Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Mataram Batal Menyerang Banten
Setelah kekalahan Cirebon, Raja Mataram Sunan Amangkurat I,merencanakan sebuah ekspedisi ke Banten. Waktunya ditetapkan pertengahan tahun 1652. Pamannya, Pangeran Purbaya, ditunjuksebagai pemimpin penyerangan. Tiba-tiba para pemuka agama memberi tahu bahwa ayahnya, Sultan Agung, pada waktu akhir hayatnya telah berpesan agar senjata Mataram pertama-tama harus diarahkan ke timur kemudian ke barat; kalau tidak, Mataram tidak akan memperoleh berkah. “Berarti pertama-tama Blambangan (Banyuwangi, red. ) harus direbut dari orang-orang Bali yang kafir, sebelum dapat menyerang kaum seagama di Banten,” tulis H.J. de Graaf dalam Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I. Sunan tak menghiraukan pesan itu. Dia malah memerintahkan para pembuat senapan dan meriam untuk membuat 800 senapan dan banyak meriam kecil dalam satu triwulan. Setelah selesai, dia meminta meriam-meriam itu dicoba di lapangan alun-alun. Sunan juga menyuruh mencoba meriam Belanda diisi peluru yang dua kali lipat lebih besar daripada peluru untuk meriam Jawa. Dia heran meriam Belanda itu hanya sedikit melompat ke belakang. Dia kemudian bertanya apakah meriam Jawa juga bisa diisi peluru yang sama beratnya. Pembuat meriam itu mengisi meriam buatannya dengan peluru dua kali lebih berat kemudian ditembakkan. Meriam Jawa tak sekuat meriam Belanda. “Meriam itu meledak dan hancur berantakan berkeping-keping. Keping terbesar jatuh di depan Sunan,” tulis De Graaf. Sunan luar biasa terkejut. Dia memerintahkan pembuat meriam itu ditangkap. Lapangan dan pintu gerbangnya ditutup semen. Berita yang dilaporkan Rijcklof van Goens, utusan Gubernur Jenderal VOC ke Mataram itu , dibenarkan Babad Sangkala bahwa pada 1651 sebuah meriam meledak di paseban (alun-alun); tidak lama sesudah itu, pintu gerbang dipindahkan. Ini merujuk kepada meledaknya meriam Jawa dan disemennya pintu gerbang ke lapangan besar. Mengapa Sunan memerintahkan mempersiapkan meriam? Menurut Sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2 , seperti halnya gajah, meriam menjadi simbol kekuatan supernatural para raja yang sanggup menggertak dan menakutkan musuh-musuh domestik yang tidak memilikinya. Setelah lama tak digunakan secara militer, meriam-meriam dijadikan sumber magis dan benda-benda keramat dari zaman kejayaan. Di Asia, lanjut Reid, senjata-senjata raksasa itu nampaknya tidak banyak membunuh musuh dalam pertempuran dan tidak mudah dipindah-pindahkan dalam perang seperti halnya di Eropa. “Para penguasa menggunakannya dengan efektif untuk menakut-nakuti warganya. Paling tidak di Aceh dan Mataram, dua di antara ‘kerajaan mesiu’ terbesar, meriam-meriam raksasa digunakan untuk mengumumkan perhelatan umum menggantikan gong dan drum yang digunakan sebelumnya.Di Aceh, bulan puasa diawali dan diakhiri dengan suara dentuman keras dari meriam,” tulis Reid. Meriam yang paling besar dan paling keramat di Mataram, Sapu Jagad, selain untuk mengumpulkan penduduk, juga digunakan untuk menunjukkan kemarahan Sultan bila ingin mengusir para bangsawan kerajaannya, dan untuk perkabungan istana. Sapu Jagad dibuat tahun 1625 pada masa Sultan Agung berada di puncak kekuasaannya. Menurut Reid, pengganti Sultan Agung yang lemah, Amangkurat I , mencoba melakukan hal yang sama pada 1652, tetapi ketika dia menyuruh pembuat senjatanya mengisi mesiu pada meriam besar kebanggaannya, meriam itu meledak berkeping-keping, salah satu keping hampir saja melukai Sunan . Sunan ketakutan dan menganggapnya sebagai pertanda buruk. Dia pun memerintahkan menangkap pembuat meriam itu, mengutuk alun-alun yang besar dan indah itu, dan menembok gerbangnya secara permanen, sehingga menimbulkan kekacauan di keraton. Pada malam harinya, dia bermimpi menakutkan dan dalam beberapa hari seluruh badannya membengkak. Menurut De Graaf, badan Sunan penuh bisul bernanah. Inilah yang mematahkan kemauannya yang keras. Dia menjadi relijius dan meminta para pemuka agama untuk mendoakannya. Dia bersumpah akan melancarkan perang ke timur dan berjanji akan membina hubungan baik dengan Banten.Para pemuka agama bersedia berdoa dan menyembuhkannya. “ Sejak itu hubungan antara Banten dan Mataram bertambah baik, tetapi tidak ada berita akan dilancarkan ekspedisi terhadap Blambangan,” tulis De Graaf.
- Perang Saudara Berebut Singgasana Majapahit
SEPENINGGAL Raja Hayam Wuruk terjadi perebutan kekuasaan takhta Majapahit. Pertentangan antara keluarga kerajaan pertama kali muncul ketika Wikramawarddhana atau Bhra Hyang Wisesa memerintah. Wikramawarddhana merupakan suami Kusumawarddhani, putri Hayam Wuruk. Dalam Kakawin Nagarakrtagama, Kusumawarddhani disebut sebagai rajakumari yang berkedudukan di Kabalan. Kendati bukan anak sulung, Kusumawarddhani diangkat menjadi putri mahkota karena lahir dari permaisuri. Namun, yang memakai mahkota adalah suaminya. Wikramawarddhana masih saudara sepupu Kusumawarddhani. Dalam Nagarakrtagama dan Pararaton disebut dia adalah anak Rajasaduhiteswari atau Bhre Pajang, adik Hayam Wuruk. “Wikramawarddhana adalah keponakan dan menantu Hayam Wuruk,” tulis arkeolog Hasan Djafar dalam Masa Akhir Majapahit . Pangkal perselisihan karena Bhre Wirabhumi menuntut takhta dari Wikramawarddhana. Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari seorang selir. Karenanya dia tak berhak atas takhta Majapahit. Kendati begitu, dia masih diberi kekuasaan untuk memerintah daerah bagian timur, yaitu Blambangan. Sedangkan Kusumawarddhani dan suaminya mendapatkan bagian barat dan berkedudukan di Majapahit. Sebenarnya, dalam Pararaton disebut bahwa Wirabhumi masih saudara ipar Wikramawarddhana. Dia menikahi adik Wikramawarddhana yang disebut alemu atau si gendut. Di dalam Pararaton, perseteruan Wirabhumi dan Wikramawarddhana disebut Paregreg, artinya peristiwa huru-hara. Peristiwa itu mulai terjadi pada 1323 Saka atau 1401. Tiga tahun kemudian perseteruan itu menjadi peperangan. Awalnya perang saudara itu dimenangkan oleh Wirabhumi. Namun, setelah Wikramawarddhana mendapat bantuan dari Bhre Tumapel, Kedaton Wetanpun dikalahkan. Wirabhumi melarikan diri, dikejar Raden Gajah (Bhra Narapati) dan tertangkap. Wirabhumi pun dipenggal kepalanya. “Peristiwa ini terjadi pada 1328 Saka (1406),” jelas Hasan. Perang saudara itu muncul pula dalam catatan Tionghoa dari masa Dinasti Ming. Lewat Ming Shih yang diterjemahkan W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, disebutkan setelah Kaisar Ch’eng-tsu bertakhta pada 1403, dia mengadakan hubungan diplomatik dengan Jawa. Dia mengirim utusan kepada raja “bagian barat”, Tu-ma-pan dan kepada raja “bagian timur”, Put-ling-ta-hah atau P’i-ling-da-ha. Laksamana Cheng Ho pun pada 1406 menyaksikan kedua raja di Jawa itu sedang saling berperang. Kerajaan bagian timur kalah dan dirusak. “Pada waktu terjadinya peperangan antara kedua raja, perutusan Tiongkok sedang berada di kerajaan bagian timur,” tulis Groeneveldt. Hasan memaknai berita dari Tiongkok itu sebagai perseteruan antara Wikramawarddhana sebagai raja “bagian barat” dan Wirabhumi sebagai raja “bagian timur”. Namun, Peter Amiot dan G. Schlegel, sejarawan yang menyusun literatur Tiongkok Kuno pada 1800-an, menyebut Tumapan sebagai gelar raja barat atau Kerajaan Pajajaran. “Jika hal ini benar, mungkin saja raja-raja Jawa bagian barat yang berasal dari negara lama Tumapel yang terletak di bagian timur pulau, tetap menggunakan nama ini sebagai salah satu gelar mereka?” tulis Groeneveldt. Wikramawarddhana, menurut Hasan Djafar, memerintah Majapahit sampai meninggal pada 1351 Saka (1429). Dia digantikan putrinya, Suhita, yang memerintah pada 1429-1447. Awalnya putra mahkota adalah kakak Suhita, Bhra Hyang Wekasing Sukha. Namun dia keburu mangkat pada 1399 sebelum ditahbiskan menjadi raja. Menurut Hasan, kemungkinan Suhita adalah anak dari putri Wirabhumi. Karenanya Suhita dijadikan pengganti Wikramawarddhana mungkin untuk meredakan persengketaan antara pihak keluarga ayahnya dan keluarga ibunya. Namun, berdasarkan Pararaton , sewaktu Suhita berkuasa, Raden Gajah (Bhra Narapati) dibunuh atas tuduhan memenggal Wirabhumi. “Dengan terjadinya pembunuhan terhadap Bhra Narapati, persengketaan keluarga itu dapat dikatakan masih terus berlangsung,” catat Hasan.*
