top of page

Hasil pencarian

9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Mimpi Juara Luciano Leandro Diraih di Ibukota

    MIMPI menjadi juara mendorong Luciano Leandro memutuskan harus mengadu nasib ke negeri orang. Maka ketika kesempatan untuk merumput di negeri seberang menghampirinya, ia tak menyia-nyiakannya. Ia tak peduli tujuan yang akan dicapainya merupakan negeri yang sama sekali tak dia kenal. Masih kental di dalam ingatan Luciano kala meminta izin ayahnya untuk merantau sekira 15 ribu kilometer ke belahan bumi lain. “Karena saya ingin berhasil. Waktu mau ke Indonesia, aku bilang mau juara di sini. Papa (Cecilio Leandro, red .) saya juga bilang agar jangan takut gagal. Kalau gagal, mereka tetap akan menyambut saya pulang,” kata Luciano mengenang, kepada Historia . Bersama Marcio Novo, rekan senegaranya, ia lalu merintis karier di sepakbola Indonesia bersama PSM Makassar pada Liga Indonesia II musim 1995-1996. Sayangnya meski tampil apik dan kerap masuk line-up utama, Luci gagal mengentaskan ambisi juaranya. PSM sekadar runner-up setelah di final keok 0-2 dari Bandung Raya. Musim berikutnya, tim berjuluk Juku Eja justru hanya mampu melaju sampai semifinal. Luci dkk. disingkirkan Persebaya Surabaya yang lantas keluar sebagai juara. Sementara di Liga Indonesia IV 1997-1998, kompetisi dihentikan di tengah jalan akibat huru-hara Mei 1998. Luci lantas pilih mudik ke Brasil. Luciano Gomes Leandro kini masih ingin berkiprah di Indonesia sebagai pelatih (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Menerima Pinangan “Macan” Kemayoran Sepulihnya kondisi Indonesia pasca-Mei 1998, kompetisi bergulir lagi. Pada 1999, Luci comeback ke Liga Indonesia usai menerima pinangan Persija Jakarta yang tengah berbenah di bawah kepemimpinan eks-manajer timnas Indonesia IGK Manila. “Di 1999, Persija merekrut Luciano Leandro, gelandang elegan asal Brasil yang sebelumnya membela PSM Makassar. Lini depan diperkuat lagi oleh Miro Baldo Bento, pemain lama Persija asal Timor Timur yang sempat bermain di Arseto. Di bawah mistar gawang, berdiri tegar Mambolou Mbeng Jean, kiper setinggi 188 cm asal Kamerun,” ungkap IGK Manila dalam biografinya yang ditulis duet jurnalis Hardy Hermawan dan Edy Budiyarso, Panglima Gajah, Manajer Juara . Namun, Luci belum bisa tampil di musim tersebut lantaran masih terikat kontrak setahun dengan salah satu klub lokal Brasil. Luci baru benar-benar berseragam Persija pada Liga Indonesia VII musim 2000-2001. “Waktu saya di Brasil ada telefon dari Jakarta. Dari manajernya, Ibu Diza Rasyid Ali. Dia tanya apakah saya mau main di Persija. Saya lihat Jakarta (adalah) ibukota. Hidup di Jakarta kupikir untuk keluarga saya ada lebih untuk mereka, lebih ada tempat yang mereka lebih enjoy. Lebih banyak fasilitas. Di Makassar juga aman tapi di Jakarta aku melihat sesuatu yang baru. Gara-gara itu aku pindah ke Persija,” sambung Luci. Setelah terjadi deal dengan nilai kontrak yang enggan dia sebut, pada 2000 pemain asal negeri samba itu kembali ke Indonesia. Di Persija ia bermain bersama pemain Brasil lain Antonio Claudio. Di permulaan milenium ketiga itulah Luci bisa meneguk segarnya gelar juara. Birahinya akan prestasi sudah mulai terjawab di Brunei Darussalam lewat gelar juara Toyota League of Champions Invitational Cup, 25 Februari-8 Maret 2000. “PSSI menunjuk Persija karena juara dan runner-up Liga Indonesia V PSIS Semarang, dan Persebaya sudah bertarung di Piala Champions dan Piala Winners Asia,” kata Manila. Gelar juara Persija diperoleh setelah di penyisihan mempecundangi BAFA XI (Brunei) dan Pahang FC (Malaysia), menggilas Thai Farmers Bank 2-0 di semifinal dan menggasak Happy Valley (Hong Kong) 4-3 di final. Luci mencetak gol ketiga Persija, yang membuatnya ditetapkan sebagai topksorer sepanjang turnamen dengan total empat gol. “Ya kita (Persija) juara di Brunei dan saya cetak satu gol di final. Kostum di final yang jersey putih masih saya simpan dan pajang di hotel saya (Hotel Makassar di Rio de Janeiro). Karena itu jersey momen di mana keluarga saya bisa lihat saya juara. Karena ternyata pertandingan final itu semua televisi dari Brasil bisa nonton (disiarkan). Keluarga sampai telefon saya dan itu bikin saya bahagia sekali,” kata Luci. Skuad Persija dalam perayaan juara Liga Indonesia 2001, di mana nampak Luciano Leandro di tengah-tengah tim (Foto: Repro "Panglima Gajah, Manajer Juara) Sepulangnya dari Brunei, Luci bersama Bambang Pamungkas-Gendut Dony-Budi Sudarsono jadi pemain kunci Persija di Liga Indonesia. Puncak dari kerjasama apik mereka, Persija juara setelah mengalahkan PSM 3-2 di laga final nan sengit. “Bonus juara? Saya tidak ingat berapa. Tapi lebih dari uang adalah sesuatu yang kamu ada di dalam. Sesuatu yang kamu happy . Karena aku ke Indonesia ingin juara. Sekarang saya berhasil dan rasanya sangat senang. Ikut dengan tim diarak keliling kota bersama fans (Jakmania),” lanjutnya. Namun, itu momen “manisnya” saja. Sepanjang kiprah Luci bersama Persija, ia turut mengalami momen-momen “pahit” akibat keberingasan suporter. Saat itu permusuhan keras antara Jakmania dan Viking –suporter fanatik Persib Bandung– tengah dimulai. Luci acapkali melihat sendiri aksi-aksi brutal suporter yang lebih dari yang pernah ia lihat semasa memperkuat PSM. “Itu yang tidak pernah aku alami di Brasil, friend . Kalau main di Bandung bersama Persija sulit sekali. Sampai mereka (suporter) di pinggir lapangan juga. Mereka lempar-lempar batu ke saya. Sempat kena di muka. Tapi walau luka, aku tetap mau main,” tambah Luci. Momen saat Luci terluka terjadi kala Persija bertandang ke Bandung, 23 Maret 2000. Skor akhir 3-2 untuk sang tamu membuat suporter tim tuan rumah tak terima dan menyerang Luci cs. “Yang cetak gol itu Rochy Putiray, saya, dan Dedy Umarella. Gol saya dari crossing Rochy dan pakai heading saya bikin gol. Penonton (Persib)… waaah, mereka marah sekali sampai lempar-lempar (benda ke lapangan) gara-gara saya pergi begini,” lanjut Luci sambil memeragakan selebrasi pegang telinga usal mencetak gol. Luciano Gomes Leandro dengan latar foto lawas koleksinya semasa berseragam Persija (Foto: Instagram @lucianogomesleandro) Kericuhan terjadi setelah wasit meniup peluit panjang. Para pemain, pelatih, dan ofisial Persija mesti dikawal polisi untuk ke luar stadion. “Kita keluar dengan truk tentara. Kita di- drop di tempat tentara, baru kita pulang ke Jakarta. Saya memang heran karena tak alami yang seperti ini di Brasil. Tapi teror penonton tidak membuat saya menyerah, friend .” Pada 2001, Luci dkk. kembali mempersembahkan gelar juara Brunei League of Champions Invitation Cup. Karier Luci bersama Persija berjalan hingga 2004. “Kontrak saya habis 2004 dan pensiun. Jadi Persija klub profesional terakhir saya. Aku tidak bilang lebih cinta PSM atau Persija. Dua tim itu memang saya akan selalu cinta. Ada dua history yang sangat baik pada (karier) saya. Kalau saya ke Makassar, aku yakin mereka akan sambut dengan hati besar. di Jakarta semua orang kenal sama saya. Jadi, bagaimana saya tidak cinta dua tim itu?” tandas Luci.

