Hasil pencarian
9589 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Xiaojing, Arab Pegon Ala Cina
TIDAK hanya pokok pemikirannya yang seirama dengan Islam Nusantara, Islam Konghucu ( Huiru ) sebagai terminologi khusus Islam berkarakteristik Cina juga mengantongi kemiripan dalam hal aksara yang dipakai buat menyebarkan ajarannya. Buktinya, jika Islam Nusantara mempunyai Pegon dan Jawi, Islam Konghucu memiliki Xiaoerjin. Ya, ketiganya sama-sama abjad Arab dan/atau Persia dengan tambahan huruf dan/atau diakritik tertentu yang digunakan untuk menuliskan bahasa masyarakat setempat. Xiaoerjin, dalam hal ini, dipakai sebagai media transliterasi bahasa resmi Cina dan dialek-dialek yang dituturkan penganut-penganut Islam di sana –suku Hui, terutama.
- Yang Terlupa dalam Surabaya 45
RATUSAN pelajar bersenjatakan rupa-rupa senjata sederhana menghadang ofensif pasukan Inggris di sekitar Tugu Pahlawan, Surabaya pada Minggu (11/11/18) pagi. Satu per satu dari mereka lalu bertumbangan oleh tembakan lawan. Pertempuran antara para pejuang Indonesia melawan pasukan Inggris itu bukan pertempuran Surabaya 10 November 1945 tapi aksi teatrikal untuk mengenang pertempuran tersebut. Aksi yang diikuti ratusan reenactor (pereka ulang sejarah) se-Indonesia dan elemen TNI itu membuka Parade Surabaya Juang, event tahunan yang dihelat Pemerintah Kota Surabaya untuk mengenang Hari Pahlawan. Pelibatan para pelajar dalam aksi teatrikal itu dimaksudkan untuk mengenalkan mereka pada heroisme para pejuang 10 November yang banyak terdiri dari pelajar. “Mereka masuk ke BKR Kota Surabaya pimpinan Soengkono sebagai pasukan BKR Pelajar. Terbagi dalam empat staf. Staf I berjumlah 200 pelajar, Staf II 300, Staf III 1200 dan Staf IV 80 pelajar,” ujar peneliti sejarah Surabaya dan founder komunitas Roode Brug Soerabaia Ady Setyawan kepada Historia. “Mereka telah berjuang menjaga kemerdekaan Republik Indonesia. Mari kita melanjutkan perjuangan mereka dengan memerangi kemiskinan dan kebodohan. Mari kita berikan yang terbaik untuk anak-anak kita, pendidikan terbaik agar bisa sejajar dengan anak-anak muda di dunia. Jangan kenal putus asa dan pantang menyerah seperti yang dicontohkan mereka (para pelajar pejuang),” kata Walikota Tri Rismaharini. Pertempuran 10 November dalam Layar Lebar Media pengingat Pertempuran 10 November 1945 sejatinya bukan hanya aksi teatrikal. Bagi generasi 1990-an, ada film Soerabaia 45: Merdeka ataoe Mati! (selanjutnya disebut Soerabaia 45 ). Film ini digarap tokoh yang terlibat dalam Pertempuran 10 November 1945 sebagai anggota BKR Pelajar Darmo 49 (Staf I pimpinan Mas Isman), Gatut Kusumo Hadi. Gatut Kusumo Hadi, eks Tentara Pelajar cum sineas yang berperan di belakang layar film Soerabaia 45 (Foto: Koleksi Keluarga) Filmnya sendiri berangkat dari keinginan Pemda Tingkat I Jawa Timur (kini Pemerintah Provinsi Jawa Timur) untuk memperkuat identitas Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan, di mana tiap 10 November diperingati secara nasional. Awalnya, Pemda menunjuk Imam Tantowi sebagai sutradara. Namun pada rapat awal produksi di mana Gatut Kusumo turut diundang, diputuskan naskahnya menggunakan memoar milik Gatut yang bertajuk “100 Hari di Surabaya” dan buku Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia karya Roeslan Abdulgani. Imam Tantowi yang sudah dikenal secara nasional dicantumkan sebagai sutradara, setelah Gatut memintanya tetap berperan atas film ini, meski perannya ibarat manajer belaka. Film ini dibuat besar-besaran dengan pendanaan dari Pemda dan Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur. Film Soerabaia 45 sendiri mengisahkan konflik di Surabaya sejak dari kedatangan Sekutu hingga masa ketika pasukan republik mesti menyingkir ke luar kota setelah bertahan selama 23 hari. Berdurasi 123 menit, film yang diproduksi PH Inter Pratama Studio dan Cinema City Studio ini dirilis tahun 1990 dengan Imam Tantowi sebagai sutradara yang tercantum. “Di credit- nya, Pak Gatut Kusumo hanya dicantumkan sebagai co-director (asisten sutradara). Padahal perannya lebih seperti sutradara. Imam Tantowi ibaratnya sebagai manajer saja. Skenarionya juga yang buat Pak Gatut,” ujar Dhahana Adi Pungkas, peneliti musik dan film cum penulis Surabaya Punya Cerita , kepada Historia . Thea Susetia Kusumo, istri mendiang Gatut Kusumo Hadi (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Kalau aktor-aktor utama sudah ditentukan beberapa pihak. Tapi untuk figuran, Pak Gatut sendiri yang ambil beberapa orang, termasuk anak bungsunya, Mamas (Masadji Paramatma sebagai pemuda pejuang Amirin). Ya langsung tunjuk saja, lalu dikasih skenarionya. Pokoknya yang teringat, dia (Mamas) muncul di scene terakhir dengan dialog yang ditulis bapaknya juga: ‘Ini baru permulaan (Pertempuran 10 November). Lama kita akan mengalami ini (revolusi fisik kemerdekaan)’,” kenang Thea. Selain tayang di bioskop, film ini acap ditayangkan TVRI saban Agustus-an maupun Hari Pahlawan. Namun, kontribusi besar Gatut dalam film yang dibintangi antara lain oleh Leo Kristi (sebagai Bung Tomo), Usman Effendy (Jenderal Iwabe), Sutanto Suphiady (Dr. Mustopo), Rudy Wowor (Kapten Terzee Huis), dan Jill P. Kalaran (Soengkono) ini tak mendapat penghargaan sepadan. “Film itu ongkosnya sekitar Rp2 miliar. Tapi dia (Gatut Kusumo) ya hanya dapat berapa, sedikit sekali. Tidak sampai Rp10 juta sebagai sutradara. Orang film yang bisa kaya kan bintang filmnya,” kata Thea Susetia Kusumo, istri mendiang Gatut Kusumo, saat ditemui Historia di kediaman sederhananya di Perumahan Dosen Universitas Negeri Surabaya. Hingga kini, Soerabaia 45 dan film animasi Battle of Surabaya (2015) tercatat sebagai film yang total mengisahkan “neraka” di Surabaya. Tak heran bila Soerabaia 45 melegenda, selain karena prestasinya yang memenangkan Piala Citra 1991.
- KH Syam'un, Pahlawan Nasional dari Banten
SUARA senapan mesin Jepang terdengar dari pinggir pantai Bojong Anyer, Banten. Anggota Pembela Tanah Air (PETA) lagi menembaki sebuah kapal selam milik Sekutu. Badan kapal tak tampak. Sepenuhnya berada di dalam air. Hanya periskop kelihatan sedikit di permukaan. Kapal selam itu cepat masuk air. Tembakan dari anggota PETA pun berhenti. Seorang penembak kapal selam itu bernama KH Syam’un. Dia menjabat daidanco (komandan batalion) PETA wilayah Cilegon-Serang, Banten, sejak November 1943. Jepang punya alasan memilihnya sebagai daidanco. KH Syam’un tokoh agama berpengaruh. Hal ini terbukti pada peristiwa kemunculan kapal selam Sekutu pada 30 Juni 1945 itu. Seorang anak buah KH Syam’un menolak perintah opsir Jepang. Dia hanya mau menembak bila perintah itu berasal dari KH Syam’un. Menurutnya, KH Syam’un bukan hanya pemimpin dalam kesatuan, melainkan juga guru agamanya. Demikian catatan Mansyur Muhyidin dalam Karya Ilmiah Berdasarkan Pengalaman Anak-AnakK.H. Sjam’un seperti dikutip oleh Rahayu Permana dalam "Kiai Haji Sjam’un: Gagasan dan Perjuangannya,"tesis di Universitas Indonesia. Brigjen KH Syam’un lahir di Kampung Beji, Cilegon, Banten, pada 15 April 1883. Ibunya bernama Siti Hadjar, putri K.H. Wasid, tokoh perlawanan petani Banten terhadap pemerintah kolonial pada 1888. Ayahnya bernama H. Alwidjan yang meninggal di Sumatra ketika KH Syam’un masih kecil. Makam dan silsilahnya hingga kini belum diketahui secara jelas. KH Syam’un remaja memperoleh pendidikan di pesantren Dalingseng milik KH Sa’i pada 1901. Dia pindah ke pesantren Kamasan, asuhan KH Jasim di Serang pada 1904. Tahun berikutnya, KH Syam’un belajar ke Mekkah. Dia menghabiskan waktu lima tahun di Mekkah, lalu bergerak ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dari 1910 hingga 1915. Memperbarui Pesantren Usai memperoleh ijazah Al-Azhar, KH Syam’un kembali ke Mekkah untuk mengajar di Masjid al-Haram. Muridnya dari aneka suku bangsa. Yang terbanyak dari Jawa. Meskipun cuma setahun mengajar, di sini namanya mulai sohor sebagai “Ulama Banten yang besar." KH Syam’un pulang ke Hindia Belanda pada 1915. Menurut Rahayu, KH Syam’un meletakkan ilmu pada tingkat paling atas dalam pencapaian kehidupan manusia. Dia juga memiliki gagasan tentang hubungan ilmu pengetahuan dan masyarakat. “Bahwa pendidikan merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengatasi segala persoalan hidup,” ungkap Rahayu. Wujud gagasan KH Syam’un terlihat dari pendirian pesantren di Citangkil, Cilegon, pada 1916. Sepuluh tahun awal, materi ajarnya masih terbatas pada ilmu agama seperti tata bahasa Arab, fikih, hadits, tafsir, dan akidah. Santrinya pun hanya berjumlah puluhan. Lama-kelamaan pesantren Citangkil berkembang. Tidak hanya dari jumlah santri, melainkan juga materi ajar dan metode pembelajaran. KH Syam’un menggabungkan pola pendidikan tradisional pesantren dengan sekolah modern pada 1926. “K.H. Syam’un berusaha mengembangkan rasionalitas Islam dengan seruan kembali kepada ajaran Islam yang pokok,” tulis Abdul Malik dkk., dalam Jejak Ulama Banten Dari Syekh Yusuf Hingga Abuya Dimyati . Pada tahun ini pula, KH Syam’un bergabung dengan Nahdlatul Ulama. KH Syam’un membuat kurikulum baru dengan memasukkan mata pelajaran sekolah modern seperti matematika, ilmu alam, ilmu hayat, ilmu bumi, kosmografi, sejarah, bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan kegiatan ekstrakurikuler seperti kepanduan, kesenian, dan olahraga. Dia juga mulai menerapkan pembelajaran dalam ruang kelas secara berjenjang, sesuai tingkatan umur santri. Perubahan corak pesantren Citangkil seiring pula dengan perubahan nama pesantren menjadi Perguruan Islam Al-Khaeriyah. Cabang-cabangnya bermunculan di sejumlah wilayah Banten pada 1929. Dan pada 1936, KH Syam’un mendirikan sekolah dasar umum, Hollandsch Inlandsch School . Selain mendirikan lembaga pendidikan, KH Syam'un juga mengabadikan gagasannya lewat kitab. Dia menulis kitab tentang akidah, fikih, akhlak, dan