Hasil pencarian
9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Pemerintah Hindia Belanda Fobia pada Diponegoro
MUHAMMADIYAH pernah mengadakan kongres di Jogjakarta pada 8—16 Mei Mei 1931. Selain mengajak segenap kader untuk ikut, terselip pesan propaganda yang unik. Salah satu pamfletnya memajang gambar Pangeran Diponegoro tengah menunjuk sebuah masjid. “Itu adalah Diponegoro karya lukisan Bik yang menunjukkan jalan ke Masjid Agung,” kata sejarawan Peter Carey seraya menunjuk pamflet tadi dalam pameran pendahuluan “Kamar Diponegoro” di Museum Sejarah Jakarta, Kota Tua, Jakarta Pusat, 12 November 2018. Pemerintah Hindia Belanda menjadi fobia. Sosok Diponegoro seakan hidup kembali. Untuk mencegah gerakan massa, aparat kolonial yang jengkel membakar semua pamflet atau apapun yang berbau Diponegoro. Adalah Suwardi Suryaningrat orang pertama yang “membangkitkan” Diponegoro setelah wafat di Makassar 8 Januari 1855. Suwardi dikenal sebagai aktivis Indische Partij yang mendirikan sekolah bumiputra Taman Siswa. Sebagai seorang nasionalis, Suwardi menanggalkan status kebangsawannya dan lebih kondang dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Pada awal 1923, Suwardi pernah menulis surat terbuka tentang pentingnya memperingati hari wafatnya Pangeran Diponegoro. Surat itu ditujukannya kepada pemimpin dan pengusaha bumiputra. Menurut Suwardi, seyogianya hari wafat Diponegoro jadi memori bersama bagi semua anak negeri di Hindia Belanda. Seruan dalam suratnya pun cukup berani. “Saudara-saudara yang dimuliakan! Bagi kita semua, tanggal 8 Februari adalah tanggal yang amat penting. Hari itu adalah hari peringatan, hari kesedihan bagi anak negeri ini. Khusus untuk orang Jawa. Kenapa? Karena pada tanggal 8 Februari Pangeran Diponegoro yang agung meninggal,” demikian kata Suwardi Suryaningrat dilansir suratkabar Het Nieuws van het Dag voor Nederlandsch-Indie , 12 Maret 1923. Cuplikan seruan Suryadi Suryaningrat untuk memperingati hari wafatnya Pangeran Diponegoro dalam suratnya yang diwartakanHet Nieuws van het Dag voor Nederlandsch-Indie, 12 Maret 1923. (Martin Sitompul/Historia). Suwardi mengajak agar organisasi kepanduan, sekolah Taman Siswa, ataupun semua orang pergerakan mengabadikan hari wafatnya Diponegoro sebagai hari peringatan umum. Himbauan ini cukup radikal. Di bawah kuasa pemerintahan kolonial, Suwardi melontarkan gagasan untuk menghormati hari wafatnya musuh pemerintah sebagai hari libur nasional. “Mari kita semua mengingat hari itu dalam emosi - mari kita istirahatkan urusan kita sementara - seperti sekolah, dan mengatakan pentingnya hari ini kepada semua teman-teman,” demikian Suwardi mengakhiri suratnya. Menurut Peter Carey, Suwardi salah menuliskan tanggal kematian Diponegoro (8 Februari). Yang benar adalah 8 Januari. Kesalahan ini mungkin muncul karena kabar simpang siur dari pers Hindia Belanda perihal berita meninggalnya Diponegoro di Makassar. Java Bode menyebutkan 31 Januari 1855; Javasche Courant menyebutkan 3 Februari 1855. Namun nyatanya, seruan Suwardi ini malah diikuti oleh berbagai organisasi pergerakan. Diponegoro dijadikan sebagai ikon perjuangan kaum pergerakan nasional bahkan lintas ideologi. Strategi propaganda demikian cukup ampuh bikin pemerintah kolonial jadi gusar. “Jadi dia tidak dilupakan oleh pihak komunis, pihak nasionalis, dan dari pihak Islam, dia dijunjung tinggi. Dan Belanda menjadi resah,” kata Carey. “Kalau kita pajang gambar Diponegoro bisa ditangkap oleh polisi Hindia Belanda sebab ini menunjukkan salah satu pembangkangan.”
- Pahlawan bukan Superhero
GENERASI sekarang terasing dengan sejarah bangsanya. Ada jarak menganga antara mereka dengan sejarah bangsanya. Keterpisahan mereka berpangkal dari metode pengajaran sejarah yang membosankan di sekolah. Akibatnya warisan berharga sejarah bangsa berupa nilai-nilai kepahlawanan tak sampai ke benak generasi sekarang. “Di SMA saya diajari oleh guru sejarah yang membawakannya secara kronologis. Soal-soal tahun yang disebutkan, itu kemudian yang jadi soal ujian. Jadi kita melihat sejarah itu jadi tegang,” kenang Hanung Bramantyo, sutradara film bertema sejarah, dalam talkshow Hari Pahlawan di Museum Nasional, Jakarta, 17 November 2018. Hanung mengaku bahwa dia penyuka sejarah. Ketertarikannya pada sejarah berpunca dari masa SMP. Dia bertemu dengan guru sejarah yang piawai bercerita. “Guru saya tidak pernah tanya tentang tahun. Dia bercerita kayak orang curhat, cerita tentang Sukarno kecil seperti apa,” tutur Hanung. Hanung kemudian terdorong belajar sejarah lebih lanjut. “Saya mencari buku-buku para tokoh,” lanjut Hanung. Tapi di SMA kegemarannya terhadap sejarah agak terganggu. Metode pengajaran gurunya lebih kaku. Peristiwa ini mengendap di benak Hanung hingga dewasa dan bekerja sebagai sineas. Dia berpikir untuk membuat jembatan antara generasi sekarang dengan masa lalunya. Jembatan itu berupa film bertema sejarah. Hanung melanjutkan bahwa orang sering melihat pahlawan bangsa sebagai superhero . Sempurna dan tiada cela. Nyaris bukan seperti manusia dan hanya memiliki satu sisi. Ini menyebabkan orang susah menggapai nilai-nilai pahlawan bangsanya. “Pahlawan sejatinya manusia biasa. Mereka mempunyai sisi humanis selaiknya orang kebanyakan,” terang Hanung. Mereka kadang merasa takut, cemas, khawatir, dan bimbang. Tapi mereka mampu mengalahkan keadaan tersebut. Inilah sebenarnya gambaran pahlawan. Seseorang yang dekat dengan kehidupan banyak orang dari beragam zaman. Hanung berusaha mengangkat sisi humanis sosok pahlawan dalam sejumlah filmnya. Antara lain Sang Pencerah (2010), Soekarno: Indonesia Merdeka (2013), Kartini (2016), dan Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018). Film-film Hanung menuai banyak kritik dari sejarawan dan peminat film. Kritik berkutat pada soal objektivitas dan keakuratan kisah. Hanung menjawab kritik itu. “Film bertema sejarah itu tidak bisa objektif. Justru harus subjektif,” kata Hanung. Hanung mengibaratkan filmnya sebagai ruang tafsir terbuka. Tujuannya adalah merangsang orang belajar sejarah setelah menonton film, bukan membuat orang belajar sejarah melalui film. Aktualisasi Sejarah Triana Wulandari, Direktur Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), mengakui ada masalah dengan pengajaran sejarah di sekolah. “Kurikulum dan guru-gurunya memang masih bermasalah . Itu memang masalah yang terus menerus menjadi pekerjaan rumah bagi kami,” kata Triana. Triana menjelaskan banyak guru sejarah bukan berlatar pendidikan sejarah. “Ini masalah fundamental,” ungkap Triana. Sejarah memang ilmu terbuka. Siapa saja bisa mempelajarinya. Tetapi tenaga pengajarnya tetap harus memiliki kecakapan di bidangnya. Kecakapan ini diukur lewat jenjang pendidikan sejarah. Triana sepakat dengan pandangan Hanung bahwa pengajaran sejarah harus kontekstual. Maksudnya, sejarah mesti punya relevansi dengan generasi sekarang. Sejarah tidak bisa lagi diajarkan sebatas hapalan angka tahun dan nama. Sejarah tidak boleh lagi berjarak dengan generasi sekarang. Pahlawan tidak dapat lagi dipandang sebagai sosok superhero . Sejarah terjadi pada masa lalu, tetapi nilai-nilai kepahlawanan selalu aktual sepanjang zaman. “Nilai-nilai itu antara lain keberanian, berbuat kebaikan tanpa pamrih, dan semangat bersatu yang tinggi. Kita juga harus mengangkat sisi-sisi humanis mereka,” tutur Triana. Triana yakin sejarah adalah media untuk menghadirkan nilai-nilai kepahlawanan dan sosok humanis pahlawan dalam tiap zaman pada banyak orang. Sejarah adalah jembatannya. Triana bersama orang-orang di Kemendikbud terus mengupayakan jembatan itu. “Kami dari Direktorat Sejarah sudah berangsur ingin memberikan terobosan. Misalnya bagaimana guru-guru sejarah bisa menggali sejarah lokal.” Kelokalan berarti kedekatan seseorang dengan tempat dimana dia hidup. Ini menjadi penting mengingat apa yang dekat adalah apa yang mudah dipelajari. Pengajaran sejarah hari ini tak lepas dari pengaruh perkembangan teknologi. Triana menyadari generasi sekarang adalah generasi gawai dan melek teknologi. Generasi hari ini karib dengan beragam aplikasi dan bentuk audiovisual lainnya. Maka Triana berupaya mendekatkan sejarah kepada generasi sekarang dengan mengembangkan aplikasi dan film pendek bertema sejarah. Pahlawan Hari Ini Maidina Rahmawati, pembicara termuda dalam talkshow , berbicara tentang relevansi nilai-nilai kepahlawanan pada hari ini. Menurutnya, nilai-nilai kepahlawanan tak banyak berubah dari zaman ke zaman. Yang berubah ialah medan juang dan lawannya. “Jika pahlawan dulu dahulu berjuang melawan penjajah, menghapus ketidakadilan akibat penjajahan pihak asing, dan memperjuangkan kemerdekaan, maka perjuangan hari ini bisa berupa melawan kekerasan seksual,” tutur Maidina. Dia aktif sebagai peneliti dalam Institute for Criminal Justice Reform. Maidina menyebut sosok Baiq Nuril sebagai salah satu pahlawan hari ini. Baiq Nuril adalah seorang guru di Nusa Tenggara Barat. Dia korban kekerasan seksual seorang kepala sekolah. Dia berupaya melawan laku durjana tersebut. Tetapi dia justru jadi tersangka kasus pencemaran nama baik. Mahkamah Agung memutuskan Baiq bersalah. Kepala sekolah di tempat Baiq Nuril mengajar, justru lepas dari semua tuduhan. Dia memperoleh kenaikan jabatan. Karuan aktivis sosial, pegiat hukum, tetangga Baiq Nuril, dan warga biasa meradang dengan keputusan tersebut. Mereka membela Baiq Nuril. “Sikap-sikap positif seperti ini, memperjuangkan keadilan, menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan masih ada,” kata . Maidina. Lawan para pahlawan hari ini bukan lagi penjajah, melainkan orang-orang yang melakukan perbuatan lancung, durjana, dan korup. Kelak nama-nama mereka akan tercatat dalam sejarah masa depan untuk dipelajari generasi esok hari. Hanung dan Triana berpendapat serupa dengan Maidina. Menurut mereka, nilai-nilai kepahlawanan sangat dekat. Pahlawan bisa siapa saja. Pahlawan seharusnya bukan sosok asing di antara generasi sekarang. Melalui sejarah, mereka tidak terkubur dalam masa lalu. Mereka melakukan perbuatan positif sesuai kapasitas dirinya dan berdampak besar untuk pribadinya sekaligus orang sekitar. Itulah pahlawan, kemarin atau hari ini