- Sejarah Gedung Mahkamah Konstitusi dan Medan Merdeka Barat
Pagar kawat berduri, ratusan polisi, dan tameng anti huru-hara. Beginilah pemandangan keseharian di halaman depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jalan Merdeka Barat, Jakarta, menjelang hari sidang Perselisihan Hasil Pemilu pada Jumat, 14 Juni 2019. Polisi telah melarang massa berunjuk rasa di depan gedung MK. Mereka juga akan menutup Jalan Medan Merdeka Barat ketika sidang berlangsung demi menjaga keamanan gedung MK dan kawasan bersejarah di sekitarnya. Gedung MK belum lama berdiri. Gedung ini mulai dibangun pada Juli 2005. Penggunaan gedung MK secara resmi berlangsung pada 13 Agustus 2007, bertepatan dengan hari jadi MK. Sebelum menggunakan gedung ini, MK berkantor secara nomaden dan menumpang ke beberapa lembaga negara. Antara lain di Hotel Santika, parkir Plaza Centris, dan gedung milik Kementerian Komunikasi dan Informasi. Adolf Heuken dalam Medan Merdeka Jantung Ibukota RI menyebut gedung MK berarsitektur campuran: gaya modern dan neo-klasik. Dua gaya itu terwakili oleh menara 16 lantai (modern) di belakang gedung utama dan pilar besar di sisi depan (fasade) gedung utama (neo-klasik). Paduan dua gaya ini bermaksud menciptakan kesan berwibawa, monumental, dan megah. Pilar di gedung utama berjumlah sembilan, melambangkan jumlah hakim agung MK. Tetapi, menurut Heuken, jumlah pilar ganjil di depan menyimpang dari kode dan semangat arsitektur neo-klasik. Lazimnya pilar fasade berjumlah genap. “Akibatnya gedung gado-gado ini tampak kurang elegan dan maksud semula tidak tercapai,” ungkap Heuken. Heuken juga menyebut ketiadaan standar perancangan gedung di Jalan Merdeka Barat ikut menyumbang ketidakharmonisan lingkungan. Keadaan ini tidak terjadi pada masa sekarang saja, melainkan juga berjejak pada masa kolonial. Jauh sebelum gedung MK berdiri, Jalan Medan Merdeka Barat bernama Koningsplein West. Peta Koningsplein West sebelum 1900-an menunjukkan bangunan di tepi jalan masih sepi. Hanya ada sejumlah rumah dan museum. Rumah saat itu kemungkinan bergaya indische woonhuis . Tetapi memasuki 1900-an hingga 1930-an sejumlah bangunan baru berdiri dengan beragam gaya. Antara lain bangunan milik pemerintah, rumah pribadi, kantor usaha swasta, perkumpulan teosofi, hotel, dan konsulat negara tetangga. Ada dua bangunan menonjol milik pemerintah di Koningsplein West : gedung Bataviaasch Genotschap van Kunsten Wetenschappen (sekarang menjadi Museum Nasional) dan Rechtshoogeschool (sekarang menjadi Kementerian Pertahanan). Masing-masing bangunan mewakili tahun dan gaya berbeda. Bangunan pertama bergaya klasik dan berasal dari tahun 1864, sedangkan bangunan kedua bergaya modern dan dibangun pada 1924. Catatan mengenai rumah pribadi di Koningsplein West sangat langka. Dalam bukunya, Heuken hanya menghadirkan satu foto tentang dua rumah bergaya modern. Scott Merillees, seorang kolektor kartu pos jadul, menyatakan dua rumah tersebut berlahan lebih sempit daripada rumah model mansion atau bergaya indische woonhuis . Menyiasati keterbatasan lahan, rumah tersebut dibangun bertingkat. Merillees menduga bertumbuh cepatnya populasi orang Eropa di Batavia sebagai penyebab perubahan gaya rumah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kebanyakan mereka bekerja sebagai pegawai perusahaan atau pegawai negeri ketimbang pedagang besar. Penghasilan mereka lebih rendah daripada pedagang besar sehingga berpengaruh terhadap kemampuan membeli lahan. Dua rumah tersebut kini sudah runtuh. Tergerus perluasan Museum Nasional pada dekade 1990-an. Demikan catat Merillees dalam Greetings From Jakarta: Postcards of a Capital 1900—1950 . Bangunan swasta di KoningspleinWest terekam dalam koleksi kartu pos lain milik Merillees dari tahun 1902. Sebuah bangunan beratap trapesium dan berlantai agak tinggi dengan beberapa tiang kecil di sejumlah sudut lantai menjadi kantor The Netherlands Indies Sport Company . Perusahaan ini berkutat di bisnis jual beli dan servis sepeda. Memanfaatkan demam sepeda di Hindia Belanda pada 1890-an. Tak jauh dari kantor The Netherlands Indies Sport Company , berdiri sebuah bangunan dengan kubah kecil. Di atasnya terdapat mahkota menyerupai bintang. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat pertemuan (loji) masyarakat Teosofi. Perkumpulan Teosofi berdiri di New York pada 1875. “Mereka memperoleh sambutan baik di kalangan elite Eropa dan Jawa di Hindia Belanda pada 1910-an,” tulis Merillees. Mereka memiliki jadwal pertemuan teratur di loji dan mengumumkannya di media massa. Sekarang loji beralih rupa menjadi gedung Sapta Pesona milik Kementerian Pariwisata. Zaman bergerak. Beberapa bangunan lama di Koningsplein West sempat dirombak. Tujuannya untuk memperbaharui citra. “Usaha ini biasanya meleset. Bagian dalam dan belakang bangunan seringkali tidak diubah,” catat Heuken. Akibatnya lingkungan jadi kurang harmonis. Kini hampir semua bangunan di Jalan Medan Merdeka Barat telah menjadi milik pemerintah, bergaya modern, dan tinggi menjulang. Terdapat satu gedung milik swasta, kantor Indosat Ooredoo di bagian selatan jalan tersebut. Beberapa bangunan tua masih tersisa. Seperti Museum Nasional. Tetapi terbenam di antara ketinggian gedung jangkung modern.
- Kisah Sang Penghilang Batas
DI DUNIA sains siapa yang tak mengenal Stephen Hawking? Vonis mati yang diterimanya tidak serta merta membuat hidup ilmuwan ini goyah. Itu dibuktikan denan terus berkaryanya dia di bidang ilmu fisika. Sejak tahun 1960-an tidak henti-hentinya, dia mengguncang dunia dengan spekulasi dahsyatnya tentang alam semesta dan kehidupan makhluk hidup di dalamnya. Dilahirkan di Oxford, Inggris, pada 8 Januari 1942, Hawking merupakan putra sulung dari empat bersaudara. Sejak remaja, dia telah memperlihatkan ketertatikan yang besar terhadap ilmu sains dan teknologi. Ketika belajar di St. Albans, Hawking (16 tahun) bersama kawan-kawannya mampu merakit sebuah komputer dengan memanfaatkan suku cadang bekas jam dan pesawat telepon. Pada 1962, Hawking lulus dari Universitas College, Oxford. Menurut Marcus Chown, seorang mantan astronom radio, walau mendapat gelar kehormatan kelas satu di bidang pengetahuan alam, Hawking pernah mengakui dirinya sebagai pemalas ketika masih menjadi mahasiswa. Tidak puas dengan gelar kesarjanaannya, Hawking pun memutuskan untuk mengejar gelar Ph.D di Universitas Cambridge. Di sana dia memilih jurusan yang waktu itu kurang populer, yakni relativitas umum, salah satu teori tentang gravitasi milik Albert Einstein yang mengantarkannya pada kepopuleran sepanjang masa. Namun belum genap setahun belajar di Cambridge, Hawking harus nenerima kenyataan pahit dalam hidupnya. Bermula dari Natal 1962, ia menyadari tubuhnya semakin lemah tanpa mengetahui sebabnya. Kemudian pada akhir semester pertama di Cambridge, ibunya membujuk Hawking untuk menemui dokter. Setelah melalui rangkaian tes melelahkan selama dua pekan, dokter memvonis Hawking menderita amyotrophic lateral sclerosis (ALS): bentuk paling umum dari penyakit saraf motorik yang menyebabkan kemunduran pada fungsi sel-sel otak. "Pada usia 21 tahun, Hawking menghadapi vonis mati. Yang luar biasa, kendati dia merasa putus asa, dia tidak pernah menyerah." tulis Marcus. Normalnya, penderita penyakit ini hanya akan bertahan hidup tidak lebih dari tiga tahun. Brian Dickie, direktur Asosiasi Pengembangan Riset MND ( motor neurone disease ), menyebut penyakit saraf memiliki tingkatan yang berbeda tergantung dari gen dan lingkungan para penderitanya. "Mengingat obat yang efektif kurang tersedia, kemungkinan Hawking bisa hidup begitu lama bukan lantaran obat tetapi disebabkan oleh