top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Olga Melawan Nazi

    MUSIM dingin datang lebih awal di Eropa. Pada 6 November 1943, seorang ibu muda ditahan Brigades spéciales (BS2), kempeitai ala Nazi, di Paris, Prancis. Namanya adalah Olga Bancic. Ia dipisahkan dari suami dan putri sulungnya yang baru berumur 4 tahun. Apa yang telah dilakukan Olga hingga ditahan BS2 yang terkenal keji menyiksa tahanan? Olga Bancic lahir tahun 1912 di kota Chișinău/Kichinev (saat ini ibukota Moldova), yang saat itu merupakan bagian dari Rusia, sebelum jadi bagian dari Rumania. Sejak muda, ia bergabung dengan Partai Komunis Rumania, yang saat itu terlarang dan ditekan Rusia. Ia juga kerap ikut pemogokan di pabrik kasur tempatnya bekerja dan dibui. Saat berusia 17 tahun, ia menikahi Solomon A. Jacob (di kemudian hari jadi penulis ternama dengan nama pena Alexandru Jar) yang berusia 18 tahun. Keduanya kemudian pindah ke Paris. Olga masuk sekolah jurusan Sastra. Keduanya membantu gerakan Brigade Internasional dalam Perang Sipil (1936-1939) di Spanyol melawan tentara pimpinan Francisco Franco. Setahun di Paris, ia melahirkan seorang putri yang diberi nama Dolorès. Nama ini dipilihnya sebagai penghormatan atas Dolores Ib á rruri, seorang pejuang perempuan dalam Perang Sipil di Spanyol. Ketika Prancis jatuh ke tangan Jerman pada 1940, Olga tak mau berdiam diri. Ia bergabung dengan gerakan bawah tanah di Paris dan punya nama samaran: Pierrette (dalam bahasa Prancis berarti: badut perempuan). Ia aktif di dalam Francs-tireurs et partisans – main-d'œuvre immigrée  (FTP-MOI), kelompok perlawanan yang terdiri dari orang-orang asing non-Prancis. Kelompok ini terkenal garang karena tak ragu angkat senjata melawan tentara Nazi. Olga ditangkap karena menyimpan persediaan senjata untuk gerakan bawah tanah. Ia ditahan bersama 22 anggota perlawanan di Paris yang dipimpin Missak Manouchian –sehingga dikenal sebagai “groupe Manouchian” (regu Manouchian). Mereka terdiri dari delapan orang Polandia, lima orang Italia, tiga orang Hungaria, tiga orang Prancis, dua orang Armenia, seorang Spanyol, dan seorang Rumania (yakni Olga!). Olga adalah satu-satunya perempuan dalam kelompok ini. Olga dan 22 orang lainnya diadili pengadilan militer bikinan Nazi Jerman. Pengadilan dimulai tanggal 15 Februari 1944 dan, seperti diduga, hakim menjatuhkan hukuman mati. Pada 21 Februari, mereka ditembak mati; kecuali Olga. Hukum Prancis masa itu melarang hukuman mati atas perempuan, sehingga Olga tak ditembak mati. Ia dideportasi ke Stuttgart (Jerman) lalu dipancung pada 10 Mei 1944. Batu peringatan bagi warga sipil yang gugur selama perang 1939-1945 di kota Sèvres, Prancis. Ada nama sejumlah perempuan yang ikut gerakan perlawanan dan dideportasi ke kamp konsentrasi Nazi untuk dieksekusi. Perempuan Melawan Nazi Sejarah perlawanan menghadapi Nazi bukan melulu kisah heroik ala tentara. Ada banyak warga sipil yang bergerak dan memimpin perlawanan terhadap tentara Nazi. Baik di Prancis maupun negara-negara Eropa lain yang diduduki Nazi. Berbagai kisah perlawanan itu tersimpan di museum di banyak kota seperti: Verzetsmuseum di Amsterdam, Belanda; Norges Hjemmefrontmuseum di Oslo, Norwegia; Musée de la Résistance nationale di Champigny-sur-Marne, Prancis; dan Musée de Libération di Paris, Prancis. Peran perempuan juga tak diabaikan. Memang tidak banyak. 15-20 persen anggota gerakan perlawanan di Prancis adalah perempuan. Sayangnya, kisah mereka kerap luput dari perhatian umum. Ada berbagai sebab. Pertama , sejarah perlawanan umumnya menonjolkan peran laki-laki (terlebih, tentara). Hal ini karena sejarah masih dominan ditulis laki-laki. Mereka kerap mengecilkan atau mengabaikan peran perempuan dalam sejarah perlawanan. Kedua , memang jarang perempuan memanggul senjata dan ikut bertempur di dalam perang. Seringkali para perempuan merasa apa yang mereka lakukan adalah hal “kecil” atau “remeh-temeh” karena tak membahayakan jiwa ketimbang panggul senjata. Sehingga mereka tidak merasa perlu mencatat atau merekam andil mereka di dalamnya. Ketiga , pemahaman kritis atas sejarah nasional baru berkembang selama 20-30 tahun terakhir. Peran perempuan dalam gerakan perlawanan yang sebelumnya dianggap sebagai “kisah pinggiran” baru akhir-akhir ini saja mendapat perhatian yang layak dan semestinya. Pengakuan atas peran perempuan ini butuh waktu panjang. Misalnya di Prancis, dari sekitar seribu orang yang diakui negara sebagai “ Compagnons de la Libération ” (Sahabat Pembebasan) setelah perang usai pada 1946, hanya ada enam perempuan. Germaine Tillion (paling kanan) mangkat tahun 2008, diakui masuk Panthéon tahun 2015. Baru pada abad ke-21 ini, ada pengakuan yang luas nan layak. Prancis mengakui jasa dua perempuan anggota gerakan bawah tanah, yakni Geneviève de Gaulle-Anthonioz (mangkat 2002) dan Germaine Tillion (mangkat 2008). Beberapa tahun setelah mereka mangkat, keduanya diakui layak untuk dikuburkan dalam Panthéon , makam para pahlawan nasional di kota Paris.  Selain itu, ada beberapa kisah yang menonjol dan diangkat ke layar lebar. Misalnya, kisah Sophie Scholl, seorang siswi anti-Nazi di München, yang diangkat menjadi film Sophie Scholl: Die letzten Tage (2005). Kisah Rosa Valland, seorang kurator museum di Paris, dalam film The Monuments Men (2014). Juga kisah Marie Kovárníková, seorang perempuan muda Cekoslowakia, dalam film Anthropoid (2016). Mengenang Olga Olga Bancic hanyalah satu dari sekian banyak perempuan yang melawan Nazi. Lantas, apa yang membedakan Olga dari pejuang perempuan lainnya? Dari catatan sejarah, ada Nancy Wake, kelahiran Selandia Baru dengan suami Prancis, yang menjadi mata-mata gerakan perlawanan. Ada juga Noor-un-Nisa Inayat Khan, seorang prajurit Inggris yang diterjunkan untuk membantu gerakan perlawanan di Paris. Berbeda dari kedua pejuang perempuan ini, Olga bergabung dalam gerakan perlawanan karena kesadarannya sendiri, bukan karena ada perintah atasan, komando militer, ataupun sekadar ikut-ikutan. Apa yang dilakukan Olga Bancic bagi gerakan perlawanan tak dilupakan penduduk kota Paris. Di bekas flat kediamannya (114 rue du Château), terdapat plakat kenangan atas namanya. Isi plakat tersebut: “Di sini pernah hidup Olga Bancic, anggota perlawanan F.T.P-M.O.I, anggota regu Manouchian, yang dieksekusi oleh Nazi di Stuttgart pada tanggal 10 Mei 1944, saat berusia 32 tahun, yang mangkat untuk Prancis dan untuk Kebebasan.” Plakat kenangan di bekas flat kediaman Olga Bancic di Paris. Selain itu, sejak 2013, sebuah taman kecil di kota Paris diberi nama “Square Olga Bancic” (Pojok Olga Bancic). Pula, di dalam Museum Pembebasan di Paris ( Musée de Libération ), ada satu panel khusus tentang perannya dalam gerakan bawah tanah melawan Nazi. Nama Olga Bancic dikenang di kota Paris tapi ironisnya hampir terlupakan di kota kelahirannya maupun di Rumania. Ini mungkin sama seperti Irawan Soejono yang diabadikan sebagai nama jalan di kota Amsterdam tapi tiada dikenal di Indonesia.

