Hasil pencarian
9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Selusin Jenderal yang Disingkirkan Hitler (Bagian I)
BUNUH diri atau dibunuh. Dua opsi getir dari Adolf Hitler itu diterima Ernst Röhm di selnya di Penjara Stadelheim, Munich pada 1 Juli 1934 dari dua opsir Schutzstaffel (SS) Brigadeführer Theodor Eicke dan Obersturmbannführer Michael Lippert. Röhm, mantan stabschef (setara kolonel jenderal) pasukan Sturmabteilung (SA, sayap militer Partai Nazi), lantas diberi sepucuk pistol Browning dengan sebutir peluru. “Jika saya ingin dibunuh, biar Adolf sendiri yang melakukannya!” kata Röhm menantang kedua opsir itu sembari menepuk dada telanjangnya, dikutip William L. Shirer dalam The Rise and Fall of the Third Reich. Mendengar itu, Eicke dan Lippert terpaksa menembak sang menteri zonder portfolio di tempat. Melayanglah nyawa mantan tangan kanan Hitler di sore itu, sekira pukul 14.20. Baca juga: Blitzkrieg , Serbuan Kilat ala Nazi Röhm ditangkap dalam operasi Nacht der langen Messer atau “Malam Belati Panjang” (30 Juni-2 Juli 1934), operasi gerakan pembersihan SA yang dilancarkan Hitler yang baru setahun naik jadi kanselir. Röhm yang penyuka sesama jenis alias gay itu memang bukan jenderal lulusan akademi militer. Penyingkiran mantan ketua SA itu berbuntut pada “pembersihan” jenderal-jenderal lain yang dianggap anti-Nazi dalam lingkaran rezim. Pembersihan dimulai dari sekadar dinonjobkan hingga dieksekusi. Berikut enam dari selusin jenderal di antaranya: Kurt von Schleicher General der Infanterie Kurt Ferdinand Friedrich Hermann von Schleicher, Kanselir Jerman sebelum Hitler (Foto: Bundesarchiv) Jenderal jebolan Akademi Militer Prussia yang pada era pemerintahan Republik Weimar menjabat Kanselir Jerman ini terpaksa legowo ketika Presiden Paul von Hindenburg melengserkannya untuk digantikan Hitler pada 1933. Tetapi Schleicher masih menjajal peruntungannya untuk masuk kabinet Hitler dengan mencoba memediasi konflik antara Röhm, ketua SA, dengan sejumlah perwira militer. Tetapi bukannya simpati, Hitler malah memasukkannya ke daftar “pembersihan” bersama Röhm. Menukil John W. Wheeler-Bennett dalam Nemesis of Power: The German Army in Politics, 1918-1945 , Hitler punya dua motif untuk menyingkirkannya. Pertama , untuk memutus gangguan para simpatisan Schleicher di kemiliteran Jerman dan kedua , Schleicher sebelumnya sering mengkritik kabinet Hitler. Baca juga: Aksi Gila Michael Wittmann si Jago Tank Jerman Alasan Schleicher mengkritik yakni, agar ia bisa masuk ke kabinet. Ia bahkan pernah dua kali mengirim surat berisi daftar nama-nama yang mestinya masuk kabinet Hitler, melalui perantaraan kolega setianya, Generalmajor Ferdinand von Bredow, kepala Abwehr (Dinas Intelijen Militer Jerman). Hitler yang terusik pun memerintahkan Direktur Gestapo Obergruppenführer (setara kolonel jenderal) Reinhard Heydrich untuk “membereskannya”. Perintah itu lantas dioper ke bawahannya, Johannes Schmidt. Saat tengah menerima telepon dari temannya pukul 10.30 usai sarapan di vilanya di Postdam pada 30 Juni 1934, Schleicher membukakan pintu untuk tamunya. Seketika dua timah panas menembus tubuhnya hingga ambruk. Elisabeth istrinya yang histeris dan langsung berlari ke arah Schleicher, turut dieksekusi Schmidt. Ferdinand von Bredow Generalmajor Ferdinand von Bredow, kepala Abwehr yang dilenyapkan Hitler (Foto: Bundesarchiv) Dari sekian perwira dalam pemerintahan Kanselir Schleicher (1932-1933), Generalmajor Von Bredow merupakan yang paling setia dengan menjabat sebagai wakil menteri pertahanan. Bredow pula yang acap jadi pengantar surat Schleicher berisi tawaran reshuffle kabinet Hitler, saat Hitler sudah menggantikan Schleicher. “Dalam daftar itu, terdapat nama Schleicher sebagai wakil kanselir, Röhm sebagai menteri pertahanan, Gregor Strasser untuk posisi menteri ekonomi, serta Heinrich Brüning menjadi menteri luar negeri,” sambung Wheeler-Bennett. Namun Hitler justru terusik dengannya. Selain menyingkirkan Schleicher, ia juga mencopot Bredow yang juga menjabat sebagai Kepala Abwehr. Bredow merupakan rival bagi dua antek Hitler, Hermann Goering dan Heinrich Himmler. Baca juga: Heinrich Himmler, Arsitek Genosida Nazi Goering dan Himmler lalu merekayasa laporan bahwa Bredow berkonspirasi dengan Röhm, yang juga musuh Goering-Himmler, untuk menggulingkan pemerintahan Hitler dengan bantuan Duta Besar Prancis untuk Jerman André François-Poncet. Laporan itu dipercaya Hitler yang lantas memasukkan nama Bredow ke daftar musuh politik yang mesti disingkirkan dalam “Malam Belati Panjang”. Di hari kala Schleicher dibunuh, 30 Juni 1934, Bredow sudah tahu bahwa dia pun bakal jadi target berikutnya. Namun tawaran perlindungan di sebuah kedutaan dari seorang koleganya yang menjadi atase militer ditampiknya. “Tidak. Lebih baik saya pulang. Mereka telah membunuh atasan saya (Schleicher). Apa yang tersisa buat saya?” tutur Bredow, dikutip Wheeler-Bennett lagi. Ia pun lantas menyusul Schleicher ketika malam 30 Juni 1934 sejumlah pasukan SS menyatroni kediamannya dan menembaknya. Kurt von Hammerstein-Equord Kolase Generaloberst Kurt Gebhard Adolf Philipp Freiherr von Hammerstein-Equord (Foto: gdw-berlin.de ) Pembersihan dalam “Malam Belati Panjang” (30 Juni-2 Juli 1934) yang dilancarkan Hitler menyasar sejumlah eks militer yang dihormati di kalangan Reichswehr (Angkatan Bersenjata Jerman, pendahulu Wehrmacht). Panglima komando angkatan darat Generaloberst (kolonel jenderal) Hammerstein-Equord salah satu perwira yang paling lantang memprotesnya. Bersama veteran Marsekal August von Mackensen, Equord mengirim memo pada 18 Juli 1934 sebagai bentuk protesnya ke Presiden Hindenburg. Pembangkangan Equord yang paling bikin kesal Hitler adalah ketika sang jenderal sengaja melanggar perintah Hitler, di mana semua perwira aktif dilarang menghadiri pemakaman Schleicher. Sebagai hukumannya, Equord dimutasi ke Grup A AD Jerman, lalu ke Distrik Pertahanan VIII di Silesia. Akibat sikapnya yang anti terhadap antisemit dan kejahatan perang, ia dipecat. Hidupnya tak pernah tenang setelah itu lantaran terus dikuntit agen-agen Gestapo. Baca juga: Marsekal Erwin Rommel Si Rubah Gurun Kendati begitu, sejarawan Udo von Alvensleben yang pernah menjenguknya di kediamannya di Distrik Dahlem, Berlin, pada Februari 1943, menulis di dalam Lauter Abschiede: Tagebuch im Krieg (terj. Farewell: Diary in War ) bahwa Hammerstein-Equord tak pernah segan mengkritik dan mengecam kebijakan-kebijakan rezim Hitler di masa perang. “Saya merasa malu selama berdinas di angkatan darat, di mana saya menyaksikan dan dipaksa mentolelir kejahatan-kejahatan perang,” ucapnya dikutip Alvensleben. Sang jenderal akhirnya berpulang pada 24 April 1943 setelah delapan hari mengalami koma yang merupakan klimaks dari penyakit kankernya. Werner von Blomberg Generalfeldmarschall Werner Eduard Fritz von Blomberg (kedua dari kanan) (Foto: Bundesarchiv) Marsekal oportunis ini punya musuh “depan-belakang”. Sebelum Hitler berkuasa, ia merupakan musuh politik Schleicher dan sempat disingkirkan sehingga mencari dukungan Hitler lewat SA di Prusia Timur. Blomberg yang punya banyak koneksi di Reichswehr lalu dimanfaatkan Hitler untuk merayu kalangan militer agar mendesak Presiden Hindenburg melengserkan Schleicher dari kursi kanselir. Ketika Hitler naik jadi kanselir pada Januari 1933, Blomberg kebagian jabatan menteri pertahanan (menhan). Ia pun “bersih-bersih” di kementeriannya dari para simpatisan Schleicher, termasuk mendepak Kepala Abwehr Jenderal Bredow. Ia juga memecat semua prajurit yang punya darah atau hubungan apapun dengan golongan Yahudi. Ketika Presiden Hindenburg wafat pada 2 Agustus 1934, Blomberg mengubah kewajiban dalam sumpah prajurit, dari terhadap rakyat dan tanah air menjadi sumpah terhadap Hitler selaku Der Führer (pemimpin). Sejak saat itu pula lambang swastika simbol Nazi disematkan di semua seragam militer Jerman. Andai saja ia tak keberatan akan keinginan Hitler memulai agresi ke Balkan dan Eropa Timur pada 1938, mungkin nasibnya beruntung. Bersama Menlu Konstantin von Neurath dan Panglima AD Jerman Jenderal Werner von Fritsch, di sebuah konferensi di Berlin, 5 November 1937, Blomberg menyatakan konsekuensi logis jika Jerman melancarkan agresi ketika kekuatan militer Jerman belum mumpuni. “Blomberg keberatan karena jika agresi ke Eropa Timur dijalankan, dikhawatirkan akan memicu perang berskala besar dengan Prancis, mengingat persekutuan Prancis di kawasan itu. Jika Jerman berperang dengan Prancis, maka Inggris akan ikut campur. Blomberg merasa Hitler harus sedikit lebih sabar menanti dibangunnya kekuatan militer Jerman,” tulis Gerhard Weinberg dalam The Foreign Policy of Hitler’s Germany: Diplomatic Revolution in Europe. Baca juga: Hermann Goering, Sang Tiran Angkasa Nazi Jerman Ketika mendengar kelanjutan penjelasan Blomberg bahwa paling cepat militer Jerman baru akan mumpuni melancarkan perang berskala besar pada 1942, Hitler murka. Kekesalan Hitler ini jadi “amunisi” buat Himmler dan Goering yang sejak lama ingin mendongkel Blomberg. Kedua pentolan SS itu berfriksi dengan Blomberg sejalan dengan saling memata-matai antara Reichswehr dan SS pada 1934-1935. Kesempatan itu tak disia-siakan Himmler dan Goering. Tak lama setelah Blomberg meminang istri keduanya, Erna Gruhn, duet Himmler-Goering mengorek info di arsip kepolisian dan menemukan fakta bahwa Gruhn