sejarah. Publikasi karya-karya tersebut hanya terbatas pada kalangan pesantren, tapi mempunyai peran penting dalam pembentukan karakter santri-santrinya. Setelah kekuasaan pemerintah kolonial berakhir pada 1942, KH Syam’un menjadi salah satu tokoh yang didekati oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk merebut simpati rakyat Banten. Kiprah KH Syam’un di ranah pendidikan terekam oleh pemerintah pendudukan Jepang. Namanya muncul dalam buku Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa terbitan Gunseikanbu tahun 1944. Jepang mengajak KH Syam’un bergabung bersama PETA pada November 1943 sebagai daidanco atau komandan batalion. Nugroho Notosutanto dalam Tentara Peta Pada Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia mengungkapkan bahwa Jepang selalu mengincar tokoh rakyat seperti pemimpin partai, agama, kiai, dan pamong praja untuk duduk sebagai daidanco . KH Syam’un sebenarnya terpaksa menerima ajakan itu. Jepang mewanti-wanti jika KH. Syam’un menolak, perguruan Al-Khaeriyah akan ditutup. Tetapi KH Syam’un kemudian memandang keputusannya bergabung ke PETA ada gunanya juga. Dia mempelajari taktik dan strategi militer. “Bahwa pendidikan Islam sesuai dengan kemiliteran. Ini baik bagi pemuda-pemuda kita. Dan saya sering menceritakan pada mereka tentang penghidupan dan perjuangan pahlawan-pahlawan Islam,” kata KH Syam’un dalam Asia Raja No. 35, 8 Februari 2604 (1944). KH Syam’un bahkan mendorong santri-santrinya di Citangkil untuk turut ikut PETA. Keputusan KH Syam’un bergabung ke PETA tak mengurangi kadar wibawanya di Banten. Dia justru makin banyak beroleh penghormatan. Anak buahnya mematuhi perintahnya lebih dari sekadar seorang komandan, tetapi juga mematuhinya selayaknya guru dan bapak. Meredakan Kekacauan KH Syam’un menggunakan wibawa dan kecakapan militernya untuk memulihkan keadaan Banten setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Sentimen anti-pamong praja dan anti-Priangan merebak di Banten. Sebab kebanyakan pejabat yang dekat dengan pemerintah Kolonial dan Jepang berasal dari wilayah Priangan. Pembunuhan terhadap pejabat setempat kerapkali terjadi sehingga menyebabkan pejabat yang masih hidup mengungsi. Posisi Residen —sekarang setingkat gubernur— Banten pun kosong. Untuk mengisi kekosongan tersebut, perwakilan golongan masyarakat Banten (jawara, pemuda, dan wanita) menggelar pertemuan di rumah Raden Dzoelkarnaen Soeria Karta Legawa, Dewan Penasehat Karesidenan Banten, pada akhir Agustus 1945. “Pertemuan secara aklamasi memilih KH Tb. Achmad Chatib sebagai Residen Banten yang menangani pemerintahan sipil. Untuk itu, mereka mendesak Pemerintah Pusat agar segera mengangkatnya dan untuk menangani urusan militer diserahkan kepada KH. Syam’un,” tulis Suharto dalam Banten Masa Revolusi 1945—1949, disertasi di Universitas Indonesia. Pemerintah pusat menyetujui hasil pertemuan itu melalui radiogram tanggal 2 September 1945. KH Tb. Achmad Chatib mulai menyusun personalia pemerintahan daerah Banten, membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID, semacam parlemen sementara), dan menyerahkan tanggung jawab pendirian Badan Keamanan Rakyat di seluruh wilayah Banten kepada KH Syam’un. Personalia pemerintahan daerah dan KNID bentukan KH Tb. Achmad Chatib ternyata masih menggunakan orang-orang lama. Pertimbangannya adalah kemampuan mereka dalam urusan administrasi. Tetapi sekelompok orang di bawah pengaruh Tje Mamat, tokoh perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1926, tidak klop dengan pertimbangan tersebut. Tje Mamat ingin orang-orang baru duduk di pemerintahan daerah. Orang-orang yang tak punya hubungan dengan kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang. Keinginannya diwujudkan dalam bentuk Dewan Rakyat, pemerintahan tandingan, di Ciomas pada Oktober 1945. Aksi Tje Mamat ini memperumit keadaan Banten yang tengah siaga menghadapi kedatangan tentara Sekutu. Sementara itu, KH Syam’un telah berhasil menyusun struktur militer Banten. Dia memperoleh tugas dari KH Tb. Achmad Chatib untuk menghantam gerakan Tje Mamat. Dia berhasil menaklukkan gerakan Tje Mamat pada awal Januari 1946. Selesai berurusan dengan Tje Mamat, KH Syam’un menghadapi tentara NICA dan Sekutu. Dalam periode ini, dia bertindak sebagai Panglima Divisi 1000/ 1 —kelak menjadi Divisi Siliwangi— sampai Maret 1947. KH Syam’un berperan menahan infiltrasi NICA dan Sekutu ke Banten. Wafat dalam Perjuangan Ketika terjadi Agresi Militer Belanda pertama pada 21 Juli 1947, KH Syam’un menjabat bupati di Serang. Tentara Belanda berhasil memblokade wilayah Banten sehingga pasokan kebutuhan pokok dan uang Republik berkurang. KH Syam’un menyumbangkan mesin cetaknya untuk memproduksi uang khusus yang disetujui oleh pemerintah Indonesia. Agresi Militer Belanda kedua pada Desember 1948 turut menyasar kota Serang. Tentara Belanda berhasil memasuki kota ini dan menangkap beberapa pejabat. Tetapi KH Syam’un lolos dari sergapan tentara Belanda. Dia berpindah-pindah tempat untuk memimpin perlawanan terhadap tentara Belanda. Di banyak tempat dia singgah, dia bertemu dengan gerilyawan Republik dan memberi mereka semangat. KH Syam’un wafat di Gunung Cacaban Anyer pada 2 Maret 1949, tak lama setelah bertemu dengan gerilyawan. Atas peran dan jasanya kepada bangsa dan negara, KH Syam’un ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Jokowi pada 8 November 2018.
- Percampuran di Balik Tembok Rumah
WILLEM Walraven, Belanda totok yang bekerja sebagai wartawan dan penulis di Hindia Belanda, akhirnya memutuskan hidup bersama gundiknya, Nyai Itih. Keputusan itu diambilnya setelah sekian lama hidup bersama dalam hubungan tuan-gundik dan menyadari bahwa Itih satu-satunya perempuan yang dia cintai. Hubungan itu melahirkan anak yang diasuh sendiri oleh Itih. Walraven dalam surat kepada saudaranya di Belanda, Jaap, menceritakan bagaimana anak-anaknya memliki selera makan yang sama dengan Itih. Anak-anak Walraven, yang berdarah campuran (mestizo), menganggap aneh masakan Belanda. Ketika waktu makan tiba, para pelayan menyiapkan masakan Belanda untuk Walraven dan keluarga. Tapi begitu selesai makan bersama, Itih dan anak-anak makan nasi di dapur. “Dan itulah makanan sebenarnya bagi mereka,” tulis Walraven seperti dikutip Reggie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Nyai dalam hubungan pergundikan tetap memegang budaya pribuminya, seperti mengunyah sirih dan mengenakan kebaya. Kebiasaan itu nantinya diturunkan kepada anak-anak mereka yang menjadi salah satu jalur percampuran budaya Eropa dan Nusantara. Hal semacam ini direkam oleh Lord Minto dalam surat kepada istrinya. Minto menulis, di Batavia banyak lelaki Belanda yang hidup dengan perempuan pribumi dan memiliki anak gadis yang punya kebudayaan campuran. Perempuan mestizo dari keluarga kelas atas ini kelak menjadi istri dan perempuan yang punya derajat serta jabatan tinggi di Jawa yang membuat Minto merasa agak resah. Selain lewat para nyai, percampuran budaya dari dalam rumah juga terjadi lewat hubungan majikan dan pembantu rumahnya. Hal inilah yang menjadi jalur percampuran budaya meskipun si tuan menikah dengan perempuan Belanda totok. Segala urusan rumah tangga tetap bergaya campuran karena semua pelayan mereka adalah orang pribumi. Dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis karya Bernard Dorleans, disebutkan keluarga-keluarga kaya Eropa memiliki seorang koki yang dapat memasak hidangan Eropa dan Nusantara. Pada abad ke-19, muncul Rijsttafel yang menjadi masakan populer sehari-hari orang Eropa di Hindia Belanda. Percampuran budaya juga merambah gaya busana. Pelancong dari Eropa menggambarkan gaya pakaian perempuan Belanda kelas atas dipengaruhi oleh pengasuh atau ibu pribumi mereka. Para perempuan muda mengenakan kebaya dan sarung setinggi lutut ketika berada di dalam rumah. Sementara, beberapa lelaki Belanda memakai piyama batik untuk tidur. Gaya berpakaian ini menjadi bagian adaptasi terhadap iklim tropis Nusantara. Namun, para perempun itu enggan melepaskan prestise kulit putih mereka. Ketika keluar rumah mereka tetap mengenakan atribut Eropa. Beberapa perempuan kulit putih mengenakan pakaian modifikasi sebagai jalan tengah menghadapi iklim tropis dan mempertahankan atribut Eropa mereka. Sarung digunakan menggantikan rok dalam kaku ( petitecoat ), serta kebaya sebagai pengganti kemeja dalam perempuan ( chemise ). “Keanehan yang terlihat dalam masyarakat Indies adalah perempuan Eropa yang mengenakan pakaian Indonesia, berbicara bahasa Melayu, dan mengonsumsi makanan Asia. Tetapi perempuan ini menikah dengan lelaki yang menolak kebudayaan Asia untuk mandi lebih sering atau megubah cara berpakaian mereka,” tulis Jean Gerlman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia. Ketika datang ke Hindia, Inggris berusaha menghilangkan pengaruh Nusantara pada gaya hidup orang Belanda. Orang-orang Inggris menolak keras pencampuran budaya dan menganggapnya mengotori budaya murni Eropa. Mereka merasa kaget dengan perempuan yang lalu-lalang hanya mengenakan kebaya tipis. Bagi orang Inggris, para perempuan keluar rumah hanya mengenakan pakaian dalam sangat tak sopan. Akan tetapi, orang-orang Belanda yang telah menjalani kehidupan rumah tangga di Batavia sudah terbiasa dengan kebiasaan negeri tropis. Beberapa menjalin hubungan baik antara nyonya dan pelayan Jawa maupun tuan-gundik. Di dalam hubungan ini terjadi timbal-balik. Nyonya mengenalkan babu mereka akan makanan kaleng, alat jahit, dan masakan Eropa. Sementara, para babu mengenalkan pola hidup tropis dengan mandi dua kali sehari dan tidur siang. “Wanita ras campur, yang menikah dan memimpin rumah tangga imigran Belanda totok, telah memainkan peran utama dalam proses akulturasi ini sejak abad ketujuh belas,” tulis Elsbeth Locher-Scholten dalam “Orientalism And The Rhetoric Of The Family” .
