Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Berguru Tenis Meja hingga ke Korea Utara
BAK monster atau penyakit, Korea Utara (Korut) ditakuti, dibenci, dan dijauhi banyak negara hingga kini. Pemimpin negeri bersenjata nuklir itu, Kim Jong-un, bahkan kerap dijadikan bahan olok-olok di dunia maya. Namun, kesan miring Korut tak berlaku bagi mantan srikandi tenis meja Rossy Syechabubakar. Dia menyimpan banyak kesan positif terhadap negeri berpenduduk 25 juta itu. Mulai dari suasana ibukota Pyongyang hingga masa ketika dia mengikuti latihan pelatnas di sana. Rossy menjadi bagian dari tim tenis meja putri Indonesia SEA Games 1987 sampai 1995. Dalam persiapan untuk dua event itu, tim Indonesia berlatih ke Korea Utara. “Memang waktu itu (1980 sampai 1990-an) yang mendunia tenis mejanya adalah Cina. Tapi pengurus (Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia/PTMSI) waktu itu, entah bagaimana, memanggil pelatih dari Korea Utara. Dia sebelumnya juga pencetak atlet-atlet juara dari Korea Utara,” kata Rossy kepada Historia . “Ya enak-enak enggak juga sih. Di sana itu gudangnya para pakar taktik dalam tenis meja.” Rossy ingat betul sosok pelatih Korut-nya, Kang Nung-ha. Orangnya keras dalam hal disiplin. “Galak juga orangnya. Wah , sudah bukan kena teguran aja saya sih . Tapi mungkin dia memang melihat potensi dari saya juga, makanya dilatihnya keras,” kenang Rossy. Rossy merasa potensi lebih pada dirinya menjadi alasan kenapa sang pelatih mengistimewakannya. “Misalnya kalau sparring melawan teman, kalau yang lain kan kalah (dihukum) lari, tapi kalau menang enggak. Tapi saya kalau sama dia (Kang Nung-ha), kalah-menang tetap disuruh lari,” ujar Rossy seraya tertawa kecil. Namun, di luar latihan, semua berjalan baik. Perihal bahasa, yang sama-sama terbatas dalam English , mereka atasi dengan saling pengertian. “Enggak pakai penerjemah. Dia bisa sedikit bahasa Inggris, begitu juga kita. Jadi pakai bahasa Inggris sendiri yang hanya bisa dipahami antara dia dan kita para pemain,” cetus Rossy lagi. Dari latihan itu pula Rossy jadi tahu kebiasaan masyarkaat Korut. “Gampangnya latihan dengan mereka. Kalau yang atlet putra, disogok dengan rokok produk luar. Kalau yang putri, diaksih permen. Ya soalnya kan selama ini mereka hanya bisa dapetin produk-produk lokal saja. Biar mereka semangat latihannya sama kita,” kata Rossy. Seingat Rossy, kendala yang dihadapi tim putri hanya soal sulitnya mencari hiburan pelepas penat di Pyongyang. “Pyongyang waktu itu keadaan kotanya bagus, bersih. Kalau Sabtu-Minggu enggak ada orang lokalnya yang boleh pakai kendaraan. Hanya orang pemerintah dan kedutaan saja. Untuk melepas jenuh pas akhir pekan, biasanya kita hanya bisa main ke KBRI saja, soalnya di Pyongyang enggak ada (hiburan) apa-apa,” kenang Rossy. Sementara, destinasi wisata alam di sana terbatas dan tidak boleh dikunjungi sembarang orang. Cerita yang didapat Rossy dari salahsatu koleganya di Korut mengatakan, para atlet Korut hanya bisa berwisata jika mendulang prestasi. Hal itu jauh berbeda dari para atlet Indonesia ketika sudah di tanah air. Hiburan untuk membunuh ada beragam. “Tenis meja itu makin didalami, makin rumit. Kalau sudah stuck tidak bisa melakukan apa yang dimau pelatih, sampai kita dimarah-marahin , ya muncul titik jenuh. Kalau sudah begitu, paling saya cari hiburan nonton bioskop. Senangnya film horor. Setelahnya paling kuliner-an. Paling senang sama spaghetti dan makanan-makanan Jepang,” tandasnya.
- Penerus Kartini
DENGAN kebaya merah jambu, kain jarik motif kawung warna putih, dan rambut disanggul, Sujatin memerankan Kartini dalam sebuah tableau (penampilan tanpa dialog) mewakili seksi Perempuan Jong Java. Penampilan itu dia lakukan tahun 1923 pada pawai Perayaan 25 tahun Ratu Wilhelmina di Yogyakarta. Untuk perayaan itu, dia mendapat pinjaman sebuah truk dari bupati Kulon Progo yang juga pamannya. Bak truk kemudian disulap menjadi kamar Kartini lengkap dengan meja-kursi kuno. Beberapa lukisan dipajang di sebuah dinding yang dicat putih. Tak disangka, tableau Kartini itu mendapat sambutan meriah. Sujatin mendapat hadiah utama berupa lampu meja bertudung ( schemerlamp ) dari Sultan Hamengkubuwono VIII. Sujatin muda dan tua. Foto: Sumbangsihku bagi Pertiwi Jilid I . Demi Perempuan Sujatin merupakan pengagum Kartini. Dia bertekad menyebarluaskan pemikiran Kartini dan memperbaiki nasib kaum perempuan. Sujatin merasakan sendiri betapa perempuan dianggap tak seberharga lelaki di masyarakat. Ketika dia lahir, ayahnya, yang sejak lama mendamba bayi lelaki, sempat kecewa karena kembali mendapat bayi perempuan. Ayahnya bahkan sempat ogah menggendong bayi Sujatin dan hanya mau menengoknya saja. Sujatin mendapatkan kisah itu dari kakaknya, begitu dewasa. Sejak itulah dia berusaha membuktikan bahwa perempuan mampu berbuat sesuatu, bisa berjasa, dan punya prestasi. “Aku ingin membela kaum perempuan yang tertindas, yang kelahirannya mengecewakan orangtua karena jenis kelaminnya,” kata Sujatin dalam biografi yang ditulis Hanna Rambe, . Beruntung, Sujatin mendapat didikan dari orangtua agar menjadi perempuan kuat dan mandiri. Ayahnya ingin dia bekerja dan punya tujuan hidup. Sang ayah tak hanya mendidiknya dengan nilai-nilai humanis dan antifeodal, tapi juga mendorongnya rajin membaca. Sujatin amat menggemari buku kumpulan surat Kartini , yang terjemahannya, , dia dapatkan saat remaja. “Tak ada buku bacaan lain, di antara sekian buku bacaan yang pernah kunikmati, yang lebih berpengaruh kepadaku selain yang satu ini. Bukan saja menamatkannya, bahkan membacanya berulangkali,” kata Sujatin. Sujatin, yang menyepakati cita-cita Kartini dan ingin melanjutkan serta menyebarluaskan pemikirannya, kemudian aktif di seksi Perempuan Jong Java ketika bersekolah di MULO (setingkat SMP). Seperti Kartini, sejak remaja dia aktif menuliskan buah pikiran tentang perempuan. Keaktifannya menulis membuatnya dipercaya menjadi penulis dan redaktur majalah Jong Java. Dia menggunakan nama pena Gerbera, diambil dari nama bunga gerbera yang sederhana namun tahan segala cuaca, dalam tulisan-tulisannya. Kesepemahanan dengan pemikiran Kartini tentang pentingnya pendidikan membuat Sujatin kemudian menjadi guru begitu tamat MULO. Dia mengajar di HIS (sekolah dasar) swasta pada 1926 karena merasa lebih dekat dengan bangsanya; dia ogah mengajar di sekolah pemerintah karena penjajah. Sujatin juga memperjuangkan hak-hak perempuan dengan mendirikan organisasi Poetri Indonesia pada 1928. Di tahun itu juga dia menginisiasi Kongres Perempuan Indoensia. “Aku sadar dan yakin hanya pendidikan yang dapat mengubah nasib perempuan. Pendidikan membuka mata kita, memberi pikiran jernih, dan kemampuan keluar dari kesulitan yang dihadapi. Makanya, aku giat belajar, membaca, dan mengurus perkumpulan kami,” kata Sujatin dalam memoarnya di . Sujatin terus melawan feodalisme dan perlakuan diskriminatif keraton terhadap perempuan, yang hanya didamba ketika masih diinginkan raja tapi bisa dijadikan hadiah begitu raja bosan. Dia juga tak pernah sepakat terhadap pembedaan perlakuan keraton kepada istri Padmi dan selir, antara perempuan ningrat dengan rakyat. “Saya bukan hanya membenci perlakuan semena-mena pada perempuan tapi juga pembedaan perlakuan terhadap sesama manusia,” kata Sujatin . Semangat perlawanan itu mendorong Sujatin menjadikan Perayaan 25 tahun Ratu Wilhelmina sebagai momen perlawanan. Dia mengusulkan untuk menampilkan Kartini, ikon anti-penindasan, dalam perayaan itu. Ketika ternyata memenangkan perayaan itu, Sujatin berpikir keras apakah mesti melakukan sembah atau tidak sebelum menerima hadiah dari sultan. Sujatin akhirnya menghadap sultan dan menerima hadiah di Gedung Societet Yogyakarta (kini Taman Budaya Yogyakarta), disaksikan residen, bupati, dan pembesar Belanda lain. Dia tak menyembah sultan. “Kalau menyembah sama saja aku mengakui feodalisme,” kata Sujatin.