punya catatan kriminal panjang namun “dipetieskan” Blomberg. Selain punya catatan kejahatan, Gruhn juga seorang anak haram dari seorang ibu yang pelacur. Himmler-Goering langsung “menggoreng” isu itu hingga sampai ke telinga Hitler. Isu itu dimainkan tepat waktu, sebelum Blomberg mengikat hubungan besan politis dengan Marsekal Wilhelm Keitel, di mana putri Blomberg, Dorothea, hendak dipersunting Karl-Heinz, putra sulung Keitel. Goering mengancam Blomberg untuk membatalkan pernikahan itu dan jika tidak, dokumen itu akan diedarkan secara luas ke publik. Hitler yang juga malu setuju usul Goering bahwa Blomberg harus dicopot dari jabatannya dan digantikan Keitel. Karier Blomberg pun habis. Saat Perang Dunia II, Blomberg yang menolak pensiun, dinonjobkan. Blomberg lantas menemui ajalnya di kamar tahanan di tengah-tengah Pengadilan Nuremberg, 13 Maret 1946, akibat kanker usus. Alexander von Falkenhausen General der Infanterie Alexander Ernst Alfred Hermann Freiherr von Falkenhausen (Foto: Bundesarchiv) Ketika terjadi badai politik saat transisi rezim di negerinya, Jenderal (purn) Falkenhausen nyaris tak terpengaruh sedikitpun. Toh ketika Hitler naik jadi kanselir pada 1933, ia sudah pensiun. Ia baru aktif lagi sejak ditugaskan sebagai penasihat militer Chiang Kai-shek di China sebagai bagian dari Kerjasama Sino-Jerman yang dijalankan sejak 1926. Meski sudah berjasa besar pada militer China, Falkenhausen diusir Chiang sebagai imbas aliansi Jerman-Jepang pada 1937. Sepulangnya ke Jerman, pangkat Falkenhausen diaktifkan kembali untuk ditugaskan sebagai gubernur militer di Belgia. Di sinilah hulu kebencian Falkenhausen pada Hitler bermula. Sebagai gubernur militer, ia acap beradu argumen dengan para perwira SS yang memperlakukan Yahudi Belgia dengan brutal. Falkenhausen berulangkali mencegah deportasi puluhan ribu Yahudi ke kamp konsentrasi. Otoritasnya baru terbantahkan ketika Kepala RSHA (Kantor Keamanan Jerman-Nazi yang membawahi SS dan Gestapo) Obergruppenführer Reinhard Heydrich turun tangan. Baca juga: Joseph Goebbels, Setia Nazi Sampai Mati Dari negosiasi antara Falkenhausen dibantu deputi bidang ekonominya Eggert Reeder, sekira 2.200 Yahudi Belgia yang hendak dikirim ke kamp konsentrasi, bisa “dialihkan” menjadi pekerja paksa di utara Prancis untuk membangun Tembok Atlantik. Maka ketika Carl Goerdeler, teman dekatnya yang politikus anti-Nazi, dan Generaldfeldmarschall Erwin von Witzleben mengajaknya ikut berkonspirasi menggulingkan Hitler, Falkenhausen memberi dukungan. “Dia dengan senang hati menawarkan bantuan perencanaan kudeta terhadap Hitler meski pada akhirnya tak ikut terjun langsung pada aksi kudetanya. Ketika percobaan pembunuhan (Hitler) oleh kelompok Plot 20 Juli (1944) gagal, Falkenhausen turut ditahan Gestapo,” ungkap Samuel W. Mitcham Jr. dalam Retreat to the Reich: The German Defeat in France, 1944 . Dari Belgia, ia dan sejumlah anggota komplotan dikirim ke kamp konsentrasi di Dachau atas perintah Hitler. Beruntung bagi Falkenhausen, jalannya perang sudah mendekati akhir dan pada 5 Mei 1945, Falkenhausen bersama 140 tahanan lainnya dibebaskan pasukan Amerika Serikat. Hans Oster Kolase Generalmajor Hans Paul Oster (Foto: Bundesarchiv) Lima tahun lamanya Wakil Ketua Abwehr Generalmajor Hans Oster terpaksa menyimpan rahasia konspirasi membidik nyawa Hitler hingga akhirnya kandas dan berakhir di tiang gantung. Oster sejatinya sudah punya rencana membunuh Hitler sejak September 1938 ketika masih berpangkat oberstleutnant (letnan kolonel). Motif kebencian Oster terhadap Hitler setali tiga uang dengan Hammerstein-Equord. Oster mulanya patuh pada rezim baru Hitler. Kemunculan operasi pembersihan “Malam Belati Panjang” yang menewaskan sejumlah perwira militer dan politikus oposisi membuat pendiriannya berubah. Terlebih, dalam operasi itu seniornya, Jenderal Bredow, turut dihabisi Hitler. Ketika mendengar Hitler mencanangkan invasi ke Cekoslovakia dan Sudetenland (kini masuk wilayah Republik Ceko), kedengkiannya terhadap Hitler makin menjadi-jadi. Ia khawatir jika agresi itu dilancarkan hasilnya bakal getir dan hanya akan ada kehancuran bagi Jerman. Untuk menghentikan rencana Hitler, tiada kata lain buat Oster selain melenyapkan Der Führer. Baca juga: Stauffenberg, Opsir "Judas" Kepercayaan Hitler Menukil Nigel Jones dalam Countdown to Valkyrie: The July Plot to Assassinate Hitler , Oster lebih dulu berkonsultasi dengan senior lain Jenderal Ludwig Beck, yang kelak menjadi atasan Kolonel Claus von Stauffenberg dalam pengeboman markas Hitler pada 20 Juli 1944. Bersama Mayor Helmuth Groscurth, bawahannya di Abwehr, Oster lantas meracik skema pembunuhan Hitler sebelum invasi ke Sudetenland dan Cekoslovakia. “Rencananya adalah menyerbu Gedung Kekanseliran dengan pasukan pimpinan Mayor Hans-Jürgen von Blumenthal yang direkomendasikan Beck dan membunuh Hitler. Para konspirator juga dibantu diplomat Ernst von Weizsacker dan Kordt bersaudara: Theodor dan Erich,” tulis Jones. Kordt bersaudara yang dianggap jadi kunci penting gerakan untuk berhubungan dengan pihak Inggris, ternyata juga jadi kelemahan rencana itu lantaran gerakan baru bisa bergulir jika Inggris menentang invasi Jerman ke Cekoslovakia dan Sudetenland. Rencana gerakan pun berubah lantaran Perdana Menteri Inggris Neville Chamberlain malah bernegosiasi damai ketika Cekoslovakia dan Sudetenland diinvasi Hitler. Rencana gerakan komplotan Oster pun layu sebelum berkembang meski sama sekali tak tercium Gestapo hingga terjadinya pemboman 20 Juli 1944 oleh komplotan Beck yang dilakoni Stauffenberg. Dari catatan harian Laksamana Wilhelm Canaris salah satu anggota Plot 20 Juli, yang disita Gestapo, terbukalah rahasia Oster itu. Atas perintah Hitler, Oster ditahan dan kemudian dimajukan ke tiang gantung pada 9 April 1945 bersamaan dengan eksekusi terhadap Canaris. (Bersambung) Baca juga: Adik Goering Anti-Nazi dan Penyelamat Yahudi
- Bung Karno yang Legowo
Bersahabat dengan Bung Karno membuat Hasjim Ning, pengusaha yang merupakan keponakan Bung Hatta, tahu begitu besar rasa kemanusiaan yang dimiliki sang presiden. Rasa kemanusiaan itu membuat Bung Karno kerap legawa memaafkan lawan-lawan politiknya. Hasjim dapat menyaksikan langsung karena kerap diminta menemani presiden ngobrol dalam sarapan atau resepsi-resepsi lain di Istana. Salah satu peristiwa berkaitan dengan hal itu yang diingat Hasjim terjadi pada suatu siang di tahun 1960-an. Saat itu Hasjim diajak makan oleh Bung Karno. Melihat Bung Karno sedang senang, Hasjim pun membuka pembicaraan soal Des Husein, istri Kolonel Ahmad Husein. Kata Hasjim, beberapa waktu sebelunya Des Husein datang menemuinya dan minta agar diusahakan bisa menemui Bung Karno untuk membicarakan nasib A. Husein suaminya. Ahmad Husein merupakan panglima Dewan Banteng yang menjadi kekuatan utama PRRI dalam memaksakan tuntutannya kepada pemerintah pusat pada 1958. Penggunaan senjata oleh PRRI dianggap sebagai pemberontakan oleh pemerintah pusat sehingga dijawab dengan menggelar operasi militer –Operasi Tujuh Belas Agustus. Setelah secara militer PRRI dapat dikalahkan, satu per satu pemimpinnya memilih kembali ke pangkuan republik. Ahmad Husein termasuk di dalamnya. “Pemerintah pusat bergembira karena Achmad Husein telah menyerah tanggal 23 Juni lalu,” tulis wartawan Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965 . Para pemimpin PRRI itu lalu menjalani “rehabilitasi” di Jakarta. Husein tak terkecuali. Hal itu membuat Des Husein perlu membicarakannya dengan presiden. Untuk itulah Des Husein menemui Hasjim. Meski tak menjanjikan akan menolong, Hasjim bertekad untuk membantu Des Husein. “Maka ketika makan (siang, red .) itu aku bertanya apakah Bung Karno kenal dengan Des Husein,” kata Hasjim dalam dalam otobiografinya yang ditulis AA Navis, Pasang Surut Pengusaha Pejuang . “Des Husein? Siapa itu?” kata Bung Karno balik bertanya pada Hasjim. “Istri A. Husein.” “Mengapa dia?” “Katanya dia mau datang menemui Bapak?” “Oh, suruh dia datang. Aku senang pada itu anak. Dulu waktu ibuku sakit dan dirawat di St. Carolus, dia yang merawat. Karena mengantuk oleh sebab kurang tidur menjaga ibuku, ketika ia pulang, tahunya ditabrak oleh trem. Suruh dia datang ke sini,” kata Bung Karno pula. Jawaban Bung Karno membuat Hasjim lega. Beberapa waktu kemudian, istri A Husein pun menemui presiden di Istana. Hasjim tak tahu bagaimana kelanjutan ceritanya karena dia tak ada di sana waktu pertemuan terjadi. Itu jelas bukan satu-satunya pengalaman Hasjim melihat kemurahan hati sahabatnya. Tentu yang paling sering disaksikan langsung Hasjim adalah perhatian Bung Karno kepada Bung Hatta –begitu pula sebaliknya. Namun kepada lawan politik yang paling keras pun Bung Karno tak pernah ragu memberi bantuan pribadi. Ketika mantan Perdana menteri Sjahrir sakit keras dan perlu dirawat ke luar negeri, Bung Karno membiayai pengobatannya ke Swiss. Hasjim tahu sejak awal lantaran Nyonya Sjahrir meminta bantuan Hasjim. Para pemimpin PRRI seperti M. Natsir atau Sjafruddin Prawiranegara pun diterima sebagai sahabat setelah kembali ke republik. Bahkan kepada keluarga Sjafruddin yang menderita ketika sang kepala keluarga ditahan, Bung Karno memberi dua mobil untuk mobilitas keluarga mereka. Dalam kaitan dengan pengampunan tokoh-tokoh yang terlibat PRRI itulah Hasjim kembali melihat bagaimana Bung Karno merespon permintaan maaf dari lawan