- Lelaki Pencabut Nyawa Mallaby
Di teras rumahnya di kawasan Ampel, Kota Surabaya, Muhammad Chotib menyambut hangat kedatangan Historia . Mengenakan kaos polo dan sarung, pria paruh baya itu lalu mempersilakan masuk. Tembok ruang tamunya yang bercat biru diramaikan bingkai-bingkai foto. Sebuah lukisan menyelip di antara kumpulan foto itu. Dari sekian banyak foto di dinding itu, foto dua orang paruh baya paling menyolok. Salah satu pria dalam foto tersebut merupakan figur yang amat populer, yakni Jenderal (Purn.) Abdul Haris Nasution atau yang biasa disapa Pak Nas. “Itu saya lupa tahunnya. Ada satu kesempatan ayah saya ke Jakarta, sewaktu ingin mengurus tunjangan veterannya. Ketemu Pak Nas di rumahnya,” kata Chotib menjelaskan foto tersebut. Duduk di sofa hitam ruang tamu itu, Chotib lalu menceritakan lebih lanjut siapa ayahnya, yang ternyata turut terlibat dalam sebuah peristiwa yang berujung pada pertempuran dahsyat di Surabaya, 10 November 1945. Abah (ayah) saya H. Abdul Azis. Di daerah Ampel sini dikenalnya Haji Azis Endog karena dulu ibu saya satu-satunya yang jualan endog (telur) di Ampel. Dia pejuang tulen, enggak neko-neko orangnya. Kumpulannya saat revolusi ya bareng pentol-pentolnya (orang-orang besar) asli Surabaya, seperti Doel Arnowo, Achijat Alap-Alap, Wirontono,” ujarnya. Pertempuran 10 November dipantik oleh kematian seorang perwira tinggi Inggris, Brigadier Aubertin Walter Sothern Mallaby, pada 30 Oktober 1945 di depan Gedung Internatio. Chotib meyakini ayahnyalah yang dengan pistolnya menembuskan timah panas ke arah Mallaby hingga tewas. Kejadiannya berlangsung petang hari. Suasana di sekitar Internatio amat ricuh meski sebelumnya Presiden Sukarno, sebagaimana dilansir Kronik Revolusi Indonesia I: 1945 , sudah menyepakati penghentian tembak-menembak antara Inggris sebagai perwakilan Sekutu dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan unsur-unsur pemuda serta rakyat. Mallaby bersama rombongan Biro Kontak Indonesia serta para pemimpin Surabaya, seperti Residen Soedirman dan Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Doel Arnowo, merapat ke Internatio selepas dari Lindeteves untuk memberi penjelasan penghentian kontak senjata. Tapi ketika rombongan sudah masuk gedung, Mallaby berada di dalam mobil lantaran para pemuda Indonesia menghendaki perunding Inggris diwakili perwira muda (Kapten Shaw). Tiba-tiba, lemparan granat muncul dari dalam gedung. Suasana yang tenang sontak kembali ramai oleh letusan senjata dari luar gedung. Begitu baku tembak itu reda, sekira pukul 20.30 malam, Mallaby melihat keadaan dengan melongok dari dalam mobil. Abdul Azis yang tergabung di Pemuda Rakyat Indonesia (PRI) langsung menghampiri mobil yang ditumpangi Mallaby dan dua perwira Inggris lain lalu melepaskan tembakan. “Seorang Indonesia datang ke jendela (dekat, red .) Brigadir dengan senapan. Dia melepaskan empat tembakan ke kami bertiga,” tulis Kapten RC Smith, yang ada di mobil itu, dalam laporannya yang dikutip JGA Parrott dalam “Who Killed Brigadier Mallaby”, dimuat di Jurnal Indonesia 20 Oktober 1975. “Butuh waktu 15 detik hingga setengah menit bagi Brigadir untuk benar-benar tewas.” Muhammad Chotib, putra Abdul Azis yang mencabut nyawa Brigadier AWS Mallaby. (Randy Wirayudha/Historia) “Jadi setelah itu dia lapor ke Cak Doel Arnowo. ‘ Wes Cak. Wes tak beresno ! (Sudah cak, sudah saya bereskan!’,” tutur Chotib menirukan cerita ayahnya saat melapor ke Arnowo. “ ’Apane diberesno? Sing Iku (Mallaby)? Ngawur ae kon ! (Apanya yang dibereskan? Yang itu (Mallaby)? Ngawur saja kamu!’ Lha ya kena marah dia (Abdul Azis) sama Doel Arnowo,” sambung Chotib. Meski hingga kini hanya segelintir orang yang mengetahuinya, keterangan Chotib diyakini otentik oleh peneliti sejarah yang juga pendiri Roodebrug Soerabaia, Ady Erlianto Setyawan. “Klaim (Abdul Azis) itu relatif kuat,” kata Ady saat dihubungi Historia . Penulis buku Benteng-Benteng Surabaya dan Surabaya: Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu? itu yakin lantaran klaim Abdul Azis via penuturan Amak Altuwy, jurnalis keturunan Arab yang juga saksi mata, itu diutarakan saat para pelaku Pertempuran 10 November masih hidup. “Kalau dia (klaim Abdul Azis) bohong, pasti tokoh-tokoh macam Ruslan Abdulgani yang juga ada di TKP saat Mallaby terbunuh akan buka suara. Dan orang selevel Brigjen Barlan Setiadijaya enggak akan memasukkan kisah itu ke dalam buku dia ( 10 November 1945: Gelora Kepahlawanan Indonesia ) yang isinya studi tentang pertempuran Surabaya yang sangat-sangat komprehensif,” tandas Ady. Doel Arnowo memerintahkan Azis tutup mulut soal penembakan itu. “Bukan karena takut dianggap penyebab Pertempuran Surabaya, tapi karena memang sudah janjinya pada Doel Arnowo untuk tidak bicara soal itu,” tambah Chotib yang kini ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Ampel itu.
- Hari Kesehatan Nasional dan Pemberantasan Malaria
PADA 12 November 1959, Presiden Soekarno memberikan komando pemberantasan penyakit malaria di Indonesia. Pada kesempatan itu, Soekarno melakukan penyemprotan pertama menggunakan DDT ( dichlorodiphenyltrichloroethane ) di sebuah rumah penduduk di Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Tanggal 12 November kemudian ditetapkan sebagai Hari Kesehatan Nasional melalui Keputusan Menteri Kesehatan No. 64033/KBB/218 tanggal 30 Desember 1964. Sejak tahun 1973, Hari Kesehatan Nasional selalu diperingati dengan tema sesuai tujuan kesehatan yang hendak dicapai pada tahun itu. Menurut Kumpulan Buklet Hari Bersejarah I , pada peringatan Hari Kesehatan Nasional ke-22 tanggal 12 November 1986, diresmikan monumen Pembangunan Kesahatan di Desa Kringinan, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Di Hindia Belanda, terutama Batavia, malaria menjadi musuh yang ditakuti. Setidaknya selama 53 tahun, antara 1714-1767, sekitar 72.816 penduduk Eropa di Batavia meninggal karena malaria. Batavia pun sempat dijuluki Het graf van het Oosten atau kuburannya negeri timur. Bertahun-tahun setelahnya malaria masih sulit ditanggulangi. Sampai pada pertengahan 1800-an, Menteri Jajahan Seberang Lautan Belanda Ch. F. Pahud memulai proyek besar menanggulangi malaria. Dia mengutus Karl Haskarl, ilmuwan berkebangsaan Jerman, untuk membudidayakan kina yang diselundupkan dari Peru. Kina dibudidayakan dan diproduksi secara besar-besaran untuk obat malaria. Sampai Indonesia merdeka, malaria tetap menjadi penyakit yang menakutkan. Sehingga Sukarno mencanangkan pemberantasan malaria pada 1959. Menurut laporan Tempo , 22 Maret 1980, program pembasmian malaria antara 1959 sampai 1964 itu dengan bantuan USAID (The United States Agency for International Development). Program ini berhasil menekan penyakit malaria di Jawa-Bali, dari 10.000 penduduk hanya tercatat 1 penderita. “Setelah Bung Karno –dalam masa menjelang akhir kekuasaannya– mengusir bantuan dari Amerika Serikat dan penanggulangan malaria kurang diperhatikan, penyakit ini merangkak naik,” tulis Tempo . Departemen Kesehatan menempatkan malaria dalam deretan teratas penyakit yang harus diberantas. Dana yang dialokasikan cukup besar. Hampir separuh dari dana pemberantasan dan pencegahan penyakit menular jatuh ke malaria. Misalnya, untuk tahun 1978, tak kurang dari Rp2,7 miliar. Pada 1980, dari delapan juta kasus pertahun dengan keluhan mirip malaria, begitu diperiksa di laboratorium, ternyata 1,2 persen positif menderita malaria. Untuk luar Jawa-Bali saban tahun tercatat 700.000 penderita yang masuk rumah sakit dan puskesmas. Saat itu, metode pemberantasan malaria untuk Jawa-Bali dibedakan dengan daerah lain. Ini disebabkan pemberantasan di Jawa-Bali lebih mudah karena penduduknya terkonsentrasi. Jadi, daerah ini mendapat prioritas. Di Jawa-Bali, selain penderita datang ke rumah sakit dan puskesmas, petugas-petugas kesehatan juga menyebar ke lapangan untuk mencari kasus-kasus malaria. Sedang luar Jawa-Bali hanya bersandar pada penyembuhan terhadap penderita yang datang ke rumah sakit atau puskesmas. Saat ini, menurut data Kementerian Kesehatan yang sampaikan dr. Elizabeth Jane Soepardi, direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, pada 23 April 2018, sebagian besar warga Indonesia (72 persen) telah bermukim di wilayah bebas malaria. Namun, masih terdapat 10,7 juta penduduk yang tinggal di daerah endemis menengah dan tinggi malaria. Daerah yang tinggi tingkat penularannya berada di kawasan timur Indonesia yaitu sebanyak 39 kabupaten/kota. Wilayah endemis tinggi malaria tersebut berada di Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Target wilayah eliminasi malaria dari tahun ke tahun terus bertambah. Pada 2016 pemerintah berhasil mengeliminasi malaria di 247 kabupaten/kota, 2017 sebanyak 266 kabupaten/kota, dan 2018 ditargetkan 285 kabupaten/kota. Selain pelatihan tenaga malaria (dokter, perawat, analis, kader, petugas surveilans, etomolog, dan penyediaan obat antimalaria dihydroartemisinin ), pemerintah mengadakan pekan kelambu massal dan pemantauan penggunaannya. Secara nasional, jumlah kelambu yang didistribusikan untuk seluruh Indonesia sejak tahun 2004 sampai 2017 sebanyak 27,6 juta kelambu. “Secara umum upaya yang efektif adalah tidur menggunakan kelambu, penyemprotan dinding rumah dan menggunakan repellent (penolak nyamuk),” kata dr. Jane. “Sementara yang lain adalah dengan manajemen lingkungan, termasuk menebarkan ikan pemakan jentik, seperti ikan mujair dan cupang.”
