Asikin Rachman (95), eks anggota Batalyon ke-29. Suatu hari, seksi yang dipimpinnya sampai di wilayah sekitar Banyumas dan harus menyeberangi sebuah sungai bernama Kali Putih. Persoalan muncul kala mereka menyaksikan sungai itu dipenuhi ratusan buaya. Saat mereka tengah dilanda kebingunan, tiba-tiba seorang tua berpakaian sederhana datang kepadanya. Dengan lembut, ia minta izin kepada Asikin untuk coba menolong mereka menyeberang Kali Putih. Asikin pun mengiyakan. Begitu mendapat izin, orang tua itu menaiki pohon kelapa yang ada di sekitar tempat tersebut. Setelah mendapat dua butir kelapa muda berwarna hijau, ia merapal mantera-mantera lalu menyiramkan air kelapa muda itu ke permukaan Kali Putih. Usai ritual itu, ia menyilahkan anak buah Asikin untuk menyeberangi sungai tersebut tanpa ragu-ragu. Dan ajaib, kendati buaya-buaya itu terkumpul di sekitar sungai, mereka seolah tertidur dan hanya diam saja saat para petarung Siliwangi itu satu-persatu menyeberangi Kali Putih dengan cara berenang. “Kami berhasil sampai di seberang sungai dengan selamat. Inilah keajaiban dalam perang. Jika tak menyaksikan sendiri kejadian itu, tentunya kami juga tak akan percaya,” kenangnya. Kurang lebih 40 hari lamanya, para maung itu menyusuri ratusan kilometer untuk kembali lagi ke sarangnya. Mereka dengan tabah menghadapi apapun yang coba merintangi jalan-jalan mereka, dengan satu tujuan: kembali ke kampung halaman. Persis, seperti isi bait-bait yang pernah mereka buat dan gubah dari lagunya Lily Marlene: “Oh beginilah nasibnya soldadu/Diosol-osol dan diadu-adu/Tapi biar tidak apa/Asal untuk negeri kita/Naik dan turun gunung/Hijrah pun tak bingung/
- Selamat Jalan Kobe Bryant!
DARI Lionel Messi sampai Diego Maradona, mulai Tiger Woods hingga Lewis Hamilton. Bukan hanya mereka yang berkecimpung di dunia basket, para atlet hingga legenda hidup dari beragam cabang olahraga terguncang oleh kabar getir meninggalnya Kobe Bryant. Kobe dan Gianna Maria Onore (13), putri keduanya, turut jadi korban dalam kecelakaan helikopter yang menewaskan sembilan orang di Cabalasas, California, Amerika Serikat, Minggu (26/1/2020) waktu setempat. Sebagai bentuk penghormatan, sejumlah tim NBA melakukan pelanggaran possession ball selama delapan dan 24 detik di masing-masing laga mereka. Jumlah tersebut merujuk pada dua nomor yang pernah dipakai Kobe selama berkiprah di LA Lakers. Sepanjang hidupnya, Kobe dikenal sebagai sosok rendah hati dan nyaris tak pernah neko-neko . Dalam kariernya, ia hanya fokus di arena demi menyamai, bahkan melampaui sejumlah rekor salah satu idolanya, Michael Jordan. Lewat situs resminya , 5 Januari 2007, NBA menetapkan Michael Jordan sebagai bintang NBA terbaik sepanjang sejarah. Tak hanya petinggi NBA, legenda NBA lain macam Earvin “Magic” Johnson pun mengakuinya. “Dalam basket ada Michael Jordan dan kemudian ada pemain lainnya seperti kita,” kata Magic. Saking mengidolakan Jordan, Kobe sejak pertamakali bermain pun sudah memilih posisi yang sama dengan legenda Chicago Bulls itu: shooting guard. Namun sepanjang kariernya dari 1996-2016, Kobe bisa membuktikan bahwa ia mampu mencetak capaian lebih tinggi dari Jordan di beberapa rekor. Antara lain, rekor pemain guard pertama yang tampil di 20 musim (Jordan 15 musim) sebagai one-club man . Kobe juga berhasil masuk tim NBA All-Star 18 kali (Jordan 14 kali), dan mengoleksi 33.643 poin (Jordan 32.292 poin). Soal prestasi untuk negeri, Kobe menyamai Jordan menorehkan dua emas olimpiade (Beijing 2008 dan London 2012). Dua legenda yang sering dicitrakan sebagai rival itu, nyatanya berhubungan baik. Jordan menganggap Kobe sudah seperti adik. “Kata-kata tak bisa menjelaskan sakitnya perasaan saya. Saya mencintai Kobe, dia sudah seperti adik buat saya. Saya akan merindukan perbincangan kami. Dia pesaing yang tangguh, salah satu yang terhebat dan paling kreatif dalam arena basket,” ungka Jordan, dikutip Anchorage Daily News , Senin (27/1/2020). Darah Basket Kobe Bean Bryant lahir di Philadelphia pada 23 Agustus 1978 sebagai bungsu dari tiga bersaudara dan satu-satunya anak laki-laki dari rahim Pamela Cox dan ber-ayah-kan Joseph Washington Bryant. Nama depannya, Kobe, diambil orangtuanya dari nama daging sapi ternama Jepang (daging sapi Kobe). Sementara nama tengahnya, Bean, diambil dari julukan ayahnya, “Jellybean”. Basket bukan permainan asing buat Kobe. Ayahnya merupakan pebasket NBA yang pernah memperkuat delapan tim sepanjang kariernya dari 1975 hingga 1992. Joe Bryant seangkatan dengan Julius Earving, Doug Collins, George McGinnis, dan Kareem Abdul-Jabbar. Selain di NBA, Joe pernah bermain di tim Prancis FC Mulhouse Basket dan empat tim Italia: AMG Sebastiani Rieti, Standa Reggio Calabria, Olimpia Pistoia, dan Pallacanestro Reggiana. “Ketika Kobe berusia tiga tahun, dia sudah mulai menonton ayahnya bermain di tv. Kobe selalu menaruh mainan ring basketnya di samping tv dan ketika ayahnya melempar bola ke ring, Kobe akan melemparkan bola busanya ke ring, meniru ayahnya,” sebut Jeff Savage dalam biografi Kobe Bryant. Joe 'Jellybean' Bryant, ayah Kobe Bryant yang jadi panutan sang legenda mengikuti jejaknya di NBA (Foto: nba.com ) Usia Kobe baru enam tahun ketika ayahnya memutuskan menjajal peruntungan dalam kariernya ke Eropa. Keputusan itu diambil lantaran usianya sudah 30 tahun dan tiada satupun tim NBA yang merekrutnya lagi. Meski harus beradaptasi dengan lingkungan baru, Kobe mampu berbaur kendati terhalang soal bahasa. “Di kelas satu sekolah dasar, mulanya ia sama sekali tak mengerti bahasa gurunya. Kobe yang sejak usia tiga tahun diajari basket oleh ayahnya, sempat sulit berkawan karena teman-teman sekolahnya lebih senang main sepakbola yang lebih populer di Italia,” ungkap Marty Gitlin dalam Kobe Bryant: NBA Champion . Lambat-laun, Kobe pun mulai menyenangi sepakbola. Kecintaannya itu bertahan hingga saat dia sudah jadi bintang NBA bersama Lakers. Ia menyatakan sebagai fans klub raksasa Serie A AC Milan. Kobe kembali ke Amerika untuk masuk SMA Lower Merion di Ardmore, Philadelphia. Di tim basket sekolahnyanya inilah Kobe meniti kebintangannya. Selain jadi yang pertama masuk tim basket sekolah sebagai anak baru dalam berpuluh-puluh tahun sejarah SMA-nya, Kobe mampu bermain di lima posisi berbeda. Kobe mulai menarik banyak pencari bakat NBA sejak menyabet penghargaan “Pennsylvania Player of the Year” pada 1995. Setahun berikutnya ia sudah memijakkan kaki di NBA. “Banyak kampus yang sebenarnya mengundang Kobe untuk bermain di tim