top of page

Hasil pencarian

9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Menggali Ilmu Perbintangan dari Nenek Moyang

    Pengetahuan astronomi hampir dimiliki semua etnis di Nusantara, baik masyarakat maritim maupun agraris. Kendati dibalut mitologi, nenek moyang Nusantara telah merekam dan menjelaskan dengan baik fenomena alam yang diamatinya termasuk astronomi.  Contohnya, di Jawa Kuno dan Bali Kuno dikenal jabatan wariga. Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada, menjelaskan tugas wariga adalah menentukan waktu dan tempat yang baik untuk memulai suatu pekerjaan. Caranya dengan membaca kejadian alam yang berulang atau gerakan benda-benda di langit. Di Bali, wariga adalah istilah untuk menyebut primbonnya. “Naskah lontar kemudian juga ada yang disebut wariga , karena memuat pengetahuan astronomi dan penanggalan rumit juga,” kata Daud dalam seminar “Menghidupkan Lagi Pengetahuan Astronomi Tradisional” di Pekan Kebudayaan Nasional, Istora Senayan, Jakarta. Beberapa prasasti menyebut profesi wariga . Misalnya, prasasti-prasasti dari masa pemerintahan Rakai Kayuwangi (856-883) dan Rakai Watukura (901-910). Di sana disebut beragam jabatan di desa. Menurut ahli epigrafi, Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti , jika dijumlahkan semuanya kira-kira lebih dari 30 jabatan. Namun, hanya sepuluh nama yang sering disebut antara lain  wariga,  gusti, kalang ( tuha kalang ), winkas, tuha banua, parujar, huluair, tuhālas, tuha wәrәh, dan hulu wras. Seorang wariga Jawa Kuno biasanya mengamati konfigurasi bintang-bintang dan planet-planet ketika perintah raja dituangkan dalam sebuah prasasti. Misalnya dalam Prasasti Tuhannaru. Selain berisi penetapan desa perdikan, prasasti ini dibuka dengan informasi pertanggalan lengkap ketika prasasti itu diturunkan. Termasuk konfigurasi bintang-bintang dan planet-planet di langit Mojokerto ketika itu, yaitu 1245 Saka, Masa (bulan dalam tarikh Saka) Margasira yang merujuk pada November hingga Desember. Menurut Trigangga, kurator Epigrafi Museum Nasional dalam artikel “Posisi Bulan dan Matahari Berdasarkan Unsur-unsur Penanggalan Prasasti” yang terbit di Pentas Ilmu di Ranah Kebudayaan, jika dikonversikan ke tarikh Masehi, prasasti tembaga itu dikeluarkan pada sekira pukul 06.56 pagi, hari Selasa Legi, tanggal 13 Desember 1323, lengkap dengan konfigurasi bintang-bintang dan planet-planet. Posisi benda langit juga penting ketika orang kuno akan membangun bangunan suci. Hal pertama yang mereka lakukan ketika akan mendirikan candi adalah menanam tiang gnomon untuk melihat bayangan matahari. Mereka mencari titik pusat yang sakral atau brahmasthana sebagai pusat candi. Di sinilah kekuatan yang melindungi bangunan suci itu dianggap ada. Ilmu astronomi juga banyak dianggap menjadi dasar pembangunan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Sejumlah penelitian memberikan beberapa kemungkinan tentang fungsi astronomisnya. Daud menjelaskan, ada penelitian yang menduga kalau stupa induk di Borobudur adalah sebuah gnomonnya dan stupa di sekelilingnya adalah penanda waktu. Cara kerjanya mirip seperti jam matahari. Ada juga yang menyebutnya sebagai kalender tahunan. Pun ada pula yang menghubungkan pada arah bintang-bintang tertentu. “Pendapat ini masih beragam. Ada yang mengaitkan dengan gerakan matahari karena Buddha disimbolkan dengan matahari juga, jadi ada yang mengkaitkannya dengan itu,” jelas dia. Di sisi lain, oritentasi Candi Borobudur juga mengarah ke Gunung Merapi. Menurut Daud, ini bisa dikaitkan dengan upaya memadukan unsur agama Buddha dan sebagai landmark untuk tetenger . Pasalnya, keduanya sering dikaitkan dengan matahari dan gunung. “Jadi Candi Borobudur sendiri juga diduga merupakan perpaduan antara ajaran Buddha dan mengingat nenek moyang,” kata Daud. Konsep itu rupanya juga terlihat di Situs Liyangan di kaki Gunung Sindoro, Temanggung, Jawa Tengah. Situs ini terungkap beberapa tahun lalu. Daud mencoba menganalisis sepuluh bangunan candi yang ada di sana. Ketika diukur, candi-candi yang berusia relatif tua mengarah ke gunung api, yang waktu itu dikenal juga sebagai mandala agni. Sementara candi-candi yang lebih muda ternyata mengarah ke Candi Prambanan. “Nah Candi Prambanan itu adalah tetenger dari nenek moyang mereka. Jadi barangkali ada kaitannya astronomi dengan konteks pemikiran mereka yang berhubungan dengan nenek moyang. Ini butuh dikaji lebih jauh lagi,” jelas Daud. Daud mengatakan sistem kosmologi yang dimiliki orang Jawa ini juga ditemukan di Pasifik. Ia menduga ini merupakan pengetahuan yang dibawa oleh para penutur Austronesia yang berkelana ke kepulauan Nusantara. “Ini bukan Hindu Buddha. Saya curiga sebagai Austronesia karena mereka yang berkelana lalu dimantapkan pada masa Hindu Buddha,” katanya. Namun, budaya India juga punya andil terhadap ilmu perbintangan Jawa Kuno. Khususnya, menurut Trigangga, kalender Jawa Kuno banyak dipengaruhi kalender Hindu (India) sebagaimana terlihat dari unsur-unsur penanggalan yang tercantum dalam prasasti. Sementara kalau melihat unsur-unsur penanggalan yang tercantum dalam prasasti, tidak semuanya merujuk kepada pergerakan benda-benda angkasa. Contohnya unsur penanggalan dewata, menunjukkan bahwa setiap kelompok benda angkasa itu ada penguasanya (dewa). “Dewa-dewa dianggap memiliki teritorial dan menguasai benda-benda angkasa tertentu dan mempengaruhi kehidupan manusia yang lahir di bawah tanda itu,” kata Trigangga. Soal era atau tarikh, Jawa Kuno memakai kalender Tarikh saka. Sistem kalender ini awalnya tersebar dari India Selatan ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, khususnya Jawa dan Bali. Dalam Masehi, persisnya tarikh ini dihitung mulai dari 2 Maret 78. Namun, astrologi Jawa Kuno tak sepenuhnya mengikuti kaidah astrologi India. Ini tertutama dalam soal penamaan. Soal unsur penanggalan, bisa jadi masyarakat Jawa Kuno menciptakan lebih banyak daripada orang India. Contohnya, dalam penggunaan unsur penanggalan wuku dan wara. Di India hanya mengenal saptawara, di Jawa dan Bali selain saptawara, diciptakan juga tri, catur, panca, sad, asta, sanga, dan dasawara. “Itu yang membuat kalender Jawa Kuno begitu rumit, tapi di balik kerumitan itu, tersirat kemudahan untuk merekonstruksi unsur-unsur penanggalan prasasti yang rusak atau hilang,” kata Trigangga. Menurut Trigangga, dibandingkan kalender India, unsur-unsur penanggalan pada kalender Jawa Kuno sangat lengkap, terdiri atas warşa (tahun), māşa (bulan lunar), samkrānti (bulan solar), tithī dan pakşa (satuan waktu yang lebih kecil dari bulan lunar), nāma tithī (siklus lima harian dalam bulan lunar), karaņa (setengah harilunar), wāra (hari solar), wuku (unsur penanggalan asli Jawa), nakşatra dan dewatā (sekelompok bintang), yoga (pergerakan bulan dan matahari secara bersamaan dalam mengelilingi bumi), grahacāra (lintasan planet), maņdala (wilayah pengelompokan bintang), parwweśa   (simpul), rāśī (zodiak), dan muhūrta (satuan waktu terkecil dalam sistem penanggalan Jawa kuno). Sementara masyarakat Jawa sekarang yang mewarisi pengetahuan ilmu perbintangan dari leluhurnya masih berpedoman kepada pranata mangsa. Ini adalah penanggalan yang berkaitan dengan musim, khususnya dari kalangan petani dan nelayan. Lalu ada primbon , pengetahuan tentang horoskop Jawa, watak atau kepribadian manusia berdasarkan tanggal lahir, atau berdasarkan hari lahir ( weton ), makna mimpi, tanda-tanda di tubuh, ramalan jodoh. Adapun petungan, adalah penentuan hari baik dan hari buruk untuk melakukan pekerjaan, membangun rumah, penentuan jodoh dan waktu pernikahan. “Dari sejarah perkembangannya," kata Trigangga, "astrologi India yang juga mendapat pengaruh budaya Yunani telah memperkaya ilmu perbintangan yang sudah dimiliki masyarakat Jawa Kuno.”

  • Partai Komunis Cina Hendak Membungkam Islam?

