Hasil pencarian
9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Soegoro Atmoprasodjo, Orang Pertama yang Memperkenalkan Nasionalisme Indonesia di Papua
MARCUS Kaisiepo, siswa Sekolah Pamong Praja di Kota Nica (sekarang Kampung Harapan di Jayapura), mendengar berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia dari radio. Dia bersama pelajar lain mendiskusikan Proklamasi itu. Silas Papare meminta Marcus memberitahu J.P.K. van Eechoud, residen Papua dan pendiri Sekolah Pamong Praja bahwa orang Papua tidak menghendaki apa pun dengan adanya Proklamasi itu. Tentu saja Van Eechoud senang karena dia lebih berupaya membangun identitas kepapuaan ketimbang turut mengikuti irama nasionalisme Indonesia. Namun, dia blunder dengan merekrut Soegoro Atmoprasodjo sebagai pengajar dan direktur asrama Sekolah Pamong Praja yang menghimpun para pemuda lokal untuk menjadi pegawai pemerintah Belanda. Beberapa di antaranya kemudian menjadi tokoh lokal terdidik dan elite pertama Papua, seperti Frans Kaisiepo, Nicolaas Jouwe, Marthen Indey, Corinus Krey, Silas Papare, Baldus Mofu, O. Manupapami, dan Herman Wajoi. “Soegoro sangat dipercaya oleh Van Eechoud dan dianggap loyal kepada Belanda sehingga diangkat menjadi direktur pertama Sekolah Pamong Praja di Hollandia,” tulis Bernarda Meteray dalam Nasionalisme Ganda Orang Papua. Namun, Soegoro memanfaatkan kedudukannya itu untuk menyemai nasionalisme Indonesia. Tindakannya menentang pemerintah Belanda membuat kecewa Van Eechoud yang selama ini telah menganggapnya sebagai anak emas. “Menurut Corinus Krey, Soegoro adalah orang pertama yang memperkenalkan nilai-nilai nasionalisme Indonesia kepada para siswa,” tulis Bernarda . Van Eechoud pun mengakuinya bahwa sehubungan dengan keadaan yang berlangsung di Jawa, Soegoro terdorong untuk melakukan kegiatan yang mendukung perjuangan di Jawa. Soegoro Atmoprasodjo lahir di Yogyakarta, 23 Oktober 1923. Dia aktif dalam Taman Siswa bentukan Ki Hadjar Dewantara dan aktivis Partai Indonesia (Partindo). Pada 1935, dia dibuang ke Digul, Tanah Merah, Papua, dengan tuduhan terlibat pemberontakan Partai Komunis Indonesia terhadap Belanda pada 1926/1927 di Jawa Tengah. Pada awal pendudukan Jepang, pemerintah Belanda membawanya ke Australia. Setelah Jepang kalah, dia kembali dibawa ke Papua dan bekerja di Sekolah Pamong Praja. Cara Soegoro menanamkan nasionalisme Indonesia kepada para siswanya di antaranya memperkenalkan lagu Indonesia Raya dan membentuk kelompok diskusi politik. Dalam berbagai diskusi, dia berusaha meyakinkan murid-muridnya bahwa mereka bagian dari Indonesia yang memiliki keanekaragaman seperti halnya Papua yang berasal dari banyak suku. Kepada muridnya, dia menekankan persatuan menjadi kunci utama untuk melepaskan diri dari kuasa kolonial Belanda. Upayanya membuahkan hasil. Menurut Suyatno Hadinoto dalam Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat, Soegoro kemudian membentuk gerakan bawah tanah untuk menentang pemerintah Belanda. Gerakan tersebut bernama IRIAN (Ikut Republik Indonesia Anti Nederland). Soegoro merencanakan pemberontakan dengan melibatkan siswa di kota Nica dan anggota batalion Papua antara lain Corinus Krey, Marcus Kaisiepo, Lukas Rumkoren, Lisias Rumbiak, Frans Kaisiepo, dan dua orang asal Sumatera, yaitu Sutan Hamid Siregar dan Aran Panjaitan. Soegoro juga mengajak eks tentara Heiho yang kebanyakan berasal dari Sumatera dan Jawa. Menurut Suyatno, pemberontakan akan dilancarkan pada 31 Agustus 1945. Sedangkan Bernarda menyebut Soegoro baru menyampaikan rencana perlawanannya pada 15 dan 16 Agustus 1945. Rencana pemberontakan itu keburu terendus pemerintah Belanda. Sekira 250 eks Heiho ditahan. Soegoro dipenjarakan di Hollandia (Jayapura). Di penjara, Soegoro kembali merencanakan dua pemberontakan pada Juli 1946 dan Januari 1947, yang melibatkan Marthen Indey, Corinus Krey, Bastian Tauran, sebelas Ambon yang bekerja sebagai tukang reparasi, tentara KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda), anggota batalion Papua, dan 30 pemuda Papua yang berasal dari sekitar Danau Sentani. Rencana itu gagal karena seorang anggota batalion Papua membocorkannya kepada pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda menangkap dan menginterogasi para pemberontak. Beberapa pelaku dibebaskan, namun Soegoro dihukum 14 tahun, semula di Hollandia kemudian dipindahkan ke penjara Tanah Merah, Merauke. Pada 5 April 1947, Soegoro dan Willem Nottan asal Tual Kei yang dihukum sepuluh tahun, serta lima tahanan lainnya, berhasil melarikan diri dari penjara Tanah Merah, Merauke, menuju Papua Nugini, lalu ke Australia. Pada 1950, Soegoro kembali ke Indonesia dan bekerja di Departemen Luar Negeri. Menjelang kembalinya Papua ke pangkuan Republik Indonesia, Soegoro menjadi delegasi Indonesia dengan kedudukan sebagai penasihat dalam pemerintahan transisi UNTEA (United Nations United Nations Temporary Executive Authority ). Putra-putra Papua didikannya kemudian menyebut Soegoro sebagai Bapak IRIAN.