- Pemuda Sosialis di Balik Film Legendaris
SENYUM tersungging di bibir Thea Susetia Kusumo ketika menerima Historia di kediaman sederhananya, Perumahan Dosen Universitas Negeri Surabaya. Meski keriput telah menghiasi wajahnya, stamina Thea tak pernah kendur ketika menceritakan suaminya, Gatut Kusumo Hadi. “Ibu Thea ini bekas dosen bahasa Inggris di Unesa. Dulu beliau dosen bahasa Inggris pertama di Surabaya ini. Makanya masih bisa tinggal di perumdos sini,” ujar Dhahana Adi Pungkas, penulis buku Surabaya Punya Cerita, yang mengantar Historia . Maka, dengan senang hati perempuan sepuh nan ramah itu membuka kembali laci ingatannya perihal sang suami dan menceritakannya. Memang, Gatut sang suami hampir mustahil dikenal generasi milenial. Namun, jika menyebut film legendaris Soerabaia 45: Merdeka ataoe Mati! , anak-anak muda generasi 1990-an pasti banyak yang tahu. Saban 17 Agustusan dan 10 November (HUT RI dan Hari Pahlawan), film itu kerap diputar TVRI . Pelajar-Laskar Menggelar Layar Gatut Kusumo lahir di Purwokerto pada 13 Februari 1928. Dia sempat kesulitan melangsungkan pendidikannya di Surabaya. Semasa sekolah menengah, dia mesti “menukar” pena dan bukunya dengan senjata untuk ikut mempertahankan kemerdekaan. Gatut bergabung ke Badan Keamanan Rakyat (BKR) Pelajar Darmo 49 kala Pertempuran Surabaya meletus. Setelah Surabaya dikuasai Sekutu, Gatut ikut menyingkir dan bergerilya di Malang dan Blitar sebagai serdadu TRIP. Pasca-revolusi, Gatut Kusumo berdinas di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD), tapi hanya bertahan empat tahun. “Enggak kuat (betah) dia. Lalu kemudian metu (keluar). Katanya, ‘Ya jadi tentara aku nyaluti (hormat) terus ke perwira yang lebih tinggi, lebih baik keluar’,” ujar Thea mengikuti perkataan mendiang suaminya. Gatut yang pensiun dengan pangkat terakhir letnan satu memilih kembali ke Malang untuk melanjutkan sekolah. Waktu luangnya yang banyak setelah lulus Sekolah Menengah Tinggi (SMT) dan keluar dari Universitas Indonesia dimanfaatkannya untuk membaca banyak buku. “Sempat juga disekolahkan ke Universitas Indonesia, tapi ya enggak betah juga, enggak sampai selesai. Dia enggak suka kerja. Dia enggak kerja apa-apa setelah lulus. Hidup dari pensiun tentara ya enggak akeh (banyak). Cuma cukup buat dia sendiri. Makanya dia mau ketika diajak bikin film (Penyeberangan) itu. Ya untuk cari uang. Dia anak paling tua di keluarganya. Ibunya hanya tinggal sendiri dengan dua adiknya yang masih harus dibantu sekolahnya,” imbuh Thea. Gatut belajar perfilman secara otodidak. Selain membaca buku, dia rajin berdiskusi dengan Nyak Abbas Akup, tokoh perfilman nasional yang malang melintang sejak 1952 bersama Perfini. “(Gatut, red .) Juga belajar dari Nyak Abbas yang senang dengan karakternya Pak Gatut. Makanya mereka bisa dekat,” lanjut Thea, yang diperistri Gatut pada Oktober 1969 meski telah kenal sejak di Malang. Thea Susetia Kusumo, istri mendiang Gatut Kusumo Hadi (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Pada 1964, Gatut memulai debutnya di perfilman. Debut itu berangkat dari keinginan rekan-rekan Gatut di TRIP yang ingin mendokumentasikan perjuangan mereka dengan sebuah film. Lantaran Gatut yang paling rajin menulis, dia dipercaya menulis script dan menyutradarai film itu. Film itu akhirnya rampung dan dirilis tahun 1966. “Judulnya Penyeberangan . Itu lho , kisah pasukan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) dengan Meriam Blorok-nya. Toh dia kan juga pelakunya sendiri,” tutur Thea . Gatut, yang juga menjadi pendiri Akademi Seni Rupa (Aksera), kemudian dipercaya menjadi penulis naskah serial Aku Cinta Indonesia (1985) sebanyak 15 episode. Pada 1990, Pemda Jawa Timur mempercayakan Gatut menggarap film Soerabaia 45: Merdeka ataoe Mati!. Dia berperan sebagai penulis naskah sekaligus sutradara meski di credit filmnya nama Gatut dituliskan sebagai asisten sutradara –sutradara resminya disandang Imam Tantowi. Soerabaia 45: Merdeka ataoe Mati! menjadi prestasi tertinggi Gatut dalam dunia perfilman. Hingga kini, film tersebut masih jadi satu-satunya film yang menggambarkan Pertempuran Surabaya, akhir Oktober-10 November 1945. Sosialis Sejati Sampai Mati Selain menggandrungi film dan seni, dalam politik Gatut mengagumi ideologi sosialisme. Benih kekagumannya pada pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI) Sutan Sjahrir, kata Thea, sudah mulai tumbuh sejak masih bergerilya di Jawa Timur. “Orang-orang terdekatnya bilang Pak Gatut seorang sosialis sejati. Dia fanatik sekali sama Sjahrir. Pikirannya selaras, bahwa musuhnya sosialisme kan feodalisme. Tapi bagaimanapun orang Jawa ada feodalnya. Itu yang ingin dia kikis, bahwa semua orang itu derajatnya sama. Feodalisme membiarkan orang-orang yang di atas berbuat semaunya. Itu yang enggak bisa ditolelir Pak Gatut,” kata Thea. Pasca-keluar dari UI, Gatut bergabung menjadi kader seksi pemuda PSI. Di konferensi 27 November 1954, dia terpilih jadi Ketua Gerakan Pemuda Sosialis (GPS). “Konferensi (seksi pemuda PSI) berkeputusan bulat meleburkan seluruh organisasi pemuda sosialis di Indonesia dalam satu wadah bernama GPS dengan dipimpin Gatut Kusumohadi dan Suwandi Citut,” tulis Suratkabar Pedoman , 30 November 1954. “Dia menjadi ketua umum (GPS) sedari awal sampai dia meninggal (1996). Walau kemudian PSI dilarang (sejak 17 Agustus 1960), tapi kan pertemuan-pertemuan sayap-sayap partainya masih ada. Karena PSI dilibas Bung Karno dan kemudian Pak Harto enggak pernah ada pemilihan (Ketum GPS) lagi, maka jabatannya tak pernah digantikan orang lain,” sambung Thea. Di era Orde Baru (Orba), Gatut lebih sering memberi ceramah politik ke kampus-kampus. Pada 15 Januari 1974, Gatut berada di Jakarta. Dia lalu pulang ke Surabaya menggunakan kereta malam, tiba di Surabaya pada 16 Januari pagi. Setelah menemui istrinya di rumahnya, Jalan Pucang Anom Timur I Nomor 19, Gatut langsung menjenguk ibunya di Jalan WR Supratman. Saat itulah beberapa tentara menjemputnya dan menahannya di rumah tahanan Kodam VIII/Brawijaya (kini Kodam V/Brawijaya). Pemerintah Orba gerah dengan oposisi para eks-PSI yang kerap mengkiritik korupsi para pejabat. Asisten pribadi presiden, Ali Murtopo, menunjuk hidung para bekas PSI sebagai dalang Malari. Kisah tentang penahanan Gatut diabadikan Thea dalam memoarnya, “Jalan yang Kulalui”. Thea antara lain melukiskan bagaimana kesulitan menemui suaminya di dalam penjara di Surabaya. Konferensi GPS di Waled, Cirebon, 10-16 Maret 1956 di mana Gatut Kusumo merupakan ketuanya (Foto: Repro “Suara Sosialis”, Maret 1958) “Aku hanya boleh menjenguknya sekali seminggu, setiap Kamis. Oleh karenanya aku selalu minta izin IKIP (kini Unesa) untuk tidak masuk setiap Kamis. Dia ditahan bersama 40 orang lainnya, baik orang-orang Marhaenis maupun para bekas PKI (Partai Komunis Indonesia),” ujar Thea dalam memoarnya. Gatut dibebaskan pada medio September karena militer ternyata tak menemukan indikasi keterlibatan Gatut dalam provokasi Peristiwa Malari. Satu faktor lain yang ikut membuat Gatut bebas adalah, campurtangan Dar Mortir, perempuan-veteran yang dihormati para perwira tinggi TNI di Jawa Timur. “Bu Dar Mortir pejuang wanita yang paling dikenal di Surabaya. Pak Gatut sendiri masih keponakannya Bu Dar Mortir, tapi sudah dianggap seperti adik kandungnya. Makanya sama perwira-perwira yang menahannya, Bu Dar Mortir bilang: ‘Kapan adikku dibebaskan!’,” tutur Thea. Setelah bebas, Gatut menyibukkan diri dengan aktif berkesenian di Dewan Kesenian Surabaya dan sesekali masih aktif di perfilman. Pada 19 Juni 1996, Gatut menghembuskan nafas terakhir setelah jatuh sakit komplikasi stroke dan pendarahan otak. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sepuluh November Surabaya.