  • Jenderal Nas dan Kamerad Khruschev

    ABDUL HARIS NASUTION dikenal sebagai jenderal antikomunis. Namun sekali waktu, Nas –panggilan akrabnya – juga bisa bersikap luwes mengalahkan egonya. Ada momen bersejarah dalam hidup Nas yang mengharuskannya rapat dengan tokoh komunis. Siapakah itu? “Minggu ke-3 Februari 1960, Indonesia sedang menerima kunjungan Nikita Khruschev PM USSR (Union of Soviet Socialist Republics),” tutur Nas dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama. Di Lapangan Udara Kemayoran, Nas dan Khruschev berkenalan. Keduanya berjabatan tangan. Melalui penerjemahnya, Khruschev berkata bahwa Nas masih muda. Demikianlah kesan pertama pemimpin salah satu negara komunis terbesar di dunia saat itu. Pertemuan berlanjut di Kedutaan Besar Uni Soviet. Dalam sebuah resepsi, Nas datang hampir bersamaan dengan Presiden Sukarno. Saat akan memasuki ruangan resepsi, para hadirin harus melalui patung Vladimir Lenin – tokoh revolusi Bolshevik yang begitu dihormati rakyat Soviet. Khruschev terlihat mengambil sikap sempurna yang diikuti rombongannya untuk melakukan penghormatan militer kepada patung Lenin. Ketika giliran Nas memasuki ruangan, dia hanya berlalu karena tidak mengetahui aturan protokol pihak Kedubes USSR harus demikian. Nas boleh lega aksi melengosnya tidak dipermasalahkan oleh Khruschev. Kendati demikian, Nas jadi kikuk karena baru sadar belakangan. Namun di luar dugaan, Khruschev malah menyambut dan merangkulnya. Keramahan itu menyebabkan Nas tertekan oleh perut Khruschev yang cukup tambun itu.   Khruschev menyempatkan berbincang agak lama dengan Nas. Khruschev menanyakan kabar keluarga Nas. Pertanyaan itu dijawab Nas dengan mengatakan bahwa istrinya, Sunarti tengan menantikan kelahiran anak ke-2 mereka. Khruschev tanya lagi, apakah Nas menginginkan anak laki-laki atau perempuan. “Perkenalan ini saya rasakan aneh. Bagi saya, ia adalah pimpinan komunis sedunia dan saya tahu, bahwa saya adalah orang yang dianggap musuh nomor satu oleh komunis Indonesia,” kenang Nas. Selama safarinya di Indonesia, Khruschev menginap di paviliun Istana Bogor. Nas menyempatkan berkunjung ke sana atas permintaan Khruschev. Kepada Nas, Khruschev menyerahkan senapan berburu sebagai kenang-kenangan. Nas menuturkan, “(senapan) langsung ia taruh pada bahu saya pada posisi menembak, tapi ialah yang menarik platuknya ( trekker ). Kami sama-sama tertawa!” Keakraban yang ditampilkan Khruschev ternyata bukan basa-basi belaka. Padahal, pimpinan PKI, D.N. Aidit pernah menyampaikan cerita yang kurang positif mengenai Nasution kepada Khruschev dalam satu pertemuan di Moskow. Namun di luar dugaan, Khruschev menanggapinya dengan kata-kata penghargaan terhadap pribadi Nasution. Hal ini diketahui Nasution dari salah seorang anggota politbiro PKI yang telah bebas dari penjara Pulau Buru. “Memang pandangan-pandangan tersebut tidaklah bisa lepas sama sekali dari persoalan politik, namun juga tidak bisa lepas sama sekali dari pandangan manusianya,” ujar Nas. Khruschev sendiri dalam memoarnya Memoirs of Nikita Khruschev Volume 3: Statesman (1953—1964)  menyinggung perkenalannya dengan Nas. Khruschev mengakui bahwa dia sering berbicara dengan Nas. Menurutnya, mereka saling menghormati satu sama lain. Dalam pertemuan tatap muka, Khruschev tidak mendapatkan gelagat Nas membenci Uni Soviet.   “Dia tahu bagaimana menyembunyikan perasaannya, sehingga kami tidak punya alasan untuk berpikir bahwa ia memusuhi kami. Meski begitu, dia memang musuh,” tulis Khruschev.

  • Ludruk Marhaen di Kiri Panggung

    Gelanggang kebudayaan Indonesia pasca kemerdekaan memang cukup riuh. Bukan hanya pada ranah sastra, musik atau film, panggung seni pertunjukan pun turut masuk dalam pusaran di mana bangsa Indonesia tengah mencari identitas kebudayaannya. Salah satunya ludruk, teater rakyat asal Jawa Timur. Dan nama Ludruk Marhaen merupakan yang paling terkenal pada era 1950-an hingga 1965. Tak hanya menyematkan nama Marhaen yang terdengar politis, ludruk ini juga turut andil dalam pergulatan kebudayaan Indonesia saat itu. Semangat Revolusi Menurut Henri Supriyanto dalam Lakon Ludruk JawaTimur , Ludruk Marhaen didirikan oleh pelawak Rukun Astari dan Shamsudin pada 19 Juni 1949. Namun, kelompok ludruk asal Surabaya ini awalnya telah dibentuk sekitar tahun 1945, pasca Proklamasi. “Dan di jaman bergejolaknya api revolusi 1945 lahirlah sebuah rombongan ludruk yang terdiri dari anak-anak muda dan hidup terus sehingga kini di bawah nama 'Marhaen'. Sandiwara ini terpaksa menghentikan kegiatannya pada tahun 1948 karena terserak-sebarnya para anggota-anggotanya dan pada permulaan tahun 1950 dibentuk kembali dan berkedudukan di Surabaya,” tulis Harian Rakyat , 14 April 1958. Setelah lahir kembali pada 1950, Ludruk Marhaen mulai aktif mementaskan lakon-lakon terutama terkait revolusi dan patriotisme. Ludruk ini kemudian dikenal luas tak hanya di wilayah Surabaya maupun Jawa Timur. “Sejak itu sandiwara ludruk membuka tradisi baru dalam sejarah ludruk: drama tragedi dipanggungkan, dan bersamaan dengan zamannya, ia sepenuhnya didukung oleh gelora dan api patriotisme tetapi tanpa kehilangan wataknya yang khas sebagai ludruk yaitu satirenya. Dari saat berdirinya itulah, kini Ludruk Marhaen tetap mempertahankan tradisinya sendiri dan ia tetap memelihara kecintaan dan kesayangan publik terhadapnya, sejak dari Bung Karno sampai rakyat jelata,” tulis Harian Rakyat . James L. Peacock dalam Rites of Modernization: Symbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama, menyebut Ludruk Marhaen muncul pada 1945 sebagai bagian dari sayap drama Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), yang pada 1950 menjadi Pemuda Rakyat. Meskipun Ludruk Marhaen tidak memiliki hubungan resmi dengan PKI atau Pemuda Rakyat, banyak aktornya terpegaruh ideologi komunis melalui ceramah, menghadiri kongres Pemuda Rakyat, atau ambil bagian dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Menurut Supriyanto, Rukun Astari mengatakan bahwa Ludruk Marhaen tidak berbau politik. Namun, Shamsudin mengatakan bahwa Ludruk Marhaen condong ke perjuangan kaum kiri. Dalam wawancara dengan Peacock, Shamsudin mengatakan bahwa panggung ludruk memang telah menjadi bagian dari propaganda politik. “Mereka yang mengkritik ludruk karena tidak menjadi seni, tidak berani berbicara tentang bagaimana ludruk diberangus oleh pemerintah kolonial, bagaimana Pak Gondo disiksa oleh Jepang karena perbuatannya. Kritik terhadap mereka yang menikmatinya... bagi kita di ludruk yang lahir dan menjadi hebat dalam kuali revolusi, ludruk menarik warisan heroik dari generasi rahim revolusioner!” kata Shamsudin. Pak Gondo yang dimaksud Shamsudin adalah Gondo Durasim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Cak Durasim. Dia adalah seniman ludruk yang menciptakan parikan atau semacam pantun berbunyi, “ Pagupon omahe doro, melu Nippon tambah soro ” yang artinya “Pagupon rumah merpati, ikut Nippon tambah sengsara.” Parikan itu membuat Jepang geram. Sang seniman dibui dan setahun setelahnya meninggal dunia. Sukarno tertawa saat menonton Ludruk Marhaen di Istana Negara, 11 April 1958. (Perpusnas RI). Ludruk Marhaen dan Sukarno Di antara kelompok ludruk Surabaya, Ludruk Marhaen paling sering mendapat undangan Presiden Sukarno untuk pentas di Istana Negara. “Berdasarkan pengakuan Rukun Astari, tercatat 16 kali Ludruk Marhaen menerima undangan Presiden Sukarno,” kata Supriyanto. Dalam pidato Sukarno, Tjapailah Bintang-Bintang Di Langit! (Tahun Berdikari) tahun 1965 Ludruk Marhaen juga disebut Bung Besar. Sukarno mengatakan: "Kalau kaum tani menghasratkan tanah, tanah 'senyari bumi', apakah itu tidak masuk akal? Aku teringat kepada seniman-seniman Ludruk Marhaen yang mengatakan, 'Ia kalau punya pacul tapi ndak punya tanah, kemana pacul itu mesti dipaculkan!'" Beberapa lakon luruk seperti, Kunanti di Djogja , Memburu Menantu , Mawar Merah di Lereng Bukit , dan Pak Sakerah pernah difilmkan. Film Kunanti di Djogja digarap oleh sutradara Lekra, Tan Sing Hwat. Film ini kemudian menerima penghargaan kategori skenario terbaik dan hadiah khusus pada Festival Film Indonesia 1960. Sementara itu, pada 1961, kelompok ludruk bernama Tresno Enggal diindoktrinasi melalui ceramah oleh perwira militer yang menekankan tema "perang melawan Imperialisme dan Kolonialisme" dan "Cegah revolusi multi-level Sukarno dengan membangun negara secara moral, ekonomi, dan budaya,". Sejak itu Tresno Enggal membagi waktunya antara pertunjukan komersial untuk keuntungan sendiri dan tampil di kamp militer. “Marhaen dan Tresno Enggal adalah dua kelompok yang paling terkenal karena loyalitas partai atau faksi mereka: Marhaen kepada PKI, Tresno Enggal kepada tentara,” sebut Peacock. Selain dua ludruk tersebut, pada masa yang sama, di Surabaya berkembang berbagai ludruk seperti Ludruk Mari Katon, Ludruk Massa, Ludruk Sari Rukun, Ludruk Irama Enggal, Ludruk Massa Rukun, dan Ludruk Panca Bakti. Nama Marhaen ternyata tak hanya dipakai oleh Ludruk Marhaen Surabaya. Di Jombang, terdapat beberapa ludruk yang menyematkan nama Marhaen seperti Ludruk Banteng Marhaen, Ludruk Suluh Marhaen, dan Ludruk Marhaen Muda. Sebagian besar kelompok ludruk tersebut memiliki kecenderungan mendukung politik berhaluan kiri. Namun pasca peristiwa G30S 1965, semua hal yang terkait atau dikaitkan dengan PKI, termasuk ludruk kena imbasnya. Organisasi-organisasi ludruk dilebur dan pembinaannya berada di bawah militer. Ada pula yang senimannya dikirim ke Pulau Buru. Eks Ludruk Marhaen akhirnya dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit I.

