top of page

Sejarah Indonesia

Xiaojing Arab Pegon Ala Cina

Xiaojing, Arab Pegon Ala Cina

Jika Islam Nusantara mempunyai Pegon dan Jawi, maka Islam Konghucu memiliki Xiaoerjin.

15 November 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Kitab berbahasa Arab tulisan tangan berisi pembahasan rukun iman yang di bawahnya terdapat terjemahan bahasa Cina dengan aksara Xiaojing. (blog.sina.com.cn/moosamamabin).

TIDAK hanya pokok pemikirannya yang seirama dengan Islam Nusantara, Islam Konghucu (Huiru) sebagai terminologi khusus Islam berkarakteristik Cina juga mengantongi kemiripan dalam hal aksara yang dipakai buat menyebarkan ajarannya. Buktinya, jika Islam Nusantara mempunyai Pegon dan Jawi, Islam Konghucu memiliki Xiaoerjin. Ya, ketiganya sama-sama abjad Arab dan/atau Persia dengan tambahan huruf dan/atau diakritik tertentu yang digunakan untuk menuliskan bahasa masyarakat setempat. Xiaoerjin, dalam hal ini, dipakai sebagai media transliterasi bahasa resmi Cina dan dialek-dialek yang dituturkan penganut-penganut Islam di sana –suku Hui, terutama.

Ingin membaca lebih lanjut?

Langgani historia.id untuk terus membaca postingan eksklusif ini.

Badan-Badan Otonom NU

Badan-Badan Otonom NU

Nahdlatul Ulama memiliki badan-badan otonom dalam berbagai bidang untuk menandingi gerakan organisasi-organisasi massa PKI.
Dari Gas hingga Listrik

Dari Gas hingga Listrik

NIGM adalah perusahaan besar Belanda yang melahirkan PLN dan PGN. Bersatunya perusahaan gas dan listrik tak lepas dari kerja keras Knottnerus di era Hindia Belanda.
Khotbah dari Menteng Raya

Khotbah dari Menteng Raya

Tak hanya mendatangkan suara, Duta Masjarakat juga menjadi jembatan Islam dan nasionalis sekuler. Harian Nahdlatul Ulama ini tertatih-tatih karena minim penulis dan dana.
Cerita dari Pengasingan Bung Karno di Rumah Batu Tulis

Cerita dari Pengasingan Bung Karno di Rumah Batu Tulis

Setelah terusir dari paviliun di Istana Bogor, Bung Karno melipir ke Hing Puri Bima Sakti alias Rumah Batu Tulis sebagai tahanan rumah.
Amarta Pavilion: Witness to the End of a Reign

Amarta Pavilion: Witness to the End of a Reign

This recounts the story of the pavilion designed by Sukarno, which bore silent witness to the March 11, 1966 Decree (Supersemar). It was also one of Bung Karno's three “exile” homes in his final days.
bottom of page