- Mula Tim Garuda
PERJUANGAN Timnas Indonesia (senior) bakal kian berat. Setelah keok 0-1 dari Singapura di laga perdana di Grup B Piala AFF 2018 dan menang 3-1 kontra Timor Leste, tim besutan Bima Sakti Tukiman itu akan menantang juara bertahan Thailand, Sabtu (17/11/2018) di Stadion Rajamangala, Bangkok. Timnas Garuda dan Tim Gajah Putih terakhir bentrok di laga puncak Piala AFF 2016. Kala itu Indonesia kalah agregat 3-2 sehingga untuk kelima kalinya harus puas jadi finalis sejak perhelatan sepakbola se-Asia Tenggara itu dimulai 1996 dengan nama Piala Tiger . Kelahiran Tim Garuda Lalu, kapan dan bagaimana sebenarnya julukan Tim Garuda –yang ditujukan bukan hanya untuk timnas senior tapi juga timnas junior hingga timnas futsal– muncul? Julukan Tim Garuda pertamakali diberikan John Halmahera lewat tulisannya yang berjudul “Garuda, Layakkah Jadi Harapan PSSI?”, dimuat dalam Rekaman Peristiwa ’84 terbitan Sinar Harapan . Penyandang pertama julukan Tim Garuda adalah timnas junior PSSI era 1983. Tim ini terbentuk dari hasil Invitasi Sepakbola Junior di Yogyakarta, 20-30 Oktober 1981. Pembentukan Timnas Junior itu digarap PSSI sebagai pembinaan pelatnas jangka panjang. Seleksi lanjutan jelang Piala Asia 1984 di Singapura beberapa kali dilakukan. “Sampai di (kualifikasi) Piala Asia VIII itu, pemain yang masih bertahan hasil invitasi 1981 itu adalah Marzuki, Satya Permana, Anjar Rachmulyono, Abdul Khamid, M Sofie, Agus Waluyo, Sain Irmis dan kapten Aji Ridwan Mas,” tulis John Halmahera. Dari hasil invitasi 1981 itu pula PSSI menggelar proyek tim junior pada 25 April 1983 bernama Proyek PSSI Garuda yang diketuai Sigit Harjoyudanto. Di tahun itu juga PSSI menyewa pelatih asal Brasil João Lacerda Silho, yang acap disapa Barbatana, untuk mempersiapkan 18 pemain Tim Garuda di Kualifikasi Piala Asia 1984, Piala Raja 1984, dan SEA Games 1985. Barbatana mengambilalih kepelatihan setelah sebelumnya tim ini diasuh Yuswardi dan kemudian Eddy Sofyan, di mana keduanya tak memberi perkembangan signifikan. Pelatih Brasil, Barbatana (kedua dari kanan) mengasuh Tim PSSI Garuda sejak 1983 (Foto: Repro "Rekaman Peristiwa '84") Para pemain muda potensial itu diasuh ala Brasil dengan penyesuaian terhadap kondisi fisik, karakter, dan postur para pemain. “Pertengahan Maret 1984 tambahan tenaga dari Brasil datang lagi. Pelatih fisik Ridenio Borgez dikontrak. Lengkaplah sudah duet pelatih asal Brasilia,” tambah John Halmahera. Tim Garuda bakal menjalani latihan di Brasil. Sebelum berangkat, pada Mei 1984 mereka lebih dulu menjalani latihan fisik lebih keras di Pusat Pendidikan Polisi Militer (Pusdik POM) Cimahi. Di markas yang dikomandani Kolonel IGK Manila itu para pemain digojlok ala militer, bahkan sampai digunduli dan diberi seragam militer, selama sebulan. “Pokoknya dalam waktu satu bulan, saya benar-benar menganggap seluruh pemain adalah prajurit pendidikan. Tidak ada keistimewaan,” cetus Manila, dikutip Hardy Hermawan dan Edy Budiyarso dalam biografi IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara . Hukuman kurungan juga disiapkan jika ada pemain yang tak disiplin. Segala aspek pelatihan fisik, mental, dan kedisiplinan digeber ala tentara dari jam 6 pagi sampai jam 6 petang. Tidak hanya merayap di bawah kawat berduri dan lari lintas alam, mereka juga diajarkan keterampilan senjata dan menembak. “Itu juga untuk meningkatkan kewaspadaan dan lebih meningkatkan kedisiplinan. Kalau tidak (disiplin dan waspada), bisa ngejedor sendiri ke mukanya,” ujar Manila. Setiap Minggu, Manila menggojlok mereka dengan lari jarak jauh, bisa sampai 40 km. “Tapi toh mereka semangat juga karena setiap berlari selalu ada regu Kowad yang menyertai,” tulis Hardy dan Edi. Tim PSSI Garuda ditempa fisik, mental dan kedisiplinan di Pusdok POM Cimahi (Foto: Repro "Rekaman Peristiwa '84") Setelah sebulan di Cimahi, Tim Garuda berangkat ke Negeri Samba. Beragam pelatihan ala Brasil mereka lahap. “Sampai-sampai senam pemanasan pub bergaya Brasilia,” singkap salah satu pemain, dikutip John Halmahera. Sepulangnya dari Brasil, Tim Garuda menghadapi jadwal padat berbagai turnamen. Walau gagal membawa pulang prestasi tertinggi, pencapaian Tim Garuda hasil penggojlokan di Cimahi dan Brasil lumayan terlihat. Di Piala Raja 1984, Tim Garuda jadi runner-up setelah kalah 0-3 dari Thailand. Sayangnya, mereka juga kandas di kualifikasi Piala Asia 1984 Grup 1 dan gagal ke putaran final. Sementara, di SEA Games 1985 Tim Garuda hanya sanggup mencapai semifinal pasca-kalah 0-7 dari Thailand. Setelah serangakaian kegagalan itu, Tim Garuda I dibongkar. PSSI membentuk lagi Tim Garuda II pada 1987 untuk dibina jangka panjang jelang SEA Games 1987 dan 1991. Di kedua pesta olahraga se-Asia Tenggara itu, Indonesia merebut emas cabang sepakbola. Sejak saat itu, julukan Tim Garuda selalu lekat dengan timnas Indonesia. Di manapun timnas main, tak peduli senior, junior, atau timnas putri, media massa selalu memberitakan dengan sebutan Tim Garuda.
