Hasil pencarian
9589 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Ketika Arsitek Belanda Masuk Islam
Pesulap sohor Deddy Corbuzier mengumumkan telah memeluk agama Islam pada 21 Juni 2019. Sebelumnya dia penganut Katolik. Dia berkeputusan pindah agama setelah mempelajari Islam selama hampir setahun. Kabar itu memperoleh beragam tanggapan dari khalayak. Tanggapan itu mirip dengan sikap orang-orang pada masa kolonial terhadap seorang Eropa yang masuk agama Islam. Tidak banyak orang Eropa masuk Islam di Hindia Belanda. Dua nama dapat menjadi contoh dari yang sedikit itu: Snouck Hurgronje dan Charles Prosper (C.P.) Wolff Schoemaker. Nama pertama sudah begitu sohor. Kisahnya kontroversial. Snouck seorang mata-mata pemerintah kolonial, mantan penganut Protestan, kemudian menjadi seorang muslim. Dia fasih beragam bahasa dan ilmu-ilmu humaniora sehingga berhasil duduk di kursi profesor Universitas Leiden. Nama kedua tak begitu sohor seperti Snouck. Sedikit orang tahu kisahnya. C.P. Wolff Schoemaker seorang arsitek berkebangsaan Belanda. Dia memberi kota Bandung wajah modern nan apik melalui bangunan rancangannya sepanjang periode 1920—1930-an. C.P. Schoemaker lahir di Banyubiru, Ambarawa, Jawa Tengah, pada 25 Juli 1882. Ayahnya bernama Jan Prosper (J.P.) Schoemaker, seorang pensiunan kapten Koninklijk Nederlansch Indisch Leger (KNIL atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Dihormati mahasiswa, dicibir teman J.P. Schoemaker penganut Katolik dan sangat mengkhawatirkan perkembangan Islam di Hindia Belanda. Menurutnya, pemerintah kolonial lalai menyikapi perkembangan itu. Dia sampaikan kritiknya kepada pemerintah melalui buku Het Aziatische Gevaar pada 1908. Beberapa tahun kemudian, kekhawatiran J.P. Schoemaker justru menimpa keluarganya sendiri. Anak kandungnya malah menganut Islam. “Dengan alasan yang tidak diketahui, Wolff Schoemaker keluar dari agama Kristen Katolik sekitar 1915 dan menjadi seorang muslim,” tulis C.J. van Dullemen dalam Arsitektur Tropis Modern Karya dan Biografi C.P. Wolff Schoemaker . Salmon Priaji Martana menyebut kepindahan agama Schoemaker memiliki dua versi cerita. “Ketertarikannya pada kebudayaan Islam sudah dimulai semenjak menjabat direktur di Gemeentewerken Batavia,” tulis Salmon dalam Wolff Schoemaker Karya dan Lingkup Dunia Sekelilingnya . Gemeenterwerken adalah Dinas Pekerjaan Umum. Schoemaker menjabat direktur bagian Batavia selama 1914—1917. Versi cerita kedua menuturkan bahwa mojang Priangan menjadi penyebab kepindahan agama Schoemaker. “Schoemaker berpindah agama Islam semenjak pernikahannya dengan seorang mojang Priangan,” catat Salmon. Tetapi keterangan ini meragukan. Dullemen mencatat Schoemaker menikah lima kali. Empat istrinya orang Belanda dan satu lainnya orang Tionghoa. Tidak ada catatan tentang istri Schoemaker dari golongan anak negeri. Keputusan Schoemaker menjadi seorang muslim tersebar luas baru pada 1930-an. Ketika itu dia telah menjabat sebagai asisten profesor dalam bidang sejarah arsitektur dan ornamen di Technische Hoogeschool Bandoeng (THB, sekarang Institut Teknologi Bandung). Dia mulai menggunakan nama Kemal untuk menunjukkan identitas Muslim. Karuan orang-orang di sekitar Schoemaker mulai bereaksi. Para mahasiswanya dari kalangan anak negeri menaruh hormat atas keputusan Schoemaker masuk Islam. Schoemaker seorang berpendidikan tinggi, mempunyai reputasi bagus sebagai arsitek, dan berselera tinggi terhadap seni dan budaya. Maka keputusan Schoemaker menjadi muslim dianggap turut mengangkat marwah Islam di mata kolonialis. Lazim pada masa itu, kolonialis memandang Islam sebagai agama terbelakang dan umat muslim adalah orang-orang anti-ilmu pengetahuan. Sebaliknya, rekan-rekan kerja Schoemaker justru mencibirnya. “Beberapa orang menganggap langkah ini sangat tidak umum dan diasosiasikan dengan penurunan status sosial,” ungkap Dullemen. Kritik untuk Umat Muslim Tetapi Schoemaker enggan repot dengan pendapat orang. Dia terus giat menggali Islam dan bergabung ke organisasi Islam seperti Persatoean Islam Barat di Bandung. Atas nama organisasi itulah dia menulis sebuah pengantar di buku Cultuur Islam karya Mohammad Natsir (kelak menjadi tokoh Masyumi) pada 1937. Dalam pengantar buku termaksud, Schoemaker memuji Islam sebagai pendorong maujudnya semangat dan peradaban ilmiah di Eropa pada abad pertengahan. Menurutnya, orang-orang Eropa berutang kepada ikhtiar filsuf dan ilmuan muslim dalam mengkaji kembali karya-karya pemikir Yunani dan Romawi di bidang filsafat, kebudayaan, dan sastra. “Semangat ini dengan lekas masuk ke benua Eropa (terutama dengan melalui Spanyol) dan terus mendirikan persediaan untuk Kebangkitan ( Renaissance ) pada akhir-akhir Abad Pertengahan,” tulis Schoemaker. Meski memuji peranan Islam di Eropa, Schoemaker juga mengakui adanya degradasi peradaban pada sebagian besar umat muslim pada abad ke-20. “Kemunduran Kebudayaan Islam yang tadinya amat luhur itu, antara lain, disebabkan oleh percampuran bangsa, dan karena orang-orang Islam di zaman belakangan itu tidak sanggup menjalankan semua ajaran agama yang semulia ini, dengan sempurna, yang pada hakikatnya amat keras mendorong kepada kemajuan dan kemenangan dunia,” ungkap Schoemaker. Salah satu degradasi peradaban Islam tampak pula dalam bidang arsitektur. Schoemaker mengupasnya secara terang dalam artikelnya di buku Cultuur Islam . Bagi Schoemaker, arsitektur menggambarkan peradaban suatu kaum. Tinggi rendahnya peradaban tersua dalam gagasan dan bentuk arsitektur bangunan suatu kaum. “Segenap kedudukan ruhani salah satu bangsa, pemandangan hidupnya, cita-citanya, dapat dirupakan dalam bangun-bangunan yang didirikannya. Arsitektur ialah salah satu kelahiran kekuatan-kekuatan ruhani yang hidup dalam kalangan satu kaum,” terang Schoemaker. Masjid Cipaganti, berdiri tahun 1930-an, rancangan Prof. Kemal C.P. Wolff Schoemaker di Bandung, Jawa Barat. (humas.bandung.go.id) Merancang Masjid Schoemaker berani mengatakan arsitektur di kalangan umat Islam tengah merosot setelah melihat bentuk-bentuk masjid di Hindia Belanda. “Demikianlan di seluruh tanah Jawa ini, boleh dikatakan tidak ada satu pun masjid yang menarik perhatian dan membangunkan semangat. Tidak ada satu pun yang mempunyai arti sebagai buah arsitektur, baik tentang bangunnya ataupun tentang buatan bagian-bagiannya yang terkecil,” demikian Schoemaker memberikan penilaian. Lima tahun sebelum kritik Schoemaker muncul di buku Cultuur Islam , dia telah merancang sebuah masjid berdasarkan gagasannya tentang arsitektur Islam. Masjid ini terletak di Nijlandweg (sekarang Jalan Cipaganti), Bandung. Masjid ini menampilkan pengaruh Arab, Eropa, dan tradisional Hindia Belanda. Pengaruh Arab tersua dalam lengkung tapal kuda di pintu masuk dan hiasannya, yaitu keramik masjid dengan teks huruf Arab. Pengaruh Eropa muncul dalam denah simetris berbentuk salib Yunani. Gaya ini biasa Schoemaker pakai dalam bangunan rancangannya seperti Gereja Bethel dan Jaarbeurs. Bentuk atap masjid menyerupai atap gereja Bethel dengan bertumpu pada konstruksi baja modern. Konstruksinya sangat mirip dengan pendopo Jawa. Inilah masjid pertama dan terakhir rancangan Schoemaker. Dia tak pernah lagi mewujudkan gagasannya tentang bagaimana seharusnya arsitektur Islam. Dia lebih banyak merancang bangunan swasta untuk fungsi profan. Sebagai seorang Belanda muslim, Schoemaker mempunyai aspek hidup yang unik. Dia telah menggali ajaran Islam bertahun-tahun dan akhirnya menunaikan haji pada 1938. Dia mungkin mengetahui adanya larangan dalam Islam menampilkan lukisan atau patung berfigur manusia dan binatang. Tetapi dia masih membuatnya hingga akhir hayat. Dia bahkan membuat lukisan perempuan telanjang. Schoemaker wafat di Bandung pada 22 Mei 1949. Keluarga memakamkannya sebagai seorang Katolik. Mereka bilang Schoemaker kembali memeluk Katolik di tempat tidur, sebelum ajal menjemputnya.