  • Sikap PKI Atas Papua

    Wajah D.N Aidit, Ketua Central Comite (CC) PKI nongol di televisi Uni Sovyet. Saat itu, dia diwawawancarai oleh Georgi Afrin, eks Koresponden TASS (Kantor Berita Uni Soviet) di Jakarta. Kepada Afrin, Aidit menerangkan tugas-tugas pokok PKI yang sedang digencarkan. “Mempersatukan dan memobilisasi rakyat Indonesia guna membebaskan wilayah negerinya yang masih dijajah oleh kaum kolonialis Belanda, yaitu Irian Barat,” kata Aidit kepada Afrin, dikutip Harian Rakjat , 24 Oktober 1961.   Wawancara itu terjadi di sela Kongres ke-12 Partai Komunis Uni Soviet. Aidit hadir sebagai ketua delegasi PKI. Momentum itu memantik perhatian dunia, khususnya bagi negara-negara berideologi kiri. Pernyataan Aidit jadi agenda partai komunis sedunia guna memperjuangkan antikolonialisme dan penghapusan feodalisme. PKI Turun Tangan  Itu bukanlah kali pertama Aidit bicara lantang menyoal konflik Irian Barat. Ketika resolusi Indonesia untuk penyelesaian Irian Barat kandas dalam sidang Majelis Umum PBB, Aidit pun pernah bersuara. Pada 12 Desember 1954,  dia mengutarakan kejengkelannya perihal hasil pemungutan suara sekitar masalah Irian Barat. “Amerika Serikat yang secara resmi tidak memberikan suara (abstain), sebenarnya adalah pemimpin komplotan gelap yang menentang resolusi-resolusi tentang Irian Barat,” kata Aidit dikutip diplomat Uni Soviet Gavriil Leonidovich Kesselbrenner dalam Irian Barat: Wilayah Tak Terpisahkan dari Indonesia. Sejak 1954 hingga 1957, upaya diplomasi Indonesia di Majelis Umum PBB selalu mentok. Permintaan Indonesia untuk membicarakan masalah Irian Barat gagal menarik dukungan dua pertiga negara anggota dalam pemungutan suara. Menurut Aidit hasil itu membuktikan betapa PBB tunduk kepada Amerika dan negara-negara blok Barat lainnya. Sejauh apa kebenaran tuduhan Aidit? Di balik sikap netralnya, Amerika nyatanya memang lebih cenderung memihak Belanda. Keberpihakan terhadap Belanda dipengaruhi oleh pejabat Kementrian Luar Negeri dan CIA yang berpandangan Eropasentris dalam pemerintahan Presiden Dwight David Eisenhower. Mereka menyadari dukungan terhadap klaim Indonesia akan merenggangkan hubungan Amerika dengan Belanda. Padahal, Amerika sangat membutuhkan keikutsertaan Belanda dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).   “Masalah  Irian Barat tetap menjadi dilema bagi pemerintahan Eisenhower pada periode pasca-pemberontakan,” tulis Baskara Tulus Wardaya dalam Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953--1963 . Menyusul kegagalan di forum internasional, sentimen anti Belanda di Indonesia kian meningkat. Pada 16 Oktober 1957, Perdana Menteri Djoeanda Kartawidjaja membuat keputusan untuk membentuk Komite Aksi Pembebasan Irian Barat di tiap penjuru Indonesia. Di Jakarta, telah berlangsung demontrasi pemuda yang diikuti sekira 100.000 orang. Mereka menuntut pembebasan Irian Barat. Aksi serupa juga terjadi di berbagai kota lainnya.   Bak gayung bersambut, PKI merespon positif Komite Aksi Pembebasan Irian Barat. Aidit menyerukan bahwa PKI mendukung sepenuhnya tindakan-tindakan yang ditujukan ke arah pembebasan Irian Barat. Sebagai penutup, Aidit mengatakan, “Bahwa Asia sekarang adalah Asia bangsa-bangsa merdeka, yang tidak akan membiarkan kaum imperialis menginjak hak-hak rakyat Indonesia.” Amerika Ketakutan Memasuki 1960, persoalan Irian Barat memperuncing hubungan Indonesia dengan Belanda. Puncaknya terjadi manakala Presiden Sukarno memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda. Angkatan Perang RI dimodernisasi sedemikian rupa dengan bantuan Uni Soviet sebagai persiapan merebut Irian Barat. Kendati penyelesaian lewat perundingan terus diupayakan, peluang terjadinya pertempuran terbuka dengan Belanda tetap besar.     Di dalam negeri, kekuatan radikal mulai terlibat dalam penggalangan massa aksi. Harian Rakjat , 13 Oktober 1961 melansir bahwa Front Pemuda Pusat yang didominasi PKI, menyerukan lebih dari 10 juta anggota organisasi pemuda telah siap untuk membentuk milisi umum. Di luar negeri, Aidit membicarakan soal Irian Barat dalam Kongres Partai Komunis Uni Soviet di Moskow. Aidit sebagaimana diberitakan Harian Rakjat , 31 Oktober 1961 menjelaskan sikap rakyat Indonesia dan tekad pemerintah untuk membebaskan Irian Barat dengan jalan apapun. Aidit juga memberikan informasi mengenai Irian Barat dalam forum kongres. Kampanye Aidit berhasil. Dia bersepakat dengan Paul de Groot, pimpinan Partai Komunis Belanda, yang menyatakan berada di sisi rakyat Indonesia apabila pecah perang antara Indonesia dengan Belanda. Dukungan tidak resmi juga diperoleh dari Partai Komunis Australia yang diwakili sekjennya, Lancey Sharkey. Pada 11 November 1961, Presiden Sukarno menyatakan persiapan militer sudah rampung. Perintah terakhirnya bagi perang pembebasan Irian Barat hanya tinggal menunggu keputusan PBB. Puncaknya terjadi ketika Sukarno mengumandangkan Tri Komando Rakyat pembebasan Irian Barat pada 19 Desember 1961 di Alun-Alun Yogyakarta. PKI bereaksi cepat terhadap komando terakhir Sukarno itu. Pada 21 Desember 1961, seluruh serikat buruh yang bernaung di bawah PKI mengeluarkan seruan bersama. Dalam Harian Rakjat, 23 Desember 1961 dikatakan bahwa “Kaum buruh Indonesia telah siap untuk membentuk pasukan sukarela kaum buruh.” Kepada Sukarno, Aidit menyarankan agar perusahaan Belanda di Indonesia disita dan diambil alih. “Retorika menakjubkan Presiden dan kemampuan luar biasa PKI memobilisasi massa, memastikan kedua pihak ini kian naik daun saja saat menentukan tujuan dan taktik yang terkait dengan konfrontasi terhadap kekuatan Belanda,” tulis Rex Mortimer dalam Indonesia Communism Under Sukarno: Ideology and Politics 1959—1965 . Di Washington, pemerintah Amerika di bawah rezim John. F. Kennedy memantau penuh was-was. Para penasihat Kennedy untuk Urusan Keamanan Nasional (NSA) menyaksikan dengan cemas sikap Indonesia yang semakin mengeras. Mereka menyarankan Kennedy untuk bertindak cepat dan sesegera mungkin.  “Cepat atau lambat, orang Indonesia akan mendapatkan Irian Barat,” demikian disampaikan Walt Whitman Rostow, Deputi Asisten Khusus Kepresidenan untuk Urusan Luar Negeri, kepada Presiden Kennedy seperti termuat dalam arsip departemen luar negeri Amerika, Foreign Relations of the United States, 1961–1963, Volume XXIII, Southeast Asia , Document 205 . Rostow menambahkan, “Jika ini memang jalannya, mungkin penting bagi kita untuk bekerja dengan tujuan tersebut, menggunakannya untuk keuntungan bersama, daripada membiarkan komunis untuk terus mengeksploitasi masalah ini untuk menekan Indonesia lebih dekat ke Blok Komunis.” Memasuki tahun 1962, Amerika mengubah kebijakannya terhadap persoalan Irian Barat. Mereka mulai bergerak ke arah tengah dengan mulai tampil sebagai mediator yang aktif. Sengketa Irian Barat memasuki babak baru menuju penyelesaian.

  • Mereka yang Menuntut Keadilan

    Tanpa terasa Aksi Kamisan sudah menginjak gelaran ke-603. Sejak digelar pada tahun 2007, Aksi Kamisan tetap teguh berjuang untuk meraih keadilan. Peserta Aksi Kamisan berhimpun dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). Mereka berpakaian dan membawa payung serba hitam.  Mereka berdiri di seberang Istana Negara, Jakarta. Kiri: Maria Sumarsih, ibunda dari Wawan, korban Tragedi Semanggi. Kanan: gambar Wawan yang selalu melekat di kaos sang Ibunda. (Fernando Randy/Historia). Aksi Kamisan merupakan aksi untuk menuntut pengungkapan kasus pembunuhan massal setelah G30S 1965, Tragedi Tanjung Priok (1984), hilangnya aktivis Reformasi 1998 seperti Wiji Thukul, Tragedi Trisakti 1998, Semanggi I (1998) dan II (1999), dan pembunuhan Munir. Bentuk aksinya berdiri di seberang Istana Negara, Jakarta, tiap hari Kamis sore selama beberapa lama. Tak kenal lelah. Massa aksi Kamisan dengan ciri khas mereka baju dan payung hitam. (Fernando Randy/Historia). Kiri: Pesan kemanusiaan di baju salah satu peserta Aksi Kamisan. Kanan: Peserta Aksi Kamisan yang menuntut adanya keadilan. (Fernando Randy/Historia). Salah satu penggagas Aksi Kamisan adalan Maria Sumarsih. Dia adalah ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, korban penembakan saat Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998.  Lebih dari satu dekade berlalu, Aksi Kamisan ternyata tidak pernah padam. Ia terus nyala. Peserta aksi sebermula hanya puluhan, kini bertambah banyak. Banyak anak muda turut serta dalam aksi ini.  Hingga kini massa Aksi Kamisan terus berlipat ganda, mereka terdiri dari relawan, mahasiswa hingga siswa SMA. (Fernando Randy/Historia). Kiri: Pesan di salah satu kaos massa Aksi Kamisan. Kanan: Salah seorang massa Aksi kamisan yang menuntut keadilan. (Fernando Randy/Historia). Kamis 26 September 2019, Aksi Kamisan mengambil tema peringatan 20 Tahun Tragedi Semanggi II. Dalam tragedi ini, beberapa mahasiswa tewas ditembak ketika berdemonstrasi menolak RUU Keadaan Bahaya pada 24 September 1999. JSKK meminta Presiden Jokowi untuk serius menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.  Ekspresi salah satu peserta Aksi Kamisan di Istana Negara. (Fernando Randy/Historia). Beberapa peserta aksi menyampaikan orasi tentang keresahan dan kepedihan mereka. Tak hanya soal isu masa lalu, melainkan juga isu kemanusiaan belakangan ini. Ari Kriting (34), komedian asal Wakatobi, tidak sedang melucu saat menggenggam mic. Dia berteriak lantang menanggapi gejolak di Papua. “Berhenti membunuh orang Papua!" katanya. asus pembunuhan Munir Thalib yang tidak pernah benar-benar terungkap hingga saat ini. (Fernando Randy/Historia). Ibunda Wawan, Maria Sumarsih tak kenal lelah menanti keadilan bagi keluarganya. (Fernando Randy/Historia). Lalu ada pula musisi Primanda Ridho (28). Pria asal Riau ini berorasi tentang kampung halamannya yang penuh asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatra. "Sudah berbulan-bulan kampung halaman saya penuh asap, tapi gubernur malah kabur ke Thailand.” Musisi Primanda Ridho berorasi tentang keluarganya di Riau yang terjebak asap. (Fernando Randy/Historia). Usut tuntas Tragedi Semanggi salah satu tuntutan mereka untuk pemerintah. (Fernando Randy/Historia). 12 tahun sudah aksi ini berjalan. Selama itu pula mereka terus berharap adanya titik terang akan keadilan. Walaupun berat, mereka akan tetap mengupayakan pencarian kebenaran.