- Gundala Main Film
SUTRADARA Joko Anwar dalam cuitannya di akun Twitter pribadinya mengumumkan niatnya menggarap film superhero Gundala. Penggarapan film Gundala adalah proyek yang tertunda. Rencana itu pernah menjadi bahan perbincangan pada 2014. Hanung Bramantyo, sutradara ternama, saat itu mengumumkan dirinya membesut film tersebut. Tapi film tersebut gagal diproduksi, karena tak ada kecocokan sang sutradara dengan Bumilangit Studios, yang kini memegang hak karakter komik Gundala. Gundala adalah karakter superhero yang diciptakan komikus Harya Suraminata atau lebih dikenal dengan nama Hasmi pada 1969. Jauh sebelum Hanung maupun Joko Anwar mengumumkan akan menyutradarai film ini, sebenarnya Gundala sudah difilmkan pada 1981. “Gundala di eranya satu-satunya superhero yang pernah difilmkan, kala itu bintangnya Teddy Purba,” kata Henry Ismono, kolektor dan pengamat komik yang menyusun buku biografi Hasmi, kepada Historia . Henry barangkali lupa ada karakter superhero lainnya yang pernah difilmkan, yakni Rama yang punya kekuatan ala Superman dan Darna yang mirip Wonder Women. Film Rama (1974) disutradarai Frans Totok Ars. Film ini dibintangi actor senior August Melasz. Sementara Darna Ajaib (1980) karya sutradara Lilik Sudjio. Lydia Kandou didapuk jadi pemeran Darna. Film Darna dibuat berdasarkan serial komik pahlawan super Darna karya komikus Armin Tanjung, yang terinspirasi tokoh serupa bernama sama ciptaan Mars Ravelo, komikus Filipina. Bahkan, jauh sebelum itu, komik superhero karya RA Kosasih, Sri Asih, pernah difilmkan pada 1954. Menurut JB Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-2007, Sri Asih, yang karakternya mirip Wonder Women, tapi memakai pakaian khas Jawa ini diperankan Mimi Mariani. Filmnya sendiri disutradarai Turino Djunaidy. Film dengan judul Gundala Putra Petir tersebut disutradarai Lilik Sudjio. Dalam film produksi Pusat Produksi Film Negara (PPFN) tersebut, Gundala bertarung dengan musuhnya, Gazul (WD Mochtar), seorang sindikat narkoba internasional. Kisahnya berawal saat Sancaka, profesor Saelan (Ami Prijono), dan koleganya Ir. Agus (August Melasz) hampir berhasil menciptakan serum antimorfin. Serum ini bisa memberikan harapan untuk menyelamatkan para pecandu narkoba. Namun hal ini diketahui Gazul yang khawatir penemuan itu menghancurkan bisnis narkobanya. Anak buahnya kemudian menculik Sancaka dan profesor Saelan. Sementara Agus berkhianat, dan menjadi kaki tangan Gazul, karena merasa iri pada prestasi Sancoko. Dia bahkan memaksa Sancaka dan profesor Saelan menciptakan heroin sintetis yang bisa memperbesar bisnis narkobanya. Sancaka tak memenuhi permintaan Gazul. Lantas, pacar Sancaka, Minarti (Anna Tairas), diculik. Sancaka berubah jadi Gundala dan bertarung melawan Gazul serta anak buahnya. Henry mengatakan, film Gundala pada 1981 itu berbeda dari versi komiknya. “Roh Yogya-nya tidak terlihat. Namun, untuk ukuran masa itu ya terbilang berhasil,” katanya. Memang tak ada kesan Yogyakarta dalam film Gundala versi 1981. Latar belakangnya sangat Jakarta. Belum lagi menilik adegan-adegannya yang terlihat janggal. Salah satu adegan, Gundala harus bersembunyi di tiang sebuah parkiran, untuk membuat salah seorang penculik anak jatuh dengan kakinya yang dilintangkan. Adegan dia bertarung dengan Gazul juga tampak lucu. Alih-alih membuat efek sangat cepat, malah terlihat ada dua orang Gundala yang mengelilingi Gazul. Henry belum bisa memprediksi film Gundala besutan Joko Anwar. Meski demikian, menurut Henry, bicara superhero, penonton akan membandingkannya dengan superhero DC Comics atau Marvel. “Kalau Joko Anwar mengacu ke sana, rasanya bakal susah di sisi teknologi,” kata Henry. Lanjut Henry, film tersebut bakal menarik bila Joko Anwar bisa menggarap superhero dengan kelokalannya, dan tak harus berpatokan pada produksi ala DC Comics dan Marvel. “Pendekatan baru ini yang menarik ditunggu.”