- Moeffreni Moe'min, Komandan Para Pejuang
SEJARAWAN Rushdy Hoesein punya cerita, semasa masih aktif di Resimen V Cikampek pada sekira 1947, Pramoedya Ananta Toer pernah ditugaskan untuk membuat laporan suatu pertempuran. Singkat cerita laporan telah selesai. Namun sang komandan yang dia perlukan untuk membubuhkan tanda tangannya tak jua dia temukan, sementara laporan penting itu sedang ditunggu oleh para petinggi tentara di Yogyakarta. Pram yang saat itu berpangkat sersan mayor akhirnya membuat keputusan sendiri: laporan dikirim tanpa tanda tangan pimpinan. Belakangan sang komandan mengetahui hal itu dan langsung menyembur Pram dengan teguran kemarahan. “Saya tersinggung sekali lantas mutung dengan dunia militer,” ujar Pram seperti disampaikan kepada Rushdy pada sekira tahun 1980-an. Siapa yang menjadi komandan Pram dalam kisah itu? Dia tak lain adalah Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min, komandan Resimen V Cikampek pada awal-awal revolusi berlangsung. Terhadap sebuah keputusan yang telah diambilnya, Moeffreni memang kerap bersikap kepala batu. Dia seolah tak mengenal sikap kompromi dan tawar menawar. Seperti keputusannya yang terpaparkan dalam sebuah kisah di buku Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi karya Dien Majid dan Darmiati. Lewat telepon dari Jakarta, saat itu Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin meminta pasukan Moeffreni agar mengembalikan hasil rampasan dalam pertempuran di Dawuan kepada Inggris. “Maaf Pak, saya tidak dapat melaksanakan perintah itu,” ujar Moeffreni “Tapi kalau tidak dilakukan, Cikampek akan dibom oleh mereka,” tukas Amir. “Saya sudah memperhitungkannya, Pak. Di sini tiap hari telah dibom oleh mereka. bahkan hingga Tambun,” ungkap Moeffreni. Amir Sjarifoeddin pun tak bisa berkata-kata apa lagi. Didikan Jepang Bisa jadi ketegasan didapatkan Moffreni saat dia berada dalam didikan militer Jepang. Menurut Nugroho Notosusanto dalam Tentara PETA Pada Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia , Moeffreni merupakan angkatan pertama di Seinen Dojo (Balai Pendidikan Pemuda) Tangerang pada 1943. Dia satu angkatan dengan para pemuda yang kelak menjadi para tokoh militer Indonesia seperti Supriyadi, Daan Mogot, Jono Suweno dan Kemal Idris. Pengetahuan militer Moeffreni semakin mantap, manakala dia melanjutkan pendidikan PETA (Pembela Tanah Air) di Boei Gyugun Kanbu RensentaiBogor. Lepas Boei Gyugun Kanbu Resentai, dia kemudian didapuk melatih calon instruktur PETA. Di sinilah dia berkenalan dengan pemuda Soeharto yang merupakan salah satu peserta pendidikan tersebut. “Bahkan bisa dikatakan saat itu Moeffreni cukup dekat hubungannya dengan Soeharto, “ujar sejarawan Rushdy Hoesein. Pernyataan Rushdy itu didasarkan pada pengalaman Susila Budi (putra pertama Moeffreni) yang sempat bertemu dengan Soeharto waktu dia masih menjadi presiden. Susila ingat, Soeharto langsung sumringah ketika tahu bahwa dirinya adalah putra Moeffreni Moe’min. “Nasi goreng buatan bapakmu enak sekali,” kata Soeharto. Namun dalam biografinya, nasi goreng itu disebutkan bukanlah bikinan Moeffreni sendiri, melainkan buatan ibunya Moeefreni. Rupanya setiap mendapatkan kiriman nasi goreng dari Mohammad Moe’min (ayah Moeffreni) yang kerap datang menjenguk, Moeffreni pasti menyisihkannya buat Soeharto. Pemimpin BKR Jakarta Ketika nama Moeffreni (yang sedari awal sudah digadang-gadang) tidak ada dalam daftar Pahlawan Nasional tahun ini, banyak kalangan yang kecewa. Terutama para tokoh Betawi. Bisa jadi harapan mereka agar Moeffreni diangkat menjadi Pahlawan Nasional begitu besar. Saat memperingati 73 tahun Peristiwa Lapangan IKADA dua bulan lalu, sejarawan J.J. Rizal menyatakan bahwa sejatinya pemerintah Republik Indonesia sangat pantas untuk mengangkat Moeffreni Moe’min sebagai Pahlawan Nasional. “Saat itu, di jasnya (Moeffreni) menaruh dua dinamit dan dipinggangnya terselip pistol. Karena dia harus pasang badan saat keselamatan Bung Karno, Bung Hatta, serta anggota kabinet yang dijemput oleh Soebijanto Djojohadikoesoemo (selama rapat Ikada)," ujar Rizal di hadapan pers. Namun menurut Rushdy Hoesein, peran sebagai pengawal Sukarno-Hatta dalam Peristiwa IKADA 1945 itu hanyalah sebagian kecil jasa Moeffreni. Sesungguhnya peran signifikan Moeffreni dalam sejarah adalah saat dia memimpin Resimen V Cikampek. Di sini bisa dikatakan, Moeffreni berhasil membangun koordinasi yang kompak antara tentara dengan lasykar di front Jakarta Timur. Keberhasilan tersebut tak lepas dari peran Moeffreni saat aktif memimpin para pemuda Jakarta menjelang terjadinya Proklamasi 1945. Bersama koleganya di Prapatan 10, lelaki Betawi kelahiran 12 Februari 1921 itu lantas mendirikan BKR (Badan Keamanan Rakyat) Jakarta Raya yang bermarkas di Jalan Cilacap. Menurut sejarawan Robert Briston Cribb dalam Gangsters and Revolutionaries, Moeffreni pun memiliki jaringan yang cukup luas di luar PETA. Dia tergolong akrab dengan para jagoan dan jawara Jakarta seperti Haji Darip, Panji dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya. Jadi bisa dikatakan, sosok Moefreni cukup disegani oleh semua kalangan hingga saat Resimen V Cikampek ada di bawah kendalinya, situasi front Jakarta Timur (termasuk Karawang-Bekasi), perlawanan terhadap militer Inggris dan Belanda berlangsung kompak. “Dia bisa menciptakan situasi harmonis antara tentara dan lasykar, hingga dianggap komandan oleh seluruh pejuang” kata Rushdy Hoesein. Justru itulah yang tidak bisa dilakukan oleh Mayor Soeroto Kunto, penerus Moefreni di Resimen V Cikampek. Kendati penunjukan Mayor Soeroto Kunto sendiri dilakukan atas pilihan Moeffreni, nyatanya situasi di front Jakarta Timur sepeninggal Moeffreni menjadi kacau. Alih-alih terkendali, bentrok antara lasykar dengan tentara kerap berlangsung. Puncaknya terjadi ketika Mayor Soeroto Kunto sendiri hilang bersama empat prajurit Resimen V Cikampek lainnya di wilayah Warung Bambu (antara Karawang-Cikampek) pada 27 November 1946. Dinusakambangkan Lepas dari Resimen V Cikampek, Moeffreni dipindahtugaskan ke Cirebon sebagai komandan Resimen XII. Baru beberapa hari menjadi Danres XII, tugas berat sudah diterimanya dari Panglima Divisi Siliwangi untuk mengamankan berlangsung perundingan antara pihak Indonesia dengan Belanda di Linggajati dari 10-15 November 1946. Tapi lagi-lagi Moeffreni bisa melaksanakan tugas tersebut. Bukan hanya soal pengamanan di wilayah sekitar tempat perundingan saja, dia pun berhasil “menjinakan” satu batalyon lasykar rakyat dari Karawang yang rencananya akan menyerang Linggajati. Dengan cara persuasif, Moeffreni menjemput langsung kedatangan pasukan lasykar itu di stasiun Cirebon. Mereka kemudian disambut hangat dan langsung ditampung di asrama-asrama milik Resimen XII. Tak lupa mereka pun disuguhi makan dan minum ala kadarnya.Setelah tenang barulah Moeffreni berdiskusi dengan pentolan-pentolan lasykar itu. Selidik punya selidik, ternyata para anggota lasykar tersebut terprovokasi oleh satu berita hoax yang sudah kadung tersebar di Karawang. Tersebar kabar bahwa Cirebon sudah diserbu oleh satu kekuatan besar terdiri dari pasukan Belanda-Inggris. Karena itu mereka dating ke Cirebon untuk membantu para pejuang setempat menghadapi serbuan tersebut. Moeffreni kemudian menjelaskan bahwa tak ada serbuan gabungan itu. Yang ada, kata Moeffreni, Cirebon kedatangan ratusan jurnalis dan diplomat asing (terutama dari Inggris dan Belanda)yang datang untuk mengikuti dan meliputi berlangsungnya perundingan di Linggajati. Setelah diyakinkan begitu, akhirnya pasukan dari Karawang pulang kembali ke kota asalnya dan pertemuan di Linggajati pun sukses hingga akhir. Sang komandan lalu ditugaskan ke front Bandung Timur. Namun tidak lama dan dia balik kembali ke Cirebon. Lagi-lagi tugas di Cirebon hanya dijalaninya empat bulan saja. Kolonel A.H. Nasution, atasannya, lantas menugaskan Moeffreni menjadi Direktur Pendidikan Perwira Divisi Siliwangi di Garut. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, saat militer Belanda menyerang Garut pada Juli 1947, Moeffreni tertangkap dan menjadi tawanan perang di pulau Nusakambangan. Tiga tahun lamanya Moeffreni menjadi tahanan perang Belanda. Baru pada awal 1950, dia dibebaskan dan ditugaskan di Resimen Bogor. Tahun 1960, dia kemudian mengajukan pengunduran diri dari dunia militer dan sempat aktif sebagai anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi ABRI. Komandan para pejuang itu akhirnya menutup mata di Rumah Sakit Pertamina Jakarta pada 27 Juni 1996. Kendati tahun ini, nama Moeffreni Moe'min belum mendapat tempat sebagai Pahlawan Nasional, namun tidak berarti itu mengecilkan jasa-jasanya di masa lalu bagi negeri ini.