  • Cara Kuno Mengadu Pada Penguasa

    Para rama  di Kinəwu yang termasuk wilayah Raņdaman mengeluh tak sanggup membayar pajak. Mereka diwajibkan menyerahkan katik 28 orang dan gawai 8 masa. Mereka punya sawah luasnya 6 lamwit  dan 3 tampah . Mereka lalu menghadap penguasa wilayah Randaman, Rakryan i Raņdaman pu Wama, untuk mohon izin meninjau kembali penetapan pajak atas sawah mereka. Untuk mengajukan permohonan, para rama harus mengeluarkan biaya sebanyak 3 ķati (2,4 kg) dan 1 suwarna  emas, seekor kerbau, masuya  (?), 1 suwarna, 2  suwarna  emas lagi yang diberikan kepada para juru  semua. Sayangnya, sebelum memberi izin kepada para rama , Rakryan i Raņdaman keburu meninggal. Maka para rama  pun berencana menghadap raja Rakai Watukura Dyah Balitung. Mereka lalu diantar oleh pratyaya  dari daerah Randaman, yaitu Rake Hamparan dan Pu Batabwan dan San Dumba. Mereka pun menyampaikan permohonan peninjauan kembali penetapan pajak kepada raja lewat perantara seorang pejabat Samgat Momahumah i Mamrata pu Uttara. Untuk permohonan kali ini para pejabat Desa Kinəwu harus menyerahkan uang emas sebanyak 5 kati (4 kg) kepada raja dan lima orang rakryan , yaitu Rakryan i Wunkaltihan, Rakryan i Wəka, Rakryan i Sorikan, Rakryan i Kalunwarak, dan Pamgat Tiruranu. Untungnya sang raja mengabulkan permohonan mereka. Keluarlah keputusan Raja Balitung yang menetapkan para rama  di Kinəwu mempunyai sawah 6 lamwit dan harus menyerahkan jumlah pajak yang telah dikurangi, yaitu katik 12 orang dan gawai 6 masa. Adapun keputusan itu disaksikan oleh para panuran in kabandharyan.  Boechari dalam “Ulah Para Pemungut Pajak di Jawa Kuno” yang terbit di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti menjelaskan bahwa mereka secara harfiah adalah orang yang tugasnya mengurangi penghasilan rakyat. “Dengan kata lain panuran adalah petugas pemungut pajak,” tulisnya. “Rupa-rupanya  panuran in kabandharyan harus tahu berapa tepatnya pajak yang harus masuk dari tiap daerah watak, dan mungkin juga perinciannya dari tiap desa.” Kisah aduan pejabat desa kepada penguasa itu muncul dalam keterangan Prasasti Kinəwu (907) dari masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung, penguasa Kerajaan Medang (Mataram Kuno). Lewat prasasti ini, terlihat bagaimana prosedur pengajuan permohonan dari rakyat kepada raja. Para rama atau kepala wanua Kinəwu awalnya mengajukan protes kepada penguasa daerah watak ( nayaka ) yang membawahi wilayahnya, yaitu Rakryan i Randaman. Wanua adalah satuan wilayah setingkat desa pada masa kini. Itu bisa terdiri dari satu desa maupun beberapa desa. Sementara watak adalah wilayah setingkat di bawah pusat. Wilayahnya terdiri dari beberapa wanua. Pengajuan permohonan yang dilakukan para rama itu dilakukan dengan membayar sejumlah uang. Sayangnya, permohonannya tak sempat diselesaikan karena Rakrynn i Randaman keburu meninggal. Tanpa menunggu sampai ada rakai  pengganti di wilayah Randaman, para pejabat desa itu meneruskan protesnya kepada raja lewat perantara pratyaya  dari wilayah Randaman.  Pratyaya , menurut Boechari, adalah pejabat yang biasanya mengurusi perbendaharaan kerajaan. Kali ini mereka harus membayar sejumlah uang yang lebih banyak dari yang dibayarkannya di tingkat watak. Di ibukota kerajaan, para pejabat desa diterima oleh San Pamgat Momahumah, yaitu Pamgat Mamrata. Pejabat inilah yang mengantar mereka menghadap putra mahkota dan raja. “Jika rakyat tidak mengajukan protes karena tidak tahu mana ukuran luas yang dijadikan dasar penetapan pajak, atau karena tidak diberi kesempatan untuk mengajukan protes, penarik pajak atau sang nayaka  akan memperoleh keuntungan sepertiga dari jumlah yang dibayarkan rakyat,” jelas Boechari. Menurut Boechari, ada kalanya pengaduan tak mesti sampai kepada raja atau putra mahkota. Misalnya, seperti yang dikisahkan dalam Prasasti Balingawan (891). Dalam prasasti itu dikisahkan para pejabat Desa Balingawan memohon desanya dijadikan sima . Di desa itu sudah terlalu sering terjadi pembunuhan gelap dan pertumpahan darah. Bisa dibayangkan, warga kerap menemukan mayat pada pagi hari di sebuah tegalan di Gurubhakti, yang masih masuk wilayah desa mereka. Padahal pembunuhannya mungkin terjadi di desa lain. Namun, mungkin oleh si pembunuh, mayatnya dibuang di tegalan itu. Sesuai dengan hukum yang berlaku kala itu, warga Balingawan-lah yang harus bertanggung jawab dan membayar dendanya. Sampai akhirnya mereka sudah tak mampu lagi membayar pajak. Mereka pun mengajukan permohonan ke pemerintah. Namun, pada kasus ini cukup sampai kepada Rakryan Kanuruhan pu Huntu melalui tiga orang patih  yang membawahi Desa Balingawan.  Rakryan Kanuruhan mengabulkan permohonan itu. Ia menetapkan sebidang tegalan di Gurubhakti di Desa Balingawan sebagai sima dengan ketentuan harus diadakan penjagaan keamanan di jalan yang menuju Desa Balingawan, karena rakyatnya selalu merasa ketakutan. “Rupa-rupanya pada waktu itu ada gerombolan perusuh atau perampok yang mengacau Desa Balingawan dan daerah sekitarnya,” jelas Boechari. Ada lagi satu kasus yang masalahnya tak perlu sampai kepada raja. Ini dikisahkan dalam prasasti Ramwi dari 804 Saka (882). Isinya, para pejabat Desa Ramwi memohon kepada Rakryan i Halu pu Catura agar gawai -nya dikurangi dari 800 menjadi 400. Gawai ini adalah persembahan kepada raja yang dapat berupa tenaga kerja sukarela atau persembahan lainnya.  Dari sini bisa diketahui kalau pada masa kerajaan kuno di Jawa, rakyat mendapat kesempatan untuk mengadukan keluh kesahnya kepada raja. Kendati tetap ada hierarki yang berlaku. “Raja-raja zaman dahulu memang tidak memerintah dengan sewenang-wenang,” kata Boechari. Dengan berpedoman pada Kitab Niti, raja selalu memperhatikan nasib rakyatnya. Raja selalu siap memberi anugerah kepada kawula  yang berjasa. Sebaliknya, ia juga mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah.

  • Pemisahan TNI dengan Polri

    MassaAksi Mujahid 212 Selamatkan NKRI bergerak di sekitar Bundaran Hotel Indonesia dan Jl. MH Thamrin menuju Istana Negara, pada Sabtu pagi, 28 September 2019. Salah satu rombongan yang tertangkap kamera fotografer CNN Indonesia , Ramadhan Rizky Saputra, membawa spanduk besar bertuliskan: “Amanat TAP MPR RI No. 6 Tahun 2000 Presiden Tidak Dipercaya Rakyat Wajib Mundur.” Spanduk itu pun jadi bahan di twitter karena sepertinya massa tak mengetahui apa sebenarnya Tap MPR No. 6 Tahun 2000. Terlebih salah sambung dikaitkan dengan presiden yang harus mundur karena tidak dipercaya rakyat. Tap MPR itu lahir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai bagian dari reformasi TNI yang menjadi kekuatan penguasa Orde Baru. Gus Dur mereformasi tubuh militer di antaranya memisahkan jabatan Menteri Pertahanan dengan Panglima TNI. Dia juga mengangkat pejabat sipil sebagai Menteri Pertahanan. Selain itu, Gus Dur men unjuk Panglima TNI dari Angkatan Laut karena biasanya Panglima TNI selalu dipegang oleh Angkatan Darat. Dia melikuidasi Badan Koordinasi Strategi Nasional (Bakorstanas) pengganti Kopkamtib, dan Penelitian Khusus (Litsus), lembaga represif Orde Baru. Gus Dur juga merealisasikan pemisahan secara tegas antara TNI dan Polri di mana posisi Polri langsung berada di bawah presiden. Menurut Lalu Misbah Hidayat, anggota DPR periode 2004-2009, dalam Reformasi Administrasi: Kajian Komprehensif Pemerintahan Tiga Presiden (Bacharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri) , pemisahan ini dimaksudkan untuk menegaskan kembali tugas dan fungsi pokok serta lingkup tanggung jawab polisi dan tentara. Lembaga kepolisian mempunyai tugas dan fungsi yang berkaitan dengan keamanan dan pengamanan wilayah sipil, sedangkan tugas dan fungsi TNI berkaitan dengan keamanan dan pertahanan negara secara militer. Gagasan pemisahan itu sebenarnya telah dimulai sejak Presiden BJ Habibie yang mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2/1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan dari ABRI. Namun, pemisahan itu belum terealisasi sampai akhir pemerintahannya. Instruksi itu ditindaklanjuti oleh keputusan yang dikeluarkan Menhankam/Pang lima ABRI. Menurut Ahmad Yani Basuki dalam Reformasi TNI: Pola, Profesionalitas, dan Refungsionalisasi Militer dalam Masyarakat (buku dari disertasi di FISIP UI tahun 2007), Menhankam/Panglima ABRI mengeluarkan keputusan No: Kep/05/P/III/1999 tanggal 31 Maret 1999 tentang pemisahan Polri dari ABRI bahwa mulai tanggal 1 April 1999 wewenang penyelenggaraan pembinaan Polri dilimpahkan dari Panglima ABRI kepada Menteri Pertahanan Keamanan. “Landasan konstitusional pemisahan Polri dari TNI secara de jure baru dikukuhkan melalui Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dengan Polri dan Tap MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri,” tulis Ahmad. Berdasarkan T ap MPR tersebut, Gus Dur merealisasikan pemisahan TNI dengan Polri melalui penerbita n Keputusan Presiden No. 89 tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Salah satu yang terpenting adalah Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: “Kepolisian Negara Republik Indonesia berkedudukan langsung di bawah Presiden.” Tap MPR itu juga menjadi landasan dibentuknya UU No. 2/2002 tentang Polri dan UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Dan selanjutnya baru dibentuk UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. “Pemisahan yang tegas ini membuat posisi Polri tidak mudah diintervensi dan dikooptasi kekuatan lain. Reposisi tersebut mengembalikan posisi Polri kembali ke khitah tahun 1946-1959, yaitu bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku Kepala Negara,” tulis Misbah. Itu juga sesuai agenda Reformasi yang menyatakan bahwa pasca Pemilu 1999 Polri akan menjadi lembaga mandiri, sejajar dengan lembaga hukum lainnya dan kementerian.