  • Menak Sunda di Balik Murka Bung Karno

    DARI semua presiden Republik Indonesia, hanya Sukarno yang berani melawan Amerika terang-terangan. Ini pernah dibuktikan lewat ucapan kerasnya, “ Go To Hell With Your Aid ” atau persetan dengan bantuan mu! Makian tersebut ditujukannya langsung kepada pemerintah Amerika Serikat.  “Dia benar-benar melakukannya,” kenang Howard Jones dalam memoarnya Indonesia: The Possible Dream .   Jones adalah Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia yang menyaksikan langsung murka Sukarno. Pada 25 Maret 1964, Sukarno tampil dalam sebuah acara peresmian gedung Wisma Mandiri di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. Hadir disana sebanyak 2.000 orang, termasuk para diplomat dari berbagai negara. Sukarno memulai pidatonya dengan mengutip berita dari mingguan terkemuka Amerika Serikat. Dalam editorialnya, mingguan itu menyebutkan bahwa Indonesia berada di ambang keruntuhan ekonomi. Selain itu, diterangkan pula rencana Amerika Serikat yang akan menghentikan semua bantuan kepada Indonesia, kecuali Sukarno bersedia menarik pasukan gerilyawannya dari Malaysia.   Menyikapi editorial itu, Sukarno tidak goyah. Dia sesumbar Indonesia yang kaya sumber daya alam akan berkembang secara ekonomi. Dengan lantang, Sukarno berseru: “Kami menerima bantuan dari banyak negara dan kami berterima kasih atas bantuan tersebut. Tapi kami tidak akan menerima hal itu dengan ikatan politik. Ketika ada negara yang menawarkan bantuan dengan ikatan politik, akan ku beri tahu mereka,” Sukarno diam sejenak lalu lanjut mengumpat dalam bahasa Inggris. “ Go to hell with your aid! ”   Sambil menumpahkan amarahnya, Sukarno menujuk-nunjuk telunjuknya ke arah Jones. Hari itu, Jones hanya bisa makan hati menelan penghinaan yang dia terima dari Presiden Indonesia.    Bantuan Semu AS Makian Sukarno kepada Amerika Serikat (AS) bermula dari perdebatan dalam Kongres AS seputar bantuan ekonomi terhadap Indonesia. Washington hanya mengenal dua pilihan: diteruskan atau berhenti. Melanjutkan bantuan ekonomi kepada Indonesia dipertimbangkan karena Sukarno sedang menyengketakan pembentukan Federasi Malaysia. Blok Barat, termasuk Presiden AS Lyndon Johnson mendukung pembentukan federasi. Sementara Sukarno menentangnya dan mengirimkan paramiliter ke perbatasan Malaya. Pada 24 Maret 1964, Menteri Luar Negeri AS Dean Rusk menyampaikan kebijakan kontroversial kepada Komisi Luar Negeri di Senat. Dia mengatakan bahwa pemerintah AS memutuskan untuk tidak memulai program bantuan baru untuk Indonesia. Rusk juga mengisyaratkan bantuan baru tidak akan diberikan sampai konfrontasi yang dilancarkan Sukarno berhenti. Pernyataan Rusk disiarkan media AS. Polemik ini semakin kusut setelah berbagai suratkabar Indonesia ikut bersuara memberikan tanggapan. Sukarno membalasnya dengan kata-kata cercaan sekaligus mempertegas posisi yang berlawanan dengan AS.   “Seruan Sukarno mengobarkan kemarahan yang sudah bisa diduga,” tulis sejarawan Bradley Simpson dalam Economist with Guns. “Kedua lembaga di Kongres mengajukan rancangan undang-undang untuk menghentikan sepenuhnya bantuan Amerika untuk Indonesia.” Bukan tanpa alasan Sukarno melontarkan umpatan demikian. Dalam otobiografinya, Sukarno berkeluh kesah tentang sikap AS yang membuatnya merasa terhina. Menurut Sukarno, pemerintah AS mempermainkan Indonesia lewat tawaran bantuan yang sarat kepentingan. “Bantuan Amerika itu TIDAK gratis. Ia bukanlah satu hadiah dari seorang ayah yang kaya kepada anak yang melarat. Ini adalah satu pinjaman dan harus dibayar kembali,” kata Sukarno kepada jurnalis Amerika Cindy Adams, penyusun otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Figur Djuanda Akan tetapi, mengapa Sukarno bisa punya nyali bersuara selantang itu? Ganis Harsono, juru bicara Departemen Luar Negeri berkisah tentang ihwal mulanya. Menurutnya ada sosok lain yang berperan dalam mengasup keberanian Sukarno agar tidak bergantung dengan bantuan asing.  Sejak akhir masa kepemimpinan Presiden John F. Kennedy, sebenarnya Sukarno sudah gamang. Surat dari Kennedy pada Oktober 1963 mengisyaratkan pemutusan bantuan Amerika apabila Sukarno bersikeras melancarkan konfrontasi “Ganyang Malaysia”. Setelah menerima pesan Kennedy, Sukarno mengumpulkan semua pembantu-pembantunya ke Istana Bogor. Diantara mereka yang paling banyak bicara ialah Sudibyo, Ketua Front Nasional. Setelah satu persatu memberi masukan, tibalah giliran Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja. Menak Sunda ini dikenal sebagai intelektual bersosok lembut. Dengan suaranya yang lunak, Djuanda membuka buku catatannya. Dibaliknya lembar demi lembar, diperhatikannya angka-angka. Kemudian, tanpa hendak meninggikan suara, Djuanda menyimpulkan langkah yang mesti ditempuh. “Kalau kita harus makan batu, ya kita makan batu. Akan tetapi saya kira tak perlu sampai begitu,” kata Djuanda ditirukan Ganis Harsono sebagaimana terkisah dalam Cakrawala Politik Era Sukarno . “Dalam hal ini kita harus sama-sama menderita dengan rakyat yang selanjutnya akan rela memikul bersama-sama pula. Bagaimanapun perjuangan kita bisa menjadi fatal bila kita berusaha mendapatkan bantuan luar negeri, tapi tidak menemukan jiwa kita sendiri. Wejangan Djuanda tersebut disampaikan dengan penuh ketenangan tanpa emosi. Menurut Ganis, petuah dari Djuanda itulah yang menjadi tumpuan dari tindakan Sukarno untuk mempersetankan bantuan luar dengan mengatakan, “ Go to hell with American aid ” – persetan dengan bantuan Amerika. Dengan latar belakang sebagai teknokrat, Djuanda menjadi penopang Sukarno menjalankan pemerintahan. Hingga akhir hayatnya, Djuanda terus mendampingi Sukarno. Dia wafat pada 7 November 1963. Tiada sosok sepadan yang mampu menyamai Djuanda dalam mengimbangi Sukarno. Ketiadaannya digantikan oleh tiga wakil perdana menteri sekaligus: Soebandrio. Johannes Leimena, dan Chairul Saleh.