jenis penyakitnya." ucap Dickie. Lebih dari itu, alasan Hawking dapat bertahan adalah Jane Wilde. Dia jatuh cinta pada perempuan yang ditemuinya dalam acara pesta mahasiswa di kampusnya. Pasangan itu melangsungkan pernikahan pada 1965. dukungan dari Jane membuat Hawking berjanji akan memanfaatkan sisa waktunya semaksimal mungkin. Ajaibnya, setelah melewati hari-hari bersama perempuan yang dicintainya, perkembangan penyakit Hawking mulai melambat. Semangat hidup Hawking melawan keterbatasannya menjadi penggalan kisah paling menarik dalam buku ini. Penjelasan tentang penyakit yang dideritanya pun disajikan dalam koridor ilmiah yang mudah dicerna awam. Namun sayangnya buku ini tidak menyertakan data-data tentang perkembangan penyakit Hawking. Selain itu tidak adanya wawancara personal berisi pertanyaan lebih intim membuat buku Stephen Hawking A Mind Without Limits ini kurang memperlihatkan sisi pribadi Hawking. Menghilangkan Batas Selain menjelaskan perjalanan hidup, buku ini juga mencoba membantu mengarahkan para pembaca pada penemuan-penemuan ilmiah Hawking yang begitu menakjubkan. Dalam buku ini para ahli dihadirkan, sebagai kontributor, untuk menjelaskan bidang keahliannya. Seperti Peter J. Bentley, seorang profesor ilmu komputer yang memaparkan secara rinci teknologi yang terpasang pada kursi roda Hawking untuk membantu kesehariannya. Hawking dikenal sebagai perintis di bidang fisika dan kosmologi modern. Dengan cerdas, ia mampu menggabungkan dua bidang keilmuan yang tidak saling berhubungan tersebut. Namun meski begitu, hampir setengah masa hidupnya dihabiskan tanpa bergerak dan bersuara. Sebelum benar-benar kehilangan kemampuan berbicara, Hawking masih memberikan kuliah umum di beberapa perguruan tinggi di Inggris. Dia selalu membawa keluarga serta asistennya untuk menerjemahkan ucapannya yang sudah tidak jelas. Hawking tidak ingin kekurangannya itu menjadi halangan untuk dia terus berkarya. Namun pil pahit kembali harus ditelan Hawking. Pada 1985, dalam sebuah perjalanan dinas ke CERN (Organisasi Eropa untuk Riset Nuklir), Hawking terserang pneumonia. penyakit itu nyaris merenggut nyawanya. "Dokter-dokter yang menanganinya terpaksa menjalankan operasi trakeonomi untuk memasukkan slang pernapasan, tetapi tindakan ini menyebabkan Hawking kehilangan suaranya." tulis Peter J. Bentley, profesor ilmu komputer di Universitas College, London. Tentu bukan perkara mudah untuk Hawking dapat menerima keadaannya. Karir akademiknya menutut kemampuan berkomunikasi yang baik. Dia harus memberi kuliah di hadapan mahasiswanya, mempresentasikan hasil penelitiannya, bahkan mempublikasikan tulisan-tulisannya. Karena tidak bisa melakukan semua itu, Hawking merasa hidupnya bagai bencana. Tapi bukannya menyerah, Hawking malah mengalihkan perhatiannya pada teknologi. Ia sadar bahwa hanya pengetahuan modern yang dapat membantunya. Untuk itu, Martin King, dokter pribadi Hawking, menghubungi perusahaan teknologi asal California, Words+, yang telah mengembangkan equalizer untuk penderita penyakit saraf motorik. Sistem yang ditawarkan memungkinkan pemakainya memilih kata-kata hanya dengan ketukan tangan. "Sebuah kursor bergerak di bagian atas layar." terang Hawking. "Saya dapat menghentikannya dengan tombol di tangan saya. Dengan cara ini, saya bisa memilih kata-kata yang terpampang di bagian bawah layar. Saya bisa memberikan kuliah, menulis makalah, dan berkomunikasi dengan keluarga saya." Sistem equalizer awalnya dijalankan di sebuah komputer Apple II yang tersambung ke perangkat penyintesis wicara buatan Speech Plus. tidak lama, perangkat lunaknya diganti dengan versi terbaru bernama EZ Keys, buatan perusahaan yang sama. Teknologi itu termasuk paling canggih pada zamannya karena dapat menyimpan lebih dari 4.000 kosakata yang dibutuhkan Hawking. Selama hampir 20 tahun, sejak 1988, Hawking memanfaatkan teknologi penyintesis wicara itu untuk berbagai keperluan ilmiahnya. Namun pada 2005 penyakit ALS yang dideritanya semakin parah. Ia kembali kehilangan kemampuan berkomunikasi karena tidak lagi memiliki kekuatan untuk menekan tombol perangkat wicara di kursi rodanya. Untuk mengatasinya, beberapa asisten serta mahasiswa bimbingannya menciptakan perangkat LED dan sensor inframerah khusus Hawking. Teknologi itu dipasang di kacamata Hawking untuk mendeteksi gerakan kecil pada otot di pipinya. Berkat peranti ini, Hawking dapat terus melanjutkan kegemilangannya dalam membangun ilmu fisika. "Kemampuan komunikasi Hawking kian memburuk ketika dia kehilangan kendali atas otot, dan pada 2011, dia hanya bisa membuat dua kata per menit." tulis Bentley. Setelah itu, Hawking menghubungi salah satu pendiri Intel, Gordon Moore, yang dahulu pernah ditemuinya. Moore kemudian meminta bantuan Justin Rattner, CEO Intel saat itu untuk menyelesaikan persoalan Hawking. Di bawah intel, sebuah tim peneliti dibentuk. Mereka mencoba mencari model komunikasi yang pas bagi Hawking. Berbagai bentuk interface baru pun dicoba untuk mendapat hasil yang sempurna. Percobaan pertama menghasilkan teknologi yang dapat memilih kata dengan cara menggerakkan pupil mata. Namun tidak berhasil karena kelopak mata Hawking selalu turun. Pada percobaan selanjutnya, tercipta teknologi pengukur gelombang otak. Tetapi tidak menunjukkan kemajuan apapun. Akhirnya dengan bantuan asisten mahasiswa Hawking, Jonathan Wood, tim itu dapat menciptakan sistem komunikasi yang canggih. Teknologi yang khusus diciptakan untuk Hawking ini memanfaatkan jaringan saraf tiruan yang mampu memprediksi kata selanjutnya dari sebuah kata yang biasa digunakan Hawking. Misalnya kata "lubang" biasanya diikuti oleh "hitam". Kiprah Nyata Sejak memulai penelitian pasca-doktoralnya, Hawking telah benar-benar fokus pada permasalahan kosmologi, ilmu pengetahuan alam, evolusi, teknologi, dan akhir alam semesta. Dia mengkaji cukup dalam beberapa teori Einstein, terutama yang berhubungan dengan asal mula alam semesta. Pada 1965 dan 1970, Hawking membuat sejumlah teorema besar tentang singularitas:keadaan di mana suatu objek yang dihitung menjadi tak terhingga. Dia bekerja bersama Roger Penrose, ahli matematika Inggris yang mendampingi Hawking dalam sejumlah penemuan penting pertamanya. Penelitian singularitas tersebut menjadi kiprah pertama Hawking dalam mencari bukti terciptanya kehidupan alam semesta. Hawking dan Penrose bahkan berhasil menunjukkan bahwa teori Einstein memiliki kekurangan. Sehingga membuka jalan bagi para ilmuwan untuk terus mencari kebenaran yang sesungguhnya. "Penelitian Hawking tentang singularitas akhirnya membawanya mempelajari aspek destruktif dan misterius yang bertebaran di seluruh alam semesta." tulis Marcus. Setelah mempelajari singularitas, Hawking mulai mengalihkan fokusnya pada salah satu teori paling menakjubkan mengenai alam semesta, yakni lubang hitam. Selama bertahun-tahun, Hawking membuat teori untuk menemukan kebenaran dari “objek hitam” yang baginya tidak benar-benar legam karena berpendar dengan partikel-partikel yang terlepas di sekitarnya. “Jauh dari hampa, ruang ini sesungguhnya sarat energi. Khususnya, partikel-partikel dan antipartikel-antipartikel subatomik yang terus-menerus bermunculan secara berpasangan.” katanya. Hawking mengeluarkan banyak spekulasi yang membuat para ilmuwan dunia kebingungan, sekaligus termotivasi untuk memperdalamnya. Sebagian ilmuwan mencoba membuktikan teorinya dengan memberikan data dan fakta baru. Namun hingga Hawking wafat, belum ada yang secara tepat menjelaskan keadaan dan keberadaan lubang hitam di alam semesta. Secara keseluruhan buku ini layak untuk dibaca. Pemaparan secara ilmiah dan mendalam, dengan bahasa sederhana, tentang hasil kerja Hawking semasa hidupnya membuat para pembaca akan nyaman mencerna isinya. Walau alangkah lebih baik jika buku Stephen Hawking A Mind Without Limits ini memberikan lebih banyak ruang untuk menceritakan keseharian Hawking menghadapi penyakitnya sampai bisa terus berkarya mencengangkan dunia.