- Cara Perempuan Zaman Kuno Mengakhiri Pernikahan
Terutama gadis bangsawan, mereka seringkali menikah karena alasan politik. Kendati begitu, banyak perempuan yang tak bahagia dalam pernikahannya boleh mengajukan cerai. Pada masa Majapahit pernikahan diatur dalam teks hukum Agama atau Kutaramanawa . Disebutkan seorang istri boleh membatalkan perkawinannya jika suaminya menderita beberapa penyakit tertentu. Jika laki-laki menderita penyakit gila, batuk kering, ayan, impoten, banci, dan akhirnya istri tak suka kepadanya, sang istri diimbau untuk menunggu tiga tahun. Selama itu sang suami diberi kesempatan untuk berobat. Jika selama tiga tahun tidak sembuh, kata aturan itu, jangan salahkan istri kalau dia menikah lagi dengan orang lain. " Tukon (mahar) tak usah dikembalikan kepada suaminya. Menunggu dahan bertunas namanya,” tulis aturan itu. Adapun soal aturan cerai, harus ada empat bukti. Dinamakan siddhaatadin , yaitu saksi, memecah uang yang diucapkan oleh saudara dari pihak laki-laki, memberikan air untuk mencuci muka, dan memberikan butir beras. Jika empat bukti tak dilakukan perceraian tidak sah. Perkawinan belum terpisah. Karenanya, perempuan akan didenda empat laksa oleh raja yang berkuasa apabila dia menikah dengan laki-laki tanpa bukti-bukti perceraian. Peter Carey dalam Perempuan - PerempuanJawa menyebutkan pada masa perkembangan Islam beberapa putri bangsawan juga tercatat pernah mengajukan cerai atas suami-suami mereka. Raden Ayu Notodiningrat, cucu Mangkunegoro II (bertakhta 1796-1835), menderita dalam perkawinannya. Dia menikah dengan Bupati Probolinggo di ujung timur Jawa yang kasar dan tak sopan. Dia pun mengajukan perceraian atas dasar penganiayaan dan berhasil pada 1821. Tuduhannya itu dia sampaikan kepada eyangnya. Isinya, dia merasa sang suami tak memperlakukan dirinya sesuai dengan martabat dan kelahirannya sebagai bangsawan. Pertama, dia tak dipercaya kalau uang rumah tangga tak bersisa. Suaminya tak mau memahami bagaimana uang itu telah dihabiskan. Kedua, ketika suaminya marah, dia disiksa. Nama orangtuanya pun difitnah. Ketiga, setiap kali sang putri membuat kesalahan sedikit saja dalam melayani, suaminya akan mengatakan hal-hal yang tidak benar tentangnya. "Membandingkan saya dengan seorang teledek jalanan atau seorang pelacur,” tulis Raden Ayu Notodiningrat. Kasus lainnya menimpa Ratu Bendoro, anak Sultan Hamengkubuwono I dari Yogyakarta. Secara hukum dia dipisahkan dari suaminya, Raden Mas Said atau Mangkunegara I pada Desember 1763. Itu usai suatu periode yang amat pahit dan sengit antara kedua istana. Baik Ratu Bendoro maupun Ratu Ayu Notodiningrat memperoleh perceraian dengan membawa perkara kepada Penghulu Surakarta di Pengadilan Surambi di Kasunanan. “Putusan dalam kasus Ratu Bendoro menjadi preseden bagi kasus Raden Ayu Notodiningrat hampir 60 tahun sesudahnya,” tulis Carey. Carey pun menjelaskan perceraian bisa diperoleh seorang istri dengan berbagai dalih. Yang paling umum adalah pelanggaran kontrak pernikahan. Biasanya dengan alasan kurangnya dukungan dan atau desersi (melarikan diri) suami. Perceraian demikian dikenal sebagai talak . “Ini didasarkan pada hukum syafi’i yang kondang dan dikenal seantero Pulau Jawa,” jelas Carey. Ada juga istilah taklek . Ini merupakan perceraian bersyarat yang diucapkan dalam upacara pernikahan. Melalui sistem ini, seorang perempuan pun menjadi lebih mudah mendapatkan perceraian. Pasalnya suaminya telah berjanji bahwa dia bisa dianggap membuat talak jika mengabaikan, menganiaya, atau tidak memberi dukungan finansial kepada sang istri. Terakhir, perceraian yang disebut mancal . Di sini, sang istri membeli kebebasannya sendiri. Harga kebebasan itu bisa saja sejumlah mas kawin yang dibayar kepada keluarga pengantin perempuan ketika menikah atau disisakan sebagai utang. Namun biasanya harganya lebih tinggi daripada itu. “Selain persetujuan suami sangat penting dan pengumuman pembatalan resmi harus diucapkan oleh penghulu yang berurusan dengan semua hal menyangkut perkawinan, perceraian, warisan, di Pengadilan Surambi, ruang terbuka di depan Masjid Agung,” jelas Carey. Kasus-kasus seperti itu, menurut Carey, menunjukkan kalau perempuan bangsawan atau putri raja Jawa bukan budak belian suami seperti yang sering digambarkan dalam literatur kolonial Hindia Belanda. Perempuan Jawa memiliki hak hukum. Semakin tinggi kelahiran mereka, semakin besar kemungkinan mereka menggunakan hak itu dalam kasus desersi atau kekerasan pihak suami.
- Aneka Warna Kostum Persija
PERSIJADAY. Dua kata yang akan berlaku kala klub kebanggaan ibukota Persija Jakarta berlaga di kompetisi manapun. Di momen itu, kelak takkan hanya puluhan ribu Jakmania yang akan memerahkan seisi stadion, pun juga para PNS Pemprov DKI. Bentuk dukungan, begitu kata Gubernur Anies Baswedan kala mengorbitkan wacana mewajibkan para PNS mengenakan kostum Persija kala Persija Day . Wacana itu dilontarkannya usai menjamu Persija dan Jakmania ber-halal bihalal di rumah dinas gubernur, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, 27 Juni lewat. “Kalau hari itu Persija tanding, kita akan dukung dengan cara menggunakan kostum Persija. Kostumya sendiri sedang dipersiapkan desainnya supaya kalau rapat-rapat juga tidak pakai kaos oblong,” kata Anies, dikutip Kumparan , Senin (1/7/2019). Wacana itu tak pelak mengundang pro-kontra. Ketua Fraksi PDIP di DPRD DKI Gembong Warsono mencibir bahwa Anies lebay. Sementara, Ketua Fraksi Golkar Ashraf Ali mengingatkan soal lebih penting menyelesaikan stadion untuk markas Persija terlebih dulu ketimbang gembar-gembor soal jersey. Gubernur DKI Anies Baswedan saat menggelar halal bihalal dengan Persija (Foto: Twitter @Persija_Jkt) Terlepas dari pro-kontra, jersey atau kostum merupakan atribut wajib fans sebagai bentuk dukungan. Saat Persija berlaga, Anies memang cukup sering nongol di stadion lengkap dengan atribut Persija. Jersey yang dipakainya kadang berwarna oranye cerah, kadang merah. Dua warna itu merupakan warna kostum tim Macan Kemayoran. Warna kebanggaan yang tentunya berkelindan dengan lahirnya Persija dengan nama Voetbalbond Boemipoetera (VBB) pada 28 November 1928. Nama klub berubah lagi seiring zaman menjadi Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ) pada 30 Juni 1929, dan Persidja (EYD: Persija) pada Mei 1942, akibat peralihan penguasa negeri dari Hindia Belanda ke Jepang yang mengharuskan penghapusan nama-nama yang berbau Belanda. Merah, Oranye, Merah Lagi Saat halal bihalal dengan Persija dan Jakmania akhir Juni silam, Anies mengenakan jersey Persija berwarna merah. Warna jersey Anies itu berbeda dari yang dikenakannya saat menjamu iring-iringan pawai tim Persija usai juara Liga 1 2018 di Balai Kota, Desember 2018, yakni oranye. Dalam perjalanan sejarahnya, Persija memang pernah berganti warna kostum dari merah ke oranye, dan kini merah lagi. Di masa kolonial, Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ) –nama resmi klub sebelum menjadi Persija, berdiri pada 30 Juni 1929– menggunakan warna jersey merah dikombinasi celana putih. Dwi warna “rasa” Indonesia itu, yang diprakarsai pendiri klub Soeri dan A. Alie Soebrata, dipilih sebagai bentuk dukungan klub terhadap pergerakan kemerdekaan. Saat masih bernama VIJ, Persija disebut menggunakan warna merah dan putih (Foto: persija.id) “Merah adalah kekoeatan dan Poetih adalah kehaloesan,” tulis artikel “Riwajat VIJ” di edisi khusus “Sepoeloeh Tahoen VIJ” yang dimuat suratkabar Pemandangan , 20 September 1938. Warna merah dan putih tetap dipertahankan melewati zaman pendudukan Jepang hingga Indonesia merdeka. Dwi warna sebagai penegas bahwa Persija turut dalam gerakan pemersatu bangsa baik di dalam maupun luar lapangan, antara lain dengan menyokong pendirian PSSI. “Warna merah dan putih tetap dipertahankan walau VIJ sudah mengindonesiakan namanya menjadi Persija. Di bawah Joesoef Jahja, Persija masih tetap sama seperti dulu yang menjadi pusat bertemunya pemain dari berbagai macam suku bangsa di Indonesia,” ungkap Ario Yosia dalam Gue Persija. Warna merah-putih akhirnya diganti ketika Persija diasuh Gubernur DKI Sutiyoso pada 1997. Saat itu, Persija tengah terpuruk sampai berada di urutan ke-10 Divisi Barat Liga Indonesia musim 1996/1997. “Sutiyoso galau. Ia sudah berusaha mendongkrak prestasi Persija sejak 1997. Sutiyoso ingin warga ibukota disatukan oleh sebuah bahasa universal: sepakbola. Ia bikin gebrakan menjelang Liga Indonesia 1997/1998 yang bergulir tanpa sponsor. Ia merekrut manajer tim perempuan enerjetik Diza Rasyid Ali dan mulai mengganti warna jersey-nya dari merah menjadi oranye kemerahan,” sebut Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso dalam biografi IGK Manila, Panglima Gajah, Manajer Juara. Warna oranye dianggap Sutiyoso sebagai warna yang megah. Selain itu, untuk membedakan dari tim-tim lain yang juga kerap pakai warna merah, seperti PSM Makassar, Persipura Jayapura, atau timnas Indonesia. Kostumnya juga disematkan gambar kepala macan sebagai penegasan julukan Macan Kemayoran. Jakmania turut mempopulerkan warna oranye sejak 1997 (Foto: Fernando Randy/Historia) Warna oranye lantas dipopulerkan Jakmania, organisasi pendukung Persija yang juga lahir pada 1997. Aura oranye itu terbukti mendongkrak prestasi. Di Liga Indonesia 1997/1998, Persija melonjak ke posisi dua klasemen Divisi Barat. Sialnya, Liga Indonesia dihentikan gara-gara huru-hara Mei 1998. Namun, tak lama setelah liga kembali digulirkan, Persija berhasil juara lagi di Liga Indonesia 2001. Lima belas tahun berselang, Persija kembali mengenakan kostum merah. Momen comeback itu tepatnya dimulai saat Indonesia Soccer Championship (ISC) 2016. Kostum merah didampingi warna putih, hitam, dan kuning –sebagai kostum kedua dan ketiga– ini masih dipertahankan sampai sekarang. “Warna merah jadi warna utama karena merupakan warna legendaris Persija. Juga karena ada permintaan dari warga Jakarta dan klub anggota Persija. Oranye dijadikan warna ketiga,” tandas Gede Widiade saat masih menjabat Direktur Utama Persija, dilansir Bolalob , 29 November 2017.