  • Tjong Ling, Mata-mata Sultan Banten

    Pramoedya Ananta Toer ditahan hampir setahun (1960-Agustus 1961) karena menerbitkan buku yang bersimpati kepada Tionghoa, berjudul Hoakiau di Indonesia . Buku itu berisi kumpulan tulisannya setiap minggu di Bintang Timur , koran Partindo (Partai Indonesia). Dalam buku itu, Pram menyebut bahwa Hoakiau (orang Tionghoa) di masa penjajahan Belanda mempunyai sumbangsih yang bisa diperhitungkan, tidak dapat disangkal, sekalipun ada juga Tionghoa yang merusak jasa itu. Misalnya, Sacanegara, seorang Tionghoa, berkong-kalikong dengan Ratu Syarifah Fatimah dari Banten, seorang keturunan Arab, yang bekerja sama dengan Belanda hendak menguasai Kesultanan Banten. Pram mengutip buku Fakta yang Dilupakan karya E.H. Bahruddin untuk menyebut contoh orang Tionghoa yang berjasa. Bahruddin menulis, karena Tionghoa bisa berdagang dan berhubungan, tidak jarang mereka menjadi mata-mata: “Demikian Sultan Ageng mempergunakan seorang Tionghoa sebagai mata-mata untuk menyelidiki Pasar Ikan dan kedudukan Belanda. Tionghoa itu yang dalam dokumen Belanda dinamakan de Chinees Jonge-ling (rupa-rupanya Tjong Ling atau Lin) kemudian ditangkap dan digantung setelah disiksa. Karena sikap Tionghoa yang sependirian dengan rakyat Indonesia, wajarlah bahwa VOC mencurigai mereka.” Pram tidak menjelaskan siapa Tjong Ling, mungkin karena Bahruddin juga hanya menyebut namanya tanpa menguraikan sepak terjangnya sebagai mata-mata? Mungkin karena itu pula, penulis sejarah Tionghoa yang mengutip buku Pram, berbeda soal siapa yang memerintahkan Tjong Ling menjadi mata-mata: Sultan Agung (berkuasa 1613-1645) atau Sultan Ageng (berkuasa 1651-1683)? Benny G. Setiono dalam bukunya yang tebal (lebih dari seribu halaman), Tionghoa dalam Pusaran Politik , menyebut Tjong Ling menjadi mata-mata Sultan Agung dari Mataram ketika menyerang VOC di Batavia. “Sultan Agung dari Mataram yang bertikai dengan kerajaan Banten meminta VOC untuk bersekutu dan membantunya, tetapi Belanda menolaknya. Belanda lebih menyukai bila tanah Jawa terpecah-pecah. Akibatnya Sultan Agung yang marah berusaha menyerang Batavia pada 1628 dan 1629,” tulis Benny. Sedangkan penulis lain, Hembing Wijayakusuma dalam Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke , menyebut Tjong Ling menjadi mata-mata bagi Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa itu, nasionalisme warga etnis Tionghoa sudah terlihat sejak VOC berniat menguasai Banten. Sumbangsih warga Tionghoa kepada perjuangan rakyat Banten melawan VOC tidak dapat begitu saja dilupakan. Akan tetapi, lanjut Hembing, sulit untuk menentukan jumlah mereka secara pasti sebab mereka telah banyak berasimilasi, sehingga bukan saja menggunakan nama pribumi tetapi juga memasuki adat istiadatnya. “Salah seorang di antaranya yaitu Tjong Ling, yang membantu Sultan Ageng Tirtayasa dengan cara menjadi mata-mata bagi Banten, dalam menyelidiki gerakan Belanda. Dalam sebuah dokumen Belanda, Tjong Ling dinamakan de Chiness Jonge-ling , yang kemudian ditangkap dan digantung setelah disiksa oleh Belanda,” tulis Hembing. Agaknya memang yang lebih tepat adalah Tjong Ling mata-mata Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, Bahruddin pun menyebutnya “Sultan Ageng” bukan “Sultan Agung.” Dan dia disebut setelah Sacanegara, seorang Tionghoa yang merusak jasa kaum Tionghoa. Dia bersekutu dengan perempuan keturunan Arab, Ratu Syarifah Fatimah, istri Sultan Zainul Arifin (1733-1748), untuk menguasai Kesultanan Banten. Supono Soegirman, mantan anggota Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin, sekarang Badan Intelijen Negara), dalam Intelijen: Profesi Unik Orang-orang Aneh , menjelaskan bahwa Sultan (Supono menyebutnya Sultan Agung) sudah paham benar arti penting seorang “agen lokal” yang beretnis Tionghoa, dengan pertimbangan agen yang diduga bermatapencaharian sebagai pedagang ini pasti memiliki “akses” dan kemudahan untuk mendekati sumber informasi terkait pelabuhan Sunda Kelapa dan basis-basis tentara Kompeni. “Kesediaan Tjong Ling membantu Sultan diduga bermotif kenyamanan berusaha…Di sinilah, kejelian dan keberhasilan Sultan yang telah merekrut Tjong Ling dengan memanfaatkan sentimen ‘nasionalisme’ dicampur dengan sentimen kenyamanan mencari nafkah,” kata Supono, yang pernah menjabat Ketua II Sekolah Tinggi Intelijen Negara yang didirikan BIN. Menurut Supono, nasib Tjong Ling yang tertangkap, disiksa, dan digantung, memang sebuah risiko yang harus dihadapi oleh seorang yang melakukan kegiatan intelijen bila gagal melindungi kedoknya. “Betapapun,” kata Supono, “Tjong Ling merupakan orang Tionghoa nasionalis yang pemberani.”