politiknya. Itu terjadi pada 1966 ketika kekuasaan Bung Karno telah jauh berkurang akibat G30S. Saat itu Hasjim sedang di Istana menemani presiden yang kemudian menerima Jaksa Agung Soegih Arto. Saat sedang menerima jaksa agung itulah Bung Karno kedatangan tamu seorang perempuan. Nyonya Nawawi, tamu itu, datang bersama saudaranya untuk meminta pengampunan presiden atas keterlibatan suaminya dalam PRRI. Mayor Nawawi merupakan wakil kepala staf TT II Sumatera Selatan pada masa kepemimpinan Panglima Kolonel Barlian. Nawawi diutus Barlian mewakilinya ke Jakarta untuk memenuhi panggilan KSAD sehubungan dengan meningkatnya gerakan daerah terhadap pemerintah pusat. “Akan tetapi apa yang dilakukan Nawawi setelah itu bukanlah pergi ke Jakarta, melainkan kabur ke Prabumulih bersama anak buahnya dengan membawa senjata lengkap. Peristiwa itu membuat situasi di TT-II menjadi goncang,” kata Ibnu Sutowo, panglima TT-II sebelum Barlian, dalam biografi yang ditulis Mara Karma, Ibnu Sutowo Mengemban Misi Revolusi . Setelah PRRI dihancurkan pemerintah, Nawawi menyerah dan ditahan di Jakarta. Karena itulah istri Nawawi perlu menghadap presiden. Ketika diterima Bung Karno, Nyonya Nawawi menangis memohon maaf presiden. Presiden pun langsung menanyakan Hasjim. “Apa jij kenal perempuan yang lagi menangis itu?” “Kenal, Pak. Ia istri Nawawi. Dahulu, waktu Bapak di Bengkulu, ia sering menating air buat Bapak. Ia termasuk kerabat Ibu Fatmawati,” jawab Hasjim yang kenal baik dengan Nyonya Nawawi. Mendapat keterangan Hasjim, Bung Karno langsung bertanya kepada jaksa agung untuk mencari solusi. “Apa keberatannya kalau Nawawi dibebaskan?” “Tidak ada keberatannya, Pak,” jawab Jaksa Agung Sugih Arto. Tak lama kemudian, Nawawi pun bebas.
- Perempuan dalam Teater Bung Karno
PEREMPUAN bagi Sukarno merupakan makhluk Tuhan yang sepatutnya dimuliakan. Bung Karno sadar sebagai pemimpin harus jadi teladan bagi rakyatnya untuk menghormati perempuan. Tidak hanya kepada pengasuh masa bocahnya, Sarinah, atau ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai, ia acap menampilkan spirit tentang perempuan dalam naskah-naskah sandiwaranya. Dalam diskusi live di Youtube dan Facebook Historia.id bertajuk “Drama Bung Karno”, Selasa (30/6/2020), disebutkan Bung Karno punya minat berskala besar terhadap teater di masa pembuangannya di Ende dan Bengkulu dengan mendirikan Toneel-club Kelimoetoe dan kelompok sandiwara Monte Carlo. Dari tak kurang 17 naskah yang dibuatnya, Bung Karno acap menghadirkan tokoh-tokoh perempuan naskah-naskahnya. “Seperti di naskah Chungking-Jakarta . Ini cerita menarik tentang spionase. Di ending cerita ini salah satu spionnya ada muncul sosok Tionghoa perempuan yang menjadi tokoh lumayan sentral. Di (naskah) Rainbow , ada tokoh Putri Kencana Bulan,” tutur seniman teater Faiza Mardzoeki dalam diskusi itu. “Jadi, tokoh-tokoh perempuan di sini cukup aktif. Itu saya pikir spirit Bung Karno (tentang perempuan) cukup terasa di situ. Tapi saat itu Bung Karno tak menampilkan aktor-aktor perempuan, memang, tapi tokoh perempuannya dimainkan laki-laki. Padahal kalau kita lihat Teater Darnadella, misalnya, kan perempuan sudah ikut masuk,” lanjutnya. Baca juga: Bung Karno Dikerjai Anggota Grup Sandiwaranya Soal ini budayawan Taufik Rahzen punya pendapat lain. Menurutnya, Bung Karno memunculkan tokoh perempuan tetapi dimainkan aktor laki-laki karena gaya teater Bung Karno merupakan percampuran teater modern-tradisional. Di satu sisi naskah-naskahnya begitu kosmopolitan, di sisi lain Bung Karno terinspirasi dari ludruk. “Kenapa aktor perempuan enggak main di tonil-tonil Bung Karno? Itu mengikuti tradisi ludruk sebenarnya. Jadi ludruk di Surabaya itu hanya laki-laki yang main, tokoh perempuan ya yang memainkan laki-laki. Sementara perempuan siap di belakang meja dengan Bu Inggit sebagai penata produksinya,” kata Taufik. Para tokoh perempuan di teater garapan Bung Karno yang diperankan aktor-aktor lelaki (Foto: Repro "Bung Karno Maestro Monte Carlo") Inspirasi ludruk begitu kuat dalam karya-karya teater Bung Karno lantaran ketika bersekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) di Surabaya, Bung Karno sering ikut pementasan drama yang terinspirasi gaya ludruk. “Sukarno muda sering terpilih memerankan wanita. Peran wanita cocok untuknya. Wajahnya begitu tampan sehingga terkesan ayu seperti perempuan. Untuk tampak seperti payudara perempuan, Sukarno menyumpalkan dadanya dengan dua potong roti manis. Dengan bedak, lipstick , dan gaun yang dikenakan, dirinya tampak bak gadis jelita,” tulis Walentina Waluyanti de Jonge dalam Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen . Baca juga: Negara Teater dan Teater Negara Bung Karno Totalitasnya memerankan perempuan sering membuatnya dapat komentar-komentar positif dan acungan jempol. “Untung saja dalam adegan aku tidak perlu mencium laki-laki,” kata Bung Karno, dikutip Walentina. Namun sehabis memerankan perempuan, Bung Karno tak mau rugi kehilangan dua buah roti manis yang digunakannya sebagai pengganjal dada. Meski sudah gepeng dan bercampur keringat dan aroma tubuhnya, tetap saja dua roti itu dilahapnya usai pentas. Inspirasi Inggit dan Fatmawati Menurut Taufik, peran perempuan dalam teater Bung Karno lebih banyak untuk urusan-urusan teknis di belakang layar. Di sinilah letak besarnya peranan Inggit. Ia membantu Bung Karno dalam membuat pamflet dan spanduk promosi, pembuatan kostum, hingga tata rias. “Baju-bajunya dia jahit tuh untuk karakter-karakternya. Betapa kita bisa bayangkan aspek produksinya sangat detail. Itu peran Inggit ya. Inggit juga selalu melakukan penataan make up untuk seluruh pemain,” sambung Faiza. Baca juga: Sukarno dan Seni Inggit Garnasih (duduk paling kanan) bersama keluarga Bung Karno di Ende sekaligus jadi pimpro teater Kelimoetoe (Foto: kemdikbud.go.id ) Inggit sejatinya punya makna besar dalam pembentukan ide naskah-naskah teater Bung Karno. Peran Inggit, dikatakan Taufik, membuat Bung Karno bebas bertualang dengan pemikiran-pemikirannya. “Peranan perempuan begitu besarnya di Bung Karno ini, itu Inggit. Ini periode. Bung Karno dibebaskan untuk berkelana dari sudut ide, dan itu dilindungi, dijaga, dipelihara, dirawat, diruwat oleh Inggit. Ketika Bung Karno dipenjara di Bandung, Inggit itu menggantikannya sebagai hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Majalah Persatoean Indonesia . Inggit juga yang membangun dunia Bung Karno melalui bacaan-bacaan yang dikirimkannya,” papar Taufik lagi. “Enam puluh tokoh kutipannya dia gunakan dari ratusan buku dan itu peran Inggit. Tokoh-tokoh itu dibawa (dalam naskah teater) dengan simbol baru. Jadi kosmopolitannya Bung Karno awalnya dipengaruhi ayahnya, ibunya, baru kemudian oleh bacaan-bacaannya dan itu dimungkinkan oleh Inggit,” tambahnya. Baca juga: Teater Zonder Lentera Karya Sastrawan Peranakan Taufik menyebut kebersamaan Bung Karno dengan Inggit dalam sandiwaranya sebagai periode negara teater. Dalam periode ini Bung Karno mengkreasikan naskah-naskahnya dengan beragam imajinasi tinggi dengan inspirasi apapun yang dibacanya. Itu berubah ketika Bung Karno sudah bersama Fatmawati di Bengkulu bersama Teater Monte Carlo, gaya naskah Bung Karno mulai berubah ke periode teater negara. “Kalau enggak ada Fatma, mungkin enggak ada Sukarno yang realistis. Adanya yang idealis, membangun mimpi-mimpi atas dunia teater. Kalau Inggit adalah ibu bangsa, maka Fatmawati itu ibu negara. Dia yang membuat Sukarno realistis. Gagasannya sudah bicara kooperasi dan nonkooperasi. Sukarno menjadi orang yang sangat responsif, tergoda menjawab situasi zamannya,” sambung Taufik. Gedung Royal Cinema di Bengkulu, tempat kelompok tonil Monte Carlo acap manggung pada 1939 (Foto: Repro "Bung Karno Maestro Monte Carlo") Di periode teater negara itu, Bung Karno juga sering mempromosikan tokoh-tokoh perempuan. Salah satunya dalam naskah Rainbow, yang terinspirasi dari Tambo Bangkahoeloe, cerita rakyat daerah aslinya Fatmawati. Tokoh utama dalam naskah Rainbow , Putri Kencana Bulan, terinspirasi dari cerita rakyat itu dengan tokohnya Putri Gading Cempaka. “Perjalanan-perjalanan Bung Karno yang berhubungan dengan idelogi, agama, masyarakat, itu responsif sekaligus kreatif. Dan perjalanan bangsa kita mengikuti mentalitas Bung Karno ini. Peranan perempuan di dalam Sukarno itu amat besar di seluruh karya-karya dia. Jadi sripanggungnya itu memang tanpa (aktor) perempuan, tapi justru sebenarnya nilai dasar perempuan yang dimunculkan dalam karya-karya Bung Karno,” tandas Taufik. Maka selepas dari pembuangan hingga kemudian menjadi presiden, sikap Bung Karno dalam memuliakan perempuan mulai dinyatakan lebih terang. Tak lagi dalam karya-karya naskah teaternya, namun lewat buku Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjuangan Republik Indonesia. Buku tentang pengasuhnya itu dibuatnya sejak 1947 dan rampung pada 1951. Pada 1959, Bung Karno menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu untuk menghormati para perempuan yang berjuang di luar ranah domestik. Penghargaan Bung Karno pada kaum perempuan kemudian dilanjutkan pada 1964 dengan mengangkat sejumlah tokoh perempuan sebagai pahlawan nasional berbarengan dengan penetapan Hari Kartini setiap 21 April. Selain RA Kartini, yang diangkat menjadi pahlawan ialah Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia. Baca juga: Kartini Martir, Bukan Pelakor!