- Pers Perjuangan di Kalimantan
SETELAH Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, terjadi kekosongan kekuasaan di Kalimantan Selatan. Ini memberi peluang bagi Belanda untuk kembali mengatur pemerintahan. Dalam waktu sekira tiga minggu, Belanda berhasil menyusun kembali alat-alat pemerintahannya dengan bantuan militer. “Di bidang media massa yang merupakan alat penting dalam menanam kembali kekuasaannya, Belanda menerbitkan harian Soeara Kalimantan sebagai pengganti Borneo Shimbun dengan mengambilalih semua fasilitas dari surat kabar itu , ” tulis sejarawan Abdurrachman Surjomoharjodo, dkk. dalam Beberapa Segi Perkembangan Sejaran Pers di Indonesia . Menurut Hassan Basry dalam Kisah Gerila Kalimantan dalam revolusi Indonesia, 1945-1949, para pemuda sengaja membeli surat-surat kabar pro-NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda), terutama Soeara Kalimantan , untuk menghindari penyiaran yang bertentangan dengan isi pamflet yang disebarkan ke seluruh Kalimantan Selatan pada 1 Oktober 1945. “Pamflet itu berisi bahwa Indonesia telah merdeka dan mengajak segala lapisan dan golongan, pegawai-pegawai, polisi-polisi, buruh-buruh dan sebagainya bersatu padu dan supaya menolak kedatangan NICA,” tulis Hassan Basry. Menariknya, menurut Hassan, pamflet itu diberikan oleh dua tentara Australia (sebagai tentara Sekutu yang ditempatkan di Kalimantan), Charles Forster dan Victor Little, yang mengaku anggota Partai Komunis Australia. Pamflet tersebut dicetak di Australia oleh pejuang Indonesia yang beralamat di Hotel Metropole, Melbourne. Mereka menyerahkan lima lembar pamflet kepada tokoh pejuang di Banjarmasin, Hadhariah M. Di Banjarmasin, pamflet itu disebarkan oleh Hadhariah bersama F. Mohani, Hamli Tjarang dan Abdurrachman Noor. Di Kandangan pamflet itu disiarkan oleh H.M. Rusli, Hasnan Basuki cs., dan di Barabai disiarkan oleh H. Badrum cs. Bahkan, menurut Hassan Basry, tentara Australia mengambil peranan penting dalam tersebarnya penyiaran ini sampai ke pelosok-pelosok yang jauh terpencil. “Maka tersiarlah lebih meluas dan diiringi dengan pencoretan-pencoretan rumah Belanda oleh pemuda-pemuda yang menyatakan bahwa rumah-rumah itu adalah milik Republik Indonesia,” tulis Hassan Basry. Sementara itu, pada 10 Januari 1946 dibentuk wadah perjuangan Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI) atas inisiatif D.S. Diapari, A.A. Rivai, Suranto, A. Sinaga, dan lainnya. Dengan didirikannya SKI, menurut Abdurrachman, perjuangan politik lebih tersusun dan mempengaruhi lahirnya pers perjuangan yang dipelopori oleh majalah Republik , harian Kalimantan Berdjuang , dan harian Terompet Rakjat . Majalah Republik yang berupa stensilan terbit pada 17 Agustus 1946 di Kandangan untuk mengimbangi Soeara Kalimantan, harian kooperatif terhadap Belanda. Majalah ini menjadi media perjuangan pertama di Kalimantan Selatan dengan pemimpin umum sekaligus pemimpin redaksinya Zalfry Zamzam. Terbitan pertama Republik memuat lengkap susunan kabinet pertama dan kabinet Sutan Sjahrir serta teks Proklamasi dalam bahasa Indonesia dan Inggris. “Majalah ini memperjuangkan supaya Kalimantan Selatan tetap merupakan wilayah Republik Indonesia dan menentang dengan tegas politik separatisme Belanda yang dilancarkan melalui konferensi-konferensi Malino dan Denpasar untuk mendirikan negara Kalimantan,” tulis Abdurrachman. Harian Kalimantan Berdjuang juga lahir di Kandangan pada 1 Oktober 1946. Pemimpin umum A. Jabar dan pemimpin redaksi Adonis Samad. Harian stensilan yang dikenal dengan singkatan Ka-Be ini berhaluan nasionalis dan berlambang kepala banteng di atas halaman muka. “Dari awal sampai akhir, harian ini tetap mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan,” tulis Abdurachman. Selain anti-Belanda, Ka-Be juga anti-PKI dan condong pro-Islam dengan cukup banyak artikel soal Islam. Ketika Soeara Kalimantan menerbitkan majalah Bahtera , Ka-Be mengimbanginya dengan menerbitkan majalah Waspada di bawah pimpinan Haspan Hadna. Pada 2 Desember 1946, harian Terompet Rakjat terbit di Amuntai, kemudian pindah ke Alabio. Harian ini dipimpin oleh Amran Ambrie dan Ys. Antemas. Semboyannya sama dengan Republik dan Ka-Be : mempertahankan Republik Indonesia. Harian ini juga menerbitkan majalah Menara Indonesia dan surat kabar bawah tanah Obor Perdjuangan yang hanya ketik. Berbeda dengan staf Ka-Be dan Republik yang terdiri dari wartawan yang tidak ikut aktif dalam perjuangan fisik. Staf Terompet Rakjat tergabung dalam Gerpindom (Gerakan Pembela/Pengejar Kemerdekaan Indonesia). Ketiga media masa perjuangan mengakhiri penerbitannya menjelang Agresi Militer Belanda II pada Desember 1948 karena dibredel Belanda. Belanda juga menangkap para pemimpinnya: Zafry Zamzam, Adonis Samad, Haspan Hadna, Amran Ambrie dan Ys. Antemas. Setelah sebulan mati, Ka-Be dihidupkan lagi pada 11 November 1948. Ka-Be menunjukkan sikapnya mendukung Republik dalam setiap tajuk rencana, seperti tajuk rencana tanggal 16 November 1948 berjudul “Republik tetap menjadi tiang perdamaian di Indonesia.”
- Kisah Plonco Sejak Zaman Londo
Awal ajaran baru tahun 2015, berbagai pihak mencermati tradisi menyambut siswa atau mahasiswa baru, yaitu plonco. Alih-alih sebagai masa orientasi siswa (MOS), kegiatan ini kerap tidak mendidik dan hanya menjadi ajang balas dendam para senior. Mendikbud Anies Baswedan pun melarang tindakan kekerasan dalam MOS. MOS merupakan tanggungjawab sekolah, guru dan kepala sekolah. Mereka harus bisa mengendalikannya. “MOS tak boleh ada plonco, (jika terjadi) kepala sekolah bertanggungjawab. Dinas pendidikan jangan ragu memberi sanksi pada kepala sekolah. MOS itu adalah masa penunjukkan rencana belajar bukan pemuasan keinginan senior,” ujar Anies, dikutip detik.com . Perploncoan sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda. Mohammad Roem, menceritakan pengalamannya diplonco ketika masuk Stovia (Sekolah Dokter Bumiputera) pada 1924. “Bahasa Belandannya plonco waktu itu adalah ontgroening . Kata groen artinya hijau. Murid baru adalah hijau, dan ontgroening dimaksudkan untuk menghilangkan warna hijau itu. Dia harus diberi perlakukan agar dalam waktu singkat menjadi dewasa, berkenalan dengan teman-teman seluruh Stovia,” kata Roem dalam Bunga Rampai dari Sejarah Jilid 3 . Roem mengakui, bahwa perploncoan itu sudah bertahun-tahun dilaksanakan, tetapi belum pernah terdengar kejadian yang tidak sedap atau melampaui batas. Hal ini karena pengawasan yang ketat, sehingga ekses dapat dihindarkan. “Pertama waktu-waktu dibatasi, tidak boleh memplonco di waktu belajar dan waktu istirahat. Masih banyak waktu di luar itu dan memang suasana ramai selama tiga bulan pertama itu,” kata Roem. Perploncoan berlangsung cukup lama sampai tiga bulan karena Stovia adalah sekolah berasrama. Salah satu materi plonco yang rutin ditanyakan soal asal siswa. Waktu Roem menjawab orang Jawa, maka pertanyaan berikutnya apakah dia tahu alfabet Jawa. Kemudian dia harus mengucapkannya. Pertanyaan berikutnya, apakah dia dapat mengucapkan alfabet Jawa secara terbalik, dari belakang. Dia bisa, tapi sangat lambat. Seniornya meminta dia harus mengucapkannya sama lancarnya dari depan atau belakang. Malam itu, sesudah selesai pekerjaan sekolah (PR), dia masih memerlukan setengah jam lebih untuk menghapalkan alfabet Jawa dari belakang ke depan. “Perploncoan itu hanya dijalankan dalam tembok sekolah dan asrama, dan plonco tidak boleh digunduli,” kata Roem. Penggundulan masa perploncoan kemungkinan besar kali pertama dilakukan pada masa pendudukan Jepang. Menurut R. Darmanto Djojodibroto dalam Tradisi Kehidupan Akademik, mantan mahasiswa Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran) –yang tidak disebutkan namanya– menyatakan bahwa kata perploncoan untuk pertama kali digunakan sebagai kata pengganti ontgroening . “Kata perploncoan itu berasal dari kata plonco artinya kepala gundul. Hanya anak kecil yang berkepala gundul waktu itu, sehingga kata plonco mengandung arti seseorang yang belum mengetahui sesuatu mengenai kehidupan masyarakat dan dianggap belum dewasa, karena itu perlu sekali diberi berbagai petunjuk untuk menghadapi masa depan,” kata mahasiswa Ika Daigaku itu, sebagaimana dikutip Darmanto. Pada masa revolusi kemerdekaan kegiatan perploncoan terus dilakukan, seperti di Universitas Indonesia pada April 1949. Selain di Jakarta, tulis Darmanto, semasa revolusi fisik itu, penggemblengan melalui perploncoan diselenggarakan di Klaten, Solo dan Malang, walaupun dalam suasana penuh kemelut, ikatan batin dan rasa setia kawan tidak pudar, bahkan membaja dalam durch Leide und Freude (duka dan suka). Perploncoan dianggap sisa kolonialisme dan feodalisme, karenanya pernah terjadi penolakan. Menurut Darmanto, partai dan organisasi komunis seperti PKI dan CGMI menolak perploncoan karena menganggapnya sebagai tradisi kolonial, selain itu ada juga organisasi yang menolak berdasarkan alasan lain. Alhasil, perploncoan dilarang oleh pemerintah dan diganti namanya menjadi Masa Kebaktian Taruna (1963), Masa Prabakti Mahasiswa atau Mapram (1968), Pekan Orientasi Studi (1991), Orientasi Studi Pengenalan Kampus (Ospek), Orientasi Perguruan Tinggi (OPT), dan sekarang umumnya disebut Masa Orientasi Siswa (MOS). Tidak hanya namanya yang diubah tetapi penyelenggaranya juga institusi pendidikan serta wajib diikuti seluruh siswa dan mahasiswa baru. Ironisnya, menurut Darmanto, jika saat masih bernama perploncoan kegiatan ini tidak pernah menghasilkan korban, setelah namanya diganti dengan maksud agar tidak bersifat kolonial dan feodal malah ada kejadian korban meninggal atau cedera. “Sekali lagi ditekankan bahwa tujuan perploncoan adalah terciptanya keakraban di antara anggota masyarakat mahasiswa, para senior menjadi mentor yang junior,” tulis Darmanto. “Tujuan perploncoan bukan menciptakan cedera atau kematian mahasiswa baru.”
