Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Awal Mula Pengeras Suara di Masjid
PENGERAS suara di masjid jadi polemik lagi. Pemicunya Ganjar Pranowo, calon gubernur Jawa Tengah, baca puisi karya KH A. Mustofa Bisri (Gus Mus) ke khalayak. Sepotong larik puisi itu berbunyi, “Kau bilang Tuhan sangat dekat, namun kau sendiri memanggilnya dengan pengeras suara setiap saat.” Sebenarnya sejak kapan orang Indonesia menggunakan pengeras suara di masjid? “Saya bersekolah dasar di Jakarta pada 1968. Saya ingat Masjid al-Muhajirin dan al-Anshar, Tanah Abang, Jakarta Pusat, sudah menggunakan pengeras suara,” kata Ahmad Mathar Kamal, penulis buku Catetan Si Cheppy Aktipis Betawi, kelahiran Tanah Abang pada 1958. Ahmad Mathar juga beroleh informasi dari kawannya yang lebih tua bahwa penggunaan pengeras suara untuk azan di Jakarta sudah berlangsung antara 1960-1964. “Di daerah Pasar Minggu, Masjid al-Makmur, masjid besar di sana, sudah pakai pengeras suara untuk azan,” lanjut Mathar. Tapi tak semua masjid di Jakarta sudah menggunakan pengeras suara ketika itu. Beda masjid, beda pula waktu penggunaan pengeras suaranya. Masjid besar semisal al-Azhar, Jakarta, baru menggunakan pengeras suara pada 1970-an. Padahal masjid itu selesai dibangun pada 1958. Demikian laporan Panji Masyarakat 1978 ketika memperingati 20 Tahun Masjid Agung al-Azhar. Sebuah masjid di Kebon Jeruk, Jakarta, justru mengharamkan penggunaan pengeras suara pada 1970-an. “Karena tidak ada pada zaman Nabi,” kata A.M. Fatwa, koordinator Dakwah Islam Jakarta, kepada Kompas, 12 Januari 1977. Orang-orang Indonesia menyebut pengeras suara sebagai TOA. Ini sebenarnya merek dagang dari perusahaan alat elektronik asal Jepang, TOA. Berdiri pada 1934, TOA masuk ke Indonesia pada 1960-an. Lalu menjadi alat pengeras suara paling sohor di desa dan kota. Mengalahkan merek lainnya yang lebih dulu muncul. G.F. Pijper, seorang Belanda pengkaji Islam di Indonesia, sebenarnya telah menyaksikan kehadiran pengeras suara di masjid Indonesia jauh sebelum 1960-an. “Pengeras suara dikenal luas untuk menyuarakan azan di Indonesia sejak tahun 1930-an. Masjid Agung Surakarta adalah masjid pertama yang dilengkapi pengeras suara,” tulis Kees van Dijk, “Perubahan Kontur Masjid,” termuat dalam Masa Lalu Dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia . Van Dijk mengutip Studien over de geschiedenis van de Islam karya Pijper. Van Dijk tak menyebut soal merek pengeras suara pada masa kolonial itu. Tapi dia memuat keterangan tentang ketidaksukaan orang Barat terhadap suara azan dari alat tersebut. Padahal, orang Baratlah yang memperkenalkan pengeras suara ke orang-orang tempatan di Hindia Belanda, bersamaan dengan masuknya jaringan listrik ke Hindia Belanda. Memasuki zaman merdeka, ketika pengeras suara menyemarak di masjid-masjid, anak negeri mulai berdebat sekitar penggunaan pengeras suara. Debat itu muncul pada 1970-an. “Bagaimana kalau ada orang yang sakit di sekitar masjid dan meninggal karena suara azan yang terlalu keras, misalnya,” protes seorang warga Jakarta, termuat di Ekspres , 22 Agustus 1970. Warga lain mengaku tidak keberatan dengan azan melalui pengeras suara. “Sekalipun saya orang Budhis, saya bisa merasakan hikmah yang agung itu dan saya senang,” kata Oka Diputhera, pegawai di Departemen Agama kepada Ekspres . Oka hanya protes pada tingkat kebisingan pengeras suara dari masjid untuk kegiatan di luar azan. Sebab, pengurus masjid seringkali menggunakan pengeras suara di luar azan. Seperti untuk doa, zikir, dan pembacaan Al-Qur'an yang kelewat malam atau jauh sebelum subuh.
- Benarkah Babad Tanah Jawi Fiksi?
PERNYATAAN pengamat politik, Rocky Gerung dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) tadi malam, Selasa (10/4) memancing tanggapan publik. Dia menyebut kitab suci dan Babad Tanah Jawi adalah fiksi. “Kitab suci fiksi atau bukan? Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi, kitab suci adalah fiksi. Karena belum jadi, belum selesai. Babad Tanah Jawi itu fiksi,” kata dosen filsafat UI itu. Terlepas dari apa yang Rocky konsepkan soal fiksi, sejarawan Dhanang Respati Puguh, mengatakan, sumber tradisional punya hak yang sama untuk digunakan sebagai sumber sejarah. Berdasarkan studi ahli sejarah Jawa, H.J. de Graaf, Babad Tanah Jawi punya kandungan fakta. Fakta sejarah dalam kitab itu ada pada bagian tengah cerita hingga akhir. Dari sisi historiografisnya, sumber tradisional bisa menjadi faktual. Asalkan konteks penulisan historiografinya, dalam hal ini Babad Tanah Jawi, dipahami . “Artinya, kita tidak hanya sibuk untuk mencari fakta di dalamnya, yang lebih penting adalah memahami konteks penulisan historiografi,” kata Dhanang yang saat ini menjabat ketua Departemen Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang. Selain fakta, Babad Tanah Jawi juga punya kebenaran simbolis. Kisah tentang hal yang tak masuk akal, misalnya terkait sosok raja atau orang suci yang secara simbolik tetap punya kebenaran. Maknanya, raja atau orang suci berbeda dari orang kebanyakan. Dia memiliki kelebihan dibandingkan dengan rakyat jelata. “Itu menurut saya salah satu contoh kebenaran simbolik,” lanjutnya. Adi Deswijaya, filolog Universitas Veteran Bangun Nusantara, Sukoharjo, mengatakan pengertian fiksi terkait Babad Tanah Jawi lebih kepada rekaan dalam hal jalan cerita hasil pemikiran si pengarang. Namun, di balik fiksinya pemikiran itu, proses penciptaan karya tetap berlatar belakang sejarah. Di sisi lain, unsur fiksi dalam babad juga berkaitan dengan mitos. Tak sulit menemukan unsur mitologi di dalam Babad Tanah Jawi . Salah satu contohnya, kisah Jaka Tingkir atau Hadiwijaya, raja Pajang pertama, yang dengan kekuatannya mampu mengalahkan 40 ekor buaya. Kendati demikian, di balik mitos, ada tujuan mengapa sang pengarang, yang adalah pujangga keraton, menuliskannya. Mitos dimunculkan untuk mengkultuskan seorang raja. Unsur mitos juga bisa ditemukan dari aspek kebahasaannya yang konotatif. “Maksud saya, area cerita awal berlatar belakang dewa-dewa yang hidup masa animisme dan dinamisme yang 99 persen hanyalah mitos bagi kita yang sudah berpegang teguh pada agama kita, sedangkan di bagian akhir, para raja sudah mempunyai ageman, agama,” jelas Adi. Awalnya, sebelum memasuki sejarah kerajaan, Babad Tanah Jawi membeberkan silsilah raja-raja lebih dulu. Disebutkan di dalamnya, silsilah raja hingga ke para dewa, juga silsilah raja-raja Surakarta hingga ke para nabi. “Sedangkan di akhir cerita sudah memasuki fakta sejarah kerajaan, meskipun jalan ceritanya dibumbui oleh mitos-mitos,” lanjut Adi. Soal siapa penulis Babad Tanah Jawi, menurut Adi sulit menebaknya. Secara eksplisit, namanya tak disebut dalam naskah. Namun, secara implisit dilihat dari isi dan urutan di dalam ceritanya, penulisnya adalah Yasadipura I, pujangga masa pemerintahan Pakubuwana III dan Pakubuwana IV. “Karena bait-bait terakhir di Babad Tanah Jawi berkelanjutan di Babad Giyanti yang memang jelas karya Yasadipura I. Babad Tanah Jawi menurut saya zaman Pakubuwana III,” kata Adi.