- Rasis Tak Kunjung Habis
KASUS rasisme menyeruak lagi. Tiga bulan jelang Piala Dunia 2018 di Rusia, fans Rusia kembali membuat aksi rasis tatkala tim tuan rumah menjamu Prancis di Krestovsky Stadium, St. Petersburg, 27 Maret 2018. Riuh sorakan suara monyet mereka keluarkan untuk menghina para pemain Prancis, terutama saat gelandang N’Golo Kante akan melakukan lemparan ke dalam. Perkara ini sekarang masih dalam tahap investigasi FIFA. Sebelumnya, aksi rasis menimpa bintang tanah air yang bermain di klub Polandia Lechia Gdansk, Egy Maulana Vikri. Saat Lechia bertandang ke Stadion Miejski milik Lech Poznan, 16 Maret 2018, fanz Poznan membentangkan spanduk berbunyi “ Lechia Gdansk Sial Pelac*r ” plus gambar wajah orang sipit berkulit coklat menggunakan headband hijau bertuliskan “Lechia”. Gambar wajah orang Asia itu jelas merujuk pada Egy, satu-satunya pemain Asia di pertandingan itu. Para pecinta bola tanah air langsung menyerang akun Twitter dan Instagram resmi Poznan dengan berbagai kecaman. Meski tak membenarkan rasisme, pengamat sepakbola Timo Scheunemann mengatakan sambutan rasis seperti yang diterima Egy merupakan satu risiko yang mesti diantisipasi khususnya bagi pemain Asia dan Afrika yang merumput di Eropa. “Saya pikir dengan Egy berani masuk ke Eropa Timur (Polandia), dia mestinya sudah siap mental,” kata Timo kepada Historia . Eropa merupakan tempat subur bagi rasisme dan anarkisme oleh fans klub-klub sepakbola. “Karena di Eropa masyarakatnya terdiri dari banyak bangsa yang berbeda-beda. Berakar dari konflik yang pernah terjadi, baik di Perang Dunia I, II, maupun perang-perang sebelumnya,” sambung pengamat yang mantan pelatih beberapa klub di Liga Indonesia itu. Lebih jauh Timo menambahkan, suburnya rasisme juga tak lepas dari budaya, kebiasaan, dan tingkat pendidikan masyarakat di masing-masing negara di Eropa. “Apalagi di Rusia sendiri ya, yang notabene Eropa Timur, tingkat pendidikan kebanyakan masyarakatnya masih di bawah negara-negara Eropa Barat.” Sasaran Empuk Meski bukan satu-satunya korban rasisme di lapangan hijau, pemain berkulit hitam merupakan sasaran paling empuk. “Rasisme sudah eksis sejak sepakbola mulai populer secara global di abad ke-19 dan awal abad ke-20. Sebuah ekspresi perilaku di negara-negara di mana diskriminasi etnis nampak kasat mata,” tulis Albrecht Sonntag dan David Ranc dalam Report on the Fight Against Discrimination and Racism in Football terbitan UNESCO 2015. Kasus-kasus awal terjadi di Inggris Raya, tanah kelahiran sepakbola modern. Antara lain menimpa Arthur Wharton, pesepakbola kulit hitam profesional pertama dunia, yang merupakan kiper klub Preston North End (1886-1888).“Dia digambarkan di publik sebagai pemain yang berbeda –seorang negro; si kulit gelap; berwajah kacang kenari. Seiring kesuksesannya di lapangan, konflik yang intens turut mengikuti dan menguasai image -nya sendiri, identitasnya (sebagai imigran),” ungkap Phil Vasili dalam biografi , The First Black Footballer: Arthur Wharton 1865-1930, An Absence of Memory. Selain karena warna kulit, Wharton acap jadi sasaran tembak publik Inggris, baik langsung maupun via media, karena sering berakrobatik dengan menangkap bola menggunakan kedua kakinya sementara dia bergelantungan. “Hakim-hakim yang mulia menyatakan jika Wharton tetap menjaga gawang (Preston) North End di Piala Inggris, sanksi akan diperpanjang dan saya sependapat. Apakah tengkorak si hitam ini terlalu tebal untuk menyadari bahwa posisinya di gawang bukan tempat untuk main-main, beberapa orang bilang itu keren – omong kosong,” tulis kolumnis di The Athletic Journal tahun 1887. Bukan hanya sorakan atau teror verbal yang dialami Wharton nyaris di setiap pertandingan. Dia juga pernah mengalami penganiayaan fisik. “Tercatat dalam satu pertandingan, dia dipukuli (fans tim lawan) dengan payung ketika dia meninggalkan lapangan,” sambung Vasili. Selain Wharton, korban lain rasisme di Inggris adalah penyerang Everton Dixie Dean. Dalam sebuah laga di tahun 1930-an, dia sampai memukul pelaku teror rasis di tribun karena tak bisa bisa menahan emosinya. Para petugas keamanan yang bersimpati, membiarkan karena merasa si pelaku pantas dibalas pukulan Dean. Kasus Wharton dan Dean hanya segelintir dari segunung kasus rasisme. “Penyakit” Eropa itu sudah menyebar ke Amerika dan Asia. FIFA baru serius menanganinya pada 1990-an dengan regulasi yang dikeluarkan awal 2000-an. Selain regulasi, FIFA menggandeng pihak lain seperti PBB menetapkan Hari Anti-Diskriminasi sejak 7 Juli 2002 dan mengkampanyekan “ Say No to Racism ”. UEFA setahun lebih dulu menanganinya. Bermitra dengan FARE (Football Against Racism in Europe), UEFA menghelat beraneka kampanye seperti “No to Racism” untuk menciptakan zero tolerance terhadap rasisme. Otoritas Sepakbola Inggris (FA) mengikuti dengan kampanye yang dibuat bareng LSM Kick It Out, “ Let’s Kick Racism Out of Football ”. Namun, rasisme masih terus bermunculan, termasuk di Indonesia. “Sering terjadi terhadap tim-tim dari Papua seperti Persipura, Perseman Manokwari. Terlebih kalau mereka main di (Pulau) Jawa,” kata Timo. Nyanyian rasis oleh Bonek (fans Persebaya) pada 2014 atau kasus yang menimpa Mbida Messi oleh The Jakmania (fans Persija) setahun sebelumnya hanyalah dua dari sederet kasus rasis yang ada. Kerjasama pemain, pelatih, dan manajemen klub amat diperlukan untuk mencegah terulangnya kasus serupa. Tapi yang lebih penting, tindakan PSSI. Dengan wewenang besarnya, PSSI mesti membasmi dan mencegah rasisme lewat berbagai regulasi. “Seperti di Jerman bagian Timur. Di divisi-divisi bawah banyak terjadi dan bahaya sekali. Tapi oleh federasinya kan disikat dengan hukuman-hukuman berat. Entah diambil poinnya atau hukuman lain. Bedanya dengan di sini (Indonesia) adalah keseriusan penanganannya. Di sana (Jerman), kalau sudah dijatuhi hukuman, sudah enggak bisa diganggu gugat,” tandas Timo.