    SEJAK mukadimahnya, artikel panjang yang ditayangkan tempo.co  pada 24 September 2018 langsung menulis bahwa pemerintah Cina, khususnya di wilayah barat laut ( xibei ) yang menjadi mastautin utama 10 etnis minoritas penganut Islam di negara yang sejak 1949 dipimpin Partai Komunis Cina (PKC) itu, telah “dengan sistematis ... mengekang muslim untuk beribadah, mulai dari pembongkaran kubah masjid sampai melarang praktik Islam.”

  • Anak Raja Sunda Mencari Islam

    SELAMA lebih dari 500 tahun, Pakuan Pajajaran berhasil menjaga ajaran Hindu tetap hidup di tatar Sunda. Puncaknya, di bawah kuasa Prabu Siliwangi –bernama asli Raden Pamanah Rasa atau Pangeran Jaya Dewata– Pajajaran menjadi Kerajaan Hindu-Budha terbesar di barat pulau Jawa. Namun besarnya pengaruh Prabu Siliwangi di tatar Sunda tidak menjadi jaminan ajaran Hindu akan tetap bertahan di sana. Itu terbukti para leluhur Sunda gagal mewariskan keyakinan yang dianutnya itu kepada generasi setelahnya. Antara Hindu dan Islam Dikisahkan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, pada 1422, Prabu Siliwangi mempersunting putri Ki Gedheng Tapa, Nyai Subang Larang. Peneliti Atje, dalam Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari, menyebut Ki Gedheng Tapa sendiri adalah seorang penguasa tanah dan syahbandar Muara Jati yang tinggal di daerah kekuasaan Kerajaan Sunda Galuh. Sebelum memperistri Subang Larang, Prabu Siliwangi harus memenuhi beberapa syarat yang diberikan oleh guru sang calon istri, yakni Syaikh Hasanuddin dari Pondok Quro Pura Dalem Karawang. Pertama, Subang Larang harus menjadi permaisuri saat Prabu Siliwangi menduduki takhta raja. Kedua, ia diperbolehkan tetap menganut agama Islam sebagai kepercayaannya karena Subang Larang merupakan penganut Islam yang taat dan murid kesayangan Syaikh Hasanuddin. “Pangeran Jaya Dewata berjanji akan memenuhi persyaratan tersebut, dan janjinya ini dibuktikannya setelah ia dinobatkan menjadi raja,” kata Eman Suryaman dalam Jalan Hidup Sunan Gunung Jati: Sejarah Faktual dan Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita-Raja . Dari pernikahan Prabu Siliwangi dengan Subang Larang itu lahirlah tiga anak, yaitu Raden Walasungsang, Nyai Rara Santang, dan Raden Sangara (Kiansantang). Ketiganya dibesarkan dalam kemewahan istana dan dua agama berbeda. Sang ibu dengan Islamnya dan sang ayah dengan Hindunya. Meski Islam telah diperkenalkan di kerajaannya, Prabu Siliwangi tetap menjadi penganut Hindu yang taat. Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari tidak dijelaskan dengan jelas agama apa yang ditekuni oleh ketiga anak Prabu Siliwangi selama di istana. Namun setelah kematiam ibunya, Prabu Walasungsang yang telah ditetapkan sebagai putra mahkota memutuskan untuk meninggalkan istana. Ia pergi dalam sebuah pengembaraan mendalami agama Islam. Kepergian Walasungsang itu membuat seisi negeri gempar. Bagaimana tidak, putra tertua yang telah ditunjuk meneruskan Pajajaran memilih untuk keluar istana. Rara Santang yang dekat dengan kakaknya itu juga merasa sangat kehilangan. Tidak lama ia pun akhirnya memutuskan pergi untuk mencari Walasungsang. Melepaskan seluruh kemewahan istana yang selama ini didapatkan. Mulanya Rara Santang pergi ke sekitar Gunung Tangkuban Perahu. Di sana ia bertemu dengan Nyai Indang Saketi. Olehnya, Rara Santang disarankan menemui Ki Ajar Saketi di Argaliwung –naskah Carita Purwaka Caruban Nagari tidak menjelaskan di mana letaknya tetapi para ahli menyebut lokasinya ada di sekitar Ciamis. Setelah bertemu, Ki Ajar Saketi menyuruh Rara Santang pergi ke Gunung Mara Api (Marapi) di Ciamis. “Di tempat ini berakhirlah pengembaraan Nyari Rara Santang dalam mencari sang kakak, Walasungsang, dan akhirnya mereka pun bertemu,” tulis Eman. Dalam Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa Menurut Penuturan Babad , Ridwan Sofwan dkk menceritakan bahwa di tempat pertemuan itu, Walasungsang telah lebih dahulu bertemu seorang pendeta Budha bernama Ki Gedheng Danuwarsih. Keduanya pun tinggal di rumah sang pendeta untuk waktu yang cukup lama. Walasungsang diceritakan jatuh hati kepada putri Ki Gedheng Danuwarsih bernama Nyai Indah Geulis. Setelah menikah, Rara Santang bersama Walasungsang serta kakak iparnya, melanjutkan perjalanan menuju Amparan Jati, Cirebon. Tiba di Amparan Jati, mereka disambut langsung oleh penguasa di sana, yakni Ki Gedheng Tapa, yang tidak lain adalah kakek Rara Santang dan Walasungsang sendiri. Amparan Jati saat itu telah menjadi wilayah persebaran Islam pertama di tatar Sunda. Di sana, adik-kakak itu diperkenalkan kepada Syaikh Datuk Kahfi, penyebar Islam pertama di Sunda. Keduanya pun diangkat menjadi murid sang ulama dan mempelajari lebih dalam tentang agama Islam. Syaikh Datuk Kahfi lalu memberi Walasungsang gelar Ki Somadullah, dan Nyai Rara Santang gelar Syarifah Mudaim. Dirasa mampu, Ki Somadullah oleh gurunya diberi tugas membangun perkampungan di Kebon Pesisir sambil menyebarkan Islam. Babad Cirebon yang disunting oleh ahli bahasa dan penyusunan kamus berkebangsaan Belanda J.L.A. Brandes menjelaskan bahwa daerah Kebon Pasisir yang menjadi pusat penyebaran ajaran Islam oleh Ki Somadullah berada di sebelah timur Pasambangan, di sebuah wilayah yang dikenal sebagai Tegal Alang-Alang. Sekarang daerah itu disebut Lemah Wungkuk, masuk di dalam administrasi Cirebon. Menurunkan Ajaran Islam Setelah berhasil membangun Kebon Pasisir menjadi salah satu pusat dakwah dan dagang di Cirebon, Ki Somadullah dan Syarifah Mudaim disarankan oleh Syaikh Datuk Kahfi pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka pun mengikuti saran gurunya tersebut. Di Tanah Suci, keduanya menetap di rumah Syaikh Bayanullah, adik Syaikh Datuk Kahfi. Ketika sedang melangsungkan ibadah di Makkah ini, Syarifah Mudaim bertemu dengan suaminya. Sejarawan Edi S. Ekadjati di dalam penelitiannya mengkaji Babad Cirebon Edisi Brandes , dimuat Sunan Gunung Jati: Penyebar dan Penegak Islam di Tatar Sunda, menyebut kalau suami Syarifah Mudaim adalah Molana Huda, seorang sultan di Mesir yang menguasai jazirah Arab. Ia bertemu dengan Molana Huda saat berkunjung ke Beta’lmuqdas. “Kiranya yang dimaksud dengan Beta’lmuqdas itu adalah Masjidil Aqsa yang terletak di kota Yerusalem yang kini di bawah kuasa Israel, walaupun masuk ke dalam wilayah Palestina,” kata Edi. Molana Huda yang saat itu sedang dirundung duka setelah orang yang sangat dicintainya wafat, memerintahkan salah seorang pejabat istana, Qadi Jamaluddin, mencari seorang perempuan yang memiliki wajah mirip istrinya. Setelah cukup lama mencari, sang utusan menemukan Nyari Rara Santang sedang beribadah di Beta’lmuqdas. Ia menilai perempuan asing ini sesuai dengan kriteria yang diminta sultan. Bersama kakaknya, Ki Somadullah,  dibawalah Syarifah Mudaim  menghadap Molana Huda. Sultan langsung jatuh hati, dan segera meminang sang gadis. “Syarifah Mudaim menerima lamaran itu, tetapi dengan syarat bahwa dari pernikahannya akan menurunkan anak lelaki yang akan menjadi penyebar agama dan penegak kekuasaan Islam di tanah Sunda,” kata Edi. Setelah pernikahannya, Syarifah Mudaim ikut Molana Huda ke Mesir. Sementara Ki Somadullah kembali ke Amparan Jati untuk melanjutkan dakwahnya. Seperti diketahui dari pernikahannya itu Syarifah Mudaim dikaruniai dua orang putra, yakni Syarif Hidayatullah, dan Syarif Nurullah. Sesuai kesepakatan, setelah menginjak usia yang cukup Syarif Hidayatullah meninggalkan Mesir untuk menyebarkan Islam di Tatar Sunda. Kemudian hari, ia dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, wali penyebar Islam terbesar di Jawa Barat.

