top of page

Sejarah Indonesia

Gundala Main Film

Gundala Main Film

Film Gundala berbeda dengan versi komiknya. Tak ada kesan Yogyakarta, latar belakangnya sangat Jakarta.

10 April 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Poster film Gundala besutan Joko Anwar yang dirilis di twitter pribadinya.

SUTRADARA Joko Anwar dalam cuitannya di akun Twitter pribadinya mengumumkan niatnya menggarap film superhero Gundala.


Penggarapan film Gundala adalah proyek yang tertunda. Rencana itu pernah menjadi bahan perbincangan pada 2014. Hanung Bramantyo, sutradara ternama, saat itu mengumumkan dirinya membesut film tersebut. Tapi film tersebut gagal diproduksi, karena tak ada kecocokan sang sutradara dengan Bumilangit Studios, yang kini memegang hak karakter komik Gundala.


Gundala adalah karakter superhero yang diciptakan komikus Harya Suraminata atau lebih dikenal dengan nama Hasmi pada 1969. Jauh sebelum Hanung maupun Joko Anwar mengumumkan akan menyutradarai film ini, sebenarnya Gundala sudah difilmkan pada 1981.


“Gundala di eranya satu-satunya superhero yang pernah difilmkan, kala itu bintangnya Teddy Purba,” kata Henry Ismono, kolektor dan pengamat komik yang menyusun buku biografi Hasmi, kepada Historia.


Henry barangkali lupa ada karakter superhero lainnya yang pernah difilmkan, yakni Rama yang punya kekuatan ala Superman dan Darna yang mirip Wonder Women.


Film Rama (1974) disutradarai Frans Totok Ars. Film ini dibintangi actor senior August Melasz.

Sementara Darna Ajaib (1980) karya sutradara Lilik Sudjio. Lydia Kandou didapuk jadi pemeran Darna. Film Darna dibuat berdasarkan serial komik pahlawan super Darna karya komikus Armin Tanjung, yang terinspirasi tokoh serupa bernama sama ciptaan Mars Ravelo, komikus Filipina.


Bahkan, jauh sebelum itu, komik superhero karya RA Kosasih, Sri Asih, pernah difilmkan pada 1954. Menurut JB Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-2007, Sri Asih, yang karakternya mirip Wonder Women, tapi memakai pakaian khas Jawa ini diperankan Mimi Mariani. Filmnya sendiri disutradarai Turino Djunaidy.


Film dengan  judul Gundala Putra Petir tersebut disutradarai Lilik Sudjio. Dalam film produksi Pusat Produksi Film Negara (PPFN) tersebut, Gundala bertarung dengan musuhnya, Gazul (WD Mochtar), seorang sindikat narkoba internasional.


Kisahnya berawal saat Sancaka, profesor Saelan (Ami Prijono), dan koleganya Ir. Agus (August Melasz) hampir berhasil menciptakan serum antimorfin. Serum ini bisa memberikan harapan untuk menyelamatkan para pecandu narkoba.


Namun hal ini diketahui Gazul yang khawatir penemuan itu menghancurkan bisnis narkobanya. Anak buahnya kemudian menculik Sancaka dan profesor Saelan. Sementara Agus berkhianat, dan menjadi kaki tangan Gazul, karena merasa iri pada prestasi Sancoko. Dia bahkan memaksa Sancaka dan profesor Saelan menciptakan heroin sintetis yang bisa memperbesar bisnis narkobanya.


Sancaka tak memenuhi permintaan Gazul. Lantas, pacar Sancaka, Minarti (Anna Tairas), diculik. Sancaka berubah jadi Gundala dan bertarung melawan Gazul serta anak buahnya.

Henry mengatakan, film Gundala pada 1981 itu berbeda dari versi komiknya.


“Roh Yogya-nya tidak terlihat. Namun, untuk ukuran masa itu ya terbilang berhasil,” katanya.


Memang tak ada kesan Yogyakarta dalam film Gundala versi 1981. Latar belakangnya sangat Jakarta. Belum lagi menilik adegan-adegannya yang terlihat janggal. Salah satu adegan, Gundala harus bersembunyi di tiang sebuah parkiran, untuk membuat salah seorang penculik anak jatuh dengan kakinya yang dilintangkan. Adegan dia bertarung dengan Gazul juga tampak lucu. Alih-alih membuat efek sangat cepat, malah terlihat ada dua orang Gundala yang mengelilingi Gazul.


Henry belum bisa memprediksi film Gundala besutan Joko Anwar. Meski demikian, menurut Henry, bicara superhero, penonton akan membandingkannya dengan superhero DC Comics atau Marvel.


“Kalau Joko Anwar mengacu ke sana, rasanya bakal susah di sisi teknologi,” kata Henry.


Lanjut Henry, film tersebut bakal menarik bila Joko Anwar bisa menggarap superhero dengan kelokalannya, dan tak harus berpatokan pada produksi ala DC Comics dan Marvel.

“Pendekatan baru ini yang menarik ditunggu.”

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page