- Presiden Suka Momotoran
Presiden Joko Widodo melakukan touring dengan motor Chopper ke Pelabuhan Ratu sejauh 30 km pada Sabtu, 8 April 2018. Dia ditemani Menhub Budi Karya Sumadi dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, serta komunitas motor. Touring ini untuk meninjau proyek irigasi dan tanggul penahan air di Kabupaten Sukabumi. Sebelum Jokowi, presiden yang suka touring adalah B.J. Habibie dengan motor gede (moge). Presiden ketiga itu ternyata mengoleksi moge. Dua koleksinya hasil pabrikan Softail Springer dan Badboy yang dibeli di Seattle, Amerika Serikat, dipajang di acara "Pameran Foto: 80 Tahun Habibie” di Museum Bank Mandiri, Jakarta Barat, 24 Juli 2016. Menurut keterangan pada moge yang dipajang itu, ketertarikan Habibie pada moge berhubungan dengan kesehatannya yang baru operasi jantung. Dokter menyarankan Habibie mengendarai moge agar bekas jahitan di dada kembali normal. Hal ini karena moge mempunyai getaran yang besar saat mesinnya menyala. Dalam pameran tersebut dipajang foto Habibie membonceng Presiden Soeharto karena tidak mau dibonceng siapa pun. “Itu sebenarnya menggarisbawahi kalau Pak Harto itu yakin . yang lain nggak mau dia. Karena ini interpretasi kepercayaan,” cerita Habibie dikutip detik.com . Saat menjabat Menteri Riset dan Teknologi, Habibie memang sering mengendarai moge untuk berkunjung ke kawasan industri di Jakarta. Setelah menjadi presiden, dia terus melakoni hobi mengendarai moge seperti diceritakan Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal TNI Subagyo HS. Dalam biografi Subagyo HS, Kasad dari Piyungan, Carmelia Sukmawati mencatat bahwa menurut Subagyo satu hal yang menonjol dari Habibie ketika menjabat presiden adalah hobinya pada moge. Tak jarang dia mengajak beberapa pejabat melakukan konvoi bersama untuk menikmati perjalanan mengendarai moge. “Kala itu, sejujurnya Subagyo merasa kegiatan bermotor gede seolah-olah foya-foya hanya untuk level atas. Padahal ekonomi Indonesia sedang terpuruk akibat krisis ekonomi. Tetapi sebagai pejabat tinggi militer, loyalitas harus tetap ditunjukkan,” tulis Carmelia. Kegalauan Subagyo disampaikan kepada Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono. Setengah bercanda, Juwono berkata, “Pak Bagyo nanti datang naik Honda bebek saja, jadi tetap loyal datang ke Kuningan (kediaman Presiden Habibie), tetapi tidak ikut konvoi.” Kendati demikian, Subagyo beberapa kali ikut konvoi, seperti ke Cilangkap atau Subang.
- Gundala, Ikon Superhero Indonesia
GUNDALA, ikon komik superhero Indonesia, akan difilmkan oleh sutradara Joko Anwar. Sinyal itu disampaikan Joko saat mengunggah sebuah poster di akun Twitter pribadinya pada 4 April 2018 dengan keterangan: “ New Journey . Film ketujuh saya. Mohon doa restu teman-teman. Gundala.” Gundala, yang mengenakan jubah dan topeng serba hitam, serta benda menyerupai sayap di masing-masing telinganya, bukanlah karakter baru dalam kebudayaan populer Indonesia. Tokoh ini diciptakan komikus Harya Suraminata atau lebih dikenal dengan nama Hasmi pada 1969. Karakter Gundala aslinya bernama Sancaka, seorang insinyur muda. Dia mendapat kekuatan super setelah disambar petir, kemudian diangkat menjadi anak Kaisar Cronz, raja petir. Dia diberi serupa ajimat berupa kalung leontin. Gundala tak bisa terbang. Namun, dia bisa berlari sangat cepat dan mengeluarkan petir dari tangannya. Gundala dan Komik Superhero Komik Gundala terbit pertama kali di bawah penerbit Kencana Agung, dengan judul Gundala Putera Petir. Di tengah-tengah kemunculan Gundala, komik superhero lain ala Indonesia dikreasi. Yang terkenal adalah Godam, superhero ciptaan komikus lainnya, Wid N.S. Meski sudah “hidup” selama 49 tahun, karakter Gundala masih tertancap di dalam ingatan para penggemar komik Indonesia. Menurut Henry Ismono, kolektor dan pengamat komik, Gundala adalah ikon superhero paling top di masanya. “Salah satu buktinya, ketika ada superhero baru karya komikus lainnya muncul, Gundala kerap disertakan,” kata Henry kepada Historia . Hal itu, menurut Henry, merupakan strategi penerbit untuk mendongkrak popularitas superhero baru yang muncul. “Dalam catatan saya, tokoh Gundala yang paling sering dipinjam komikus lain,” ujar Henry, yang menyusun buku biografi Hasmi. Henry mengatakan, Gundala mendominasi komik superhero lainnya karena Hasmi mampu membumikan superhero yang merupakan adaptasi superhero Amerika –mirip The Flash ciptaaan Gardner Fox dan Harry Lampert terbitan DC Comics pada 1940– menjadi khas lokal, dengan latar belakang Yogyakarta. Sedangkan komikus lainnya tak sanggup membuat kisah sekuat Hasmi. Sementara itu, menurut Goenawan Mohamad dalam artikelnya “Dari Dunia Superhero: Sebuah Laporan” di Prisma edisi Juni 1977, dibandingkan komik-komik serupa, Gundala mampu menghadirkan rasa humor. Goenawan memberikan contoh kisah Gundala Sampai Ajal. Dalam kisah itu, Gundala dirayu seorang putri dari planet Srabigonk, Ratu Kin Clink dari kerajaan Benggonk. Gundala tak mau. Ia mengaku sudah punya istri dan empat anak. Sri Ratu tahu, Gundala pacar saja belum punya. Maka ia tetap membujuk. “Lihatlah Gundala... kulitku lembut karena selalu memakai sabun cap Gunung Meletus”. Gundala menggerundel dalam hati, “Wah ngomongnya sudah seperti iklan sabun.” Liga Superhero Menariknya, Gundala sering muncul di dalam karya komikus lain, yang bergenre superhero. Goenawan menulis, Gundala pada suatu ketika tiba-tiba bersama Godam muncul membantu Laba-Laba Maut dalam suatu pertempuran. Karakter Laba-Laba Maut merupakan ciptaan komikus Djoni Andrean. Menurut Henry, pinjam-meminjam tokoh merupakan bagian silaturahmi para komikus. Karena telepon jarang, para komikus bersapa melalui komik. “Pak Hasmi pernah bilang, pada zamannya secara tidak langsung terbentuk liga superhero Indonesia. Ini tidak muncul di genre (komik) lain,” kata Henry. Terlebih lagi, di masa itu belum ada ketentuan mengenai hak cipta dan perjanjian antarkomikus. Dengan diikutsertakannya Gundala di komik-komik superhero lain, secara tak langsung malah memperkenalkan superheronya dan menjadi pengakuan supremasinya. Genre komik superhero di masa-masa awal kemunculan Gundala, menurut Goenawan, tengah menggantikan popularitas genre silat, macam Si Buta dari Gua Hantu ciptaan Ganes Th. Marcel Bonneff dalam bukunya Komik Indonesia (1998: 50) mencatat, pada April dan Juli 1971, genre silat memang masih mendominasi sebanyak 427 judul. Namun, genre fiksi ilmiah dan cerita fantastik (superhero) mulai merangkak, dengan 37 judul. Henry mengungkapkan, seri komik Gundala terbit sebanyak 23 judul. Terakhir, berjudul Surat dari Akhirat pada 1982. Satu judul lainnya, Nyaris, diterbitkan di suratkabar Jawa Pos. Rencananya, film Gundala besutan Joko Anwar akan tayang di bioskop pada 2019. Apakah film ini akan sesukses Pengabdi Setan yang juga merupakan hasil remake film dengan judul yang sama pada 1980? Petir eh waktu yang akan menjawabnya.