- Makanan para Tahanan
MIA Bustam, perempuan pelukis anggota Lekra, merasakan jatah makan yang diterima tahanan politik (tapol) 1965 masih manusiawi pada awal ditahan di Vredeburg. Selain diberikan dua kali setiap hari, jam 10 pagi dan 3 sore, menunya pun berupa nasi ditambah oseng-oseng buncis atau kacang panjang, labu siam, dan lauk berupa tempe atau tahu bacem. Lain waktu, menunya berupa gudeg dengan sambal goreng krecek dan tolo. “Memadailah, yang mengurus ransum itu restoran di Danurejan,” kata Mia dalam memoarnya, Dari Kamp ke Kamp . Namun, kondisi itu tak berlangsung lama. Pihak restoran mogok mengirim makanan lantaran Tim Pemeriksa Daerah (Taperda) sama sekali tidak membayar katering itu sejak awal. Jatah makan para tapol pun dikirim dari Penjara Wirogunan sejak itu. Makanan diangkut menggunakan truk. Begitu truk tiba di Vredeburg, para tapol berbaris mengantri sambil membawa besek-besek bekas. Mereka menunggu jatah dari dua narapidana yang ditugaskan membagikan. Menunya jelas jauh lebih buruk dari menu sebelumnya. Grontol, nasi jagung, dan sayur kubis menu mereka setiap hari. Porsi grotolnya pun amat sedikit. Mia dan rekan-rekannya pernah iseng menghitung jumlah butir grontol jatah makan itu: 250 butir jatah untuk tapol perempuan dan 150 butir untuk tapol lelaki. Suasana tahanan biasanya jadi sepi setelah pembagian makan. Semua tapol khusuk mengupas kulit grontol yang tebal lantaran dibuat dari jagung metro yang kulitnya tak bisa dicerna. Setelah itu, akan terdengar bunyi ‘tik-tik’, suara para tapol lelaki menumbuk jagung. Mereka menumbuk dengan cobek buatan. Lumpang dibuat dari tegel batu di halaman kamp yang mereka bongkar. Batu bulat yang ada di sekitar kamp dijadikan penumbuknya. “Maklum, di antara mereka banyak orang tua yang giginya tak lengkap lagi. Ada juga anak muda yang giginya rontok disebabkan penganiayaan pada waktu penangkapan dan pemeriksaan, sehingga sulit mengunyah grontol yang super keras itu,” kata Mia. Lantaran jatah makan yang tersedia cuma kubis busuk dan grontol apek, para tahanan politik (tapol) mulai masak-masak di dalam tahanan. Tapi karena para tapol tak punya bahan makanan lain, yang dimasak pun cuma kubis busuk yang dicuci lantas dimasak lagi untuk dijadikan oseng-oseng, urap, atau pecel. Hanya untuk menambah variasi menu. “Yang dimasak ya sayur kubis tua itu, setelah kuahnya yang asin sekali itu dibuang. Kami tak ingin kena hipertensi,” kata Mia . Para tapol juga mengubah menu grontol. Setelah menumbuk grontol, mereka menjadikannya bubur atau gethuk yang ditambah gula jawa. Bumbunya didapat dari kiriman keluarga. Kompor yang mereka gunakan untuk memasak bahan bakarnya macam-macam. Tapol perempuan membuatnya dari besek bekas yang anyamannya sudah dilolosi, kulit-kulit grontol, atau daun pisang bekas pembungkus kiriman. Daun pisang itu disobek kecil-kecil, dikepang, lantas dijemur agar kering sehingga mudah terbakar. Sementara, tapol lelaki lebih nekat dalam membuat bahan bakar. Selain menggunakan bahan bakar seperti tapol perempuan, mereka mencopoti kolom-kolom atap tahanan. Tentu saja, mereka memilah bagian yang aman kalau dicopot. Kegiatan masak-masak dalam kamp itu jelas sepengetahuan petugas lantaran asap dan bau masakan pasti tercium dari tempat kerja mereka. Saking sedikitnya jumlah makanan, beberapa tapol menderita kelaparan hingga meninggal dunia. Tiap hari jumlahnya makin naik, dari dua, delapan, belasan, hingga puluhan orang. Ketika menginterogasi Mia, Hardjono, dosen yang ikut menginterogasi tapol, bercerita bahwa Taperda bingung bagaimana harus memberi makan tapol yang jumlahnya amat banyak padahal dana untuk konsumsi hampir tak ada. “Suruh saja mereka pulang semua, kecuali yang benar-benar terlibat, maka problem akan terpecahkan dengan sendirinya,” kata Mia. Masalah jatah makan juga terjadi di Kamp Plantungan. Meskipun sudah dibentuk unit-unit produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup para tapol, jatah makan sering kurang. Mulanya, ransum berisi nasi dan sayur dengan sepotong tempe atau ikan asin. Ransum ini dibagikan tiga kali sehari. Lama-lama jatah makan berkurang jadi dua kali sehari, dibagikan siang dan malam hari. Karena terus-menerus kurang, menu sarapan diganti jadi tiga potong singkong. Para tapol yang punya uang bisa membeli telur di koperasi, tapi yang kantongnya kering, memilih makan bekicot yang ditemukan di ladang. “Coba bayangkan, dapat jatah nasi tempenya seruas jari, malam tidak ada lauk. Makanya bekicot pun dimakan, dibikin sambel goreng. Itu katanya juga bisa untuk obat bisul. Kalau sekarang suruh makan saya nggak mau,” kata Sumarni, mantan anggota Gerwani yang ditahan di Plantungan, sebagaimana ditulis Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan. Jika dibandingkan, makanan tapol Plantungan lebih buruk dibanding makanan narapidana. Makanan tapol berasal dari Kodam dan dikelola petugas jaga militer, sedangkan menu narapidana dikelola Direktorat Pemasyarakatan. Jika para narapidana mendapat nasi dari beras kualitas bagus dan bisa makan daging dua kali seminggu, para tapol hanya mendapat sedikit beras dan lauk tempe, ikan asin, atau telur yang diberikan bergantian. Dari penuturan Sugiharto, mantan wakil Komandan Kamp Plantungan, jatah beras di Plantungan sebanyak 300 gram per hari. Namun dari penuturan dr. Sumiyarsi Siwirni Carapobeka, yang dikenal sebagai dokter lubang buaya, jatah beras hanya 100 gram. Jatah ini kemudian berkurang menjadi 75 gram per hari. Lantaran terus bekurang, pemerintah memberikan bantuan beras yang dikenal dengan beras Erwin. “Beras bantuan itu baunya tajam dan tidak enak,” kata Sumiyarsi. Beberapa tapol muntah-muntah setelah memakannya. Sumiyarsi dan beberapa tahanan lain lantas meminta agar beras itu tak lagi dibagikan, namun apa daya usulnya malah dianggap pemberontakan. Ia dipindahkan ke blok C yang disebut “kandang babi”. Jatah beras pun kembali jadi 75 gram per hari.
- Rencana Pembunuhan Sukarno, Yani, dan Soebandrio
UNTUK kali pertama sejak bergulirnya reformasi, ancaman pembunuhan menyasar pejabat tinggi negara. Ini diungkapkan langsung oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian pasca kerusuhan menyikapi hasil pemilu 21-22 Mei 2019. Mereka yang jadi target pembunuhan antara lain Jenderal (Purn.) Wiranto (Menkopolhukam), Jenderal (Purn.) Luhut Panjaitan (Menko Kemaritiman), Jenderal Pol. Budi Gunawan (kepala Badan Intelijen Negara), dan Yunarto Wijaya (pimpinan lembaga survei Charta Politika). Mantan kepala staf Kostrad, Mayjen TNI (Purn.) Kivlan Zein disebut-sebut berada di balik rencana pembunuhan tersebut. Kivlan sendiri dan orang-orang yang ditugaskan untuk melancarkan aksi pembunuhan sudah tertangkap. Mereka dinyatakan sebagai tersangka dan terancam jeratan pasal perbuatan makar. Perbuatan makar dengan merencanakan pembunuhan juga pernah terjadi di masa Presiden Sukarno. Pada 28 Mei 1965, Sukarno sendiri yang mengatakan hal itu di hadapan para panglima Kodam se-Indonesia saat berpidato di Istana Olahraga, Senayan. Mereka yang menjadi sasaran pembunuhan adalah Presiden Sukarno, Menteri Panglima AD Letjen Ahmad Yani, dan Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Soebandrio. Yani dan Soebandrio merupakan pembantu-pembantu utama Sukarno. “Salah satu plan adalah, untuk bunuh beberapa pemimpin Indonesia, Soekarno, Yani, Soebandrio, itu yang pertama-tama harus om zeep gebracht , harus dibunuh. Malah kalau bisa sebelum Konferensi Aljazair,” kata Bung Karno dalam pidatonya berjudul “Imperialis Mau Menghantam, Kita Harus Siap Siaga” termuat di kumpulan pidato Bung Karno: Masalah Pertahanan-Keamanan . Menurut Sukarno, rencana pembunuhan itu berasal dari kaum imperialis atau dalam istilahnya disebut nekolim (neo kolonialisme dan imperialisme). Secara tersirat, nekolim merujuk Amerika Serikat (AS) yang memimpin blok Barat dalam percaturan Perang Dingin. Sejak pertengahan 1950-an, AS telah merancang penggulingan Sukarno dengan mensponsori pemberontakan PRRI-Permesta. Sukarno melanjutkan, jika aksi pembunuhan itu gagal, maka akan dilancarkan serangan terbatas. Caranya dengan membongkar rahasia Sukarno, Yani, dan Soebadro. Apakah itu berkaitan dengan skandal pribadi atau perbuatan memalukan lainnya. “Sehingga rakyat akan berontak, memberontak terhadap, Sukarno, Yani, dan Soebandrio,” kata Sukarno. Dugaan Sukarno ini didasarkan atas temuan dokumen rahasia yang diserahkan oleh Soebandrio lewat Badan Pusat Intelijen (BPI). Dokumen tersebut bermuasal dari aksi massa demonstran terhadap gedung Kedutaan Inggris di Jakarta dan kediaman sineas Holiwood, Bill Palmer di kawasan Puncak. Didapatilah salah satu surat mencurigakan yang ditujukan kepada Kementerian Luar Negeri Inggris. Isinya mufakat antara Dubes Inggris Andrew Gilchrist dan Dubes Amerika dengan bantuan sejumlah dewan jenderal di kalangan AD ( our local army friends ) untuk menjatuhkan rezim Sukarno. Belakangan, dokumen yang dikenal dengan nama “Dokumen Gilchrist” itu dinyatakan palsu karena diragukan otentisitasnya. Menurut Anthony Dake dalam disertasinya yang dibukukan In The Spirit of The Red Banteng: Indonesia Communist Between Moscow and Peking 1959-1963 , Soebandrio adalah pemalsu Dokumen Gilchrist. Soebandrio yang tidak memeriksa secara teliti keaslian dokumen itu serta merta menyerahkannya kepada Sukarno untuk maksud dan tujuan politik tertentu. Namun menurut Peter Dale Scott, mantan diplomat Kanada dan pakar politik University of California, sejak awal Mei 1965 pemasok-pemasok militer Amerika yang mempunyai hubungan dengan CIA (terutama grup Lockhead) sedang merundingkan penjualan perlengkapan dengan komisi-komisi melalui jasa perantara. Ini ditujukan kepada pihak militer Indonesia di luar kelompok Yani dan Nasution sebagai pimpinan resmi