  • Kisah Menteri Termuda dalam Sejarah Indonesia

    Tangga Veranda Istana Merdeka, Jakarta, kembali menjadi saksi lahirnya putra-putri terbaik bangsa. Rabu (23/10/2019) sekira pukul 08.30 WIB, Presiden Joko Widodo resmi mengumumkan jajaran menterinya. Kompak berseragam batik, menteri-menteri terpilih dalam Kabinet Indonesia Maju ini akan mendampingi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf selama 5 tahun kedepan. Dari sekian menteri yang sebelumnya dipanggil oleh Jokowi, sosok Nadiem Makarim cukup mendapat sorotan. Diberitakan detik.com, pendiri perusahaan transportasi berbasis daring, Gojek , ini menjadi menteri termuda dalam jajaran pemerintahan Jokowi. Berusia 35 tahun, Nadiem resmi menempati kursi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. “Saya penggilnya mas. Mas Nadiem Anwar Makarim,” kata Jokowi. Namun Nadiem bukanlah menteri termuda dalam sejarah Indonesia. Masih ada Suprijadi, menteri masa Presiden Sukarno yang diangkat pada usia 22 tahun. Meski tidak pernah hadir, nama Suprijadi telah ditetapkan di dalam jajaran menteri kala itu. Pemimpin Pemberontakan Dilahirkan pada 13 April 1923 di Jawa Timur, Supriyadi dikenang sebagai pemimpin tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan pemimpin pemberontakan di Blitar masa pendudukan Jepang. Setelah menamatkan Europeesche Lagere School (setingkat Sekolah Dasar), Supriyadi menempuh pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (setingkat Sekolah Menengah Pertama), kemudian masuk Sekolah Pamong Praja di Magelang, Jawa Tengah. Namun masuknya Jepang ke Hindia Belanda membuat ia terpaksa harus meninggalkan sekolahnya. Supriyadi lalu mengikuti pelatihan khusus pemuda bentukan Jepang, Seimendoyo , di Tangerang, Jawa Barat. Ketika Oktober 1943 Jepang membentuk PETA, Supriyadi terlibat di dalamnya. Ia bergabung dengan diberi pangkat shodanco atau komandan pleton. Selama masa pelatihan, Supriyadi telah merencanakan perlawanan terhadap Jepang. Kabar kekejaman romusha di berbagai tempat yang santer terdengar membuat Supriyadi marah. Maka ketika ditempatkan di Blitar, Jawa Timur, Supriyadi telah bertekad untuk melawan. “Apa pun yang diperlakukan Jepang kepada kita, harus kita hadapi,” ucap Kemal Idris menirukan ucapan Supriyadi sebelum pemberontakan, dimuat Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi . Pada 14 Februari 1945, Supriyadi dan sejumlah tentara PETA berontak melawan Jepang. Dikisahkan Ratnawati Anhar dalam Pahlawan Nasional Supriyadi , sebagai tanda dimulainya pemberontakan, para perwira PETA menembakkan mortir sebanyak tiga kali ke arah Hotel Sakura, tempat yang banyak digunakan orang-orang Jepang. Setelah itu, Muradi melapor kepada Supriyadi bahwa persiapan telah sepenuhnya siap. “Shodanco Suprijadi masuk ke kantor Honbu dan menelepon Bapak Bupati Blitar dan Kepala Kepolisian Blitar, memberitahukan bahwa hari itu tentara PETA Blitar akan mengadakan latihan besar-besaran dengan menggunakan peluru tajam. Hal ini diberitahukan agar kedua pembesar itu jika menerima laporan dari siapa saja dapat menenangkan rakyat dan anak buahnya,” tulis Ratnawati. Namun kekuatan Jepang rupanya masih terlampau besar. Rapatnya pertahanan tentara Jepang membuat komando PETA mulai kesulitan mengatur pasukannya. Meski sempat merepotkan, perlawanan pasukan PETA akhirnya berhasil dipadamkan. Pemerintah militer Jepang yang marah, segera menangkap para pemberontak. Sebagian dihukum mati, sementara sisanya dipenjara. Tetapi Supriyadi tidak masuk di dalam keduanya. Keberadaan pemimpin pemberontakan itu tidak diketahui. Hilang Tak Berjejak Setelah Sukarno mengikrarkan kemerdekaan Indonesia, susunan pemerintahan pun segera dibentuk. Ada 12 menteri yang memimpin departemen dan 5 menteri negara yang ditunjuk dalam kabinet presidentil tersebut. Satu di antaranya Kementerian Kemanan Rakyat dengan menterinya Supriyadi, yang ketika diangkat masih berusia 22 tahun. Bibit Suprapto dalam Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan Indonesia menyebut Supriyadi tidak pernah sekalipun menunjukan dirinya di depan para menteri. Semua orang bahkan tidak tahu apakah ia bersedia menduduki jabatan Menteri Kemanan Rakyat atau tidak. “Maka tanggal 20 Oktober 1945 Presiden mengangkat Sulyadikusumo sebagai Menteri Keamanan Rakyat ad Interim yaitu menteri sementara sebelum menteri yang asli ditemukan,” tulis Bibit. Hilangnya Supriyadi masih diselimuti misteri hingga kini. Belakangan banyak orang yang mengaku sebagai dirinya. Namun sejarawan meragukan kebenarannya. Bahkan mulai banyak orang yang mempertanyakan sosok Suprijadi, apakah dirinya memang benar-benar ada atau tidak. Jika memang sosok Suprijadi ini tidak jelas rimbanya, lantas mengapa bisa Sukarno mengangkatnya menjadi menteri? Rupanya di dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat , Sukarno pernah menceritakan kisah pertemuannya dengan Supriyadi. Si Bung dibuat terkagum-kagum dengan semangat militernya. DIkisahkan beberapa minggu sebelum pemberontakan, Suprijadi, Muradi, dan Sunanto datang menemui Sukarno yang saat itu sedang berada di rumah orangtuanya di Blitar. Dalam wajah serius, ketiga perwira PETA itu mengutarakan niat mereka melakukan pemberontakan. Kendati mengagumi semangat cinta tanah air para opsir muda itu, Sukarno menyatakan "tidak setuju" dengan rencana pemberontakan tersebut.