- ITB Rayakan Seabad TH Bandung
Perang Dunia pertama menghalangi orang Hindia Belanda melanjutkan pendidikan tinggi ke Belanda, khususnya ke Technische Hogeschool (TH) Delft. Namun, perang juga telah mengubah pandangan orang Belanda, yang semula berpendapat bahwa Hindia Belanda belum siap memiliki perguruan tinggi. Bahkan, pada 30 Mei 1917 beberapa orang terkemuka d ar i kalangan perbankan, perdagangan, dan perusahaan , mengadakan pertemuan di gedung Nederlandse Handelsmaatschappij di Amsterdam , untuk mendirikan Koninklijk Instituut voor Hoger Onderwijs in Nederlands Indie (Institut Kerajaan untuk Pendidikan Tinggi di Hindia Belanda) . Sebagai pelaksana program, dibentuk Raad van Beheer (Dewan Pengurus) yang diketuai oleh Dr. C.J.K. van Aalst, kemudian diganti oleh J.W. Ijzerman. Dia memiliki pengalaman dalam perkeretaapian di Jawa dan Sumatra, serta pengetahuan yang luas tentang masyarakat Hindia Belanda, termasuk sejarah kuno Jawa dan Sumatra. Institut berhasil mengumpulkan uang sebesar 3.000.000 gulden untuk membiayai pendidikan teknik di Hindia Belanda. Semula mereka berpikir hendak membuka sekolah teknik menengah. Baca juga: Kisah Hubungan Sukarno dan Dosennya di TH Bandung Namun, menurut Adjat Sakri (ed.) dalam Dari TH ke ITB: Kenang-kengangan Lustrum Keempat, 2 Maret 1979 , ketika delegasi Committee Indie Weerbaar (Komite Pertahanan Hindia) berkunjung ke Belanda pada 1917, mendesak keras meminta sekolah tinggi teknik. Raad van Beheer menyetujuinya. Abdoel Moeis, anggota delegasi, dalam pidatonya di hadapanPerdana Menteri C.M. Pleyte dan Dr. A.M. Colijn, mengatakan: "Mana mungkin penduduk bumiputra sanggup melawan Jepang yang begitu kuat dan telah pandai membikin meriam, kapal perang dan teknik persenjataan lainnya. Hindia sulit dipertahankan selama anak negeri belum diajarkanpengetahuan-pengetahuan teknik; kami mengusulkan agar segera didirikan sekolah teknik tinggi, agar penduduk bumiputra dapat ikut serta mempertahankan Hindia di masamendatang." Dukungan pemerintah kolonial Belanda terhadap pendirian sekolah tinggi teknik disampaikan oleh Mr. K.F. Creutzberg, direktur Pendidikan dan Agama, dalam pidato di Volksraad (Dewan Rakyat) pada 1918. Ijzerman kemudian menunjuk Prof. Ir. J. Klopper, guru besar Ilmu Pasti Terapan dan Mekanika di TH Delft, untuk menyusun rencana pembentukan sekolah tinggi teknik di Hindia Belanda. Mereka tiba di Hindia Belanda pada 19 April 1919. Ketika itu belum ditetapkan di mana sekolah tinggi teknik akan didirikan. Pilihannya antara Solo, Yogyakarta, Jakarta, atau Bandung. Technisch Onderwijs Commissie memilih Jakarta. Sedangkan Walikota Bandung, B. Coops menawarkan dan menyediakan lahan seluas 30 hektar –kalau diperlukan, bisa diperluas lagi– untuk sekolah tinggi teknik itu. Baca juga: Ketika Arsitek Belanda dan Dosen TH Bandung Masuk Islam GubernurJenderal Jhr. Mr. J.P. Graaf van Limburg Stirum menyetujui sekolah tinggi teknik didirikan di Bandung. Setelah Dewan Kotamadya Bandung menyerahkan tanah itu kepada Institut, dimulailahpembangunan kompleks gedung kampus. Sebagai perancang ditunjuk Ir. H. MacLaine Pont,sedangkan pelaksana pembangunannya diserahkan kepada Biro Bangunan Kotamadya Bandung di bawah pimpinan direkturnya, Kolonel V.L. Slors. "Semula TH (Technische Hogeschool) direncanakan dibuka pada Juli1922. Namun, gubernur jenderal mengharapkan perguruan tinggi yang pertama di Indonesia itu dapat dibuka dalam tahun 1920," tulis Adjat Sakri. Pembangunan berjalan dengan lancar, sehingga dalam tempo satu tahun bangunan inti sudah berdiri. Pada hari Sabtu,3 Juli 1920, gubernur jenderal meresmikan berdirinya TH, bertempat di gedung yang sekarang ditempati Perpustakaan Pusat. Seminggu kemudian perkuliahan mulai berjalan. Tangkapan layar berita sidang terbuka peringatan 100 tahun Perguruan Tinggi Teknik di Indonesia (PTTI) atau pendirian TH Bandung, 3 Juli 2020. ( itb.ac.id ). Pada 18 Oktober 1924, Institut menyerahkan TH kepada pemerintah. Institut kemudian dibubarkan. Dengan sendirinya College van Directeuren (Dewan Direksi) sebagai wakil Raad van Beheer juga dibubarkan.Presiden Direkturnya, K.A.R. Bosschadiangkat sebagai presiden College van Curatoren (Dewan Pengawas).Untuk menghargai jasaBosscha, namanya disematkan pada laboratorium fisika yang dibuka pada 18 Maret 1922. Pada awal berdirinya TH terdiri atas Fakultas Bangunan Jalan dan Air. Setelah beralih ke tangan pemerintah, nama itu diganti menjadi Technische Hogeschool te Bandung, Faculteit van Technische Wetenschap, Afdeling der Weg- en Waterbouwkunde , dan dikenal dengan singkatan TH atau THS. Adjat Sakrimencatat bahwa jumlah mahasiswa pada waktu TH dibuka ada 22 orang. Kemudian bertambah menjadi 28 orang, yang terdiri atas 22 orang Belanda, 2 di antaranya perempuan; 2 orang Indonesia, dan 4 orang Tionghoa; semuanya lulusan HBS. Di samping itu, tercatat 5 mahasiswa luar biasa; 3 orang untuk ilmu pasti dan 2 orang untuk fisika. Selama tahun pertama, seorang mahasiswa Belanda dan seorang mahasiswa Indonesia mengundurkan diri, sedangkan seorang mahasiswi terpaksa menghentikan studinyakarena sakit. Dengan demikian, ada 25 mahasiswa yang melanjutkan studi. Setelah tiga tahun berjalan, mahasiswa Indonesia yang tinggal seorang menghentikan studinya. Baca juga: Insinyur Teknik Sipil Pertama Indonesia Lulusan Belanda Empat tahun kemudian, pada 1 Juli 1924, berlangsung wisuda 12 orang insinyur pertama, seorang di antaranya perempuan. Dalam pidato sambutan, Ir. M. H. Damme, ketua Groep Indie van het Koninklijk Instituut van Ingenieurs merangkap anggota Dewan Pengawas, mengatakan: "Seorang insinyur jangan hanya bergerak di dalam bidang keteknikan yang sempit; ia harus juga mengarahkan perhatiannya kepadapersoalan sosial-ekonomi yang langsung berhubungan dengan masalah keteknikan. Pendidikan insinyur dewasa ini menjadi begitu luas, sehingga para lulusannya harus mampu menghadapi soalyang lebih umum." Baru pada wisuda ketiga bertepatan dengan dies natalis keenam, pada 3 Juli 1926, untuk pertama kali TH Bandung menghasilkan empat insinyur bumiputra, yaitu Sukarno (kemudian menjadi presiden pertama Republik Indonesia), M. Anwari (swasta), J.A.H. Ondang (swasta), dan M. Soetedjo (kemudian menjadi guru besar ITB). Tangkapan layar berita sidang terbuka dies natalis ke-61 ITB, 2 Maret 2020. ( itb.ac.id ). TH Bandung ditutup pada 1942 ketika Belanda dikalahkan Jepang. Pemerintah militer Jepang kemudian mendirikan Bandung Koo Gyoo Dai Gaku pada 1944. Setelah Indonesia merdeka pada 1945, Bandung Koo Gyoo Dai Gaku diambil alih dan diubah menjadi Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung yang dipimpin oleh Prof. Ir. Roosseno. Tak lama berjalan, STT Bandung mengungsi ke Yogyakarta karena terjadi perang kemerdekaan melawan Sekutu dan Belanda. STT Bandung dibuka kembali di Yogyakarta pada 17 Februari 1946. Pemrakarsanya adalah Ir. Wreksodiningrat, insinyur teknik sipil pertama Indonesia lulusan TH Delft, Belanda. Dia menggantikan Roosseno sebagai pemimpin STT Bandung pada 1 Maret 1947. STT Bandung diubah menjadi STT Jogjakarta, yang kemudian menjadi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Baca juga: Jasa Sang Insinyur Teknik Sipil Pertama Indonesia Sementara itu, NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) mendirikan Nood Universiteit (Universitas Darurat) di Jakarta, yang kemudian berubah menjadi Universiteit van Indonesie. Menurut Rahardjo Darmanto Djojodibroto dalam Tradisi Kehidupan Akademik , setelah pengakuan kedaulatan, Universiteit van Indonesie diambil alih pemerintah Republik Indonesia Serikat. Universiteit van Indonesiedigabungkan dengan Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia menjadi Universiteit Indonesia atau Universitas Indonesia (UI) pada 2 Februari 1950, tanggal ini ditetapkan sebagai dies natalis UI. UI terdiri atas Fakultas Kedokteran, Hukum, Sastra dan Filsafat di Jakarta, Fakultas Kedokteran Gigi di Surabaya, Fakultas Ekonomi di Makassar, Fakultas Teknik di Bandung, dan Fakultas Pertanian di Bogor. Fakultas-fakultas itu kemudian dipisahkan dari induknya, UI. Fakultas Kedokteran Gigi di Surabaya menjadi Universitas Airlangga (1954), Fakultas Ekonomi di Makassar menjadi Universitas Hasanuddin (1956), Fakultas Teknik di Bandung menjadi Institut Teknologi Bandung (1959), dan Fakultas Pertanian di Bogor menjadi Institut Pertanian Bogor (1963). Pemerintah Indonesia meresmikan berdirinya ITB pada 2 Maret 1959. Dengan demikian, ITB punya dua peringatan: dies natalis ke-61 pada 2 Maret 2020, kemudian merayakan seratus tahun Pendidikan Tinggi Teknik di Indonesia atau pendirian TH Bandung pada 3 Juli 2020.