  • Taktik Belanda Berantas Amok dan Perlawanan Pribumi

    SEORANG lelaki Tionghoa mengamuk pada malam 6 Juli 1938. Selain memecahkan cangkir dan piring, ia hampir membunuh anak perempuan dan pembantunya. Di tempat lain, di Losari, seorang lelaki Jawa keliling desa sambil membawa golok. Dengan seenaknya dia masuk ke rumah orang seraya mengancam akan menebas siapa saja yang menghalangi jalan. Warga desa dibuatnya lari tunggang langgang kendati tak ada korban jiwa dalam keributan ini. Kedua lelaki itu terserang amok. Si lelaki Tionghoa kemudian dikirim keluarganya ke rumahsakit jiwa (RSJ). Sementara, si lelaki Jawa mesti ditangkap petugas keamanan terlebih dulu sebelum dilarikan ke RSJ. Kala itu, pemerintah Hindia Belanda sudah mengizinkan rumahsakit menerima pasien pribumi. Beberapa pasien miskin yang dianggap mengganggu keamanan dirawat secara cuma-cuma. Kebijakan menerima pasien pribumi ini, menurut Sebastiaan Broere dalam tesisnya “In and Out of Magelang Asylum”, didasari keinginan untuk meniadakan anggapan kalau yang bisa terkena gangguan jiwa hanya orang Eropa. Dengan menerima pasien pribumi, pemerintah ingin membuktikan kalau pribumi pun bisa terkena gangguan jiwa. Kebijakan itu juga didasari adanya kekhawatiran warga Eropa kalau sewaktu-waktu diserang pribumi yang sedang terkena amok. Serangan mental ini sempat bikin mandor-mandor merasa takut pada budaknya sendiri. Budak yang terserang amok berani menyerang mandor atau majikannya, bahkan hingga membunuh. Amok merupakan gangguan mental terikat budaya. Penderitanya akan mengalami ledakan emosi yang seringnya diikuti kekerasan. Serangan amok biasanya terjadi setelah mengalami rasa malu atau tekanan psikis ekstrem. Orang yang terserang amok akan menyerang siapapun yang ada di depannya dengan cara mematikan. Satu kali serangan amok biasanya bertahan berjam-jam, diikuti pingsan, dan lupa ingatan. Karena efeknya yang membahayakan orang sekitar inilah kebanyakan penderita amok dimasukkan ke RSJ. Menurut dr. PKM Travaglino, psikiatris yang bertugas di RSJ Lawang, Malang, skizofrenia yang diderita orang Jawa mirip ciri amok. Penderita skizofrenia memiliki symptom ledakan ekspresi, berbicara tak karuan, berteriak, menyanyi, memaki, merobek baju, hingga bertindak agresif dan destruktif. Simptom skizofrenia juga mengakibatkan pasien kehilangan orientasi, kurang konsentrasi, mudah tersinggung, dan luapan ekspresi yang tinggi. Dalam “The Development of Psychiatry in Indonesia, From Colonial to Modern Times”, Hans Pols menyebut pasien skizofrenia juga menunjukkan kondisi mental yang di luar nalar. Meski demikian, pasien ini bisa sembuh dalam beberapa minggu. Sebelum mengambil kesimpulan bahwa amok merupakan symptom pasien skizofrenia, Travaglino bertemu Emile Kreapelin, ahli psikiatri biologis yang sempat mengunjungi RSJ Bogor. Travaglino menanyakan pengalaman Kreapelin mengahadapi pasien amok. Menurut Kreapelin, seperti ditulis Nathan Porath dalam “The Naturalization of Psychiatry in Indonesia and Its Interaction with Indigenous Therapeutics”, amok adalah bentuk dari epilepsi psikis. Namun ketika Travaglino menangani 80 pasien epilepsi, tak satu pun punya gejala seperti amok. Dalam laporannya tahun 1920, Travaglino menyanggah pendapat Kreapelin. Travaglino menyebut ia sempat sepakat dengan temuan Kreapelin, namun pernyataan Kreapelin tak terbukti. Pasien amok, tulis Travaglino, lebih mirip gejala skizofrenia. Pasien-pasien amok ini akan menjalani perawatan kejiwaan. Jika dianggap sudah membaik, mereka akan ditempatkan pada bagian pertanian milik rumahsakit. Mereka baru dibebaskan jika dianggap tidak membahayakan lingkungan, sesuai hukum tentang kejiwaan yang ditetapkan pada 1879. Namun, diksi “membahayakan” jadi amat luas . Menurut Broere, RSJ kadang jadi senjata pemerintah kolonial untuk mengurung orang-orang dengan alasan politik. D engan begitu kebijakan ini dijadikan alat represif pemerintah untuk menangkapi orang-orang yang membelot. Broere menemukan contoh, seorang lelaki Batak berusia 46 tahun yang dimasukkan ke RSJ Magelang meski perilakunya sama sekali tidak mengganggu kenyamanan lingkungan atau membutuhkan penanganan medis. Catatan psikiatris yang menanganinya menyatakan, perilaku si lelaki Batak bisa diterima dan berfungsi normal dalam masyarakat kolonial. Meski demikian, ia tetap dirawat di RSJ Magelang selama 12 tahun. Setelah itu ia dikirim ke daerah pertanian di Lenteng Agung. Broere menduga si lelaki Batak merupakan pejuang kemerdekaan yang fanatik. Dengan memasukkan tokoh-tokoh perjuangan ke RSJ, ada upaya pelabelan bahwa pembelot mengalami gangguan jiwa. Dalam hal ini merupakan upaya pemerintah Belanda mendelegitimasi protes atau pemberontakan yang dilakukan kaum pribumi.

  • Menggali Ilmu di Langit

    SETIAP hari seorang gadis cantik lewat di dekat gubuk untuk mengantar makanan ke sawah. Terpesona oleh kecantikan sang gadis konsentrasi pemuda-pemuda yang sedang membangun gubuk itu pun terganggu. Akibatnya ketika selesai gubuk menjadi miring. Kisah itu kemudian diabadikan orang Jawa sebagai nama rasi bintang, yaitu rasi gubug penceng  (miring) atau yang dikenal dengan rasi layang-layang. “ Rasi ini punya makna penting karena dipakai untuk menunjuk arah selatan,” ujar Premana Permadi, kepala Observatorium Bosscha, dalam seminar “Menghidupkan Lagi Pengetahuan Astronomi Tradisional” di Pekan Kebudyaan Nasional, Istora Senayan, Jakarta. Adapun sang gadis cantik dalam legenda itu pun diabadikan sebagai nama rasi bintang, Lintang Wulandjar Ngirim. Dalam astronomi modern, ia adalah rasi yang terdiri dari dua bintang paling terang di rasi Centaurus , yaitu Alpha Centauri dan Beta Centauri. Dalam pameran “Langit untuk Semua: Astronomi dalam Budaya Nusantara” di Pekan Kebudayaan Nasional dijelaskan, bersama lintang Gubug Penceng, Lintang Wulandjar Ngirim disebut dengan rasi bintang pari oleh beberapa suku di Nusantara. Dalam kalender pranata mangsa, Lintang Wulandjar Ngirim menempati posisi mangsa kawolu  (ke-8), yaitu saat padi masih menghijau, sekira 4 Februari sampai 28/29 Februari. Ada lagi Lintang Kartika, salah satu obyek langit yang banyak mendapat perhatian masyarakat kuno sebagai acuan navigasi dalam dunia pelayaran. Dalam dunia pertanian, rasi ini menunjukkan dimulainya musim kapitu  (ke-7) dalam pranata mangsa . Mangsa kapitu  dimulai dari 22 Desember hingga 2 Februari. Dalam pranata mangsa , rasi ini merupakan waktu untuk memindahkan bibit padi ke sawah. Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada menerangkan, kendati hidup di pedalaman sebagai masyarakat agraris, kemampuan astronomi tetap dibutuhkan. Seperti dalam hal menyusun pranata mangsa,  kalender pertanian yang dikenal di Jawa dan Bali. Kalender ini berguna untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk menyemai, menanam, dan memanen padi. “Bahkan kapan harus berburu, memotong bambu, karena ada musim tertentu yang kalau dipotong bambunya akan jelek,” lanjut Daud dalam seminar itu. “Ini adalah kekayaan etnosains yang luar biasa, yang belum kita gali.” Bukan cuma dibutuhkan oleh masyarakat agraris. Pengamatan astronomis sudah muncul dari kebiasaan masyarakat Nusantara sebagai penjelajah lautan. Sudah sejak lama orang Nusantara lahir sebagai bangsa yang selalu dalam lingkungan laut. Langit menjadi sesuatu yang terbuka di mana mereka menimba ilmu pengetahuan. “Tiga ribu tahun lalu kita sudah sampai ke India. Kita yang ke sana duluan,” ujar dia. “Tidak mengherankan hampir semua etnis di Nusantara ada keterampilan tentang astronomi. Berbeda dengan masyarkat tradisional, kini relasi manusia dengan langit semakin tipis. Utamanya karena memburuknya polusi cahaya. Orang pun menjadi lebih jarang menengadah ke langit untuk melihat fenomena astronomis. Daud bilang, orang kini lebih percaya dengan ilmu astronomi modern. Pasalnya yang tradisional lebih banyak dibalut dengan mitos yang dianggap irasional. “Padahal semua ini rasional, tapi karena bagiamana mereka menyampaikan, kalau disampaikan seperti ilmu pengetahuan sekarang saya kira pikiran mereka terlalu penuh. Tapi kalau dengan cerita, dongeng, jauh lebih mendalam mudah dipahami bahkan oleh anak kecil sekalipun,” jelas Daud. Filsuf dan astronom, Karlina Supelli menjelaskan sistem pengetahuan tradisional memang lebih banyak diturunkan secara oral dari generasi ke generasi. Ada sumber tertulis, tetapi umumnya hanya bisa diakses oleh satu kelompok masyarakat tertentu. “Misalnya oleh resi, pandita agama, sementara yang diwariskan lewat dongeng, cerita, mitos, biasanya yang sifatnya umum-umum saja,” katanya dalam seminar itu. Contohnya, kisah Dewi Sri yang dikenal masyarakat Sunda dengan nama Nyi Pohaci. Menurut Karlina, mitos ini adalah pelajaran bahwa dalam setangkai padi ada dinamika kehidupan. Ketika mitos ini diabaikan, masyarakat pun berisiko kehilangan kesadaran lingkungan. “Memupus kesadaran dinamika benih dari tanam sampai panen sebagai bagian dari kosmos. Memupus juga pemahaman sosial tentang keadilan,” kata Karina. “Tanah itu hajat hidup orang banyak.” Menurut Karlina ada caranya agar mitos-mitos tentang kearifan lokal ini bisa diterima di masa modern. Yaitu dengan keterbukaan dan kesediaan menerima apa yang di dalam masyarakat tradisional diterima dan dihayati sebagai realitas. Pun mengubah cara pandang memperlakukan mitos sebagai cerita khayal seakan dongeng. “Mitos punya logika naratif, pola pikir intuitif yang puitis. Pengalaman spiritual tak mungkin dituturkan memakai bahasa diskursif. Ada metafor-metafor,” kata Karlina. “Bagaimana apakah kita bersedia menerima banyak pengetahuan dari sumber pengetahuan dan mengurangi intoleransi?”*