- Nyai yang Berbahagia
BEGITU menerima gaji pertamanya, Kopral KNIL Piet Scholte amat senang. Dia buru-buru pulang untuk menyerahkan gajinya kepada Djemini istrinya. Setibanya di rumah, Piet mendapati Djemini sedang duduk-duduk. Sambil malu-malu, Piet lalu menaruh uang gajinya di pangkuan Djemini. “Uang ini harus saya apakan?” tanya Djemini. “Untukmu dan untuk belanja keperluan sehari-hari. Saya hanya butuh sebelas sen untuk beli tembakau dan kertasnya,” jawab Piet sambil menahan tawa. Kehidupan harmonis keluarga Piet-Djemini merupakan anomali di masa kolonial yang sarat diskriminasi rasial. Di tengah jamaknya perlakuan buruk dan sewenang-wenang pria kulit putih pada gundik mereka, Piet justru menganggap dan memperlakukan Djemini murni sebagai istri. Sejak awal menjalin hubungan, Piet tak pernah menganggap Djemini gundik, yang tugasnya semata sebagai teman tidur. Rasa cinta dan hormat itu membuat Piet rela melindungi Djemini. Ketika Djemini tertipu oleh lintah darat sehingga berutang 1000 gulden, Piet bahkan ingin menyelesaikan masalah utang-piutang itu bersama sambil mengingatkan agar Djemini tak melakukan kesalahan serupa di kemudian hari. Keberanian untuk memperjuangkan cinta di tengah stigma miring kolonial terhadap perempuan pribumi juga dilakukan oleh penulis Willem Walraven. Walraven memutuskan menikahi gundiknya, Itih. Kepada rekan-rekannya, Itih dia perkenalkan sebagai istri. Dia tak peduli mayoritas pria Belanda di Hindia kala itu pilih menyembunyikan gundik mereka karena merasa malu. Sama seperti Scholte, pernikahan Walraven dan Itih dijalani dengan rasa hormat, penghargaan, dan kesetaraan. Para lelaki Belanda yang berani menikahi pasangan pribumi ini termasuk orang-orang berani di masa itu. “Mereka menantang puncak hipokrisi kolonial bahwa seorang laki-laki Eropa boleh memanfaatkan perempuan pribumi untuk sementara namun tak boleh menjalin hubungan kekal dengannya,” tulis Reggie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Bealnda . Ekses dari hubungan harmonis itu menjadi jalan baru bagi perempuan pribumi untuk berkembang dan belajar. Lewat pasangan kulit putihnya, perempuan pribumi mempelajari bahasa Belanda, sedikit pengetahuan Barat, dan memperoleh status tinggi, mirip tokoh Nyai Ontosoroh dalam novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Beberapa gundik cukup beruntung karena selain menjalin hubungan harmonis dengan tuannya, juga menjadi makmur berkat koneksi yang dimiliki. Hal itu dialami antara lain oleh Davida Elizabeth Augustijns, perempuan-budak yang bernasib baik. Beberapa tahun menjadi budak Agustijns Michiels, Davida kemudian dibatis menjadi orang Kristen dan dibebaskan dari status budak oleh Michiels dan istrinya. Ketika istri Michiels meninggal, Davida menjadi gundik Michiels. Perlahan, keduanya jatuh hati dan Davida akhirnya diperistri Michiels. Keberuntungan Davida juga dialami Anjelina Catharina Velntijn. Anjelina dilahirkan sebagai seorang budak bernama Anjelina van Batavia. Nasib mujur berpihak padanya ketika seorang Belanda bernama Margaretha Catharina Wargarden mengadopsinya. Dia pun dibaptis sebagai orang Kristen dan menjalani hidup sebagai orang Eropa. Anjelina kemudian menjalin hubungan dengan pemilik perkebunan Citrap bernama Johan Samuel Heinrich Wustenberg. Ketika Wustenberg meninggal, Anjelina mengambil-alih perkebunan itu. Dia lalu menikah lagi dengan lelaki Eropa kaya hingga akhirnya memiliki posisi tinggi di masyarakat kolonial. “Pembaptisan, emansipasi, dan pernikahan dengan orang-orang kaya Eropa membuat Anjelina menjadi perempuan berpengaruh di pemukiman kolonial Batava,” tulis Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia.
- Menggali Peninggalan Kerajaan Sunda Kuno
TAK banyak peninggalan arkeologis dari masa Kerajaan Sunda Kuno yang bisa disaksikan. Padahal, kerajaan ini diperkirakan telah berkembang sejak abad ke-7 hingga abad ke-16 seiring kejatuhan Kerajaan Tarumanegara pada abad ke-7 M. “Sedikit data yang ditinggalkan oleh Kerajaan Sunda sebelum abad ke-13 M,” tulis Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, dalam Siliwangi, Sejarah, dan Budaya Sunda Kuno. Dalam Tatar Sunda Masa Silam, Agus menyebut peninggalan berupa monumen atau bangunan belum dapat diketahui dengan lebih baik. Di Jawa bagian barat memang dijumpai banyak struktur atau monumen kuno. Namun, bangunan-bangun itu selalu dihubungkan dengan zaman yang lebih tua sebelum Kerajaan Sunda. Contohnya, sejumlah peninggalan di Batu Jaya dan Segaran, Karawang Utara. Peninggalan itu cenderung dikaitkan dengan masa akhir Kerajaan Tarumanegara (abad ke-6 M). Adapun Candi Cangkuang di Garut dipandang sebagai sisa bangunan candi tertua yang bernapaskan Hindu-Siwa. Ia lebih terkait dengan masa Kerajaan Galuh Kuno, yaitu abad ke-7-8 M, atau masa Sanjaya. Sementara temuan sisa bangunan kuno di daerah Bojong Menje, Bandung hingga kini masih memunculkan tafsiran yang berbeda. Khususnya soal sejak kapan sisa kaki candi itu berasal. Ada yang memperkirakan sisa candi itu dibangun pada abad ke-5-6 M. Ada juga yang menempatkannya dari abad ke-7 M. Namun, para ahli sepakat, candi itu berkaitan dengan Kerajaan Tarumanegara. Lalu pertanyaannya, apakah Kerajaan Sunda Kuno yang cukup lama berkembang itu sama sekali tak memberi jejak bangunan? Pasca runtuhnya Kerajaan Tarumanegara, di Jawa Barat berdiri dua kerajaan, yaitu Galuh dan Sunda. Kedua kerajaan itu berkembang bersama sekira abad ke-7 hingga awal abad ke-8 M. Dalam Carita Parahyangan, Sanjaya yang bertakhta di Galuh menjadi menantu dari Maharaja Trarusbawa dari Sunda. Perkawinan itu membuat wilayah Sunda kembali bersatu di bawah satu penguasa. Tak seperti masa Jawa Kuno, keberadaan bangunan suci di Kerajaan Sunda Kuno tidak terlalu banyak diuraikan dalam karya sastra. “Dalam karya sastra Jawa Kuno penyebutan bangunan suci sering dijumpai walaupun bukan deskripsi lengkap. Dalam naskah Sunda hanya sepintas saja,” lanjut Agus. Namun bukan berarti tak ada. Dalam “Bangunan Suci pada Masa Kerajaan Sunda: Data Arkeologi dan Sumber Tertulis,” yang terbit dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI , Agus Aris Munandar menyebut masyarakat Sunda Kuno sebenarnya punya tempat suci persemayaman dewa dan tanah bagi para wiku , yaitu kaum agamawan yang menarik diri dari dunia ramai. Masyarakatnya memeluk agama Hindu-Buddha sebagaimana masyarakat Jawa Kuno. Namun yang berbeda adalah sebutannya. Sumber-sumber menyebutnya kabuyutan. Ada juga permukiman kaum agamawan disebut mandala. Sedangkan sasakala konsepnya mirip bangunan pendharmaan bagi raja yang telah mangkat. Sasakala muncul dalam kitab Bujangga Manik, laporan perjalanan sang pendeta Sunda yang berkeliling Pulau Jawa pada akhir abad ke-15 M. Disebutkan di Arega Jati (gunung sejati) terdapat tempat Petirtaan Jalatunda sebagai monumen peringatan untuk Silih Wangi ( Sasakala Silih Wangi). “ Sasakala adalah tempat untuk mengenang atau memuliakan tokoh yang telah mangkat. Sementara, pada candi pendharmaan (periode Jawa Timur, red. ) raja yang telah mangkat dan dimuliakan itu dianggap sebagai dewa ( dewaraja ),” jelas Agus. Kabuyutan, menurut Agus, mengacu pada tempat atau struktur bangunan yang mungkin berbeda dengan bangunan suci pada masa Jawa Kuno. Dalam Cerita Parahyangan muncul kalimat yang berhubungan dengan kabuyutan: “Yang membuat kabuyutan-kabuyutan dari sang Rama, dari sang Resi, dari sang disri, dari sang Tarahan bagi Parahyangan.” Menurut Agus, sangat mungkin kabuyutan yang dimaksud Carita Parahyangan adalah bangunan suci atau tempat persemayaman para leluhur. Tempat suci itu juga disebut dalam naskah Amanat Galunggung. Bahkan dijelaskan betapa pentingnya kedudukan kabuyutan yang terdapat di Gunung Galunggung. “ Kabuyutan Galunggung mungkin merupakan kabuyutan utama yang disucikan masyarakat Sunda dan menjadi pusaka kerajaan,” kata Agus. Naskah Bujangga Manik memberikan petunjuk lain soal bangunan suci di wilayah Sunda Kuno. Di Gunung Gede sekarang, terdapat kabuyutan yang dipuja dan dikeramatkan seluruh penduduk Pakuan. Dari sana diperoleh petunjuk bahwa ketika Kerajaan Sunda berpusat di Pakuan pada abad ke-15 M terdapat kabuyutan yang menjadi kabuyutan kerajaan. Sumber lain adalah Prasasti Kebantenan. Dengan jelas dikatakan adanya daerah keagamaan yang diresmikan oleh Raja Sunda, Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja (1482-1521) yang berkedudukan di Pakuan. Prasasti itu berisi pesan sang raja untuk tak mengganggu gugat permukiman Jayagiri dan Sundasembawa, serta tanah dewa sasana yang ada di Gunung Samaya . Daerah itu merupakan larangan yang tak boleh ditariki pajak. Di sana tempat tinggal bagi para wiku. Bagi yang menggangu akan dibunuh. Prasasti ini menyebut daerah larangan itu kabuyutan dan kawikuan. Sementara menurut Agus, kata sasana dalam bahasa Sunda Kuno mungkin sama pengertiannya dengan kata sasana dalam bahasa Jawa Kuno. Artinya mungkin tempat duduk. Jadi, dewa sasana dalam prasasti berarti tempat persemayaman dewa. Kondisi Tak Lagi utuh Sejauh ini, telah ditemukan beberapa sisa bangunan yang bisa dikaitkan dengan Kerajaan Sunda Kuno. Sayangnya tersebar di beberapa tempat yang berjauhan dan kondisinya