- Akhir Petualangan Haji Prawatasari
Begitu Ki Mas Tanu dan komplotannya diamankan ke Afrika Selatan, VOC melancarkan secara gencar operasi perburuan Haji Prawatasari. Tidak cukup mengerahkan para serdadunya, VOC pun menghargai kepala Haji Prawatasari dengan uang 300 ringgit. Namun tak seorang pun tertarik dengan tawaran tersebut. Sementara itu, aksi-aksi perlawanan secara gerilya terus menerus dilancarkan oleh pasukan Prawatasari, mulai dari Utama, Bojonglopang (masuk Karawang), dan Kawasen di daerah Priangan Timur. Dia pun sempat menyusup kembali ke wilayah Jampang Manggung dan kemudian pindah ke wilayah Bogor untuk mengganggu lagi pinggiran Batavia. Situasi tersebut tentu saja menjadikan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (1704—1709) berang. Dia lantas mengeluarkan intruksi keras, ditujukan kepada para bupati Priangan. “Diwajibkan bagi seluruh bupati untuk mencegah masuknya para penjahat atau perampok seperti Prawata serta semua musuh Kompeni dan Kerajaan Cirebon ke daerah masing-masing. (Diwajibkan pula) untuk menyerahkan mereka hidup atau mati kepada Pangeran Aria Cirebon atau penguasa Kompeni di Cirebon, jika tidak mengindahkan intruksi ini maka para bupati akan dihukum dan dipecat."demikian menurut sejarawan Belanda F.de Haan dalam Priangan; de Preanger Regentschappen Onder het Nederlandsche Bestuur tot 1811. Menurut sesepuh Cianjur Aki Dadan, Prawata sadar bahwa seruan itu menempatkan dirinya ada dalam posisi berhadapan langsung dengan para penguasa Priangan termasuk dengan sang kakak, Aria Wiratanu II. Tidak ingin “menyusahkan” para bupati dan rakyat yang diam-diam selalu mendukung perjuangannya, Prawata dan pasukannya menyingkir ke wilayah Kertanegara di Banyumas. Grup pemburu dari VOC pun bergegas menuju tempat yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Purbalingga tersebut. Pada 1706, sepasukan serdadu VOC pimpinan Kapiten Zacharias Bintang (1660—1730) berhasil memukul mundur pasukan kecil Prawatasari dari Kertanegara. “Usai mengusir penjahat Radin Panwata Sari (Prawatasari) dari wilayah Kertanegara, Bintang pun mendirikan benteng di wilayah itu,” demikian penuturan Valentijn Zie dalam Oud en Niew Oost Indie . Kapiten Bintang merupakan salah satu perwira VOC terkemuka asal Manipa, Maluku. Menurut Zie, dia memiliki pengalaman tempur yang mumpuni. Pernah bertempur bersama Kapiten Jonker (masih sepupunya) di Palembang, Sailan, India dan dua tahun sebelum berhadapan dengan pasukan Prawatasari, Bintang dengan 500 prajurit Malukunya sempat mengalahkan pasukan Demak. Begitu mundur dari Kertanegara, Prawatasari dan pasukannya menyingkir ke Bagelen, suatu wilayah yang terletak di Purworejo. Di sinilah kemudian pada 1707 pasukan menak dari Cianjur itu dihabisi oleh kompeni. Haji Prawata sendiri tertangkap hidup-hidup dalam pertempuran itu. Tentara kompeni kemudian membawa sang haji ke Kartasura. Tidak lama setelah tertangkap, dia pun dihukum mati. Namun sebagian besar sesepuh Cianjur menyebut versi kisah ini sebagai omong kosong pihak Belanda semata. Menurut Aki Dadan, sesungguhnya Haji Prawatasari tak pernah dibawa hidup-hidup ke ibu kota Mataram tersebut. “Untuk apa dibawa ke sana? Kenapa tidak dibawa saja ke Batavia kalau memang dia bisa ditangkap hidup-hidup?” ujar Aki Dadan. Para sesepuh Cianjur yang diwakili Aki Dadan percaya bahwa saat diserang di Bagelen pada 12 Juli 1707, Haji Prawatasari memilih untuk melakukan pertarungan habis-habisan. Dalam kondisi terdesak, Haji Prawata memerintahkan para pengikutnya untuk masing-masing menyelamatkan diri. “Haji Prawata sadar, saat itu ajal sudah datang menjemputnya dan menginginkan agar para pengikutnya selamat untuk meneruskan perlawanan terhadap VOC,” ujar Aki Dadan. Dalam kenyataannya, kata Aki Dadan, hanya 11 pengawal yang menuruti perintah sang haji termasuk kakek buyutnya yang bernama Ayah Enggon. Sedang salah seorang dari mereka memilih untuk mendampingi Haji Prawatasari. Sepeninggal 11 pengawal tersebut, pertempuran pun terus berlangsung. Bumi Bagelen menjadi saksi bagaimana “dua maung dari Cianjur” mengamuk. Tanpa menghiraukan luka-luka yang memenuhi tubuh mereka, Haji Prawata dan sang pengawal terus melawan hingga mereka tumbang dan gugur dalam posisi saling melindungi di sebuah batu besar. “Menak yang masih membujang itu akhirnya perlaya (gugur) dalam usia 28 tahun,”kata Aki Dadan. Selanjutnya tak ada kejelasan, kemana pihak tentara VOC membawa kedua jasad pejuang tersebut. Yang jelas, hari ini menurut Aki Dadan di Desa Bingkeng masuk dalam wilayah Kecamatan Dayeuh Luhur, Cilacap, ada dua makam yang dianggap keramat dan diyakini sebagai tempat peristirahat terakhir “dua maung” itu. “Salah satu makam yang paling besar dikenal orang-orang sana sebagai makamnya Raden Aria Salingsingan,” ujar sastrawan Cianjur itu. Versi mana yang benar? Hingga kini belum ada kejelasan. Mungkin seharusnya dengan adanya berbagai versi tersebut, memicu Pemerintah Kabupaten Cianjur membentuk tim riset representatif untuk mengguar sejarah perjuangan Haji Prawatasari. Terlebih jika sosok tokoh itu akan dicalonkan kembali menjadi Pahlawan Nasional dari Jawa Barat di waktu mendatang.