- Buku Terbuka Bernama Kasman Singodimedjo
Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada enam tokoh pada Kamis, 8 November 2018. Salah satu tokoh tersebut bernama Kasman Singodimedjo. Pemerintah menilai Kasman telah berjasa dan berkorban demi kepentingan bangsa dan negara. Kasman lahir di Purworejo, Jawa Tengah, pada 25 Februari 1904. Dia anak pertama dari tujuh bersaudara. Tiga meninggal sejak kecil, empat mampu bertahan hidup hingga dewasa. Ayahnya berlatar belakang pegawai negeri dan sempat berdinas di Bali serta Lampung Tengah, lalu memutuskan hidup sebagai modin desa (petugas agama). Ibu Kasman seorang perempuan desa biasa dan buta huruf latin. Kasman pernah memperoleh pendidikan dasar di sekolah Kristen swasta di Batavia bersama seorang adik perempuannya. Adiknya lebih dulu masuk ke sana dan berada di tingkat ketiga, sedangkan Kasman masih berada di tingkat pertama. Kasman mengikuti ujian khusus untuk berada di tingkat yang sama dengan adiknya. Dia melewati ujian itu, tetapi tetap merasa malu. “Oleh karena itu setelah saya pikirkan secara mendalam, saya mengambil keputusan untuk pindah ke Purworejo,” kata Kasman dalam Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun . Setelah itu, dia bersekolah di Kutoarjo dan Magelang. Dia menumpang tinggal pada satu keluarga. Sebagai gantinya, dia mengerjakan beberapa hal untuk keluarga tersebut. Dari mencuci pakaian, membersihkan peralatan makan, sampai mengepel lantai. Aktif di Organisasi Pemuda Kasman kembali ke Batavia pada 1924. Dia melanjutkan sekolah di STOVIA, tapi tidak sampai selesai. Pada masa inilah dia mulai terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dia menjadi pengurus Jong Islamieten Bond (JIB), organisasi pemuda berasas Islam yang menyandarkan referensi gagasannya pada Haji Agus Salim. Kasman turut mengambil peran dalam penerbitan media cetak organisasinya, Het Licht . Het Licht edisi Desember 1925 memuat beberapa tujuan pendirian JIB. Antara lain mempererat hubungan golongan terpelajar dengan rakyat; menumbuhkan rasa kebersamaan antara golongan intelektual dari berbagai suku bangsa; dan menumbuhkan rasa simpati terhadap agama Islam dan toleransi pada pemeluk agama lain. JIB turut serta dalam Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda 1928. Seusai berkhidmat di JIB, Kasman melanjutkan Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Kali ini dia berhasil menyelesaikan sekolahnya dan menggondol gelar Meester in de Rechten (Mr.). Dia juga mulai bergerak bersama Muhammadiyah pada 1935. Dia pernah memperoleh pengajaran langsung dari pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan pada 1920-an. Sosok Kasman mulai menyita perhatian khalayak pada 1940. Kasman sempat berucap “Untuk Indonesia Merdeka!” dalam sebuah rapat Muhammadiyah di Bogor, Jawa Barat. Ucapan Kasman terdengar oleh polisi rahasia Belanda (Politiek Inlichtingen Dienst/PID). Dia diciduk dan didakwa bersalah. Hukumannya empat bulan penjara. Namanya muncul di sejumlah media cetak seperti Pemandangan , Pandji Islam , Adil , dan Berita NU . “Nama Kasman tiba-tiba muncul menjadi buah pembicaraan di kalangan kaum pergerakan baik yang berasas nasionalisme maupun Islam,” kata Saifuddin Zuhri, mantan Sekjen Nahdlatul Ulama, dalam Hidup Itu Berjuang . Tapi namanya kemudian hilang beberapa lama hingga masa pendudukan Jepang. Namanya mengemuka lagi ketika dia diangkat oleh Jepang sebagai daidanco atau komandan batalion pasukan Pembela Tanah Air (PETA), jabatan tertinggi untuk orang Indonesia di PETA. Kasman sebenarnya tak berkenan masuk PETA. Hatinya menolak segala macam bentuk penjajahan. Dia berupaya merekayasa kondisi fisiknya supaya tidak lulus tes kesehatan. “Selama beberapa hari saya mengurangi tidur, sehingga badan saya tampak lesu, muka pucat dan mata menjadi kemerah-merahan. Saya juga berusaha agar air kencing saya menjadi kuning,” kenang Kasman. Tapi hasil pemeriksaan kesehatan menyatakan Kasman sehat dan layak menjadi daidanco Jakarta. Masuk PETA ternyata memperluas jaringan dan pengetahuan Kasman. Dia makin tahu watak asli Jepang dan penderitaan rakyat akibat pendudukan Jepang. Ketika pemimpin militer Jepang di Indonesia meminta seluruh anggota PETA untuk menyerahkan senjatanya, Kasman menolak perintah tersebut. Dia mengajak daidanco lainnya melakukan hal serupa dalam pertemuan para daidanco di Bandung. Sebagian daidanco mengiyakan ajakannya, lainnya menolak. Hal ini terjadi ketika Jepang berada di ujung kekalahan, pada 16 Agustus 1945. Sehari setelah pertemuan para daidanco , Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kasman masih di Bandung. Malam hari pukul 19.30, dia bergerak menuju Jakarta. “Kasman Singodimedjo dipanggil oleh Proklamator Bung Karno itu, diangkat menjadi anggota tambahan dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia,” ungkap tim penulis buku Hidup itu Berjuang . Peran di PPKI Di PPKI, Kasman berperan meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo, ketua umum Muhammadiyah sekaligus anggota PPKI, untuk melepas tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang mewajibkan pemeluk Islam menjalankan syariat Islam. Tujuh kata itu diajukan oleh kelompok Islam dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Kasman melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh KH. Wahid Hasyim dan Bung Hatta terhadap Ki Bagus. Dia berbicara dengan Ki Bagus dalam bahasa Jawa halus dan memintanya mengalah sementara selama enam bulan. Kasman meyakinkan Ki Bagus bahwa kelompok Islam akan memperoleh kembali tujuh kata itu melalui sidang parlemen (Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR) enam bulan mendatang, seperti apa yang diamanatkan oleh UUD 1945. Ki Bagus pun luluh dan bersedia menghapus tujuh kata itu. Setelah rapat-rapat PPKI berakhir, Kasman sempat merangkap ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), lembaga parlemen sementara. Kasman melepas jabatan Ketua BKR pada 5 Oktober 1945 ketika BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Kasman pun tak terlalu lama memegang jabatan ketua KNIP. Sutan Sjahrir menggantikannya pada 16 Oktober 1945 ketika sistem pemerintahan Indonesia berubah dari presidensil ke parlementer. Kasman menempati posisi baru sebagai Jaksa Agung. Dia meletakkan dasar-dasar administrasi dan personalia untuk lembaga Kejaksaan Agung. Menghormati Sukarno Memasuki dekade 1950-an, Kasman bergabung dan aktif dalam Partai Masyumi. Dia menjadi anggota Konstituante wakil Masyumi. Melalui sidang-sidang Konstituante bersama anggota Masyumi lainnya, dia berupaya memasukkan semangat Piagam Jakarta sebagai jiwa UUD yang baru dan menggolkan Islam sebagai dasar negara. Masa-masa ini mencatatkan pula konflik Masyumi dan Presiden Sukarno. Kasman dan Masyumi gagal mengembalikan gagasan Piagam Jakarta. Konstituante juga tidak pernah mencapai kesepakatan tentang dasar negara. Nasib nahas menimpa Masyumi pada akhir dekade 1950-an. Anggotanya terlibat dalam PRRI/Permesta sehingga memperuncing konflik mereka dengan Sukarno. Masyumi menjadi partai terlarang pada awal 1960-an dan Kasman kemudian ditangkap pada November 1963 atas tuduhan upaya membunuh Presiden. Mohammad Roem dalam Bunga Rampai Dari Sedjarah 3 menyebut tuduhan itu tak pernah terbukti. Tapi Kasman tetap dipenjara hingga 1966, ketika kekuasaaan Sukarno melemah. Bebas dari penjara tak membuat Kasman dendam pada Sukarno. Sekeras apapun pertentangannya dengan Sukarno pada 1950-an, Kasman tetap menghargai Sukarno sebagai pemimpin besar dan sesama manusia. Dia turut mengantar kepergian Sukarno ke peristirahatan terakhirnya di Blitar pada Juni 1970. Demikian kesaksian almarhum A.M. Fatwa, mantan sekretaris pribadi Kasman, dalam Hidup itu Berjuang . Kasman wafat di Jakarta pada 25 Oktober 1982 dalam usia 78 tahun. Roem bilang Kasman ibarat buku terbuka. Masih bisa dibaca dan dipelajari oleh siapapun.
