top of page

Sejarah Indonesia

Tjong Ling Mata Mata Sultan Banten

Tjong Ling, Mata-mata Sultan Banten

Seorang pedagang Tionghoa jadi mata-mata Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC. Tertangkap dan digantung.

12 November 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Perang Banten melawan VOC pada 1628. (Rijksmuseum).

Pramoedya Ananta Toer ditahan hampir setahun (1960-Agustus 1961) karena menerbitkan buku yang bersimpati kepada Tionghoa, berjudul Hoakiau di Indonesia. Buku itu berisi kumpulan tulisannya setiap minggu di Bintang Timur, koran Partindo (Partai Indonesia).


Dalam buku itu, Pram menyebut bahwa Hoakiau (orang Tionghoa) di masa penjajahan Belanda mempunyai sumbangsih yang bisa diperhitungkan, tidak dapat disangkal, sekalipun ada juga Tionghoa yang merusak jasa itu. Misalnya, Sacanegara, seorang Tionghoa, berkong-kalikong dengan Ratu Syarifah Fatimah dari Banten, seorang keturunan Arab, yang bekerja sama dengan Belanda hendak menguasai Kesultanan Banten.


Pram mengutip buku Fakta yang Dilupakan karya E.H. Bahruddin untuk menyebut contoh orang Tionghoa yang berjasa. Bahruddin menulis, karena Tionghoa bisa berdagang dan berhubungan, tidak jarang mereka menjadi mata-mata: “Demikian Sultan Ageng mempergunakan seorang Tionghoa sebagai mata-mata untuk menyelidiki Pasar Ikan dan kedudukan Belanda. Tionghoa itu yang dalam dokumen Belanda dinamakan de Chinees Jonge-ling (rupa-rupanya Tjong Ling atau Lin) kemudian ditangkap dan digantung setelah disiksa.Karena sikap Tionghoa yang sependirian dengan rakyat Indonesia,wajarlah bahwa VOC mencurigai mereka.”


Pram tidak menjelaskan siapa Tjong Ling, mungkin karena Bahruddin juga hanya menyebut namanya tanpa menguraikan sepak terjangnya sebagai mata-mata?


Mungkin karena itu pula, penulis sejarah Tionghoa yang mengutip buku Pram, berbeda soal siapa yang memerintahkan Tjong Ling menjadi mata-mata: Sultan Agung (berkuasa 1613-1645) atau Sultan Ageng (berkuasa 1651-1683)?


Benny G. Setiono dalam bukunya yang tebal (lebih dari seribu halaman), Tionghoa dalam Pusaran Politik, menyebut Tjong Ling menjadi mata-mata Sultan Agung dari Mataram ketika menyerang VOC di Batavia.


“Sultan Agung dari Mataram yang bertikai dengan kerajaan Banten meminta VOC untuk bersekutu dan membantunya, tetapi Belanda menolaknya. Belanda lebih menyukai bila tanah Jawa terpecah-pecah. Akibatnya Sultan Agung yang marah berusaha menyerang Batavia pada 1628 dan 1629,” tulis Benny.


Sedangkan penulis lain, Hembing Wijayakusuma dalam Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke, menyebut Tjong Ling menjadi mata-mata bagi Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa itu, nasionalisme warga etnis Tionghoa sudah terlihat sejak VOC berniat menguasai Banten. Sumbangsih warga Tionghoa kepada perjuangan rakyat Banten melawan VOC tidak dapat begitu saja dilupakan.


Akan tetapi, lanjut Hembing, sulit untuk menentukan jumlah mereka secara pasti sebab mereka telah banyak berasimilasi, sehingga bukan saja menggunakan nama pribumi tetapi juga memasuki adat istiadatnya.


“Salah seorang di antaranya yaitu Tjong Ling, yang membantu Sultan Ageng Tirtayasa dengan cara menjadi mata-mata bagi Banten, dalam menyelidiki gerakan Belanda. Dalam sebuah dokumen Belanda, Tjong Ling dinamakan de Chiness Jonge-ling, yang kemudian ditangkap dan digantung setelah disiksa oleh Belanda,” tulis Hembing.


Agaknya memang yang lebih tepat adalah Tjong Ling mata-mata Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, Bahruddin pun menyebutnya “Sultan Ageng” bukan “Sultan Agung.” Dan dia disebut setelah Sacanegara, seorang Tionghoa yang merusak jasa kaum Tionghoa. Dia bersekutu dengan perempuan keturunan Arab, Ratu Syarifah Fatimah, istri Sultan Zainul Arifin (1733-1748), untuk menguasai Kesultanan Banten.


Supono Soegirman, mantan anggota Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin, sekarang Badan Intelijen Negara), dalam Intelijen: Profesi Unik Orang-orang Aneh, menjelaskan bahwa Sultan (Supono menyebutnya Sultan Agung) sudah paham benar arti penting seorang “agen lokal” yang beretnis Tionghoa, dengan pertimbangan agen yang diduga bermatapencaharian sebagai pedagang ini pasti memiliki “akses” dan kemudahan untuk mendekati sumber informasi terkait pelabuhan Sunda Kelapa dan basis-basis tentara Kompeni.


“Kesediaan Tjong Ling membantu Sultan diduga bermotif kenyamanan berusaha…Di sinilah, kejelian dan keberhasilan Sultan yang telah merekrut Tjong Ling dengan memanfaatkan sentimen ‘nasionalisme’ dicampur dengan sentimen kenyamanan mencari nafkah,” kata Supono, yang pernah menjabat Ketua II Sekolah Tinggi Intelijen Negara yang didirikan BIN.


Menurut Supono, nasib Tjong Ling yang tertangkap, disiksa, dan digantung, memang sebuah risiko yang harus dihadapi oleh seorang yang melakukan kegiatan intelijen bila gagal melindungi kedoknya.


“Betapapun,” kata Supono, “Tjong Ling merupakan orang Tionghoa nasionalis yang pemberani.”

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
bottom of page