  • PNI Pasca-Peristiwa 1965

    Pasca-Peristiwa 1965, Jenderal Soeharto melakukan pembersihan besar-besaran terhadap partai politik yang dianggap berhaluan komunisme. Salah satu partai yang hampir dihabisi ialah PNI. Namun, adanya perpecahan dalam tubuh PNI membuat Soeharto mengurungkan niatnya. Usulan para perwira Angkatan Darat untuk menghapus PNI ditolaknya l antaran terdapat tokoh-tokoh antikumunis.  Perpecahan membuat adanya dualisme kepemimpinan dalam tubuh PNI . Kubu Ali Sastroamidjojo sebagai Ketua Umum PNI setuju dengan kebijakan Nasakom Sukarno. Sementara, kubu Hardi (Ketua Umum I) bersama Hadisubeno Sosrowerdojo , gubernur Jawa tengah dekade 1950-an, bersikap antikomunis sehingga tidak setuju dengan Nasakom. Kubu ini sering disebut “Marhaen Gadungan”. Adanya kubu “Marhaen Gadungan” ini membuat Soeharto pilih mempertahankan PNI. Sebagai salah satu partai yang memiliki kedekatan dengan Sukarno, PNI beruntung tidak mengalami penghapusan. Dalam Kongres Persatuan, April 1966, Hardi dan Hadisubeno berhasil menguasai partai. Menurut Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia , Soeharto bermaksud untuk mempertahankan PNI agar berada di bawah kepemimpinannya. Ia pun menunjuk Osa Maliki sebagai pemimpin PNI. Namun ketika Osa meninggal pada September 1969 karena penyakit jantung, pemerintah mengawasi betul PNI dalam pemilihan pemimpin baru. Dua kandidat kuat dalam pemilihan ketua umum PNI adalah Hardi, seorang ahli hukum dan mantan wakil perdana menteri 1957 dan 1959, dan Hadisoebeno, politikus kelahiran Jawa Timur. Pihak pemerintah mencurigai Hardi akan bekerjasama dengan partai-partai lain untuk menentang tentara. Oleh karena itu, pemerintah menginginkan Hadisubeno menjadi ketua umum. Dalam kongres partai yang diadakan di Semarang pada April 1970, Ali Murtopo selaku asisten pribadi presiden menugaskan asisten pribadinya untuk memastikan kemenangan Hadisubeno. Asisten Ali itulah yang menyebarkan desas-desus kalau Hadisubeno tidak dimenangkan dalam kongres tersebut, siap-siap saja PNI akan dibubarkan. Pada akhirnya, Hadisubeno terpilih sebagai ketua umum PNI. Seorang pendukung Hardi kemudian menulis dalam harian partai,  Suluh Marhaen,  bahwa dalam kongres terdapat campur tangan pihak Angkatan Darat. Mereka menekan anggota kongres untuk menuruti keinginan pemerintah memenangkan Hadisubeno. Dengan adanya dukungan dari pemerintah, PNI bermaksud untuk memberikan timbal balik dengan menunjukkan bahwa pendukung PNI masih banyak. PNI berharap setelah pemilihan 1971, Soeharto menunjuk seorang pemimpin dari PNI untuk menjadi wakil presiden. Namun demikian, kampanye yang dilakukan PNI menimbulkan ketegangan antara PNI dan pemerintah. Hadisubeno yang sebelumnya dianggap penurut, mengundang kewaspadaan penguasa ketika dengan bersemangat melancarkan kampanye anti-Golkar dan menyatakan kedekatan hubungan antara PNI dengan Sukarno Manuver Hadisubeno terbilang nekat karena kala itu terdapat larangan Kopkamtib tentang penyebaran ide-ide Sukarno. Hadisubeno menantang pemerintah untuk membubarkan PNI kalau larangan tersebut diberlakukan. Dalam salah satu pidatonya, Hadisubeno menyerukan pernyataan yang amat mengagungkan Sukarno. “Sepuluh Soeharto, sepuluh Nasution, dan segerobak penuh jenderal tidak akan dapat menyamai satu Sukarno,” kata Hadisubeno. Meski hubungan Hadisubeno dan PKI selalu berseberangan, kekagumannya pada Sukarno bisa dilacak dalam pidatonya di apel siaga PNI di Stadion Kridosono, Yogyakarta pada Juni 1966. Hadisubeno mengatakan, apapun yang terjadi, Presiden sukarno masih dicintai rakyatnya. Dalam petemuan itu, menurut Kuncoro Hadi dalam bukunya Kronik 65 , terdapat wartawan asing dari Thailand, Filipina, India, Jepang, dan Amerika Serikat. Usaha Hadisubeno untuk mendapatkan kembali suara rakyat terputus karena ia meninggal sebelum pemilu dilaksanakan, yakni April 1971. Berita di Sinar Harapan Sabtu, 24 April 1971 menyebutkan Hadisubeno meninggal pada Sabtu pukul 7 di RSUP dr. Karjadi, Semarang akibat komplikasi pascaoperasi. Komando kampanye PNI lalu dipegang oleh Ketua I DPP Mh. Isnaeini. “Kita sedang konsentrasi untuk Pemilu dan DPP PNI tetap kompak menghadapi persoalan-persoalan apapun,” kata Isnaeni, diberitakan Sinar Harapan.

  • Hukuman Bagi Perusak Hutan

    Arya Wiraraja menyarankan agar Wijaya menghamba pada Jayakatwang yang telah membunuh paman sekaligus mertuanya, Kertanegara. Jika nanti sudah dipercaya, kata Wiraraja, hendaknya Wijaya meminta hutan di daerah Trik. Nantinya orang-orang Madura yang akan membuat dan membersihkan hutan itu. Di dekat sana, ada kediaman orang Madura yang akan mendekat kepada Wijaya. “Tuanku (Wijaya) minta diri bertempat tinggal di hutan Trik yang dibuka oleh orang-orang Madura,” kata Wiraraja, sebagaimana dikisahkan Pararaton. Kisah pembukaan hutan itu pun mengawali berdirinya Kerajaan Majapahit oleh Wijaya yang kemudian digelari Kertarajasa Jayawarddhana (1293-1309). Kakawin Nagarakrtagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca menyebut Sri Nata Singasari atau Raja Kertawardhana membuka hutan yang luas di daerah Sagala. Adapun Raja Wijayarajasa atau yang disebut Prapanca dengan Sri Nata Wengker membuka hutan Surabana, Pasuruan, Pajang, mendirikan perdikan Buddha di Rawi, Locanapura, Kapulungan. Sedangkan  Hayam Wuruk pun memerintahkan pembukaan ladang Watsari di Tigawangi. Alasannya untuk dijadikan ladang dan sawah. Selain untuk keperluan peribadatan, pertanian, dan permukiman baru, ada alasan lain orang masa lalu membabat alas. Seperti disebutkan dalam Prasasti Kaladi (909) dari masa Mataram Kuno (Medang), sebagaimana dijelaskan ahli epigrafi Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Atas permintaan Dapunta Suddhara dan Dapunta Dampi kepada raja Rakai Watukura Dyah Balitung, hutan araṇan di wilayah Samgat Bawaṅyang memisahkan Desa Kaladi, Gayām, dan Pyapya dijadikan sawah swatantra (bebas pajak). Alasannya, hutan itu menyebabkan ketakutan. Masyarakat senantiasa mendapat serangan dari begal asal Mariwuṅ yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan ketakutan siang malam. “Maka disetujui bersama hutan itu dijadikan sawah swatantra (bebas pajak) agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan,” jelas Boechari. Berdasarkan prasasti itu pula diketahui bahwa pembukaan hutan harus atas seizin raja. Kerajaan kuno punya sanksi berat bagi mereka yang membabat alas secara liar. Hukuman bagi mereka yang melanggar larangan itu nampak jelas pada masa Majapahit. Aturan terkait lingkungan ada dalam kitab perundang-undangan Majapahit atau yang disebut Agama atau Kutara Manawa . Kutara Manawa adalah kitab undang-undang pidana. Namun di dalamnya pun terdapat pula hukum perdata. Berdasarkan susunan ulang yang dibuat Slamet Muljana dalam Perundang-undangan Majapahit, kitab itu terdiri dari 20 bab. Pasal terkait lingkungan ditemukan dalam bab 5 tentang sahasa atau paksaan. Di Pasal 92 ada larangan menebang pohon sembarangan. Menebang pohon harus mendapat izin pemiliknya. Jika seseorang melanggar akan didenda empat tali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa. Pohon yang ditebang pun harus dikembalikan dua kali lipat. Pada Pasal 247 bab 16 tentang Kagelehan atau kelalaian juga memuat ancaman bagi yang menebang pohon. “Jika ada orang menebang pohon, dia harus membayar dua kali lipat orang mati ditambah denda empat laksa,” tulis Slamet Muljana.   Pun setelah menjadi sawah dan ladang pengawasan pemerintah tetap diberlakukan. Dalam bab 18 tentang bhumi atau tanah, khususnya Pasal 260 dikatakan barang siapa membakar padi di ladang, tidak pandang besar-kecilnya, harus membayar padi lima kali lipat kepada pemiliknya. Itu masih ditambah denda sebesar dua puluh ribu. Lalu pada Pasal 259 ada ancaman bagi siapapun yang membuat sawah terbengkalai. Disebutkan barang siapa minta izin untuk menggarap sawah, tetapi tidak dikerjakan sehingga terbengkalai supaya dituntut untuk membayar utang makan sebesar hasil padi yang dapat dipungut dari sawah yang akan dikerjakan itu. “Besarnya denda ditetapkan oleh raja yang berkuasa sama dengan denda pengrusak makanan,” catat Muljana. Kemudian ada pula Pasal 261 yang ditujukan bagi siapapun yang mempersempit sawah atau membiarkannya terbengkalai dan segala apa yang dianggap bisa menghasilkan makanan atau melalaikan binatang piaraan. Perbuatan itu dinilai dapat mengurangi produksi pangan.   “Jika perbuatan itu diketahui banyak orang, yang demikian itu diperlakukan sebagai pencuri dan dikenakan pidana mati,” lanjut Muljana. Selain aturan, penguasa masa itu pun mengangkat petugas khusus untuk mengawasi hutan. Dalam prasasti disebut Tuha alas atau  Tuhālas (alas artinya hutan) .Menurut Boechari mereka dapat disamakan dengan mantri kehutanan. Keberadaannya sudah ada sejak masa Mataram Kuno (Medang). Boechari mengatakan jabatan tuha alas  akan ditemukan di desa-desa yang punya wilayah hutan. “Jabatan di desa yang satu tak sama dengan di desa yang lain. Itu menyesuaikan keadaan geografi dan ekologi desa yang bersangkutan,” jelasnya.