- Pramugari yang Menolak Cinta Sukarno
IRMA Ottenhoff Mamahit sangat gembira kala dia diterima sebagai pramugari pesawat kepresidenan pertama Indonesia, Dolok Martimbang, pada awal 1960. Untuk menjadi pramugari di pesawat VVIP Skadron 17 AURI itu tak mudah. Irma harus melewati serangkaian seleksi. Bila diterima, para calon awak pesawat akan bertemu dengan Presiden Sukarno. Suatu hari, setelah diterima sebagai pramugari, Irma menghadap Bung Karno. Dia memakai kain kebaya. Bung Karno melontarkan pujian. “Irma, kau cantik sekali. Selalu kau pakai kain kebaya, dan pakaian nasional itu membuat pribadimu tampak lebih cantik,” kata Bung Karno, ditirukan Irma, dalam wawancaranya kepada Kartini edisi 6-19 Agustus 1979. Bung Karno bahkan menyempatkan membungkuk dan membenahi wiru kain yang dipakai Irma. Lagi-lagi, Bung Karno melontarkan pujiannya. “Saya senang keindahan. Wanita harus selalu rapi, karena inilah yang mencuatkan kepribadian,” ujar Bung Karno. Kerap bertemu saat di udara, rupanya membuat Bung Karno jatuh cinta pada Irma. Bung Karno bahkan mengganti nama tengah Irma –Ottenhoff– yang dianggapnya kebarat-baratan menjadi Hidayana, akronim dari “taufik hidayah Tuhan”. Irma ternyata tak menaruh perasaan lebih kepada Bung Karno. Dia mengatakan, lelaki berusia sebaya ayahnya tak menarik hatinya. Irma juga menganggap, bila mencintai Bung Karno, dia akan menyakiti hati perempuan lain yang menjadi istri-istrinya. Bung Karno menghargai sikap Irma. Bung Karno Murka Namun tak lama Irma terpikat oleh seorang duda yang usianya terpaut jauh darinya. Masih menurut Kartini , lelaki tersebut berlawanan politik dengan Bung Karno. Sayangnya, Irma tak menyebut nama suaminya itu dan lawan politik seperti apa yang dimaksud. Mendengar hal ini, Sukarno murka. Irma diperintahkan menghadap ke Istana. “Irma, kau tolak cintaku, karena umurku. Kenapa kau kawin dengan dia yang seumur aku pula?” ujar Bung Karno. Tak lama setelah menikah, suami Irma ditahan selama enam bulan. Lagi-lagi, Irma tak menjelaskan pula perihal kasus apa suaminya ditahan. Irma menghadap Bung Karno. Meminta pertolongan. Bung Karno memaklumi hal ini. Dia mengizinkan Irma untuk menjumpai suaminya di penjara. Tapi Bung Karno memberikan syarat agar Irma mengawasi dan menjamin suaminya. Rumah tangga Irma tak bertahan lama. Mereka bercerai. Irma kemudian menikah kembali dengan seorang pegawai Hotel Indonesia. Pramugari Lain Selain Irma, Bung Karno pernah jatuh cinta pada pramugari Garuda Indonesia yang kemudian diminta bertugas di pesawat kepresidenan Dolok Martimbang, yakni Kartini Manoppo. Kata Irma, Kartini merupakan kawannya. Mereka pun sering terbang bersama. Irma tahu, antara Bung Karno dan Kartini ada sesuatu. Gelagat itu terlihat. Jika istri Bung Karno naik pesawat, Kartini tak pernah ikut terbang. Namun Irma tak tahu apakah Kartini menikah dengan Bung Karno atau tidak. Menurut Reni Nuryanti dalam bukunya Perempuan dalam Hidup Sukarno, Bung Karno melihat wajah Kartini melalui lukisan Basuki Abdullah yang dipamerkan pada 1959. Kartini merupakan model lukisan Basuki. Kartini pertama kali berkenalan dengan Bung Karno ketika penerbangan ke Surabaya. Kartini kemudian dinikahi Bung Karno.*
- Berguru Tenis Meja hingga ke Korea Utara
BAK monster atau penyakit, Korea Utara (Korut) ditakuti, dibenci, dan dijauhi banyak negara hingga kini. Pemimpin negeri bersenjata nuklir itu, Kim Jong-un, bahkan kerap dijadikan bahan olok-olok di dunia maya. Namun, kesan miring Korut tak berlaku bagi mantan srikandi tenis meja Rossy Syechabubakar. Dia menyimpan banyak kesan positif terhadap negeri berpenduduk 25 juta itu. Mulai dari suasana ibukota Pyongyang hingga masa ketika dia mengikuti latihan pelatnas di sana. Rossy menjadi bagian dari tim tenis meja putri Indonesia SEA Games 1987 sampai 1995. Dalam persiapan untuk dua event itu, tim Indonesia berlatih ke Korea Utara. “Memang waktu itu (1980 sampai 1990-an) yang mendunia tenis mejanya adalah Cina. Tapi pengurus (Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia/PTMSI) waktu itu, entah bagaimana, memanggil pelatih dari Korea Utara. Dia sebelumnya juga pencetak atlet-atlet juara dari Korea Utara,” kata Rossy kepada Historia . “Ya enak-enak enggak juga sih. Di sana itu gudangnya para pakar taktik dalam tenis meja.” Rossy ingat betul sosok pelatih Korut-nya, Kang Nung-ha. Orangnya keras dalam hal disiplin. “Galak juga orangnya. Wah , sudah bukan kena teguran aja saya sih . Tapi mungkin dia memang melihat potensi dari saya juga, makanya dilatihnya keras,” kenang Rossy. Rossy merasa potensi lebih pada dirinya menjadi alasan kenapa sang pelatih mengistimewakannya. “Misalnya kalau sparring melawan teman, kalau yang lain kan kalah (dihukum) lari, tapi kalau menang enggak. Tapi saya kalau sama dia (Kang Nung-ha), kalah-menang tetap disuruh lari,” ujar Rossy seraya tertawa kecil. Namun, di luar latihan, semua berjalan baik. Perihal bahasa, yang sama-sama terbatas dalam English , mereka atasi dengan saling pengertian. “Enggak pakai penerjemah. Dia bisa sedikit bahasa Inggris, begitu juga kita. Jadi pakai bahasa Inggris sendiri yang hanya bisa dipahami antara dia dan kita para pemain,” cetus Rossy lagi. Dari latihan itu pula Rossy jadi tahu kebiasaan masyarkaat Korut. “Gampangnya latihan dengan mereka. Kalau yang atlet putra, disogok dengan rokok produk luar. Kalau yang putri, diaksih permen. Ya soalnya kan selama ini mereka hanya bisa dapetin produk-produk lokal saja. Biar mereka semangat latihannya sama kita,” kata Rossy. Seingat