- Freddie Mercury yang Tiada Dua
SEJAK berita film biopik Freddie Mercury, Bohemian Rhapsody, menyebar, nama vokalis band legendaris Queen itu kembali jadi buah bibir. Para fans Queen maupun Freddie di Indonesia ikut memperbincangkannya. “Kualitasnya itu lho. Musikalitasnya tinggi. Notasi lagu (yang, red .) dia buat juga unik. Enggak seperti rata-rata vokalis rock . Gaya dan kostumnya juga unik dan modis,” ujar musisi Ophie Danzo kepada Historia. Opini senada juga diungkapan Paulus Sugito, fans Freddie dan Queen yang lain. “Musiknya bikin hilang kantuk kalau sedang nyetir. Hampir semua lagunya up beat. Apalagi dengar suara khas Freddie yang enggak ada yang bisa menyamakan. Penampilan kostum dan gayanya juga enggak mau mengikuti gaya orang lain, justru jadi trend-setter ,” kata wiraswastawan berusia 42 tahun itu. Maka ketika Bohemian Rhapsody sampai di Indonesia, 2 November 2018, para fans Freddie pantang melewatkannya. “Buat penggemar yang tidak mengalami era itu (Freddie masih hidup), nonton filmnya jadi dapat banget atmosfer dan auranya,” sambung Paulus yang masih menyimpan empat kasetnya. Ophie malah berkesempatan nonton premier -nya seminggu sebelum diputar di bioskop-bioskop Indonesia. “Dapat undangan, sama musisi-musisi lain. Mantap banget, inspired banget filmnya. Terutama buat para musisi-musisi sekarang, bisa lihat sejarahnya dan semangatnya. Karena Queen ini kan awalnya band biasa saja yang main di bar-bar,” ujar Ophie. Semangat Freddie dan Queen itulah yang menginspirasi Ophie dalam bermusik. Kekagumannya pada Freddie dan Queen tumbuh sejak dia menjadi vokalis “interim” Brawijaya Band pada 1993 karena vokalisnya merantau ke Amerika Serikat untuk kuliah. “Sebenarnya dari 1980-an sudah tahu Freddie. Tapi ya paling cuma kenal lagu ‘Bohemian Rhapsody’ dan ‘Love of My Life’. Dari 1993 diajak main bareng Brawijaya Band untuk acara bertema Queen di Wisma Bakri (Jakarta). Langsung dikasih PR mempelajari lagu-lagu Queen. Juga saat bareng Second Born Band banyak mainin lagu-lagu Queen. Nah semangat Queen itu juga yang kita ambil saat kita tampil,” imbuh vokalis rock yang tenar saat bersama band Voodoo itu. Musikalitas dan spirit yang unik itu tak lepas dari latar belakang Freddie dkk. yang memang jempolan di dunia akademis. “Mereka kan aslinya otaknya cerdas semua. Kan memang latar belakang akademisnya keren-keren,” tambah Ophie. Brian May (gitaris) merupakan PhD di bidang astrofisika, Roger Taylor ( drummer ) pernah mencicipi pendidikan kedokteran gigi di London Hospital Medical College sebelum beralih ke jurusan biologi di East London Polytechnic. Sementara, John Deacon ( bassist ) merupakan insinyur elektro lulusan Chelsea College London; dia membuat ampli Deacy Amp yang –lalu dikembangkan bersama May– menjadi pilar suara khas bernuansa orkestra pada banyak lagu Queen. Freddie sendiri lulusan Desain Seni dan Grafis Ealing Art College (kini University of West London). Tapi itu hanya satu dari segelintir fakta-fakta menarik tentang Freddie. Berikut beberapa fakta lainnya: Kelainan Membawa Berkah Freddie Mercury punya kelainan Hyperdontia sejak lahir. (Ultimate Classic Rock) Freddie lahir dengan kelainan pada giginya, dia punya empat gigi seri tambahan (hyperdontia). Tak pelak, sejak kecil Freddie acap jadi sasaran bully kawan-kawannya sehingga dia tumbuh jadi remaja pemalu. Namun, di kemudian hari hyperdontia justru membawa berkah buat vokal Freddie. “Membuat mulutku punya lebih banyak ruang dan artinya range (vokal) yang lebih,” kata Freddie yang diperankan Rami Malek dalam film Bohemian Rhapsody (2018). Maka itu, Freddie tak pernah mau membetulkan giginya ke dokter gigi. Menurut David Bret dalam Living on the Edge: The Freddie Mercury Story , suara Freddie aslinya bertipe bariton. Namun Freddie mampu mencapai nada rendah bass (F2) sampai nada tinggi sopran (F6). Lead singer The Who Roger Daltrey sampai memuji vokal Freddie. “Dia penyanyi rock and roll terbaik sepanjang masa. Dia bisa menyanyikan lagu manapun dengan gaya apapun. Dia bisa mengubah gaya vokal dari satu titik ke titik lain dan itu sebuah seni. Dia sungguh brilian,” ujarnya dalam sebuah wawancara kepada Jim O’Donnell 2013 silam. Anak Pengungsi Berdarah Parsi Jer dan Bomi Bulsara, orangtua Freddie Mercury alias Farrokh Bulsara. (family.queen.pl) Freddie lahir di Stone Town, Kesultanan Zanzibar (kini Tanzania), 5 September 1946 dengan nama Farrokh Bulsara. Orangtuanya, Bomi dan Jer Bulsara, berasal dari Gujarat, India dan berdarah Parsi serta menganut Zoroaster (agama kuno Persia). Lesley-Ann Jones dalam Mercury: An Intimate Biography of Freddie Mercury mengupas, Freddie besar di Bombay (kini Mumbai) dan sudah getol dengan musik rock and roll sejak usia 12 tahun dengan membentuk band The Hectics. Pada Februari 1963, Freddie pindah ke Zanzibar mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai kasir di sebuah Pengadilan Tinggi Kolonial Inggris di Zanzibar. Setahun kemudian, Freddie dan keluarganya mesti mengungsi ke Feltham, Inggris, akibat Revolusi Zanzibar yang banyak memakan korban para imigran Arab dan India. Sembari meneruskan pendidikan, Freddie nyambi kerja di Bandara Heathrow sebagai kuli angkut bagasi. Kala merintis kebintangannya bersama Queen, medio 1970, Freddie resmi mengganti menjadi Freddie Mercury. Freddie merupakan nama panggilannya kala di sekolah asrama di India dan Mercury adalah planet terdekat dari matahari dan dalam kepercayaan Zoroaster merupakan lambang pembawa kebenaran dan cinta. Pencetus Nama dan Lambang Queen Lambang Queen. (Youtube Official Queen) Queen terbentuk dari lungsuran anggota Smile yang ditinggal vokalis utamanya, Tim Staffell. Mereka pertamakali tampil di Prince Consort Road, 18 Juli 1970 dengan nama Queen, yang dicetuskan Freddie. “Nama itu terdengar sangat megah. Nama yang kuat, sangat universal dan sangat dekat dengan kami,” sebut Freddie dalam Queen: Uncensored on the Record. Selain memberi nama pada bandnya, Freddie juga mendesain logo Queen. Logo kreasi Freddie itu berangkat dari logo zodiak keempat personel Queen. Kesemuanya dibentuk Freddie laiknya lambang Kerajaan Inggris dengan tambahan seekor burung phoenix di atas lambang Q sebagai inisial Queen. Lambang ini diciptakan Freddie sebelum Queen menelurkan album pertamanya yang rilis pada 13 Juli 1973. Kolektor Perangko Koleksi perangko Freddie Mercury tersimpan di The Postal Museum, Inggris Freddie punya hobi tak lazim bagi kebanyakan rockstar, yakni mengoleksi perangko. Disitat dari situs The British Postal Museum and Archive (BPMA), 5 September 2012, Freddie sudah mulai mengoleksi perangko sejak usia sembilan tahun. Tidak hanya perangko-perangko asal Inggris dan negara-negara persemakmurannya, beberapa dari koleksinya juga berasal dari Eropa Timur. Kegemarannya itu menurun dari sang ayah yang juga filatelis. Ketika Freddie meninggal pada 24 November 1991, album koleksi perangkonya tak ikut dikremasi bersamaan dengan jasadnya sebagaimana lazimnya penganut Zoroaster yang dikremasi bersama barang-barang miliknya. Ayah Freddie memutuskan untuk tetap menyimpannya. Pada 17 Desember 1993, BPMA membelinya. Uang hasil penjualannya didonasikan keluarga Freddie kepada Mercury Phoenix Trust, yayasan amal peduli pengidap HIV/IDS yang didirikan Brian May, Roger Taylor, Jim Beach (manajer terakhir Queen), dan Mary Austin (eks-tunangan Freddie). Cinta Mati Freddie Mary Austin (kiri) dan Freddie Mercury. (freddiemercury.queen.pl) Akhir 1970-an, cerita-cerita tentang orientasi seksual Freddie yang menyimpang mulai berhamburan. Pada akhirnya, Freddie diketahui punya pasangan pria bernama Jim Hutton meski pernikahan sesama jenis di Inggris saat itu masih dilarang. Gara-gara itu pula Freddie lantas terjangkit AIDS. Meski begitu, Freddie tak pernah bisa melepas satu nama perempuan dari hatinya: Mary Austin. “Semua pacarku (kekasih gay) bertanya kenapa mereka tak bisa menggantikan Mary, sederhananya mustahil. Bagiku, dia seperti istri. Bagiku, hubungan kami laiknya pernikahan. Kami saling percaya dan itu sudah cukup bagiku. Aku tak bisa jatuh cinta pada pria sebagaimana aku jatuh cinta padanya,” kata Freddie dalam sebuah wawancara pada 1985, dikutip Lesley-Ann Jones dalam Mercury: An Intimate Biography of Freddie Mercury. Mary sendiri mantan pacar Brian May (gitaris Queen) dan baru bertemu Freddie pada 1969. Mereka berpacaran setelah pertemuan pertama. Tiga tahun berselang, Freddie melamarnya. Walau Mary bersedia, mereka tak pernah menikah lantaran pada 1976 Freddie mengakui dirinya biseksual. Meski gagal menikah, Mary dan Freddie tetap bersahabat. Setelah Freddie meninggal, Mary mewarisi mansion mewah Freddie Garden Lodge di Kensington. Kisah cinta mereka diabadikan Freddie dalam tembang “Love of My Life”. Hari-Hari Terakhir Freddie Freddie Mercury tampil untuk terakhir kali kala menerima penghargaan dalam The Brits Award ke-11 pada 18 Februari 1990. (Ultimate Classic Rock). Pada April 1987, Freddie didiagnosis positif mengidap AIDS kendati isu tentangnya sudah mengorbit di berbagai media massa pada Oktober 1986. Bantahan berulangkali yang dibuat Freddie akhirnya tak berarti ketika The Sun pada November 1990 mengabarkan bahwa Freddie mengidap penyakit serius. Dalam konferensi pers tanggal 22 November 1991, Freddie pun mengakuinya. Dia selalu menyembunyikannya karena itu persoalan pribadi, bukan konsumsi publik. Kondisi fisik Freddie makin memprihatinkan seiring perjalanan waktu. Selain didampingi Jim Hutton, pacar gay-nya yang tinggal serumah, Freddie sering dijenguk Mary Austin. Mary ikut menemani Freddie hingga kepergian abadinya pada malam 24 November 1991. Resminnya, kematian Freddie disebabkan pneumonia, salah satu kondisi komplikasi dari AIDS. Sebagai penganut Zoroaster, Freddie lalu dikremasi di West London Crematorium. Dalam wasiatnya, Freddie berpesan agar abunya disimpan oleh Mary untuk kemudian dikubur di suatu lokasi tersembunyi.