- Jalan Panjang Piala Dunia Kaum Hawa
PERIODE musim panas dalam sepakbola dunia tahun ini masih diramaikan isu-isu transfer, soal AC Milan yang disanksi financial fair play hingga tak bisa ikut Europa League , atau Copa América yang sudah memasuki fase semifinal. Sayang, isu-isu itu nyaris tak memberi tempat pada pemberitaan tentang Piala Dunia-nya kaum hawa. Piala Dunia Wanita FIFA tahun ini yang dihelat di Prancis, 7 Juni-7 Juli 2019, sudah edisi kedelapan. Pekan ini juga sudah masuk ke babak semifinal. Nama-nama bidadari lapangan hijau seperti Valentina Giacinti, Megan Rapinoe, Steph Houghton, Sakina Karchaoui tetap masih asing di telinga. Kalau pemain sekaliber mereka masih asing di telinga, apalagi srikandi-srikandi lapangan hijau tanah air. Padahal, sepakbola di tanah air sempat digemari para kaum hawa sejak akhir 1960-an. Putri Priangan menjadi klub sepakbola wanita pertama di Indonesia. Namun, dari masa ke masa sepakbola putri Indonesia justru berjalan mundur dan di era “4.0”, para remaja putri lebih kenal dan suka futsal ketimbang sepakbola wanita. “Kita kan memang di (budaya, red .) Timur, pasti ada pro dan kontranya. Padahal seragam (tim bola) enggak ketat juga sebenarnya. Hanya celana pendek. Namanya juga main bola. Dulu saya sih tak peduli orang mau bilang apa. Apa salahnya aktivitas olahraga,” kata eks kiper timnas putri 1980-an Mutia Datau kepada Historia . Perhatian di era milenial sebatas berdirinya Asosiasi Sepakbola Wanita Indonesia (ASBWI) yang baru lahir Desember 2017, dengan ketuanya Papat Yunisal, legenda sepakbola putri 1980-an. Timnas putri sempat berlaga di Asian Games 2018 Jakarta-Palembang. Hasilnya, babak belur. “Sepakbola wanita ini lebih banyak kendalanya, baik di dalam maupun di luar lapangan. Ya karena sebelumnya tidak ada kejelasan agenda PSSI melalui Asprov. Apalagi kalau ganti kepemimpinan (PSSI). Perhatian dan kebijakan soal sepakbola wanita ikut terganti,” tutur Papat saat berbincang dengan Historia pada 2017 sebelum jadi ketua ASBWI. Lika-liku Piala Dunia Wanita Sejatinya, kaum hawa sudah terlibat aktivitas tendang bola seiring dengan sejarah sepakbola itu sendiri. Mengutip situs FIFA, permainan Cuju (Ts’u-chü) di China diakui sebagai “leluhurnya” sepakbola dan wanita tercatat sudah ikut memainkan olahraga yang awalnya hanya untuk prajurit itu sejak era Dinasti Han (25-220 Masehi). Klub pertama wanita berasal dari Inggris, bernama Mrs Graham’s XI. Tim Tate dalam Girls with Balls: The Secret History of Women’s Football mengungkap, tim yang lahir pada 1881 itu turut mewakili Skotlandia melawan sekumpulan wanita Inggris di Stadion Easter Road, Edinburgh, Skotlandia pada 9 Mei 1881. Laga itu disebut-sebut sebagai laga internasional pertama sepakbola wanita. Seiring zaman, sepakbola modern yang dimainkan kaum hawa menyebar ke pojok-pojok Eropa, sampai ke Asia, Oseania, Amerika, hingga Afrika. Turnamen-turnamen regional tumbuh bak jamur di musim hujan. Namun, baru pada 1991 FIFA menyediakan wadah setara dengan sepakbola kaum Adam yang sudah punya Piala Dunia semenjak 1930. Pada 1991 itulah Piala Dunia Wanita dihelat untuk pertamakalinya di China. Eksistensi Piala Dunia Wanita itupun buah dari tekanan sana-sini sekaligus respon terhadap dicabutnya sanksi larangan para wanita bermain bola di sejumlah negara macam Australia (1960), Jerman (1970), Inggris (1971), Belanda (1971), dan Brasil (1979). Betapapun terlambat, perhelatan itu merupakan bentuk pengakuan. Sebelum Piala Dunia Wanita 1991, sudah lebih dulu digelar turnamen sejenis yang dihelat pihak-pihak yang lebih perhatian. Coppa del Mondo/Martini Rosso Cup di Italia pada 6-15 Juli 1970, misalnya. Menurut C. D. Fisher dalam tulisannya, “The Face of Football Bodies: ‘Resisting Market Enclosure and Imagining Another (Football) Future’” yang terangkum dalam Seven Faces of Women’s Sport , Piala Dunia tak resmi itu digelar Federation of Independent European Female Football (FIEFF). FIEFF sendiri merupakan badan sepakbola wanita independen Eropa yang berdiri pada 1969 dan berbasis di Italia. Ia semacam UEFA-nya sepakbola wanita. “Pesertanya baru delapan negara yang kebanyakan dari Eropa. Hanya Meksiko yang mewakili Benua Amerika. Denmark keluar jadi pemenangnya setelah mengalahkan Italia 2-0 pada laga final di Stadio Communale, Turin,” tulis Fisher. Perwakilan Asia, Afrika, dan Oseania belum menunjukkan batang hidung di gelaran serupa setahun berselang. FIEFF kembali menyokong Piala Dunia Wanita di Meksiko, Campeonato de Fútbol Femenil, 15 Agustus-5 September 1971. Enam tim berpartisipasi dalam turnamen, termasuk Argentina yang jadi peserta tambahan. Denmark kembali jadi “Ratu Sepakbola Wanita Dunia” dengan menghajar Meksiko 3-0 di final. Dua perhelatan itu jadi bukti bahwa kaum hawa juga butuh diberi wadah oleh FIFA. Namun FIFA bersikeras tak mengakui. FIFA justru mengakui laga persahabatan Prancis vs Belanda di Stade Auguste Damette, Hazerbrouck, 17 April 1971 sebagai laga internasional timnas wanita pertama. Padahal, sebelum itu sudah banyak laga-laga antarnegara. Laga Inggris vs Skotlandia pada 1881 bahkan terjadi jauh sebelum laga Prancis-Belgia itu. Skuad Timnas Wanita Prancis yang berlaga di Piala Dunia Wanita 1971 di Meksiko (Foto: fifa.com) “Kami saat itu masih amatir, bukan pemain profesional. Salah satu kawan kami, pemain sayap Michele Wolf, terpaksa tak bisa ikut. Dia harus tetap bekerja di toko demi bisa cari makan. Dia menolak kehilangan pekerjaan demi pertandingan sepakbola,” kenang Ghislaine Royer-Souef, kiper tim wanita Prancis, saat reuni dengan kawan-kawan setimya di Nice, kepada The New York Times , 25 Juni 2019. Royer-Souef dkk. juga tampil di Piala Dunia tak resmi Meksiko 1971. Lewat prakarsa Federazione Femminile Italiana Gioco Calcio (FFIGC), keberlanjutan turnamen terus berlangsung setiap tahun di Italia dalam turnamen Mundialito. Empat edisinya masing-masing dimenangi Italia (1984, 1986) dan Inggris (1985, 1988). Gelaran Mundialito juga mulai diikuti tambahan tim-tim dari Asia seperti China dan Jepang, serta Amerika Serikat (AS) mewakili Benua Amerika. Benua Asia juga tergelitik bikin perhelatan serupa. Pada 1978, induk organisasi sepakbola Taiwan (CTFA) menggelar Women’s World Invitation Tournament, memperebutkan Piala Chunghua. Karena tidak diakui FIFA, pesertanya tak hanya timnas, melainkan juga klub. Digelar tiga tahun sekali, edisi pertamanya dimenangkan klub Reims FF (Prancis) dan HJK (Finlandia) sebagai juara bersama. Klub Jerman Bergisch Gladbach dua kali juara, 1981 dan 1984, dan Taiwan baru bisa juara di edisi terakhir 1987. Kesuksesan serangkaian turnamen di atas lantas memunculkan banyak desakan dan tekanan untuk FIFA. Badan sepakbola dunia itu baru bisa menjawab dengan merestui turnamen pendahuluan, FIFA Women’s Invitation Tournament pada 1988. “Pembicaraan soal itu sudah sejak 1983 dan makin intens pada 1984, di mana (Presiden FIFA, João) Havelange sudah bicara soal rencana Piala Dunia Wanita ke media. Pembahasannya makin serius pada Kongres FIFA 1986 hingga diputuskan turnamen invitasi digelar di China pada 1988,” tulis Jean Williams dalam A Beautiful Game: International Perspectives on Women’s Football . Amerika Serikat menangi Piala Dunia Wanita edisi pertama 1991 (Foto: Instasgram @fifamuseum) Dua belas tim dari enam konfederasi diundang dalam perhelatan invitasi 1-12 Juni 1988 itu. Thailand selaku wakil Asia Tenggara juga diikutsertakan dalam turnamen itu. Norwegia keluar sebagai juara setelah melibas Swedia 1-0 di final yang dimainkan di Stadion Tianhe, Guangzhou. Setelah dianggap sukses, barulah FIFA menggelar Piala Dunia Wanita resmi pada 16-30 November 1991. China kembali dipercaya menjadi tuan rumah. Dua belas tim dari enam konfederasi, termasuk Selandia Baru yang mewakili zona Oseania, berpartisipasi dalam turnamen setelah lolos dari tahap kualifikasi yang diikuti 48 tim. Piala Dunia Wanita 1991 itu dimenangi AS usai mengalahkan Norwegia, 2-1 di final. “Kami bermain di (Piala Dunia tak resmi) 1971 dan butuh waktu 20 tahun untuk melihat Piala Dunia yang resmi. Saya senang dengan perubahan yang terjadi. Hanya saja saya masih tak bisa memahami perasaan tentang mengapa butuh waktu begitu lama,” ujar Jocelyne Ratignier, pemain timnas wanita Prancis 1971.