Rossy, kendala yang dihadapi tim putri hanya soal sulitnya mencari hiburan pelepas penat di Pyongyang. “Pyongyang waktu itu keadaan kotanya bagus, bersih. Kalau Sabtu-Minggu enggak ada orang lokalnya yang boleh pakai kendaraan. Hanya orang pemerintah dan kedutaan saja. Untuk melepas jenuh pas akhir pekan, biasanya kita hanya bisa main ke KBRI saja, soalnya di Pyongyang enggak ada (hiburan) apa-apa,” kenang Rossy. Sementara, destinasi wisata alam di sana terbatas dan tidak boleh dikunjungi sembarang orang. Cerita yang didapat Rossy dari salahsatu koleganya di Korut mengatakan, para atlet Korut hanya bisa berwisata jika mendulang prestasi. Hal itu jauh berbeda dari para atlet Indonesia ketika sudah di tanah air. Hiburan untuk membunuh ada beragam. “Tenis meja itu makin didalami, makin rumit. Kalau sudah stuck tidak bisa melakukan apa yang dimau pelatih, sampai kita dimarah-marahin , ya muncul titik jenuh. Kalau sudah begitu, paling saya cari hiburan nonton bioskop. Senangnya film horor. Setelahnya paling kuliner-an. Paling senang sama spaghetti dan makanan-makanan Jepang,” tandasnya.
- Penerus Kartini
DENGAN kebaya merah jambu, kain jarik motif kawung warna putih, dan rambut disanggul, Sujatin memerankan Kartini dalam sebuah tableau (penampilan tanpa dialog) mewakili seksi Perempuan Jong Java. Penampilan itu dia lakukan tahun 1923 pada pawai Perayaan 25 tahun Ratu Wilhelmina di Yogyakarta. Untuk perayaan itu, dia mendapat pinjaman sebuah truk dari bupati Kulon Progo yang juga pamannya. Bak truk kemudian disulap menjadi kamar Kartini lengkap dengan meja-kursi kuno. Beberapa lukisan dipajang di sebuah dinding yang dicat putih. Tak disangka, tableau Kartini itu mendapat sambutan meriah. Sujatin mendapat hadiah utama berupa lampu meja bertudung ( schemerlamp ) dari Sultan Hamengkubuwono VIII. Sujatin muda dan tua. Foto: Sumbangsihku bagi Pertiwi Jilid I . Demi Perempuan Sujatin merupakan pengagum Kartini. Dia bertekad menyebarluaskan pemikiran Kartini dan memperbaiki nasib kaum perempuan. Sujatin merasakan sendiri betapa perempuan dianggap tak seberharga lelaki di masyarakat. Ketika dia lahir, ayahnya, yang sejak lama mendamba bayi lelaki, sempat kecewa karena kembali mendapat bayi perempuan. Ayahnya bahkan sempat ogah menggendong bayi Sujatin dan hanya mau menengoknya saja. Sujatin mendapatkan kisah itu dari kakaknya, begitu dewasa. Sejak itulah dia berusaha membuktikan bahwa perempuan mampu berbuat sesuatu, bisa berjasa, dan punya prestasi. “Aku ingin membela kaum perempuan yang tertindas, yang kelahirannya mengecewakan orangtua karena jenis kelaminnya,” kata Sujatin dalam biografi yang ditulis Hanna Rambe, . Beruntung, Sujatin mendapat didikan dari orangtua agar menjadi perempuan kuat dan mandiri. Ayahnya ingin dia bekerja dan punya tujuan hidup. Sang ayah tak hanya mendidiknya dengan nilai-nilai humanis dan antifeodal, tapi juga mendorongnya rajin membaca. Sujatin amat menggemari buku kumpulan surat Kartini , yang terjemahannya, , dia dapatkan saat remaja. “Tak ada buku bacaan lain, di antara sekian buku bacaan yang pernah kunikmati, yang lebih berpengaruh kepadaku selain yang satu ini. Bukan saja menamatkannya, bahkan membacanya berulangkali,” kata Sujatin. Sujatin, yang menyepakati cita-cita Kartini dan ingin melanjutkan serta menyebarluaskan pemikirannya, kemudian aktif di seksi Perempuan Jong Java ketika bersekolah di MULO (setingkat SMP). Seperti Kartini, sejak remaja dia aktif menuliskan buah pikiran tentang perempuan. Keaktifannya menulis membuatnya dipercaya menjadi penulis dan redaktur majalah Jong Java. Dia menggunakan nama pena Gerbera, diambil dari nama bunga gerbera yang sederhana namun tahan segala cuaca, dalam tulisan-tulisannya. Kesepemahanan dengan pemikiran Kartini tentang pentingnya pendidikan membuat Sujatin kemudian menjadi guru begitu tamat MULO. Dia mengajar di HIS (sekolah dasar) swasta pada 1926 karena merasa lebih dekat dengan bangsanya; dia ogah mengajar di sekolah pemerintah karena penjajah. Sujatin juga memperjuangkan hak-hak perempuan dengan mendirikan organisasi Poetri Indonesia pada 1928. Di tahun itu juga dia menginisiasi Kongres Perempuan Indoensia. “Aku sadar dan yakin hanya pendidikan yang dapat mengubah nasib perempuan. Pendidikan membuka mata kita, memberi pikiran jernih, dan kemampuan keluar dari kesulitan yang dihadapi. Makanya, aku giat belajar, membaca, dan mengurus perkumpulan kami,” kata Sujatin dalam memoarnya di . Sujatin terus melawan feodalisme dan perlakuan diskriminatif keraton terhadap perempuan, yang hanya didamba ketika masih diinginkan raja tapi bisa dijadikan hadiah begitu raja bosan. Dia juga tak pernah sepakat terhadap pembedaan perlakuan keraton kepada istri Padmi dan selir, antara perempuan ningrat dengan rakyat. “Saya bukan hanya membenci perlakuan semena-mena pada perempuan tapi juga pembedaan perlakuan terhadap sesama manusia,” kata Sujatin . Semangat perlawanan itu mendorong Sujatin menjadikan Perayaan 25 tahun Ratu Wilhelmina sebagai momen perlawanan. Dia mengusulkan untuk menampilkan Kartini, ikon anti-penindasan, dalam perayaan itu. Ketika ternyata memenangkan perayaan itu, Sujatin berpikir keras apakah mesti melakukan sembah atau tidak sebelum menerima hadiah dari sultan. Sujatin akhirnya menghadap sultan dan menerima hadiah di Gedung Societet Yogyakarta (kini Taman Budaya Yogyakarta), disaksikan residen, bupati, dan pembesar Belanda lain. Dia tak menyembah sultan. “Kalau menyembah sama saja aku mengakui feodalisme,” kata Sujatin.