basket mereka. Selain karena talentanya, nilai akademik Kobe juga bagus. Namun Kobe mengumumkan bahwa dia terbuka untuk masuk NBA Draft,” sambung Savage. Meski terpilih Charlotte Hornets dalam NBA Draft, Kobe Bryant menjalani debutnya di LA Lakers (Foto: nba.com ) NBA Draft ibarat bursa pemain di musim panas dalam sepakbola. Perbedaannya, NBA Draft menetapkan regulasi setiap tim hanya bisa memilih dua pemain baru yang menjanjikan secara bergantian. Para pemain yang tersedia di NBA Draft adalah talenta-talenta muda lulusan tim kampus. Namun tidak begitu buat Kobe. Di usia 17 tahun, ia menjadi pemain guard pertama sepanjang sejarah yang langsung masuk NBA dari jenjang SMA setelah namanya dipilih tim Charlotte Hornets. Namun debut Kobe tak dilakoninya dengan Hornets. Sebelum musim kompetisi 1996-1997 dimulai, Hornets menukarnya dengan center LA Lakers Vlade Divac. Sejak saat itu langkah kaki dan dribble bola dari waktu ke waktu bersama Lakers mengiringi karier emasnya. Kobe tak hanya populer di dalam arena. Ia diakui para tokoh lintas olahraga sebagai sosok jempolan NBA karena sikap rendah hatinya. Meski sempat terlibat kasus dugaan pelecehan seksual terhadap karyawati hotel pada 2003, Kobe akhirnya mempu melewatinya dengan penyelesaian secara kekeluargaan. Di Luar Arena Selain basket, Kobe sejak SMA getol pada musik rap dan hip hop. Mengutip biografi lain, Kobe Bryant, karya Shaina Indovino, Kobe sejak SMA bersama teman-temannya membentuk grup rap bernama CHEIZAW. “Grup itu populer sejak Kobe masuk NBA dan bahkan direkrut label Sony Entertainment.” Namun diketahui kemudian, Sony menarik grup itu hanya untuk membubarkannya. Sony sekadar memanfaatkan kepopuleran Kobe. Namun dalam kegiatannya bermusik itulah Kobe bertemu belahan jiwanya yang lantas dinikahinya, Vanessa Laine. Mereka bertemu saat Kobe tengah menggarap album pertamanya, Visions , sementara Vanessa tengah berlatih jadi penari latar untuk klip video “G’d Up” dari grup Tha Eastsidaz. Kobe tetap melangsungkan pernikahannya dengan Vanessa pada 18 April 2001 kendati orangtua Kobe tak merestui. Pam dan Joe Bryant ingin Kobe menikahi gadis sesama kulit hitam. Orangtua Kobe baru bersedia menerima Vanessa selepas melahirkan putri pertama mereka, Natalia, Januari 2003. Kobe Bryant beserta istri dan ketiga anaknya yang menemani kala meresmikan pensiun dari dunia basket pada 2016 (Foto: nba.com ) Di luar basket dan musik, Kobe juga berbisnis dengan membuat minuman energi dan mendirikan firma analisis data dan teknologi. Selain itu, Kobe mendarmabaktikan hidupnya di jalan kemanusiaan dengan terlibat sebagai duta LSM After-School All-Stars, hingga mendirikan Kobe Bryant China Fund. Keduanya bergerak dalam kegiatan di bidang edukasi dan kesehatan untuk anak-anak yang membutuhkan. Pada 2018, Kobe bersama Chad Faulkner mendirikan Mamba Sports Academy. Akademi yang berlokasi di Thousand Oaks, California itu didirikan sebagai wadah untuk anak-anak muda yang ingin menggali bakat di bidang basket, bola voli, sepakbola, lari, dan beladiri Jiu Jitsu. Nama “Mamba” diambil dari salah satu julukan Kobe, “Black Mamba”, lantaran ia kagum pada karakter ular mamba hitam sebagai pembunuh berdarah dingin. Kobe merepresentasikan dirinya serupa ular mamba hitam yang siap menerkam mangsa tanpa ampun jika sudah menginjakkan kaki di lapangan. Mendiang Gianna, putri Kobe yang juga meninggal dalam kecelakaan heli, sudah merintis langkah mengikuti ayahnya di Mamba Sports Academy. Ia punya impian berkiprah ke WNBA. Kecelakaan yang merenggut nyawa Gianna dan Kobe sedianya merupakan perjalanan dari kediamannya di Orange County menuju Mamba Sports Academy, di mana Kobe akan menemani Gianna yang ikut bertanding di Mamba Cup Series. Selamat Jalan, Kobe Bryant!
- Perjalanan Johny Indo, Perampok Cerdik dan Licin
Johny Indo, mantan narapidana kakap kasus perampokan kurun 1970—1980-an, meninggal dunia di Jakarta pada 26 Januari 2020. Dia sempat mendapat vonis hukuman penjara selama 14 tahun untuk menebus laku kriminalnya. Dia kesohor lantaran sepak terjangnya di dunia kriminal begitu licin, cerdik, dan berpegang pada kode etik buatannya sendiri. Kelar menjalani hukuman penjara, Johny menempuh laku agamis. Dia menjadi pendeta Serani, lalu beralih lakon sebagai pendakwah Islam. Jelang akhir hayat, dia kembali lagi sebagai penganut Serani. Untuk mencapai keputusan itu, dia telah mengalami hidup penuh pergulatan batin. Tegangan-tegangan antara menjadi perampok, bintang film, suami, dan ayah. Johny Indo terlahir dengan nama Johanes Hubertus Eijkenboom dari pasangan lelaki Belanda dan perempuan Indonesia. Ayah Johny bernama Mathias Eijkenboom, seorang serdadu Belanda. Dia datang ke Indonesia selama kurun Agresi Militer Belanda I, Juli—Agustus 1947. Mathias seharusnya bertugas meringkus perlawanan kaum Republiken, tetapi malah bersimpati kepada orang-orang itu, lalu jatuh cinta dengan Sophia, perempuan setempat. Mereka menikah. Kemudian Johny lahir di Garut pada 6 November 1948. Kelahiran Johny ikut memperkuat ikatan Mathias dengan Indonesia. Dia memilih berada di sisi kaum Republiken Keputusan Mathias tidak mudah diterima oleh siapapun, baik dari tentara Belanda maupun dari kaum Republiken. Rekan-rekan Belandanya menganggap Mathias layaknya pengkhianat, sedangkan segelintir orang-orang Republik mencurigainya sebagai mata-mata. Mathias mesti kerja keras membuktikan kesungguhannya. Istrinya turut membantu agar orang-orang Republik percaya kesungguhan Mathias. "Orangtuanya yang berdarah Indonesia dan Belanda tidak mau begitu saja menyerah dengan keadaan," catat Aktuil , 14—28 Juni 1982,dalam "Johny Indo Mulai Dari Ransel, Thomson, Mouser, Sampai Nusa Kambangan". Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Tentara Belanda berangsur pulang ke negeri asalnya. Mathias tetap tinggal dan diterima masuk ke Kesatuan Siliwangi dengan pangkat Letnan Satu Tituler. Dia bertugas di Garut dan Bandung, Jawa Barat, hingga mengundurkan diri pada 1960. Indo Minder Mathias sekeluarga pindah ke Mangga Dua, Jakarta, untuk memulai hidup baru. Usaha bengkel jadi tumpuan hidup keluarga kecil itu. Di lingkungan baru, Johny kecil bergaul dengan anak-anak sepantarannya. Salah satunya juga bernama Johny. Untuk membedakan keduanya, warga menyebut Johny anak Mathias sebagai Johny Indo. Bagi Johny anak Mathias, panggilan Indo tidak menyenangkan. Sebab orang-orang memanggilnya Indo untuk mengolok-ngolok fisiknya. "Ia lalu bertumbuh menjadi anak yang pemalu, minder karena mempunyai hidung yang mancung dan bermata biru," catat Willy A. Hangguman dalam Johny Indo Tobat dan Harapan . Kepercayaan diri Johny mulai tumbuh kala dia bertemu dengan Stella, teman sekelasnya di Sekolah Menengah Pertama. Rumah mereka pun bersebelahan. Saban kali Johny mencari tahu keberadaan Stella. Tiap hari pula dada Johny sesak oleh keinginan mengungkapkan perasaannya. Dia tak tahan lagi, lalu menyatakan cintanya pada Stella di tengah jalan. Tapi Stella menampik cintanya. Johny pulang ke rumah. Hatinya patah. Kepalanya serasa mau pecah. Dia enggan makan dan belajar. Hari-harinya habis di kamar. Mathias melihat gelagat ini. Anaknya lagi patah hati. Mathias mengatakan kepada Johny, "Anak lelaki tak boleh cengeng!" Singkat. Tapi membuat Johny bangkit hari demi hari. Lukanya memang masih terbuka, tapi sakitnya sudah hilang. Dia kembali mengejar Stella. Dan kali ini, Stella menerima cintanya. Johny dan Stella menikah pada usia muda, 16 tahun. Keduanya lekas memperoleh anak hingga empat. Johny menanggung lima orang. Dia bekerja dari pagi sampai malam sebagai montir di bengkel ayahnya, lalu lanjut sebagai sopir truk trailer. Di tengah-tengah kerja itu, Johny kadang menyesal. “Mengapa saya harus menikah muda? Sampai badan dan tulang rontok untuk cari uang.” Padahal teman-temannya masih bisa bermain atau melanjutkan sekolah. Kegalauan Johny bertambah kuat ketika dia menerima kabar ayahnya meninggal dunia pada 1973. Johny terpukul. Tapi sedih itu pribadi. Dia tak mau berbagi dengan siapapun. Dia ingat ucapan ayahnya, “Anak lelaki tak boleh cengeng!” Menjadi Kriminal Sepeninggal sang ayah, Johny harus menanggung ibu dan adik-adik angkatnya. Jauh hari sebelumnya, sang ayah mengambil empat anak sebagai anak angkatnya. Johny berganti-ganti profesi untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Dari menjadi sopir, pegawai katering, model foto, sampai ujungnya jadi bintang iklan dan film. Wajah Indo ternyata laris-manis di dunia hiburan pada dekade 1970-an. Padahal semasa kecil dulu di lingkungan rumahnya, Johny diolok-olok karena wajah Indonya. Kemudian zaman berputar. Orang-orang mulai suka dengan wajah Indo. Johny pun beroleh untung dari wajah Indonya. Dia masuk dunia hiburan. Uang mudah singgah padanya, tapi gampang pula pergi darinya. Johny menyisihkan sebagian penghasilannya untuk keluarga. Sisanya dia pakai untuk membeli pistol, mengunjungi klub malam, dan bermain gila dengan perempuan lain tanpa diketahui oleh istrinya. Menabung dan berhemat tak pernah terlintas di pikirannya. Hingga suatu hari dia menyadari dirinya benar-benar bokek. Saat itu pula teman-temannya datang bertamu. Kepada Johny, seorang teman curhat tentang kesulitan hidupnya. Tak punya pekerjaan, tak ada uang, tak cukup keahlian. Mirip dengan keadaan Johny. Tawaran main iklan dan film sedang seret. Dia menganggur sementara waktu, bokek, dan enggan kembali menggunakan keahlian lamanya sebagai montir dan sopir. "Bagaimana kalau kita merampok saja?" kata teman Johny. Johny pikir itu ide gila. Tapi diam-diam dia mengiyakan. Sejak lama, Johny telah membaca banyak buku detektif karya Nick Carter. "Dari buku tersebut dia mendapat 'ilmu maling'," terang Hangguman. Johny adalah pembaca rakus buku-buku sejarah, spionase, cowboy , perang, dan silat Tiongkok. Semua buku itu membawanya ke imajinasi liar tentang perampok berkelas. Baginya, merampok bukannya tidak boleh, melainkan harus pilih-pilih. Jangan nanggung. Sekali dapat, banyak uangnya. Johny akhirnya menempuh laku kriminal itu. Dia merencanakan strategi, taktik, persenjataan, dan hari-hari beraksinya. Dia juga membuat kode etik untuk diri dan komplotannya. Tak boleh melukai, membunuh, dan memperkosa. Jika seseorang melanggar, Johny akan menghajarnya. Johny Indo (bertopi hitam) memerankan dirinya sendiri dalam film Johny Indo Kisah Nyata Seorang Narapidana dalam bagian perampokan toko emas. Masa-masa 1978—1979, warga Jakarta gempar dengan perampokan toko emas berturut-turut. Selang waktunya berbeda-beda. Jumlah rampokannya besar-besar. Tapi korban nyawa dan luka minimal benar. Polisi kewalahan mencari pelakunya. Itulah aksi Johny dan komplotannya. Johny lolos berkali-kali. Dia bangga juga akan aksinya. Tapi hati kecilnya tak bisa bohong. Ada rasa bersalah pada ibu, istri, dan anak-anaknya. Bagaimana kalau nanti tertangkap? Nasib ibu, anak, dan istri memenuhi pikiran Johny. Seorang Johny juga punya rasa takut. Saban kali dia naik bus, matanya mendelik dan waspada. Kalau-kalau ada orang yang mengikuti, dia akan sigap menarik pistol dari pinggangnya. Suatu hari istri Johny pulang ke rumah naik angkutan umum. Johny bertanya macam-macam kepada istrinya. Apa ada orang yang bertanya-tanya tentang Johny? Siapa saja yang diajak ngobrol di dalam bus? Seperti apa tampang orang yang duduk di samping istrinya? Dan seterusnya. Penyesalan Johny Stella tak mengerti pertanyaan Johny. Dia menganggapnya sebagai bentuk perhatian. Dia baru tahu mengapa Johny bertanya seperti itu ketika polisi mendatangi rumahnya jelang Subuh, 18 April 1979. Suaminya adalah seorang kriminal paling dicari polisi. Aksi-aksi Johny dan komplotannya akhirnya terendus polisi. Satu per satu komplotan itu ditangkap. Johny yang terakhir. Dia ditangkap polisi di Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat, dalam goa persembunyiannya pada 26 April 1979. Warga bersorak dan berteriak. "Mampus saja, kau!" Dunia Johny berubah total. Cakrawalanya sebatas ruang penjara. Makanannya lebih cocok untuk bebek. Pakaiannya cuma dua setel. Bersama itu, anak kelima Johny lahir. Harusnya dia berada di sisi istrinya. Tapi pilihannya menjadi rampok telah membawanya ke sel sempit. Jauh dari keluarga. Keluarga Johny menghadapi hari-hari berat. Lingkungan sekitar mencemooh mereka. Anak-anak Johny enggan berangkat sekolah. Mereka malu. Johny tahu itu dari surat-surat anaknya. Dia dibekap rindu pada keluarga. Dia sangat menyesal. Matanya banjir. "Kita tidak akan selamanya hidup sengsara. Ada saatnya yang segera datang untuk kebahagiaan kita," tulis Johny dalam suratnya tertanggal 11 April 1982, seperti termuat di Aktuil . Pada bagian lain, Johny berjanji kepada anak-anaknya akan terus memperbaiki diri di dalam penjara dan saat keluar penjara nanti. Surat itu membesarkan hati anak-anak. Mereka masuk sekolah lagi. Johny menyelesaikan masa hukumannya pada 27 Februari 1988. Dia pulang ke keluarganya dan berupaya menunaikan janjinya. Dia menjadi lebih relijius hingga nyawanya terbang ke pangkuan Tuhan pada 26 Januari 2020.