AD. “Hadiah-hadiah itu diperuntukkan bagi pendukung-pendukung fraksi ketiga dalam AD yang sampai saat itu kurang dikenal, yaitu Mayjen Soeharto,” tulis Scott dalam artikelnya yang terkenal “U.S. and Overthrouw of Sukarno, 1965--1967” (CIA dan Penggulingan Sukarno) termuat di jurnal Pacific Affairs (1985). Scott menyebutkan bahwa Soeharto mempunyai seorang utusan yang telah lama membina hubungan dengan dinas intelijen Amerika, CIA bernama Kolonel Walandouw. Seturut dengan Scott, tokoh PNI Manai Sophiaan dalam Kehormatan Bagi yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI , mengatakan prasangka Sukarno perihal ancaman terhadap dirinya benar adanya. Pendapat Sophiaan mengacu kepada kemiripan dokumen-dokumen State Department dan CIA yang telah dideklasifikasi. Pada fakta sejarahnya, ancaman pembunuhan sebagaimana yang dikemukakan Sukarno memang tidak pernah terjadi. Namun kedudukan politik Sukarno, Yani, dan Soebandrio ditentukan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 meletus. Inilah tonggak berakhirnya rezim Sukarno. Yani tewas dalam insiden pagi jahanam 1 Oktober 1965. Pimpinan AD kemudian berpindah kepada Soeharto. Soebandrio ditangkap dan kemudian dipenjarakan selama 30 tahun. Itupun atas perintah dari Soeharto yang memperoleh mandat Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966. Sukarno terjungkal dari kekuasaannya yang pada akhirnya digantikan oleh Soeharto. Demikianlah masa Orde Baru dimulai. Entah makar atau bukan, di balik narasi sejarah seputar penggulingan Sukarno masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan maupun pemerhati sejarah sampai saat ini.*
- Dari Lapangan Kerbau Sampai Lapangan Monas
Banyak orang telah masuk kerja kembali pada 10 Juni kemarin setelah libur panjang Lebaran 2019. Tapi sebilangan orang masih memiliki jatah liburnya hingga beberapa hari lagi. Mereka memanfaatkannya dengan membawa keluarga ke tempat wisata. Salah satunya ke kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta. Ribuan orang tampak mengunjungi kawasan Monas pada Selasa, 11 Juni 2019. Banyak keluarga antre lebih dari sejam demi naik ke puncak Monas. Tiketnya murah. Antara Rp2.000 sampai Rp10.000 per orang, bergantung usia pengunjung. Keluarga lainnya merasa cukup berkeliling taman atau gelar tikar menikmati rindangnya kawasan Monas secara gratisan. Kawasan Monas dulunya hanyalah padang rumput luas. Lukisan karya E. Hardouin, pelukis Prancis (hidup pada 1820–1854), menunjukkan beberapa hewan ternak memakan rumput sehingga kawasan ini sempat bernama Buffelsveld (lapangan kerbau). Pepohonan rimbun mengelilingi sisi terluar padang rumput. Tampak pula Gunung Salak, Buitenzorg (sekarang Bogor), Gunung Gede, dan Gunung Pangrango di arah selatan. Hanya terlihat dua bangunan di sisi luar Buffelsveld : sebuah rumah dan satu gereja. Kawasan Monas kali pertama berkembang seiring perluasan kota Batavia ke selatan yang sejuk (Weltevreden) pada masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808–1811), seorang pendukung Napoleon Bonaparte dan Revolusi Prancis. Lapangan Militer Berlatih Di Weltevreden inilah banyak bangunan milik pemerintah berdiri. Tadinya pusat pemerintahan terletak di utara, dekat laut. Tersebab degradasi lingkungan dan kesehatan di utara, pusat pemerintahan bergeser ke selatan. Daendels membeli tanah luas tak jauh dari Pavilljoensveld (sekarang Lapangan Banteng). Dia lalu meratakan tanahnya, memberikan jalan di setiap sisi luarnya, membentuknya menyerupai persegi, dan mengubahsuaikan namanya. “Daendels memberi nama Champ de Mars pada lapangan luas ini,” catat Adolf Heuken dalam Medan Merdeka Jantung Ibukota RI.Champ de Mars berfungsi sebagai tempat latihan militer. Tujuannya menyiapkan militer untuk menghadapi serangan Inggris. Kerbau dan penggembalanya tak boleh masuk untuk sementara. Daendels beroleh panggilan pulang ke Prancis dari atasannya pada 1811. Jan Willem Janssens, pengganti Daendels, tak bisa mempertahankan Batavia dari serangan Inggris. Kawasan ini jatuh ke Thomas Stamford Raffles, seorang Letnan-Gubernur atau pemimpin tertinggi di Hindia Timur (1811–1816). Raffles membeli rumah di Rijskwijk (sekarang Jalan Veteran), 300 meter dari Champ de Mars . Kebunnya luas, membentang hingga Champ de Mars . Sejak Raffles membeli rumah di sana, persil-persil di sekitar Champ de Mars mulai terisi oleh rumah milik pejabat. Setelah masa Raffles, lapangan ini berganti nama menjadi Koningsplein atau Lapangan Raja. Para pejabat membangun rumah di sisi luar Koningsplein dengan gaya Indische Woonhuis . Konsepnya berasal dari adaptasi arsitektur klasisisme dengan tuntutan iklim tropis. Maka ciri-ciri utamanya terlihat pada serambi luas; langit-langit, pintu, dan jendela yang tinggi; permukaan lantai agak naik; dan atap menjulang berbentuk perisai, menjorok keluar tembok. Gubernur Jenderal juga bertempat tinggal di sekitar Koningsplein (sekarang bangunan itu menjadi Istana Negara) . “Karena gubernur-jenderal mulai tinggal di Istana Negara (1818), maka beberapa instansi pemerintah dan kantor perusahaan besar mulai dibangun di pinggir lapangan luas ini sejak awal abad ke-19,” tulis Adolf Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta . Wajah Koningsplein berubah drastis memasuki paruh pertama abad ke-20. Ia tak lagi padang rumput hijau nan luas. Peta milik Topographische Inrichting Batavia pada 1918 dan revisinya pada 1921 menunjukkan kehadiran lapangan olahraga berbentuk oval di sisi dalam bagian timur. Juga tampak beberapa taman kecil dan bioskop (Deca Park) di sisi dalam bagian barat. Rel dan stasiun kereta api (sekarang menjadi Stasiun Gambir) muncul di sisi luar bagian timur Luas lahan hijau di Koningsplein semakin mengecil memasuki 1930-an. Pemerintah Kolonial mendirikan bangunan baru semi permanen untuk menggelar pasar malam tahunan tiap Agustus untuk merayakan kelahiran Ratu. Tak pernah Sesuai Rencana Semua pembangunan di sisi dalam itu melenceng dari rencana penataan Koningsplein . Rencana penataan terawal karya C. Deeleman pada 1878 memperlihatkan sisi dalam bagian barat lapangan akan diisi oleh sejumlah rumah. Terdapat pula rencana pembuatan jalan setapak dari empat sisi tampak melingkar menuju sisi dalam lapangan. Di tengah lingkaran itu nantinya akan berdiri sebuah monumen. Rencana penataan kedua Koningsplein keluar pada 1892. Dr. M. Treub, perancangnya, mengajukan empat jalan menyilang tanpa pohon. Masing-masing dari sisi terluar lapangan, menuju sisi dalam bagian tengah. Empat jalan itu akan bertemu di tengah dan membentuk lingkaran. Di pusat lingkaran, Treub berencana membangun air mancur. Dia tak memasukkan bangunan apapun di sisi dalam lapangan demi membuat aliran udara tetap lancar dan tidak menghalangi pemandangan. Ketika sisi dalam Koningsplein kian semrawut dengan berbagai bangunan pada 1930-an, Pemerintah Kotapraja (Gemeente) Batavia menugaskan Biro Karsten, Lutjens, en Toussaint di Semarang untuk menata ulang. Gemeente meminta kehadiran gedung balaikota di sisi dalam Koningsplein . Biro Karstens, Lutjens, en Toussaint menempatkan gedung itu di tengah lapangan. Rencana Biro itu juga memuat penambahan pepohonan dan pembuatan boulevard baru untuk kendaraan bermotor di sekitar stasiun kereta api. Tapi semua rencana tersebut tak pernah mewujud. “Tak ada yang dilaksanakan,” catat Heuken. Menjadi Taman Besar Sebuah rencana penataan Koningsplein mengemuka lagi ketika pengelolaan lapangan tersebut berada di bawah Pemerintah Indonesia. Saat itu nama Koningsplein berubah jadi Lapangan Merdeka, sesuai dengan nama jalan di empat sisi luar lapangan tersebut. Sukarno menghendaki wajah baru Lapangan Merdeka. Sebuah taman besar dengan empat ruas boulevard di sisi luar, jalan diagonal di sisi dalam, dan tugu monumental di tengah lapangan serupa Menara Eifel di Paris, Prancis. Itu berarti segala bangunan di sisi dalam lapangan harus rata tanah. Salah satunya Stadion Ikada, tempat penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional ke-2 pada 1951. “Lapangan merdeka sebagaimana diketahui luasnya lebih kurang 100 hektar bila telah dikosongkan sama sekali. Memang pengosongannya tidak lama lagi akan dimulai yaitu untuk pembuatan jalan-jalan diagonal dari tengah lapangan ke keempat sudut lapangan,” tulis Star Weekly , 17 Juni 1961. Kehendak Sukarno mulai terlaksana pada 1962. Stadion Ikada dibongkar dan sayembara pembuatan tugu diumumkan. Lapangan Merdeka perlahan kosong. Aktivitas olahraga pindah ke wilayah Senayan. Tetapi pembangunan tugu justru selesai ketika kekuasaan Sukarno berakhir pada 1968. Tugu itu bernama Monumen Nasional (Monas). Tetapi lapangan itu tak lantas menjadi taman besar. Setelah kekuasaan Sukarno berakhir, pembangunan sisi dalam lapangan justru kian marak. Taman Ria berdiri di sisi dalam bagian barat-daya pada 1969. Pasar Gambir hidup kembali di sisi dalam bagian selatan, tetapi namanya menjadi Pekan Raya Jakarta (PRJ). Tenda-tenda, warung pedagang kaki lima, taksi, dan bus juga turut menyesaki lapangan tersebut. Keruntuhan Orde Baru melahirkan kebiasaan baru warga: berdemonstrasi di depan Istana Merdeka, kantor dan tempat tinggal Presiden. Maraknya demonstrasi mengkhawatirkan Sutiyoso, Gubernur Jakarta 1997–2007. Dia memagari lapangan Monas untuk menjaga wilayah tersebut dari kerusakan. Kendaraan bermotor tak bisa lagi melintasi jalan diagonal. Aspal jalan diubah konblok untuk menyokong kebutuhan pejalan kaki. “Efek sampingan dari tindakan itu baik: Lapangan luas menjadi bersih, ditanami berbagai jenis pepohonan dan tetap dapat dinikmati pejalan kaki dengan aman,” terang Heuken. Sekarang kawasan Monas menjadi ruang terbuka hijau atau paru-paru kota terluas di ibukota. Ia juga menjelma tempat bagi keluarga untuk mengikat momen-momen hangat di ruang publik yang sejuk.