- Gundala Main Film
SUTRADARA Joko Anwar dalam cuitannya di akun Twitter pribadinya mengumumkan niatnya menggarap film superhero Gundala. Penggarapan film Gundala adalah proyek yang tertunda. Rencana itu pernah menjadi bahan perbincangan pada 2014. Hanung Bramantyo, sutradara ternama, saat itu mengumumkan dirinya membesut film tersebut. Tapi film tersebut gagal diproduksi, karena tak ada kecocokan sang sutradara dengan Bumilangit Studios, yang kini memegang hak karakter komik Gundala. Gundala adalah karakter superhero yang diciptakan komikus Harya Suraminata atau lebih dikenal dengan nama Hasmi pada 1969. Jauh sebelum Hanung maupun Joko Anwar mengumumkan akan menyutradarai film ini, sebenarnya Gundala sudah difilmkan pada 1981. “Gundala di eranya satu-satunya superhero yang pernah difilmkan, kala itu bintangnya Teddy Purba,” kata Henry Ismono, kolektor dan pengamat komik yang menyusun buku biografi Hasmi, kepada Historia . Henry barangkali lupa ada karakter superhero lainnya yang pernah difilmkan, yakni Rama yang punya kekuatan ala Superman dan Darna yang mirip Wonder Women. Film Rama (1974) disutradarai Frans Totok Ars. Film ini dibintangi actor senior August Melasz. Sementara Darna Ajaib (1980) karya sutradara Lilik Sudjio. Lydia Kandou didapuk jadi pemeran Darna. Film Darna dibuat berdasarkan serial komik pahlawan super Darna karya komikus Armin Tanjung, yang terinspirasi tokoh serupa bernama sama ciptaan Mars Ravelo, komikus Filipina. Bahkan, jauh sebelum itu, komik superhero karya RA Kosasih, Sri Asih, pernah difilmkan pada 1954. Menurut JB Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-2007, Sri Asih, yang karakternya mirip Wonder Women, tapi memakai pakaian khas Jawa ini diperankan Mimi Mariani. Filmnya sendiri disutradarai Turino Djunaidy. Film dengan judul Gundala Putra Petir tersebut disutradarai Lilik Sudjio. Dalam film produksi Pusat Produksi Film Negara (PPFN) tersebut, Gundala bertarung dengan musuhnya, Gazul (WD Mochtar), seorang sindikat narkoba internasional. Kisahnya berawal saat Sancaka, profesor Saelan (Ami Prijono), dan koleganya Ir. Agus (August Melasz) hampir berhasil menciptakan serum antimorfin. Serum ini bisa memberikan harapan untuk menyelamatkan para pecandu narkoba. Namun hal ini diketahui Gazul yang khawatir penemuan itu menghancurkan bisnis narkobanya. Anak buahnya kemudian menculik Sancaka dan profesor Saelan. Sementara Agus berkhianat, dan menjadi kaki tangan Gazul, karena merasa iri pada prestasi Sancoko. Dia bahkan memaksa Sancaka dan profesor Saelan menciptakan heroin sintetis yang bisa memperbesar bisnis narkobanya. Sancaka tak memenuhi permintaan Gazul. Lantas, pacar Sancaka, Minarti (Anna Tairas), diculik. Sancaka berubah jadi Gundala dan bertarung melawan Gazul serta anak buahnya. Henry mengatakan, film Gundala pada 1981 itu berbeda dari versi komiknya. “Roh Yogya-nya tidak terlihat. Namun, untuk ukuran masa itu ya terbilang berhasil,” katanya. Memang tak ada kesan Yogyakarta dalam film Gundala versi 1981. Latar belakangnya sangat Jakarta. Belum lagi menilik adegan-adegannya yang terlihat janggal. Salah satu adegan, Gundala harus bersembunyi di tiang sebuah parkiran, untuk membuat salah seorang penculik anak jatuh dengan kakinya yang dilintangkan. Adegan dia bertarung dengan Gazul juga tampak lucu. Alih-alih membuat efek sangat cepat, malah terlihat ada dua orang Gundala yang mengelilingi Gazul. Henry belum bisa memprediksi film Gundala besutan Joko Anwar. Meski demikian, menurut Henry, bicara superhero, penonton akan membandingkannya dengan superhero DC Comics atau Marvel. “Kalau Joko Anwar mengacu ke sana, rasanya bakal susah di sisi teknologi,” kata Henry. Lanjut Henry, film tersebut bakal menarik bila Joko Anwar bisa menggarap superhero dengan kelokalannya, dan tak harus berpatokan pada produksi ala DC Comics dan Marvel. “Pendekatan baru ini yang menarik ditunggu.”