  • Aparat Salah Cegat

    MENDIANG Kol. (Purn.) Maulwi Saelan pernah menyatakan dirinya amat menghormati sikap fair Presiden Sukarno. Sikap fair itu kerap dilihat langsung Maulwi semasa bertugas di Istana sebagai wakil komandan Resimen Tjakrabirawa, 1962-1966. Maulwi pernah mengalami langsung bagaimana fair -nya Bung Karno. Di suatu hari, Sukarno ngobrol santai dengan para pengawalnya lantaran sedang tidak padat jadwal. Entah apa pemicunya, Maulwi akhirnya sampai berdebat dengan Sukarno tentang suatu hal. Keduanya sama-sama keukeuh pada pendirian. Sukarno, kata Maulwi, sampai menampakkan muka merah. “Dia masuk kamar. Waduh, dimarahi ini. Saya sudah deg-degan,” kata Maulwi kepada Historia beberapa tahun silam. Melihat sang presiden meninggalkan tempat obrolan, Maulwi hanya bisa pasrah dan siap akan hal terburuk yang bakal diterimanya. “Ngga lama, beliau datang lagi. Bilang bahwa you benar, pakai bahasa Belanda,” sambung Maulwi. “Legaa...” kata Maulwi sambil tertawa. Sikap fair Sukarno merupakan karakter yang umum diketahui publik. Bukan hanya kepada para bawahan, sikap fair itu juga ditunjukkan Sukarno kepada lawan-lawan politiknya. “Tidak ada yang lebih fair daripada Bung Karno,” kata Mendiang Farid Prawiranegara, anak mantan Presiden PDRI Sjafruddin Prawiranegara, kepada Historia . Ayah Farid merupakan lawan politik Sukarno di masa pergolakan daerah, 1958, yang dipenjara pada awal 1960-an. Mangil Martowidjojo, pengawal Sukarno sejak masa awal kemerdekaan yang kemudian menjadi komandan Detasemen Kawal Pribadi di Tjakrabirawa, juga sering mengisahkan sikap Sukarno tersebut. Dalam memoarnya, Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967, Mangil mengisahkan antara lain Sukarno pernah distop seorang serdadu saat sedang menuju luar kota bersama Ibu Fatmawati pada awal 1950-an. Entah apa motif yang membuat serdadu itu sampai melakukan hal di luar wewenang tugasnya dengan menanyakan surat-surat mobil yang dinaiki presiden dan ibu negara. Kontan hal itu membuat Inspektur Polisi Oding Suhendar, pengawal yang duduk di kursi depan mobil, segera turun dan menemui tentara tadi. “Masa Saudara tidak kenal sama beliau?” kata Oding, dikutip Mangil. Setelah sang serdadu menengok ke dalam mobil dan melihat presidennya hanya tersenyum, dia lalu tersentak kaget. “Langsung dia hormat senjata dan melapor dengan suara keras dan jelas, “...keadaan aman.” Kendati sikap prajurit tentara tadi menimbulkan tawa para penumpang mobil presiden, Sukarno tak sedikit pun menyalahkannya. “Di dalam mobil, Bung Karno berkata, ‘Anak tadi bertugas dengan baik’,” tulis Mangil.

  • Petualangan Cinta Pangeran Mataram

    PADA usia tertentu seorang putra mahkota, sudah harus memilih siapa pasangan yang nanti akan mendampinginya di istana. Umumnya keluarga kerajaan telah mempersiapkan beberapa calon, terutama dari kerajaan lain yang dinilai akan memperkuat posisi sang calon raja di dalam pemerintahan. Proses memilih dan menentukan itu dihadapi oleh putra Amangkurat I, Raden Mas Rahmat alias Pangeran Anom (kelak Amangkurat II) dalam persiapannya mengambil alih kekuasaan Mataram. Pada 1652, ketika putra mahkota dianggap telah menginjak usia siap menikah, keluarga mencalonkan putri Sultan Banten sebagai pasangannya. H.J. De Graaf dalam Runtuhnya Istana Mataram menyebut rencana pernikahan itu merupakan pengesahan atas kerja sama yang sedang diusahakan kedua kerajaan Islam tersebut. Namun syarat yang diajukan keluarga Mataram, yakni mengirim salah seorang anggota keluarga Kesultanan Banten untuk tinggal di istana Mataram, dianggap terlalu berat. Syarat itu merupakan bagian dari upaya Mataram mengikat kerajaan lain agar benar-benar tunduk di bawah kuasa mereka. Atau yang oleh peneliti Belanda R.M. Van Goens disebut sebagai “hamba kerajaan” Mataram. Hal itu pernah menimpa pemerintahan Kesultanan Cirebon. Akibatnya banyak keluarga kesultanan itu terpaksa harus tinggal di istana Mataram. “Tetapi tidak pernah seorang keluarga Kerajaan Banten bersedia tinggal di Mataram, sehingga perkawinan yang direncanakan itu batal,” terang De Graaf. Dalam banyak catatan harian pemerintahan Belanda ( Daghregister ,) disebutkan bahwa di Mataram pada1653 --selama berbulan-bulan setelah pembatalan pernikahan dengan putri Banten--terjadi kesibukan untuk meminang putri Cirebon. Sejak April 1653, pihak Mataram telah bersiap menemui keluarga Sultan Cirebon, termasuk mengundang Residen Barent Volsch sebagai perwakilan Belanda di tanah Mataram. Namun hingga berganti bulan, rencana pinangan itu tidak kunjung direalisasikan. Akhirnya pada Oktober 1653 pemerintah Belanda mendengar bahwa Mataram membatalkan agenda meminang putri Cirebon. Alasannya, putri Cirebon secara keturunan terlalu rendah dibandingkan sang pangeran. Tidak sebanding dengan Mataram yang sejak lama telah dianugerahi garis keturunan penguasa Jawa. Dalam tulisannya De Graff menilai alasan itu sebagai sebuah kekeliruan. Mengingat keluarga Sultan Cirebon berasal dari keturunan wali termasyhur yang menyebarkan ajaran Islam di Jawa Barat (Sunan Gunung Jati). Setelah rencana pernikahannya kembali gagal, Amangkurat I mengirim putranya ke salah satu dalem adipati Cirebon. Dikisahkan J.J. Meinsma dalam Babad Tanah Djawi: Javaanse Rijkskroniek saat itu keluarga Sultan Cirebon memiliki putri yang cerdas. Amangkurat I menilai putranya akan cocok dengan gadis Cirebon tersebut, tetapi ia ingin Pangeran Anom menilai sendiri. Jika menurutnya layak, maka raja akan segera melakukan persiapan memboyong gadis itu. Setiba di Cirebon, Pangeran Anom segera pergi ke kediaman dalem Adipati Cirebon. Maksud kedatangan sang pangeran itupun segera disadari. Dalem Adipati Cirebon lalu memerintahkan putrinya untuk menyajikan sirih kepada putra Mahkota Mataram itu. “Ketika pangeran melihat gadis itu, ia memuji penampilannya yang cantik, tetapi agak sedikit pemarah. Pangeran mulai khawatir gadis itu akan bersikap kasar kepada suaminya. Semakin lama ia diam di sana, semakin berkurang perasaannya terhadap gadis itu. Karena itu sekembalinya ke Mataram ia memberi tahu ayahnya bahwa ia tidak menginginkannya,” tulis Meinsma. Pihak keluarga kerajaan Mataram kembali mengusulkan pertalian dengan Banten. Kali ini seorang gadis kemenakan sultan yang ditawarkan. Karena pada waktu itu putri sultan telah menikah. Namun tahun 1656 pemerintah Belanda kembali mendengar kabar bahwa usaha kedua mengikat Banten itu gagal. Usaha terakhir yang dilakukan oleh raja untuk segera mencari pasangan bagi putranya adalah dengan mengadakan sayembara. Sunan menginginkan menantu dari bahwannya sendiri. Oleh karenanya disiapkan ratusan orang wanita. Siapa yang akhirnya dipilih, tidak pernah diketahui. Menurut De Graaf, berdasarkan laporan pejabat Belanda, pernikahan Pangeran Anom berlangsung awal tahun 1657. Tetapi bukan dengan Rara Oyi seperti yang ditulis banyak narasi sejarah. Melainkan dengan seorang gadis cantik yang identitasnya tidak disebutkan, sekalipun oleh sumber-sumber lokal. Rara Oyi, putri Mangunjaya, sendiri baru menjalin asmara dengan pangeran setelahnya. “Sering disebut bahwa Putra Mahkota itu suka bermain cinta. Dalam tahun 1670 ia dikatakan setiap malam keluyuran dan memperkosa wanita dan gadis muda,” tulis J.K.J. de Jonge dalam De Opkomst van het Nederlandsche gezag in Oost Indie dikutip De Graaf.