- Dayo, Pusat Kerajaan Sunda Terakhir
Keberadaan Sunda Empire mulai meresahkan. Sejak kemunculannya di awal 2020, banyak pernyataan mereka yang dianggap oleh sejumlah pihak tidak selaras dengan realita. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pun angkat bicara soal kelompok yang menggegerkan publik dari daerahnya tersebut. Dilansir KompasTV , pria yang akrab disapa Kang Emil ini menyebut kalau masih ada saja orang-orang yang menjual romantisme sejarah demi eksistensinya. Ia juga merasa prihatin karena banyak yang mempercayainya. "Banyak orang stres ya di Republik ini, menciptakan ilusi-ilusi. Jangan percaya terhadap hal-hal yang tidak masuk ke dalam logika akal sehat," ucap Kang Emil. Para akademisi pun secara tegas membantah berbagai klaim petinggi Sunda Empire, Rangga Sasana. Dalam program televisi Indonesia Lawyers Club, 20 Januari 2020, Sunda Empire semakin berani angkat bicara. Dengan percaya diri, mereka menyebut bahwa pusat pemerintahan dunia ada di Bandung. Bahkan organisasi dunia, seperti PBB dan NATO, lahir di Kota Kembang itu. Secara historis, belum ada data yang menyebutkan Bandung pernah menjadi pusat dunia. Bahkan bagi urang Sunda sendiri, Bandung bukanlah tempat satu-satunya yang menjadi pusat terakhir segala aktifitas kehidupan mereka. Berdasarkan data-data sejarah, justru sebuah kota bernama Dayo-lah yang menjadi pusat pemerintahan terakhir penguasa wilayah barat Jawa ini, sebelum benar-benar hancur akibat serangan pasukan Muslim dari Demak dan Banten. Keberadaannya tercatat baik di dalam naskah tradisional maupun catatan perjalanan orang-orang Eropa. Tempat itu eksis hingga akhir kekuasaan kerajaan Sunda di tanah Jawa. Kini kota itu menjadi Kabupaten Bogor dan Kota Bogor dan masuk dalam wilayah provinsi Jawa Barat. Kesaksian Penjelajah Eropa Keberadaan pusat pemerintahan kerajaan Sunda berdasar kesaksian bangsa Eropa mula-mula diceritakan oleh penjelajah Portugis Tome Pires pada permulaan abad ke-16. Sejak pendaratan pertamanya di Jawa, nama Sunda sudah santer terdengar. Namun negeri itu masih terlalu asing baginya. Ia lalu mencari sebanyak-banyaknya informasi tentang negeri yang mungkin akan disinggahinya itu. “Kerajaan Sunda menguasai setengah Pulau Jawa.” Keyakinan itu tertanam di benak sebagian besar orang di pelabuhan tempat Tome Pires singgah. Sementara mereka yang memiliki kedudukan di pemerintahan meyakini bahwa kerajaan Sunda menduduki sepertiga atau seperdelapan bagian pulau. Dari kabar yang diterima Pires, luas kekuasaan kerajaan Sunda mencapai 300 league atau sekitar 1776 kilometer. Mencakup Pelabuhan Banten, Pelabuhan Sunda Kalapa, Pelabuhan Cimanuk, hingga ke Sungai Cimanuk yang merupakan batas antara kerajaan Sunda dan para penguasa dari Jawa (merujuk pada kerajaan-kerajaan di Jawa bagian tengah dan timur). “Diceritakan bahwa pada zaman dahulu, Tuhan telah menciptakan sungai untuk memisahkan Pulau Jawa dari kerajaan Sunda dan begitu pula sebaliknya. Sungai ini ditumbuhi pohon di sepanjang aliran dan kabarnya, pohon-pohon di masing-masing sisi memiliki cabang yang menyentuh tanah dan condong ke arah masing-masing negeri. Pohon-pohon ini berukuran besar dan menjulang tinggi dengan cantik,” kata Pires. Ketika sampai di wilayah kerajaan Sunda, Pires sempat mengunjungi kota Dayo. Dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental , Pires menjelaskan kalau Dayo menjadi tempat yang paling sering ditinggali raja Sunda dibanding daerah lainnya. Di kota besar ini rumah-rumah dibangun dengan sangat baik menggunakan daun kelapa dan kayu. Manajemen kota juga ditata secara teratur agar raja merasa nyaman tinggal berlama-lama di sana. Untuk mencapai kota Dayo, jika perjalanan dilakukan melalui pelabuhan utama (Sunda Kalapa), dibutuhkan waktu sekitar dua hari, melewati daerah perbukitan. “Orang-orang berkata bahwa sang raja memiliki rumah yang sangat bagus, dibangun menggunakan 330 pilar kayu setelah tong anggur, setinggi 5 depa dan dihiasi ukiran yang sangat indah di bagian atasnya,” tulis Pires. Namun keberadaan kota itu sendiri sempat diperdebatkan. Banyak penjelajah di abad ke-19, setelah era Pires, yang mengaku tidak menemukan kota yang disebut Dayo ini. “Daio, jika tempat ini memang nyata, adalah tempat yang keberadaannya sulit diduga, mengingat tidak ada satupun tempat yang menyerupai ciri-cirinya dalam topografi Jawa,” kata administrator Inggris John Crawfurd. Barulah pada 1856, Crawfurd berhasil memecahkan misteri kota ini. Dalam catatan penelitiannya selama memangku jabatan di Jawa, A Descriptve Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries , Crawfurd menjelaskan jika di wilayah yang jaraknya sekitar 40 mil ke arah timur dari Batavia (Jakarta), terdapat bekas fondasi istana. Di daerah yang merujuk pada Buitenzorg (Bogor) ini juga ditemukan banyak sekali bebatuan dan sejumlah prasasti. “Kota yang dimaksud, tidak lain tidak bukan, adalah Pajajaran. Pajajaran ialah nama sebuah kerajaan kuno di Jawa, ibu kotanya terletak di Bogor, yang berada di wilayah Sunda,” ucapnya. Rupanya keberadaan kerajaan Sunda pernah juga diceritakan Scipio pada 1 September 1687. Artinya komandan pasukan Belanda itu menemukan bukti keberadaan Sunda jauh sebelum Crawfurd. Dalam Priangan , De Haan menyebut jika Scipio berhasil menemukan dua batu yang menurut keterangan penduduk adalah bekas singgasana raja Pajajaran. Kedua batu itu terletak di sebuah tempat berbentuk bujur sangkar sebesar bangsal sebuah kerajaan. Diperkirakan bukti penting tentang Sunda itu berpindah tempat sehingga pada masa Crawfurd banyak peneliti yang kesulitan membuktikan beradaan Kerajaan Pajajaran. “Itulah sebabnya, kiranya bangunan kraton ini atau bekasnya tidak dapat disaksikan lagi oleh kita sekarang, bahkan oleh orang-orang Belanda yang mengunjunginya pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 Masehi,” tulis De Haan. Berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh para peneliti Barat, sejarawan Edi S. Ekadjati, dalam Asal-Usul, Lokasi, Perkembangan Pakuan Pajajaran , merasa jika rekonstruksi kerajaan Sunda sudah terlaksana dengan cukup baik. Ditambah informasi yang ada pada sumber-sumber lokal, keberadaan penguasa Jawa bagian barat ini sudah dapat disaksikan oleh masyarakat luas. “Menurut hemat saya, keseluruhan hasil studi mereka (para peneliti Belanda) sudah cukup memadai, dalam arti lokasi ibukota Pakuan Pajajaran telah berhasil ditemukan dan direkonstruksi dengan benar. Walaupun demikian, guna mendapat gambaran yang lebih jelas dan mendetail perlu dilakukan penelitian lebih jauh, terutama dengan melakukan penggalian di sekitar lokasi yang diperkirakan bekas kompleks keraton,” ucap Ekadjati. Catatan Tradisional Tidak jauh berbeda dengan keterangan orang-orang Eropa, informasi yang ada pada naskah dan prasasti juga turut memperkuat keberadaan kerajaan Sunda di wilayah Bogor sekarang. Seperti informasi pada prasasti Batutulis yang dikutip Nugroho Notosusanto,dkk dalam Sejarah Nasional Indonesia III , diketahui bahwa kerajaan ini awalnya berpusat di Kawali namun karena keadaan tertentu akhirnya dipindahkan ke Pakuan. “Pusat kerajaan Sunda yang berpindah-pindah itu pernah berlokasi secara kronologis sebagai berikut: Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan. Jadi kerajaan Sunda itu berakhir pada waktu pusat kerajaannya berkedudukan di Pakuan Pajajaran,” terang Saleh Danansasmita dalam “Latar Belakang Sosial Sejarah Kuno Jawa Barat dan Hubungan antara Galuh dengan Pajajaran” dimuat Sejarah Jawa Barat . Sementara naskah Carita Parahyangan (dibuat akhir abad ke-16), cukup banyak membahas keadaan di Pakuan, meski tidak lengkap. Di sana dijelaskan bangunan kerajaan di wilayah pakuan tidak hanya satu, melainkan ada lima buah. Jumlah tersebut merujuk pada kosep Panca Persada (lima keraton). Bangunan utama digunakan sebagai tempat tinggal raja, sementara di sampingnya berdiri bangunan-bangunan lain yang tidak kalah megah sebagai tempat bersemayam para kerabat kerajaan. Wilayah ibukota Pakuan Pajajaran, kata Ekadjati, dibagi ke dalam dua wilayah, yakni Kota Dalam dan Kota Luar. Kedua bagian kota itu dibatasi oleh benteng alam, berupa bukit kecil memanjang di sebelah timur. Di sana juga terdapat parit kecil yang membentang melewati bagian barat keraton. Sementara sebuah benteng buatan berdiri kokoh di sebelah selatan. “Dari gambaran di atas tampak bahwa ibukota Pakuan Pajajaran diperkuat oleh benteng berlapis-lapis (sungai alam, tanggul buatan, parit buatan). Hal itu kiranya disebabkan oleh karena kerajaan Sunda menghadapi kemungkinan serangan dari luar (Demak, Cirebon, dan Banteng),” tulis Ekadjati. Rupanya kekhawatiran raja atas serangan yang akan menghancurkan kerajaannya menjadi kenyataan. Pada 1579, setelah melalui berbagai konflik dan perang dengan pasukan Muslim, kerajaan Sunda berakhir. Pusat pemerintahan terakhirnya berada di Pakuan, wilayah Bogor sekarang.