- Bisnis Candu Kompeni Belanda
Pekerjaan rumah besar menanti Gustaaf Willem van Imhoff (1705-1750) kala dirinya ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) di Batavia pada 1743. Van Imhoff dituntut melakukan reformasi ekonomi oleh Heeren XVII , dewan direksi pemegang saham terbesar VOC. Saat itu, efek huru-hara di Batavia yang berujung pembantaian 10.000 orang Tionghoa membuat perekonomian Batavia pincang. Profit dagang intra-Asia VOC stagnan. Rempah-rempah VOC tidak lagi menjadi primadona setelah komoditas baru seperti tekstil India, teh Cina, dan kopi Arab mulai masuk pasaran. Masalah perdagangan intra-Asia ini menjadi sasaran utama reformasi Van Imhoff. Dia berniat menjadikan perdagangan lada, timah, dan utamanya opium, sebagai sumber utama profit VOC di Asia; dengan melibatkan sektor swasta. Tujuannya tak lain untuk menggarap profit dengan anggaran operasional perusahaan seminim mungkin. “VOC menyerahkan sahamnya hanya untuk sektor perdagangan swasta, dan tidak pernah sama sekali, dalam kondisi apapun, berniat menyerahkan hak monopolinya kepada pedagang-pedagang asing,” tulis Chris Nierstrasz dalam In the Shadow of the Company: The Dutch East India Company and its Servants in the period of its Decline (1740-1796) . Opium yang diimpor VOC diproduksi di Bengal, India, untuk kemudian dijual kembali dengan harga tinggi di Batavia, utamanya kepada pedagang Tionghoa, yang kemudian menjual langsung kepada konsumen di Jawa, Bali, Makassar. Namun keberadaan penyeludup ilegal membuat alur distribusi opium VOC kerap tak terkontrol. Untuk itu, Van Imhoff menginisiasi berdirinya Amfioensocieteit (Komunitas Opium), di Batavia pada 1 September 1745, sebagai perusahaan swasta mitra VOC dalam mendistribusikan opium. Amfioensocieteit terdiri atas seorang direktur, dua pemegang saham utama, kasir, dan akuntan merangkap sekretaris. Direktur pertamanya adalah Jacob Mossel, dan van Imhoff sebagai pejabat eksekutifnya. Saham publiknya berjumlah 300 lembar, per satuannya seharga 2000 rix dollar. “Ide awalnya, untuk selanjutnya VOC akan membatasi dirinya dalam impor opium, sementara Amfioensocieteit membeli produknya dengan harga yang ditentukan –dalam takaran jual minimum– dan menjalankan monopolinya dalam pasar eceran,” tuis J.W. Gerritsen dalam The Control of Fuddle and Flash: A Sociological History of the Regulation of Alcohol and Opiates . Sesuai kontrak, Amfioensocieteit harus membeli 1200 peti opium dengan harga 450 rixdollar per peti. Dalam setengah tahun operasionalnya, 708 peti terjual. Tahun kelima, Amfioensocieteit bahkan mampu membeli 1800 peti yang kemudian menghasilkan profit 150.000 rix dollar. Salah satu yang menikmati profit adalah Joan Gideon Loten (1710-1789), pejabat VOC. Dalam isi suratnya pada Januari 1756 yang dicantumkan oleh Alexander J.P. Raat dalam The Life of Governor Joan Gideon Loten (1710-1789): A Personal History of a Dutch Virtuoso , Loten menyebut bahwa dia untung sampai 15.000 gulden dari investasinya di Amfioensocieteit , jumlah terbesar untuk profit individu kala itu. Kemitraan VOC- Amfioensocieteit membuat perekonomian Batavia bernapas kembali. Setidaknya sampai 1757, ketika Inggris merebut Bengal dari Kesultanan Mughal. Loji VOC terkucilkan dan pasokan opium tersendat. Pada 1759, VOC mengirim tujuh kapal besar dan 1400 prajurit dari Batavia untuk mempertahankan lojinya di Bengal, namun pasukan ini dipukul mundur Inggris. Kondisi Amfioensocieteit merosot, seiring kolapsnya VOC akibat korupsi. VOC memang masih bisa membeli opium di Bengal, namun harus melalui Inggris dengan harga mahal. Akhirnya, pada 1794 Amfioensocieteit bubar, diganti dengan Amfioendirectie yang dipegang VOC langsung. Amfioendirectie bertahan di tengah maraknya penyeludupan dan tren pasar yang kian berubah sampai akhirnya dibubarkan oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 17 September 1808.