- Impor Beras Burma Sebabkan Wabah Pes di Jawa
PACEKLIK melanda Jawa. Persediaan beras berkurang drastis hingga kekurangan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda lantas mengimpor beras dari Burma, India, dan Tiongkok. Per Agustus 1910, peningkatan jumlah impor terjadi hingga bulan berikutnya. Beras impor itu dikirim lewat kapal-kapal dan berlabuh di Surabaya. Dari Surabaya, beras diangkut kereta api ke daerah di selatan Surabaya yang mengalami paceklik. Bersamaan dengan kebijakan impor beras itu, Burma sedang dilanda wabah pes. Namun, para petugas tidak mencurigai banyaknya tikus mati dan kutu-kutu saat muatan sampai di Sidoarjo. “Bisa diperkirakan, perjalanan yang berbulan-bulan itu, tikus ikut di dalam kapal, dia (tikus, red .) mencemari sambil makan berasnya kemudian buang kotoran di situ,” ujar Agus Setiawan, pengampu sejarah kesehatan di UI, kepada Historia . Lewat beras impor itulah penyakit pes terbawa dari Burma ke Jawa. Perjalanan yang rencananya dilanjutkan ke Malang lalu ke Wlingi batal akibat terputusnya jalur Malang-Wlingi oleh banjir pada akhir 1910. Alhasil, beras impor berikut tikus berkutu pembawa pes itu menginap di gudang-gudang sekitar Stasiun Malang. “Jadi ketika sudah sampai kota tujuan, banyak beras itu sudah tercemar sekaligus tikusnya ikut datang,” sambung Agus. Udara Malang yang lembab membuat perkembangbiakan kutu-kutu tikus pembawa nestapa di gudang beras berjalan cepat. Namun, tak ada kecurigaan saat ditemukan banyak tikus mati. Kecurigaan adanya penyakit pes baru muncul ketika 17 orang di Desa Turen, Malang meninggal setelah demam beberapa hari. Pes menular lewat gigitan kutu tikus pembawa bakteri YersiniaPestis . Orang yang terkena pes mengalami gejala mirip flu: demam selama dua sampai enam hari, kejang, pendarahan (bila menyerang aliran darah), batuk darah (bila menyerang paru), dan benjolan pada ketiak atau leher (bila menyerang limfa). Wabah pes pun melanda Malang. Dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”, Martina Safitri menyebut wabah dengan cepat menjalar ke Karanglo. Pada Maret 1911, hampir semua distrik di Malang dilaporkan terjangkit pes. Penyakit ini kemudian menjalar ke barat, yakni Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Madiun. Surabaya sebagai tempat transit pertama karung-karung pembawa pes pun tak lepas dari penyakit ini. Pada April 1911, pemerintah mengeluarkan penetapan status epidemi pes. Bersamaan dengan itu, pengiriman beras dari luar Hindia-Belanda turun drastis. Pada akhir 1911, dilaporkan dua ribu orang meninggal akibat pes. Melalui pelabuhan Tanjung Mas, pes masuk Semarang pada 1916. Dalam skripsi berjudul “Wabah Pes Di Kota Semarang”, Andhika Satria menulis tikus-tikus berkutu itu turun di pelabuhan dari kapal dagang asal Surabaya yang singgah. Penyakit pes menyerang perkampungan penduduk yang kotor dan lembab tak lama kemudian. Antara Oktober 1916 sampai Desember 1917, belasan desa terserang pes. Ratusan orang tewas di Semarang. Untuk menanggulanginya, Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD, Dinas Kesehatan Publik) mendatangkan dokter dari Eropa, merekrut mantri, dan memberikan vaksin. Dua jenis vaksin dipakai untuk memberantas pes, yakni 54.017 vaksin Jerman dan 11.703 vaksin Haffkine dari Inggris. Dalam tujuh bulan, sebanyak 65.720 orang diberi vaksin dengan mengerahkan dokter (di kota) dan mantri yang blusukan ke kampung-kampung. BGD lalu mengeluarkan aturan: bila salah satu anggota keluarga terbukti kena pes, seluruh keluarga harus dievakuasi dan tinggal di barak isolasi selama 15 hari. Pasien dan keluarganya kemudian diobservasi untuk penyembuhan dan pencegahan pes agar tak makin meluas. Tapi dalam praktiknya, jika ada seorang warga terkena pes, bukan hanya sekeluarga yang dievakuasi tapi seluruh desa. Mereka baru boleh meninggalkan barak isolasi setelah 30 hari. Akibatnya, banyak warga menolak dievakuasi lantaran takut barang-barang di rumah mereka hilang atau lebih parah, rumah mereka dibakar karena dianggap sarang tikus. Di Malang, tempat pertama pes mewabah, penduduknya dipaksa membakar rumah yang terindikasi sarang tikus. Mereka juga harus membongkar rumah bambu mereka lantas membangun ulang dengan kayu atau bata tanpa kompensasi yang sesuai dari pemerintah kolonial. “Padahal logikanya penduduk yang rumahnya berbahan dasar bambu mayoritas adalah penduduk pribumi yang tidak memiliki banyak uang,” tulis Martina. Pemerintah memang memberikan perkakas secara gratis, namun beberapa material rumah harus dibeli dengan kocek sendiri. Parahnya, penjualan kayu dan bahan material lain dimonopoli hingga harganya selangit.