- Menteri Tionghoa di Kabinet Republik Indonesia.
Selama masa kekuasaan Presiden Sukarno (1945-1967), terbentuk cukup banyak kabinet yang tugasnya menjalankan lembaga eksekutif negara. Di antara para menteri yang pernah menduduki jabatan di kabinet-kabinet tersebut tercatat ada 4 orang menteri yang berasal dari etnis Tionghoa. Mereka datang dari berbagai latar belakang yang berbeda serta mewakili partai dan organisasinya masing-masing. Berikut 4 tokoh Tionghoa yang pernah menduduki jabatan menteri di Indonesia pada periode 1945-1965. Tan Po Gwan Namanya mungkin terasa asing di telinga masyarkat Indonesia saat ini. Namun semasa tahun 1940-an sampai 1950-an, ia cukup aktif dalam berbagai organisasi sampai akhirnya dipercaya menduduki jabatan Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III periode 1946-1947. Tan Po Gwan tercatat sebagai etnis Tionghoa pertama yang masuk jajaran eksekutif di dalam pemerintahan Indonesia. Dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat, pada 24 Oktober 1911, Tan Po Gwan menamatkan sekolah tingkat pertamnya di AMS (Algemeene Middelbare School) di Bandung. Setelah lulus ia melanjutkan pendidikannya di RHS (Rechtshoogeschool) di Batavia (Jakarta), untuk memperdalam bidang hukum. Tahun 1937 ia menamatkan sekolah RHS dan mendapatkan gelar Meester in de Rechten. Karir pertama Tan Po Gwan setelah lulus adalah bekerja di Makasar sebagai pengacara. Selama kurun waktu dua tahun (1937-1938) ia bermukim salah satu kota di Sulawesi Selatan itu. Kemudian tahun berikutnya Tan Po Gwan memutuskan mengejar karirnya di Surabaya. Di sana ia juga membuka jasa konsultasi hukum, sama seperti di kota sebelumnya. Diceritakan Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, ketika berada di Surabaya inilah Tan Po Gwan berkenalan dengan dunia di luar keahliannya, yaitu jurnalistik. Ia bergabung dengan surat kabar Tionghoa Sin Po sejak tahun 1939. Rupanya Tan Po Gwan memiliki ketertarikan yang cukup besar terhadap bidang kepenulisan. Ia diketahui cukup aktif menulis di surat kabar milik Lauw Giok Lan dan Yoe Sin Gie ini. Pada 1942, saat proses perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, Tan Po Gwan masih aktif menulis di Sin Po . Namun di tahun ini juga ia menjadi salah satu orang yang diinternir oleh pemerintah Jepang akibat berbagai aktivitasnya dianggap membahayakan kekuasaan mereka. Hampir sepanjang pemerintahan Jepang berjuasa di Indonesia (1942-1945), aktifitas Tan Po Gwan dibatasi dan diawasi dengan sangat ketat. Barulah ketika kemerdekaan Indonesia berhasil dikumdangkan, ia mendapatkan kembali kebebasannya. Tercatat dalam Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan sampai Reformasi karya PNH Simanjuntak, Tan Po Gwan mulai aktif berkecimpung di dunia politik, terutama ketika ia diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Tionghoa dalam Kabinet Sjahrir III, yang dibentuk Perdana Menteri Sutan Sjahrir pada 2 Oktober 1946 sampai 27 Juli 1947. Setelah meletakan jabatan menterinya, Tan Po Gwan bergabung dalam KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) sebagai anggota pada 1947. Bila Hamid Algadri datang mewakili komunitas orang-orang Arab, Tan Po Kwan dipercaya mewakili komunitas Tionghoa. Ketika itu Tan Po Kwan dan anggota KNIP lainnya ditugasi membantu di segala urusan presiden hingga dibubarkan pada 1950. Tan Po Gwan aktif juga di kepartaian. Ia diketahui menjadi anggota dari PDTI (Partai Demokrat Tionghoa Indonesia). Kemudian pada 1953 ia bergabung dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang diketuai oleh Sutan Sjahrir. Selain itu Tan Po Gwan pernah ikut berkecimpung di Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Organisasi Tionghoa yang didirikan pada 1954 itu bahkan mencalonkan Tan Po Gwan dalam pemilihan umum 1955. Namun akhirnya batal karena ia memutuskan mengundurkan diri. Pada tahun-tahun berikutnya kehidupan Tan Po Gwan mulai terasa berat. Ia termasuk dalam kelompok orang yang merasa terasingkan selama masa pemerintaha Sukarno. Sehingga pada 1959 ia memutuskan untuk meninggalkan Indonesia. Baru setelah pergantian kekuasaan, Tan Po Gwan kembali ke tanah air. Namun tidak lama, ia memilih menetap di Sydney, Australia. Pada 1985 Tan Po Gwan meninggal dunia di Australia. Ong Eng Die Ong Eng Die (Foto: Wikimedia Commons) Dikenal sebagai ekonom ulung pada era 1950-an sampai 1960-an, Ong Eng Die berhasil menempatkan namanya dalam jajaran menteri pada beberapa kabinet. Ia dipercaya mengatur situasi ekonomi dan keuangan di Indonesia pada masa-masa awal pasca kemerdekaan. Ong Eng Die mampu membuktikan dirinya pantas disejajarkan dengan pakar eknomi lainnya, seperti Mohammad Hatta, atau Sjafruddin Prawiranegara. Ong Eng Die dilahirkan di Gorontalo, pada 20 Juni 1910, dari pasangan Teng Hoen dan Soei Djok Thie. Tidak banyak informasi mengenai masa kecil Wang Yongli (sapaan akrab Ong Eng Die). Namun diperkirakan ia menempuh pendidikan di sekolah milik pemerintah Belanda hingga tingkat menengah. Pada 1930-an, saat memasuki usia sekitar 20 tahun, Wang Yongli memutuskan untuk pergi ke Belanda, melanjutkan studinya. Thee Kian Wie dalam Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an, menyebut bahwa pada 1940, Wang Yongli tercatat sebagai salah satu sarjana yang lulus dari Fakultas Ekonomi di Universiteit van Amsterdam. Pada 1943, Wang Yongli berhasil menyelesaikan studi doktoralnya dan mendapat gelar Ph.D untuk disertasinya: Chineezen in Nederlands-Indie een Socigrafie van een Indonesische Bevolkings Group . Selama dua tahun, setelah memperoleh gelar doktoralnya, Wang Yongli memilih untuk berkarir di Belanda. Kemudian pada 1945, ia memutuskan pulang ke Indonesia. Di dalam negeri, Bank Pusat Indonesia di Yogyakarta menjadi pilihan Wang Yongli untuk menambah pengalamannya di bidang ekonomi. Ia berkarir di sana hingga tahun 1947. Nama Ong Eng Die sebagai lulusan Universitet van Amsterdam mulai terdengar pada 1947. Di tahun yang sama ia juga mulai mendekatkan dirinya pada dunia perpolitikan. Perjalanan pertama di dunia barunya ini terjadi ketika ia ditunjuk sebagai Menteri Muda Keuangan, mendampingi Menteri Keuangan AA Maramis pada era kabinet Amir Sjarifuddin I. Saat Amir Sjarifuddin membentuk kembali kabinetnya, Kabinet Amir Sjarfuddin II (11 November 1947 – 29 Januari 