- Puisi Gus Mus Melawan Arus
SOAL puisi masih belum berhenti. Kali ini, Muhammad Agung Izzulhaq, pembawa acara dakwah di salah satu stasiun televisi swasta, dalam twitter -nya mengutip puisi K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) berjudul "Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana": Kau bilang Tuhan sangat dekat tapi kau memanggilnya dengan pengeras suara setiap saat . Dia menyebut puisi itu “murah nan tidak bermutu! Bukankah adzan panggilan untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Oh Tuhan, banyak sekali makhlukmu yang memilih dungu.” Warganet pun bereaksi keras. Mereka tak terima karena Agung menyebut “dungu” kepada orang yang menulis puisi itu: Gus Mus, ulama dan penyair yang sangat dihormati. Agung meminta maaf dan mengaku tak tahu kalau puisi itu karya Gus Mus. Dia mengaku cuitannya itu “semata-mata karena kasus ‘puisi konde’ yang saya sesalkan.” Puisi konde maksudnya puisi “Ibu Indonesia” yang dibacakan Sukmawati Sukarnoputri yang memicu reaksi keras sampai dilaporkan ke polisi disusul unjuk rasa, meskipun Sukmawati sudah meminta maaf. Menurut Abu Asma Anshari, dkk., puisi "Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana" dinilai paling mengesankan di antara karya-karya puisi Gus Mus yang ditulis tahun 1987. Karya puisi itu lugas, sangat telanjang, berbicara apa adanya sesuai realitas politik dan sosial dan bahkan keagamaan yang ada di Indonesia. Orang dapat memahami secara mudah, ke mana arah tujuan puisi Gus Mus dibidikkan. Di dalam puisi itu Gus Mus mengkritik banyak hal yang dilematis bagi masyarakat menghadapi tuntutan penguasa yang represif saat itu berikut carut marut kehidupan sosial di masyarakat yang saling ingin menang sendiri. Tidak yang penguasa, yang awam hingga rakyat, semua mempunyai perilaku yang mirip: feodalistik, suka memerintah, suka menekan dan seterusnya. “Warisan watak kolonial yang hingga sekarang sulit dihapus pada sebagian anak bangsa ini adalah sifat feodalis, karakter menjajah dan politik belah bambu antar anak bangsa untuk kepentingan pribadi atau kelompok,” tulis Abu Asma Anshari, dkk., dalam Ngetan-Ngulon Ketemu Gus Mus: Refleksi 61 Tahun K.H. A. Mustofa Bisri. Sementara itu, sahabat Gus Mus, D. Zawawi Imron, mengatakan bahwa dalam pemerintahan Orde Baru yang otoriter, Gus Mus banyak menyuarakan suara orang-orang yang terpuruk. Penderitaan umat atau rakyat telah menjadi jiwa puisi-puisinya. “Dan ini saya lihat tidak sekadar dalam puisi saja. Pada kenyataan sehari-hari, Gus Mus sangat akrab dengan orang kecil,” kata penyair terkemuka asal Madura itu dalam Gus Mus, Satu Rumah Seribu Pintu. Zawawi mengutip bait puisi "Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana" yang menyuarakan suara orang-orang tertindas: Engkau ini bagaimana/Atau aku harus bagaimana Katamu aku harus punya rumah/Aku punya rumah rumahku kau ratakan dengan tanah Engkau ini bagaimana/Atau aku harus bagaimana Katamu aku harus punya tanah/Aku punya tanah tanahku kau tanami rumah-rumah. “Sebuah pernyataan yang menyuarakan keprihatinan terhadap kaum pinggiran sehingga suara Gus Mus bersama Rendra, Emha (Ainun Najib), Arief Budiman, Romo Mangun, dan lain-lain benar-benar menyuarakan kegetiran rakyat kecil yang tidak berdaya. Untuk saat itu (Orde Baru, red. ) suara seperti itu akan dianggap melawan arus,” kata Zawawi yang kali pertama bertemu Gus Mus di acara “Mubaligh Baca Puisi” di Taman Ismail Marzuki pada 1987. Setelah itu, mereka bersahabat, saling belajar dan berguru. Lahir pada masa Orde Baru, puisi "Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana" kemudian menjadi bagian dari gerakan Reformasi yang melengserkan Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun. “Menjelang Reformasi,” tulis Abu Asma Anshari, “puisi itu banyak memberi inspirasi para mahasiswa di kota-kota besar, yang tertuang dalam tulisan pamflet-pamflet dan spanduk-spanduk rentang yang diusung mereka saat berdemonstrasi.”
- Malaysia Sengaja Curangi Indonesia di Tenis Meja
NADA suara Rossy Syechabubakar kian meninggi dan menggebu ketika menceritakan pengalaman bertanding final SEA Games 1989. Di pertandingan puncak tunggal putri melawan wakil tuan rumah Leong Mee Wan itu, Rossy terpaksa kehilangan emas. Yang menyesakkan, kekalahan Rossy terjadi bukan karena kalah tanding melawan wakil tuan rumah Leong Mee Wan. Rossy kalah karena dicurangi wasit yang juga asal Malaysia. Forehand drive pengembalian Rossy yang mengenai pinggir meja Wan dinyatakan out . Kecurangan terhadap Rossy bukan satu-satunya kecurangan yang dialami tim Indonesia. “Sebelumnya, tim beregu sudah dicurangi. Anton (Suseno, petenis meja putra) juga sudah dicurangi,” kata Rossy. “Final saya itu klimaksnya. Sudah dari awal dicurangi terus. Terakhir, saya main dan dicurangi lagi.” Manajer tim Indonesia langsung memprotes keputusan wasit. “Saya sudah enggak tahu bagaimana protes tim. Saya sudah terlalu emosi, sesenggukan di pelukan pelatih,” kenang atlet kelahiran Bandung, 28 Juni 1972 itu. Tuan rumah tetap berpendirian bola Rossy out . Hal itu membuat Ketua Umum Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PTMSI) Ali Said naik pitam. “Beliau tampil ke depan di tengah banyak penonton, dan menginstruksikan supaya tim Indonesia mundur. Karena kata beliau: ‘Kami tidak mau diinjak-injak oleh Malaysia. Saya akan pulang ke Indonesia’. Saya melihat beliau sampai meneteskan air mata,” ungkap eks-Sekjen PTMSI Johnny F. Waworuntu dalam Ali Said: Di Antara Sahabat. Keputusan Ali menuai kecaman dari Ketua Olympic Council of Malaysia Hamzah Abu Samah. Hamzah menganggap keputusan mundur Indonesia mencederai tujuan SEA Games, yang salahsatunya adalah spirit persahabatan antarnegara Asia Tenggara. Ali bergeming. Di hotel, dia mengumpulkan anggota tim. Saat itulah, kata Rossy, “Kita kedatangan salahsatu wasit dari Malaysia yang simpati sama kita. Dia bilang bahwa memang mereka (wasit-wasit Malaysia) diinstruksikan kalau Indonesia main harus dicurangi.” “Hanya dia saja yang minta maaf. Dia minta maaf secara pribadi ke kita. Dia simpatik dengan tim Indonesia sampai akhirnya dia mau cerita seperti itu,” tutup Rossy.