- Mohammad Noor, Gubernur Pertama Kalimantan
PRESIDEN Joko Widodo telah meresmikan pahlawan nasional tahun ini. Berdasarkan Keputusan Presiden tanggal 6 November 2008, gelar itu disematka kepada enam tokoh. Nama-nama baru ini menabalkan jumlah Pahlawan Nasional mencapai 179 orang. Mereka antara lain: Abdurahman Baswedan (D.I Yogyakarta), Hj. Andi Depu (Sulawesi Barat), Depati Amir (Bangka-Belitung), Kasman Singodimedjo (Jawa Tengah), Mohammad Noor (Kalimantan Selatan), dan K.H. Syam'un (Banten). Satu-satunya tokoh yang mewakili daerah Kalimantan adalah Pangeran Mohammad Noor. Bangsawan Kesultanan Banjar ini lahir di Martapura, Kalimantan Selatan, 24 Juni 1901. Noor punya jasa besar tatkala ditunjuk sebagai gubernur pertama Kalimantan (saat itu masih disebut Borneo). “Sebagai gubernur pertama (Noor) luar biasa. Beliau memiliki jasa besar mempersatukan pejuang di Kalimantan," ujar sejarawan Sulawesi Selatan,Taufik Ahmad kepada Historia. Kawan Kuliah Sukarno Karena seorang ningrat, Noor tak kesulitan mencecap pendidikan tinggi di zaman kolonial. Disebutkan Noor bersua dengan Sukarno tatkala mereka sama-sama berkuliah di Technische Hooge School (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung. Bila Sukarno mengambil jurusan arsitek, maka Noor getol mendalami teknik lingkungan. Di kampusnya, Noor aktif sebagai anggota Jong Islamieten Bond (Ikatan Pemuda Islam). Pada 1927, Noor meraih gelar insinyur sipil dan menjadi orang Kalimantan pertama yang berpredikat sarjana. Noor sempat menjadi pegawai kolonial dan lama menghabiskan waktunya di Jawa sebagai teknokrat. Setelah lulus kuliah, Noor diangkat sebagai insinyur sipil pada Departement Verkeer dan Waterstaat yang menangani persoalan irigasi di Tegal. Pada 1929, dia dimutasi ke Malang kemudian Batavia. Pada 1933, Noor kembali ke tanah kelahirannya, Banjarmasin. Selain mendedikasikan keahliannya membenahi irigasi, Noor juga terjun ke politik sebagai anggota Dewan Rakyat Hindia, Voolkraad menggantikan posisi ayahnya, Pangeran Ali. Memasuki masa pendudukan Jepang, Noor kembali ke Jawa. Noor menetap di Bondowoso sebagai Kepala Irigasi Pakalem-Sampean. Pada awal 1945, Noor diangkat menjadi wakil Sumobucho (setara sekretaris jenderal) Dobuko (Departemen Perhubungan/Pekerjaan Umum). Sebagai seorang tokoh kemerdekaan Indonesia, jejak Noor setidaknya teridentifikasi tatkaka dirinya menjadi salah satu anggota BPUPKI. Dalam buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Mohammad Yamin mencatat nama “Tuan Mohammad Noor” atau tertulis “Mohd. Noor” yang mewakili wilayah Kalimantan. Ketika Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Noor ditunjuk menjadi gubernur Kalimantan. Rekomendasi Hatta Menurut Taufik, meski di masa muda saling berkawan, namun bukan Sukarno yang menunjuk Noor sebagai gubernur Kalimantan. Semula Sukarno lebih memilih tokoh Kalimantan yang lain, Anang Abdul Hamidhan yang dikenal sebagai jurnalis pejuang. Hamidhan menolak karena ingin tetap berjuang sebagai wartawan. “Satu-satunya gubernur pertama yang bukan orang Sukarno itu adalah Mohammad Noor. Beliau lebih dekat dengan Bung Hatta,” kata Taufik. Bisa jadi penunjukan Noor terjadi karena hubungan baiknya dengan Hatta. Kerjasama keduanya cukup akrab menjelang hari-hari genting setelah Jepang akan angkat kaki dari Indonesia. Noor dan Hatta secara apik berkordinasi menggalang dukungan rakyat Kalimantan di Banjarmasin untuk sekubu dalam Negara Republik Indonesia. Kesan-kesan dan persingungan terhadap Hatta dikisahkan oleh Noor dengan gamblang dalam otobiografinya Teruskan… Gawi Kita Belum Tuntung . Dari segi ide, Noor lebih banyak belajar kepada Hatta. Menanggapi sosok yang pantas sebagai pemimpin di Kalimantan, Hatta lantas mengusulkan Noor. “Karena sering sama-sama berdiskusi dan menemani perjalanan Bung Hatta ke Kalimantan sebelum proklamasi,” tutur Taufik. Memimpin dari Jawa Untuk sementara Noor, berkantor di Jakarta. Menjadi gubernur saat revolusi bergolak tentu bukan perkara mudah. Di Kalimantan, keadaan yang dihadapi Noor cukup pelik. Infrastruktur dan fasilitas yang menunjang roda pemerintahan sangat terbatas. Di sisi lain, Belanda berniat kembali berkuasa di Kalimantan yang kaya sumber daya alam. Persoalan makin bertambah karena Kalimantan terdiri atas beragam kelompok sosial dengan kepentingan yang beragam pula. Tak sedikit kelompok yang cederung menerima kembali Belanda. Noor sendiri kesukaran untuk menjangkau daerah yang dipimpinnya. Ketika hendak berangkat ke Banjarmasin melalui Surabaya pada Oktober 1945, kapal "Merdeka" yang ditumpanginya terperangkap pasukan Sekutu yang melancarkan serangan ke Surabaya. Situasi yang tak kondusif, praktis membuat Noor tak berada di Kalimantan selama revolusi. Dia memerintah dari Yogyakarta merangkap sebagai penasihat presiden dalam Dewan Pertimbangan Agung. Untuk membiayai perjuangan, Noor bahkan tak lagi mempunyai dana pribadi. Atas rekomendasi Hatta, Noor memperoleh pinjaman dari BNI sebesar dua juta rupiah. Hampir seluruh perjuangan yang diprakarsai Noor untuk Kalimantan dibiayai dari dana tersebut. Kebijakan Noor yang paling terkenal ialah pembentukan pasukan elite MN 100 (Mohammad Noor 1001). Mereka berasal dari pemuda-pelajar Kalimantan yang dipersiapkan terjun ke palagan Kalimantan. Pasukan MN 1001 merupakan kekuatan revolusi terbesar kedua setelah ALRI Divisi IV Kalimantan. Sebagai komandannya ditunjuk seorang putra Dayak, Tjilik Riwut. “Penunjukan Tjilik Riwut sebagai komandan pasukan MN 1001 adalah contoh terbaik untuk melihat upaya Pangeran Noor membangun prinsip multikulturalisme dalam perjuangan. Dalam sejarah, kedua etnik ini memperlihatkan kontestasi dari waktu ke waktu,” tulis Taufik Ahmad dalam “Pangeran Mohammad Noor: Imaji Kebangsaan di Kalimantan” termuat di kumpulan tulisan Gubernur Pertama di Indonesia . Dari MN 1001, Noor mencetuskan gagasan pasukan payung ( para troops ) untuk menembus blokade laut Belanda di Kalimantan. Pada 1947, Noor menginisiasi pembentukan armada ALRI Divisi IV yang dipimpin oleh Kolonel Zakaria Madun yang kemudian diteruskan Hassan Basry. Terakhir, Noor bersama Sukardjo Wirjopranoto dan Mr. Soepomo menerbitkan majalah Mimbar Indonesia . Segmen pembaca yang disasar Mimbar Indonesia adalah rakyat Indonesia yang berada di daerah pendudukan Belanda. Di wilayah yang dikuasai Belanda, rakyat terpecah, terutama setelah Perjanjian Linggadjati. Media ini berperan besar dalam menggaungkan seruan integrasi Republik serta menolak konsep negara federal warisan Belanda. Jabatan gubernur disandang Noor hingga 1950. Pada 1956-59, Noor sempat menjadi Menteri Pekerjaan Umum era Kabinet Ali Sastroamidjojo II. Di masa Orde Baru hingga akhir hayatnya, Noor berkhidmat sebagai wakil rakyat Kalimantan dalam DPR/MPR. Gubernur pertama Kalimantan ini wafat di Jakarta 15 Januari 1979. Dia dimakamkan di Komplek Pemakaman Sultan Adam, Martapura, Kalimantan Selatan. Ketika ditetapkan tahun 2018, Noor menambah deretan pahlawan nasional dari etnis Banjar setelah Pangeran Antasari, Hassan Basry dan Idham Chalid.