  • Cara Panggabean Permalukan Gerombolan Pengacau Keamanan

    MENYUSUL dikeluarkannya pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada akhir 1949, upaya pemulihan keadaan pun dilakukan di berbagai tempat. Pada Februari 1959, Komandan Batalion 104 Waringin Brigade Tapanuli, TT I Bukit Barisan Mayor Maraden Panggabean mendapat perintah untuk memindahkan pasukannya. “Agar Batalion 104 berangsur-angsur dipindahkan ke Pematangsiantar, dengan tugas khusus mengambilalih tugas pengamanan daerah Simalungun dari eks Batalion Pengamanan NST, pimpinan Kapten Bisara Sinaga. Dalam tugas tersebut termasuk pembersihan jalan Pematangsiantar-Parapat dari gangguan dan perampokan gerombolan liar Simarmata, eks BHL (Barisan Harimau Liar, red .) yang diusir dari daerah perbatasan Riau-Tapanuli Selatan,” kata Maraden dalam otobiografinya, Berjuang dan Mengabdi . “Setiap batalion ditugaskan mengadakan patroli di wilayah masing-masing untuk memberantas kaum pengacau yang dimotori oleh sisa-sisa Barisan Harimau Liar itu,” tulis biografi istri Maraden yang ditulis Herry Gendut Janarto, Matiur M. Panggabean, Bunga Pansur dari Balige: Pengabdian dan Keteguhan . Tugas itu mulai dijalankan Maraden pada Maret. Setelah mencapai markas Batalion 104 di sebuah rumah di Jalan Kartini Pematangsiantar, Maraden segera mengoper tugas dari Kapten Bisara. “Serah-terima dengan Kapten Bisara Sinaga diadakan di lapangan di depan Hotel Siantar dan mendapat perhatian dari masyarkaat, yang menurut dugaan saya ingin melihat penampilan TNI yang baru keluar dari rimba,” sambung Maraden. Setelah serah-terima itu, Maraden segera mengatur penempatan pasukannya. Kepada bawahannya, dia perintahkan agar secepat mungkin mencari informasi tempat persembunyian gerombolan Simarmata. Kendati minim, informasi yang didapat kemudian memberitahu bahwa persembunyian gerombolan berada di hutan antara Tigadolok dan Aek Nauli. Perencanaan operasi penyergapan pun segera disusun. “Namun dengan tidak disangka sama sekali, pada suatu hari seorang anak laki-laki belasan tahun datang ke tempat kami dan mengatakan bahwa dia sanggup menunjukkan tempat persembunyian Simarmata. Dia juga membuktikan bahwa pada malam sebelumnya dia bermalam di sana,” kata Maraden. Dengan membawa satu peleton pasukan di bawah Letnan RF Soedirdjo, Maraden memimpin operasi rahasia tersebut. Mereka berangkat pada malam hari. Susah payah mereka melintasi hutan yang gelap-pekat dengan cara berjalan sambil saling berpegangan tangan. Sekira pukul 03 dini hari, mereka mencapai dekat suatu gubuk yang diperkirakan tempat persembunyian gerombolan. Setelah mengepung gubuk itu, Maraden memerintahkan anak buahnya menyerbu gerombolan di dalamnya. Sekira 12 anggota gerombolan pun tertawan. Simarmata tak ada dalam barisan tawanan itu lantaran berhasil menyelamatkan diri. Maraden menggiring para tawanan itu ke pinggir jalan raya antara Pematangsiantar dan Parapat. Setelah mengosongkan peluru senjata para tawanan, Maraden mengembalikan senjata-senjata itu kepada mereka dan memerintahkan mereka memberi hormat senjata kepada setiap kendaraan yang lewat. Selagi para tawanan memberi hormat senjata, Maraden dan pasukannya memberitahu para penumpang kendaraan yang melintas bahwa para prajurit yang memberi hormat senjata itu merupakan perampok kendaraan-kendaraan yang lewat. “Tidak berapa lama kemudian lewat satu kendaraan penumpang Pematangsiantar-Balige. Saya menyuruh kendaraan berhenti. Dengan sangat ketakutan perintah itu ditaati oleh sopirnya. Akan tetapi mulutnya terngaga ketika barisan yang berdiri di tepi jalan itu memberi hormat serta meminta maaf atas perbuatan mereka selama ini. Akhirnya, sopir dan para penumpang tertawa terbahak-bahak. Mereka mengerti dan mengucapkan banyak terima kasih kepada saya dan pasukan,” ujar Maraden.