hanya tinggal serakan batuan andesit atau bata. Di daerah Pananjung, Pangandaran misalnya, penduduk setempat menyebut situs itu Batu Kalde. Di sana ditemukan balok-balok batu. Sebagian masih terkubur, sebagian lainnya berserak di permukaan tanah. Situs ini pernah diekskavasi Puslit Arkenas pada 1985 dan 1987. Hasilnya di sana pernah berdiri struktur bangunan. Menariknya, kemungkinan situs ini pernah pula dikunjungi oleh Bujangga Manik. Dalam laporannya dia menyebut sepulang dari Jawa Tengah dan Timur singgah di Desa Pananjung. Letaknya di sebuah tanjung yang menjorok ke laut selatan. Lalu ada lagi tinggalan di Desa Karangkamulyan, Cisaga, Ciamis yang mirip dengan peninggalan tradisi megalitik. Namun dengan temuan batu mirip lapik arca kemungkinan situs ini terkait masa sejarah, khususnya Kerajaan Sunda. “Bentuknya hampir mirip dengan bentuk lapik di Situs Batu Kalde. Lapik seperti itu dijumpai pula di dalam perwara selatan Candi Sambisari, Jawa Tengah,” kata Agus. Di daerah Kuningan, Jawa Barat juga banyak situs yang kemungkinan bisa dikaitkan dengan perkembangan Kerajaan Sunda. Di Desa Sagarahiyang, Kuningan, di atas bukit yang disebut Pasir Sanghiyang terdapat arca Nandi yang telah rusak, lingga, dan yoni. Adapun di Kawali, Ciamis terdapat kompleks makam kuno yang disebut Makam Astana Gede. Selain makam kuno, ditemukan juga serakan batu polos, pipih, panjang, bata kuno, dan lima prasasti. Dari bentuk huruf dan bahasanya, prasasti itu diperkirakan berasal dari abad ke-14 M. Bahkan disebut pula nama seorang Raja Sunda, Raja Niskala Wastukancana. Di puncak Gunung Tampomas, Sumedang, ada juga tinggalan yang serupa dengan hasil kebudayaan megalitik. Namun, di bagian teratas dari punden, kabarnya pernah ditemukan dua arca Ganesha yang kini sudah hilang. Dengan adanya arca itu tentunya tinggalan di Tampomas memungkinkan terkait masa sejarah. Apalagi ciri-ciri pundennya, yang berpagar di teras teratas, mirip dengan yang ada di Karangkamulyan. “Tinggalan arkeologis di Pananjung (Batu Kalde), di Bukit Sagarahyang, di puncak Tampomas, dan lainnya lagi termasuk pula sisa-sisa kabuyutan ,” ujar Agus. Warisan Sunda Kuno sangat berbeda dengan peradaban Jawa Kuno yang relatif lebih terlihat. Kajian peradaban Jawa Kuno, kata Agus, pemahamannya dapat lebih luas juga mendalam berkat banyaknya sumber arkeologis dan sumber tertulis yang memadai. “Kajian tentang Sunda Kuno bertumpu pada data yang terbatas juga sumber folklore yang kadang-kadang dapat membantuk juga untuk memecahkan permasalahan,” jelas Agus.
- Aksi Marinir di Minahasa
SEBAGAI seorang prajurit marinir, Ali Mutaqiem (80) masih ingat pengalaman pertamanya memasuki palagan di Sulawesi Utara. Tepatnya pagi 15 Juni 1958, bersama ribuan prajurit Korps Komando Angkatan Laut (KKo AL, sekarang Korps Marinir) dan unsur-unsur AD (Angkatan Darat) , dia mendarat di Pelabuhan Kema (sekira 30 km sebelah timur Manado). “Sebelumnya kapal-kapal kami ditembaki dari daratan oleh senjata-senjata berat modern yang belum kami kenal jenisnya,” kenang lelaki kelahiran Klaten, Jawa Tengah itu. Kendati sempat terhenyak oleh hamburan peluru-peluru tersebut, namun ada untungnya juga mereka ditembaki. Alih-alih membalas, para pengintai dari RI Gadjah Mada, RI Pattimura, RI Patiunus dan RI Hassanuddin justru bisa memetakan situasi medan hingga mengidentifikasi posisi senjata-senjata berat gerilyawan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). “Besoknya sarang-sarang para pemberontak itu dihabisi dengan tembakan-tembakan gencar meriam dan pesawat AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) hingga mereka panik dan melarikan diri,” ujar Ali. Kisah yang diceritakan Ali memang bukan sekadar isapan jempol semata. Setidaknya itu disaksikan sendiri oleh A.E. Sinolungan. Menurut penduduk Desa Papakelan (salah satu wilayah yang dekat area pertempuran), dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan kilatan dari tembakan meriam yang bersanding dengan suara gemuruh pesawat memenuhi langit Minahasa dini hari itu. “Saya melihat jelas di langit arah Kema kilatan yang disertai dentuman meriam mengguntur tak henti-hentinya, saling sambung menyambung selama puluhan menit,” ungkap Sinolungan dalam Permesta-PRRI: Mengawal Negara Proklamasi 1945 Berdasarkan Pancasila . Mengincar Manado Ketika beberapa wilayah di Sulawesi Utara jatuh ke tangan gerilyawan Permesta pada April 1958, Letnan Kolonel Rukminto Hendraningrat (Komandan Operasi Militer Angkatan Perang Republik Indonesia untuk Sulawesi Utara) menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk melemahkan para pemberontak adalah dengan menguasai Manado. Hal ini perlu dilakukan mengingat posisi Manado sebagai pusat perlawanan Permesta. Setelah mengirim tim pengintai dari KKo AL dan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) ke pantai utara Manado pada 13 Juni 1958, dua hari kemudian satu kekuatan pasukan KKo AL mengirimkan gugus tugasnya yang terdiri dari AT 7 (Tim Amphibious Task 7) pimpinan Kolonel R. Soehardi, ATF (Amphibious Task Force) pimpinan Letnan Kolonel (Laut) John Lie dan Batalyon Pendarat pimpinan Mayor KKo Indro Soebagio. “KKo AL ditugaskan untuk merebut Kema, Bitung, Kauditan, Lelang dan Manado,” demikian menurut buku Korps Komando AL: Dari Tahun ke Tahun yang ditulis oleh Bagian Sedjarah KKo AL pada 1971. Karena gerilyawan Permesta yang menjaga Kema sudah terlanjur mundur ke arah Kauditan, maka pasukan KKo AL secara mudah dapat menguasai kota pelabuhan tersebut. Selanjutnya untuk mengejar pihak musuh, pada hari itu juga Kompi B di bawah pimpinan Kapten KKo S.Jetro bergerak ke Kauditan. Di wilayah inilah, Kompi B mendapat perlawanan keras dari para gerilyawan Permesta yang langsung dipimpin oleh salah satu pejabat militer mereka yakni H.Ventje Sumual. Rupanya pihak permesta sangat mafhum bahwa jika KKo AL dibiarkan menguasai Kauditan maka itu hanya akan memuluskan gerakan mereka menuju Bitung dan Manado. Pertempuran pun berlangsung secara hebat. Beberapa kali terjadi duel mortir yang seru di kedua pihak yang berakhir dengan terlukanya Sumual. Mengetahui pimpinannya lumpuh, pasukan Permesta menghindar ke arah Bitung sejak jam 12.00. Usai Kauditan jatuh, wilayah itu diserahkan oleh Kompi B kepada Kompi C pimpinan Kapten KKo R.Soenarto. Kapten Soenarto sendiri bersama Kompi A pimpinan Kapten Gandhi Poerno kembali bergerak memburu para gerilyawan Permesta ke Bitung. Masih segar dalam kenangan Ali Mutaqiem, KKo AL melangkah menuju Bitung dalam suasana yang mencekam. Menurut Ali Mutaqim, sepanjang jalan mereka harus terus siap siaga dari incaran penembak runduk Permesta dan berbagai jebakan maut mereka. “Waktu serasa panjang dan begitu melelahkan,” kenang prajurit marinir yang mengajukan pensiun dini pada 1972 itu. Sesampai Bitung pada 17 Juni 1958, situasi sangatlah sepi. Alih-alih menemukan perlawanan, seluruh aktifitas di kota itu nyaris lumpuh. Rupanya tembakan-tembakan pendahuluan yang dilakukan dari atas kapal PR 208, PR 209 dan PR 210 menyebabkan nyali musuh menjadi ciut lalu melarikan diri sebelum bertemu pasukan KKo AL. Bitung pun dikuasai tanpa sebutir peluru pun keluar. Manado Jatuh Gerakan berikutnya pasukan KKo AL adalah merebut Airmadidi. Itu dilakukan pada 25 Juni 1958. Rombongan pasukan bergerak dalam lindungan pesawat tempur AURI dan tembakan Mo.81 KKo AL. Namun saat mencapai Kolongan Maumbi, tetiba serangan dilakukan para gerilyawan Permesta dan sempat membuat terhenyak para prajurit KKo AL. Setelah melalui pertempuran seru, pada pukul 12.00 kampung tersebut dapat dikuasai secara maksimal. Sejam kemudian KKo AL mendapat perintah untuk menguasai Kairagi. Belum mencapai gerbang desa, pasukan sudah dihujani peluru dan tembakan mortir. Perlawanan di sini lebih kuat karena para gerilyawan Permesta telah mempersiapkan bunker-bunker serta pertahanan permanen. Di sekitar bukit-bukit yang mengelilingi Kairagi, telah ditempatkan senjata-senjata otomatis dan panser-panser wagon. Praktis pasukan KKo AL hanya bisa bertahan di sebelah timur jembatan Kairagi dan harus rela mendapat siraman peluru yang terus berdesingan seolah tanpa mengenal kata henti. Untunglah berkat bantuan pesawat tempur dari AURI dan perubahan taktik pertempuran, setelah lebih empat jam, perlawanan di Kairagi dapat dilumpuhkan. “Pasukan Permesta pimpinan Mayor John Ottay langsung kalangkabut dan menarik diri ke arah Lapangan Udara Mapanget,” tulis Mayor (L) Junaedi, Mayor (L) Moegiyono dan Sersan Satu Marinir M. Syafirudin dalam 60 Tahun Pengabdian Korps Marinir . Tak mau memberikan nafas kepada para gerilyawan, hari itu juga pasukan KKo AL bergerak cepat ke Manado. Entah karena nafas perlawanan pasukan Permesta sudah putus atau tengah mencoba taktik baru, tanpa dinyana, Manado sebagai pusat perlawanan ternyata ditinggalkan begitu saja oleh pihak gerilyawan. Maka pada 26 Juni 1958, tuntaslah misi KKo AL untuk menguasai Manado. “Di sinilah kami baru bisa merayakan kemenangan dengan bakar ikan dan bakar kambing, “kenang Ali, yang terakhir pensiun sebagai kopral. Sesudah Manado jatuh, Permesta menjalankan gerilya di front perbukitan sekitar Pineleng-Warembungan, sebelah selatan Manado.