- Perluasan Lahan Pertanian pada Zaman Kuno
Meski penduduknya belum padat, orang-orang zaman kuno sudah membutuhkan perluasan lahan pertanian. Namun, perluasan lahan pertanian tidak bisa sembarangan. “Dalam masyarakat agraris, tanah menjadi sangat penting karena merupakan lahan olahan,” kata I Gusti Made Suarbhawa, kepala Balai Arkeologi Bali, dalam webinar “Pertanian di Bali: Dulu, Kini, dan Akan Datang” yang diadakan Balai Arkeologi Bali via zoom , Selasa, 30 Juni 2020. Pertanian merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk Bali Kuno. Ketika membutuhkan lahan lebih luas, mereka memanfaatkan hutan kerajaan atau hutan larangan. Namun, ada prosedur yang harus dipatuhi. “Tak bisa seenaknya bawa parang, golok, tebang pohon menjadi lahan pertanian, tempat berkebun. Di sini terlihat peran pemerintah,” kata Suarbhawa. Pertanian Tulang Punggung Pertanian dipercaya berkaitan dengan penutur bahasa Austronesia sekitar 4.500–3.000 tahun lalu. Kegiatan mengolah lahan itu menyebar dariTaiwan ke Filipina, Kalimantan utara, Jawa timur, Indonesia timur,dan Bali. Pada waktu itu, pertanian dianggap tulang punggung kehidupan orang zaman kuno. Suarbhawa menguraikan,orang Bali Kuno memanfaatkan lahan untuk berladang ( parlak ) dan berkebun ( mmal , ngmal , kbwan/kbwan , kebon , gaga/pagagan ). Keduanya telah disebut sejak masa penulisan Prasasti Sukawana I (882), yakni prasasti pertama Bali Kuno yang memuat angka tahun, hingga prasasti dari abad ke-12, salah satunya Prasasti Kintamani E. “Pertanian lahan kering merupakan praktik pertanian tua di muka bumi, terdiri atas beberapa jenis yakni pertanian di ladang, pertanian di tegalan ( tgal ), dan pertanian di kebun,” kata Suarbhawa. Dalam Prasasti Batur Pura Abang A (1011) disebutkan tanaman yang dibudidayakan di lahan pertanian kering: Gangan (sayur-sayuran); mulaphala (umbi-ubian) seperti jahe ( pipakan ), bawang putih ( rasuna ), bawang merah ( bawang bang ), dan talas ( tals ); buah-buahan ( sarwaphala ); dan kasumba. Dari beberapa prasasti diketahui tanaman lain, seperti nyu/tirisan (kelapa), blu (pisang), jirk (jeruk), mende (mundu), kapulaga, wungkudu (mengkudu), pinang, kemiri, sirih, hano (enau), pring/tihing/amplal/petung (bambu), kapas, biji-bijian, seperti kacang hijau ( hartak ), jagung, ketumber, ketela rambat, dan cabya (cabai). Berdasarkan Prasasti Sukawana I ( 882 ) , pertanian di lahan basah juga sudah dilakukan. “ Bahkan , diduga sudah dipraktikkan jauh sebelumnya,” kata Suarbhawa. Dalam prasasti itu disebut kata huma yang berarti sawah. Kata sawah itu dapat berarti sawah tadah hujan atau sawah irigasi. Kata huma juga terdapat dalam Prasasti Bangli Pura Kehen A (935), Prasasti Dausa Pura Bukti Indrakila I (935), Prasasti Serai A I (966), dan beberapa Prasasti berbahasa Bali Kuno lainnya. Sementara kata sawah yang artinya juga sawah, ditemukan pada prasasti berbahasa Bali Kuno,seperti Prasasti Batuan (1022), Prasasti Dawan (1053), Prasasti Tengkulak (1023), Prasasti Pandak Bandung (1071), Prasasti Klungkung (1072), Prasasti Buahan D dan E(1181), Prasasti Bugbug, Prasasti Sukawana B, Prasasti B, Prasasti Timpag, dan beberapa prasasti lainnya. Memanfaatkan Hutan Perluasan lahan pertanian basah dari hutan atau semak menjadi sawah termuat dalam Prasasti Sading A (1001), Prasasti Ujung (1020), Prasasti Batuan, Prasasti Dawan, Prasasti Buahan D dan E, Prasasti Sukawana B, Prasasti Timpag, Prasasri Bugbug, Prasasti Batujaya B (1181), dan Prasasti Langkan (tanpa tahun). Prasasti- prasasti itu menerangkan, secara berurutan petani membersihkan lahan ( amabaki ), meratakan tanah ( mangarapuh ), membajak ( amaluku ), menanam ( atanem/mamula ), menyiangi padi ( amatun/majakut ), menuai padi ( ahani/mangharanyi ), dan menumbuk padi ( anutu/manutu ). Masyarakat harus meminta izin karena perluasan lahan pertanian itu memanfaatkan hutan kerajaan atau hutan larangan. Prasasti Batur Pura Abang Amenceritakan penduduk Desa Er(air) Hawang, sekarang identik dengan Desa Abang, memohon kepada Raja Udayana agar hutan tempatnyaberburu dihibahkan dan dimasukkan ke dalam Desa Air Hawang. Hutan itu berdekatan dengan Desa Air Hawang. Penduduk berharap hutan itu bisa dimanfaatkan untuk kebun atau lahan pertanian dengan ditanami sayur-sayuran, umbi-umbian, padi gaga, dan berbagai jenis tanaman yang dapat menyejahterakan masyarakat. M asyarakat Bali Kuno juga pernah membeli sebagian lahan hutan buruan milik raja karena mereka kekurangan lahan untuk mencari pakan sapi dan mengambil kayu. I Wayan Ardika, Guru Besar Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana,menjelaskan bahwa berdasarkan Prasasti Bwahan B (1025) dari masa Raja Marakata, hutan perburuan yang ingin dibeli penduduk letaknya dekat dengan desa. Hutan itu dibeli 10 suwarna mas dan pilih mas-nya 10 masaka . “Meningkatnya kebutuhan manusia akan sumber-sumber alam adalah satu sebab timbulnya keresahan dalam masyarakat,” tulis Ardika dalam “Pengambilan Keputusan Raja-Raja Bali Abad X-XI”, yang terbit di Pertemuan Ilmiah Arkeologi III . Ekstensifikasi lahan berlanjut pada masa Kerajaan Bali Pertengahan. Pada pertengahan abad ke-19, Kerajaan Mengwi mencetak sawah-sawah baru di utara Desa Blahkiuh sampai Desa Plaga, Desa Gerana, dan Desa Abiansemal. Kerajaan itu juga melakukan ekstensifikasi lahan untuk penanaman kopi di utara Desa Petang sampai Desa Plaga. Demikian pula dengan wilayah pegunungan Kerajaan Tabanan, Gianyar, Buleleng, dan Bangli sekira 1855–1875. “Sangat pesat perluasan penanaman kopi. Komoditas kopi menjadi salah satu primadona kerajaan-kerajaan saat itu termasuk juga penanamannya, diekspor melalui pelabuhan Bali Utara, di Buleleng,” kata Suarbhawa. Semua Tanah Milik Raja Ahli epigrafi, Boechari dalam “Kerajaan Mataram dari Prasasti” yang terbit di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti ,menyebut bahwa pemerintah pusat memegang catatan tentang luas dan berbagai macam tanah yang ada di seluruh kerajaan. Pun berapa penghasilan pajak yang dapat diterima. Tanah yang dikenai pajak adalah sawah, pegagan atau sawah kering, kebun, sungai, rawa, dan lembah sungai. P ajaknya ditetapkan berdasarkan luas, terutama sawah dan kebun. Penetapan ini sering menimbulkan sengketa akibat standar ukuran yang berbeda. Menurut arkeolog Universitas Gadjah Mada, Djoko Dwiyanto dalam “Pungutan Pajak dan Pembatasan Usaha di Jawa pada Abad IX-XV Masehi” dalam jurnal Humaniora ,I/1995,dalam bahasa Jawa Kuno pajak disebut drabya haji . Selain berarti pajak secara umum, ia juga bermakna “milik raja”. Pengertian itu muncul dari anggapan rajalah yang punya hak atas tanah dan segala aktivitas di atas tanah itu. Sementara rakyat hanya punya hak menggarap dan mengelola. “Hak raja atas sebagian pembagian hasil itu diwujudkan dalam bentuk iuran sejumlah emas dan perak. Iuran ini harus diserahkan ke kas kerajaan,” tulis Djoko. Sanksi Bagi Pelanggar Karena dianggap milik raja,maka pengalihan fungsi hutan menjadi tanah garapan menjadi lebih ketat. Ada sanksi berat bagi yang membabat alas secara liar. Sektiadi, dosen arkeologi UGM dalam “Pengelolaan Risiko Bencana Kerajawian: Tinjauan Atas Beberapa Prasasti” termuat di Menggores Aksara, Mengurai Kata, Menafsir Makna , menjelaskan bahwa pada masa lalu tak hanya penanaman pohon , ada juga larangan penebangan pohon. Seperti di Bali terdapat jenis-jenis pohon yang tidak boleh ditebang. Prasasti Tengkulak A memberitakan,pohon-pohon yang dilarang boleh ditebang hanya dalam kondisi tertentu. Pohon kemiri, Bodhi, beringin, sekar kuning, mende, jirek, kemukus, kapulaga, enau, wungkudu, dan semua jenis kayu larangan diizinkan ditebang apabila kayu itu tumbuh di tengah lahan pembuatan saluran irigasi atau kali, menaungi sawah, rumah, dan tempat suci. Terutama pohon kelapa, penebangannyatidak dikenakan denda. “Penanaman pohon dan larangan penebangan pohon merupakan salah satu upaya untuk mengonservasi lahan sehingga tidak terjadi berbagai bencana, terutama yang berkaitan dengan kekeringan, banjir, dan tanah longsor,” tulis Sektiadi.
- Kisah Hamka dalam Tahanan Polisi
Sekali siang di awal tahun 1964, Buya Hamka didatangi sejumlah polisi dari Departemen Angkatan Kepolisian (DEPAK). Berbekal Surat Perintah Penahanan Sementara, berdasarkan PenPres No. 11 tentang penangkapan orang-orang yang dicurigai, para polisi berpakaian preman itu melakukan penggeledahan di kediaman Hamka. Menurut putra sulung Hamka, Yusran Rusydi, dalam Buya Hamka: Pribadi dan Martabat , ayahnya dibawa tanpa mengetahui kesalahan apa yang telah diperbuat. Keluarga pun hanya bisa pasrah menerima penahanan tersebut karena surat penahanan langsung datang dari presiden. Hamka diketahui ditahan di Sekolah Kepolisian Sukabumi, Jawa Barat. Hamka baru mengetahui tuduhan kepadanya ketika berada di dalam tahanan. Sewaktu diinterogasi, para polisi itu mengatakan bahwa Hamka telah bersekongkol dengan Malaysia untuk menggulingkan pemerintah Indonesia dan membunuh Presiden Sukarno. Lebih khusus, dirinya dituduh mengadakan rapat-rapat rahasia, serta menyebar gagasan subversif di Pontianak dan Jakarta. Bahkan para polisi itu yakin Hamka telah menerima uang sebesar empat juta rupiah dari Perdana Menteri Malaysia Tuanku Abdul Rahman. “Aparat tidak mengumumkan penahanannya, tapi bisik-bisik mengenainya segera menyebar di jamaah Masjid al-Azhar dan kelompok-kelompok politik. Ketika orang dalam rezim Sukarno, Ruslan Abdulgani, menggantikan Hamka memberi khotbah shalat Idul Fitri, sebagian besar jamaah shalat berdiri dan pergi sebagai protes,” tulis James R. Rush dalam Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern. Di dalam catatan kecil yang ditulis sendiri oleh Hamka, kemudian diterima secara diam-diam oleh putranya Fachry, tentang bulan-bulan pertamanya tinggal di tahanan diketahui bahwa para polisi menginterogasinya habis-habisan. Hamka dicerca banyak pertanyaan tentang kehidupan pribadi, hingga mengarah kepada rencana pembunuhan Sukarno. Ketika dia menjawab “Tidak tahu”, para penyidik tidak memercayainya dan menyebut dia menghalangi penyidikan karena berbohong. Ketika sedang menginterogasi, kata Rush, para penyidik kadang memperlakukan Hamka dengan begitu hormat, memanggil dia “Pak Hamka”. Tetapi tidak jarang mereka bersikap kurang ajar, kadang menelanjangi Hamka sampai tinggal berpakaian dalam dan menghinanya dengan menyebut “Kiyai Pembohong”. Namun melalui para penegak itu jugalah Hamka mengetahui jika tuduhan polisi kepadanya dibuat berdasar informasi dari beberapa orang kenalan Hamka, salah satunya seorang pemuda Masyumi bernama Zawawi. Hamka tidak percaya pemuda yang diingatnya begitu baik bisa membuat pengakuan yang salah. Tidak hanya Zawawi, rekan Hamka di Masjid al-Azhar Ghazali Sjahlan pun membuat pengakuan yang sama tentang Hamka. Kenalan Hamka yang lain seperti Nasuhi, juga membuat tudingan kepadanya. Belakangan Hamka bertanya kepadanya, “Apa sebab saudara memfitnah saya?” “Kita ini semuanya telah kena fitnah. Fitnah ini dibuat komunis untuk menghancurkan kita dan menyingkirkan kita dari masyarakat. Saya sudah mengakui tuduhan palsu ini setelah saya disiksa. Kabarnya kawan-kawan yang lain juga disiksa. Sebab itu saya nasehatkan kepada Pak Hamka supaya Pak Hamka mengakui saja,” ucap Nasuhi dalam bahasa Arab. “Apa yang akan saya akui, padahal saya tidak berbuat sama sekali?” kata Hamka. “Karang-karangkan sajalah satu pengakuan,” jawab Nasuhi. “Karena kalau polisi-polisi ini tidak mendapatkan juga apa yang mereka ingin, Pak Hamka akan mereka pukul. Pak Hamka sudah tua, tidak tahan nanti kena tangan. Nanti di hadapan Hakim kita buka sebab apa kita harus terpaksa mengaku." Hamka awalnya menolak tegas usulan Nasuhi. Tetapi pada 6 Februari, kata Rush, Hamka mengakui semuanya. Dia membuat pengakuan palsu berdasar informasi yang dibuat oleh Zawawi. Jadi Hamka hanya menambahkan bumbu di dalam karangan Zawawi. Semua itu dilakukannya demi menghindari siksaan yang lebih berat dari para polisi. Namun Hamka tetap bertekad membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Dia lalu meminta keluarganya membawa buku catatan harian di tahun-tahun sebelumnya. Berdasar informasi di dalamnya, Hamka memastikan bahwa dia tidak mungkin melakukan pertemuan-pertemuan rahasia. Pidato-pidato karangannya pun tidak ada yang menentang konfrontasi Sukarno terhadap Malayisa, malah sebaliknya. Dia juga tidak pernah mendorong tindakan makar yang dituduhkan kepadanya. Pada akhir Maret, Hamka mendapat kabar secara pribadi dari kepala penginterogasi bahwa dia dan timnya telah menyimpulkan seluruh perkara Hamka tidak terbukti. Dia meminta maaf karena telah memperlakukan Hamka dengan buruk selama tujuh minggu terakhir, dan berjanji akan mencari tahu sumber tuduhan palsu itu. “Beberapa penginterogasi membawakan pisang dan rokok, serta meminta nasihat rohani darinya,” tulis Rush. Meski begitu perkara yang sudah berjalan tidak bisa dihentikan begitu saja. Hamka tetap menjalani tahanan, meski kondisinya sudah lebih baik dari sebelumnya. Seorang komisaris polisi yang mendampingi Hamka menyebut urusan kali ini bukan secara hukum terjadi, tetapi lebih kapada urusan politik. Bagi Mohammad Roem, yang juga turut menjadi tahanan Sukarno, dalam Bunga Rampai dari Sajarah , kondisi politik pada akhir pemerintahan Sukarno itu memang memaksa orang-orang yang tidak disukasinya harus tersingkir. Selama dua setengah tahun berikutnya, Hamka ditetapkan akan meringkuk di tahanan tanpa proses pengadilan. Selama itu pula dia terus dipindah-pindah di sekitar perbukitan Bogor. Tetapi pada akhir-akhir masa tahanan, sekitar Agustus 1964, Hamka dipindah ke Rumah Sakit Persahabatan di Jakarta Timur karena harus mendapat perawatan akibat penyakit diabetes dan wasir yang dideritanya. Hamka baru dibebaskan pada sekitar awal 1966.