- Kecelakaan Seolah Bencana Alam
KECELAKAAN kendaraan bermotor di Jakarta terjadi tiap hari. Korlantas Polri mencatat 5.140 kecelakaan sepanjang 2017. Itu berarti rata-rata ada 14 kecelakaan saban hari. Faktor penyebabnya beragam. Bisa dari kondisi kendaraan, tersebab jalan tak rata, atau lantaran perilaku mengebut pengemudi. Tiap dekade punya penyebab utama berlainan. Tapi harapan orang selalu sama: jalan jadi tempat yang aman. Firman Lubis, seorang dokter yang mengalami masa remaja di Jakarta pada 1950-an, menyatakan kecelakaan masih jarang tersua di Jakarta. “Sebab utamanya karena jumlah kendaraan bermotor yang sedikit,” kata Firman dalam memoarnya, Jakarta 1950-an . Tapi jarang bukan berarti tidak ada. Harian Pikiran Rakjat, 6 November 1950, mencatat kecelakaan kendaraan bermotor di Jakarta terjadi 219 kali pada September dan 200 kali pada Oktober. Jumlah kecelakaan tersebut hanya yang diurus polisi lalu-lintas dan belum termasuk kecelakaan lalu-lintas militer yang diurus langsung oleh pihak CPM (Corps Polisi Militer) dan MP (Polisi Militer). Banyak kecelakaan terjadi saat jam-jam sibuk pagi dan sore hari; dan pada jalan utama Jakarta. Antara lain di Molenvliet (sekarang Jalan Hayam Wuruk), Glodok, Kramat, Matraman, dan Rijkswik (sekarang Jalan Veteran). Polisi menyebut kepadatan lalu-lintas jadi penyebab utama kecelakaan. “Karena sangat banyaknya kendaraan bermotor dewasa ini,” terang Pikiran Rakjat . Jumlah kendaraan di Jakarta setelah Perang Kemerdekaan (1945-1949) mencapai 20.000. Selama Perang Kemerdekaan, jumlah kendaraan berkisar 15.000. Ramainya kendaraan setelah Perang Kemerdekaan bikin pengendara kurang awas dan jalan mudah rusak. Apalagi personel polisi, rambu, dan petunjuk jalan sangat minim. Untuk mengurangi jumlah kecelakaan, polisi bekerjasama dengan Pemerintah Kotapradja Jakarta. Mereka memperbaiki jalan rusak, menyiagakan polisi di tiap persimpangan ramai, dan menambah rambu dan petunjuk lalu-lintas di kawasan rawan kecelakaan. “Hingga Oktober 1952 telah dibikin 1.044 buah tanda-tanda lalu-lintas baru di samping papan nama disana-sini,” tulis Kotapradja , Januari 1953. Seorang polisi lalu-lintas berpendapat awam bahwa upaya itu cukup mengurangi kecelakaan pada 1960-an. “Jarang sudah terjadi tabrakan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Angka-angkanya tipis. Ya tentu saja kadang-kadang ada juga yang selip, atau remnya blong. Tapi ini kan biasa, dimana-mana bisa terjadi,” kata polisi, dikutip Djaja , 27 Juni 1964. Pendapat polisi lalu-lintas itu gugur jika statistik kecelakaan pada 1960-an. Djaja, 20 Juni 1964, melaporkan kecelakaan terjadi 2.090 kali pada 1960, lalu naik 2.263 kali pada 1961, naik lagi jadi 2.550 pada 1962, tetapi turun pada angka 2.515 pada 1963. Jumlah kendaraan juga naik dari tahun ke tahun. Dari 76.707 kendaraan pada 1960 menjadi 110.658 kendaraan pada 1963. Pun begitu dengan jumlah korban tewas. Hampir selalu naik. Angka di atas sangat mengkhawatirkan. Kepolisian menyebutnya “seolah bencana alam”. Tiap hari jatuh korban tewas setelah kecelakaan. Dan penyebab utama kecelakaan maut terletak pada perilaku dan kondisi jiwa pengemudi. Anak kehilangan orangtua dan orangtua gagal melihat anaknya tumbuh besar. “Setelah seseorang duduk di belakang kemudi mobil atau sepeda motor, orang itu akan menjadi orang lain,” tulis Djaja . Mereka memacu kendaraannya tanpa peduli keselamatan diri dan orang lain. Pedal rem tak lagi diingat dan lupa bahwa jalan milik bersama. Mereka memotong lajur kendaraan lain seenaknya dan mengklakson orang sesukanya. “Jelas bahwa yang tidak beres pada orang ini adalah psikonya,” lanjut Djaja . Polisi berikhtiar secara beda kali ini. Mereka gelar hajat Pekan Keamanan Lalu-Lintas di Jakarta pada Juli 1964 untuk menggugah kesadaran pengendara agar mengutamakan keselamatan bersama di jalan. Penyelenggara hajat memajang poster berisi pesan keselamatan di jalan raya. Terpampang pula rongsokan mobil bekas kecelakaan. Tak ketinggalan lukisan dan harapan anak-anak pada pengendara di jalan. Mereka berharap suatu hari jalan raya bisa benar-benar jadi tempat yang aman buat semua orang. Maujudkah?
- Alat Perang Made in Republik
Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo terperangah mendengar penjelasan Letnan Kolonel Eddie Soekardi. Kepala Staf TKR (Tentara Keamanan Rakyat) itu nyaris tak percaya Resimen 13 yang dipimpin Eddie akan melawan tentara Inggris dengan potongan-potongan pipa besi buat saluran air. “Pak Oerip awalnya bingung, tetapi akhirnya merasa takjub pipa besi buat air bisa dijadikan bom oleh anak buah saya…” kenang tokoh Perang Konvoi Sukabumi-Cianjur itu sambil tertawa. Bom Pipa Besi adalah salah satu senjata mematikan made in Republik yang diproduksi oleh “Pabrik Senjata” Braat Sukabumi pimpinan Kapten Saleh Norman dan Letnan Satu Djajaatmadja. Cara membuatnya sangat sederhana sekali: pipa besi dipotong-potong menjadi beberapa bagian (masing-masing panjangnya 7 cm dan garis tengahnya 4 cm) lantas diisi paku, pecahan beling dan potongan-potongan besi. Sebagai pemicu ledakan dipasang sejenis pen sederhana. “Banyak tentara Inggris yang mati karena ledakan bom ini, walau ngelemparnya harus dari jarak dekat. Biasanya sih yang ngelempar dan yang dilempar sama-sama mati…” ujar Satibi, eks prajurit Resimen 13 kepada Historia . Namun Pabrik Braat Sukabumi bukanlah satu-satunya. Di Yogyakarta ada dikenal dua produsen senjata made in Republik yakni Pabrik Demakijo dan Pabrik Watson. Keduanya bekas pabrik besi dan pabrik gula. Salah satu produk andalan Demakijo adalah granat gombyok. Granat yang bentuknya “bergombyok” laiknya ekor kuda itu memang didesain sedemikian rupa supaya jatuhnya ujung granat yang berdenoator bisa tepat menyentuh sasaran saat dilemparkan. Demakijo juga memproduksi granat yang lebih primitif lagi (alih-alih lebih modern): menggunakan tali-tali sumbu persis seperti petasan. “Banyak pengguna jenis granat bersumbu itu tewas terlebih dahulu karena granatnya keburu meledak di tangan,” ujar Sajidiman Soerjohadiprodjo, eks kadet Akademi Militer Yogyakarta pada era revolusi. Berbeda dengan Demakijo yang lebih menitiktekankan produksnya kepada jenis bom atau granat, Watson justru khusus membuat “Stengun made in Yogya”. Untuk bahan-bahannya, Watson menggunakan besi rel kereta api dan tiang listrik, sedang untuk per-nya dibuat dari kawat ban mobil truk. “Zaman susah seperti saat itu, senjata produk Watson sudah yang paling baik,” ujar sejarawan Moehkardi. Namun sebagus-bagusnya senjata produk Watson ya tetap tak memenuhi standar alat tempur. Kelemahan Stengun ini, apabila digunakan untuk menembak ganda sampai menghabiskan peluru satu houder maka otomatis akan macet. Itu terjadi karena per-nya (yang memang bukan khusus buat senjata) menjadi lembek akibat panas mesiu. Namun tak ada produk Watson yang paling fenomenal selain kapal selam mini. Menurut Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1949 , “senjata rahasia” ini awalnya dipesan oleh Kementerian Pertahanan RI sebagai upaya untuk menghabisi satu persatu kapal perusak Belanda yang banyak berkeliaran di wilayah laut RI. “Kreatornya bernama J.Ginagan, perwira muda ALRI eks anggota Marinir Belanda yang juga merupakan jebolan Akademi Angkatan Laut Den Helder,” ungkap Moehkardi. Jika terwujud, maka kapal selam mini itu memang akan menjadi senjata yang efektif dan mematikan. Dengan dikemudikan oleh seorang awak, ia bisa membawa sebuah torpedo yang digantungkan di bawa tubuh kapal selam tersebut dan menghilang secara cepat usai melakukan operasi. Percobaan pertama kapal selama mini itu dilakukan di Kalibayem (sebelah barat Yogyakarta) pada pertengah 1948 dan berhasil. Artinya kapal selam bisa bergerak dan mengapung. Tetapi ketika torpedonya ditembakkan, alih-alih meluncur, handel pengikatnya malah tak mau lepas dan tentu saja itu membuat tenaga torpedo yang sudah “tak sabar” ingin meluncur justru menyeret seluruh badan kapal selam mini tersebut. Percobaan pun gagal. “Ya wajar saja tidak sempurna, wong mesin penggeraknya memakai mesin truk…” terang Moehkardi. Kementerian Pertahanan RI lantas memerintahkan Watson untuk lebih menyempurnakan “senjata rahasia” tersebut. Namun belum sempat rampung, tentara Belanda keburu menginvasi Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Proyek pembuatan senjata pamungkas pun berantakan menyusul dirampasnya kapal selam mini itu oleh pihak militer Belanda.