- Misi Gagal Spanyol-Portugis Mengusir Belanda dari Nusantara
SPANYOL dan Portugis pasang badan begitu Belanda menjejak Banten pada 1596. Mereka jelas tidak mau berbagi pengaruh komersial apa pun dengan Belanda di Nusantara. Terlebih Spanyol yang tengah menghadapi perang kemerdekaan Belanda di Eropa. Belanda membangun pos dagang pertamanya di Banten pada 1603. Benteng Victoria milik Portugis di Ambon direbut pada 1605 dan VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) mendirikan pusat dagangnya di sana. Bahkan pada 1609, armada Belanda mengepung Manila, kota dagang utama Spanyol di Timur Jauh. Peta persaingan itu diperhatikan oleh Gubernur Spanyol di Filipina, Juan de Silva. Dia bertekad mengusir Belanda untuk selamanya dengan menyerang pos-pos dagang Belanda di Jawa dan Maluku menggunakan armada besar, gabungan Spanyol dan Portugis. Saat itu, takhta Spanyol dan Portugis sudah bersatu sejak 1580, di bawah kekuasaan Philip II. Tahun 1611 di Manila, de Silva membangun armadanya. “Sang gubernur mengerahkan tenaga kerja dan menaikkan pajak rakyat Filipina, bahkan meminta dana, orang, dan amunisi tambahan dari New Spain (Meksiko) untuk membiayai ambisi militernya ini,” tulis Peter Borschberg dalam The Singapore and Malaka Straits: Violence, Security and Diplomacy in the 17th Century . Awal 1615, de Silva juga mengirim utusan ke Goa di India, pusat pemerintahan Portugis untuk urusan dagang di Timur Jauh. De Silva berhasil membujuk Gubernur Portugis, Jeronimo de Azevedo. Empat kapal galleon milik Portugis dari Goa dijadwalkan akan tiba di Manila sekitar Juni 1615. Namun, armada Portugis tak kunjung tiba pada Juli 1615, ketika de Silva sudah bersiap dengan armadanya. De Silva menghimpun armada Eropa terbesar yang pernah dilihat di kawasan itu, terdiri dari 10 galleon , 4 galley , 1 patache dan 3 frigate . Dia membawa 5.000 orang, 2.000 di antaranya tentara Spanyol, juga 500 tentara bayaran Jepang. Armada itu dipersenjatai 300 meriam dan 56 ton bubuk mesiu. “Kapal utamanya adalah La Salvadora (2.000 ton); San Marcos (1.700 ton); San Juan Bautista dan Espiritu Santo (masing-masing 1.300 ton); San Miguel dan San Felipe (800 ton); Nuestra Senora de Guadalupe dan Santiago (700 ton); San Andres (500 ton); dan yang paling kecil, San Lorenco (400 ton),” tercantum dalam laporan Juan de Rivera dan Valerio de Ledesma, dimuat di The Philippine Islands1493-1898: Volume XIX, 1620-1621 suntingan Emma Helen Blair. De Silva memutuskan berangkat. Tujuannya tidak langsung ke Jawa atau Maluku, tetapi Malaka, berharap untuk bertemu armada Portugis yang tak ada kabarnya. Ke Manakah Armada Portugis? Ternyata, s udah hancur lebur di Malaka. Satu kapal hancur ketika armada itu tak sengaja bertemu dengan pasukan Aceh yang tengah menyerbu Malaka pada September 1615. Sisanya diserang mendadak oleh pasukan Belanda; satu kapal direbut, dan dua sisanya dibakar oleh awaknya sendiri. Pada 25 Februari 1616, de Silva tiba di Malaka. Barulah dia mengetahui bahwa armada Portugis yang dinantinya sudah binasa. De Silva, yang tengah sakit keras, dan armadanya pun luntang-lantung. Dia akhirnya meninggal pada 19 April 1616. Tanpa pemimpin, armada itu memutuskan pulang ke Manila. Pun setibanya di sana, banyak dari awaknya yang tewas karena wabah penyakit. Ekspedisi itu berakhir dengan tangan hampa. “Armada Spanyol dan Portugis tidak pernah bertemu. Armada Spanyol yang dibanggakan itu tidak pernah pula bertempur dengan musuh. Penyakit merongrong awaknya tiap hari. Beberapa sumber menyebut korbannya ratusan, menyalahkan cuaca buruk dan air yang tidak bersih sebagai penyebabnya,” tulis Peter Borschberg. Setelahnya, Belanda kian menantang dominasi Spanyol-Portugis. Selain berhasil menguasai Maluku dari Portugis, Belanda juga sempat mengepung Manila kembali. Pengaruh dagang Spanyol-Portugis di Nusantara pun kian terkikis, sebelum akhirnya benar-benar lenyap dan digantikan oleh Belanda di abad ke-18 dan 19.
- Pesawat Hercules Hasil Barter Pembebasan Pilot CIA
PESAWAT Hercules milik Angkatan Udara Republik Indonesia jatuh di Jl. Jamin Ginting, Medan, pada 30 Juni 2015. Pesawat tersebut mengangkut 113 orang (12 kru, yaitu 3 pilot, 1 navigator, dan 8 teknisi) dan 101 penumpang sipil. Diperkirakan tak ada yang selamat, ditambah korban yang ada di bangunan yang tertimpa pesawat. Musibah pesawat Hercules ini untuk ke sekian kalinya. Kecelakaan terburuk pernah terjadi pada Hari ABRI 5 Oktober 1991. Hercules C-130 jatuh di Condet Jakarta Timur menewaskan 133 personel TNI AU serta dua warga sipil. Ternyata, ada kisah menarik di balik Indonesia memiliki pesawat Hercules. Indonesia menjadi negara pertama di luar Amerika Serikat yang mengoperasikan Hercules C-130B. Indonesia bisa memiliki pesawat Hercules gara-gara pilot CIA (Dinas Rahasia Amerika Serikat), Allen Pope, yang bergabung dengan PRRI-Permesta. Allen Pope ditembak jatuh, kemudian diadili dan divonis hukuman mati. Namun, Presiden Sukarno membebaskannya setelah istrinya bersama ibu dan saudara perempuannya, meminta pengampunan. Pemerintah Amerika Serikat harus membayar mahal untuk menyelamatkan warga negaranya itu. Sedangkan Sukarno menang banyak dengan mengampuni Allen Pope. Dia berhasil menarik pemerintah Amerika Serikat untuk mendukung Indonesia merebut Irian Barat. Dia juga mendapatkan bantuan Amerika Serikat untuk pembangunan Jakarta By Pass (Jalan Jenderal Ahmad Yani dan Mayjen DI Panjaitan sepanjang 27 kilometer dari Cawang ke Pelabuhan Tanjung Priok). Selain itu, Indonesia juga mendapatkan pesawat Hercules. Pada awal 1959, Jaksa Priyatna Abdurrasyid diminta Jaksa Tinggi Jakarta Yusuf Suwondo untuk memeriksa Allen Pope. Hasil pemeriksaan dijadikan dasar untuk menyidangkan Allen Pope. “Pada suatu saat, waktu saya mengunjunginya di penjara di Yogya, dia bercerita bahwa mungkin dia akan dibebaskan berkat negosiasi pemerintah Amerika dengan Bung Karno, di mana dia akan ditukar dengan senjata untuk 20 batalyon dan 6 buah pesawat Hercules serta diizinkan kembali ke USA. Dan kenyataannya, memang Pope kemudian pulang,” kata Priyatna dalam memoarnya, Dari Cilampeni ke New York Mengikuti Hati Nurani karya Ramadhan K.H. Menurut buku Skuadron Udara 31 Hercules Sang Penjelajah , terbitan TNI-AU, sebagaimana dilansir antaranews.com , Sukarno menemui Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy pada akhir 1959. Kennedy berterima kasih atas kesediaan Indonesia melepas Pope. Kennedy menawarkan “pengganti” Pope kepada Sukarno. Berdasarkan “keperluan” dari Panglima AU, Laksamana Madya Udara Suryadi Suryadarma, AURI memerlukan pengganti pesawat transportasi de Havilland Canada DHC-4 Caribou. Pilihan jatuh kepada Hercules C-130B, di mana Sukarno mengunjungi pabriknya, Lockheed. Akhirnya, sepuluh Hercules C-130B (delapan C-130B kargo dan dua C-130B tanker) diterbangkan ke Indonesia oleh pilot dan awak AURI. Serah terima Hercules C-130B dari pemerintah Amerika kepada AURI dilangsungkan pada 18 Maret 1960 di Pangkalan Udara Kemayoran, Jakarta. Sejak saat itu pesawat Hercules mengudara di angkasa Republik Indonesia.