- Lukisan Gua Tertua di Kalimantan Timur Terbaik di Dunia
TEMUAN ribuan gambar cadas ( rock art ) di pedalaman Kalimantan Timur menarik minat para peneliti untuk melakukan kajian sejak 28 tahun silam. Sudah sejak lama dinding-dinding ceruk dan gua di kawasan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat itu diketahui menyimpan gambar purba, seperti stensil tangan manusia, hewan, simbol-simbol abstrak, dan motif-motif yang saling berhubungan. Dalam penelitian termutakhir diketahui kawasan itu menyimpan gambar cadas tertua di dunia. Penelitian ini dilakukan di enam lokasi gua, yaitu Liang Jeriji Saleh, Liang Ham, Liang Karim, Liang Tewet, Liang Banteng, dan Liang Sara. Dengan metode analisis penanggalan U-series Geochemistry terhadap sampel di Liang Jeriji Saleh diperoleh usia 40.000 tahun yang lalu. Sampel ini berupa gambar figur hewan yang diperkirakan banteng liar. Sementara gambar negatif tangan berusia 37.000 tahun yang lalu. Sebelumnya, Puslit Arkenas dan Griffith University mengungkap gambar cadas di kawasan pedesaan Maros, Sulawesi Selatan, berusia 39.900 tahun yang lalu. “Temuan ini (di Kalimantan Timur, red. ) penting, karena mengungkap rock art tidak hanya berhenti di Maros. Namun juga ada di Kalimantan, kemudian di Sumatra (Gua Harimau, red. ),” kata Pindi Setiawan, peneliti gambar cadas dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dalam konferensi pers "Inovasi Leluhur sebagai Penguat Karakter Bangsa: Pembuktia Gambar Cadas Tertua di Dunia", di Kemendikbud, Jakarta, Kamis (8/11). Menurut Pindi, gambar cadas yang ditemukan di kawasan Sangkulirang merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Hal yang menarik di antaranya adalah evolusi kreativitas masyarakat pendukung gua. Tiga Fase Gambar Cadas Gambar cadas di kawasan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat memiliki tiga fase kronologis. Gaya tertua menunjukkan usia 40.000 tahun yang lalu. Cirinya adalah figur binatang berwarna oranye kemerah-merahan yang sangat besar. Fase kedua biasanya diwakili stensil tangan. Gambar tangan sering diisi dengan motif titik atau garis yang membentuk gambar pohon. Ini mungkin merupakan simbol hubungan kekeluargaan. Terkadang stensil tangan warna oranye kemerahan yang lebih tua tampak dicat ulang dengan cat berwarna murbei dan dimasukkan ke dalam motif pohon. Tahap akhir, usia 4.000 tahun yang lalu. Cirinya berbentuk antropomorfik, kapal, dan motif geometris. Biasanya gambar-gambar itu berwarna hitam. Lukisan dinding gua di Sangkulirang-Mangkalihat juga menunjukkan kondisi ekosistem dan kultur pada masanya. Misalnya, ada penggambaran trenggiling raksasa yang telah punah 32.000 tahun yang lalu. Ada juga penggambaran hewan sejenis tapir yang punah sekira 6.000 tahun lalu. Ada juga lukisan tombak. Padahal, senjata ini biasanya dipakai di daerah savana. “Tombaknya beda dengan yang dipakai suku-suku sekarang, ini teknologi ketika banyak semak, jadi mereka lari mengikuti binatang, sudah dekat baru ditombak, kalau dulu berbeda,” jelas Pindi. Dari segi penggambaran, Pindi membagi dua jenis gambar berdasarkan warna merah dan ungu. Gambar berwarna merah memperlihatkan bentuk hewan atau tumbuhan sebagaimana aslinya. Sementara warna ungu, dia menyebutnya sebagai bentuk adisatwa. “Maksudnya semacam binatang jadi-jadian, kalau tumbuhan, ya tumbuhan aneh, jadi-jadian mungkin istilahnya,” kata Pindi. Dari bentuknya, boleh jadi sudah ada pergeseran tingkatan budaya, dari Paleolitik atau perburuan awal ke tingkat lanjut. “Binatang jadi-jadian biasanya budaya Neolitik, tapi belum punya bukti,” tambahnya. Sementara Pindi melihat ada kemungkinan kalau manusia pendukung gambar cadas telah menempatkan gambar-gambar tertentu sesuai dengan posisinya. Misalnya, gambar binatang adisatwa seakan itu sengaja diletakkan di atas garis mata. “Ini menariknya. Gambar cadas punya cara lihat, ini terkait dengan psikologis sebagaimana yang kini dipelajari dalam desain interior, misalnya lafadz Allah biasanya akan diletakannya di atas,” jelasnya. Bukan Asal Gambar Secara umum, Pindi menjelaskan, kecenderungan para pembuat gambar cadas, baik dari masa Paleolitik, Mesolitik, maupun Neolitik, sangat senang dengan kehadiran cahaya bulan dan matahari. Hanya dua persen gambar cadas yang ditemukan di lingkungan yang gelap. "Jadi, ini keputusan desain yang diperhitungkan matang. Bukan sekadar grafiti," kata Pindi. Namun, pernyataannya itu dengan catatan, tak ada jaminan, kalau kondisi yang ditemukan pada masa kini sama seperti masa lalu. Pasalnya, di Indonesia, kondisi gua yang gelap biasanya lembab. Ini memungkinkan gambar-gambar dinding gua tak mampu bertahan lama. Sementara, ada beberapa indikator bagi sebuah gua atau ceruk yang mungkin menyimpan gambar di dindingnya. Salah satunya adalah mulut gua yang luas. Pun bentuk lubang ceruk atau gua biasanya juga berpengaruh, karena terkait dengan faktor angin. Indikator lainnya adalah morfologi lantai gua yang halus. Kata Pindi, morfologi lantai tak banyak berubah dari masa ke masa. Meski ketebalan lapisan gua berubah, morfologinya tetap akan mengikuti lapisan yang lebih tua. “Dinding yang bersih biasanya juga, tapi belum tentu dinding 40 ribu tahun yang lalu begitu juga. Lalu ada aroma. Ini subjektif, siapa tahu ribuan tahun lalu tak begitu,” lanjutnya.*
- Wadah Pembahasan Arah Kebudayaan dari Beragam Masa
SETELAH 100 tahun sejak pertamakali diselenggarakan pada 1918, Kongres Kebudayaan akan kembali digelar pada 3-4 Desember 2018. Kongres ini selain berupaya mengingatkan kembali semangat persatuan, juga membahas kondisi budaya terkini dengan makin masifnya arus informasi dan gerak budaya. “Ada kebutuhan untuk merumuskan kembali arah gerak kebudayaan karena kondisi revolusi industri 4.0 saat ini dan keadaan dunia yang cepat berubah,” kata Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dalam Konferensi Pers Kongres Kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayan, Jumat (9/11). Persiapan kongres sudah dimulai sejak Maret lalu lewat kongres kecil di tingkat kabupaten/kota yang membahas berbagai bidang. Ada 27 rumusan dari masing-masing bidang, seperti wayang, kesehatan tradisional, infrastukrur dll. Tiap daerah menyusun pokok kebudayaannya sesuai masalah yang dialami masing-masing daerah. Hingga hari ini sudah ada 206 daerah yang mengirimkan rumusan pokok kebudayaan. Menurut Hilmar, strategi kebudayaan akan berjalan kalau perumusannya dirasakan kepemilikannya oleh publik. Maka dari itu, penyusunan kongres untuk pertama kali dilakukan dari bawah. “Perumusan yang dilakukan dari bawah merupakan buah dari kecerdasan kolektif, bukan hasil pikiran dari para ahli. Ini adalah upaya menghimpun pendapat yang sifatnya sangat masif dan menjadi perbedaan utama dari kongres sebelumnya,” kata Hilmar. Pada kongres-kongres sebelumya penelusuran gagasan tentang kebudayaan nasional dilakukan melalui penyampaian makalah. Penyampaian oleh para ahli ini, di satu sisi tidak menyentuh masalah di akar rumput. Di samping itu, ekspresi budaya yang beragam tidak bisa disampaikan hanya lewat tulisan dan lisan. Oleh karenanya, dalam kongres kali ini Direktorat Kebudayaan memberi ruang apresiasi berupa pentas seni oleh para seniman dari berbagai bidang. Lebih lanjut Hilmar mengatakan, hasil kongres akan mengeluarkan rumusan strategi kebudayan yang disusun oleh 17 orang, termasuk di dalamnya Menteri Pendidikan dan Kebudayan Muhadjir Effendy. Rumusan ini kemudian diserahkan pada presiden dan menjadi salah satu acuan dalam pembangunan nasional sesuai amanat UU No. 5 tahun 2017. Kilas Balik Kongres Pertama Diselenggarakan pertama kali tahun 1918, Kongres Kebudayan mulanya merupakan Kongres Bahasa Jawa yang diprakarsai intelektual bumiputera dan Belanda: Raden Sastrowijono, dr. Radjiman Wedyodiningrat, Pangeran Prangwadono, dan D van Hinloopen. “Jelas ada keperluan untuk menyelenggarakan Kongres Budaya pada 1918 karna saat itu sedang ada kebangkitan nasional sementara beberapa masyarakat masih terbagi-bagi dalam kelompok etnis,” kata Hilmar. Kehadiran tokoh luar Jawa, seperti Dr. Hoesein Djajadiningrat menambah usulan baru bahwa kongres sebaiknya tidak terbatas pada orang Jawa saja sehingga menjadi forum bagi para ilmuwan untuk membahas inisiatif baru tentang budaya. Dalam kongres yang diselenggarakan di Solo, 5-7 Juli 1918, Sastrowijono sebagai ketua panitia menyatakan keprihatinannya atas ketidaktahuan masyarakat bawah akan budayanya sendiri. “Sebuah bangsa baru akan mampu memiliki jatidirinya apabila bangsa itu bertumpu pada sejarah dan budayanya sendiri,” kata Sastrowijono, seperti yang termuat dalam Bianglala Budaya. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan budaya untuk mengimbangi pengaruh dari kebudayaan Eropa di era kolonial. Perhatian tentang perkembangan budaya menjadi bahasan utama dalam kongres tersebut. Sastrowijono dalam pidatonya menghimbau seluruh rakyat Jawa baik mereka yang dari Sunda, Madura, atau Jawa Tengah agar bersama-sama membahas arah perkembangan budaya dalam cita-cita kemerdekaan.





