  • Wajah Joker dalam Lima Aktor

    SIAPA tak kenal Joker alias Arthur Fleck? Haters Batman atau DC Comics saja hampir pasti tahu nama itu dari dua lembar kartu remi. Dari masa ke masa, ia lawan ikonik Batman alias Bruce Wayne. Ia musuh abadi paling dikenal ketimbang penjahat lainnya macam Catwoman, Mr. Freeze, The Riddler, atau Penguin. Dalam film Joker garapan sineas Todd Phillips ( Starsky & Hutch , Borat ; trilogi The Hangover ), Joker nongol lagi sebagai “antidot” bagi penikmat film yang sebelumnya jenuh dengan demam superhero macam Avengers: Endgame , Spider-Man: Far From Home atau Gundala misalnya. Di bioskop-bioskop tanah air, film ini sudah tayang sejak 2 Oktober 2019. Adalah Joaquin Phoenix yang memerankan Joker. Ia jadi aktor kelima pemeran si badut psikopat sejak karakter ciptaan Bob Kane, Jerry Robinson, dan Bill Finger dari DC Comics ini muncul di layar perak pertamakali pada 1966. Banyak kritikus film menyanjung peran Phoenix. Akting Phoenix bahkan dianggap menyandingi atau bahkan lebih greget ketimbang dua pemeran Joker ikonik lain: Jack Nicholson dan Heath Ledger. “Filmnya disturbingly beautiful . Soal pemeran Ledger atau Phoenix? Hmm , dua-duanya keren, sih. Phoenix karakternya lebih ke toxic society . Kalau Ledger, dia kuat karena selain karakter Joker-nya keluar banget, storyline -nya (di film The Dark Knight ) kece banget,” tutur Ragina Oksavinata, penonton Joker asal Ciputat, Tangerang Selatan. Gina punya kesan tersendiri soal para aktor pemeran Joker lain macam Nicholson dan Leto. Pengecualian hanya Romero lantaran belum pernah lihat film lawasnya. Pun begitu dengan tawa khas Joker. “Kalau dibandingkan Leto, pastinya lebih bagus Nicholson. Leto munculnya cuma sedikit (di Suicide Squad ), terus storyline -nya aneh. Kalau disuruh milih yang terbaik urutannya pasti Ledger, baru Phoenix dan seterusnya Nicholson, baru Leto. Masih belum ada yang bisa ngalahin Ledger,” imbuhnya. Founder komunitas Gotham Citizen Club (GCC) Galih Aristo senada soal gregetnya akting Phoenix. “Dia bisa memerankan karakter Joker jadi sangat nyata dan terasa dekat dengan situasi sosial kita sehari-hari,” ujar Galih kepada Historia . Satu hal lain yang disukai Galih dari Joker versi film bikinan Todd Phillips adalah karakter Joker yang digarap menurut versi Phillips sendiri. Fresh direction , eksperimental, dan berbeda dari versi-versi komik. Maka, Galih merasa tak apple-to-apple jika membandingkannya dengan Joker lain di beragam film dengan diperankan aktor-aktor lain. “Kita bisa melihat Joker (yang diperankan) Ledger itu sebagai pribadi yang sudah matang. Supervillain /anti- hero yang sudah jelas tujuan hidupnya. Semua yang dia lakukan (Phoenix) lebih fokus ke kehidupannya sendiri, mencari jati diri, kepuasan diri, tapi dalam proses akhirnya dia malah bisa menginspirasi orang banyak,” lanjutnya. Galih membagi karakter Joker yang diperankan Romero sampai Phoenix dalam perbedaan era. “Era Romero, Nicholson itu era theatrical. Ledger, Leto, dan Phoenix itu era realistis. Buat saya bagus semua, kecuali Leto. Kurang kuat direction -nya. Sangat disayangkan, padahal Leto aktor yang bagus. Tapi favorit saya masih Ledger. Walau soal ketawa khasnya, Phoenix disturbing abis, tapi Ledger juga banyak signature pose yang keren,” tandas Galih. Terlepas dari perbedaan opini itu, berikut ini disajikan lima pemeran Joker dalam versi layar lebar sejak 1966: Cesar Romero (1966) Pertamakali Joker muncul di versi layar perak diperankan Cesar Romero pada 1966 (Foto: 20th Century Fox) Cesar Julio Romero Jr. merupakan figur paling senior pemerankan Joker. Debut Romero di serial televisi Batman yang disiarkan ABC adalah di episode 5 season 1 bertajuk “The Joker is Wild”, 26 Januari 1966. Ia pula yang menjadi Joker dalam versi spin-off filmnya, Batman: The Movie yang rilis 30 Juli 1966. Dalam memerangi Batman di film itu, Joker bergabung dalam United Underworld bersama Catwoman, Penguin, dan The Riddler. Romero, yang belum pernah bermain di genre superhero maupun action sepanjang kariernya sejak 1934, digaet langsung oleh sang produser William Dozier. Banyak figur lain yang juga kepincut peran Joker, semisal Frank Sinatra, pun gigit jari. Sampai Romero tiada pada 1994, ia tak pernah tahu mengapa dia yang dipercaya untuk peran itu. “Semua orang ingin menjadi peran penjahat dalam Batman. Saya sendiri menikmati peran menjadi Joker. Rasanya hebat bisa memainkan peran itu. Namun alasan kenapa dia (Dozier) menginginkan saya, saya takkan pernah tahu,” tuturnya dalam wawancara dengan Bruce V. Bigelow dari Associated Press , 23 Juni 1989. Satu hal yang unik dari Romero, diungkap penulis, musisi, dan fans Batman Mark S. Reinhart dalam Batman Filmography: Second Edition adalah, Romero menolak mencukur kumisnya. Keinginannya itu dipenuhi tim produksi dengan mengakalinya  menggunakan make up putih tebal untuk menutupi kumis tipisnya. “Romero memainkan peran Joker dengan luar biasa. Sosok berbalut jas ungu, wig hijau, dan lipstik merah darah, ia melantangkan tawa khas yang luar biasa sinis dan pas sesuai karakternya. Aktingnya tak kalah bagus dari bintang-bintang lain seperti (Burgess) Meredith yang memerankan Penguin,” tulis Reinhart. Jack Nicholson (1989) Aktor kawakan Jack Nicholson memerankan Joker di film "Batman" versi layar perak 1989 (Foto: warnerbros.com ) Aktor watak Jack Joseph Nicholson dianggap salah satu pemeran Joker paling ikonik dan legendaris. Ia memerankan penjahat badut gila itu pada film Batman yang rilis pada 19 Juni 1989. Ia dipilih langsung oleh salah satu produsernya, Peter Guber. Sang produser saat menentukan aktor-aktornya, tak ingin pemeran lain selain Nicholson gegara kepincut akting Nicholson dalam film Easy Rider (1969). Sejarawan film Patrick McGilligan dalam biografi Jack’s Life: A Biography of Jack Nicholson (Updated and Expanded) menyingkap, Guber sampai mengirim pesawat jet milik Warner Bros untuk antar-jemput sang aktor dari Amerika ke London, lokasi Pinewood Studios untuk produksi Batman. Guber ingin memberi tur pribadi demi meyakinkan Nicholson mau terlibat dalam film itu. “Jack bersedia terlibat dengan kontrak USD6 juta. Ia juga memilih sendiri kostum (setelan mewah Joker) yang dipakainya yang di masa itu bernilai USD30 ribu,” sebut McGilligan. Film itu lantas meledak. Guber tak salah memilih Nicholson. Film itu untung besar dan dia juga dibanjiri pujian. Pun begitu, kritik tetap terlontar. Salah satunya dari Carlos Romero, aktor pendahulu pemeran Joker. Ia kecewa Joker di film itu digambarkan sebagai karakter yang sadis. “Joker semestinya menjadi sosok flamboyan. Joker (diperankan Nicholson) terlalu jahat, terlalu memuakkan dan filmnya terlalu suram dan membingungkan,” cetus Romero kepada Associated Press , 23 Juni 1989. Heath Ledger (2008) Tidak sedikit yang menganggap Heath Ledger sebagai pemeran Joker terbaik di film "The Dark Knight" (Foto: warnerbros.com ) Joker dimunculkan sebagai musuh Batman lagi dalam film kedua dari trilogi garapan Christopher Nolan yang rilis 14 Juli 2008, The Dark Knight . Mulanya, Ledger diinginkan Nolan untuk jadi Batman di seri pertama triloginya, Batman Begins (2005) namun sang aktor tak berminat. Dari pihak produksi juga sudah punya opsi lain: Paul Bettany, Adrien Brody, dan Robin Williams. Namun Nolan keukeuh ingin Ledger. “Jadi saya menemui dia lagi untuk peran Joker pada 2006. Saat saya memberinya naskah dan dia membacanya, sesekali ia tertawa. Dia selalu memunculkan gestur-gestur kejutan. Suaranya mulai mengerikan dan saat itulah saya mendapat indikasi bahwa dia akan memerankannya,” ujar Nolan kepada CBR , 3 Desember 2012. Interpretasinya sendiri dipinjam dari karakter Joker di novel Batman: The Killing Joke dan Arkham Asylum: A Serious House on Serious Earth . Namun di layar lebar, Ledger membawa karakternya lebih terasa sebagai badut pengidap skizofrenia tanpa rasa empati, psikopat, dan pembunuh massal. Mulanya, Ledger diragukan banyak kritikus. Namun saat melihat hasil akhir filmnya, performanya menuai pujian. Ledger dianggap mampu membawakan karakter Joker yang lebih menakutkan ketimbang para pendahulunya. Betapa tidak, untuk menyelami karakter Joker, Ledger mengisolasi diri selama enam pekan di kamar hotel. Selama mengucilkan diri, ia terus melatih suara dan menyesuaikan tawa khas Joker. Selama beradegan dalam syuting, ia pun meminta Christian Bale (pemeran Bruce Wayne/Batman) untuk benar-benar memukulnya dengan keras. Raihan Academy Award dan Golden Globe untuk pemeran pembantu terbaik 2009 jadi bukti keberhasilan. Ironisnya, penghargaan-penghargaan itu tak bisa diterimanya langsung lantaran tutup usia pada 22 Januari 2008, enam bulan sebelum filmnya rilis, akibat overdosis.  Jared Leto (2016) Jared Leto (tengah) memerankan karakter Joker di film 'Suicide Squad" dengan versi lebih modern (Foto: warnerbros.com ) Habis Heath Ledger, terbitlah Jared Leto. Sejatinya selain vokalis dan gitaris band rock Thirty Seconds to Mars itu, ada nama Ryan Gossling sebagai kandidat lain pemeran Joker untuk produksi film Suicide Squad (2016) garapan David Ayer. Namun saat mengumumkan para pemeran resminya pada Desember 2014, Warner Bros memilih Leto atas keinginan sang sutradara. Warner Bros ingin sosok Joker berbeda dari yang pernah dibawakan mendiang Ledger. Selain itu, kemampuan akting Leto sudah terbukti dari raihan Academy Awards dan Golden Globe pada 2013 untuk pemeran pembantu terbaik di film Dallas Buyers Club . Joker yang diperankan Leto sebagai bos gangster nan culas tak lagi berambut gondrong sebagaimana Ledger, pun tampilannya lebih glamor dengan ciri fisik baru, yakni tato bertuliskan “ Damaged ” di keningnya. “Peran ini sudah banyak dimainkan aktor lain sebelum saya. Meski sangat berisiko, peran ini jadi tanggungjawab yang istimewa. Joker adalah karakter yang ekstrem dalam hal kekerasan dan manipulasi. Untuk riset saya menemui para pakar kejiwaan, psikiater, dan para pasien psikopat. Tato di kening (“ Damaged ”) ditambahkan Ayer agar memberi karakter gangster yang modern,” tandasnya kepada Entertainment Weekly , 15 April 2016. Joaquin Phoenix (2019) Joaquin Phoenix menjadi idola baru pemeran Joker di tahun ini (Foto: dccomics.com ) Joaquin Rafael Phoenix sebelumnya selalu mengutarakan tak pernah berminat tampil di film-film superhero nan membosankan. Ia pernah menolak Marvel Cinematic Universe yang menawarinya peran Bruce Banner/Hulk dan Stephen Strange/Dr. Strange. Namun bersama DC Comics justru ia tampil sebagai musuh abadi seorang superhero – Joker. Phoenix sudah jadi pilihan satu-satunya sang sutradara Joker , Todd Phillips sejak ia mengembangkan ceritanya sejak 2017. Phillips ingin aktor yang kerapkali studi karakter dan mampu menyelami seorang karakter dalam film dengan begitu dalamnya, seperti yang Phoenix lakukan di film You Were Never Really Here , I’m Still Here, Her, The Sisters Brothers hingga The Master. Butuh empat bulan bagi Phillips meyakinkan Phoenix agar mau terlibat. Phillips keukeuh ingin Phoenix meski pihak Warner Bros melirik Leonardo DiCaprio. Ada alasan tersendiri mengapa Phoenix butuh waktu tak sedikit untuk berpikir masak sampai rela diet ekstrem untuk menurunkan berat badan hingga 23kg guna peran Joker. Satu faktor utamanya, ia merasa harus bisa mencari karakter berbeda dari para pemeran Joker terdahulu. Phillips mengakui, ia mengembangkan lagi ceritanya agar lebih dark namun dekat dengan keadaan sosial yang berpusat dari pribadi Phoenix. Selain diet, studi karakter Phoenix juga meliputi riset soal narsisisme, kriminologi, hingga observasi para pengidap penyakit syaraf PBA ( Pseudobulfar affect ), di mana sang pengidap tak bisa mengendalikan tawanya sendiri. “Kami membuat karya namun tidak ingin menengok ke belakang, ke arah Jack Nicholson, Heath dan Jared Leto karena itu hanya akan membuat kami lumpuh dengan rasa takut untuk membuat karya baru. Kami hanya harus menganggap mereka tak pernah eksis demi memberi ruang buat karya kami,” cetus Phillips, dikutip The Wrap , 26 September 2019.