  • Siapa Liang Tjiu Sia?

    AKTRIS cantik Jenny Zhang Wiradinata mengaku tahu betul siapa Susi Susanti. Namun sebagaimana publik kebanyakan, dia tak tahu siapa orang di balik kesuksesan Susi. “Saya tahu Susi Susanti tapi enggak tahu pelatihnya siapa,” kata Jenny kepada Historia saat konferensi pers peluncuran trailer filmnya di XXI Metropole, Cikini, Rabu (18/9/2019) . Jenny mengakui baru mengenal nama Liang Tjiu Sia (kadang dieja Liang Chiu Hsia/Liang Qiuxia), pelatih yang sukses mengantarkan Susi merebut medali emas badminton putri di Olimpiade 1992, saat menerima tawaran untuk memerankan sang pelatih di film biopik Susi Susanti: Love All . “Jujur enggak banyak info yang saya dapat tentang dia di media-media,” sambungnya. Dari keterlibatannya dalm film inilah ia bisa mendalami karakternya dan sedikit-banyak jadi paham keresahan sang pelatih terkait kebijakan diskriminatif era Orde Baru. “Dengan menerima peran ini saya juga bisa ketemu dan dapat cerita langsung. Menjadi suatu kebanggaan buat saya berperan menjadi sosok pelatihnya Susi Susanti,” ujarnya. Sementara dari penuturan Alan Budikusuma, suami Susi, sosok Cik Sia tak kalah keras dan tegas dari pelatihnya, Tong Sinfu yang didatangkan dari Cina di masa Try Sutrisno menjabat Ketum PBSI. “Mereka berdua kan ditarik Pak Try setelah melihat latihan di Cina. Menurutnya lebih cocok untuk persiapan olimpiade karena dibutuhkan pelatih yang keras dan enggak bisa ditawar-tawar ketegasannya,”. Alan Budikusuma turut berkisah tentang kerasnya gaya melatih Liang Tjiiu Sia (Dok. Historia) Keras dan tegasnya gaya melatih Liang juga masih teringat betul di kepala Yuni Kartika, eks pebulutangkis tunggal putri Indonesia seangkatan Susi. “Dia sempat pindah ke Cina dan kembali melatih saya di PB Djarum dan kemudian Pelatnas. Termasuk yang menggembleng saya, Susi, Yuliani (Santosa) dan Mia Audina di tim Uber Cup 1994. Wah waktu dilatih sama dia, ampun deh , sadis, hahaha…,” cetus Yuni. Namun di balik itu Sia sempat kesulitan mendapatkan pengakuan sebagai warga negara Indonesia (WNI) sejak jadi pelatih pada 1980-an. Padahal dia lahir di Cirebon, Jawa Barat. Adiknya, Liang Tjun Sen (Tjun Tjun) pun salah satu legenda ganda putra seangkatan Christian Hadinata. Berkiprah di Negeri Leluhur Lahir di Cirebon pada 9 September 1950, Liang Tjiu Sia memilih meninggalkan tanah kelahirannya demi kembali ke tanah leluhurnya selepas lulus SMP. Usianya baru 15 tahun saat hengkang. Sementara, sang adik, Tjun Tjun, pemain ganda putra legendaris Indonesia, memilih bertahan di Tanah Air. Mengutip peneliti studi politik Asia dari Flinders University Colin Brown dalam artikelnya di Jurnal Indonesia, “Playing the Game: Ethnicity and Politics in Indonesian Badminton”, salah satu faktor utama hengkangnya banyak pelatih dan pemain Tionghoa kala itu, termasuk Tjiu Sia, adalah kondisi dalam negeri yang tengah tak menentu di masa transisi Orde Lama ke Orde Baru. Kondisi tak menentu itu disebabkan keluarnya Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959 tentang larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah. Walhasil, ratusan ribu penduduk beretnis Tionghoa, termasuk para pemain dan pelatih bulutangkis, memilih kembali ke Cina lantaran mereka belum memegang surat kewarganegaraan. “Termasuk Tang Xianhu (Tong Sinfu), Chen Yu Niang (Tan Giok Nio), dan Hou Jiachang (Houw Ka-Tjong), di mana mereka malah sukses mengembangkan bulutangkis di Cina. Mereka yang kemudian mengembangkan bulutangkis hingga berkontribusi pada kesuksesan bulutangkis Cina hingga sekarang,” ungkap Brown. Geger 1965 (Gerakan 30 September) kian membuat suram nasib etnis Tionghoa. Liang pilih merelokasi diri ke Cina ditemani sejumlah saudaranya, kecuali Tjun Tjun. Di Negeri Tirai Bambu, Sia menggoreskan tinta emas dalam kariernya sebagai pemain. Bersama Zheng Huiming, Sia memetik medali emas ganda putri Asian Games 1974. Di tunggal putri, ia juara di Kejuaraan Asia 1976, Turnamen Invitasi Bulutangkis Asia 1976 dan 1977, dan memetik satu emas di Asian Games 1978. “Namun semua itu tidak tercatat dengan resmi karena Cina belum masuk IBF (International Badminton Federation, kini Badminton World Federation/BWF). Setelah Cina masuk IBF pada 1981, prestasinya sudah menurun,” kata Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia. Selepas pensiun dari pemain, ia pindah ke Hong Kong dan menetap di sana. Ia lalu menjadi warga negara Hong Kong setelah dinikahi pebalet Hong Kong Zhang Dayong. Pada 1982, ia menemani tim bulutangkis Hongkong melawat ke Indonesia. Lawatan itu membuatnya homesick dan ingin pulang ke Indonesia. Orangtua dan adiknya, Tjun Tjun, pun merayunya untuk pulang ke Indonesia. Sementara, mengutip Tempo edisi 23 Juni 1984, bujukan untuk memulangkan Liang juga sudah diupayakan Menpora Abdul Gafur sejak 1983. Utamanya setelah melihat keterpurukan tim Uber Cup 1984. “Baik pandangan maupun idenya merupakan angin segar bagi dunia,” kata Menteri Abdul Gafur. Kembali ke Indonesia Pada 1985, Sia benar-benar kembali ke Indonesia. Berkat upaya bersama antara Departemen Negara Pemuda dan Olahraga, Departemen Tenaga Kerja, Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat, dan PBSI, Sia akhirnya berkenan melatih sektor putri bulutangkis dalam negeri. Namun, Sia masih berstatus warna negara Hong Kong kendati sudah jadi pelatih kepala tunggal putri Pelatnas PBSI. Untuk keperluan itu, ia sekadar diberi dokumen perizinan kerja pada 1986. Setahun berselang, ia diberi status warga negara tapi dokumen Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI)-nya baru keluar pada 1989. Liang Tjiu Sia kini sekadar cari kesibukan dengan mengajar privat di Kedoya (Fernando Randy/Historia). Kendati sebagai kepala pelatih tunggal putri Sia membesut banyak pemain, namanya lebih dikenal sebagai pengasuh Susi. “Waktu itu sebetulnya ada sekitar 13 pemain. Tapi memang Susi yang paling ulet, paling enggak mau kalah. Enggak malas. Ngotot mainnya,” kata Sia kepada Historia di kesempatan berbeda. Sia bertahan di pelatnas sampai tahun 2000. Dia kemudian kembali mengajar privat di Hong Kong. “Tapi lama-lama enggak betah. Lalu pada 2003 balik ke sini, ditawari melatih di (klub) Mutiara Bandung sampai tiga tahun. Cina sebenarnya sempat minta balik setelah saya enggak di PBSI. Tapi saya enggak mau,” lanjutnya. Baru pada 2013 ia comeback melatih tunggal putri Pelatnas PBSI hanya dengan kontrak setahun. Setelah itu hingga sekarang, ia sekadar buka kelas bulutangkis privat di Kedoya, Jakarta Barat. “Ya sekadar cari kesibukan aja. Kalau enggak ada kerjaan, bingung juga saya. Kalau 10 tahun lagi masih kuat, ya tetap masih mau melatih,” kata Sia. Di sela-sela kesibukan melatih itulah ia terlibat melatih Laura Basuki, Jenny Zhang, dan sejumlah pemeran lain untuk keperluan film Susi Susanti: Love All . Dari hanya kontrak tiga bulan, Sia justru melatih Laura hingga enam bulanan. “Produsernya yang minta saya latih Laura. Dari dia belum bisa apa-apa sampai bisa main. Nge -lihat gayanya aja susah mukulnya dia, hahaha… Kalau Jenny Zhang lumayan, mungkin dia senang olahraga ya. Semoga film itu disenangi orang ya, meledak lah,” tandasnya.