1948) Wang Yongli masih tetap dipercaya di jabatan yang sama, yakni Menteri Muda Keuangan. Pada masa-masa ini, kata Setyautama, Wang Yongli dipercaya menjadi penasehat ekonomi untuk beberapa pertemuan dengan delegasi luar negeri. “Beliau adalah salah satu penasehat ekonomi delegasi Indonesia pada saat perundingan Renville,” tulisnya. Pada 1950-an, Wang Yongli bergabung dengan PNI (Partai Nasional Indonesia). Saat Ali Sastroamidjojo membentuk kabinetnya (30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955), Wang Yongli ditunjuk sebagai Menteri Keuangan. Namun meski jabatan telah dipegangnya, kebijakan ekonomi saat itu lebih didominasi oleh keputusan Sjafruddin Prawiranegara, Djuanda Kartawidjaja, dan para pakar lainnya. Hal itu dilakukan untuk mempersiapkan PNI dalam menghadapi Pemilihan Umum 1955. Namun selama masa jabatannya sebagai Menteri Keuangan, terjadi sejumlah permasalahan yang cukup merugikan negara. Bersama dengan Iskaq Tjokrohadisurjo sebagai Menteri Perekonomian, Wang Yongli disebut hanya membuat kebijakan yang menguntungkan PNI saja. Antara lain dengan mengeluarkan surat izin devisa atau lisensi impor. Pada 1954, jumlah perusahaan impor lokal meningkat lebih dari 2.000 buah. PNI meraup banyak keuntungan dari pemberian lisensi tersebut. “Lisensi istimiwa diberikan kepada pengusaha-pengusaha yang sanggup memberikan 10% dari harga lisensi kepada kas partai PNI,” tulis Soebagijo IN dalam biografi Jusuf Wibisono Karang di Tengah Gelombang . Setelah meletakkan jabatannya, Wang Yongli masih banyak mengurusi masalah perekonomian sebagai seorang penasehat. Ia memiliki beberapa kantor akuntan, sambil menjalankan berbagai kegiatan kepartaiannya di PNI. Tahun-tahun berikutnya masih dihabiskan Wang Yongli sebagai salah satu pakar eknomi Indonesia. Meski mulai banyak masyarakat yang mencibir karena kasus-kasus selama ia menduduki jabatan menteri. Pada 1964, ia memilih kembali ke Amsterdam. Di sana, bersama keluarganya, Wang Yongli menjalankan sebuah bisnis. Setelah tinggal cukup lama di luar negeri, kabar kematiannya tidak dapat dipastikan dengan jelas. Tidak ada cukup data yang menjelaskan hal tersebut. Siauw Giok Tjhan Siauw Giok Tjhan (Foto: Wikimedia Commons) Siaw Giok Tjhan dikenal luas sebagai seorang politikus yang aktif pada era pemerintahan Sukarno. Ia terlibat dalam berbagai peristiwa dan berkontribusi cukup besar bagi orang-orang Tionghoa dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Siaw Giok Tjhan dilahirkan di Kapasan, Surabaya, Jawa Timur, pada 23 Maret 1914, dari pasangan Siaw Gwan Swie dan Kwan Tjian Nio. Ia menerima pendidikan dasar di THHK (Tionghoa Hoa Hwee Koan) dan ELS (Europeesch Lagere School). Kemudian melanjutkan sekolah menengah pada 1927 di HBS (Hogere Burger School), Surabaya. Tercatat dalam biografinya, Siauw Giok Tjhan: Riwayat Perjuangan Seorang Patriot , ia telah terlibat aktif di banyak organisasi sejak usianya masih terbilang muda, yakni 18 tahun. Pada usia tersebut Siaw Giok Tjhan masuk Partai Tionghoa Indonesia, di bawah pimpinan Liem Koen Hian. Pada 1933, ia memulai perkenalan pertamanya dengan jurnalistik sebagai pekerja di harian Sin Tit Po di Surabaya. Pada 1934 Siauw Giok Tjhan mulai aktif menulis di harian Matahari . Di bawah naungan Kwee Hing Tjat di Semarang, ia makin mahir dalam dunia tulis-menulis ini. Kemudian ketika Kwee Hing Tjat meninggal, Siauw Giok Tjah dipercaya meneruskan kepemimpinan harian Matahari . Namun ketika Jepang mulai berkuasa pada 1942, harian yang memulai debutnya dari Sin Jit Po ini terpaksa harus tutup. Selama masa pendudukan Jepang, Siauw Giok Tjhan banyak menghabiskan waktunya di Malang. Ia aktif di AMT (Angkatan Muda Tionghoa) dan Palang Biru yang difasilitasi oleh Jepang. Pada 1945, ia mulai bergabung dalam partai yang lebih besar, yaitu PSI. Siauw Giok Tjhan menjadi salah satu anggota partai yang sangat aktif berkontribusi sehingga pada 1946 ia ditunjuk menjadi anggpta KNIP. Pada 1947, Sjahrir mengajak Siauw Giok Tjhan ke Inter Asian Conference di New Delhi, India. Di tahun yang sama juga, ia diangkat menjadi Menteri Urusan Minoritas (Tionghoa) dalam Kabinet Amir Sjarifuddin. Melalui jabatannya ini Siauw Giok Tjhan semakin memantapkan dirinya dalam perpolitikan di Indonesia. Pada 1949 ia tercatat sebagai anggota DPR RIS. Keaktifannya di dunia politik diimbangi oleh kegemarannya dalam menulis. Siauw lalu mendirikan surat kabar Harian Ra’jat pada 1953. Pada 1954, bersama 44 tokoh Tionghoa, Siauw Giok Tjhan mendirikan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Ia terpilih sebagai ketua umum organisasi masyarakat keturunan Tionghoa tersebut. Di sana ia mulai aktif menyuarakan persamaan hak bagi warga negara dan anti diskriminasi. “Keputusan untuk menasakomisasi kepemimpinan Baperki mulai dari Komite Pusat hingga cabang-cabang adalah sebuah konsekuensi dari posisi Baperki yang diformulasikan dalam Kongres VI di Surabaya. Posisi tersebut adalah bahwa perjuangan untuk memecahkan masalah kewarganegaraan tidak dapat dipisahkan dari perjuangan untuk membantu perkembangan sebuah masyarakat Pancasila yang menjalankan dasar-dasar Pancasila dalam urusan kehidupan sehari-hari,” ucap Siauw Giok Thjan seperti dikutip Leo Suryadinata dalam Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002 . Namun segala bentuk kegiatan Baperki dianggap berbahaya bagi sebagian pihak. Terutama ketika mereka mulai aktif membuat tulisan di koran Republik . Oleh karenanya pada November 1965, Siauw Giok Tjhan ditahan. Pada 1978, atas bantuan Adam Malik, ia dibebaskan karena alasan kesehatan. Ia lalu menghabiskan waktunya di Belanda. Siauw Giok Tjhan wafat pada 20 November 1981 akibat serangan Jantung. Lie Kiat Teng Lie Kiat Teng (Foto: Wikimedia Commons) Tidak banyak narasi sejarah bangsa ini yang menyebutkan sosok Lie Kiat Teng. Seolah tidak ada tempat yang pas untuk mengabadikan nama tokoh Muslim dari etnis Tionghoa ini. Namun sebenarnya keberadaan Lie Kiat Teng cukup berpengaruh di dalam sejumlah peristiwa, terutama dalam kurun masa 1950-an hingga 1960-an. Lie Kiat Teng dilahirkan di Sukabumi, Jawa Barat, pada 17 Agustus 1912. Sejak kecil, ia telah mendapat pendidikan yang cukup baik dari keluarganya. Ia menyelesaikan sekolah tingkat dasar dan menengahnya di sekolah milik pemerintah Belanda. Lie Kiat Teng