  • Mula Pendatang Mendiami Papua

    BEBERAPA waktu lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kerusuhan besar yang terjadi di Wamena, Papua. Bentrok yang menewaskan puluhan orang itu oleh sebagian pihak dianggap sebagai kegagalan pemerintah dalam menjamin keselamatan warga negaranya. Namun diberitakan  detik.com ratusan warga Minang, yang dianggap mengalami kerugian terbesar dalam kerusuhan tersebut, memilih untuk bertahan di Wamena. Ketua Harian DPP Ikatan Keluarga Minang (IKM) Andre Rosiade meminta pemerintah menjamin keselamatan para pendatang di Wamena. “Kita berkeliling Kota Wamena untuk melihat kondisi kota termasuk melihat kantor Bupati Jayawijaya yang terbekar. Kami juga berkunjung ke posko pengungsian warga Minang di Jalan Irian. Di Posko itu kami bertemu dengan warga Minang. Ada 300 orang warga Minang tidak ingin dievakuasi, tetap ingin hidup dalam melanjutkan usahanya di Wamena,” kata Andre. Ikatan masyarakat pendatang (baca: orang-orang asing di luar suku asli) di Papua memang sudah kuat terbentuk. Mereka telah menetap dalam waktu yang sangat lama. Sehingga tidak heran jika kerusuhan sebelumnya tidak begitu saja membuat mereka menyerah, kemudian keluar dari Papua. Ragam Pengaruh Bukti tertua kedatangan pendatang di tanah Papua tercatat dalam naskah perjalanan para utusan kaisar Tiongkok di Nusantara. Peneliti Belanda WP Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa menuturkan para penguasa kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Jawa telah menghadiahi Kekaisaran Tiongkok dengan berbagai upeti sejak abad ke-9. Salah satu hadiah kegemaran kaisar yang turut disertakan adalah burung-burung dengan warna yang begitu memikat mata, yang tidak ada di negerinya, yakni burung kasuari, burung nuri hitam, dan burung buceros. “Ada seekor burung penghasil crane-crest (mahkota bangau) yang terkenal. Burung ini sebesar angsa, berbulu hitam, lehernya panjang, dan memiliki paruh runcing. Tengkorak kepalanya kira-kira setebal 2,5 cm. Tengkorak ini berwarna merah di luar dan berwarna seperti lilin malam berwarna kuning di dalam. Bentuk tengkorak ini sangat bagus sehingga disebut mahkota bangau ,” tulis Groeneveldt. Berbagai jenis burung yang terekam dalam catatan penjelajah Tiongkok itu merupakan hewan endemik Papua. Saat para penguasa di Sumatera dan Jawa menjadikannya sebagai bahan upeti maka tidak heran jika banyak peneliti yang menyebut tanah Papua telah memiliki hubungan yang dekat dengan daerah-daerah Indonesia lainnya jauh sebelum bangsa Eropa menduduki daerah paling timur Nusantara itu. Meski begitu selama periode tersebut tidak banyak bukti yang menyebut kegiatan mereka di sana selain berburu burung. Dalam tulisannya “Akulturasi di Irian Barat” dimuat Penduduk Irian Barat , sejarawan HW Bachtiar menjelaskan jika pada abad ke-14 Papua telah menjalin hubungan dengan banyak kerajaan di Nusantara, termasuk Sriwijaya dan Majapahit. Hal itu terjadi bersamaan dengan peningkatan kebutuhan upeti para raja untuk Kekaisaran Tiongkok. Mengenai keberadaan Majapahit di Papua, Kitab Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca menuturkan kalau Majapahit memang telah sampai di Papua. Di bawah pimpinan Maha Patih Gajah Mada, kerajaan yang hampir menyatukan seluruh wilayah Nusantara itu mampu menancapkan kekuasaannya di sana. “Tetapi keterangan ini tidak menjelaskan siapa orang-orang yang menghubungkan Sriwijaya atau Majapahit dengan Irian Barat. Apakah pada waktu mereka menetap di sana atau telah berhubungan dengan penduduk pribumi Irian Barat,” ucap Bachtiar. Setelah Sriwijaya dan Majapahit mundur dari pergolakan kekuasaan di Nusantara, kerajaan-kerajaan Islam mulai menampakkan diri. Tidore menjadi satu dari sedikit kerajaan Islam yang mampu menunjukkan taringnya dalam masa peralihan ini. Berpusat di Maluku, Sultan Tidore berusaha memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Papua. Pertama-tama Tidore menyisir daerah pesisir. Di daerah yang sekarang dikenal sebagai Raja Ampat, sultan mengangkat beberapa tokoh menjadi penguasa yang mewakili Tidore di Papua. Lambat laun wilayah kekuasaannya semakin bertambah dan banyak tokoh yang mulai ditunjuk memerintah di sana. Penduduk Maluku pun banyak yang bermigrasi, sambil menyebarkan agama Islam mereka membangun kehidupannya di Papua. Mengenai hubungan para pendatang dari Maluku ini dengan penduduk lokal, Bachtiar menuturkan bahwa tidak selalu baik. Beberapa penguasa memilih metode yang kasar, seperti memungut pajak dengan kekerasan, atau menghancurkan desa-desa di sekitarnya dan menjadikan penduduknya budak untuk diperjualbelikan. Di Bawah Orang Eropa Pada pertengahan abad ke-16, kekuatan besar dari Barat muncul di perairan sekitar Papua. Mereka adalah para penjelajah dari Spanyol dan Portugis yang datang dalam misi pencarian rempah-rempah. Meski sempat beberapa waktu mendarat, kedua bangsa ini tidak memberikan pengaruh yang besar. Memasuki abad ke-17 giliran Belanda yang mulai berkeliaran di sekitar perairan Papua. Mereka membawa misi yang sama dengan Spanyol dan Portugis. Nama-nama seperti Willem Cornelis Schouten, Jan Cartenz, dan Jacob Weyland memimpin pasukan Belanda dalam sejumlah survei alam di Papua. Walau telah berkuasa di sejumlah tempat, Belanda tidak langsung menyasar Papua. Mereka lebih banyak memanfaatkan tangan Sultan Tidore untuk mengelola alam di sana. Baru pada abad ke-19, para pejabat Belanda memutuskan mengambil alih pemerintahan Papua. Berbondong-bondong mereka membangun pemukiman yang layak ditinggali orang-orang Eropa. Akibat kedatangan itu, kebudayaan dari Barat mulai bersinggungan di sekitar pesisir Papua. “Penduduk pantai sejak pertengahan abad ke-19 telah mendapat pengaruh agama Protestan yang dibawa oleh para penyiar agama tersebut dari Negeri Belanda. Sementara para pendeta agama Katolik baru tiba pada awal abad ini, dan pengaruh mereka terutama meluas di daerah pantai selatan,” tulis Koentjaraningrat dkk dalam Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk . Pada masa ini, pemerintah Belanda membawa serta pekerja-pekerja dan pegawai tingkat rendah dari wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi untuk membantu pembangunan wilayah Papua. Percampuran suku di sini telah terjadi dalam lingkup yang luas. Singgungan antara penduduk lokal dengan para pendatang ini menghasilkan bentuk kebudayaan baru. Banyak dari mereka yang belakangan diketahui menetap di Papua walau pemerintah Belanda yang membawa mereka telah menarik diri dari Indonesia. Gelombang perpindahan besar juga terjadi pada 1926. Pemerintah Belanda menempatkan ratusan orang Indonesia yang dianggap sebagai pemberontak ke daerah ‘Tanah Merah’ Boven-Digul. Sebagai orang-orang yang diasingkan, mereka dipisahkan dari segala bentuk interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Barulah setelah Indonesia merdeka, beberapa bekas tahanan mulai berhubungan dengan penduduk lokal. Meski banyak yang kembali ke tempat asalnya, beberapa orang memutuskan tetap tinggal di Papua.