- Aksi Penyamaran Hoegeng
Pernahkah anda membayangkan seorang Kepala Kepolisian RI mengenakan wig panjang dan kemeja bunga-bunga berikut syal di leher, lalu menghisap rokok kretek sambil pura-pura teler? Aksi demikian pernah dilakukan Jenderal Hoegeng Iman Santoso, Kapolri periode 1968—1971. “Itulah pekerjaan gila yang pernah saya lakukan ketika saya menjabat kepala polisi, menyamar jadi hippies dan bergaul di antara para pecandu narkotik,” tutur Hoegeng kepada wartawati Tempo Leila S. Chudori pada 22 Agustus 1992, yang dimuat dalam jilid ketiga Memoar Senarai Kiprah Sejarah . Hoegeng terpaksa menyamar. Peredaran narkotika di kalangan anak muda telah sampai tahap yang meresahkan. Hoegeng tentu sadar tindakannya penuh resiko dan membahayakan diri. “Ini bukan adegan televisi. Saya gemar menyamar untuk mengetahui persoalan-persoalan yang sesungguhnya,” kata Hoegeng. Jadi Pelayan Restoran Cara-cara penyamaran dalam operasi kepolisian telah dilakoni Hoegeng sejak zaman revolusi. Pada 1948, situasi keamanan dalam negeri begitu mencekam. Setelah Insiden Madiun diakhiri menyusul kemudian agresi militer Belanda yang kedua. Saat itu Hoegeng tercatat sebagai siswa Akademi Kepolisian Mertoyudan Magelang yang sudah berdinas sebagai polisi aktif. Rentetan gejolak itu membuat Kepala Kepolisian Negara Raden Said Soekanto menugaskan beberapa perwira polisi menyusun jaringan sel subversi di Yogyakarta. Hoegeng terpilih menjadi salah satunya. Misi intelijen ini dikoordinasikan di bawah pimpinan Soekarno Djojonegero. Hoegeng ditugaskan mengumpulkan berbagai informasi yang diperlukan bagi perjuangan. Untuk itu, Hoegeng bersiasat untuk menarik simpati atau melakukan propaganda agar sebagaian serdadu atau pegawai NICA berpihak kepada Indonesia. Dengan demikian, Hoegeng dapat mencari dan mengumpulkan senjata dari mereka. “Untuk menjalankan tugas saya yang baru dan merupakan tugas rahasia itu, maka saya menyamar sebagai pelayan restoran,” kata Hoegeng kepada Abrar Yusra dan Ramadhan K.H dalam otobiografi Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan. Dalam menjalankan tugas rahasia ini, Hoegeng berlaku sebagai pelayan di Restoran Pinokio yang letaknya tidak jauh dari rumah Hoegeng di Jalan Jetis. Di restoran itu, Hoegeng dapat melakukan kontak dengan berbagai pihak. Misalnya, dengan sesama rekan intel polisi, para pedagang, penduduk biasa, bahkan tentara Belanda yang datang ke sana. Dengan demikian, Hoegeng memperoleh informasi yang diperlukan, baik sebagai keterangan yang sudah jadi maupun yag harus dicek kembali. Selain itu dengan menyamar sebagai pelayan restoran, setidaknya kebutuhan makan Hoegeng terpenuhi. Karena sejak agresi militer Belanda, Hoegeng sudah tidak lagi menerima gaji. Demikian juga sebagai pelayan restoran, Hoegeng tidak digaji melainkan hanya menerima jatah makan. Walau prihatin, sesekali Hoegeng mendapat bantuan keuangan langsung dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Pengalaman menyamar sebagai pelayan restoan tampaknya begitu berkesan bagi Hoegeng. “Kelak demi kepentingan dinas kepolisian, kebiasaan menyamar ini masih sering dilakukan Hoegeng walaupun ketika itu ia sudah menjabat Kapolri,” tulis Aris Santoso, dkk dalam Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Pemimpin Bangsa. Pura-Pura Gila Memasuki 1970, Hoegeng diresahkan dengan angka korban obat bius di kalangan remaja yang luar biasa tinggi. Jenis zat psikotropika yang saat itu sedang digemari adalah mariyuana atau ganja. Hoegeng tidak menyangka mariyuana termasuk obat yang dilarang sebab daun tersebut lazim dipakai di Aceh sebagai bumbu masakan gulai. Pandangan Hoegeng berubah setelah dirinya menghadiri Interpol Conference pada 1971. Sekembalinya ke Indonesia, Hoegeng segera menyusun rencana membongkar sindikat peredaran mariyuana. Untuk mengetahui daerah pusat peredaran, Hoegeng menyebarkan anak buahnya ke berbagai tempat. Soalnya, ada yang menjualnya di tukang rokok dengan cara menyelundup. Anak muda yang ketagihan akan tahu tukang rokok mana yang menjual barang haram tersebut. Karena ingin tahu lebih lanjut alasan mereka menggemari mariyuana, Hoegeng pun turun ke jalan. “Inilah asal mula munculnya ide penyamaran. Para anak buah saya mengusulkan agar saya menyamar dan berdandan seperti anak muda tahun 70-an,” kata Hoegeng dalam Memoar Senarai Kiprah Sejarah. Begitulah, untuk menjalankan tugas secara paripurna, Hoegeng tidak sungkan tampil norak dan kumal ala generasi bunga. Pokoknya, seperti orang gila. Hoegeng mengenang, dirinya berjalan kemana-mana selama berhari-hari dan tiada seorang pun yang mengenali. Yang menggelikan, selama penyamaran itu, Hoegeng tetap keder mencoba mariyuana. Hoegeng hanya berani merokok sembari bertanya macam-macam kepada anak-anak berandalan itu. Dari penyaamaran itu, Hoegeng berhasil memperoleh temuan yang mencengangkan. Beberapa anak muda yang ditangani Hoegeng berasal dari keluarga korban perceraian. Banyak juga diantara mereka yang berasal dari keluarga baik-baik dan kaya raya. Sekali waktu Hoegeng menginterogasi seorang anak yang diserahkan seorang pegawai bea cukai dan seorang polisi karena kedapatan mengisap ganja. Dengan pendekatan persuasif, Hoegeng memperoleh pengakuan bawa anak itu merupakan anak seorang menteri. Bersegeralah Hoegeng menguhubungi sang menteri via telepon malam itu juga. “Mas, putra you ditangkap polisi dan dibawa pada saya. Ia mengaku suka mengisap ganja. Bagaimana? Apa you bisa mengurusnya sendiri atau biar saya saja? Kalau you tidak bisa memperbaikinya, terpaksa saya ambil tindakan,” kata Hoegeng mengultimatum sang menteri. Menurut Hoegeng, kebanyakan anak muda yang depresi terjerumus menggunakan mariyuana dan ganja sebagai pelarian. Selain itu, ada juga yang sekedar ikut-ikutan mode pergaulan bebas. “Banyak anak-anak orang kaya yang mengalami broken home mencoba melarikan diri dari kepahitan hidup dengan jalan menjadi pecandu ganja, heroin, dan narkotika,” kata Hoegeng dalam otobiografinya.
- Abdul Wahid Hasyim, Pejuang Muda NU
Lahir dari keluarga pendiri Nahdlatul Ulama dan pernah menjadi menteri di tiga kabinet yang berbeda.