lalu mengikuti studi lanjutan di Surabaya, di NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School), sekolah pendidikan dokter yang dikhususkan bagi orang-orang pribumi. Lie Kiat Teng sendiri mampu menyelesaikan studinya, dan memperoleh gelar “Dokter Djawa” pada 1930-an. Setelah lulus, Lie Kiat Teng bekerja sebagai dokter pemerintah di Curup, Bengkulu. Lalu pernah diangkat menjadi dokter di Rumah Sakit Pusat Perkebunan di Waringin Tiga. Ia juga sempat menjadi dokter di tambang emas Rejang Lebong, Bengkulu. Sejak lulus karirnya memang lebih banyak dihabiskan di lembaga kesehatan milik pemerintah Belanda. Selama masa awal periode kemerdekaan, Lie Kiat Teng menduduki jabatan dokter keresidenan di Palembang, Sumatera Selatan. Ketika berpraktek di Sumatera inilah, Lie Kiat Teng berkenalan dengan agama Islam. Sebenarnya interaksi Lie Kiat Teng dengan Islam sudah terjadi cukup lama karena memang orang-orang di sekitarnya banyak yang beragama Islam. Namun keyakinannya untuk memeluk Islam baru benar-benar muncul pada 1946. Ia lalu mengubah namanya menjadi Mohammad Ali. Memasuki tahun 1950-an, Mohammad Ali memutuskan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter karesidenan. Pada masa ini juga ia mulai aktif berpolitik. Mohammad Ali ikut menjadi bagian dari PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), sebagai kepala bagian ekonomi. Meski telah terjun ke dunia politik, Mohammad Ali tetap berpraktek sebagai dokter. Ia memilih untuk tidak terikat dengan instansi pemerintah dan membuka praktek dokter secara swasta. Ketika Ali Sastroamidjojo membentuk kabinet (1953-1955), Mohammad Ali ditunjuk sebagai Menteri Kesehatan, menggantikan FL Tobing dari SKI. Namun jabatan di lembaga eksekutif dalam pemerintahan ini tidak hanya sekali saja diemban Mohammad Ali. Pada kabinet selanjutnya, Kabinet Burhanudin Harahap (1955-1956), ia masih tetap dipercaya dalam jabatan Menteri Kesahatan. “Ia (Mohammad Ali) berjasa mendirikan rumah sakit Mohammad Husni di Palembang,” tulis Setyautama.
- Lima Tionghoa di Taman Makam Pahlawan
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan adalah kewajiban rakyat suatu negara. Tanpa membeda-bedakan ras, suku, dan agama, semua berjuang demi terwujudnya kedamaian. Hal itulah yang diyakini orang-orang Tionghoa saat ikut membantu menghilangkan penjajahan demi melahirkan kemerdekaan yang hakiki di bumi Indonesia. Berkat sumbangsihnya, negara memberikan tempat peristirahatan terbaik bagi mereka.Tercatat ada 5 orang warga keturunan Tionghoa, dari berbagai medan perjuangan, yang dipusarakan di Taman Makam Pahlawan. Lie Eng Hok Lie Eng Hok dilahirkan pada 7 Februari 1893 di Balaraja, Tanggerang, Banten. Tidak banyak informasi mengenai masa kecilnya. Namun ia diketahui pernah menjadi wartawan surat kabar Tionghoa Sin Po sekitar 1910-an. Ia cukup aktif menulis di harian milik Lauw Giok Lan dan Yoe Sin Gie tersebut. Pengalamannya menjadi jurnalis itu kemudian dimanfaatkan Lie Eng Hok ketika ia aktif di masa pergerakan nasional. Pada 1926, semasa gerakan anti-Belanda tengah kuat-kuatnya di sejumlah daerah, Lie Eng Hok pindah ke Semarang, Jawa Tengah. Di sana ia membuka sebuah toko buku di Pasar Johar. Rupanya pekerjaannya itu hanyalah kedok bagi pekerjaannya yang lain, yakni kurir dan informan. Ia bertugas membagikan informasi tentang gerak-gerik pasukan Belanda kepada para pejuang anti-Belanda. Diceritakan Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia , akibat aktifitasnya itu, Lie Eng Hok ditangkap dan dimasukkan ke jajaran pemberontak yang akan dibuang ke Boven Digul oleh pemerintah Belanda. Dari sekitar 1300 tahanan yang berangkat pada 1927, 10 di antaranya adalah warga keturunan Tionghoa. Selama berada di Digul, Lie Eng Hok hidup menderita. Ia masuk dalam kelompok orang yang tidak sudi bekerja di bawah pemerintah Belanda. Bersama-sama dengan Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, Lie Eng Hok tidak mendapat fasilitas yang layak selama di Digul. Hatta pun pernah bercerita di dalam Mengenang Sjahrir , jika para interniran yang menolak tunduk pada pemerintah Belanda memang mendapat tekanan yang lebih berat dibandingkan mereka yang memilih bekerjasama. Pada 1932, berdasarkan Besluit Gouverneur Generaal van Nederlandsch Indie No.8 tanggal 19 Januari 1932, ia dibebaskan dari Digul. Setelah itu ia memilih kembali ke Semarang, membuka kembali toko buku yang sebelumnya di tinggalkan. Pada 22 Januari 1959, Lie Eng Hok ditetapkan sebagai pejuang “Perintis Kemerdekaan” berdasarkan Surat Keputusan Menteri Sosial. Pada 27 Desember 1961, Lie Eng Hok meninggal dunia. Ia dimakamkan di pemakaman umum di Semarang. Namun pada 1986 berdasarkan Surat Keputusan Pangdam IV/Diponegoro No.B/678/X/1986, kerangkanya dipindah ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal di Semarang. John Lie Dilahirkan di Manado, Sulawesi Utara, pada 11 Maret 1911, John Lie Tjeng Tjoan merupakan anak kedua dari delapan bersaudara pasangan Lie Kae Tae dan Oei Tseng Nie. Sejak kecil pria yang akrab disapa John Lie ini sudah mendapat pendidikan yang baik di sekolah berbahasa Belanda, Hollands Chinese School (HCS) dan Christelijke Lagere School. Namun menginjak usia 17 tahun, ia memutuskan pergi dari Manado menuju Batavia, demi memenuhi hasratnya menjadi pelaut. Di Batavia John Lie bekerja sebagai buruh pelabuhan, di samping kesibukannya ikut kursus navigasi. Ia berhasil menyelesaikan pelatihannya dan ditempatkan di perusahaan pelayaran Belanda Klerk Muallim II di KPM (Koninklijk Paketvaart Matschappij). Setelah beberapa kali pindah kapal, ia ditugaskan di MV Tosari pada Februari 1942. Ketika Perang Dunia II pecah, MV Tosari dijadikan kapal logistik pendukung armada sekutu. John Lie dan awak kapal lainnya mendapat pelatihan khusus setelahnya. Menurut M. Nursam dalam Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie, Setelah Indonesia merdeka, John Lie kembali bekerja di Pelabuhan Tanjungpriok. Namun ketika suasana semakin genting ia memilih bergabung dengan angkatan laut. Atas permintaannya, ia ditempatkan di Pelabuhan Cilacap. Di sanalah awal mula misi-misi John Lie menembus blokade Belanda dan penyelundupan yang membuat namanya melegenda. Wartawan majalah Life , Roy Rowan, mengabadikan kisah heroik John Lie dalam “Guns-And Bibbles-Are Smuggled to Indonesia” yang dimuat Life pada 26 Oktober 1949. Pers asing pun menjuluki pria Manado ini dengan sebutan “The Great Smuggler with the Bibble”. John Lie memutuskan pensiun pada 1967 setelah menyelesaikan sejumlah tugas, seperti memimpin KRI Rajawali dan KRI Gadjah Mada, serta ikut aktif dalam penumpasan gerakan DI/TII, RMS, dan Permesta. Pada 27 Agustus 1988, John Lie wafat. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro (1993-1998) “mengakui” John Lie sebagai Pahlawan Nasional. Namun penganugerahan gelar Pahlawan Nasional baru terealisasi pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2009. John Lie dipusarakan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Sho Bun Seng Mungkin tidak banyak orang yang tahu jika Sho Bun Seng adalah salah seorang pegiat seni yang ikut dalam perjuangan kemerdekaan. Dilahirkan pada 12 November 1911, di Kota Raja, Aceh, Sho Bun Seng aktif dalam grup sandiwara Dardanela sekitar tahun 1920-an. Kelompok sandiwara ini lahir di tengah kepopuleran Opera Miss Riboet, dengan bintangnya Miss Riboet. Sho Bun Seng sendiri diketahui aktif di angkatan Tan Tjeng Bok dan Fifi Young. Sho Bun Seng lalu memutuskan pergi ke Padang, Sumatera Barat, dan menikahi Hu Chung Ying. Dari sana ia pindah ke Kalimantan Barat untuk bekerja menjadi guru. Namun tidak lama ia kembali ke Padang. Sekitar tahun 1944, ia bersama sejumlah kalangan etnis Tionghoa lainnya ikut melakukan pergerakan melawan kekuasaan Jepang. Setelah kemerdekaan, Sho Bun Seng bergabung dengan Batalion Pagar Ruyung. Ia ditugaskan selama beberapa tahun di Kalimantan, khususnya Pontianak, Singkawang, dan sekitarnya. Pada 1950-an, ia mendapat tugas ke Tasikmalaya dan Ciamis, Jawa Barat. Di sana ia membantu operasi militer menumpas pemberontakan DI/TII. Pada 1958, Sho Bun Seng memutuskan pensiun dari urusan kemiliteran. Pada tahun-tahun berikutnya Sho Bun Seng lebih aktif di industri hiburan yang pernah digelutinya dahulu. Atas jasa-jasanya, baik selama masa pendudukan Jepang maupun ketika aktif di kemiliteran, Sho Bun Seng mendapat Bintang Satya Lencana Peristiwa Aksi Militer Pertama dan Satya Lencana Perang Kemerdekaan Kedua. Ia juga mendapat surat tanda jasa pahlawan dari Presiden Sukarno. Serta Satya Lencana Gerakan Militer Kelima. Pada September 2000, Sho Bun Seng meninggal dunia. Jasadnya lalu dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Ferry Sie King Lien Ferry Sie King Lien lahir pada 1933 dari keluarga pemilik pabrik gelas tersohor di Kartodipuran, Surakarta, Jawa Tengah. Ia merupakan satu dari sedikit Tentara Pelajar dari kalangan Tionghoa yang ikut mengangkat senjata pada pertempuran di Solo tahun 1949. Bersama empat orang rekannya, Soehandi, Tjiptardjie, Salamoen, dan Semedi, Ferry Sie King Lien mendapat tugas khusus dari kesatuannya, yakni memberikan dorongan moril kepada rakyat untuk sama-sama berjuang mempertahankan kemerdekaan. Diceritakan Iwan Sentosa dalam Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara sampai Indonesia , cara Ferry Sie King Lien dalam menjalankan misinya adalah dengan mencoret-coret tembok dan menyebarkan selebaran berisi ajakan melawan tantara Belanda kepada seluruh rakyat Solo, serta menembaki markas-markas pasukan Belanda. Setiap malam ia dan kawan-kawan dari gerilyawan malam Sektor A Rayon V, Subwehrkreis 106 Arjuna keluar melancarkan aksi berbahayanya itu. Para gerilyawan malam ini akan mengincar tempat-tempat yang strategis di seluruh penjuru kota. Mereka secara khusus menggunakan bahasa Inggris dan Belanda dalam setiap coretannya untuk menunjukkan bahwa perjuangan tersebut dilakukan oleh orang-orang terpelajar. Dalam buku Peranakan Idealis: dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya , ada sebuah coretan di tembok yang cukup berpengaruh dalam proses menaikkan moril rakyat pada masa-masa perjuangan ini. “Eens komt de dag dat Republik Indonesia zal herrijzen ” yang artinya "pada suatu hari Republik Indonesia akan timbul kembali". Pada malam 14 Juli 1949, saat hendak melakukan misinya, Ferry Sie King Lien datang menemui Camat Pemerintah Gerilya Kaonderan Serengan RM Sumardi. Ia bermaksud mengajak si camat untuk memimpin pasukan gerilya malam itu. Namun Sumardi menolak karena menurutnya malam itu adalah “hari musibah” dalam perhitungan primbon Jawa. Meski mendengar hal itu, Ferry Sie King Lien dan sejumlah TP tetap melanjutkan misinya. Namun tanpa diduga sebelumnya, pasukan Belanda bersenjata lengkap memergoki mereka di sebelah selatan Singosaren. Ferry Sie dan kawan-kawan lainnya diberondong oleh senjata berat. Mereka berusaha mencari perlindungan. Naas, Ferry dan Soehadi tertembak. Keduanya tewas seketika. Sementara tiga orang lainnya dari pasukan gerilya Subwehrkreis berhasil meloloskan diri dan selamat. Atas jasa-jasanya, Ferry Sie King Lien dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Jurug, Solo. Ia tercatat sebagai satu-satunya warga keturunan Tionghoa yang dipusarakan di sana. Tjia Giok Thwam Ia dilahirkan di Surabaya, Jawa Timur, pada 1927. Ketika usianya baru menginjak 18 tahun, Tjia Giok Thwam tergabung dalam regu pasukan penggempur Pasukan 19 CMDT (Corps Mahasiswa Djawa Timur). Ia ikut angkat senjata dalam sejumlah pertempuran di Jawa Timur mengusir penguasaan kembali Belanda atas wilayah tersebut. Pada 10 April 1950, Tjia Giok Thwan menyelesaikan pengabdiannya sebagai pasukan gerilya CMDT. Atas persetujuan komandannya, Kastam Prayitno, Tjia Giok Thwan resmi mundur dengan pangkat terakhirnya Letda (Letnan Dua). Ia lalu melanjutkan studi kedokteran di Universitas Airlangga, Surabaya. Pada 5 Oktober 1958, berdasarkan SK Menteri Pertahanan RI, Tjia Giok Thwan menerima Satya Lencana Perang Kemerdekaan Kedua. Kemudian pada 10 November 1958, ia menerima Tanda Jasa Pahlawan sebagai anggota Veteran RI. Tjia Giok Thwan juga menerima Satya Lencana Gerakan Operasi Militer Kesatu pada 29 Januari 1959. Tjia Giok Thwan meninggal dunia pada 1 Maret 1982 (55 tahun) di Malang akibat sakit jantung yang dideritanya. Hingga akhir hayatnya, Tjia Giok Thwan menjabat Kepala Rumah Sakit Jiwa Pusat Sumber Porong sejak 1967. Ia dimakamkan di TMP Suropati, Malang. Jenazahnya ditempatkan di dalam peti berhiaskan bendera merah putih. Pelepasannya pun dilakukan menggunakan upacara kemiliteran.






