- Rasis Tak Kunjung Habis
KASUS rasisme menyeruak lagi. Tiga bulan jelang Piala Dunia 2018 di Rusia, fans Rusia kembali membuat aksi rasis tatkala tim tuan rumah menjamu Prancis di Krestovsky Stadium, St. Petersburg, 27 Maret 2018. Riuh sorakan suara monyet mereka keluarkan untuk menghina para pemain Prancis, terutama saat gelandang N’Golo Kante akan melakukan lemparan ke dalam. Perkara ini sekarang masih dalam tahap investigasi FIFA. Sebelumnya, aksi rasis menimpa bintang tanah air yang bermain di klub Polandia Lechia Gdansk, Egy Maulana Vikri. Saat Lechia bertandang ke Stadion Miejski milik Lech Poznan, 16 Maret 2018, fanz Poznan membentangkan spanduk berbunyi “ Lechia Gdansk Sial Pelac*r ” plus gambar wajah orang sipit berkulit coklat menggunakan headband hijau bertuliskan “Lechia”. Gambar wajah orang Asia itu jelas merujuk pada Egy, satu-satunya pemain Asia di pertandingan itu. Para pecinta bola tanah air langsung menyerang akun Twitter dan Instagram resmi Poznan dengan berbagai kecaman. Meski tak membenarkan rasisme, pengamat sepakbola Timo Scheunemann mengatakan sambutan rasis seperti yang diterima Egy merupakan satu risiko yang mesti diantisipasi khususnya bagi pemain Asia dan Afrika yang merumput di Eropa. “Saya pikir dengan Egy berani masuk ke Eropa Timur (Polandia), dia mestinya sudah siap mental,” kata Timo kepada Historia . Eropa merupakan tempat subur bagi rasisme dan anarkisme oleh fans klub-klub sepakbola. “Karena di Eropa masyarakatnya terdiri dari banyak bangsa yang berbeda-beda. Berakar dari konflik yang pernah terjadi, baik di Perang Dunia I, II, maupun perang-perang sebelumnya,” sambung pengamat yang mantan pelatih beberapa klub di Liga Indonesia itu. Lebih jauh Timo menambahkan, suburnya rasisme juga tak lepas dari budaya, kebiasaan, dan tingkat pendidikan masyarakat di masing-masing negara di Eropa. “Apalagi di Rusia sendiri ya, yang notabene Eropa Timur, tingkat pendidikan kebanyakan masyarakatnya masih di bawah negara-negara Eropa Barat.” Sasaran Empuk Meski bukan satu-satunya korban rasisme di lapangan hijau, pemain berkulit hitam merupakan sasaran paling empuk. “Rasisme sudah eksis sejak sepakbola mulai populer secara global di abad ke-19 dan awal abad ke-20. Sebuah ekspresi perilaku di negara-negara di mana diskriminasi etnis nampak kasat mata,” tulis Albrecht Sonntag dan David Ranc dalam Report on the Fight Against Discrimination and Racism in Football terbitan UNESCO 2015. Kasus-kasus awal terjadi di Inggris Raya, tanah kelahiran sepakbola modern. Antara lain menimpa Arthur Wharton, pesepakbola kulit hitam profesional pertama dunia, yang merupakan kiper klub Preston North End (1886-1888).“Dia digambarkan di publik sebagai pemain yang berbeda –seorang negro; si kulit gelap; berwajah kacang kenari. Seiring kesuksesannya di lapangan, konflik yang intens turut mengikuti dan menguasai image -nya sendiri, identitasnya (sebagai imigran),” ungkap Phil Vasili dalam biografi , The First Black Footballer: Arthur Wharton 1865-1930, An Absence of Memory. Selain karena warna kulit, Wharton acap jadi sasaran tembak publik Inggris, baik langsung maupun via media, karena sering berakrobatik dengan menangkap bola menggunakan kedua kakinya sementara dia bergelantungan. “Hakim-hakim yang mulia menyatakan jika Wharton tetap menjaga gawang (Preston) North End di Piala Inggris, sanksi akan diperpanjang dan saya sependapat. Apakah tengkorak si hitam ini terlalu tebal untuk menyadari bahwa posisinya di gawang bukan tempat untuk main-main, beberapa orang bilang itu keren – omong kosong,” tulis kolumnis di The Athletic Journal tahun 1887. Bukan hanya sorakan atau teror verbal yang dialami Wharton nyaris di setiap pertandingan. Dia juga pernah mengalami penganiayaan fisik. “Tercatat dalam satu pertandingan, dia dipukuli (fans tim lawan) dengan payung ketika dia meninggalkan lapangan,” sambung Vasili. Selain Wharton, korban lain rasisme di Inggris adalah penyerang Everton Dixie Dean. Dalam sebuah laga di tahun 1930-an, dia sampai memukul pelaku teror rasis di tribun karena tak bisa bisa menahan emosinya. Para petugas keamanan yang bersimpati, membiarkan karena merasa si pelaku pantas dibalas pukulan Dean. Kasus Wharton dan Dean hanya segelintir dari segunung kasus rasisme. “Penyakit” Eropa itu sudah menyebar ke Amerika dan Asia. FIFA baru serius menanganinya pada 1990-an dengan regulasi yang dikeluarkan awal 2000-an. Selain regulasi, FIFA menggandeng pihak lain seperti PBB menetapkan Hari Anti-Diskriminasi sejak 7 Juli 2002 dan mengkampanyekan “ Say No to Racism ”. UEFA setahun lebih dulu menanganinya. Bermitra dengan FARE (Football Against Racism in Europe), UEFA menghelat beraneka kampanye seperti “No to Racism” untuk menciptakan zero tolerance terhadap rasisme. Otoritas Sepakbola Inggris (FA) mengikuti dengan kampanye yang dibuat bareng LSM Kick It Out, “ Let’s Kick Racism Out of Football ”. Namun, rasisme masih terus bermunculan, termasuk di Indonesia. “Sering terjadi terhadap tim-tim dari Papua seperti Persipura, Perseman Manokwari. Terlebih kalau mereka main di (Pulau) Jawa,” kata Timo. Nyanyian rasis oleh Bonek (fans Persebaya) pada 2014 atau kasus yang menimpa Mbida Messi oleh The Jakmania (fans Persija) setahun sebelumnya hanyalah dua dari sederet kasus rasis yang ada. Kerjasama pemain, pelatih, dan manajemen klub amat diperlukan untuk mencegah terulangnya kasus serupa. Tapi yang lebih penting, tindakan PSSI. Dengan wewenang besarnya, PSSI mesti membasmi dan mencegah rasisme lewat berbagai regulasi. “Seperti di Jerman bagian Timur. Di divisi-divisi bawah banyak terjadi dan bahaya sekali. Tapi oleh federasinya kan disikat dengan hukuman-hukuman berat. Entah diambil poinnya atau hukuman lain. Bedanya dengan di sini (Indonesia) adalah keseriusan penanganannya. Di sana (Jerman), kalau sudah dijatuhi hukuman, sudah enggak bisa diganggu gugat,” tandas Timo.