- Balada Telik Sandi Putri
Kapten R.J. Rusady W selalu terkenang aksi-aksi Marie Zoemariah. Ketika tinggal di Garut pada 1946-1947, perempuan cantik -yang kemudian dinikahinya- tersebut kerap terlibat dalam upaya penyelundupan senjata dan granat dari wilayah pendudukan ke wilayah Republik. Benda-benda berbahaya itu biasanya diletakan di bawah satu tempat yang cukup tersembunyi dalam keranjang sayuran. Entah bagaimana caranya, Marie selalu lolos dari pemeriksaan. “Itu pekerjaan yang sangat berbahaya, hingga jika terketahui oleh orangtua dan kakaknya, Marie selalu kena marah. Tapi dia terus melakukannya…” kenang Rusady dalam Tiada Berita Dari Bandung Timur . Perempuan-perempuan seperti Marie memang tidak sedikit di zaman itu. Tanpa gembar-gembor, mereka melakukan aksi-aksi senyapnya bahkan jauh sampai ke garis belakang musuh. Roekojah misalnya. Perempuan sepuh itu sudah sejak berumur 11 tahun terlibat aktif, hilir mudik dari satu pos militer Belanda di kota Sumedang ke hutan Rancakalong yang dikuasai TNI pimpinan Kapten Sentot Iskandar Dinata. “Tugas saya mengantarkan peluru dan granat yang disimpan dalam kaleng mentega atau kaleng sardencis,” ungkap perempuan kelahiran Sumedang pada 1936 itu. Roekojah tidak bekerja sendirian. Ia memiliki tiga mitra lain yang merupakan para seniornya. Mereka adalah Oeta, Itjih dan Isjah. Ketiga gadis itu merupakan babu di dapur markas Belanda. Selain bertugas sebagai pengolah makanan, mereka pun dipercaya sebagai pembersih perlengkapan-perlengkapan para prajurit Belanda, termasuk memberisihkan senjata. “Saya juga tidak tahu pasti bagaimana persisnya mereka mendapatkan itu pelor dan granat, tapi yang saya tahu kakak-kakak saya itu, terutama Ceu Oeta memang lihai sekali. Saya mah taunya cuma nganterin saja,” tutur Roekojah kepada Historia . Lain Roekojah, lain juga yang dilakukan oleh Utoh. Nenek yang baru saja meninggal beberapa waktu lalu itu sempat bercerita kepada Historia bahwa dirinya pada era revolusi di wilayah Cianjur Selatan sempat bertugas sebagai “tukang gambar”. Tentunya yang digambar bukanlah gambar sembarangan, melainkan sejenis pemetaan yang menggambarkan seluk beluk atau situasi di suatu markas pasukan Belanda. “Kebetulan saya ini dipercaya sama dua pos tentara Belanda untuk jadi babu, jadi bisa tahu banyak,” ujarnya sambil terkekeh. Sebagai petugas teliksandi, Utoh tak jarang dilibatkan langsung dalam suatu operasi penyerbuan. Seperti saat kawan-kawannya akan menyerang sebuah pos tentara Belanda di kawasan dekat Sukanagara. "Saya ingat, saya didandani laiknya prajurit laki-laki dan dibekali sebilah pisau belati untuk berjaga-jaga," kenang Utoh. Operasi itu terbilang sukses karena selain berhasil menghancurkan pos militer Belanda juga mereka mendapatkan rampasan senjata yang banyak. Keberhasilan ini menjadikan nama Utoh selalu dikenang oleh anggota pasukan TNI tersebut, hingga beberapa tahun yang lalu namanya diajukan oleh mantan komandannya dan diterima sebagai penerima tunjangan veteran untuk tiap bulan. "Alhamdulillah, nasib Emak bagus, tidak seperti yang lain-lainnya. Tadinya Emak tidak percaya karena sebelumnya kebanyakan orang yang datang hanya menghasilkan janji-janji saja," katanya. Adakah peristiwa yang sampai saat ini tak bisa ia lupakan dari zaman perang dulu? "Ya, saat saya memberitahu 6 prajurit muda untuk tidak pergi menyeberang rel kereta api di Cibeber karena saya tahu di sana sering ada tentara Belanda yang kerap mengintip keberadaan tentara kita..." kenang Utoh. Namun merasa informasi itu datangnya dari seorang perempuan, keenam prajurit muda itu tak menurut pada himbauan sang telik sandi itu. Akibatnya, saat berjalan di sisi rel, mereka habis dimangsa peluru-peluru senjata otomatis dari tentara-tentara Belanda yang bersembunyi di bukit-bukit sekitar tempat itu. “Itu memang bukan salah saya, tetapi kalau saya waktu itu memberitahu komandan mereka langsung mungkin saja mereka masih hidup sampai sekarang …” ujarnya.. Sejarawan asal Australia Robert B. Cribb mengkonfirmasi soal keterlibatan kaum perempuan di era revolusi ini. Dalam Gangters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949 , Cribb menyatakan penyelundupan senjata ke pihak Republik juga melibatkan para pelacur di Pasar Senen.