- Hikayat Wayang Orang di Priangan
BERAWALl dari dakwah yang dilakukan Sunan Gunung Djati dan Sunan Kalijaga, pertunjukan wayang wong (wayang topeng) –drama-tari yang memakai manusia sebagai objek pertunjukannya– telah menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari kebudayaan masyarakat Cirebon. Penyebarannya pun terus dilakukan hingga dikenal oleh masyarakat Priangan. Rombongan wayang wong dari Cirebonlah yang berperan penting dalam penyebaran tersebut. Hingga kini pertunjukan wayang wong masih terus dilesatarikan, walau hanya ditampilkan dalam acara tertentu saja. Secara historis, penyebaran wayang wong dari wilayah Jawa Tengah terjadi ketika zaman Mataram Islam (1588-1755). Terdapat kondisi yang serupa di wilayah kekuasaan Mataram saat itu dengan Kesultanan Cirebon, yakni aktivitas penyebaran Islam. Menurut Soedarsono dalam Wayang Wong Drama Tari Ritual Keagamaan di Istana Yogyakarta , Sunan Kalijaga menjadi tokoh yang paling berperan dalam penyebarannya itu. “Sunan Kalijaga selalu dikaitkan dengan penciptaan topeng-topeng untuk pertunjukan wayang wong pertama pada permulaan abad ke-16”. Dalam upaya membantu Sunan Gunung Djati menyebarkan Islam di Cirebon, Sunan Kalijaga membuat berbagai tradisi yang disesuaikan dengan kegemaran masyarakat. Salah satunya adalah hiburan dalam bentuk drama pertunjukan. Penyebaran seni wayang ini semakin diperkuat oleh hubungan baik Cirebon dan Mataram. Pada 1636, Panembahan Ratu melakukan kunjungan ke Mataram untuk menemui Sultan Agung Anyakra Kusuma. Setelah pertemuan itu, pemerintah Cirebon mengirim seniman-senimannya untuk mempelajari ragam pertunjukan wayang di Mataram. Namun pada 1678, terjadi kekacauan di Cirebon. Kesultanan Cirebon terbelah menjadi tiga kerajaan kecil –Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Kacirebonan, dan Kesultanan Kanoman– akibat konflik internal yang terjadi di dalam istana. Situasi semakin tidak menentu saat pengaruh Belanda mulai merambah wilayah tersebut. “Tetapi tidak berarti bahwa pertumbuhan kesenian di wilayah Cirebon terhenti. Sampai akhir abad ke-19, Cirebon masih menjadi pusat pemeliharaan dan pengembangan seni tari yang baik.” tulis Soedarsono. Hingga abad ke-20, para sultan di Cirebon terus berusaha melindungi dan melestarikan berbagai kesenian tradisional di sana, termasuk wayang wong, dari pengaruh-pengaruh asing. Caranya, dengan menggelar pertunjukan-pertunjukan di tengah masyarakat. Jika sebelumnya pertunjukan wayang wong hanya dilakukan oleh abdi istana, demi menjaganya pemerintah dari masing-masing kerajaan mengeluarkan kebijakan menjadikan wayang wong sebagai kesenian rakyat. Akhirnya banyak desa yang memiliki kelompok pertunjukannya masing-masing. Terpisahnya Cirebon ke dalam tiga kerajaan membuat masing-masing pemerintahan memiliki kebijakan yang berbeda. Perbedaan itu juga ternyata mempengaruhi ragam pertunjukan yang diangkat oleh tiap-tiap kerajaan. Dalam Wayang Wong Priangan: Kajian mengenai Pertunjukan Dramatari Tradisional di Jawa Barat , Iyus Rusliana menjelaskan bahwa wayang wong di keraton Kanoman biasanya mengangkat cerita Madayin atau cerita Menak Amir. Para pemainnya tidak menggunakan topeng, dan mereka berbicara sendiri. Sementara dalang hanya berperan membawakan kakawen –nyanyian dalam pertunjukan wayang. “Para pelaku umumnya di kalangan seniman rakyat yang selanjutnya menjadi abdi dalem yang diberi garapan tanah. Ada juga di antara mereka yang diberi gelar Nata Parwa .” ungkap Iyus. Sementara itu, di istana Kacirebonan wayang wong dikenal sebagai “topeng dalang” karena sang dalang memainkan peran yang besar dalam jalannya pertunjukan. Setiap kali melakukan penampilan, gamelan slendro akan mengiringi musiknya. Cerita yang dipentaskan pun umumnya diangkat dari epos Mahabarata. Pemandangan berbeda tampak terlihat di Kraton Kasepuhan. Tidak seperti di Kanoman dan Kacirebonan, wayang wong di Kasepuhan dimainkan oleh kelompok rakyat. Secara berkala, mereka diundang untuk mengisi acara-acara penting kesultanan, seperti hari raya Islam, hajatan, dan ruwatan . Rombongan wayang pimpinan dalang Resmi menjadi pertunjukan yang paling terkenal pada masa Sultan Raja Atmaja (1880-1899). Sementara pada masa Sultan Raja Sepuh Aluda Tajul Arifin (1899-1942), kelompok Surma dan Gegesik selalu menjadi pilihan utama sang sultan saat mengadakan acara istana. “Kisah-kisah yang biasa diangkat dalam pertunjukan wayang wong di Kasepuhan, di antaranya Babad Alas Amer, Somantri Ngenger, Partakrama, Sampang Curiga, Brajamusti, dan Lakon Batara Kala.” kata Iyus. Awal abad ke-20, wayang wong Cirebon telah dipertunjukkan di kalangan masyarakat umum sampai ke wilayah Priangan. Kelompok pertama yang mengadakan pertunjukan di luar Cirebon adalah Ki Kempung dan Ngabehi Natawiguna. Keduanya telah cukup lama mendirikan kelompok wayang wong di Kasepuhan. Dalam tulisannya, Javaanse Volksvertoningen, Bijdrage tot de Beschrijving van Land en Volk , Thomas Pigeaud (ahli literatur Jawa dari Belanda) menyebut para pemain wayang wong dari Cirebon telah menjadi kelompok professional yang berkeliling di tanah Priangan pada awal tahun 1900. “Dalam pertunjukannya mereka mendirikan bangsal dari bambu dan memungut uang masuk dari penonton serta memenuhi perminataan orang yang mengundang dalam acara kriyahan. ” pungkas Pigeaud. Daerah Sumedang, Bandung, Garut, Sukabumi dan Sukapura (sekarang Tasikmalaya) menjadi tempat yang paling sering didatangi kelompok wayang wong dari Cirebon. Masyarakat menyambut baik mereka, dan sangat menyukai penampilannya. Penampilan dalang yang paling ditunggu berasal dari kelompok Wentar dan Koncer. Dalam melakukan pertunjukan, kelompok Wentar lebih banyak diundang oleh kaum Menak. Sedangkan kelompok Koncer lebih mengutamakan pertunjukan wayang wong di pelosok-pelosok karena lebih dekat dengan kalangan rakyat biasa. “Di Sukapura, pertunjukan wayang wong lebih banyak menggambarkan tokoh-tokoh dari wayang Purwa, seperti Arjuna, Darmawulan, Panji, dan sebagainya.” kata Pigeaud. Mulanya, pertunjukan wayang wong kelompok Cirebon ini berbahasa Cirebon. Tapi selanjutnya bercampur dengan bahasa Sunda setelah para menak Garut sering mengundang kelompok wayang itu dalam berbagai acara. Mereka menyesuaikan dengan daerah yang dituju agar para penonton dapat mengerti jalan cerita yang dibawakan. Karena seringnya penampilan wayang wong diadakan, banyak masyarakat yang kemudian mencoba mendirikan kelompok pertunjukan tersebut. Seperti yang terjadi di Garut dan Sukabumi. Masyarakat di sana mencoba peruntungannya dalam kesenian tersebut. Namun banyak yang tidak beruntung dan berakhir dengan kegagalan.
- Rekayasa Hoax Mengelabui Hitler
PAHLAWAN perang tak hanya mereka yang bertabur bintang di pundak dan lencana di dada. Bukan juga prajurit dengan senjata-senjata mematikan yang disandang. Dalam Perang Dunia II (PD II), Inggris juga pernah berutang jasa sebuah rekayasa hoax dan seonggok mayat gelandangan. Inggris melakoninya medio April 1943 kala hendak mengantarkan serdadu-serdadu Sekutu kembali ke daratan Eropa pasca-Sekutu “terusir” akibat musibah Dunkirk pada 1940. Setelah Jerman menguasai Eropa, perlahan Sekutu melawan balik. Tiga tahun kemudian giliran Jerman yang terusir dari front Afrika Utara dan dari situlah Inggris ingin mendarat lagi ke Eropa. Caranya, Inggris sedemikian rupa meracik hoax dan tipu daya lewat Operation Mincemeat alias Operasi Daging Cincang, bagian dari Operation Barclay. Gagasan awalnya berangkat dari Memo Trout garapan Lt. Commander (setara mayor) Ian Fleming, yang kelak sohor sebagai pencipta novel-novel intelijen James Bond. Ia Asisten Direktur NID atau Divisi Intelijen Angkatan Laut (AL) Inggris. Operasi Daging Cincang lantas digubah dan digulirkan di bawah Direktorat Intelijen Militer Seksi 5 atau tenar disebut MI5. Pelaksananya Komandan NID 17M, Lt. Commander Ewen Montagu didampingi Letnan (penerbang) Charles Cholmondeley dari Angkatan Udara (AU) Inggris. Operasi itu sukses besar dan menjadi salah satu operasi tipu daya intelijen paling mengagumkan di PD II. Kisahnya pernah diangkat ke layar perak pada 1956 bertajuk The Man Who Never Was . Sosok Ewen Montagu, tokoh sentralnya, diperankan aktor Clifton Webb, mendasarkan buku yang ditulis dari pengalaman pribadi Montagu dengan judul yang sama. Mengutip The Sun , 24 Juni 2019, kisahnya akan kembali diangkat ke layar lebar dan direncanakan tayang tahun depan (2020) dengan tajuk Operation Mincemeat . Tokoh utamanya, Ewen Montagu, bakal diperankan Colin Firth. Penggarapan Operation Mincemeat berada di pundak sineas James Madden dengan rumah produksi See-Saw Films, Cohen Media Group, dan Archery Pictures. Namun Madden tak menggarap Operation Mincemeat dari sumber yang sama dengan versi 1956, melainkan dari buku Ben Macintyre, Operation Mincemeat: The True Spy that Changed the Course of World War II , dicampur unsur-unsur melodrama fiksi. “Dalam konteks narasi Perang Dunia II, kisah Operation Mincemeat sangat unik – kisah aneh dan merupakan campuran spionase tingkat tinggi dan fiksi hebat dalam hal sinematik. Kisahnya berpusar pada kekayaan kisah humanis prajurit yang jarang kita lihat yang ikut berperang lewat tipu daya,” ujar Madden. Intrik Menipu Nazi Operation Mincemeat (Operasi Daging Cincang) merupakan penopang rencana Sekutu menginvasi Eropa melalu Pulau Sisilia dengan sandi Operation Husky. Untuk mengamankannya, Sekutu butuh pengalih perhatian kekuatan darat dan laut Jerman dan Italia agar tak terkonsentrasi di Sisilia. Sisilia dipilih karena, menurut TerryCrowdy dalam Deceiving Hitler: Double-Cross and Deception in World War II , daerah selatan dianggap Perdana Menteri Inggris Winston Churchill bak perut buaya yang lebih empuk untuk diserang, ketimbang menerobos lewat Prancis yang diibaratkan punggung buaya yang lebih keras. Opsinya adalah Sisilia di Italia atau Kreta di Yunani. Lewat Konferensi Kasablanka, medio Januari 1943, para pemimpin Sekutu menyepakati Sisilia jadi target