- Di Balik Sketsa Wajah Diponegoro
CORETAN di kanvas itu memuat sesosok pria bersorban. Sebilah keris terselip dengan gagah di bagian depan tubuhnya. Siapakah gerangan dia? “Ini adalah lukisan Diponegoro yang sangat hidup sekali,” ujar Peter Carey, sang pemandu dalam pameran pendahuluan “Kamar Diponegoro” di Museum Sejarah Jakarta, Kota Tua, Jakarta Pusat, 12 November 2018. Carey paham betul seluk-beluk lukisan itu. Sejarawan asal Inggris tersebut menulis tiga jilid biografi Diponegoro berjudul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 . Di balik lukisan potret diri Diponegoro yang terkenal itu adalah Adrianus Johannes Jan Bik. Dia lahir di Dunkirk, Prancis, 13 Januari 1790. Bik merintis kariernya di bidang seni sebagai pelukis piring porselen. Pada 1821, Bik merantau ke Hindia, negeri koloni kerajaan Belanda. Bersama adiknya, Jannus Theodorus, Bik merupakan seniman yang paling terdidik di Hindia Belanda. Ketika bertugas di Batavia, Bik menjabat sebagai hakim kota. Pada saat yang sama, Pangeran Diponegoro ditahan di Batavia setelah berhasil ditangkap secara licik di Magelang. Bik-lah yang mengawasi Diponegoro selama mendekam di Balai Kota ( Stadhuis ) antara 8 April sampai 3 Mei 1830. Menurut Peter Carey, di sela-sela masa penahanan, Bik minta izin untuk melukis Diponegoro. Sketsa itu dibuat di kamar penahanan Diponegoro tak lama sebelum Diponegoro berangkat menuju Sulawesi . Mahir sebagai pelukis porselen, Bik terlatih untuk menggarap objek seninya secara cepat dan efektif. “Bik adalah seorang seniman yang matang sebagai pelukis porselen. Jadi dia bisa kerja dengan sangat kilat untuk menangkap kepribadian Diponegoro,” tutur Carey. Mata uang Rp1.000 bergambar Pangeran Diponegoro tahun 1975 Yang menarik, Bik melukiskan Diponegoro dengan detail berikut ciri keagungan sang pangeran. Lukisan Bik mencitrakan Diponegoro sebagai ulama sekaligus panglima perang. Padahal, Diponegoro kala itu berstatus tahanan politik kelas kakap. Dalam lukisan, Diponegoro mengenakan pakaian ratu adil sebagai seorang pemimpin perang sabil. Kepalanya yang bersorban putih tampak seperti baru saja cukur rambut. Di jidatnya terdapat paras nabi (titik hitam). Pipinya terlihat cekung sebab Diponegoro dalam pemulihan penyakit malaria tropis. Bik sendiri tetap berkiprah sebagai hakim hingga 1839. Dia kemudian menekuni bisnis perkebunan tebu dan menjadi kaya raya. Pada 1847, Bik kembali ke Belanda dan menetap di Amsterdam. Setelah Bik meninggal pada 1872, lukisan Diponegoro dihibahkan oleh keponakannya ke Rijkmuseum, Belanda. Karya Bik ini menjadi salah satu lukisan Diponegoro yang paling populer di samping “Penangkapan Diponegoro” karya Raden Saleh. Pemerintah Republik Indonesia kemudian mengadaptasi potret Diponegoro karya Bik untuk dijadikan gambar mata uang rupiah. Seri pertama dicetak tahun 1952 untuk pecahan Rp100. Seri kedua dicetak tahun 1975 untuk pecahan Rp1000.*
- Xiaojing, Arab Pegon Ala Cina
TIDAK hanya pokok pemikirannya yang seirama dengan Islam Nusantara, Islam Konghucu ( Huiru ) sebagai terminologi khusus Islam berkarakteristik Cina juga mengantongi kemiripan dalam hal aksara yang dipakai buat menyebarkan ajarannya. Buktinya, jika Islam Nusantara mempunyai Pegon dan Jawi, Islam Konghucu memiliki Xiaoerjin. Ya, ketiganya sama-sama abjad Arab dan/atau Persia dengan tambahan huruf dan/atau diakritik tertentu yang digunakan untuk menuliskan bahasa masyarakat setempat. Xiaoerjin, dalam hal ini, dipakai sebagai media transliterasi bahasa resmi Cina dan dialek-dialek yang dituturkan penganut-penganut Islam di sana –suku Hui, terutama.
- Yang Terlupa dalam Surabaya 45
RATUSAN pelajar bersenjatakan rupa-rupa senjata sederhana menghadang ofensif pasukan Inggris di sekitar Tugu Pahlawan, Surabaya pada Minggu (11/11/18) pagi. Satu per satu dari mereka lalu bertumbangan oleh tembakan lawan. Pertempuran antara para pejuang Indonesia melawan pasukan Inggris itu bukan pertempuran Surabaya 10 November 1945 tapi aksi teatrikal untuk mengenang pertempuran tersebut. Aksi yang diikuti ratusan reenactor (pereka ulang sejarah) se-Indonesia dan elemen TNI itu membuka Parade Surabaya Juang, event tahunan yang dihelat Pemerintah Kota Surabaya untuk mengenang Hari Pahlawan. Pelibatan para pelajar dalam aksi teatrikal itu dimaksudkan untuk mengenalkan mereka pada heroisme para pejuang 10 November yang banyak terdiri dari pelajar. “Mereka masuk ke BKR Kota Surabaya pimpinan Soengkono sebagai pasukan BKR Pelajar. Terbagi dalam empat staf. Staf I berjumlah 200 pelajar, Staf II 300, Staf III 1200 dan Staf IV 80 pelajar,” ujar peneliti sejarah Surabaya dan founder komunitas Roode Brug Soerabaia Ady Setyawan kepada Historia. “Mereka telah berjuang menjaga kemerdekaan Republik Indonesia. Mari kita melanjutkan perjuangan mereka dengan memerangi kemiskinan dan kebodohan. Mari kita berikan yang terbaik untuk anak-anak kita, pendidikan terbaik agar bisa sejajar dengan anak-anak muda di dunia. Jangan kenal putus asa dan pantang menyerah seperti yang dicontohkan mereka (para pelajar pejuang),” kata Walikota Tri Rismaharini. Pertempuran 10 November dalam Layar Lebar Media pengingat Pertempuran 10 November 1945 sejatinya bukan hanya aksi teatrikal. Bagi generasi 1990-an, ada film Soerabaia 45: Merdeka ataoe Mati! (selanjutnya disebut Soerabaia 45 ). Film ini digarap tokoh yang terlibat dalam Pertempuran 10 November 1945 sebagai anggota BKR Pelajar Darmo 49 (Staf I pimpinan Mas Isman), Gatut Kusumo Hadi. Gatut Kusumo Hadi, eks Tentara Pelajar cum sineas yang berperan di belakang layar film Soerabaia 45 (Foto: Koleksi Keluarga) Filmnya sendiri berangkat dari keinginan Pemda Tingkat I Jawa Timur (kini Pemerintah Provinsi Jawa Timur) untuk memperkuat identitas Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan, di mana tiap 10 November diperingati secara nasional. Awalnya, Pemda menunjuk Imam Tantowi sebagai sutradara. Namun pada rapat awal produksi di mana Gatut Kusumo turut diundang, diputuskan naskahnya menggunakan memoar milik Gatut yang bertajuk “100 Hari di Surabaya” dan buku Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia karya Roeslan Abdulgani. Imam Tantowi yang sudah dikenal secara nasional dicantumkan sebagai sutradara, setelah Gatut memintanya tetap berperan atas film ini, meski perannya ibarat manajer belaka. Film ini dibuat besar-besaran dengan pendanaan dari Pemda dan Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur. Film Soerabaia 45 sendiri mengisahkan konflik di Surabaya sejak dari kedatangan Sekutu hingga masa ketika pasukan republik mesti menyingkir ke luar kota setelah bertahan selama 23 hari. Berdurasi 123 menit, film yang diproduksi PH Inter Pratama Studio dan Cinema City Studio ini dirilis tahun 1990 dengan Imam Tantowi sebagai sutradara yang tercantum. “Di credit- nya, Pak Gatut Kusumo hanya dicantumkan sebagai co-director (asisten sutradara). Padahal perannya lebih seperti sutradara. Imam Tantowi ibaratnya sebagai manajer saja. Skenarionya juga yang buat Pak Gatut,” ujar Dhahana Adi Pungkas, peneliti musik dan film cum penulis Surabaya Punya Cerita , kepada Historia . Thea Susetia Kusumo, istri mendiang Gatut Kusumo Hadi (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Kalau aktor-aktor utama sudah ditentukan beberapa pihak. Tapi untuk figuran, Pak Gatut sendiri yang ambil beberapa orang, termasuk anak bungsunya, Mamas (Masadji Paramatma sebagai pemuda pejuang Amirin). Ya langsung tunjuk saja, lalu dikasih skenarionya. Pokoknya yang teringat, dia (Mamas) muncul di scene terakhir dengan dialog yang ditulis bapaknya juga: ‘Ini baru permulaan (Pertempuran 10 November). Lama kita akan mengalami ini (revolusi fisik kemerdekaan)’,” kenang Thea. Selain tayang di bioskop, film ini acap ditayangkan TVRI saban Agustus-an maupun Hari Pahlawan. Namun, kontribusi besar Gatut dalam film yang dibintangi antara lain oleh Leo Kristi (sebagai Bung Tomo), Usman Effendy (Jenderal Iwabe), Sutanto Suphiady (Dr. Mustopo), Rudy Wowor (Kapten Terzee Huis), dan Jill P. Kalaran (Soengkono) ini tak mendapat penghargaan sepadan. “Film itu ongkosnya sekitar Rp2 miliar. Tapi dia (Gatut Kusumo) ya hanya dapat berapa, sedikit sekali. Tidak sampai Rp10 juta sebagai sutradara. Orang film yang bisa kaya kan bintang filmnya,” kata Thea Susetia Kusumo, istri mendiang Gatut Kusumo, saat ditemui Historia di kediaman sederhananya di Perumahan Dosen Universitas Negeri Surabaya. Hingga kini, Soerabaia 45 dan film animasi Battle of Surabaya (2015) tercatat sebagai film yang total mengisahkan “neraka” di Surabaya. Tak heran bila Soerabaia 45 melegenda, selain karena prestasinya yang memenangkan Piala Citra 1991.
- KH Syam'un, Pahlawan Nasional dari Banten
SUARA senapan mesin Jepang terdengar dari pinggir pantai Bojong Anyer, Banten. Anggota Pembela Tanah Air (PETA) lagi menembaki sebuah kapal selam milik Sekutu. Badan kapal tak tampak. Sepenuhnya berada di dalam air. Hanya periskop kelihatan sedikit di permukaan. Kapal selam itu cepat masuk air. Tembakan dari anggota PETA pun berhenti. Seorang penembak kapal selam itu bernama KH Syam’un. Dia menjabat daidanco (komandan batalion) PETA wilayah Cilegon-Serang, Banten, sejak November 1943. Jepang punya alasan memilihnya sebagai daidanco. KH Syam’un tokoh agama berpengaruh. Hal ini terbukti pada peristiwa kemunculan kapal selam Sekutu pada 30 Juni 1945 itu. Seorang anak buah KH Syam’un menolak perintah opsir Jepang. Dia hanya mau menembak bila perintah itu berasal dari KH Syam’un. Menurutnya, KH Syam’un bukan hanya pemimpin dalam kesatuan, melainkan juga guru agamanya. Demikian catatan Mansyur Muhyidin dalam Karya Ilmiah Berdasarkan Pengalaman Anak-AnakK.H. Sjam’un seperti dikutip oleh Rahayu Permana dalam "Kiai Haji Sjam’un: Gagasan dan Perjuangannya,"tesis di Universitas Indonesia. Brigjen KH Syam’un lahir di Kampung Beji, Cilegon, Banten, pada 15 April 1883. Ibunya bernama Siti Hadjar, putri K.H. Wasid, tokoh perlawanan petani Banten terhadap pemerintah kolonial pada 1888. Ayahnya bernama H. Alwidjan yang meninggal di Sumatra ketika KH Syam’un masih kecil. Makam dan silsilahnya hingga kini belum diketahui secara jelas. KH Syam’un remaja memperoleh pendidikan di pesantren Dalingseng milik KH Sa’i pada 1901. Dia pindah ke pesantren Kamasan, asuhan KH Jasim di Serang pada 1904. Tahun berikutnya, KH Syam’un belajar ke Mekkah. Dia menghabiskan waktu lima tahun di Mekkah, lalu bergerak ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dari 1910 hingga 1915. Memperbarui Pesantren Usai memperoleh ijazah Al-Azhar, KH Syam’un kembali ke Mekkah untuk mengajar di Masjid al-Haram. Muridnya dari aneka suku bangsa. Yang terbanyak dari Jawa. Meskipun cuma setahun mengajar, di sini namanya mulai sohor sebagai “Ulama Banten yang besar." KH Syam’un pulang ke Hindia Belanda pada 1915. Menurut Rahayu, KH Syam’un meletakkan ilmu pada tingkat paling atas dalam pencapaian kehidupan manusia. Dia juga memiliki gagasan tentang hubungan ilmu pengetahuan dan masyarakat. “Bahwa pendidikan merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengatasi segala persoalan hidup,” ungkap Rahayu. Wujud gagasan KH Syam’un terlihat dari pendirian pesantren di Citangkil, Cilegon, pada 1916. Sepuluh tahun awal, materi ajarnya masih terbatas pada ilmu agama seperti tata bahasa Arab, fikih, hadits, tafsir, dan akidah. Santrinya pun hanya berjumlah puluhan. Lama-kelamaan pesantren Citangkil berkembang. Tidak hanya dari jumlah santri, melainkan juga materi ajar dan metode pembelajaran. KH Syam’un menggabungkan pola pendidikan tradisional pesantren dengan sekolah modern pada 1926. “K.H. Syam’un berusaha mengembangkan rasionalitas Islam dengan seruan kembali kepada ajaran Islam yang pokok,” tulis Abdul Malik dkk., dalam Jejak Ulama Banten Dari Syekh Yusuf Hingga Abuya Dimyati . Pada tahun ini pula, KH Syam’un bergabung dengan Nahdlatul Ulama. KH Syam’un membuat kurikulum baru dengan memasukkan mata pelajaran sekolah modern seperti matematika, ilmu alam, ilmu hayat, ilmu bumi, kosmografi, sejarah, bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan kegiatan ekstrakurikuler seperti kepanduan, kesenian, dan olahraga. Dia juga mulai menerapkan pembelajaran dalam ruang kelas secara berjenjang, sesuai tingkatan umur santri. Perubahan corak pesantren Citangkil seiring pula dengan perubahan nama pesantren menjadi Perguruan Islam Al-Khaeriyah. Cabang-cabangnya bermunculan di sejumlah wilayah Banten pada 1929. Dan pada 1936, KH Syam’un mendirikan sekolah dasar umum, Hollandsch Inlandsch School . Selain mendirikan lembaga pendidikan, KH Syam'un juga mengabadikan gagasannya lewat kitab. Dia menulis kitab tentang akidah, fikih, akhlak, dan sejarah. Publikasi karya-karya tersebut hanya terbatas pada kalangan pesantren, tapi mempunyai peran penting dalam pembentukan karakter santri-santrinya. Setelah kekuasaan pemerintah kolonial berakhir pada 1942, KH Syam’un menjadi salah satu tokoh yang didekati oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk merebut simpati rakyat Banten. Kiprah KH Syam’un di ranah pendidikan terekam oleh pemerintah pendudukan Jepang. Namanya muncul dalam buku Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa terbitan Gunseikanbu tahun 1944. Jepang mengajak KH Syam’un bergabung bersama PETA pada November 1943 sebagai daidanco atau komandan batalion. Nugroho Notosutanto dalam Tentara Peta Pada Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia mengungkapkan bahwa Jepang selalu mengincar tokoh rakyat seperti pemimpin partai, agama, kiai, dan pamong praja untuk duduk sebagai daidanco . KH Syam’un sebenarnya terpaksa menerima ajakan itu. Jepang mewanti-wanti jika KH. Syam’un menolak, perguruan Al-Khaeriyah akan ditutup. Tetapi KH Syam’un kemudian memandang keputusannya bergabung ke PETA ada gunanya juga. Dia mempelajari taktik dan strategi militer. “Bahwa pendidikan Islam sesuai dengan kemiliteran. Ini baik bagi pemuda-pemuda kita. Dan saya sering menceritakan pada mereka tentang penghidupan dan perjuangan pahlawan-pahlawan Islam,” kata KH Syam’un dalam Asia Raja No. 35, 8 Februari 2604 (1944). KH Syam’un bahkan mendorong santri-santrinya di Citangkil untuk turut ikut PETA. Keputusan KH Syam’un bergabung ke PETA tak mengurangi kadar wibawanya di Banten. Dia justru makin banyak beroleh penghormatan. Anak buahnya mematuhi perintahnya lebih dari sekadar seorang komandan, tetapi juga mematuhinya selayaknya guru dan bapak. Meredakan Kekacauan KH Syam’un menggunakan wibawa dan kecakapan militernya untuk memulihkan keadaan Banten setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Sentimen anti-pamong praja dan anti-Priangan merebak di Banten. Sebab kebanyakan pejabat yang dekat dengan pemerintah Kolonial dan Jepang berasal dari wilayah Priangan. Pembunuhan terhadap pejabat setempat kerapkali terjadi sehingga menyebabkan pejabat yang masih hidup mengungsi. Posisi Residen —sekarang setingkat gubernur— Banten pun kosong. Untuk mengisi kekosongan tersebut, perwakilan golongan masyarakat Banten (jawara, pemuda, dan