- Presiden Suka Momotoran
Presiden Joko Widodo melakukan touring dengan motor Chopper ke Pelabuhan Ratu sejauh 30 km pada Sabtu, 8 April 2018. Dia ditemani Menhub Budi Karya Sumadi dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, serta komunitas motor. Touring ini untuk meninjau proyek irigasi dan tanggul penahan air di Kabupaten Sukabumi. Sebelum Jokowi, presiden yang suka touring adalah B.J. Habibie dengan motor gede (moge). Presiden ketiga itu ternyata mengoleksi moge. Dua koleksinya hasil pabrikan Softail Springer dan Badboy yang dibeli di Seattle, Amerika Serikat, dipajang di acara "Pameran Foto: 80 Tahun Habibie” di Museum Bank Mandiri, Jakarta Barat, 24 Juli 2016. Menurut keterangan pada moge yang dipajang itu, ketertarikan Habibie pada moge berhubungan dengan kesehatannya yang baru operasi jantung. Dokter menyarankan Habibie mengendarai moge agar bekas jahitan di dada kembali normal. Hal ini karena moge mempunyai getaran yang besar saat mesinnya menyala. Dalam pameran tersebut dipajang foto Habibie membonceng Presiden Soeharto karena tidak mau dibonceng siapa pun. “Itu sebenarnya menggarisbawahi kalau Pak Harto itu yakin . yang lain nggak mau dia. Karena ini interpretasi kepercayaan,” cerita Habibie dikutip detik.com . Saat menjabat Menteri Riset dan Teknologi, Habibie memang sering mengendarai moge untuk berkunjung ke kawasan industri di Jakarta. Setelah menjadi presiden, dia terus melakoni hobi mengendarai moge seperti diceritakan Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal TNI Subagyo HS. Dalam biografi Subagyo HS, Kasad dari Piyungan, Carmelia Sukmawati mencatat bahwa menurut Subagyo satu hal yang menonjol dari Habibie ketika menjabat presiden adalah hobinya pada moge. Tak jarang dia mengajak beberapa pejabat melakukan konvoi bersama untuk menikmati perjalanan mengendarai moge. “Kala itu, sejujurnya Subagyo merasa kegiatan bermotor gede seolah-olah foya-foya hanya untuk level atas. Padahal ekonomi Indonesia sedang terpuruk akibat krisis ekonomi. Tetapi sebagai pejabat tinggi militer, loyalitas harus tetap ditunjukkan,” tulis Carmelia. Kegalauan Subagyo disampaikan kepada Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono. Setengah bercanda, Juwono berkata, “Pak Bagyo nanti datang naik Honda bebek saja, jadi tetap loyal datang ke Kuningan (kediaman Presiden Habibie), tetapi tidak ikut konvoi.” Kendati demikian, Subagyo beberapa kali ikut konvoi, seperti ke Cilangkap atau Subang.
- Gundala, Ikon Superhero Indonesia
GUNDALA, ikon komik superhero Indonesia, akan difilmkan oleh sutradara Joko Anwar. Sinyal itu disampaikan Joko saat mengunggah sebuah poster di akun Twitter pribadinya pada 4 April 2018 dengan keterangan: “ New Journey . Film ketujuh saya. Mohon doa restu teman-teman. Gundala.” Gundala, yang mengenakan jubah dan topeng serba hitam, serta benda menyerupai sayap di masing-masing telinganya, bukanlah karakter baru dalam kebudayaan populer Indonesia. Tokoh ini diciptakan komikus Harya Suraminata atau lebih dikenal dengan nama Hasmi pada 1969. Karakter Gundala aslinya bernama Sancaka, seorang insinyur muda. Dia mendapat kekuatan super setelah disambar petir, kemudian diangkat menjadi anak Kaisar Cronz, raja petir. Dia diberi serupa ajimat berupa kalung leontin. Gundala tak bisa terbang. Namun, dia bisa berlari sangat cepat dan mengeluarkan petir dari tangannya. Gundala dan Komik Superhero Komik Gundala terbit pertama kali di bawah penerbit Kencana Agung, dengan judul Gundala Putera Petir. Di tengah-tengah kemunculan Gundala, komik superhero lain ala Indonesia dikreasi. Yang terkenal adalah Godam, superhero ciptaan komikus lainnya, Wid N.S. Meski sudah “hidup” selama 49 tahun, karakter Gundala masih tertancap di dalam ingatan para penggemar komik Indonesia. Menurut Henry Ismono, kolektor dan pengamat komik, Gundala adalah ikon superhero paling top di masanya. “Salah satu buktinya, ketika ada superhero baru karya komikus lainnya muncul, Gundala kerap disertakan,” kata Henry kepada Historia . Hal itu, menurut Henry, merupakan strategi penerbit untuk mendongkrak popularitas superhero baru yang muncul. “Dalam catatan saya, tokoh Gundala yang paling sering dipinjam komikus lain,” ujar Henry, yang menyusun buku biografi Hasmi. Henry mengatakan, Gundala mendominasi komik superhero lainnya karena Hasmi mampu membumikan superhero yang merupakan adaptasi superhero Amerika –mirip The Flash ciptaaan Gardner Fox dan Harry Lampert terbitan DC Comics pada 1940– menjadi khas lokal, dengan latar belakang Yogyakarta. Sedangkan komikus lainnya tak sanggup membuat kisah sekuat Hasmi. Sementara itu, menurut Goenawan Mohamad dalam artikelnya “Dari Dunia Superhero: Sebuah Laporan” di Prisma edisi Juni 1977, dibandingkan komik-komik serupa, Gundala mampu menghadirkan rasa humor. Goenawan memberikan contoh kisah Gundala Sampai Ajal. Dalam kisah itu, Gundala dirayu seorang putri dari planet Srabigonk, Ratu Kin Clink dari kerajaan Benggonk. Gundala tak mau. Ia mengaku sudah punya istri dan empat anak. Sri Ratu tahu, Gundala pacar saja belum punya. Maka ia tetap membujuk. “Lihatlah Gundala... kulitku lembut karena selalu memakai sabun cap Gunung Meletus”. Gundala menggerundel dalam hati, “Wah ngomongnya sudah seperti iklan sabun.” Liga Superhero Menariknya, Gundala sering muncul di dalam karya komikus lain, yang bergenre superhero. Goenawan menulis, Gundala pada suatu ketika tiba-tiba bersama Godam muncul membantu Laba-Laba Maut dalam suatu pertempuran. Karakter Laba-Laba Maut merupakan ciptaan komikus Djoni Andrean. Menurut Henry, pinjam-meminjam tokoh merupakan bagian silaturahmi para komikus. Karena telepon jarang, para komikus bersapa melalui komik. “Pak Hasmi pernah bilang, pada zamannya secara tidak langsung terbentuk liga superhero Indonesia. Ini tidak muncul di genre (komik) lain,” kata Henry. Terlebih lagi, di masa itu belum ada ketentuan mengenai hak cipta dan perjanjian antarkomikus. Dengan diikutsertakannya Gundala di komik-komik superhero lain, secara tak langsung malah memperkenalkan superheronya dan menjadi pengakuan supremasinya. Genre komik superhero di masa-masa awal kemunculan Gundala, menurut Goenawan, tengah menggantikan popularitas genre silat, macam Si Buta dari Gua Hantu ciptaan Ganes Th. Marcel Bonneff dalam bukunya Komik Indonesia (1998: 50) mencatat, pada April dan Juli 1971, genre silat memang masih mendominasi sebanyak 427 judul. Namun, genre fiksi ilmiah dan cerita fantastik (superhero) mulai merangkak, dengan 37 judul. Henry mengungkapkan, seri komik Gundala terbit sebanyak 23 judul. Terakhir, berjudul Surat dari Akhirat pada 1982. Satu judul lainnya, Nyaris, diterbitkan di suratkabar Jawa Pos. Rencananya, film Gundala besutan Joko Anwar akan tayang di bioskop pada 2019. Apakah film ini akan sesukses Pengabdi Setan yang juga merupakan hasil remake film dengan judul yang sama pada 1980? Petir eh waktu yang akan menjawabnya.