- Pasang Badan Demi Teman, Achmad Mochtar Dipancung Jepang
PADA 3 Juli 1945, Prof. dr. Achmad Mochtar, direktur Indonesia pertama Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dieksekusi mati Jepang. Dia mengorbankan dirinya demi menyelamatkan ilmuwan-ilmuwan lembaga Eijkman yang ditahan Kempeitei (polisi rahasia Jepang) atas tuduhan sabotase vaksin TCD (Typhus Cholera Dysentery) buatan Eijkman dengan kuman tetanus. Naas bermula ketika ratusan romusha (pekerja paksa) di Klender, Jakarta Timur, tewas mendadak setelah petugas kesehatan Jepang menyuntik mereka dengan vaksin tersebut. Achmad Mochtar dituduh sebagai pelakunya, dan dia memutuskan mengaku untuk menyelamatkan nyawa kolega-koleganya di Lembaga Eijkman yang juga diancam hukuman mati. Achmad Mochtar kemudian dihukum pancung oleh Jepang. Pada 2010 makam Achmad Mochtar ditemukan, dan penyelidikan menyatakan bahwa tuduhan tersebut tidak benar. Buku mengenai Achmad Mochtar, War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case by Medicine karya J. Kevin Baird dan Sangkot Marzuki, yang mengulas kejadian di atas, diluncurkan sore tadi (3/7) di kawasan Ereveld, Ancol, Jakarta Utara, bertepatan dengan peringatan 70 tahun kematiannya. “Kisah tentang Prof. Achmad Mochtar merupakan drama kemanusiaan yang terjadi dalam kurun waktu yang amat bersejarah untuk Indonesia, dan terjalin dari berbagai peristiwa militer dan politik pada periode 1942-1945,” ujar Sangkot Marzuki. Acara dibuka oleh sambutan Sekretaris Jenderal Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Budhi M. Suyitno. Dilanjutkan pengantar oleh Sangkot Marzuki. Pembacaan pertama buku dilakukan oleh J. Kevin Baird dan Ratna Mulia Darmawan. Ditambah pula pentingnya refleksi sejarah para ilmuwan oleh JJ Rizal. AIPI mendukung diungkapnya kisah mengenai pengorbanan Achmad Mochtar untuk meluruskan sejarah perang dan merehabilitasi para korban. Pasalnya, penggunaan senjata biologis seperti virus, bakteri, atau vaksin dalam perang bisa menimbulkan dampak yang kompleks. “Selama 70 tahun ini belum pernah terungkap. Kita harus mengakui bahwa ada korban yang sekian lama tersia-sia, yaitu 900 romusha dan ilmuwan terkemuka pada zamannya,” ujar Suyitno. Sejarah mengenai Achmad Mochtar harus diungkap. Terlebih karena tuduhan terhadap Achmad Mochtar menjadikan romusha di Klender sebagai kelinci percobaan dinilainya sangat keji. “Padahal sebenarnya dia tidak pernah terlibat, melainkan seorang dokter dengan prestasi intelektual cemerlang dan bagian dari barisan pejuang,” tutur Rizal.
- Jepang Datang, Tentara Belanda Lari Tunggang Langgang
LETNAN Didi Kartasasmita (kemudian panglima Komandemen I Jawa Barat) bingung. Setelah susah payah membawa pasukannya berlayar 18 jam dari Bula ke Ambon, dia tak mendapat penjelasan apa-apa dari komandan batalionnya, Letkol Kapitz. “Saya sudah mulai bingung, sebab tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Saya terus menunggu perintah dari komandan teritorial,” ujarnya dalam otobiografi Didi Kartasasmita: Pengabdian Bagi Kemerdekaan karya Tatang Sumarsono. Pada hari kedatangannya di Ambon, 29 Januari 1942, suasana kota sepi. Kabar bakal datangnya balatentara Jepang begitu kuat berembus sejak akhir tahun sebelumnya. Banyak keluarga mengungsi ke luar pulau Ambon. KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) seperti tak sungguh-sungguh mempersiapkan perlawanan terhadap invasi Jepang. Ambon hanya dijaga sekira 4.000 personel KNIL. Itu pun termasuk pensiunan tapi dipanggil dinas kembali. Beruntung mereka dapat bantuan 1.600 pasukan Australia. Dalam hal persenjataan, KNIL tak punya persenjataan berat pertahanan udara, hanya beberapa meriam, senapan mesin ringan, dan sebuah pesawat terbang. “Itu pun akhirnya ditembak jatuh oleh kapal terbang Jepang,” ujar Didi. Di tengah kondisi memprihatinkan itu, Didi harus tetap bisa membangkitkan moril pasukannya yang kala itu sudah hampir runtuh. Belum lagi, tak seperti pasukan lain yang sudah mendapatkan stelling (tempat tugas), pasukan Didi belum tahu tempat mana yang akan menjadi tugas mereka. Informasi yang coba dia cari juga tak kunjung tiba. Ketidakpastian itu berlangsung hingga akhirnya Jepang membombardir melalui laut dan udara pada 31 Januari 1942. Letkol Kapitz memerintahkan pasukan Didi bergerak ke Kampung Kudamati untuk menahan pendaratan pasukan Jepang. Tanpa peta topografi, Didi hanya mengandalkan ingatan akan tempat tugasnya berupa kampung di pantai bertebing curam di timur laut Ambon, untuk menyusun taktik. Setelah berjalan sejauh tiga kilometer melewati semak-semak, mereka tiba-tiba didatangi seorang sersan Belanda yang menyarankan agar jangan melanjutkan perjalanan. Di Karangpanjang, baku tembak sudah terjadi antara pasukan Jepang dengan pasukan KNIL dan pasukan Australia di Gunung Nona. Di sanalah KNIL-Australia menempatkan artilerinya. Jepang berupaya keras mematahkan perlawanan di Gunung Nona karena bila menang jalan menuju Ambon terbuka. Pasukan Australia pun sama, mereka lebih baik melawan ketimbang menjadi tawanan. Itu menjadi pemicu tekad Kompi B dan C untuk melawan. Pasukan Didi kembali melanjutkan perjalanan setelah suara tembakan mereda 30 menit kemudian. Mereka terlambat. Pasukan Jepang sudah ada di tebing-tebing curam yang menjadi stelling mereka. Jarak di antara mereka tak lebih dari 300 meter. Bersama mereka, tak jauh dari pasukan Didi, pasukan Kapten Turner dari Kompi B Mayor Westley asal Australia ikut bertempur mempertahankan Kudamati. Tembak-menembak pun meletus. Beberapa pasukan KNIL tertembak. Korban dari pihak Jepang tak diketahui pasti. Sekira 30 menit kemudian, tembakan dari Jepang mereda dan kemudian hilang. Kemungkinan mereka hanya pasukan pengintai yang tak lebih dari 30 personel. “Setelah terjadi kontak senjata yang berlangsung singkat itu, mungkin mereka menganggap bahwa tugasnya telah selesai, lalu kembali ke induk pasukannya,” terang Didi. “Menurut perhitungan militer, di sana tidak akan ada pendaratan pasukan Jepang secara besar-besaran.” Namun, ketika pasukan KNIL baru istirahat, seorang sersan dari markas teritorial datang menyusul. Markas memerintahkan pasukan Didi kembali dan melapor. Pasukan pun buru-buru kembali. Nahas menimpa mereka. Markas teritorial tak seberapa jauh lagi, tapi pasukan Jepang keburu menyergap mereka. “Kami sudah tidak ada lagi kemauan untuk melawan, sebab moril pasukan sudah habis,” kenang Didi. Mereka lalu dilucuti dan dikumpulkan dengan pasukan KNIL lain yang menyerah juga. Setelah itu mereka ditahan di berbagai tempat di dalam kota. “Jepang menyerang Ambon pada 31 Januari, dan dalam tiga hari berhasil mengalahkan garnisun Belanda dan Australia,” tulis David Murray Hommer dan Robert John O’Neill dalam World War II: The Pacific . Berbeda dari pasukan Australia yang mati-matian bertempur, pasukan