  • Di Balik Tabir Pahlawan Nasional Abdul Kahar Mudzakkir

    MASYARAKAT Yogyakarta mendapat kehormatan besar. Dua dari tokohnya tahun ini ditetapkan Presiden Joko Widodo sebagai pahlawan nasional lewat Keppres 120/TK/Tahun 2019, 8 November 2019. Dr. M. Sardjito dan Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir, kedua tokoh yang dijadikan pahlawan itu, masing-masing diusulkan oleh  Universitas Gajah Mada dan Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Muhammadiyah. KH Mudzakkir jadi satu dari tiga anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang ditetapkan sebagai pahlawan tahun ini. Selain Mudzakkir, ada AA Maramis dari Sulawesi Utara dan KH. Masjkur dari Jawa Timur. Mengutip situs UII , nama Mudzakkir, salah satu penggagas Piagam Jakarta, sudah empat kali diajukan sebagai pahlawan nasional sejak 2014. Namun, selalu kandas. Cendekiawan Muhammadiyah itu lebih banyak berkiprah membangun pendidikan di Yogyakarta selepas proklamasi. Kiprahnya selain menjadi rektor pertama UII (1948-1960), ialah mendirikan Akademi Tabligh Muhammadiyah Yogyakarta (kini Fakultas Agama Islam UMY) dan mendirikan Universitas Aisyiyah, sebagai perwujudan dari gagasan kaum perempuan berpendidikan tinggi. Gerilya Mudzakkir di Kairo Lahir di Gunungkidul, Yogyakarta, 16 April 1907, Mudzakkir kecil tumbuh di Kotagede. Menukil Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir: Riwayat Hidup dan Perjuangan karya Tashadi, Mudzakkir lahir dari keluarga terpandang. Ayahnya, H. Moezakkir (EYD: Mudzakkir), seorang pedagang keturunan Kiai Hasan Bashori. “(Kiai Bashori) guru agama dan pemimpin Tarikat Shattariyah. Salah satu komandan gerilya kepercayaan Pangeran Diponegoro dalam Perang Diponegoro,” sebut Tashadi. Sementara dari silsilah ibunya, Chotijah binti H. Mukmin, yang juga seorang saudagar kaya, mengalir garis keturunan KH. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah. Latarbelakang itu membuat Mudzakkir mengenyam pendidikan di lingkungan Muhammadiyah sejak kecil, sejak sekolah dasar hingga tingkat lanjutan di Madrasah Mambaul Ulum, Solo. Silsilah keluarga KH Abdul Kahar Mudzakkir dari garis ibu. (Repro Bulan Sabit Muncul dari Pohon Beringin ). Sebagaimana para pendahulunya di Muhammadiyah, Mudzakkir juga melanglang buana sampai ke Arab Saudi dan Mesir untuk mengejar pendidikan agamanya. Ia disponsori KH. Ahmad Dahlan. Sebagai mahasiswa Universitas al-Azhar, Kairo, sejak 1925 Mudzakkir turut dalam organisasi pergerakan Jamaah Pelajar Indonesia. Kemudian bersama H.M. Rasjidi (menteri agama di Kabinet Sjahrir I), Mudzakkir mendirikan Jamiah Choiriyah yang lantas berubah nama jadi Perhimpunan Pemuda Indonesia Malaya (Perpindom), organisasi yang diakui pemerintah Mesir. “Mulai 1930 aktif memperkenalkan kepada dunia Timur Tengah tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia turut mewakili atas nama umat Islam Indonesia dalam Kongres Islam se-Dunia di Baitul Maqdis (Palestina). Diangkat jadi Sekretaris Kongres di bawah ketua kongres Mufti Besar Palestina Sayid Amin al-Husaini. Dalam kongres itu A. Kahar Mudzakkir sebagai anggota termuda,” kata Tashadi. Mudzakkir juga “bergerilya” mengkampanyekan Indonesia lewat jurnalistik. Selain via Suara Azhar dan Pilihan Timur, dua majalah yang diraciknya bersama rekan-rekan di Perpindom, Mudzakkir menyuarakannya di suratkabar Palestina Al-Tsaurah. Bersama beberapa rekannyadi Perhimpunan Indonesia Raya, Mudzakkir lalu mendirikan kantor berita Indonesia Raya sebagai corong pergerakan. “Periode 1930-an di Kairo dan Timur Tengah, orang-orang mengenal dan bersimpati kepada Indonesia karena aktivitas Abdul Kahar, sehingga ia merupakan personifikasi Indonesia di Timur Tengah. Sebelum ada orang yang menjadi duta, Abdul Kahar sudah menjalankan tugas duta yang sebaik-baiknya,” kenang H.M. Rasjidi terkait sosok Mudzakkir, dikutip Tashadi. Gebrak Meja Rapat Pendiri Bangsa Setelah lulus dari Al-Azhar, pada 1938 Mudzakkir pulang ke tanah air. Implementasi idealismenya dilaksanakannya dengan ikut menggerakkan roda Muhammadiyah, organisasi Islam yang disegani hingga masa pendudukan Jepang yang dimulai tahun 1942. Sejarawan Mitsuo Nakamura menuliskan dalam Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin , berturut-turut Mudzakkir aktif di Kooti Zimu Kyoku Yogyra (Jawatan Ekonomi Pemerintah Militer Jepang di Yogya), Jawatan Radio Militer, hinggaa menjadi wakil kepala Kantor Urusan Agama di Jakarta. Namun, jabatan-jabatan itu bukanlah tujuan dari perjuangan Mudzakkir. “Jabatan-jabatan itu jadi puncak keterlibatannya dalam lingkar tertinggi politik nasional selama pendudukan Jepang dan fase-fase awal dalam politik pascaperang. Bisa saja dia bertahan dalam lingkaran politik, namun tidak dia lakukan. Dia mendarmabaktikan dirinya kepada organisasi (Muhammadiyah) dan perkembangan pendidikan Islam,” sebut Nakamura. Sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah, Mudzakkir terlibat dalam memformulasikan bentuk negara lewat BPUPKI. Bersama tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Wahid Hasyim, ia lantang menyuarakan Islam sebagai dasar negara lewat Piagam Jakarta. Abdul Kahar Mudzakkir bersama Mufti Besar Palestina. ( uii.ac.id ). Sepanjang rapat BPUPKI 10-17 Juli 1945, Mudzakkir bersama golongan Islam terlibat debat sengit dengan kaum nasionalis. Rapat akhirnya memutuskan membentuk tim kecil, Panitia Sembilan. Bersama H. Agus Salim, KH Wahid Hasyim, dan Abikoesno Tjokrosoejoso, Mudzakkir termasuk di dalam tim itu sebagai perwakilan Islam. Sementara golongan nasionalisnya berisi Sukarno, Moh. Hatta, AA Maramis, Achmad Subardjo, dan Muhammad Yamin. Panitia itu melahirkan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 yang dianggap sebagai kompromi antara golongan nasionalis dan Islam. “Setuju 200%,” ujar Maramis merespon persetujuan yang dicapai, yang juga dilantangkan Mudzakkir dkk. sebagaimana dikutip Herry Mohammad dalam Tokoh-Tokoh Islam yang Beprengaruh Abad 20. Kendati sudah disepakati, gagasan-gagasan Islam dalam Piagam Jakarta perlahan luntur kala BPUPKI digantikan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Selain kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Pembukaan UUD 1945 disunat, Piagam Jakarta juga dihapuskan. Penyunatan preambul itu bermula dari didatanginya Hatta oleh seorang perwira Kaigun (angkatan laut Jepang). Perwira itu membawa amanat dari beberapa pemimpin kaum Nasrani di Indonesia Timur dan menyatakan bahwa mereka menolak ikut dalam RI jika Piagam Jakarta ditetapkan secara konstitusi. Mengingat pentingnya masalah itu, Hatta lalu mencarikan solusinya bersama Ki Bagoes Hadikoesoemo, Wahid Hasjim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan sesaat sebelum Sidang PPKI 18 Agustus.  “Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan ‘Ke-Tuhanan Yang Maha Esa’,” kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku , Jilid 3. Golongan Islam, termasuk Mudzakkir, akhirnya legowo menerima perubahan itu. “Perubahan yang disetujui lima orang tadi, sebelum rapat resmi, disetujui oleh sidang lengkap Panitia Persiapan Kemerdekaan dengan suara bulat,” sambung Hatta. Emosi Mudzakkir sempat memuncak kala pembahasan sejumlah pasal dalam UUD 1945. Ia menganggap gagasan-gagasan Islam lebih baik tak dimasukkan ke dalam UUD lantaran Piagam Jakarta sudah “digugurkan”. “Supaya dari permulaan pernyataan Indonesia merdeka sampai kepada pasal-pasal di dalam Undang-Undang Dasar, yang menyebut-nyebut nama Allah atau agama Islam atau apa saja dicoret sama sekali, jangan ada hal-hal itu!” seru Mudzakkir sambil menggebrak meja dalam rapat,” dikutip Jan S. Aritonang dalam SejarahPerjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia . Presiden RI Joko Widodo menyerahkan gelar pahlawan nasional kepada ahli waris (tengah) KH Abdul Kahar Mudzakkir. (Antara). Tak lama setelah itu, situasi berganti dengan kembalinya Belanda merongrong kemerdekaan RI. Mudzakkir turut angkat senjata demi mempertahankan kemerdekaan. “Di masa ini ia pernah jadi pemimpin perang sabil dan mengadakan gerilya. Medan gerilya Abdul Kahar Mudzakkir pada masa Agresi II itu antara lain di daerah Brosot, Jejeran, Bantul Selatan,” sambung Tashadi. Mudzakkir dan pasukannya baru masuk kota Yogya lagi seiring momen “Yogya Kembali”, 29 Juni 1949. Setelah pengakuan kedaulatan, Mudzakkir melanjutkan perjuangannya lewat dunia pendidikan. Pengabdian itu dijalaninya hingga tutup usia karena serangan jantung di umur 66 tahun, 2 Desember 1973. Mudzakkir dimakamkan di Pemakaman Boharen Purbayan, Kotagede.