operasi yang dijalankan di bulan Juli tahun yang sama. Dua opsir intel pelaksana Operation Mincemeat: Lt. Cdr. Ewen Edward Samuel Montagu (kanan) & Flt. Lt. Charles Cholmondeley Untuk itu, kekuatan Jerman dan Italia harus lebih dulu dialihkan perhatiannya ke area lain. Para spion Nazi harus bisa meyakinkan Adolf Hitler untuk memerintahkan para jenderalnya memusatkan ke wilayah lain – Yunani dan Balkan. Caranya dengan penyesatan informasi. Detailnya, Montagu dan Cholmondeley mencari seorang “tumbal” untuk diumpankan dengan cara “dilarung” ke perairan Spanyol, tempat banyak agen rahasia Nazi berada. Bukan rahasia bahwa meski Spanyol netral, penguasanya lebih condong memihak Poros ( Axis ). Keduanya lantas memanfaatkan sesosok mayat gelandangan yang meninggalnya diakibatkan gejala-gejala yang harus mirip dengan kematian akibat tenggelam. Berkat bantuan dokter koroner Bentley Purchase, ditemukanlah mayat gelandangan bernama Glyndwr Michael. Dalam catatan autopsinya, ia meninggal akibat keracunan zat fosfor gara-gara makan daging tikus yang terkena racun tikus. Akibatnya beberapa bagian wajahnya lebam. Kondisi organnya juga sudah mirip dengan orang yang mati tenggelam. Montagu sempat khawatir tipu daya itu bakal ketahuan. Namun dalam bukunya, The Man Who Never Was , Montagu lantas diyakinkan pakar forensik Sir Bernard Spilsbury bahwa untuk memastikan lebih dalam kematian Michael benar tenggelam atau bukan, dibutuhkan seorang pakar patologi dan di Spanyol tak ada pakar patologi yang mumpuni memeriksa sang mayat. Rencana itu pun dieksekusi. Mayat Michael diberi identitas Mayor William Martin, opsir marinir Inggris yang ditugaskan sebagai perantara di markas Operasi Gabungan Sekutu. Sang “mayor” tak hanya dibekali bawaan-bawaan pribadi namun juga dokumen-dokumen rahasia Sekutu agar terkesan ia staf penting Sekutu. Selain foto dan surat-surat dari pacarnya, Pam, Mayor Martin turut dibekali rokok, korek api, hingga sobekan tiket bioskop. Terpenting, Mayor Martin juga harus terlihat membawa dokumen rencana Sekutu yang akan menginvasi Eropa via Yunani dan Balkan. Untuk lebih meyakinkan agen-agen rahasia Jerman di Spanyol, Mayor Martin juga dibawakan surat dari Wakil Kepala Staf Jenderal Kerajaan Inggris Letjen Archibald Nye yang ditujukan untuk Komandan Grup ke-18 Sekutu di Aljazair dan Tunisia Jenderal Harold Alexander, dan ditambah pula surat rekomendasi Mayor Martin sebagai pakar taktik pendaratan amfibi dari Kepala Operasi Gabungan Laksamana Lord Louis Mountbatten. Identitas palsu Kapten (Acting Mayor) William Martin yang aslinya merupakan jenazah bernama Glyndwr Michael (Foto: Repro The Man Who Never Was) Pada dini hari 17 April 1943, mayat Mayor Martin dibawa kapal selam HMS Seraph untuk “dibuang” ke perairan Spanyol 13 hari kemudian. Mayatnya lantas ditemukan nelayan yang membawanya ke otoritas kota Huelva. Kabar bahwa mayatnya ditemukan di Spanyol baru sampai ke Inggris pada 3 Mei meski sang nelayan sudah menemukan jenazahnya di laut pada 30 April. Diungkapkan PK Ojong dalam Perang Eropa, Jilid II , kabar itu diterima London lewat telegram wakil konsul Inggris. Pun begitu mayat Mayor Martin baru dikembalikan ke pihak Inggris lewat konsulat di Huelva pada 15 Mei. Rencana mereka tampak berhasil. Beberapa detail pada surat-surat yang dibawa Mayor Martin jelas berubah dan itu tanda sudah diintip oleh agen-agen Nazi. “Bukti yang paling jelas setelah mayatnya dikembalikan Spanyol adalah ketika dokumen untuk Jenderal Alexander dari Jenderal Nye itu diambil fotonya dan diperbesar. Surat itu juga mulanya hanya punya satu lipatan tapi ternyata kemudian ada dua lipatan. Surat-surat lain juga terbukti telah dibaca dan diambil salinannya lalu dilipat kembali dengan lipatan yang berbeda,” tulis Ojong. Dokumen-dokumen Mayor Martin lantas dipercaya Hitler lewat laporan para agen Nazi. “Tugas” sang jenazah dengan misinya pun sukses. Hasilnya, Hitler memerintahkan sebagian besar pasukannya di Adriatik, Prancis, dan Balkan digeser ke pesisir Yunani, Pulau Sardinia, dan Korsika. Hoax itu berhasil, kecuali untuk Marsekal Albert Kesselring, perwira AU Jerman yang memegang komando militer di Italia. Meski banyak kekuatan Jerman dan Italia dialihkan ke Yunani, Kesselring mempertahankan dua divisi lapis baja di Sisilia. Operation Husky lantas dilancarkan Sekutu pada 10 Juli 1943. Kegigihan pasukan lapis baja Kesselring tetap gagal menghambat pendaratan Sekutu di Sisilia yang pada 17 Agustus 1943 berhasil merebut seluruh pulau.
- Hutan Selamatkan Majuli dari Kepunahan
JADAV Payeng Molai terhenyak ketika sedang berjalan menyusuri bukit-pantai dekat rumahnya. Ular-ular tergeletak mati. Banjir besar di musim panas 1979 yang baru melanda tempat tinggalnya, Pulau Majuli, ternyata tak hanya menyapu rumah penduduk berikut para penghuninya tapi juga hewan-hewan. Payeng, pria lokal berusia 16 tahun, termangu menangisi ular-ular itu. Sambil duduk di dekat tumpukan bangkai ular itu, otaknya terus berputar mencari tahu penyebab kematian ular-ular itu. Pulau Majuli tempat tinggal Payeng sebenarnya telah akrab dengan banjir. Eksistensi pulau sungai terbesar di India yang terletak di Provinsi Assam itu sendiri bermula dari banjir aliran Sungai Brahmaputra di utara dan Sungai Burhiding di selatan. Bukti keakraban penduduk Majuli dengan banjir adalah posisi Majuli sebagai pusat peradaban Assam pada abad ke-16. “Setelah kejatuhan Kerajaan Pragjyotisha-Kamarupa, di pertengahan abad ke-13, yang mencakup bagian barat Kerajaan Asam, kawasan tersebut menjadi saksi bertumbuhnya negeri-negeri yang dibentuk para pemimpin lokal. Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Ahom, yang kala itu dikenal dengan Asam Desh atau Asam Rajya, menjadi negeri tunggal terbesar yang menetapkan kekuasaannya atas seluruh wilayah. Ini dilakukan para penguasa Assam tidak hanya melalui kekuatan militer dan kecerdasan politik tetapu juga dengan cara produksi yang maju disertai dengan model hubungan (penguasaan) tanah yang baru,” tulis Jahnabi Gogoi dalam Agrarian System of Medieval Assam . Namun, perjalanan waktu mengubah banjir dari hal yang biasa menjadi hal yang mengerikan. “Majuli, salah satu pulau sungai terbesar di dunia, memiliki luas 35.300 hektar dan mengalami banjir musiman dan erosi garis pantai yang menyebabkan hilangnya 50 km2 daratan selama 1969-1994. Seringnya banjir besar mungkin disebabkan oleh gempa besar tahun 1897 dan 1950 yang mempengaruhi lembah Brahmaputra bagian atas, termasuk Majuli, dengan erosi pesisir yang parah pada kecepatan 5,63 km2 setelah periode 57 tahun dan reduksi selanjutnya mencapai 645 km2 pada 1995, dengan demikian mempertahankan tingkat erosi rata-rata 7,4 km2 per tahun,” tulis BP Bhaskar dan Utpal Baruah dalam “Development of Framwork for the Assessment of Riverine Floodplain Wetland Inventory in Majuli Island, Assam, India”, dimuat di Harnessing Wetlands for Sustainable Livelihood. Kelindan gempa besar dan banjir rutin Sungai Brahmaputra mengakibatkan banyak pohon tumbang dan erosi kian tinggi. Majuli pun berubah menjadi padang pasir yang panas. Ketika banjir besar melanda pada 1979, ia menyapu semua yang ada di pulau tersebut. Payeng pun mendapat jawaban dari penyebab kematian ular-ular yang ditemuinya. “Karena tidak ada pohon yang melindungi, ular-ular mati karena dehidrasi dan terpapar panas matahari yang membakar,” tulis James Howe dalam “A Personal Essay Inspired by James Howe’s and Mark Davis’ Planting Trees:, dimuat dalam Behind the Song . Gambaran neraka di tempat tinggalnya itu mendorong Payeng berbuat sesuatu. “Tumpukan hewan mati karena tidak dapat menemukan tempat berlindung di gundukan pasir membuatnya sadar bahwa tanpa pohon, manusia yang berada di dalam ekosistem berisiko mengalami nasib serupa,” tulis Gina Dimuro dalam artikelnya di allthatsinteresting . com , “Meet Jadav Payeng: The ‘Forest Man of India’ Who Created an Entire Forest Himself Over 40 Years”. Payeng lalu memulai tindakannya dengan melubangi tanah di bukit pasir tandus tak jauh dari rumahnya menggunakan tongkat. Sekira 20 bibit pohon bambu lalu dimasukkan ke dalam lubang-lubang itu dan ditimbun tanah kembali. “Payeng beralasan bahwa akar pohon akan mengikat tanah dan menyerap kelebihan air yang akan membantu mencegah banjir di masa depan dan menenggelamkan daratan,” sambung Gina. Cemoohan para tetua dan orang-orang sekitar tak menyurutkan apalagi menghentikan langkah Payeng. Setelah bambu, beberapa bibit pohon jenis lain juga ditanam Jadav. Saban hari, bibit-bibit pohon itu disirami, dipotongi daunnya, dan dirawat Payeng dengan tekun. Kerja keras Payeng akhirnya membuahkan hasil. Bibit-bibit yang ditanamnya tak hanya tumbuh tinggi dan berdaun rindang, tapi juga menstimulasi pohon-pohon lain untuk ikut tumbuh. Bukit pasir gersang yang dulu telah berganti menjadi hutan yang menjadi rumah bagi burung, kera, rusa, harimau benggala, dan gajah-gajah yang tiap tahun bermigrasi. Namun, dunia luar baru mengetahui Molai Sanctuary –nama hutan yang diambil dari nama belakang Payeng– setelah beberapa petugas Departemen Kehutanan tak sengaja masuk ke kawasan itu ketika mengejar kawanan gajah yang dianggap merusak pada 2008. Mereka kaget melihat ada hutan luas dan lebat di daerah yang tandus. Pada 2015, pemerintah India menganugerahinya Padma Shri, penghargaan sipil tertinggi di negeri itu. Kini, 40 tahun dari ketika pertamakali Payeng menanam bibit pohon-pohonnya, Molai Sanctuary telah menjadi ekosistem hutan yang menghidupi mahluk-mahluk di dalamnya. Kendati sudah tak muda lagi dan namanya kini sudah dikenal banyak orang, sehingga dijuluki “Forest Man of India”, Payeng tetap rutin merawat pohon-pohon di hutannya yang kini memiliki luas lebih dari 500 hektar. “Anda tanam satu atau dua pohon, mereka (alam, red .) pasti menabur benih. Dan begitu mereka (alam) menanamnya, burung-burung tahu bagaimana menabur mereka (bibit-bibit), sapi tahu, gajah tahu, bahkan Sungai Brahmaputra tahu,” kata Payeng, dikutip Gina.