KNIL memilih menyerah. Di sektor Amahusu, KNIL menyerah sementara pasukan Australia terus melawan Jepang hingga tiga hari dan jumlah personelnya tinggal sedikit. Atasan Didi, Letkol Kapitz, sendiri melarikan diri setelah Didi dan pasukannya bergerak. Perwira Australia Letnan George Russell mengetahuinya setelah mendapat informasi dari asistennya, seorang pemuda Toorak berusia 25 tahun yang menjadi penghubung dengan markas tentara Belanda. Menurut pemuda itu, Kapitz mulai menghilang bersamaan dengan kemunculan beberapa tentara Jepang. Dari situlah pasukan Austalia baru menyadari bahwa KNIL amat lembek. Russell mendapati kantor markas tentara Belanda kosong. Dia segera menghancurkan semua peta dan kertas yang ditinggalkan pasukan Belanda karena terburu-buru melarikan diri. Kepada komandannya, Letkol William Scott, dia lalu melaporkan bahwa kota Ambon telah ditinggalkan Belanda. “Pasukan-pasukan KNIL yang seharusnya menjadi pertahanan paling hebat sudah kocar-kacir dan menyerah hanya dalam satu malam pertempuran,” kenang Des Alwi dalam Bersama Hatta, Sjahrir, dr. Tjipto dan Iwa R Sumantri di Banda Naira .*
- Asal-Usul Batas Usia Minimal dalam UU Perkawinan No.1/1974
SEORANG gadis berusia delapan tahun dinikahkan secara agama kepada seorang lelaki tua yang lebih pantas jadi ayahnya ketimbang suaminya. Pernikahan itu berlangsung di Mekkah sekira 1937, ketika si gadis dibawa pergi haji oleh ayah kandungnya. Dikisahkan, ayah kandung si gadis tersebut berutang pada lelaki tua itu. Tak sanggup membayar utangnya, si ayah menawarkan anak gadisnya sebagai gantinya. Kelak, apabila si anak sudah mendapatkan haid pertamanya, lelaki tua tadi boleh menggaulinya sebagai mana mestinya suami-istri. Setelah dinikahkan, anak dan ayah itu pulang ke Jawa. Selang tiga tahun kemudian, tepat saat si gadis berusia 12 tahun, saudagar tua tadi datang menyusul, menagih janji si ayah untuk menyerahkan anaknya. “Sang ayah sedia untuk merayakan perkawinan anaknya, pada waktu itu si gadis barulah melihat wajah suaminya dan ia tidak mau ikut dengan si orang kaya itu karena tidak cinta padanya,” tulis Maria Ullfah dalam artikelnya “Soal Kawin Gantoeng” yang dimuat di Istri Indonesia , Januari 1941. Menyadari kesalahannya, akhirnya si ayah mengajukan gugatan cerai kepada lelaki tua itu. Celakanya, dia tak kunjung menjatuhkan talak pada istrinya itu. Malah sebaliknya, si saudagar tua itu menagih lagi uang yang dipinjam si ayah gadis tadi. Maria yang saat itu sudah dikenal sebagai pengacara pembela kaum perempuan, disambangi paman si gadis. Dia memohon tolong agar persoalan itu bisa diselesaikan. Maria memutuskan untuk membawa kasus tersebut ke muka hakim pengadilan agama. Setelah melalui proses panjang, akhirnya pihak keluarga si gadis setuju untuk membayar pihak suami dengan sejumlah uang yang menurut istilah Maria disebut “menebus talak”. Kasus tersebut menjadi catatan bagi Maria Ullfah dan gerakan perempuan saat itu untuk menetapkan batas usia pernikahan. Batas Usia Minimal dalam Undang-Undang Persoalan pernikahan paksa dan pernikahan di bawah umur ini telah menjadi isu besar dalam gerakan perempuan di Indonesia. Setelah Kongres Perempuan Indonesia ketiga pada 1939, Ny. Sri Mangunsarkoro mengagas berdirinya Badan Perlindungan Perempuan dalam Perkawinan (BPPIP). Maria Ullfah ketuanya. Tugas lembaga tersebut mengumpulkan bahan-bahan untuk menyusun undang-undang perkawinan. Perjuangan untuk menyusun undang-undang yang melindungi perempuan dalam soal perkawinan sudah dimulai sejak Kongres Perempuan Indonesia kedua di Batavia, 20-24 Juli 1935. Usaha itu sempat terhenti pada zaman Jepang. Kembali diteruskan pada era kemerdekaan. Pada 1950 atas desakan gerakan perempuan, pemerintah kembali meneruskan penyusunan Undang-Undang Perkawinan. Untuk keperluan itu, pemerintah membentuk Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk. Dua hal yang paling sering diperdebatkan dalam panitia ini adalah tafsir terhadap poligami dan usia minimal pasangan untuk menikah. Maria dan gerakan perempuan yang tergabung di dalam konfederasi Kongres Wanita Indonesia (Kowani) mengusulkan agar usia minimum pasangan calon pengantin adalah 18 tahun bagi perempuan dan 21 tahun bagi laki-laki. Dalam wawancara proyek dokumentasi arsip sejarah lisan Arsip Nasional Republik Indonesia, Maria menuturkan pada 1 Desember 1952 panitia sudah menyampaikan RUU Perkawinan. Dalam RUU itu disebutkan usia minimal menikah adalah 18 tahun untuk laki-laki dan 15 tahun untuk perempuan. Rancangan tersebut merupakan hasil kompromi dengan berbagai pihak. Menurut Cora Vreede-De Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian panitia penyusunan undang-undang itu berkepentingan untuk menyusun sebuah peraturan perkawinan yang berlaku umum bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa perkecualian dengan berdasar pada Pancasila. Pada April 1954 setelah melewati berbagai perdebatan soal usia minimal dan poligami, panitia menyampaikan rancangan kepada menteri agama. Namun RUU perkawinan itu kembali macet. Baru pada September 1957, Ny Soemarie, anggota DPR, berinisiatif membawa rancangan itu ke parlemen. Usia minimal pernikahan tetap 15 tahun untuk perempuan dan 18 tahun untuk laki-laki. Semenjak 1957, lagi-lagi pembahasan UU Perkawinan macet. Ditambah suasana politik dalam negeri yang tak kunjung reda dari pergolakan. Setelah rezim berganti dari Sukarno ke Soeharto, gerakan perempuan kembali membahasnya. Pada 19 dan 24 Februari 1973, tokoh-tokoh Kowani termasuk Maria Ullfah menemui DPR. Pokok pembicaraan dalam rapat dengar pendapat itu menyepakati bahwa perkawinan harus hasil kesepakatan sukarela antara calon suami dan istri. Ini menghindari adanya kemungkinan kawin paksa dari pihak-pihak di luar pasangan tersebut. Batas usia perkawinan disepakati sekurangnya 21 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun untuk perempuan. Peserta rapat sepakat bahwa perkawinan berasas monogami dan persamaan hak di dalam pengajuan gugatan cerai baik pada istri maupun suami. Setelah hampir 30 tahun berjuang memiliki sebuah Undang-Undang Perkawinan, akhirnya pada 22 Desember 1973, tepat pada peringatan Hari Ibu, DPR mengetuk palu pengesahan RUU Perkawinan. Pada 2 Januari 1974, RUU Perkawinan disahkan menjadi UU Perkawinan No. 1/1974. Namun UU Perkawinan itu tidak mengakomodasi usulan gerakan perempuan tentang usia minimal dalam perkawinan, yakni 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Menurut Maria, pembatasan usia itu tidak lagi ideal, bahkan untuk era tahun 1970-an pun. Pada 18 Juni kemarin Mahkamah Konstitusi menolak gugatan Yayasan Kesehatan Perempuan untuk menaikkan batas usia minimal bagi perempuan. Penolakan MK tersebut sekaligus melanggengkan pembatasan usia minimal yang bahkan pada era 1970-an tidak lagi ideal.