  • 9 Martir Gerakan Mahasiswa Indonesia

    GERAKAN mahasiswa kembali berkibar. Kerisauan rakyat dalam mencari kebenaran dan keadilan seolah terwakilkan oleh aksi mahasiswa dan pelajar pada Selasa (24/9) lalu di depan Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta. Tidak hanya di Jakarta, semangat tak terbendung para pemuda itu juga bergejolak di berbagai daerah, seperti Bandung, Yogyakarta, Medan, Makassar, Garut, dan lain-lain. Meski terpisah, tujuan mereka tetap sama: menolak RUU KUHP dan RUU KPK.  Akibat aksi-aksi penentangan itu, telah jatuh puluhan korban. Diberitakan jawapos.com , hingga Selasa malam jumlah korban yang masuk Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta Selatan, mencapai 87 orang. Kepala Humas RSPP Agus Susetyo menjelaskan umumnya para korban yang dirawat mengalami kondisi sesak napas akibat gas air mata. “Para korban tersebut di antaranya terdiri dari 66 pasien statusnya pasien hijau, kemudian 14 pasien status kuning, dan satu pasien status merah,” ucap Agus. Serangkaian peristiwa ini seolah membuka kembali kenangan tentang sejumlah aksi mahasiswa yang berakhir dengan jatuhnya korban jiwa. Mereka pun dikenang sebagai martir demokrasi Indonesia. Satu yang tidak mungkin dapat dilupakan adalah Arif Rachman Hakim. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini tewas dalam suatu demonstrasi besar menentang pemerintahan Sukarno di depan Istana Negara pada Februari 1966.  Selain Arief, tercatat beberapa mahasiswa telah gugur dalam berbagai upaya perjuangan melawan ketidakadilan. Inilah 9 di antaranya. Aksi mahasiswa saat berdemo di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Julius Usman Tahun 1966 Bandung dilanda kepanikan. Bentrok antara mahasiswa (UNPAD, ITB, dan UNPAR) dengan sekelompok massa berseragam serba hitam di Jalan Merdeka tidak dapat dihindarkan. Pangkal permasalahan berasal dari pidato Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1966 saat peringatan 21 tahun Republik Indonesia. Si Bung menyebut adanya gerakan dari suatu kaum, yang ia sebut revolusiner palsu, yang berusaha menjatuhkan dirinya. Ia pun menyerukan ajakan untuk terus maju dan bergerak sesuai dengan amanat Proklamasi 17 Agustus 1945. Rupanya ucapan Sukarno itu diartikan oleh para loyalis setianya sebagai perintah untuk menghancurkan kelompok-kelompok anti-Sukarno. Dan sasaran utamanya adalah para mahasiswa yang memang sejak beberapa tahun belakangan melakukan kritik keras kepada pemerintahan Sukarno. Pada 19 Agustus 1966, massa pro-Sukarno bergerak ke sejumlah markas organisasi mahasiswa di Bandung. Mereka melengkapi diri dengan senjata api dan senjata tajam. Siang hari, markas KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) di Jalan Lembong berhasil diduduki. Begitu juga markas KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Sejumlah mahasiswa yang sedang berada di lokasi pun menderita luka-luka akibat penyerangan tersebut. Selain markas organisasi mahasiswa, massa juga menyasar bangunan-bangunan kampus. Di Jalan Ganeca, mahasiswa ITB dan Resimen Mahasiswa Batalion I Mahawarman membentuk barisan keamanan. Di sekitar Jalan Dipati Ukur UNPAD, Resimen Mahasiswa Batalion II Mahawarman juga sudah bersiap menghadang massa. Sementara itu di Jalan Merdeka, massa pro-Sukarno berusaha menerobos masuk ke bangunan kampus UNPAR. Menurut Zainuddin Nurdin, dosen UNPAR yang saat itu menjadi mahasiswa fakultas ekonomi angkatan 1963, dalam “50th Anniversary of Julius Usman Death 1966” dimuat Majalah Parahiyangan Vol III No.3 , situasi di depan kampus UNPAR begitu kacau. Massa yang berkumpul melepaskan sejumlah tembakan ke arah bangunan. “Waktu itu ada dua orang mahasiswa yang terkena tembakan dan seorang pegawai kampus yang juga mahasiswa tingkat akhir dari fakultas ekonomi, yakni Julius Usman,” kenang Zainuddin. Julius Usman merupakan mahasiswa tahun terakhir yang sedang dalam proses pengerjaan skripsi. Saat kejadian ia bersama-sama dengan staf dan mahasiswa, serta anak-anak Batalion III Mahawarman, bahu membahu menghalau massa yang ingin menduduki dan merusak bangunan kampus. Sebelum sebuah peluru menembus tubuhnya, Julius sedang berada di lantai 2, di ruang administrasi. Saat mendengar rentetan suara tembakan, ia bergegas turun menghampiri kawan-kawannya yang masih bertahan di depan gerbang kampus sambil membawa kotak P3K. Ketika membuka pintu gerbang, seseorang melepaskan tembakan ke arahnya. Julius pun roboh. Orang-orang disekitarnya berusaha membantu. Namun sayang nyawanya tidak dapat tertolong. Julius Usman kemudian ditetapkan sebagai “Pahlawan Ampera” oleh Panglima Kodam VI/Siliwangi Mayjen H.R. Dharsono. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Pihak Universitas Parahiyangan pun memberinya gelar doktorandus anumerta . “Untuk mengenang almarhum, sebuah gedung yang dipakai sebagai markas gerakan pelajar dan mahasiswa di Kota Bandung dinamai Gedung Julius Usman,” tulis Taufik Abdullah, dkk dalam Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional: Bagian II Konflik Lokal. Para mahasiswi yang ikut berdemo di Senayan Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Rene Conrad Tradisi memanjangkan rambut di kalangan mahasiswa memancing polemik pada 1970-an. Aturan tanpa undang-undang melarang keras mereka mereka yang berambut gondrong. Jika masih membangkang, polisi bersenjata gunting yang berkeliaran di kota tak segan memotong rambut mereka langsung di tempat. Aturan tak berdasar itu tentu tidak dapat diterima. Pada Agustus-September 1970, para mahasiswa ITB Bandung bereaksi. Rum Aly dalam Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter: Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik Indonesia 1970-1974 , menyebut bahwa pertentangan itu dimotori oleh suatu pernyataan dari Dewan Mahasiswa ITB, ditandatangani Ketua Umum Sjarif Tando dan Sekertaris Umum Bambang Warih Kusuma, yang mengecam pengguntingan rambut itu sebagai: pemerkosaan hak-hak asasi perseorangan. Di tengah memanasnya polemik rambut gondrong ini, pejabat polisi dan pihak ITB berinisiatif mendinginkan suasana dengan menggelar pertandingan persahabatan antara mahasiswa ITB dengan para taruna Akademi Kepolisian. Pertandingan sepak bola itu diselenggarakan pada 6 Oktober 1970 di dalam kampus ITB. Sial bagi para taruna. Dua gol yang dilesakkan para pemain Kesebalasan ITB tidak dapat dibalas. Alhasil mereka dipecundangi di hadapan suporter lawan yang sedari tadi mengolok-olok mereka dengan berteriak-teriak, "Ayo gunting rambut gua," seraya membawa-bawa gunting cukur. Saat pertandingan berakhir, bentrokan antar kedua kelompok anak muda itu pun tak bisa lagi dibendung. “Dalam tawuran itu sudah terdengar bekali-kali suara tembakan. Para taruna rupanya membawa senjata yang digunakan untuk melepas tembakan ke atas,” tulis Rum. Sorenya, para taruna yang telah puas dibuat malu itu pun pulang. Di tengah jalan truk-truk yang mengangkut mereka berpapasan dengan motor Harley Davidson yang dikendarai seorang mahasiswa ITB. Belakangan diketahui namanya Rene Louis Conrad. Ia tidak tahu apa-apa soal pertandingan persahabatan tersebut. Rene yang sedang berboncengan dengan kawannya tiba-tiba dihujani ludah dari truk para taruna itu. Tidak terima, Rene pun bereaksi. Ia bertanya berulang kali, tetapi tidak ada yang mengaku. Kesal, Rene pun menantang. “kalau berani turun!” Dendam dari pertandingan sebelumnya masih terbawa. Para taruna turun menerima tantangan Rene. Ia dan kawannya dikeroyok hingga Rene meregang nyawa. Beruntung, kawannya berhasil lolos karena para taruna fokus melumat Rene yang dianggap paling reaktif. Pengeroyokan Rene sebenarnya disaksikan oleh mahasiswa lain yang sedang ada di sekitar lokasi. Tetapi saat akan membantu mereka dihadang oleh anggota-anggota Brigade Mobil (Brimob) yang berjaga di sekitar kampus. Bahkan mereka yang memaksa dihadiahi pukulan hingga harus dibawa ke rumah sakit. Mahasiswa dan Pelajar Bandung mengecam keras tindak pengeroyokan yang merenggut nyawa Rene itu. Mereka menentang keberadaan para polisi dan meminta keadilan atas peristiwa tersebut. Pada 9 Oktober 1970, diadakan apel di kampus ITB untuk melepas jenazah Rene kepada keluarganya. Rene dikebumikan di Jakarta. Pada 1972 proses hukum atas tewasnya Rene dijalankan. Seorang brigadir polisi bernama Djani Maman Surjaman ditetapkan sebagai tersangka, padahal pelaku sebenarnya adalah para taruna. Meski mendapat pembelaan dari Adnan Buyung Nasution, Djani tetap divonis 1 tahun 6 bulan penjara. Sementara itu, para taruna yang terlibat baru diproses hukum pada 1973-1974. Mereka sendiri saat itu telah berdinas di kepolisian. Dan dari sekian banyak taruna yang terlibat, hanya 8 orang yang dijadikan tersangka. Tiga Mahasiswa Makassar Gelombang protes terhadap kekuasaan pemerintah