  • Nasib Dokter Dulu dan Kini

    VIDEO berisi kritikan anggota Komisi IX DPR Fraksi PDIP dr. Ribka Tjiptaning tentang pelaksanaan BPJS Kesehatan viral beberapa waktu lalu. Dalam video itu, Ribka menyampaikan, layanan BPJS Kesehatan belum ideal bagi rakyat dan adanya perilaku diskriminatif dari para petugas medis ke pasien mereka. Ribka juga menyampaikan bagaimana celah dokter mencari untung dari orang-orang yang berobat. Menurut Ribka, dokter tak seharusnya menjadikan profesinya sebagai ajang bisnis karena layanan kesehatan seharusnya berorientasi sosial, bukan komersil. “Saya pernah disomasi oleh IDI karena mereka sakit hati dengan pernyataan saya. Saya bilang dokter lebih jahat dari polisi. Polisi menilang orang sehat, tapi dokter menilang orang sakit,” kata Ribka. Kritik Ribka itu berbanding terbalik dengan kondisi petugas layanan kesehatan di era kolonial. Nasib dokter Jawa di era kolonial amat kontras dengan dokter sekarang. Dulu, pendapatan mereka amat minim dan sering mengalami kesewenang-wenangan. WK Tehupeiory, seperti dicatat Hans Pols dalam Nurturing Indonesia, menjadi ahli kesehatan pribumi pertama yang mengemukakan pendapat tentang nasib dokter Jawa. Para ahli medis pribumi mengalami beragam perlakukan tak adil. Seorang dokter Jawa pernah mengeluh pada Tehupeiory bahwa ia tidak diberi akses pada obat-obatan lantaran kunci lemarinya dipegang dokter Eropa setempat. Selain mendapat diskriminasi, para dokter Jawa juga tidak menerima upah layak. Setelah lulus, dokter Jawa diwajibkan bekerja pada layanan medis kolonial selama 10 tahun. Masa kerja wajib yang lama ini tidak dibarengi dengan gaji yang mencukupi. Pendapatan para dokter Jawa bahkan lebih rendah dari pegawai yang kurang berpendidikan. Para dokter Jawa juga diperlakukan sewenang-wenang oleh pasien kelas atas mereka. Watak feodal ini membuat orang dengan posisi lebih rendah (dokter Jawa) tidak bisa meminta bayaran pada orang yang posisinya lebih tinggi. Padahal secara umum, pasien pribumi kebanyakan datang dari kelas atas, lantaran pribumi kelas bawah kebanyakan berobat ke dukun. Menurut Liesbeth Heeselink dalam Healers on the Colonial Market , dukun punya bayaran yang cukup baik. Mereka dibayar dalam bentuk uang, barang, atau jasa. Dalam catatan pegawai sipil pemerintah kolonial E. Francis, di Lampung seorang dukun pria menerima 6-12 'oewang' (koin sepuluh sen) dari menyunat seorang anak laki-laki. Sementara, untuk pasien anak perempuan, dukun perempuan menerima 3 oewang atau seikat benang bernilai sama. Nasib beberapa dokter Jawa lebih apes. Pada 1904 seorang residen melaporkan bahwa di wilayahnya, dokter Jawa hampir tak pernah menerima bayaran atas jasa yang mereka berikan pada pegawai pribumi. Sementara, pasien Eropa jarang sekali menggunakan jasanya karena lebih memilih berobat ke dokter Eropa. Dokter Jawa akhirnya sering tak menarik biaya atas jasanya. Mereka khawatir niatnya disalahpahami. Maksud hati ingin meminta bayaran sebagai bagian dari profesionalitas, salah-salah malah kena semprot oleh pasien aristokratnya. Dalam ceramahnya di Pertemuan Umum Para Dokter, di Batavia, Tehupeiory menggambarkan ketiadaan dukungan dari kantor residen pada dokter Jawa yang sering tidak dibayar itu. Rupanya orang Eropa sangat marah bila seorang dokter pribumi berani mengirimi faktur. Pasien Eropa tersebut lantas mengeluh kepada sekretaris di kantor residen untuk memberi hukuman pada si dokter Jawa. Namun, si dokter Jawa tidak terintimidasi dan menjawab, pegawai Eropa tersebut tak punya hak untuk dirawat secara cuma-cuma. Ia pun menyebarkan cerita itu kepada rekan-rekannya, termasuk Tehupeiory. Kerisauan tentang perilaku pasien kelas atas dan Eropa yang tak mau membayar itu akhirnya sampai ke “telinga” pemerintah. Sebagai tindak lanjut, Sekretaris-Jenderal Pertama Paulus mengeluarkan surat edaran kepada kepala pejabat Departemen Administrasi Sipil Umum dan Kepala Pemerintahan Daerah. Isinya, pemerintah mengutuk perilaku pegawainya yang memanfaatkan pangkat untuk menghindari biaya layanan medis. “Pemerintah menganggap tidak pantas jika pejabat mengambil keuntungan dari kesalahpahaman atau prasangka yang ada, agar dilayani secara gratis padahal mereka tidak memiliki hak untuk mendapat layanan kesehatan gratis,” tulis Paulus dalam surat edaran, dikutip Liesbeth Heeselink. Namun, imbauan tersebut tidak menghapus kebiasaan para pejabat pribumi dan pegawai Eropa yang suka berobat gratisan. Dokter Jawa yang tidak dibayar tetap masih ada.

  • Menyibak Memori 60 Tahun Hubungan Vietnam-Indonesia

    SUASANA berbeda terlihat di Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jalan Gajah Mada No 111 Kota Jakarta Pusat. Bendera Vietnam dan Indonesia terkembang di pintu masuk gedung bekas Lands Archief te Batavia ini. Jumat (08/11/2019) telah dilangsungkan acara pembukaan pameran foto "60th Anniversary of President Ho Chi Minh's Visit to Indonesia and President Soekarno's Visit to Viet Nam". Acara tersebut terselenggara atas kerjasama Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Kedutaan Besar Vietnam di Indonesia, dan ANRI. Pameran yang dibuka oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Wakil Menlu Vietnam Bui Thanh Son akan digelar selama dua minggu ke depan (8-22 November 2019). ANRI akan memamerkan koleksi foto-foto kunjungan perwakilan pemerintah Vietnam ke Indonesia, maupun sebaliknya. Termasuk kunjungan kenegaraan presiden pertama Vietnam Ho Chi Minh dan potret kedekatannya dengan presiden pertama RI Sukarno. Pengunjung berfoto bersama patung Sukarno (Fernando Randy/Historia) “Persahabatan tak bisa dibangun dalam satu malam,” kata Retno. “Dalam konteks ini, persahabatan pendiri negara kita Bung Karno dan Presiden Vietnam Bapak Ho Chi Minh punya arti strategis.” Peringatan 60 tahun pada tema pameran foto ANRI ini ditentukan berdasarkan hubungan kedua negara yang terjalin sejak 1959, yakni saat lawatan Ho Chi Minh ke Indonesia pada 27 Februari - 3 Maret 1959, dan kunjungan Sukarno ke Vietnam pada 24 Juni - 9 Juli 1959. Ketika berada di Indonesia ini, berdasarkan usul Sukarno dan persetujuan Muhammad Yamin, Paman Ho (sapaan akrab Ho Chi Minh) mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa di bidang Ilmu Hukum dan Ilmu Sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung, pada 1 Maret 1959. Kedatangannya ke Bandung itu juga bersamaan dengan peresmian nama Institut Teknologi Bandung (ITB), yang semula bernama Universitas Indonesia Bandung. SK Rektor untuk pemberian gelar Honoris Causa kepada Ho Chi Minh (Fernando Randy/Historia) Kunjungan Paman Ho ke Indonesia pun menjadi bukti dekatnya kekerabatan Republik Indonesia dengan Republik Demokratis Vietnam yang komunis. Para ahli juga meyakini keberadaan Ho Chi Minh itulah yang membuat komunis tumbuh subur di republik ini pada periode 1960-an. Menurut Ahli Politik Daniel Saul Lev, dalam The Tranistion to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957-1959 , Ho Chi Minh pernah menyarankan kepada Sukarno agar Partai Komunis Indonesia (PKI) diberi peran dalam pemerintahan, terutama untuk mengisi jabatan-jabatan strategis di parlemen. Keberadaan Ho Chi Minh di Indonesia, saat negaranya dilanda perang melawan pengaruh Barat, merupakan bagian dari usaha pemimpin Vietnam itu untuk menjaga keamanan di negerinya. Dia berusaha meminta bantuan negara-negara sahabatnya, terutama Indonesia, dalam penyelesaian perang di Vietnam. Potret Ho Chi Minh (Fernando Randy/Historia) Sementara itu, Wamenlu Bui Thanh Son memberikan apresiasi yang tinggi atas kehangatan sikap Indonesia terhadap Vietnam. Bahkan sejak Vietnam masih memperjuangkan kemerdekaan di negerinya. “Bung Karno memainkan peran penting dalam mempromosikan kemerdekaan di negara Asia dan Afrika, termasuk Vietnam. Melalui semangat Konferensi Asia-Afrika tahun 1955,” ucapnya. Dalam lawatan singkatnya di Indonesia dahulu, Ho Chi Minh mendapat sambutan yang baik dari pemerintah, maupun rakyat Indonesia. Dalam pameran foto ini ditampilkan banyak potret kedekatan Paman Ho dengan rakyat Indonesia. Dia terlihat banyak melempar senyum. Ho Chi Minh pun terkenal mudah berkomunikasi karena dia seorang poliglot, yang menguasai bahasa Inggris, Prancis, Rusia, Jerman, Jepang, dan China. Dan umumnya Paman Ho menggunakan bahasa Inggris saat berbincang. Pengunjung di antara foto-foto kunjungan Ho Chi Minh di Indonesia (Fernando Randy/Historia) Menurut Ketua Asosiasi Persahabatan Indonesia-Vietnam Nguyen Xuan Phuc, kunjungan Ho Chi Minh ke Indonesia mengandung arti penting bagi kedua negara. Maka momentum hubungan 60 tahun ini merupakan kabar baik bagi hubungan Indonesa-Vietnam ke depannya. Kerja sama kedua negara akan terbuka lebih lebar guna memberikan kesempatan baik untuk semuanya.