- sah Pinah, Babu Bumiputra yang Bikin Belanda Gempar
PINAH hanya bisa pasrah. Tak bisa baca tulis, tak punya uang, dan tak punya kenalan, famili, atau teman di negeri Belanda membuatnya tak punya pilihan selain tetap tinggal bersama majikannya yang “buas.” Sebagai babu (pembantu rumah tangga) yang didatangkan langsung dari Jawa, gadis berusia sepuluh tahun itu harus siap sedia 24 jam. Majikannya memperlakukannya dengan kasar. Dia hanya mendapat roti kering dan air dingin meski musim dingin. Sandangan pun hanya kebaya dan sarung yang dibawa dari kampung halaman. Berita Pinah yang malang sampai ke banyak telinga. Beberapa orang bersimpati meminta izin untuk merawatnya, namun majikannya malah marah. Alasannya, dia mengeluarkan banyak uang untuk mendatangkan Pinah. Oleh karena itu, Pinah harus merasakan dirinya sebagai budak. Pinah salah satu dari ratusan bumiputra yang menjadi babu di negeri Belanda. Banyak dari mereka dibawa oleh majikan yang pulang atau sekadar liburan. Keintiman dan kepercayaan di antara keluarga majikan dan babunya yang membuat para majikan lebih memilih membawa babu mereka ketimbang mencari babu baru yang belum mereka kenal. “Di mata anak-anak Eropa, pengabdian baboe untuk mereka adalah tak terbatas,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas. Namun, tak sedikit pula babu yang didatangkan ke Belanda. Tak punya kekuatan hukum, status mereka tak ubahnya budak. “Dalam banyak hal orang-orang pribumi itu diperlakukan dengan cara yang mengingatkan orang pada Zaman Pertengahan di Eropa, ketika tuan budak dapat melakukan apa saja terhadap para budaknya,” tulis A. Muhlenfeld, seorang amtenar Hindia Belanda, dalam artikelnya sebagaimana disitir Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah . Alpanya perhatian pemerintah salah satunya karena tak adanya catatan sipil para babu itu. Para majikan atau agen tak mendaftarkan mereka ke dinas sipil lantaran mereka biasanya tinggal hanya untuk sementara. Kantor-kantor pemerintah pun membiarkan dan enggan mencatat karena hampir semua babu itu tak tahu tanggal kelahiran dan tak punya nama keluarga. Akibatnya, selain jumlah para babu tak diketahui pasti, status plus hak mereka pun tak jelas. Hal itu menimbulkan celah bagi para majikan untuk memperlakukan mereka sewenang-wenang. Seorang yang bersimpati kepada Pinah lalu berkirim surat kepada Muhlenfeld, pegawai pemerintah Hindia Belanda yang punya perhatian pada nasib bumiputra yang kebetulan pada Maret 1916 sedang cuti ke Belanda. Dia langsung mendatangi C. Th. van Deventer, penggagas Politik Etis, untuk meminta masukan. Van Deventar tak memberinya solusi, justru memintanya mencari pemecahan masalah yang sudah sering didengarnya itu. Selain mengirimkan sepucuk nota yang menerangkan keadaan pilu para babu di Belanda kepada Kementerian Penjajahan, Muhlenfeld juga membawa persoalan tersebut ke publik. Artikelnya di majalah KolonialeStudien, “Nasib Para Babu Pribumi yang Tinggal di Nederland”, bukan hanya membuat majikan Pinah kena “tembak”, tapi mata para birokrat juga terbelalak. Selama ini para birokrat membiarkan kasus yang mereka ketahui itu sehingga Pinah dan ratusan babu lain harus menjalani hari-hari yang berat. Dalam artikelnya, Muhlenfeld mengusulkan beberapa langkah perlindungan para babu. Di antaranya pendirian penampungan sementara para babu yang menganggur dan sedang mencari pekerjaan. Dengan begitu, mereka tak mesti susah payah cari tumpangan sebelum mendapat tempat menetap atau pulang ke kampung halaman. Jauh sebelumnya, pada 1898 usul itu pernah berhasil untuk menampung para pelaut Jawa yang bekerja di maskapai pelayaran Belanda. Usul Muhlenfeld menarik dukungan kaum etis. G.J. Oudemans, utusan pemerintah yang menangani urusan pribumi di Belanda, mendukung penuh usulan tersebut. Pada Mei 1916, dia mulai menjalankan usahanya yang dia sebut tempat perawatan orang Hindia yang sementara tinggal di Belanda. Selain mendorong pendataan pribumi dan Tionghoa oleh pemerintah Belanda, Oudemans juga mengadvokasi pasangan suami-istri Soekantadisastra-Itji asal Sunda. Pasangan itu menjadi pesakitan lantaran tak mendapatkan hak penginapan dan pakaian sesuai yang tertera dalam kontrak. Namun advokasi itu tak berhasil meski sudah ada gugatan ke pengadilan. Seusai Soekantadisastra keluar rumah sakit akibat TBC, mereka pulang ke Hindia pada Februari 1920. Seminggu setelah tiba, Soekantadisastra meninggal. Istrinya lalu kerja menjadi babu pada sebuah keluarga Belanda di Nice, Prancis. Perhimpunan Oost en West pun terpantik mewujudkan cita-citanya yang sudah lama diimpikan. Dengan bantuan pemerintah, pada 1919 lembaga itu mendirikan persinggahan untuk menampung dan menolong para babu di Belanda. Nasib Pinah mulai berubah setelah masalah babu muncul ke publik. Majikannya menitipkan dia ke rumah sanak-famili di luar negeri, di mana dia mendapatkan perlakuan baik. Ketika dia kembali ke majikannya dan mendapat perlakuan tak manusiawi, kejaksaan Amsterdam tak lagi tinggal diam. Melalui Dewan Perwalian Amsterdam II, Pinah lalu dipindahkan ke Lembaga KR Santo Joseph-Nazareth di Venlo. Meski tak bisa mendapatkan kesempatan pulang ke Hindia, di sana Pinah mendapatkan perlakuan manusiawi dan mendapat pendidikan singkat untuk dipersiapkan sebagai tenaga babu atau pelayan toko.