- Keris yang Dikubur Bersama Pangeran Diponegoro
PANGERAN Diponegoro memiliki banyak senjata pusaka berupa keris dan tombak. Sebagian besar pusakanya diberikan kepada putra dan putrinya, kecuali satu keris yang menyertainya ke liang lahad. Diponegoro memberikan keris Kiai Bromo Kedali (cundrik) dan tombak Kiai Rondan kepada Pangeran Diponegoro II; keris Kiai Habit (Abijoyo?) dan tombak Kiai Gagasono kepada Raden Mas Joned; keris Kiai Blabar dan tombak Kiai Mundingwangi kepada Raden Mas Raib. Keris Kiai Wreso Gemilar dan tombak Kiai Tejo diberikan kepada Raden Ayu Mertonegoro; keris Kiai Hatim dan tombak kiai Simo kepada Raden Ayu Joyokusumo; tombak Kiai Dipoyono kepada Rade Ajeng Impun; dan tombak Kiai Bandung kepada Raden Ajeng Munteng. Sejarawan Peter Carey mendata pusaka tersebut dalam biografi Pangeran Diponegoro, Kuasa Ramalan bagian apendiks XI. Pusaka itu ada yang dirampas Belanda. Misalnya, keris Kiai Nogo Siluman diserahkan kepada Raja Belanda Willem I sebagai simbol kemenangan atas Diponegoro. Belanda merampas keris Kiai Reso Gemilar ketika menangkap Raden Ayu Mertonegoro dan ibunda Diponegoro, Raden Ayu Mangkorowati, di Desa Karangwuni, Kulon Progo. Dalam buku hariannya, Mayor Edouard Errembault de Dudzeele, mencatat, “…dengan gampang bisa saya ambil, sebab itu adalah senjata: suatu keris yang sangat bagus dengan sarung emas, yang dipakai putri belia itu, istri Ali Basah Mertonegoro…” Tombak Kiai Rondan juga dirampas tapi kemudian dikembalikan kepada pemerintah Indonesia dan tersimpan di Museum Nasional. Selain pusaka itu, Carey mencatat, berdasarkan babad Keraton Yogyakarta, Diponegoro juga memiliki sebilah keris pusaka keraton, Kiai Wiso Bintulu. Namun, Ratu Ageng, ibu Hamengkubuwono IV, memintanya kira-kira Maret 1820 karena ada ramalan yang mengatakan barang siapa memiliki keris itu akan memerintah di Yogyakarta. Babad Diponegoro juga memuat keterangan tentang keris yang digunakan Diponegoro dalam pertempuran di Tegalrejo pada 20 Juli 1825. Keris itu memiliki bilah penusuk lurus karena disebut sebagai pedang ( pedhang ). Keris yang dibawa Diponegoro bahkan menemaninya ke liang lahad adalah Kiai Ageng Bondoyudo. Carey mengartikan Kiai Ageng Bondoyudo sebagai Paduka Tempur Tanpa Senjata. Namun, dalam alam mistis Jawa, Kiai Bondoyudo adalah penguasa semua roh di Cilacap yang putrinya menikah dengan roh lelaki dari keraton Ratu Kidul. Diponegoro membawa keris itu ke pengasingan di Manado kemudian Makassar. Justus Heinrich Knoerle (1796-1833), perwira Jerman kelahiran Luxemburg yang menemaninya ke pengasingan mencatat dalam jurnalnya: “Sore ini (27-5-1830) pukul enam Diponegoro menyerahkan kepada saya sebilah keris yang indah dan mahal sambil mengatakan: ‘Lihat inilah pusaka ayah saya, yang sekarang menjadi sahabat Allah, keris ini telah menjadi pusaka selama bertahun-tahun. Ketika ayah saya, Sultan Raja (Hamengkubuwono III) bermaksud menyerahkannya (sebagai) tanda ketaatan kepada Marsekal (Daendels), dia memberikan keris yang sama kepadanya. Marsekal mengembalikan keris itu karena dia tahu keris itu adalah pusaka keramat dan bahwa ayah saya adalah sahabat sejati Belanda.” Menurut Carey meskipun Diponegoro menyebut keris itu pusaka keraton, namun berdasarkan babadnya, Kiai Bondoyudo dibuat dengan melebur tiga pusaka lain: keris Kiai Sarutomo, keris Kiai Abijoyo, dan tombak Kiai Barutobo. Keris Kiai Sarutomo diberikan kepadanya ketika berziarah ke pantai selatan kira-kira musim kemarau tahun 1805. Menurut K.H. Muhammad Sholikhin dalam Kanjeng Ratu Kidul dalam Perspektif Islam Jawa , Diponegoro memperoleh keris kecil itu (cundrik) dari Ratu Kidul ketika khalwat di Cepuri Parangkusumo. Ratu Kidul mengingatkan agar Diponegoro jangan mau mendapat jabatan apapun yang diberikan Belanda. “Setelah suara itu hilang, jatuhlah sinar dari langit ke depan Pangeran Diponegoro. Ternyata sinar putih itu membawa senjata cundrik. Pusaka itu diberi nama Sarotama (Sarutomo). Dengan cundrik inilah, semangat Pangeran Diponegoro semakin membara,” tulis Sholikhin. Keris Kiai Abijoyo adalah warisan dari ayah Diponegoro tatkala dia diangkat sebagai Raden Ontowiryo pada September 1805. Sedangkan tombak Kiai Barutobo dibawa oleh Ngusman Ali Basah, panglima resimen pengawal pribadinya, Bulkio. “Keris ini (Kiai Bondoyudo) dibuatnya dari pusaka lain pada tahun kedua Perang Jawa dan lebih sebagai jimat daripada senjata tempur,” tulis Carey. Keris Kiai Bondoyudo dikubur bersama Diponegoro pada 8 Januari 1855 di Makassar.