  • Jalan Berliku Penanganan Orang Dengan Gangguan Jiwa

    ARTHUR Fleck pulang konseling dari tempat terapi mentalnya. Wajahnya murung. Sang terapis memberitahu bahwa tak ada lagi konseling dan resep obat untuk Arthur. Pemerintah kota Gotham memotong dana pelayanan dan pengobatan untuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) seperti Arthur. Kebijakan ini berpengaruh besar terhadap jalan nasib Arthur. Cerita di atas merupakan potongan film Joker . Bukan peristiwa nyata, tapi menjadi refleksi tentang pelayanan dan pengobatan ODGJ di Amerika Serikat pada masa lalu. Joker tayang menjelang Hari Kesehatan Jiwa Sedunia saban 10 Oktober. Indonesia turut memperingatinya. Perbaikan pelayanan dan pengobatan ODGJ menjadi perhatian berulang-ulang. Perbaikan pelayanan dan pengobatan ODGJ di Indonesia beralas dari resolusi pemerintah kolonial pada 21 Mei 1831. Menurut Denny Thong dalam biografi Bapak Psikiatri Indonesia, Prof. Dr. R. Kusumanto Setyonegoro, SPKJ,  Memanusiakan Manusia Menata Jiwa Membangun Bangsa, dalam Resolusi 21 Mei 1831 No. 1 Pasal 1 disebutkan bahwa setiap rumah sakit besar di Weltevreden (Batavia-Red.), Semarang, dan Surabaya akan disediakan kamar untuk merawat penderita gangguan jiwa. Semangat resolusi ini berakar pada humanisme Eropa. “Masa itu pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, atas nama kemanusiaan, manusia digugah untuk kemerdekaan para penderita penyakit jiwa,” tulis Doktor Iskandar Yul, psikiater sohor Indonesia, dalam “Manusia Modern dan ‘Sandyakala’ Rumah Sakit Jiwa”, termuat di Kompas , 10 Oktober 1993. Tingkatan Pelayanan Resolusi ini juga mendorong pelayanan ODGJ dengan pendekatan ilmiah dan pembagian kategori atau tingkatan gangguan jiwa. Lazim terjadi masa itu, ODGJ mengalami pemasungan dan pengurungan dalam sebuah ruangan mirip sel penjara di rumah sakit tentara sebagai metode penyembuhan. Penyembuhan oleh masyarakat awam sama parahnya. Tertanam kuat pandangan bahwa ODGJ kerasukan roh jahat atau guna-guna sehingga penyembuhan harus melalui dukun. Caranya dengan memukul, menendang, dan siksaan fisik lainnya sampai roh jahat diyakini telah keluar dari raga ODGJ. Perbaikan pelayanan ODGJ berlanjut dengan peresmian Rumah Sakit Jiwa/RSJ ( Hetkrankzinnigengestich ) pertama di Hindia Belanda pada 1 Juli 1882. Letaknya di Tjilendek, Buitenzorg (Bogor). Jauh dari ingar-bingar kehidupan. Tanahnya luas, 117 hektar. Pasien bisa leluasa bergerak dan mengerjakan banyak hal. Ini sebentuk penerapan metode okupasi (menyibukkan diri) dari Philippe Pinel, psikiater Prancis (175—1826), untuk membantu penyembuhan pasien. Tergolong metode baru pada masanya. Pemerintah kolonial melanjutkan pendirian RSJ di tiga kota lainnya: Lawang (23 Juni 1902), Magelang (1923), dan Sabang/Aceh (1923). Tiga RSJ ini kemudian menjadi RSJ pusat ( Krankzinnige Gesticht ) bersama RSJ Buitenzorg. Pendanaannya bersumber penuh dari anggaran pemerintah. “ Sejak masa kolonial, rumah sakit jiwa merupakan institusi yang mendapatkan subsidi penuh dari pemerintah,” catat Kompas dalam “RSJ Bogor 120 Tahun Tempat yang Aman untuk Hilang”, 11 Juli 2002. Pelayanan di RSJ Pusat perlu rujukan dari unit-unit kesehatan jiwa seperti Doorganghuizen (rumah perawatan sementara hingga 6 bulan) dan Verpleegtehuizen (rumah rawat inap gangguan jiwa). Segala urusan administratifnya berada di bawah Dienst van het Krankzinnigenwezen (Dinas Kesehatan Jiwa), selanjutnya dilebur ke Dienst voor de Volks Gezondheid (Dinas Kesehatan Rakyat). Pasien di dua tempat ini tergolong ODGJ tahap ringan dan sedang.   Dua unit ini tersebar di banyak tempat seperti Sala (1919), Grogol/Batavia (1924), Semarang (1929), Surabaya (1929), Pakem/Yogyakarta, Medan, Palembang, Padang, Makassar, Bangli/Bali, Muntok/Bangka, Banjarmasin, Pontianak, dan Samarinda. Kepala Doorganhuizen selalu berasal dari dokter Eropa, sedangkan Verpleegtehuizen berkepalakan anak negeri. Pelibatan Masyarakat Sempat berdiri unit kesehatan jiwa bernama Gezinsverpleging di Buitenzorg pada 1903. Melalui unit ini, pemerintah kolonial menitipkan ODGJ di rumah keluarga pekerja institusi kesehatan jiwa. Pemerintah berharap mereka turut membersamai penyembuhan ODGJ. Sebuah kebijakan untuk melibatkan masyarakat dalam pelayanan ODGJ. “Tetapi ternyata kebijakan ini mengalami banyak kelemahan. Antara lain perawatan yang kurang baik, bahkan terjadi pemerasan dan penelantaran penderita,” tulis Denny Thong. ODGJ tingkat kronis (psikosis) memperoleh pelayanan berbeda. Pemerintah kolonial membangun koloni untuk ODGJ tingkat kronis ( Colonie voor Krankzinnigen ) di delapan tempat: Petengahan Singkawang, Wedi Klaten, Kubu Bali, Semblimbingan Kotabaru, Praja Lombok, Ulu Gadut Padang, Suko Malang, dan Sempuh Malang. Pembentukan koloni bertujuan agar ODGJ memperoleh kesibukan bertani atau berkebun. Inisiatif perbaikan pelayanan ODGJ juga berasal dari pihak swasta. Prof. Van Wulfften Palthe, Kepala Bagian Psikiatri CBZ/ Centrale Burgulijke Ziekenhuis/ Pusat Kesehatan Rakyat, mendirikan koloni swasta pertama di Lenteng Agung, Batavia, pada 1935. Dananya berasal dari sumbangan perusahaan perkebunan (semacam coorporate social responsibility/ tanggung jawab sosial perusahaan masa sekarang). “Yang mengelola koloni tersebut adalah dr. Soejoenoes (kelak menjadi guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada 1958, red. ). Di situ pun diterapkan gezinverpleging dan upaya ini berhasil,” tulis Denny Thong. Tapi secara umum, pelayanan ODGJ menghadapi banyak masalah. Jumlah institusi pelayanan ODGJ tidak laras dengan kenaikan jumlah ODGJ di Hindia Belanda. Selain itu, jumlah dokter jiwa (psikiater), dokter, dan perawat di institusi kesehatan jiwa sangat sedikit. Kesadaran masyarakat tentang penanganan gangguan jiwa pun belum beranjak jauh dari masa sebelumnya. Iskandar Yul menyebut masalah krusial lainnya berupa mampatnya ilmu pengobatan ODGJ. RSJ menjadi penuh karena perawatan pasien ODGJ membutuhkan waktu panjang. Pasien lama belum keluar, tapi sudah ditambah lagi oleh pasien baru yang masuk. “Hal ini disebabkan pada waktu itu belum ada obat yang tepat untuk menyembuhkan pasien gangguan jiwa.”    Senjakala Pelayanan Pelayanan ODGJ masuk masa paling buruk saat Jepang menduduki Indonesia. Jepang menutup RSJ di Sabang, mengubahnya jadi barak militer dan penampungan penyakit menular. Jepang memindahkan sebagian ODGJ di RSJ Sabang ke RSJ Lawang dan Buitenzorg. Banyak ODGJ di RSJ lain terabaikan. “Pada zaman itu, setiap hari empat sampai lima pasien meninggal karena susah sekali mendapat obat-obatan dan makanan,” kata dr. Amir Hussen Anwar, SpKj (Spesialis Kesehatan Jiwa), mantan kepala RSJ Bogor, kepada Kompas , 11 Juli 2002. Sebilangan pasien RSJ dilepas begitu saja sehingga berkeliaran di jalan. Prof. Dr. Kusumanto Setyonegoro, pemikir terkemuka psikiatri Indonesia, menyebut mereka sebagai gelandangan psikotik. Gelandangan psikotik umumnya mengidap dementia praecox , nama lama skizofrenia atau gangguan jiwa berat yang menyerang proses pikir sehingga menyebabkan ketidaksesuaian pikiran, perasaan, dan perilaku. Tanda gangguannya disertai pula oleh waham (delusi) dan halusinasi. ODGJ pun terlunta-lunta di jalan tanpa pelayanan dan pengobatan. Orang menganggapnya sebagai gelandangan biasa tersebab tekanan ekonomi. Ketika razia gelandangan oleh Jepang berlangsung, mereka tertangkap dan tidak memperoleh pelayanan dan pengobatan sebagai ODGJ. Hidup mereka berakhir tragis. Masa suram pelayanan dan pengobatan ODGJ terus berlangsung ketika Indonesia masuk alam kemerdekaan. Selama 1945-1949, pemerintah menginventarisasi institusi kesehatan jiwa. Banyak institusi rusak dan beralih fungsi akibat pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan. Padahal pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan ikut mengguncang mental penduduk. “Bahkan banyak pula yang sudah mencapai tahap gangguan jiwa,” tulis Denny Thong. Fajar Baru Keadaan ini mendorong pemerintah berupaya keras menata kembali pelayanan ODGJ. Jawatan Urusan Penyakit Jiwa dibentuk. Ketuanya dr. J.A. Latumeten. Tapi jawatan ini tak mampu berbuat banyak. Kondisi politik saat itu masih belum stabil akibat agresi Belanda sepanjang Juni 1947. Baru pada 1950, ketika keadaan negara mulai stabil, jawatan termaksud berangsur berdaya menjalankan tugasnya. Salah satunya menghidupkan kembali pelayanan RSJ. Muncul pula pemikiran-pemikiran dari para psikiater Indonesia seperti R.M. Soejoenoes dan Kusumanto Setyonegoro tentang pelayanan ODGJ melalui pengembangan ilmu psikiatri, cabang ilmu kedokteran dengan pengkhususan pada masalah jiwa. R.M. Soejoenoes memandang pelayanan ODGJ bergantung pada kemauan ilmu psikiatri membuka diri dengan perkembangan ilmu lain. “Kalau dulu psikiatri hanya mempelajari penyakit di klinik saja, sekarang ilmu ini sudah keluar dari klinik dan mencari hubungan dengan dan dicari oleh ilmu-ilmu lain,” kata Soejonoes dalam “Kesehatan Jiwa dalam Masyarakat Kita”, pidato pengukuhan guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlanga, 18 Oktober 1958. Pandangan Soejoenoes mirip dengan Kusumanto Setyonegoro. Dia menekankan pula perbaikan layanan ODGJ lewat pengembangan ilmu psikiatri. Selain itu, dia mendorong pembangunan RSJ-RSJ baru di tiap provinsi untuk mempermudah pelayanan terhadap ODGJ. Dia sering menuangkan gagasannya dalam bentuk artikel populer di media massa 1960-1970-an. Tujuannya menumbuhkembangkan kesadaran tentang kesehatan jiwa dan perbaikan layanan ODGJ.   Selain kemunculan pandangan segar tentang psikiatri, perkembangan ilmu pengobatan untuk ODGJ juga maju pesat. Ilmuwan di Amerika Serikat mulai menemukan obat untuk ODGJ. Semua perkembangan termaksud menandai masa baru pelayanan ODGJ di Indonesia.*