- Ekstradisi dari Hong Kong?
RATUSAN ribu orang menyesaki jalan-jalan utama di Hong Kong. Negeri kepulauan dengan status otonomi khusus di bawah Republik Rakyat China (RRC) itu tengah bergejolak. Massa menggugat upaya “komunisasi” oleh pemerintah daratan sejak Minggu (9/6/2019). Menurut sumber Kepolisian Hong Kong yang dikutip Reuters , Selasa (9/6/2019), massa yang terkonsentrasi sudah berjumlah sekira 240 ribu orang. Massa menetang kembalinya cengkeraman China atas negeri mereka. Namun, aksi unjuk rasa damai itu berubah ricuh pada Selasa (12/6/2019). Bentrokan pecah. Polisi terpaksa melontarkan gas air mata, water cannon , dan bahkan tembakan peluru karet sebagaimana kerusuhan demonstrasi pada 2014. Aksi itu dipicu oleh berlangsungnya sidang Dewan Legislatif Hong Kong untuk mengesahkan Undang-Undang Ekstradisi. UU tersebut dianggap sebagai penggembosan demokrasi di Hong Kong. Jika disahkan, pemerintah RRC bisa leluasa menangkapi para tersangka kasus pidana maupun politik yang melarikan diri ke Hong Kong untuk dibawa kembali ke daratan utama guna disidangkan dengan sistem hukum RRC. “Warga Hong Kong tidak percaya pada pemerintah China,” kata Long Chen, salah satu pengunjuk rasa, dilansir CNN World , Selasa (12/6/2019). Long Chen merupakan pekerja maintenance lepas dan terpaksa tak masuk kerja demi “menyelamatkan” masa depan negerinya. Ia hanya satu dari sekian warga Hong Kong dari beragam latarbelakang yang menggugat kembalinya sistem komunis China menjamah Hong Kong. “Kami merasa tak punya pemimpin saat ini. Ini (aksi protes) adalah harapan terakhir kami. UU ini berbahaya. Kami tak mau melihat China melenyapkan kebebasan kami,” kata Sean, mahasiswa yang turut turun ke jalan. Milik China, Inggris dan Kembali ke China Negeri di Semenanjung Kowloon dengan sekira 263 pulau ini sebelum jadi koloni Inggris merupakan wilayah strategis untuk pelabuhan dan pelayaran milik Dinasti Qing. Tetapi gara-gara kalah dari Inggris di Perang Opium I (1839-1842), Hong Kong diserahkan ke Inggris. Baca juga: Islam di Masa Kedinastian Cina Sedianya penyerahan Hong Kong sudah dilakoni menjelang kekalahan Dinasti Qing lewat Konvensi Chuenpi, 20 Januari 1841. Dalam dokumen The Chinese Repository Volume 10 , konvensi itu dihelat antara dua utusan: Sir Charles Elliot dan Qishan (Jing’an). Isinya adalah: penyerahan kepulauan dan pelabuhan Hong Kong kepada Inggris, ganti rugi perang enam juta dolar oleh China kepada Inggris yang dicicil sampai 1846, pembukaan hubungan resmi dua negara, dan dibukanya pelabuhan Canton dalam 10 hari setelah Hari Raya Imlek. Lukisan kapal-kapal Inggris menguasai Hong Kong karya RB Watson (Foto: sothebys.com) Meski diuntungkan, Inggris belum puas. Menteri Luar Negeri Inggris Lord Palmerston mengganti Elliot dengan Jenderal Henry Pottinger. Kesepakatan dalam konvensi itupun gugur dan perang berlanjut hingga ditandatanganinya Perjanjian Nanking, 29 Agustus 1842. Selain menuntut perdagangan bebas dan ganti rugi perang, Inggris menuntut penyerahan Hong Kong dari Kaisar Daoguang dalam isi perjanjiannya. “Segera setelah perjanjian itu ditandatangani, bendera kuning China (Dinasti Qing) dan bendera Union Jack (Inggris) dikibarkan bersama,” ungkap Sir Harry Parkes, salah satu diplomat yang menyaksikan, dikutip Stanley Lane-Poole dalam The Life of Sir Harry Parkes. Perjanjian itu lantas diratifikasi Kaisar Daoguang pada 27 Oktober dan Ratu Victoria pada 28 Desember di tahun yang sama. Isi perjanjiannya baru berlaku efektif pada 26 Juni 1843, ketika Hong Kong resmi berada di bawah ketiak Kekaisaran Inggris. Cengkeraman Inggris kian meluas setelah Konvensi Peking (Beijing), 18 Oktober 1860. Semenanjung Kowloon disewakan China kepada Inggris. Lewat Konvensi Ekstensi Wilayah Hong Kong (1898), di mana statusnya Inggris menyewa pada China selama 99 tahun, semenanjung ini lantas dijadikan wilayah perluasan Hong Kong. Di bawah kolonialisme Inggris, Hong Kong berkembang pesat, mengingat punya pelabuhan yang strategis. Tidak sedikit tokoh pergerakan yang memilihnya sebagai “suaka”. Tan Malaka, salah satunya, yang berkelana ke banyak negeri pasca-diusir pemerintah kolonial dari Hindia Belanda pada 1922. Tan singgah ke Kowloon, seberang pelabuhan Hong Kong, sejak pindah dari Shanghai dengan nama samaran Ong Soong Lee. “Kotanya dikelilingi perairan dan satu-satunya penghubung dengan Canton adalah jalur kereta api yang tentunya banyak diawasi polisi,” sebut Tan dalam otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara, jilid 2. Tan Malaka memang jadi target operasi polisi penyelidik Inggris setelah bersua salah satu koleganya, Dawood. Tan pun diciduk kemudian dan diiterogasi polisi penyelidik Inggris dari Singapura berdarah India, Pritvy Chan. Tan dikira buron Filipina yang tengah dicari-cari oleh sang polisi. Tan kemudian ditransfer ke Markas Besar Kepolisian Hong Kong untuk interogasi lanjutan dengan Kepala Inspektur Murphy. Singkat cerita, Tan dalam tahanan Inggris di Hong Kong pernah diminta pemerintah Hindia Belanda untuk diekstradisi. Beruntung, otoritas Inggris di Hong Kong menolak lantaran kebijakan kolonialis Inggris melindungi para pelarian politik, meski kemudian Tan Malaka dideportasi. Seiring waktu, Hong Kong sempat lepas dari tangan Inggris gegara invasi Jepang, yang dimulai di pagi yang sama saat Jepang menyerang Pearl Harbor, 8 Desember 1941. Hong Kong lantas dibanjiri pengungsi dari kalangan terpelajar yang tak ingin jadi korban Perang Sipil China, usai Perang Pasifik. Banyaknya kaum terpelajar membuat industrialisasi Hong Kong bergulir pada 1950-an. Perlahan, Hong Kong jadi macan ekonomi. Status Hong Kong mulai jadi pembahasan lagi sejak 1979. Muara dari pembahasan itu adalah ditandatanganinya Deklarasi Bersama China-Inggris pada 19 Desember 1984. RRC menuntut Inggris mematuhi perjanjian konvensi tahun 1898. Inggris menyanggupi. Pada 1 Juli 1997, Hong Kong terlepas dari 156 tahun cengkeraman kolonialisme Inggris dan diserahkan ke RRC dengan catatan prinsip “Satu Negara, Dua Sistem”. Lukisan kapal-kapal Inggris menguasai Hong Kong karya RB Watson (Foto: sothebys.com) Hong Kong diizinkan menjalankan pemerintahan sendiri selama 50 tahun. Itu artinya, baru pada 2047 Hong Kong bisa benar-benar 100 persen di bawah sistem politik dan hukum RRC. Namun, Beijing tampaknya tak ingin menunggu sebegitu lama. Beberapa isu sudah lama ditebar ke dewan rakyat Hong Kong. Hal itu memicu protes dari rakyat Hong Kong. Pada 2012, gejolak muncul untuk memprotes rencana masuknya materi kurikulum pro RRC ke sekolah-sekolah di Hong Kong. Dua tahun berselang, demo besar-besaran terjadi untuk menentang regulasi pemilu di Hong Kong, terkait keterlibatan Beijing dalam pemilihan kepala eksekutif daerah otonomi Hong Kong. “Hong Kong hanya akan jadi kota China lainnya yang dikuasai Partai Komunis,” kata aktivis pro-demokrasi cum bos perusahaan media Next Digital Jimmy Lai dalam tulisannya di Nikei Asian Review. Isu UU Ekstradisi yang meletupkan gejolak saat ini makin menegaskan campur-tangan RRC. Tanpa UU Ekstradisi saja, kata massa, sudah terjadi beberapa penculikan oleh otoritas China terhadap sejumlah tersangka yang mengungsi ke Hong Kong. Konglomerat Xiao Jianhua, salah satunya. Dia diculik di Hotel Four Seasons pada Januari 2017. Sang pebisnis itu sudah dibawa ke tahanan di daratan China dan nasibnya belum jelas. “Jika undang-undang ini disahkan, di mana mungkin sebentar lagi, sama saja seperti gong kematian bagi Hong Kong yang dunia ketahui sekarang (bebas dan berdemokrasi),” tandas aktivis politik Ray Wong Toi-yeung, disitat Vox , 11 Juni 2019.