Soeharto klimaksnya memang terjadi pada Mei 1998 di Jakata. Namun di beberapa daerah pergolakan telah dimulai sejak permulaan tahun 1990-an. Makassar, Sulawesi Selatan, menjadi salah satu daerah yang paling bergejolak. Banyak kasus pertentangan terhadap pemerintah yang segera direaksi dalam suasana panas. Tahun 1996 tiga mahasiswa Makassar menjadi korban dalam protes menentang kebijakan kenaikan tarif angkutan umum. Mereka adalah Syaiful Bya (21) dari Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar; Andi Sultan Iskandar (21) dan Tasrif (21). Dua nama terakhir adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi UMI. Ketiganya tewas dalam kondisi yang cukup mengenaskan. Syaiful ditemukan di Sungai Pampang dengan penuh luka bekas pukulan benda tumpul, terutama di bagian dada dan belakang tubuhnya. Kemudian Andi ditemukan dalam kondisi luka tusukan benda tajam di bagian kiri dadanya. Sementara Tasrif ditemukan di Sungai Pampang. Ia diduga dipukul benda keras sebelum akhirnya ditenggelamkan. Menurut penuturan Arqam Azikin, Wakil Ketua Senat FISIP UNHAS (1994-1995) sekaligus aktivis 1998 dari Makassar, dilansir idntimes.com , peristiwa AMARAH (April Makassar Berdarah) dipicu oleh dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Perhubungan tentang kenaikan tarif angkutan umum, yang ditindaklanjuti oleh Surat Keputusan Walikota Makassar tentang penyesuaian tarif angkutan umum di Makassar. Kebijakan itu dianggap oleh para mahasiswa memberatkan masyarakat. Keadaan ekonomi negara yang sedang terpuruk akan membebani rakyat jika tarif tersebut diubah. Mahasiswa pun akhirnya merespon kebijakan tersebut dengan aksi-aksi yang keras. Ujungnya, gabungan mahasiswa menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di Makassar. Pada 8 April 1996 mahasiswa yang tergabung dalam Forum Pemuda Indonesia Merdeka (FPIM) menggelar mimbar bebas di UMI. Kemudian setelah mendapat massa, mereka bergerak ke kantor DPRD Sulawesi Selatan agar SK itu dicabut. Aksi mahasiswa dilanjut pada 22 April 1996. Kali ini mereka membawa massa lebih banyak. Suasana yang sebelumnya damai berakhir menjadi tegang. Aksi demo pun diakhir bentrokan antara mahasiswa dengan aparat (polisi dan tentara). Setelah kejadian inilah, 3 orang mahasiswa tersebut dilaporkan menjadi korban.  Moses Gatutkaca  Kematian Moses Gatutkaca di awal1998 hingga kini masih diliputi kabut misteri yang telampau pekat. Tidak jelas siapa yang harus bertanggung jawab atas tewasnya mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Sanata Dharma Yogyakarta itu. Moses ditemukan bersimbah darah di depan pertokoan di Jalan Mrican, Sleman, Yogyakarta. Luka di belakang kepalanya menunjukkan ia tewas akibat pukulan benda tumpul. Orang-orang yang menemukannya mengira ia tewas di tempat sehingga tidak segera membawanya ke rumah sakit. Belakangan diketahui Moses dan seorang temannya terjebak di kerumunan massa yang dikejar oleh aparat. Ia saat itu sedang mencari makan malam di sekitar Jalan Gejayan yang tengah membara akibat gelombang demonstrasi massa gabungan dari mahasiswa Yogyakarta menentang pemerintahan Soeharto. Puncak demonstrasi terjadi pada 8 Mei 1998. Ribuan mahasiswa UGM mengadakan aksi di gerbang kampus. Di lokasi lain, mahasiswa IKIP (kini UNY) dan Universitas Sanata Dharma juga ikut berdemonstrasi. Meski mendapat larangan keras dari aparat keamanan, IKIP dan Universitas Sanata Dharma berusaha menggabungkan diri dengan mahasiswa UGM. “Mahasiswa mengetahui bahwa itu tidak boleh, dan aparat keamanan tidak membolehkan mahasiswa meninggalkan kawasan kampus. Ketika mahasiswa terus melangkah, perkelahian polisi dan mahasiswa pun terjadi mulai jam 5 sore,” tulis Samusu Rizal Panggabean dalam Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia . Polisi menggunakan meriam air, gas air mata, dan pentungan. Sedangkan mahasiswa bersenjatakan batu dan bom molotov. Berbagai fasilitas publik pun hancur akibatnya. Mahasiswa yang berhamburan terus dikejar aparat. Moses yang sedang disekitar lokasi dikira sebagai salah satu demonstran. Ia pun segera menjadi bulan-bulanan aparat. Moses terpisah dari temannya yang diketahui berhasil selamat. Ia tewas dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Panti Rapih.  “Pada malam itu, Moses Gatotkaca ditemukan tewas di Jalan Gejayan. Dokter yang memeriksanya mengatakan kematiannya disebabkan luka di kepala. Puluhan mahasiswa masuk rumah sakit,” tulis Samusu. Yap Yun Hap  Gejolak reformasi tampaknya belum benar-benar hilang dari benak sebagian rakyat Indonesia. Meski telah beberapa bulan berlalu dan tampuk pimpinan juga sudah berganti, nuansa Orde Baru masih kental terasa. Hal ini khususnya terjadi sepanjang September 1999. Mahasiswa di beberapa wilayah Indonesia, yang masih ada dalam euforia 1998, kembali melakukan aksi demonstrasi menolak kebijakan penguasa yang dianggap memberatkan. Peristiwa tewasnya mahasiswa Universitas Indonesia, Yap Yun Hap, yang terkenang dalam narasi sejarah sebagai Tragedi Semanggi II memicu kecaman keras dari seluruh mahasiswa. Petang 24 September 1999 massa aksi demonstrasi menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) berkumpul di sekitar Kampus Atma Jaya, Semanggi. Yap dari kampusnya di Depok segera bergabung dengan massa dari universitas lain yang telah berada di sana. Harian Kompas 28 September 1999, menyebut sedari petang hingga pukul 8 malam sekitar 300-an massa aksi yang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat sedang bersantai di sekitar lokasi. Tidak ada keributan apapun. Polisi pun banyak berjaga di sana. Sekira pukul 20.30, suara tembakan tetiba memecah ketenangan. Dari kejauhan tampak iring-iringan mobil tentara bergerak ke arah Semanggi. Ketika mendekat, rentetan senjata semakin aktif dilontarkan. Sontak massa aksi lari berhamburan. Para mahasiswa berusaha mencari perlindungan ke dalam kampus Universitas Atma Jaya dan Rumah Sakit Jakarta (RSJ). Sempat beberapa orang demonstran mencoba melawan dengan senjata seadanya. Yap yang sebelumnya bersama dua kawannya, Arif dan Kokom, terpisah. Dua kawan  Yap itu berhasil bertemu kembali di RSJ pukul 22.30, tetapi Yap tidak diketahui keberadannya. Hingga tengah malam mahasiswa UI itu masih hilang. Arif dan Kokom baru mendapatkan kabar Yap pukul 00.30. Namun betapa terkejutnya mereka saat mengetahui kawannya itu telah terbujur kaku di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Menurut berita Kompas pihak UGD RSCM mengkonfirmasi Yap masuk pukul 21.30. “Dari hasil pemerikasaan forensik oleh dr Agus P dan dr Jaya dari RSCM disebutkan bahwa korban meninggal akibat penembakan dengan menggunakan peluru tajam. Peluru tersebut juga diperlihatkan kepada saksi-saksi mahasiswa.” Semua pihak mengutuk aksi aparat yang selalu menggunakan cara represif dalam menghadapi para demonstran. Kematian Yap kembali menjadi duka mendalam bagi iklim demokrasi Indonesia, setelah sebelumnya empat mahasiswa dalam Tragedi Trisakti (1998) dan 17 korban di Tragedi Semanggi (1998). Dua Mahasiswa Lampung Sebagai reaksi tewasnya Yap Yun Hap di Jakarta, mahasiswa di beberapa tempat di Indonesia (termasuk di Lampung) menggelar aksi demonstrasi yang lebih besar. Aksi solidaritas itu dilakukan untuk menuntut keadilan atas tewasnya kawan mereka dari UI itu. Mereka juga semakin keras menentang penetapan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB), yang dianggap jauh dari semangat demokrasi. Mereka khawatir pengesahan RUU itu akan memberi peluang menguatnya kembali Dwi Fungsi ABRI. Pada 28 September 1999 gabungan mahasiswa Lampung, termasuk di dalamnya Universitas Lampung (UNILA) dan Universitas Bandar Lampung (UBL), bergerak menuju Makoramil Kedaton. Posisinya persis di depan kampus UBL. Mereka meminta Koramil mengibarkan bendera setengah tiang dan mendesak komandan Koramil menandatangani dukungan penolakan RUU PKB. Namun ditolak. Setelah berunding, disepakati massa akan bergerak ke kantor kegubernuran. Mereka akan mendesak gubernur mendukung tuntutan mereka. Namun mendadak situasi di sekitar markas Koramil menjadi kacau. Bentrokan mahasiswa dengan aparat tidak terhindarkan. Massa yang tidak mempersenjatai diri mereka lari berhamburan. Meski telah masuk ke dalam kampus UBL, aparat tetap memburu para mahasiswa ini. Mereka dipukul, ditembak, dan ditangkap. Bahkan kendaraan dan bangunan di dalam kampus juga dirusak oleh aparat yang membuas. Dalam suasana yang tidak terkendali itu, dua mahasiswa UNILA ditemukan meregang nyawa. Mereka adalah Muhamad Yusuf Rizal, mahasiswa FISIP UNILA; dan Saidatul Fitriah, yang saat kejadian sedang meliput untuk surat kabar kampusnya. Yusuf tewas akibat tembakan senjata tajam di leher dan dadanya. Sementara Saidatul tewas setelah kepalanya dipopor oleh senjata aparat.

bottom of page