- Puisi Gus Mus Melawan Arus
SOAL puisi masih belum berhenti. Kali ini, Muhammad Agung Izzulhaq, pembawa acara dakwah di salah satu stasiun televisi swasta, dalam twitter -nya mengutip puisi K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) berjudul "Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana": Kau bilang Tuhan sangat dekat tapi kau memanggilnya dengan pengeras suara setiap saat . Dia menyebut puisi itu “murah nan tidak bermutu! Bukankah adzan panggilan untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Oh Tuhan, banyak sekali makhlukmu yang memilih dungu.” Warganet pun bereaksi keras. Mereka tak terima karena Agung menyebut “dungu” kepada orang yang menulis puisi itu: Gus Mus, ulama dan penyair yang sangat dihormati. Agung meminta maaf dan mengaku tak tahu kalau puisi itu karya Gus Mus. Dia mengaku cuitannya itu “semata-mata karena kasus ‘puisi konde’ yang saya sesalkan.” Puisi konde maksudnya puisi “Ibu Indonesia” yang dibacakan Sukmawati Sukarnoputri yang memicu reaksi keras sampai dilaporkan ke polisi disusul unjuk rasa, meskipun Sukmawati sudah meminta maaf. Menurut Abu Asma Anshari, dkk., puisi "Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana" dinilai paling mengesankan di antara karya-karya puisi Gus Mus yang ditulis tahun 1987. Karya puisi itu lugas, sangat telanjang, berbicara apa adanya sesuai realitas politik dan sosial dan bahkan keagamaan yang ada di Indonesia. Orang dapat memahami secara mudah, ke mana arah tujuan puisi Gus Mus dibidikkan. Di dalam puisi itu Gus Mus mengkritik banyak hal yang dilematis bagi masyarakat menghadapi tuntutan penguasa yang represif saat itu berikut carut marut kehidupan sosial di masyarakat yang saling ingin menang sendiri. Tidak yang penguasa, yang awam hingga rakyat, semua mempunyai perilaku yang mirip: feodalistik, suka memerintah, suka menekan dan seterusnya. “Warisan watak kolonial yang hingga sekarang sulit dihapus pada sebagian anak bangsa ini adalah sifat feodalis, karakter menjajah dan politik belah bambu antar anak bangsa untuk kepentingan pribadi atau kelompok,” tulis Abu Asma Anshari, dkk., dalam Ngetan-Ngulon Ketemu Gus Mus: Refleksi 61 Tahun K.H. A. Mustofa Bisri. Sementara itu, sahabat Gus Mus, D. Zawawi Imron, mengatakan bahwa dalam pemerintahan Orde Baru yang otoriter, Gus Mus banyak menyuarakan suara orang-orang yang terpuruk. Penderitaan umat atau rakyat telah menjadi jiwa puisi-puisinya. “Dan ini saya lihat tidak sekadar dalam puisi saja. Pada kenyataan sehari-hari, Gus Mus sangat akrab dengan orang kecil,” kata penyair terkemuka asal Madura itu dalam Gus Mus, Satu Rumah Seribu Pintu. Zawawi mengutip bait puisi "Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana" yang menyuarakan suara orang-orang tertindas: Engkau ini bagaimana/Atau aku harus bagaimana Katamu aku harus punya rumah/Aku punya rumah rumahku kau ratakan dengan tanah Engkau ini bagaimana/Atau aku harus bagaimana Katamu aku harus punya tanah/Aku punya tanah tanahku kau tanami rumah-rumah. “Sebuah pernyataan yang menyuarakan keprihatinan terhadap kaum pinggiran sehingga suara Gus Mus bersama Rendra, Emha (Ainun Najib), Arief Budiman, Romo Mangun, dan lain-lain benar-benar menyuarakan kegetiran rakyat kecil yang tidak berdaya. Untuk saat itu (Orde Baru, red. ) suara seperti itu akan dianggap melawan arus,” kata Zawawi yang kali pertama bertemu Gus Mus di acara “Mubaligh Baca Puisi” di Taman Ismail Marzuki pada 1987. Setelah itu, mereka bersahabat, saling belajar dan berguru. Lahir pada masa Orde Baru, puisi "Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana" kemudian menjadi bagian dari gerakan Reformasi yang melengserkan Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun. “Menjelang Reformasi,” tulis Abu Asma Anshari, “puisi itu banyak memberi inspirasi para mahasiswa di kota-kota besar, yang tertuang dalam tulisan pamflet-pamflet dan spanduk-spanduk rentang yang diusung mereka saat berdemonstrasi.”