- Tiara Penolak Bala
SEPEKAN belakangan warganet lintas benua riuh berceloteh soal tiara yang dipakai Ratu Inggris Elizabeth II saat menjamu Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Istana Buckingham, 4 Juni 2019. Pada gala makan malam kenegaraan itu Ratu Elizabeth II mengenakan tiara rubi merah. Tiara Burma sebutan resminya. Tiara berhias puluhan rubi merah asal Burma (kini Myanmar) itu dianggap warganet di linimasa Twitter punya makna tersembunyi, yakni untuk mengusir setan dan bala, merujuk pada Trump, sosok yang kontroversial. Helen Rose, salah satu warganet, mengungkit mitos bahwa batu rubi bagi masyarakat Burma adalah perhiasan penolak bala dan sial. “Ratu Elizabeth adalah pahlawan. Tiara yang menghiasi kepalanya terbuat dari 96 batu rubi yang dihadiahkan padanya saat pernikahannya dari rakyat Burma untuk mengusir bala dan penyakit. Saya mengaguminya karena skill -nya menghina Trump lewat perhiasan,” kicaunya dengan akun @helenjrose. Kicauannya hanya satu dari sekian banyak warganet yang berkomentar sumbang. Tapi, apa benar Ratu Elizabeth punya pesan terselubung lewat tiara yang dipakainya saat bersua Trump? Kado Pernikahan Tiara Burma itu merupakan modifikasi dua dari sekian kado pernikahan Elizabeth II dengan Philip Mountbatten pada 20 November 1947. Mengutip Lynne Bell, Arthur Bousfield dan Garry Toffoli dalam Queen and Consort: Elizabeth and Philip: 60 Years of Marriage , dua hadiah itu berupa kalung emas berhias 69 batu rubi merah persembahan rakyat Burma dan tiara berlian dari Mir Osman Ali Khan, nizam (penguasa) Negara Bagian Hyderabad. Saat pernikahan itu, Burma masih menjadi koloni Inggris dan dipimpin Laksamana Lord Louis Mountbatten sebagai penguasa militernya dengan gelar 1st Earl Mountbatten of Burma. Louis merupakan paman Philip. Untuk merayakan pernikahan Elizabeth II dan Philip, Louis menggelar pesta makan malam di mansionnya di Broadlands, setelah di siang harinya dihelat di Westminster Abbey. Elizabeth II menyapa rakyat Inggris pasca-prosesi pernikahan. (Repro Queen and Consort). "Jumlah (rubi) dengan angka 96 memiliki relevansi yang menarik; menurut cerita orang Burma, tubuh manusia dihantui 96 penyakit dan setiap rubinya merupakan penangkalnya. Entah magisnya masih bekerja saat hadiah pernikahan itu dibongkar atau tidak, masih belum diketahui, meski tentunya tindakan itu berlawanan dengan awal makna saat diberikan," tulis Diane Morgan dalam Fire and Blood: Rubies in Myth, Magic, and History . Sementara, berlian-berlian hiasan pendampingnya diambil dari tiara berlian buatan Cartier, perusahaan pembuat perhiasan ternama dunia, pemberian Mir Osman Ali Khan. Kala itu Osman memberi tiga hadiah sekaligus yang hingga kini masih utuh: tiara berlian, kalung berlian, dan bros berlian. Setelah naik takhta, Elizabeth II memadukan keduanya pada 1973. Pengerjaannya dipercayakan pada Asprey & Garrard Ltd (kini Garrard & Co.), perusahaan desain perhiasan langganan kerajaan. Tiaranya dibuat dengan bahan platinum berhias ukiran motif mawar tudor yang gemerlap dengan sejumlah bubuhan berlian dari Omar. Tiara itu kemudian ditambahkan 96 rubi merah Burma untuk membuat makin elegan dan kemewahannya kian mencolok. Kalung Rubi Ratu Elizabeth II persembahan rakyat Burma (Foto: Repro Queen and Consort) Memang, mulanya rubi-rubi itu diyakini orang Burma untuk menangkal bala. Namun sepertinya, takhayul itu tak dipercaya Ratu Elizabeth II. Dalam menjamu Trump pun bukan kali pertama ia mengenakan tiara itu. Saat menjamu (mendiang) Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun tahun 2004, ia pun mengenakannya. "Perhiasan dipakai sebagai bentuk penghormatan, bukan penghinaan; perhiasan dikenakan untuk membangun dan menjembatani persahabatan, bukan menghancurkannya. Bukan niat sang Ratu untuk membuat kontroversi. Enam dekade pemerintahannya digulirkan menghindari kontroversi sebisa mungkin dan selalu berusaha bersikap netral (soal politik)," sebut pakar perhiasan kerajaan Ella Kay, dikutip Town & Country , 4 Juni 2019.
- Ekspedisi Mataram Kuno ke Luar Jawa
PERJALANAN ekspedisi ke luar Nusantara bukan hanya dilakukan raja-raja Sriwijaya dan Majapahit. Penguasa Kerajaan Mataram Kuno telah melancarkan aneksasi ke kerajaan-kerajan di luar pulau Jawa. Ada lima zona komersial di Asia Tenggara pada abad ke-14 dan awal abad ke-15. Zona Teluk Benggala mencakup India Selatan, Srilangka, Birma, dan pantai utara Sumatra. Lalu kawasan Selat Malaka. Kemudian Kawasan Laut Tiongkok Selatan yang meliputi pantai timur Semenanjung Tanah Melayu, Thailand, dan Vietnam Selatan. Kawasan Sulu mencakup pantai barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanau, dan pantai utara Kalimantan. Sementara Kawasan Laut Jawa terdiri atas Kalimantan Selatan, Jawa, Sulawesi, Sumatra, dan Nusa Tenggara. Menurut arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, Baskoro Daru Tjahjono, zona-zona tadi tak terbatas waktu itu saja. Sejak masa sebelumnya sudah berlangsung. “Sedemikian pentingnya menyebabkan gesekan perebutan dominasi di kawasan itu, baik oleh Arab, India, kerajaan di Asia Tenggara daratan, Mongol, maupun Jawa,” tulis Baskoro dalam “Mataram Kuno: Agraris atau Maritim?” yang terbit di Kemaritiman Nusantara . Konflik terbuka, lanjut Baskoro, pun terjadi seperti antara Mongol dengan Jawa, India dengan Jawa, Khmer dengan Jawa, serta Jawa dengan Sumatra. Pun konflik tertutup dengan Arab. Mengenai berbagai ekspedisi itu sebagian besar dikisahkan lewat sumber-sumber tekstual. Misalnya dalam Carita Parahyangan yang ditulis sekira abad ke-16, terungkap setelah membangun kembali kerajaannya, Sanjaya, raja Mdang atau Mataram Kuno, menganeksasi beberapa wilayah di luar kerajaannya. Nama wilayah yang disebutkan: Melayu, Kemir, Keling, Tiongkok, dan Kahuripan. Kemudian, kata Baskoro, terdapat sumber Arab yang ditulis Sulayman dalam perjalanannya ke India dan Tiongkok pada 851, yang menyebut Sribuza (Sriwijaya), Ramni (daerah di Sumatra), dan Kalah (Semenanjung Tanah Melayu), sebagai daerah Jawa (Mdang). Keterangan aneksasi atas Sriwijaya diperkuat berita dari Tiongkok masa Dinasti T’ang. Dinyatakan bahwa Shih-li-foshih (Sriwijaya) mengirim utusan ke Tiongkok pada 670-673, 713-741, dan terakhir pada 742. Sejak itu tak ada lagi. Menurut Baskoro, ekspedisi yang dilancarkan Sanjaya bertujuan untuk menguasai lima zona komersial di kawasan Asia Tenggara. Artinya, data filologi menunjukkan kalau tradisi maritim sudah dianut kerajaan-kerajaan kuno Nusantara sejak lama. Bukan hanya oleh Sriwijaya dan Majapahit. “Sebagai kerajaan yang mampu bertahan 300 tahun, mustahil Mataram Kuno tak punya armada laut yang kuat,” tulis Baskoro. Pandangan politik Sanjaya dilanjutkan penerusnya. Arkeolog Puslit Arkenas, Bambang Budi Utomo dalam K apal-Kapal Karam Abad ke-10 di Laut Jawa Utara Cirebon menjelaskan, sekira abad ke-8, ada petunjuk kalau Jawa (Mataram) dan Khmer terjadi hubungan politik. Hubungan keduanya ketika itu tak begitu baik. Sumber sejarah yang menyiratkan itu justru diperoleh dari prasasti yang ditemukan di Kamboja. Isinya tentang penyerangan, diikuti pembakaran oleh pasukan yang datang dari Jawa. Menurut Bambang penyerangan Jawa atas Kamboja begitu membekas di hati rakyatnya. Ini pun menjadi cerita yang disampaikan oleh orang-orang Khmer kepada saudagar Arab ketika berkunjung pada 851. Saudagar Arab bernama Sulayman menceritakan kekalahan Raja Khmer akibat serangan pasukan Sri Maharaja dari Zabaj. Nama Sri Maharaja ini disebutkan juga di dalam beberapa prasasti abad ke-8, baik yang ditemukan di Kalasan, Yogyakarta (775) maupun yang di Tanah Genting Kra, yaitu Ligor B (778). Mungkin, kata Bambang, yang dimaksud Sri Maharaja pada berita Arab adalah Rakai Panamkaran, Raja Kerajaan Mataram. Dia naik takhta menggantikan ayahnya, Sanjaya, pada 746. “Sekaligus Datu Sriwijaya yang di dalam berbagai prasasti disebut dengan julukan ‘pembunuh musuh-musuh yang gagah berani’,” lanjutnya. Jawa rupanya tak hanya menyerang Kamboja. Mereka juga menyerang Champa. Menurut tradisi Sejarah Vietnam, pada 767, Champa diserbu oleh penyerang dari K’un-lun dan Da-ba atau Chö-po (Jawa). Serangan terakhir yang cukup menghancurkan terjadi pada 787 sebagaimana tertulis dalam Prasasti Yang Tikuh yang dikeluarkan Raja Indrawarman. Sejarawan sekaligus Direktur Miami University Art Museum, Robert S. Wicks dalam Money, Markets, and Trade in Early Southeast Asia menjelaskan keterangan dalam prasasti itu di antaranya berisi tentang pembangunan ulang Candi Bhadradhipatisvara yang terbakar akibat serangan pasukan Jawa. Serangan Jawa ke kerajaan yang kini masuk bagian Vietnam itu cukup beralasan. Champa pada abad ke-7 menjalin hubungan persahabatan dengan Chen-la (Kamboja) yang banyak menguasai jalur perdagangan dan pelayaran di Laut Tiongkok Selatan. Berkat persahabatan itu, Champa memegang hegemoni pelayaran dan perdagangan di Laut Tiongkok Selatan. Setidaknya hegemoni pelayaran dan perdagangan di Laut Tiongkok Selatan itu berlangsung hingga 767. Ketika itu Champa diperintah oleh Prthiwindrawarman.*