  • Wajah Lain Gajah Mada

    Suatu hari Muhammad Yamin mengunjungi Trowulan untuk melihat jejak-jejak Kerajaan Majapahit. Saat itulah ia menemukan pecahan terakota berupa kepala pria berwajah gempal dan berambut ikal. “Arca ini digali dekat puri Gajah Mada di Terawulan, Majapahit,” katanya. Yamin kemudian mengidentifikasi wajah itu sebagai arca Gajah Mada. Menurutnya dalam Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara , air muka arca itu penuh dengan kegiatan yang mahatangkas. Wajahnya menyinarkan keberanian seorang ahli politikus yang berpandangan jauh. Wajah Gajah Mada versi Muh. Yamin​​​​ Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar berpendapat lain soal wajah Gajah Mada. Dalam Gajah Mada Biografi Politik, ia menjelaskan arca Brajanata dan Bima sebagai dua perkembangan dari penggambaran Gajah Mada. Kendati telah wafat pada 1364, Gajah Mada atau Mpu Mada masih dikenang oleh masyarakat Majapahit. Ia dianggap oleh masyarakat Majapahit akhir sebagai tokoh besar yang diperdewa. “Ia dipandang sebagai dewata yang dapat dimintai pertolongan masyarakat yang sengsara akibat peperangan,” ujar Agus. Selepas Hayam Wuruk, perang terus terjadi di Majapahit. Pada masa itu pula arca-arca perwujudan Gajah Mada terus diciptakan. Nampaknya masyarakat ingin mendatangkan kembali masa gemilang pemerintahan raja dan patihnya itu. Gajah Mada Berwujud Brajanata Kisah Panji, menurut Agus, menyimpan metafora kehidupan Hayam Wuruk. Penggambaran kisah Panji pertama kali ada di Candi Miri Gambar. Candi ini didirikan setelah Hayam Wuruk mati, ketika menantunya Wikramawarddhana berkuasa. Kisah ini dihiasi dengan tokoh Panji dan Brajanata, dua tokoh paling dominan dalam beberapa kisah panji paling awal. Tokoh-tokoh utama dalam kisah Panji bisa disejajarkan dengan tokoh sejarah masa Majapahit. Misalnya Raden Panji adalah Hayam Wuruk. Ayahanda Panji, raja Keling atau Jenggala atau Koripan adalah Kertawarddhana alias Raden Cakradhara. Ibunda Panji, permaisuri raja Keling adalah Tribhuwana Wijayottunggadewi. Ibu Hayam Wuruk ini bergelar Bhre Kahuripan. Sementara raja Daha adalah paman Panji. Kenyataannya, raja Daha juga paman Hayam Wuruk. Permasuri raja Daha, bibi Hayam Wuruk bergelar Bhre Daha. Dewi Sekar Taji, putri raja Daha adalah permaisuri Raden Panji. Dalam sejarah Majapahit, permasuri Hayam Wuruk adalah sepupunya sendiri, yaitu putri Bhre Daha. Dalam Pararaton ia dijuluki Paduka Sori. Lalu kekasih Panji, Dewi Angreni bisa dipadankan putri Sunda yang tewas: Dyah Pitaloka. Dengan banyaknya kesamaan penokohan itu, rasanya tak berlebihan jika menyamakan Raden Brajanata sebagai Gajah Mada. Ia adalah kakak Raden Panji yang berbeda ibu. Namanya disebut dalam Hikayat Panji Kuda Semirang dan Hikayat Panji Angreni dari Palembang. Peranan Brajanata mirip dengan Gajah Mada. Brajanata juga selalu mengawal Raden Panji, sebagaimana Gajah Mada dengan Hayam Wuruk. Brajanata dalam kisahnya disuruh ayah ibu Raden Panji untuk menghabisi Dewi Angreni. “(Brajanata, red. ) digambarkan tinggi besar, badan tegap, berkumis tebal, berambut ikal, mungkin merupakan ikon dari Gajah Mada,” kata Agus. Itu sesuai dengan pendapat Poerbatjaraka dalam Tjerita Pandji dalam Perbandingan mengenai relief Panji Gambyok di Kediri. Tokoh berambut ikal dan berbadan tegap itu adalah Brajanata. Arca Brajanata Dengan demikian, menurut Agus, arca koleksi Museum Nasional bernomor inventaris 310d dari Gunung Penanggungan yang dinamai Kertala lebih tepat jika diidentifikasi sebagai Brajanata. “Arca itu sangat mirip dengan figur pria tegap berambut keriting yang digambarkan di kanan kiri pipi tangga Candi Miri,” katanya. Apalagi tokoh Kertala dalam Cerita Panji hanya berperan sedikit dibandingkan dengan pengiring Panji lainnya, seperti Brajanata, Carang Waspa, atau Prasanta. “Tokoh yang diarcakan tentunya tokoh yang mengesankan, tak cukup hanya dalam relief, melainkan perlu sosok arcanya,” kata Agus. Maka, jika Brajanata adalah ikon Gajah Mada, arca itu dapat ditafsirkan sebagai penggambaran Gajah Mada. Arca itu menampilkan sosok berbadan tegap, kumis melintang, rambut ikal berombak, di bagian puncak kepala terdapat ikatan rambut dengan pita membentuk topi tekes . Ia mengenakan busana, gelang dan kelat lengan atas berupa ular. Lingga atau bagian kemaluannya diukir menonjol. Namun seiring waktu pandangan masyarakat berubah. Gajah Mada kemudian lebih banyak digambarkan sebagai Bima. Pada masa akhir Majapahit, pertengahan abad ke-15, banyak dibuat arca Bima yang cirinya mirip dengan arca tokoh Brajanata. “Itu bukanlah kebetulan belaka,” kata Agus. Gajah Mada sebagai Bima Arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Triwurjani menjelaskan dalam “Bima sebagai Tokoh yang Dikultuskan” termuat di Proceedings Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, bahwakurang lebih pada awal abad ke-15 muncul kultus terhadap tokoh Bima yang dikenal dari kisah Mahabharata. Arca Bima beberapa kali ditemukan pada bangunan suci di beberapa daerah di Jawa Timur. Misalnya , arca Bima dari Trenggalek, Jawa Timur. Di bagian belakang arca itu terdapat inskripsi. Model tulisannya sejaman dengan prasasti yang dikeluarkan oleh Gajah Mada pada 1357. “…Pada waktu itu… pendeta Mpu Wirata… memberikan pratistha kepada telapak…,” catat inkskripsi itu. Menurut Triwurjani, dengan adanya kata pratistha , berarti arca itu adalah arca perwujudan. Ini disepakati oleh Agus Aris Munandar. Arca itu sesuai dengan ciri arca perwujudan masa Majapahit. Sikap arca tak memperlihatkan gerak tubuh. Kedua tangan terjulur di samping tubuh. Mata digambarkan setengah terpejam seperti sikap meditasi. Agus mengaitkan tokoh itu sebagai perwujudan Gajah Mada. Secara fisik, arca Bima berkumis, berbadan tegap, kemaluannya menonjol dari balik kain. Ini mirip dengan arca Brajanata. Bedanya hanya tata rambut. Brajanata rambutnya menyerupai tutup kepala tekes . Bima rambutnya berbentuk supit urang . Bima juga digambarkan dengan kuku yang panjang ( pancanaka ). Menurut Agus gejala itu menunjukkan ada pergeseran penggambaran Gajah Mada sebagai Brajanata kepenggambarannya sebagai tokoh Bima. “Para pemuja dan pengagum Gajah Mada mulai pertengahan abad ke-15 hingga keruntuhannya lebih menyukai mengarcakan Gajah Mada sebagai Bima daripada sebagai Brajanata,” jelasnya. Alasannya, tokoh Bima lebih terkenal dibanding Brajanata. Tokoh Brajanata baru dikenal dalam karya sastra muda, yaitu kisah Panji. Kisah ini baru berkembang pada era Majapahit akhir. Sementara tokoh Bima sudah dikenal sejak masuknya pengaruh India dan Hindu ke Jawa. Pun tokoh Bima terkesan lebih sakral dibanding Brajanata. Bila Brajanata adalah manusia. Tokoh Bima adalah aspek Siwa yang berwujud manusia. “Karenanya pengagum Gajah Mada lebih senang menyetarakannya dengan Bima,” jelas Agus. Menurut Agus, Bima punya kesamaan dengan Gajah Mada. Berdasarkan namanya, Gajah Mada, bisa dibayangkan orangnya tinggi besar dan bertenaga besar seperti gajah. Bima kebetulan mempunyai kemiripan perawakan dengan Gajah Mada. Sebenarnya banyak juga tokoh berciri seperti itu dalam epos Mahabharata. Namun, Bima lebih punya banyak peran. Pun dia ditempatkan sebagai tokoh protagonis dalam cerita.   Dalam konsep agama, Bima juga disetarakan dengan Gajah Mada. Kitab Jawa Kuno, Brahmanda Purana, menyebut Bima sebagai aspek Siwa. Sedangkan raja-raja Majapahit seringkali disetarakan sebagai Siwa. Maka, patih amangkubhumi -nya sebagai aspek dari Sang Dewa. Selama ini arca Bima banyak ditemukan dari masa Majapahit. Pertanyaannya siapakah yang hendak diwujudkan oleh arca itu. Dan, Agus yakin , tokoh itu adalah Sang Mahapatih Gajah Mada.

bottom of page