- Perempuan Terpelajar Masa Jawa Kuno
Banyak tokoh utama perempuan dalam sastra Jawa dikisahkan gemar mempelajari ilmu sastra. Seperti Kakawin Krsnayana karya Mpu Triguna menyebut Rukmini,kekasih Kresna, terbiasa membaca lontar seusai berhias dan berbedak. “Dia tidak dapat dipisahkan dari lontar yang tersebar dan terawat untuk dibaca dan dipelajari dengan tekun. Tidak berhenti dia mempelajari ilmu-ilmu sastra, benar-benar mirip dengan orang bijaksana. Kakawin yang dipelajarinya secara sempurna konon dijadikan kutipan olehnya,” tulis Mpu Triguna. Perempuan juga mempelajari agama seperti dicatat dalam Ramayana. Disebutkan Rama tengah memikirkan keberadaan Sita. Dia bertanya apakah Sita sedang memetik bunga atau sedang mendengarkan pelajaran tentang dharmasastra yang diberikan oleh pertapa perempuan. “Adikku putri Janaka di manakah engkau, katakanlah! Jawablah aku yang merana, memanggil-manggil, memohon, dan meratap, apakah asyik memetik bunga sehingga engkau tidak datang atau ikut belajar dan mendengarkan tentang dharmasastra, ” seru Rama dalam Ramayana. Dalam kisah itu juga Sita diceritakan selalu mengingat kanda dan parwwa selama di pengasingan di Langka. “Lihatlah bukankah dia terus menerus mengingat cerita dan mulut ke mulut, bukankah cerita yang didengarkan olehmu adalah cerita yang termahsyur dari kanda dan parwwa ,” catat kisah itu. Arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti, dalam Perempuan Jawa, mengungkap pendidikan bagi perempuan pada masa itu sangat erat kaitannya dengan jodoh mereka. Biasanya perkawinan terjadi pada orang-orang yang dianggap punya derajat sama. Artinya, seorang bangsawan harus menikah dengan sesama bangsawan. Demikian pula jelata harus menikah dengan yang sederajat. “Perkawinan antarkasta adalah hal yang ditabukan dalam masyarakat,” kata Titi. Dalam beberapa kasus, terkadang perempuan harus membantu pekerjaan suaminya. Misalnya dalam Prasasti Wukajana dari 830 Saka (908) disebut Rakai Wungkaltihang mempunyai empat orang istri yang membantu dalam upacara keagamaan. Lalu seperti halnya rakai yang dijabat laki-laki, para rakai perempuan pun melakukan kegiatan yang sama. Di antaranya meresmikan daerah yang ada di bawah kekuasaannya menjadi sima. Keterangan ini disebutkan dalam Prasasti Kinawe (928 M). Disebutkan Rakai Gunungan Dyah Muatan, ibu dari Dyah Bingah meresmikan Desa Kinawe menadi sima. Itu dilakukan Dyah Muatan sehubungan dengan kedudukan dia sebagai seorang rakai. Menurut Titi, di samping sebagai penguasa di wilayah Gunungan, dia masih mempunyai peran lain yang harus dilakukan sesuai kedudukannya sebagai istri dari suaminya yang kemungkinan besar penguasa juga. “Itu artinya dia masih mempunyai peranan tertentu sehubungan dengan peninggalan suaminya terdahulu,” jelas Titi. Pun dengan kedudukan sebagai istri seorang penguasa, mereka dapat meresmikan suatu daerah menjadi sima. Ini sebagaimana yang ditulis dalam Prasasti Abhayananda 748 saka (826 M) yang menyebutkan istri Rakai Bawang meresmikan sima untuk kepentingan bangunan suci di Abhayananda. Betapa pentingnya pendidikan, baik bagi laki-laki maupun perempuan terutama di kalangan bangsawan, secara tersirat terdapat antara lain dari Kakawin Krsnayana. Dalam kakawin itu dikisahkan para putri belajar etika, menyanyi, dan juga bahasa Sansekreta di antahpuri atau keputren. “Kemudian ada seorang dayang yang ditunjuk sebagai ketua di tempat para gundik. Dia selau memberi pelajaran bernyanyi, cara berbicara, dan bahasa Sanskerta,” catat kakawin itu. Dalam hal sastra, penulis laki-laki memang banyak berperan dalam pembuatn teks sastra, baik berupa kakawin, kidung, maupun porsa. Ini terjadi mulai dari masa Mataram Kuno sampai pada masa Majapahit. Kendati begitu, bukan berarti perempuan tak belajar menulis kakawin. Dalam beberapa teks sastra disebutkan bagaimana perempuan membuat kakawin. Biasanya mereka menulis di daun pudak. Dalam teks Sutasoma misalnya. Seorang raja cemburu karena menyangka permaisurinya menulis kakawin untuk kekasih gelapnya. “Ketika sang raja mendengar istrinya menulis kakawin, sedih dan hatinya menjadi curiga, karena dia tak ingat mengirim istrinya kakawin dalam pudak,” tulis Mpu Tantular.
- Penyambung Lidah Sukarno dari UI
DI KALANGAN mahasiswa angkatan 1980-an, mempelajari pemikiran Bung Karno merupakan perbuatan tabu. Setidaknya hal itulah yang dialami Hilmar Farid yang kini menjabat Dirjen Kebudayaan. Pria yang akrab disapa Fay ini masuk Universitas Indonesia (UI) pada 1987 dan memilih jurusan Ilmu Sejarah. “Itu pada puncak-puncaknya kekuasaan Orde Baru yang tentu kita tahu dilakukan Desukarnoisasi secara TSM (terstruktur, sistematis, dan masif),” kata Hilmar saat membuka seminar mengenang Peter Kasenda bertajuk “Bung Karno Sebagai Pewaris Zamannya” di Galeri Museum, Menteng, Jakarta Pusat, 27 Juni 2019. Pun ketika di bangku SMA, lanjut Hilmar, dia tidak pernah mendengar soal ide kebangsaan Sukarno dan Marhanisme diajarkan. Apalagi mendengar soal gagasan Trisakti – yang dikemukakan Sukarno pada 1964 - dijadikan sebagai suatu landasan pembangunan. Di Kampus Kuning, Hilmar dan kawan seangkatannya mendalami pemikiran Sukarno justru dari seorang senior bernama Peter Kasenda melalui karya-karyanya. Hilmar dan Peter terpaut tujuh angkatan. Peter Kasenda alumni sejarah UI angkatan 1980. Dia menulis skripsi tentang pemikiran Sukarno muda periode 1926—1933 bertajuk “Machtsvorming dan Machttsaanwending: Studi awal terhadap tulisan-tulisan Soekarno tahun 1926–1933”. Pada 2010, skripsi ini dibukukan oleh Penerbit Komunitas Bambu dengan judul Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926–1933 . Namanya di kemudian hari di kenal sebagai sejarawan Sukarnois dan juga peneliti yang produktif. Peter Kasenda meninggal pada 10 September 2018 lalu. Karya-karya Peter menjadi rujukan bagi siapa saja yang hendak menggumuli pemikiran Bapak Proklamator itu. “Waktu mahasiswa, kita dapat makalah kuliahnya (Peter) yang dipresentasikan itu sudah hebatnya bukan main. Itulah cara kita untuk belajar dan berpikir tentang sejarah secara lebih berani dan mulai mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berbeda dengan guru-guru kita,” ujar Hilmar. Bagi Hilmar, sosok Peter bukan hanya sebagai guru tapi juga teman yang sangat akrab. Peter tidak segan ikut berkegiatan bersama para juniornya. Hilmar masih ingat bahwa Peter adalah pribadi yang rendah hati. Ketika itu, angkatan Hilmar mengadakan pameran buku-buku bekas dari pedagang Pasar Senen dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang dibawa ke kampus untuk gelar dagangannya di Fakultas Sastra. “Itu yang namanya Peter, dia senior waktu itu, sudah skripsi tapi skripsinya lama, termasuk mahasiswa abadi di kampus,” kenang Hilmar sembari berkelakar. “Dia sudah sangat senior tapi bersedia angkat-angkat kardus dan segala macam. Peter orang yang sangat humble yang membagi pengetahuannya kepada kita hingga sekarang ini.” Sejarawan Taufik Abdullah yang juga ketua Akademi Jakarta juga menuturkan kisahnya. Taufik adalah salah satu penguji skripsi Peter Kasenda pada 1987. Dengan kritisnya, Taufik mengatakan bahwa dirinya seperti orang yang buta huruf sewaktu membaca skripsi Peter. Taufik menyarankan agar si mahasiswa yang sedang disidang itu memperbaiki gaya bahasanya supaya bisa dipahami oleh orang yang membaca. Bertahun-tahun berselang, Taufik baru menyadari seperti apa kualitas calon sarjana yang pernah dia uji tersebut. “Kini tanpa gembar-gembor telah tampil sebagai ilmuwan muda yang kreatif dan bahkan juga teramat produktif. Ia adalah Peter Kasenda,” kata Taufik Abdullah. Menurut Taufik, saat ini belum ada sejarawan Indonesia yang secara kuantitatif menyamai jumlah karya yang dihasilkan Peter Kasenda. Indikator kuantitatif digunakan Taufik Abdullah sebagai ukuran yang paling objektif. Taufik sendiri memiliki tujuh karya Peter Kasenda yang tersimpan dalam perpustakaan pribadinya. Buku-buku karya Peter itu antara lain: Bung Karno Panglima Revolusi (terbit 2014), Hari-hari Terakhir Sukarno (2012), Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933 (2010), Soekarno di bawah Bendera Jepang 1942-1945 (2015), Zulkifli Lubis : Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD (2012), Hari-hari Terakhir Orde Baru: Menelusuri Akar Kekerasan Mei, 1998 (2015), Sarwo Edhie dan Tragedi 1965 (2015), Cendekiawan dalam Arus Sejarah (2018). “Tetapi satu hal yang tidak bisa dibantah, Peter Kasenda adalah ilmuwan dan sejarawan Indonesia yang terbanyak menghasilkan karya tentang Proklamator Kemerdekaan Bangsa; Presiden Pertama Republik Indonesia,” pungkas Taufik.
- Memori Media tentang Soeharto, G30S, dan Peristiwa 1965
Media mempunyai kekuatan untuk merekonstruksi, membentuk, atau mengubah persepsi dan penilaian orang terhadap sejarah. Era keterbukaan dan kebebasan informasi sejak 1998 mendorong media merekacipta narasi tentang suatu peristiwa sejarah dan tokohnya. Selain itu, perkembangan teknologi informasi turut berpengaruh terhadap penciptaan narasi lain.





