- Para Bintang yang Disanjung Standing Ovation
RIBUAN Juventini (fans Juventus) langsung berdiri dari kursi dan bertepuk tangan usai gawang tim pujaan mereka kebobolan untuk kedua kali dalam leg pertama perempat final Liga Champions kontra Real Madrid, Rabu (4/4/18) dini hari WIB. Bukan maksud “pindah ke lain hati”, mereka melakukan standing ovation (penghormatan dengan berdiri) untuk Cristiano Ronaldo lantaran bintang Madrid itu membuat satu gol indah. Pelatih Juve Massimiliano Allegri hingga Buffon sampai menyanjung gol yang terjadi di menit ke-64 itu. Tapi bukan itu yang paling diapresiasi Ronaldo, melainkan standing ovation ribuan Juventini . Aksi fans lawan macam begini masih langka dalam sejarah sepakbola. Hanya segelintir pemain beken yang pernah mendapatkannya . Ronaldo bukan satu-satunya. Siapa saja mereka? Alfredo di Stefano Pemain berjuluk “Si Panah Pirang” ini mendapatkan standing ovation pada 30 Maret 1952 kala bersama timnya Millonarios de Bogota mengikuti turnamen segitiga dalam rangka perayaan 50 tahun Real Madrid. Aksi-aksi menawan Di Stefano plus dwigolnya di menit ke-35 dan 50 tak hanya mengantar timnya menekuk tuan rumah 4-2 tapi juga membuat seisi Estadio Santiago Bernabeu terhipnotis. Gemuruh tepuk tangan sontak timbul untuknya. Selepas turnamen, Presiden Madrid Santiago Bernabeu Yeste, membajaknya dari Millonarios ke Madrid. “Pemain ini punya aroma sepakbola yang bagus,” sanjung Bernabeu, dikutip Richard Fitzpatrick dalam El Clasico: Barcelona v Real Madrid, Football’s Greatest Rivalry. Pele Edson Arantes do Nascimento alias Pele bak “dewa” dalam sepakbola. Dia juga pernah merasakan bangganya disambut standing ovation. Ironisnya penghormatan itu terjadi –di final Piala Dunia 1958 Swedia– setelah awalnya dia dipandang sebelah mata oleh hampir seisi Rasunda Stadium. Atraksi-atraksi menawan plus sumbangan dua gol Pele mengantarkan Brasil menaklukkan tuan rumah 5-2. Usai peluit panjang wasit, puluhan ribu penonton tuan rumah dan Raja Swedia Gustaf IV Adolf pun bertepuk tangan sambil berdiri di tribun kehormatan. “Rasanya mustahil tidak bertepuk tangan terhadap briliannya permainan Pele,” cetus sang raja, dikutip situs resmi FIFA, 9 Maret 2016. Gerrie Muhren Meski nama middenvelder (gelandang) Ajax Amsterdam ini kurang familiar, saat berhadapan dengan Real Madrid di leg kedua semifinal European Cup (kini Liga Champions), 25 April 1973, Gerardus Dominicus Hyacinthus “Gerrie” Muhren membuat momen spektakuler. Sekira 80 ribu fans Madrid angkat topi setelah gol tunggalnya yang ciamik. “Muhren men- juggling bola selama beberapa detik laiknya dia sedang bermain di jalanan sebelum mencetak gol. Seisi Bernabeu kemudian memberinya standing ovation ,” tulis Simo Kuper dalam Ajax, the Dutch, the War: The Strange Tale of Soccer During Europe’s Darkest Hour. Laurie Cunningham Bintang Real Madrid asal Inggris yang dijuluki “Mutiara Hitam” ini mengukir nama di laga El Clasico kontra Barcelona, 10 Februari 1980. “Dia satu dari sedikit pemain Madrid yang menerima standing ovation di Camp Nou (markas Barcelona),” tulis situs resmi klub, realmadrid.com . Bukan karena menyumbang dua gol tanpa balas Madrid atas Barca, penghormatan itu dia dapat karena aksi-aksinya mengecoh lini pertahanan lawan. Klimaksnya, Cunningham mempermainkan bek Barca Rafa Zuviria hingga frustasi tanpa sekalipun bisa merebut bola dari kakinya. Diego Maradona Bak sayur tanpa garam jika menyebut nama Pele tapi tak menyinggung nama Diego Armando Maradona Franco. Di pertandingan leg pertama final Copa del Rey kontra Real Madrid yang berakhir imbang 2-2, 26 Juni 1983, Maradona mencetak gol kedua nan fenomenal. Di menit 57, Maradona men- dribble bola dengan cepat, mengecoh kiper Agustin Rodriguez ke kanan dan mengubah alur gocekan lagi ke kiri hanya sepersekian detik untuk menghindari tekel bek Juan Jose. Dengan sontekan tipis, Maradona menceploskan bola. “Seketika para fans Madrid memberinya standing ovation ,” ungkap situs resmi klub, fcbarcelona.com. Ronaldo Ronaldo Luiz Nazario de Lima atau Ronaldo “plontos” mencetak hattrick ke gawang Manchester United di leg kedua perempatfinal Liga Champions 23 April 2003. Meski kalah 3-4, tiga gol Ronaldo tetap meloloskan Madrid ke semifinal (agregat 6-5). Saat digantikan pemain lain, Ronaldo keluar lapangan diiringi standing ovation seisi Old Trafford. “Sungguh malam yang magis, menakjubkan. Saya keluar lapangan disambut ovation dari fans (Manchester). Luar biasa rasanya,” cetus Ronaldo, disitat situs resmi FIFA. Ronaldinho Ronaldo de Assis Moreira menjadi pemain Barcelona kedua setelah Maradona yang mendapatkan standing ovation dari para fans Madrid. Kejadian itu berlangsung di Santiago Bernabeu, 19 Novemer 2005. Ribuan pasang mata di stadion tersihir oleh cantiknya permainan Ronaldinho. Madrid terbantai 0-3 dan Dinho mencetak dua di antaranya. Bek-bek Madrid terkecoh tak berdaya, pun kiper Iker Casillas. “Laga yang sempurna. Saya takkan melupakannya karena sangat langka pemain bisa diapresiasi seperti itu oleh fans lawan,” kenang Dinho, dikutip Rebecca Murcia dalam Ronaldinho. Alessandro Del Piero Publik Madrid kembali berbesar hati kala tim pujaan mereka menjamu Juventus, 5 November 2008. Kali ini mereka memberi standing ovation pada maestro Juve Alessandro Del Piero. Dua golnya membawa Juve menang 2-0 dan lolos ke 16 besar. Pelatih Madrid Bernd Schuster angkat dua jempol untuknya. “Dia pantas diberi ovation karena Del Piero pemain hebat. Dia membuktikan kelasnya dan Bernabeu mengakui fakta ini,” cetus Schuster dikutip uefa.com , 6 November 2008. Iniesta, Eduardo, Neymar dan Totti Dalam periode 2010 ke atas, tercatat nama Andres Iniesta (Barcelona), Eduardo da Silva (Shaktar Donetsk), Francesco Totti (AS Roma), dan Neymar da Silva (Santos) juga pernah dibuat bangga standing ovation. Iniesta mendapatkanya pada 12 Desember 2010 kala Barcelona melawan Espanyol. Di tahun yang sama, Eduardo juga mendapatkan ovation dalam laga Liga Champions kontra Arsenal. Sedangkan Neymar mendapatkannya usai mencetak hattrick ke gawang Cruzeiro pada 2012. Totti sang “Pangeran Roma” menikmati ovation Bernabeu pada 8 Maret 2016 saat baru masuk dari bangku cadangan di Liga Champions kontra Madrid.





