wanita) menggelar pertemuan di rumah Raden Dzoelkarnaen Soeria Karta Legawa, Dewan Penasehat Karesidenan Banten, pada akhir Agustus 1945. “Pertemuan secara aklamasi memilih KH Tb. Achmad Chatib sebagai Residen Banten yang menangani pemerintahan sipil. Untuk itu, mereka mendesak Pemerintah Pusat agar segera mengangkatnya dan untuk menangani urusan militer diserahkan kepada KH. Syam’un,” tulis Suharto dalam Banten Masa Revolusi 1945—1949, disertasi di Universitas Indonesia. Pemerintah pusat menyetujui hasil pertemuan itu melalui radiogram tanggal 2 September 1945. KH Tb. Achmad Chatib mulai menyusun personalia pemerintahan daerah Banten, membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID, semacam parlemen sementara), dan menyerahkan tanggung jawab pendirian Badan Keamanan Rakyat di seluruh wilayah Banten kepada KH Syam’un. Personalia pemerintahan daerah dan KNID bentukan KH Tb. Achmad Chatib ternyata masih menggunakan orang-orang lama. Pertimbangannya adalah kemampuan mereka dalam urusan administrasi. Tetapi sekelompok orang di bawah pengaruh Tje Mamat, tokoh perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1926, tidak klop dengan pertimbangan tersebut. Tje Mamat ingin orang-orang baru duduk di pemerintahan daerah. Orang-orang yang tak punya hubungan dengan kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang. Keinginannya diwujudkan dalam bentuk Dewan Rakyat, pemerintahan tandingan, di Ciomas pada Oktober 1945. Aksi Tje Mamat ini memperumit keadaan Banten yang tengah siaga menghadapi kedatangan tentara Sekutu. Sementara itu, KH Syam’un telah berhasil menyusun struktur militer Banten. Dia memperoleh tugas dari KH Tb. Achmad Chatib untuk menghantam gerakan Tje Mamat. Dia berhasil menaklukkan gerakan Tje Mamat pada awal Januari 1946. Selesai berurusan dengan Tje Mamat, KH Syam’un menghadapi tentara NICA dan Sekutu. Dalam periode ini, dia bertindak sebagai Panglima Divisi 1000/ 1 —kelak menjadi Divisi Siliwangi— sampai Maret 1947. KH Syam’un berperan menahan infiltrasi NICA dan Sekutu ke Banten. Wafat dalam Perjuangan Ketika terjadi Agresi Militer Belanda pertama pada 21 Juli 1947, KH Syam’un menjabat bupati di Serang. Tentara Belanda berhasil memblokade wilayah Banten sehingga pasokan kebutuhan pokok dan uang Republik berkurang. KH Syam’un menyumbangkan mesin cetaknya untuk memproduksi uang khusus yang disetujui oleh pemerintah Indonesia. Agresi Militer Belanda kedua pada Desember 1948 turut menyasar kota Serang. Tentara Belanda berhasil memasuki kota ini dan menangkap beberapa pejabat. Tetapi KH Syam’un lolos dari sergapan tentara Belanda. Dia berpindah-pindah tempat untuk memimpin perlawanan terhadap tentara Belanda. Di banyak tempat dia singgah, dia bertemu dengan gerilyawan Republik dan memberi mereka semangat. KH Syam’un wafat di Gunung Cacaban Anyer pada 2 Maret 1949, tak lama setelah bertemu dengan gerilyawan. Atas peran dan jasanya kepada bangsa dan negara, KH Syam’un ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Jokowi pada 8 November 2018.
- Percampuran di Balik Tembok Rumah
WILLEM Walraven, Belanda totok yang bekerja sebagai wartawan dan penulis di Hindia Belanda, akhirnya memutuskan hidup bersama gundiknya, Nyai Itih. Keputusan itu diambilnya setelah sekian lama hidup bersama dalam hubungan tuan-gundik dan menyadari bahwa Itih satu-satunya perempuan yang dia cintai. Hubungan itu melahirkan anak yang diasuh sendiri oleh Itih. Walraven dalam surat kepada saudaranya di Belanda, Jaap, menceritakan bagaimana anak-anaknya memliki selera makan yang sama dengan Itih. Anak-anak Walraven, yang berdarah campuran (mestizo), menganggap aneh masakan Belanda. Ketika waktu makan tiba, para pelayan menyiapkan masakan Belanda untuk Walraven dan keluarga. Tapi begitu selesai makan bersama, Itih dan anak-anak makan nasi di dapur. “Dan itulah makanan sebenarnya bagi mereka,” tulis Walraven seperti dikutip Reggie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Nyai dalam hubungan pergundikan tetap memegang budaya pribuminya, seperti mengunyah sirih dan mengenakan kebaya. Kebiasaan itu nantinya diturunkan kepada anak-anak mereka yang menjadi salah satu jalur percampuran budaya Eropa dan Nusantara. Hal semacam ini direkam oleh Lord Minto dalam surat kepada istrinya. Minto menulis, di Batavia banyak lelaki Belanda yang hidup dengan perempuan pribumi dan memiliki anak gadis yang punya kebudayaan campuran. Perempuan mestizo dari keluarga kelas atas ini kelak menjadi istri dan perempuan yang punya derajat serta jabatan tinggi di Jawa yang membuat Minto merasa agak resah. Selain lewat para nyai, percampuran budaya dari dalam rumah juga terjadi lewat hubungan majikan dan pembantu rumahnya. Hal inilah yang menjadi jalur percampuran budaya meskipun si tuan menikah dengan perempuan Belanda totok. Segala urusan rumah tangga tetap bergaya campuran karena semua pelayan mereka adalah orang pribumi. Dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis karya Bernard Dorleans, disebutkan keluarga-keluarga kaya Eropa memiliki seorang koki yang dapat memasak hidangan Eropa dan Nusantara. Pada abad ke-19, muncul Rijsttafel yang menjadi masakan populer sehari-hari orang Eropa di Hindia Belanda. Percampuran budaya juga merambah gaya busana. Pelancong dari Eropa menggambarkan gaya pakaian perempuan Belanda kelas atas dipengaruhi oleh pengasuh atau ibu pribumi mereka. Para perempuan muda mengenakan kebaya dan sarung setinggi lutut ketika berada di dalam rumah. Sementara, beberapa lelaki Belanda memakai piyama batik untuk tidur. Gaya berpakaian ini menjadi bagian adaptasi terhadap iklim tropis Nusantara. Namun, para perempun itu enggan melepaskan prestise kulit putih mereka. Ketika keluar rumah mereka tetap mengenakan atribut Eropa. Beberapa perempuan kulit putih mengenakan pakaian modifikasi sebagai jalan tengah menghadapi iklim tropis dan mempertahankan atribut Eropa mereka. Sarung digunakan menggantikan rok dalam kaku ( petitecoat ), serta kebaya sebagai pengganti kemeja dalam perempuan ( chemise ). “Keanehan yang terlihat dalam masyarakat Indies adalah perempuan Eropa yang mengenakan pakaian Indonesia, berbicara bahasa Melayu, dan mengonsumsi makanan Asia. Tetapi perempuan ini menikah dengan lelaki yang menolak kebudayaan Asia untuk mandi lebih sering atau megubah cara berpakaian mereka,” tulis Jean Gerlman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia. Ketika datang ke Hindia, Inggris berusaha menghilangkan pengaruh Nusantara pada gaya hidup orang Belanda. Orang-orang Inggris menolak keras pencampuran budaya dan menganggapnya mengotori budaya murni Eropa. Mereka merasa kaget dengan perempuan yang lalu-lalang hanya mengenakan kebaya tipis. Bagi orang Inggris, para perempuan keluar rumah hanya mengenakan pakaian dalam sangat tak sopan. Akan tetapi, orang-orang Belanda yang telah menjalani kehidupan rumah tangga di Batavia sudah terbiasa dengan kebiasaan negeri tropis. Beberapa menjalin hubungan baik antara nyonya dan pelayan Jawa maupun tuan-gundik. Di dalam hubungan ini terjadi timbal-balik. Nyonya mengenalkan babu mereka akan makanan kaleng, alat jahit, dan masakan Eropa. Sementara, para babu mengenalkan pola hidup tropis dengan mandi dua kali sehari dan tidur siang. “Wanita ras campur, yang menikah dan memimpin rumah tangga imigran Belanda totok, telah memainkan peran utama dalam proses akulturasi ini sejak abad ketujuh belas,” tulis Elsbeth Locher-Scholten dalam “Orientalism And The Rhetoric Of The Family” .





