- Riwayat Kontes Keroncong
KERONCONG jadi raja sehari. Ia terdengar di banyak tempat saat hari ulang tahun ke-488 Jakarta. Stasiun Gambir, radio, dan televisi memperdengarkan keroncong. Sehari kemudian, keroncong sunyi lagi. Ia hanya karib dengan orangtua dan segelintir pengolah keroncong. Padahal hampir seabad lampau, keroncong pernah mencapai puncak popularitasnya. Keroncong wujud akulturasi kebudayaan orang Portugis dan anak negeri pada abad ke-17. Keroncong semula hanya berkembang di wilayah Tugu, Batavia. Melalui jasa seniman sandiwara keliling, keroncong menyebar ke pelbagai penjuru Hindia Belanda dan Malaya pada akhir abad ke-19. Keroncong kian menancap di sanubari rakyat dengan semaraknya konkurs (kontes) keroncong. Konkurs hadir di taman-taman kota Batavia pada 1910-an. “Di park-park seperti Deca Park, Lunapark, dan sebagainya senantiasa ada pertandingan keroncong,” tulis W. Lumban Tobing, penulis musik produktif pada 1950-an, dalam “Musik Krontjong,” Aneka , 20 Oktober 1954. Konkurs keroncong semula bertujuan memanjakan telinga penyuka alunan alat musik petik. Siapa sangka konkurs justru menumbuhkan minat masyarakat pada keroncong? “Konkurs ini mempopulerkan keroncong dan mengarahkannya ke dunia bisnis,” tulis Peter Keppy dalam “Keroncong, Concours, and Crooners” termuat di Linking Destinies: Trade, Towns, and Kin in Asian History editan Peter Boomgaard, Dick Kooiman, dan Henk Schulte Nordholt. Masyarakat dari beragam kelas sosial tumplek blek menyaksidengarkan konkurs keroncong. “Pertandingan-pertandingan tadi tetap dikunjungi beribu-ribu penonton Indonesia asli,” tulis Lumban Tobing. Masyarakat meninggalkan kepercayaan bahwa keroncong musik kelas melarat dan menjauhkan diri dari pikiran bahwa keroncong cuma pantas terdengar dari gang-gang sempit. A. Th. Manusama, penulis buku Krontjong Als Muziek instrument, Als Melodie en als Gezang ( Keroncong Sebagai Instrumen musik, Melodi, dan Lagu , terbit pada 1919), menyebut konkurs keroncong sebagai pijakan kebangkitan keroncong. Dari jumlah penonton, konkurs keroncong berhasil mengungguli konkurs musik Hawaiian pada periode bersamaan. Demam Jazz pada 1920-an pun tak menyurutkan perhatian masyarakat pada konkurs keroncong. Konkurs keroncong memiliki sejumlah keunikan ketimbang konkurs Hawaiian dan Jazz. “Lagu dihadirkan dalam bentuk pantun tradisi Melayu, penuh makna tersirat, dan seringkali menyerempet hal-hal seksual,” tulis Peter Keppy. Laki-laki dan perempuan boleh ikut konkurs keroncong. Mereka kadangkala bertanding antar sesama jenis, kala lain malah bercampur. Tak ada pemisahan pasti. Mereka bisa memenangkan konkurs jika berhasil menciptakan pantun kreatif. Para pemenang bakal menyandang gelar jago atau kampioen . Selanjutnya ketenaran, uang, dan tawaran bergabung ke orkes keroncong akan menghampiri para pemenang. Melihat ketenaran konkurs keroncong, penyelenggara Pasar Gambir, pasar malam tahunan di pusat kota Batavia untuk memperingati kelahiran Ratu Belanda, memasukkan konkurs keroncong ke program wajib Pasar Gambir sejak Agustus 1924. Konkurs keroncong tak lagi hanya adu jago berkeroncong secara personal, melainkan juga secara berkelompok. Peserta datang dari Bandung, Semarang, Sala, dan Surabaya. “Dapat pembaca bayangkan betapa meriahnya peristiwa ini,” kata Rudi Pirngadi, saksi mata konkurs keroncong 1924-1939, kepada Ekspress , 14 Juli 1972. Konkurs menghasilkan keuntungan bagi penyelanggara pasar malam. Kaum pergerakan nasional bersikap berbeda terhadap konkurs keroncong. Mereka menggunakannya untuk menebar benih kebangsaan. Tanpa embel-embel kepentingan bisnis. Armijn Pane dan pendiri Perikatan Perhimpoenan Radio Ketimoeran menggelar konkurs keroncong di Schouwburg, gedung teater prestisius di Batavia, pada awal 1941. Kedatangan Jepang pada 1942 mengubah lagi tujuan konkurs keroncong. Mereka menggunakannya untuk propaganda anti-Barat. Setelah Indonesia merdeka, konkurs keroncong kehilangan pesona. Ia tenggelam cukup lama.
- Membersihkan Najis dari Film
MENYAMBUT Ramadan, stasiun televisi dan bioskop menayangkan film-film bertema Islam. Film-film itu menyampaikan ajaran Islam melalui ide cerita yang beragam. Kesamaan film-film itu terletak pada gagasan bahwa film hanya berupa media dan Islamlah pesannya. Berpuluh tahun lampau, orang mempertentangkan dua hal ini. Film masuk ke Hindia Belanda pada 1900. Khalayak Hindia Belanda menerima kehadiran film. Hari demi hari, film berkembang makin menarik. Dari bisu menjadi bersuara. Semula hanya dokumenter kemudian beranjak mempunyai jalan cerita. Omongan sehari-hari penduduk Hindia Belanda pun mesti bersinggah pada perihal film. Lalu selingkar orang berpaham kaku mengkhawatirkan perkembangan film dalam masyarakat. Menurut mereka pergi ke bioskop menonton film perbuatan tak berfaedah. Film mulai menampilkan adegan percumbuan, pergaulan lelaki dan perempuan bukan muhrim, cerita fantasi, dan mempertontonkan lekuk tubuh perempuan. Orang berpaham kaku akhirnya memvonis film sebagai perusak moral masyarakat, barang berbahaya. Menghadapi vonis terhadap film, ulama Islam belum bersikap. “Hingga saat ini, saya belum membaca satu karangan dari seorang pemimpin agama Islam di Indonesia yang menjatuhkan hukum terhadap film dengan secara radikal,” tulis Soerono, seorang redaktur majalah Islam, dalam Pertjatoeran Doenia dan Film , 1 Djuli 1941. Soerono mencoba meredakan vonis sepihak terhadap film. Dia menggagas pemanfaatan film untuk kepentingan umat Islam. Dia mengambil film Hollywood buat contoh. “Dari Hollywood kita kerap sekali dibikin tercengang dengan pertunjukan filmnya yang 100% berisi propaganda agamanya,” tulis Soerono. Soerono tahu masyarakat Indonesia mempunyai khazanah cerita Islam berlimpah. Menurutnya, pembuat film bisa mengambil cerita itu untuk film. Soerono juga menyarankan pembuat film berdiskusi dengan pemimpin pergerakan Islam. Tujuannya membedakan film dari ceramah agama dan menghindari salah paham dalam menjabarkan Islam. “Demikian itulah yang saya kehendakkan dengan film propaganda agama. Bukannya terang-terangan satu film dengan titel ‘Masuklah Islam’, ‘Jadilah Orang Islam’, dan sebagainya. Cukup dalam cerita dicantumkan satu dua peristiwa suruhan agama,” tulis Soerono. Soerono yakin film bertema Islam bakal segera hadir dan penonton bisa menjadikan kegiatan ke bioskop lebih berfaedah. “Agar sekalipun mereka berada di gedung bioskop dengan mendengar musik-musik, tetapi jiwanya masih tetap berada dalam semangat suasana keislaman,” tulis Soerono dalam Pertjatoeran Doenia dan Film , 1 Desember 1941. Tapi Soerono harus memendam keyakinannya beberapa lama. Sebab pembuat film belum mampu menghadirkan film bertema Islam. Catatan Khrisna Sen, pakar kajian media dan Indonesia kontemporer, menunjukkan film bertema Islam mulai semarak pada 1960-an. Situasi politik mengharuskan para seniman menunjukkan warna kultural dan politiknya. Muncullah film Badja Membara pada 1961. “Film ini menunjukkan Islam sebagai cahaya perubahan,” tulis Khrisna Sen dalam Indonesian Cinema : Framing the New Order . Asrul Sani, Usmar Ismail, dan Djamaludin Malik melanjutkan pembuatan film bertema Islam. Mereka membuat Tauhid . “Film mempunyai nilai keislaman, dan juga menampilkan elan vital revolusioner saat itu, sebagaimana Sukarno dengung-dengungkan,” tulis Hairus Salim dalam “Indonesian Muslim and Cultural Networks” termuat di Heirs to World Culture editan Jennifer Lindsay dan Maya HT Liem. Usaha Usmar Ismail dan kawan-kawan mendapat serangan. Sekelompok orang berpaham kaku menajis-najiskan film. Usmar pun membalas, “Buruk baiknya sebuah film bukanlah bergantung kepada filmnya, tetapi kepada orang yang membikinnya,” tulis Usmar dalam “Siapa yang Najis, Film atau Pembikinnya?” termuat di Usmar Ismail Mengupas Film . Sekarang serangan terhadap film berkurang. Agama dan film bisa muncul bersamaan.






