  • Sukarno dan Gebrakan 30 September

    BAHASA Indonesia akan menjadi bahasa pengantar resmi dalam berbagai forum dunia. Gebrakan ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo setelah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 63 tahun 2019. Salah satu isi Perpres tersebut menerangkan tentang kewajiban para pejabat negara menggunakan Bahasa Indonesia dalam pidatonya di berbagai forum baik nasional maupun internasional. Jokowi meneken Perpres ini pada 30 September 2019. Jokowi seolah mengikuti jejak pendahulunya, Presiden Sukarno. Tepat pada tanggal yang sama (30 September), tahun 1960, Bung Karno “menggebrak” Sidang Majelis Umum PBB ke-15. Pada forum tertinggi organisasi dunia itu, Sukarno mengecam PBB sebagai lembaga yang macet dan gagal menjalankan fungsinya. PBB yang seyogianya bersikap netral menurut Sukarno lebih terikat kepada konsepsi blok Barat. “Selama lima belas tahun ini Barat telah mengenal perdamaian, atau sekurang-kurangnya ketiadaan perang. Kami di Asia tidak pernah mengenal keadaan damai! Setelah perdamaian di Eropa, kami merasai akibat bom-bom atom,” ujar Sukarno dalam pidatonya yang berjudul “ To Build a World Anew ” (Membangun Dunia Kembali) yang terhimpun dalam kumpulan pidato   Pancasila dan Perdamaian Abadi. Untuk memperkuat argumentasinya, Sukarno merujuk konflik bersenjata yang terjadi di Vietnam, Korea, dan Aljazair. Saat itu negara-negara tersebut tengah dilanda gejolak akibat intervensi asing. Campur tangan pihak pihak ketiga ini oleh Sukarno diterjemahkan sebagai wujud kolonialisme model baru (nekolim). Namun yang paling mencengangkan adalah gagasan Sukarno untuk mencantumkan Pancasila ke dalam piagam PBB. Menurut Sukarno piagam PBB sudah ketinggalan zaman untuk memecahkan persoalan-persoalan dunia. Tanpa ragu-ragu, Sukarno menguraikan filosofi Pancasila di hadapan para pemimpin dunia yang hadir dalam sidang. Sukarno menganjurkan agar nilai-nilai dari dasar negara Indonesia itu diterima oleh semua anggota PBB. “Saya yakin, ya, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa diterimanya kelima prinsip itu dan mencantumkannya dalam piagam, akan sangat memperkuat Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya yakin, bahwa Pancasila akan menempatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sejajar dengan perkembangan terakhir dari dunia,” kata Sukarno penuh keyakinan. Selain mempromosikan Pancasila, Sukarno juga memperkarakan markas PBB yang berlokasi di New York, Amerika Serikat. Menurutnya, New York bukan tempat yang tepat karena berada di salah satu negara adikuasa. Sukarno menyarankan agar markas PBB dipindahkan ke Jenewa atau negara Asia-Afrika yang lebih netral. Tidak lupa pula Sukarno mengangkat kepentingan nasionalnya dalam sidang. Sukarno menegaskan bahwa toleransinya atas Irian Barat sudah hampir habis. Kegagalan PBB dalam menengahi sengketa ini berarti pemakluman atas tindakan imperialisme Belanda.     Pidato itu menurut Ganis Harsono, juru bicara departemen luar negeri yang menyaksikan orasi Sukarno, padat isi, tajam dalam argumentasi, dan bulat keyakinannya. Pidato ini merupakan satu pidato politik dari berbagai persoalan yang diperas ke dalam 70 halaman. Semuanya berhubungan langsung dengan Majelis Umum PBB. “Sebuah pidato yang paling kontroversial yang pernah disampaikan di hadapan Sidang Majelis Umum PBB,” tulis Ganis dalam Cakrawala Politik Era Sukarno .     Mangil Martowidjojo, ajudan yang sering mendampingi Sukarno saat berpidato, mengenangkan pengalaman takjub yang serupa. Dalam Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 , Mangil ingat betul sejak Sukarno memasuki ruang sidang riuh tepuk tangan silih berganti menyambut. Para pemimpin dunia yang kumpul di markas PBB hari itu terkesima menyaksikan Sukarno berpidato. Sejarawan Peter Kasenda menyitir pendapat pakar hubungan internasional Michael Leifer mengatakan gagasan yang termuat dalam pidato Sukarno sebenarnya telah berpikir satu dekade lebih cepar dari zamannya. "Untuk itu, tidak usah heran kalau Dr. Soedjatmoko, cendekiawan nomor satu yang dimiliki oleh Republik ini mengatakan bahwa Sukarno adalah seorang visioner," tulis Peter dalam Bung Karno Panglima Revolusi. Tepuk tangan kembali mengiringi Sukarno saat memungkasi pidatonya. Karena begitu terkesan, Perdana Menteri Inggris Harold Macmillan sampai menyempatkan diri mendatangi Bung Karno yang menginap di Hotel Waldorf Astoria. Kunjungan kehormatan yang sama juga dilakukan oleh pemimpin Kamboja, Pangeran Norodom Sihanouk.

bottom of page