- Sejarah Lahirnya Bank Syariah di Indonesia
BANK-bank umum mendirikan anak perusahaan bank syariah karena melihat potensi nasabah yang besar. Bagaimana sejarah munculnya bank syariah di Indonesia? Pada suatu hari, Sekretaris Jenderal MUI Prodjokoesoemo dan M. Amin Aziz, pendiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), mendatangi Sukamdani Sahid Gitosardjono. Pengusaha perhotelan ini menjabat Penasihat Yayasan Dana Dakwah yang didirikan MUI. Mereka menyampaikan maksud mendirikan sebuah bank. Amin Aziz ditujuk sebagai project officer pendirian bank itu. Sukamdani mengatakan bank yang sedang dirintis itu dinamakan bank tanpa bunga, yang didasarkan pada bagi hasil. Jadi tidak menyimpang dari hukum Islam: yang membungakan uang berarti riba. “Di Indonesia, bank bagi hasil memang belum ada. Namun, kita belajar pada bank Islam yang menerapkan bagi hasil –membagi hasil dengan orang yang menyimpan. Begitulah percakapan saya dengan dua tokoh MUI itu,” kata Sukamdani dalam otobiografinya, Wirausaha Mengabdi Pembangunan. Langkah selanjutnya diadakan pertemuan untuk membahas pembentukan PT dan membuat rumusan yang lebih tepat tentang bank Islam. “Dalam perundingan itu akan digunakan nama Bank Islam Indonesia, tapi nama tersebut kesannya terlalu berat,” kata Sukamdani. “Lantas dilakukan konsultasi dengan Pak Ismail Saleh, Menteri Kehakiman. Akhirnya disepakati nama Bank Muamalat Indonesia.” Surat permohonan izin kepada Presiden Soeharto dikirimkan melalui Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. Soeharto menyampaikan akan membantu bila rencananya sudah konkret. Pada 13 Oktober 1991, MUI mengadakan pertemuan untuk membicarakan pembentukan Bank Muamalat Indonesia di Puri Hotel Sahid Jaya & Tower. Pertemuan yang dihadiri para pengusaha itu berhasil mengumpulkan dana Rp64 miliar. Hasil pertemuan dilaporkan kepada Presiden Soeharto. Pertemuan kedua diadakan pada 1 November 1991 di Prambanan Room Hotel Sahid. Diputuskan bahwa modal dasarnya Rp500 miliar dan modal yang disetor Rp100 miliar. Saat itu, modal yang disetor sudah mencapai kurang lebih Rp82 miliar. Tanggal ini ditetapkan sebagai awal Bank Muamalat memulai perjalanan bisnisnya. Namun, bank syariah pertama di Indonesia ini baru resmi beroperasi mulai 1 Mei 1992 dan ditetapkan sebagai hari ulang tahun Bank Muamalat. Pada 3 November 1991, atas prakarsa Presiden Soeharto, Bank Muamalat mengadakan pertemuan dengan masyarakat Jawa Barat dan para pengusaha nasional di Istana Bogor. Penjualan saham di Istana Bogor itu sukses. Seluruh saham yang terjual lebih dari Rp100 miliar. Di akhir Desember 1991, Sukamdani bertemu dengan Direktur Utama Bank Muamalat, Zainulbahar Noor. Dia menyampaikan bahwa Bank Muamalat berjalan sesuai harapan. “Kini di Bank Muamalat tercatat sekitar 5.000 nasabah. Bank dengan modal saham Rp500 miliar dan modal disetor hampir Rp90 miliar ternyata mempunyai kenaikan jumlah nasabah rata-rata 20 persen per bulan,” kata Zainulbahar Noor. Nasabah bank syariah terus tumbuh. Per Agustus 2018, total nasabah bank syariah berjumlah 23,18 juta, naik 13% dari tahun lalu sebesar 20,48 juta. Jejak Bank Muamalat pun diikuti bank-bank lain. Hingga kini terdapat 13 Bank Umum Syariah, 21 Unit Usaha Syariah, dan 167 Badan Perkreditan Rakyat Syariah di Indonesia. Ironisnya, Bank Muamalat yang sempat disebut sebagai bank tersehat di Indonesia, sejak 2015 mengalami masalah permodalan. Pionir bank syariah itu tengah mencari investor baru. Setelah beberapa konsorsium investor gagal, kini Al Falah Investment Pte Limited, konsorsium bentukan Ilham Habibie, berniat mengakuisisi sekitar 50,3% saham. Prosesnya sedang berjalan dan dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.*
- Abu Sinabung Kembali Membubung
GUNUNG Sinabung lagi-lagi menyemburkan awan panasnya. Dalam beberapa tahun terakhir, Sinabung memang cukup sering memperlihatkan aktivitasnya. Terkini, gunung api tertinggi di Sumatera Utara itu kembali meletus pada minggu kemarin (09/06). Letusan disertai suara gemuruh dan awan panas ke arah tenggara 3,5 km dan selatan 3 km. Erupsi berlangsung selama 9 menit. Ketinggian abu mencapai 7 km. Ini tergolong cukup tinggi. Melansir info dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), letusan kali ini belum memakan korban jiwa. Masyarakat sudah terbiasa melihat letusan gunung Sinabung sehingga sudah paham perilaku erupsi dan tidak panik melihat letusan. Sampai saat ini, status Sinabung ada di siaga level tiga dan berada di zona merah. Gunung Sinabung memuntahkan awan panas, 9 Juli 2019. Foto:Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sinabung terletak di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Gunung ini merupakan jenis gunung api strato berbentuk kerucut. Puncaknya berada di ketinggian 2451 meter diatas permukaan laut. Orang-orang suku Karo menyebutnya Deleng Sinabung. Berhadapan garis lurus dari Gunung Sinabung terdapat gunung Sibayak, gunung api tertinggi kedua (2212 mdpl) di Sumatera Utara. Jika dilihat kasat mata, gunung Sinabung kurang simetris kakinya, sementara gunung Sibayak ada bopeng di puncaknya. Dalam kepercayaan lama masyarakat Karo, kedua gunung ini saling terkait. Letusan hebat Gunung Sinabung terjadi pada 1600. Letusan itu melululantakkan dataran tinggi Tanah Karo. Kampung-kampung di lereng gunung tertimbun abu vulkanik akibat erupsi. Banyak korban jiwa yang meninggal. Bencana itu menyebabkan populasi suku Karo jadi lebih sedikit ketimbang suku Batak. Menurut Brahma Putro dalam Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman Jilid 1, karena mengerikannya peristiwa letusan itu lahirlah cerita rakyat tentang Gunung Sinabung dan Sibayak. Dikisahkan bahwa Dewa Raja Umang Gunung Sinabung dan Dewa Raja Umang Gunung Sibayak berkelahi dengan hebatnya. Mereka memperebutkan Dewi Ratu Gunung Barus. “Akhirnya Dewa Raja Umang Gunung Sinabung dengan kesaktiannya memancung kepala gunung Sibayak dan putus, terbang ke dekat kampung Kaban yang dinamai sekarang Deleng Sikutu, sedang kaki gunung Sinabung dipancung oleh Dewa Raja Gunung Sibayak,” tulis Brahma Putro. Asap Erupsi Gunung Sinabung di Pagi Hari. Foto: common wikimedia. Gunung Sinabung menjinak setelah letusan dahsyatnya. Meski muntahan vulkaniknya menjadi bencana alam, kawasan gunung Sinabung termasuk salah satu lahan paling subur di Tanah Karo. Selama beratus tahun kemudian, Sinabung tidak lagi beraktivitas. Sebaliknya, Sibayak masih terus aktif. Di masa pendudukan Jepang, para serdadu Jepang menyaksikan Sinabung dengan takjub. Puncaknya kerap kali tertutupi oleh awan putih. Takao Fusayama, seorang perwira intelijen Jepang yang pernah bertugas di Tanah Karo dalam memoarnya A Japanese Memoir of Sumatra, 1945--1946: Love and Hatred in the Liberation War menyandingkan Sinabung sebagai gunung Fuji-nya Sumatera. Pesona yang sama tentang Sinabung juga diuraikan putra Karo kenamaan, Mangku Sitepu. “Ketika puncaknya tidak tertutup awan, gunung ini sangat indah dipandang dari kejauhan, meskipun sebenarnya gunung berapi ini penuh dengan jurang yang curam,” tulis Mangku dalam Corat-coret Anak Desa Berprofesi Ganda. Begitu lamanya Sinabung istirahat. Masyarakat sekitar sempat menyangka gunung itu sudah tidak aktif lagi. Sekira 17 desa berada di kaki gunung Sinabung. Penduduknya menggantungkan kehidupann dari hasil tanah yang subur untuk bercocok tanam . Namun, dari segi wisata, Sinabung masih kalah dengan saudaranya, Sibayak yang kerap jadi destinasi wisata pendakian. “Para turis alam sering mendaki puncak gunung Sibayak. Sementara itu, kurang diketahui apakah pendakian gunung Sinabung pernah dilakukan,” tulis Bungaran Antonius Simanjuntak, dkk dalam Sejarah Pariwisata: Menuju Perkembangan Pariwisata Indonesia. Pada 2010, Sinabung bangun dari tidurnya. Tanggal 29 Agustus, Sinabung menyemburkan awan panas dan meletus pada 7 September. Sebanyak 12 ribu warga terpaksa harus mengungsi. Pada 2013, Sinabung kembali meletus. Dan sejak itu, setiap tahun, Sinabung selalu “batuk” memuntahkan isi perutnya sampai saat ini.





