- Malaysia Sengaja Curangi Indonesia di Tenis Meja
NADA suara Rossy Syechabubakar kian meninggi dan menggebu ketika menceritakan pengalaman bertanding final SEA Games 1989. Di pertandingan puncak tunggal putri melawan wakil tuan rumah Leong Mee Wan itu, Rossy terpaksa kehilangan emas. Yang menyesakkan, kekalahan Rossy terjadi bukan karena kalah tanding melawan wakil tuan rumah Leong Mee Wan. Rossy kalah karena dicurangi wasit yang juga asal Malaysia. Forehand drive pengembalian Rossy yang mengenai pinggir meja Wan dinyatakan out . Kecurangan terhadap Rossy bukan satu-satunya kecurangan yang dialami tim Indonesia. “Sebelumnya, tim beregu sudah dicurangi. Anton (Suseno, petenis meja putra) juga sudah dicurangi,” kata Rossy. “Final saya itu klimaksnya. Sudah dari awal dicurangi terus. Terakhir, saya main dan dicurangi lagi.” Manajer tim Indonesia langsung memprotes keputusan wasit. “Saya sudah enggak tahu bagaimana protes tim. Saya sudah terlalu emosi, sesenggukan di pelukan pelatih,” kenang atlet kelahiran Bandung, 28 Juni 1972 itu. Tuan rumah tetap berpendirian bola Rossy out . Hal itu membuat Ketua Umum Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PTMSI) Ali Said naik pitam. “Beliau tampil ke depan di tengah banyak penonton, dan menginstruksikan supaya tim Indonesia mundur. Karena kata beliau: ‘Kami tidak mau diinjak-injak oleh Malaysia. Saya akan pulang ke Indonesia’. Saya melihat beliau sampai meneteskan air mata,” ungkap eks-Sekjen PTMSI Johnny F. Waworuntu dalam Ali Said: Di Antara Sahabat. Keputusan Ali menuai kecaman dari Ketua Olympic Council of Malaysia Hamzah Abu Samah. Hamzah menganggap keputusan mundur Indonesia mencederai tujuan SEA Games, yang salahsatunya adalah spirit persahabatan antarnegara Asia Tenggara. Ali bergeming. Di hotel, dia mengumpulkan anggota tim. Saat itulah, kata Rossy, “Kita kedatangan salahsatu wasit dari Malaysia yang simpati sama kita. Dia bilang bahwa memang mereka (wasit-wasit Malaysia) diinstruksikan kalau Indonesia main harus dicurangi.” “Hanya dia saja yang minta maaf. Dia minta maaf secara pribadi ke kita. Dia simpatik dengan tim Indonesia sampai akhirnya dia mau cerita seperti itu,” tutup Rossy.
- Kecelakaan Seolah Bencana Alam
KECELAKAAN kendaraan bermotor di Jakarta terjadi tiap hari. Korlantas Polri mencatat 5.140 kecelakaan sepanjang 2017. Itu berarti rata-rata ada 14 kecelakaan saban hari. Faktor penyebabnya beragam. Bisa dari kondisi kendaraan, tersebab jalan tak rata, atau lantaran perilaku mengebut pengemudi. Tiap dekade punya penyebab utama berlainan. Tapi harapan orang selalu sama: jalan jadi tempat yang aman. Firman Lubis, seorang dokter yang mengalami masa remaja di Jakarta pada 1950-an, menyatakan kecelakaan masih jarang tersua di Jakarta. “Sebab utamanya karena jumlah kendaraan bermotor yang sedikit,” kata Firman dalam memoarnya, Jakarta 1950-an . Tapi jarang bukan berarti tidak ada. Harian Pikiran Rakjat, 6 November 1950, mencatat kecelakaan kendaraan bermotor di Jakarta terjadi 219 kali pada September dan 200 kali pada Oktober. Jumlah kecelakaan tersebut hanya yang diurus polisi lalu-lintas dan belum termasuk kecelakaan lalu-lintas militer yang diurus langsung oleh pihak CPM (Corps Polisi Militer) dan MP (Polisi Militer). Banyak kecelakaan terjadi saat jam-jam sibuk pagi dan sore hari; dan pada jalan utama Jakarta. Antara lain di Molenvliet (sekarang Jalan Hayam Wuruk), Glodok, Kramat, Matraman, dan Rijkswik (sekarang Jalan Veteran). Polisi menyebut kepadatan lalu-lintas jadi penyebab utama kecelakaan. “Karena sangat banyaknya kendaraan bermotor dewasa ini,” terang Pikiran Rakjat . Jumlah kendaraan di Jakarta setelah Perang Kemerdekaan (1945-1949) mencapai 20.000. Selama Perang Kemerdekaan, jumlah kendaraan berkisar 15.000. Ramainya kendaraan setelah Perang Kemerdekaan bikin pengendara kurang awas dan jalan mudah rusak. Apalagi personel polisi, rambu, dan petunjuk jalan sangat minim. Untuk mengurangi jumlah kecelakaan, polisi bekerjasama dengan Pemerintah Kotapradja Jakarta. Mereka memperbaiki jalan rusak, menyiagakan polisi di tiap persimpangan ramai, dan menambah rambu dan petunjuk lalu-lintas di kawasan rawan kecelakaan. “Hingga Oktober 1952 telah dibikin 1.044 buah tanda-tanda lalu-lintas baru di samping papan nama disana-sini,” tulis Kotapradja , Januari 1953. Seorang polisi lalu-lintas berpendapat awam bahwa upaya itu cukup mengurangi kecelakaan pada 1960-an. “Jarang sudah terjadi tabrakan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Angka-angkanya tipis. Ya tentu saja kadang-kadang ada juga yang selip, atau remnya blong. Tapi ini kan biasa, dimana-mana bisa terjadi,” kata polisi, dikutip Djaja , 27 Juni 1964. Pendapat polisi lalu-lintas itu gugur jika statistik kecelakaan pada 1960-an. Djaja, 20 Juni 1964, melaporkan kecelakaan terjadi 2.090 kali pada 1960, lalu naik 2.263 kali pada 1961, naik lagi jadi 2.550 pada 1962, tetapi turun pada angka 2.515 pada 1963. Jumlah kendaraan juga naik dari tahun ke tahun. Dari 76.707 kendaraan pada 1960 menjadi 110.658 kendaraan pada 1963. Pun begitu dengan jumlah korban tewas. Hampir selalu naik. Angka di atas sangat mengkhawatirkan. Kepolisian menyebutnya “seolah bencana alam”. Tiap hari jatuh korban tewas setelah kecelakaan. Dan penyebab utama kecelakaan maut terletak pada perilaku dan kondisi jiwa pengemudi. Anak kehilangan orangtua dan orangtua gagal melihat anaknya tumbuh besar. “Setelah seseorang duduk di belakang kemudi mobil atau sepeda motor, orang itu akan menjadi orang lain,” tulis Djaja . Mereka memacu kendaraannya tanpa peduli keselamatan diri dan orang lain. Pedal rem tak lagi diingat dan lupa bahwa jalan milik bersama. Mereka memotong lajur kendaraan lain seenaknya dan mengklakson orang sesukanya. “Jelas bahwa yang tidak beres pada orang ini adalah psikonya,” lanjut Djaja . Polisi berikhtiar secara beda kali ini. Mereka gelar hajat Pekan Keamanan Lalu-Lintas di Jakarta pada Juli 1964 untuk menggugah kesadaran pengendara agar mengutamakan keselamatan bersama di jalan. Penyelenggara hajat memajang poster berisi pesan keselamatan di jalan raya. Terpampang pula rongsokan mobil bekas kecelakaan. Tak ketinggalan lukisan dan harapan anak-anak pada pengendara di jalan. Mereka berharap suatu hari jalan raya bisa benar-benar jadi tempat yang aman buat semua orang. Maujudkah?





