- Negara Teater dan Teater Negara Bung Karno
CINTA Bung Karno terhadap seni tak hanya manis di bibir sebagaimana yang ia katakan. Seni sudah mendarah daging mengingat ia lahir dari orangtua campuran Jawa-Bali yang intim dengan seni. Tak heran hidupnya selalu “berselimut” seni, baik sebagai penikmat maupun pelaku seni. Mulai dari seni rupa, seni musik, sampai seni teater. “Aku bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni,” ucap Sukarno dari bibirnya dalam otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat yang dituliskan Cindy Adams. Namun mengungkit seni teater dalam diri Sukarno mesti diakui tak banyak familiar dalam pengetahuan publik. Lebih tepatnya seni drama/teater yang di masa lampau beken dengan sebutan tonil. Bukan hanya sebagai penikmat, sang founding father juga pelaku, pekerja, sutradara, hingga penulis naskahnya. “Di kalangan teater bahwa Sukarno menulis naskah itu nyaris tidak ada percakapan. Jadi ini sesuatu yang baru. Faktor lain juga karena referensinya sangat sedikit. Jadi agak gagap juga membaca Sukarno sebagai seorang pekerja teater,” tutur Faiza Mardzoeki, penulis naskah, sutradara cum produser teater dalam diskusi live bertajuk “Drama Bung Karno” di Youtube dan Facebook Historia.id , Selasa (30/6/2020). Baca juga: Patung Bung Karno di Aljazair Karya Dolorosa Sinaga Giat Bung Karno dalam seni tonil atau teater dilakoni kala dalam masa pengasingan di Ende (Nusa Tenggara Timur) kurun 1934-1938, dan di Bengkulu pada titimangsa 1939-1942. Perannya tentu sebagai penulis naskah, hingga sutradara. Tak lagi jadi pemain sebagaimana yang sering pula ia lakoni kala terlibat dalam beberapa pertunjukan ludruk semasa sekolah di Surabaya. Mengutip Rhien Soemohadiwidjojo dalam Bung Karno Sang Singa Podium , selama di Ende, Bung Karno dibantu istri keduanya, Inggit Garnasih, membentuk kelompok tonil Kelimutu yang beranggotakan 47 pemain dan pekerja belakang layar. Sepanjang empat tahun di Ende, tak kurang 13 naskah sebagai anak rohani dari buah pikirannya, untuk dipentaskan di Gedung Imakulata. “Demikian juga ketika diasingkan ke Bengkulu, Bung Karno membentuk kelompok tonil Monte Carlo. Saat ini sebagian kostum dan peralatan kelompok Monte Carlo masih bisa dilihat dalam dua lemari di rumah pengasingan Bung Karno di Kota Bengkulu,” tulis Rhien. Diskusi live Historia.id bertema "Drama Bung Karno" bersama pelaku teater Faiza Mardzoeki dan budayawan Taufik Rahzen Menengok koleksi di atas, kentara betul bahwa Bung Karno mendalangi teater bukan semata menghabiskan jemunya tempo pada masa pengasingan, baik di Ende maupun di Bengkulu. Si Bung Besar ibarat seniman teater betul-betul lantaran kerap menyiapkan tetek bengeknya dari A sampai Z dengan cermat dan serius dibantu Inggit. Barangkali jika lakon sejarah negeri ini punya plot yang berbeda dan Sukarno tak sampai jadi proklamator dan presiden pertama, sangat mungkin dia mengambil jalan hidup di teater. “Yang menarik, bahwa Bung Karno itu dalam menjalankan kreativitas teater ini, dia sangat serius. Baik dari visi maupun dari segi yang sangat teknis. Bung Karno dari menyiapkan aspek teknis sampai visi yang ingin disampaikan, hingga melakukan audiensi dengan para pemain. Dan ini dilakukan dengan sangat teknis, tekun dan serius,” lanjut Faiza. “Kita bayangkan di 1930-an tentu perangkat dan peralatan teater belum selengkap sekarang. Dia harus berpikir secara detail agar naskahnya bisa diimplementasikan maksimal di atas panggung. Dia juga sudah harus punya imajinasi naskahnya di panggung seperti apa karena dia berhadapan dengan beragam masalah teknis,” tambahnya. Baca juga: Sukarno dan Seni Satu soal teknis misalnya, terkait pemahaman naskah oleh para pemainnya kala mendirikan kelompok tonil Kelimutu. Disebutkan Budayawan Taufik Rahzen, di masa 1930-an perkembangan literatur dan sastra di Ende baru berkembang di kalangan misionaris dan kongregasi Katolik asal Eropa, Societas Verbi Divini (SVD) atau Serikat Sabda Allah. Sementara para pemain yang direkrut Bung Karno, mayoritas masyarakat pesisir campuran, antara orang Ende, Buton, Makassar, Sabu, hingga Bima. “Mereka enggak bisa baca, umumnya buta huruf. Kemudian bahasa pun pakai Melayu Ende. Nah ayangkan Bung Karno membuat suatu naskah itu harus mengajarkan kepada pemain-pemain yang enggak bisa baca. Makanya naskah itu hanya sebagai kerangka saja dan Bung Karno harus mengulangi secara lisan untuk disampaikan kepada para pemainnya,” timpal Taufik. Kolase kelompok teater Bung Karno di Ende dan Bengkulu (Foto: Repro "Maestro Monte Carlo") Atau soal teknis lainnya terkait pamflet maupun spanduk promosi yang tulisannya juga, atau perihal kostum. Dari sejumlah kostum yang dibuat, Bung Karno juga memikirkan bagaimana unsur modernitas bisa masuk ke panggung. “Kostum-kostumnya kalau saya lihat juga dipersiapkan dengan sangat serius, enggak terkesan amatir tuh. Ada semangat (kemajuan) zaman, enggak semua tradisional. Peran Inggit juga sangat penting dari kostumnya, bahkan juga Inggit selalu melakukan penataan make up untuk seluruh pemain perempuannya,” sambung Faiza lagi. Enigma Bung Karno dalam Sandiwara Setidaknya sekira 17 naskah teater yang pernah dihasilkan Bung Karno selama masa pembuangan di Ende dan Bengkulu. Di antaranya Rahasia Kelimoetoe, Taon 1945, Nggera Ende, Amoek, Rendo, Koetkoetbi, Maha Iblis, Anak Jedah, Dr. Sjaitan, Ero Dinamik, Djoela Goebi, Siang Hai Roembai , Rainbow , Hantoe Goenoeng Boengkoek hingga Djakarta-Chungking . Walau naskahnya terbilang sederhana, di mana seperti lazimnya dalam penulisan cerita tiga babak: permulaan, konflik, dan solusi, tetapi Bung Karno senantiasa “menitipkan” sandi-sandi tersembunyi, bak kode mesin Enigma untuk dikomunikasikan pada para penontonnya. “Kalau kita lihat perjalanan penulisan naskah sandiwara Bung Karno, itu akan mencerminkan nanti perkembangan bangsa kita. Jadi bukan naskah drama disebutnya, tapi naskah sandiwara. Kenapa sandiwara? Itu sandi kan rahasia ya. Kemudian wara itu kewacanaan. Jadi Bung Karno sebenarnya menggunakan sandiwara, kata-kata rahasia atau wacana rahasia untuk memberikan pesan kepada publik, termasuk publik internasional,” kata Taufik lagi. Baca juga: Utusan Seni Merangkap Telik Sandi Taufik melihat ada dua periode selama di Ende dan Bengkulu terkait penafsiran akan sandi-sandi terselubung dalam naskah tonil Bung Karno. Pertama , periode negara teater ketika Bung Karno merasa terisolasi di Ende dan baru mengembangkan diri lewat teater. Ide-ide naskahnya terselip kode-kode yang komunikatif tentang ideologi demokrasi hingga sosialisme, perkembangan sains, hingga masyarakat dan kemanusiaan. “Tema-tema yang dikembangkan selama empat tahun di Ende, sebenarnya semua kode rahasia yang digunakan untuk memberikan sinyal kepada gerakan perjuangan karena surat-surat itu sulit, disensor. Coba lihat Koetkoetbi . Itu sebenarnya kode: ‘Kalian harus mulai menghimpun diri untuk membangun gerakan bawah tanah’. Atau ketika menulis Taoen 1945 , di mana itu kode bahwa Asia mungkin akan masuk ke dalam fase baru pada 1945,” lanjutnya. “Misalkan lagi Djoela Goebi . Djoela plesetan dari gula, simbol dari kalangan buruh, karena perkebunan gula yang lagi jadi komoditas. Goebi itu ubi, jadi simbol petani. Jadi buruh dan petani itu harus bersatu. Ada lagi Amoek , itu kode untuk pemberontakan. Atau Nggera Ende . Itu kan sebenarnya suatu tarian bersama, kode bahwa semua harus bersatu. Jadi Bung Karno mengirimkan sandi-sandi sedemikian rupa dalam naskah teaternya,” papar Taufik. Spanduk promosi Teater Kelimutu dengan lakon Koetkoetbi (Foto: Repro "Maestro Monte Carlo") Adapun periode Kedua , transisinya dimulai kala Bung Karno sudah pindah ke Bengkulu hingga zaman Jepang, yakni periode teater negara. Bahwa urusan negara sudah jadi yang utama dan teater digunakan Bung Karno sebagai cara mengelola negara. Dan salah satu faktor utamanya tak lain adalah Fatmawati yang kelak jadi istri ketiga Bung Karno. “Jadi Bung Karno sudah tak lagi seorang anak yang dijaga, dirawat, diruwat oleh Inggit karena sebelumnya peran Inggit membuatnya bebas berkelana dari sudut ide, mimpi dan dunia gagasan. Ketika ketemu Fatmawati, Bung Karno berhadapan dengan kehidupan dan kenyataan yang sebenarnya. Gaya naskahnya berubah. Bung Karno sudah mulai taktis. Kalau enggak ada Fatma mungkin enggak ada Sukarno dengan politik yang realistis, adanya idealis seperti Tan Malaka, membangun mimpi-mimpi atas dunia teater kalau tetap dengan Inggit,” sambungnya. Baca juga: Teater Zonder Lentera , Karya Sastrawan Peranakan Semisal naskah Bung Karno, Djakarta-Chungking . Lakon sandiwara yang menceritakan tentang spionase dan solidaritas antar kelompok perlawanan bawah tanah. “Di sini sinopsisnya menceritakan tentang dikirimnya dua pemuda dari suatu perkumpulan rahasia dari Jakarta ke China. Setting yang dibangun ada di Jakarta, Singapura dan China. Sangat menggambarkan solidaritas dan patriotisme. Naskah yang bahkan masih relevan jika ditampilkan di masa sekarang. Menariknya lagi, tema spionase seperti ini sangat jarang walau di layar lebar sangat digemari,” tutur Faiza lagi. Spanduk Teater Monte Carlo bertajuk Rainbow di Bengkulu (Foto: Repro "Maestro Monte Carlo") Jika naskah di atas terinspirasi dari relasi antara Jakarta-Peking, sedikit berbeda jika mengungkit naskah Hantu Gunung Bungkuk. Menurut Taufik, naskah itu terinspirasi dari kondisi Turki sebagai “ The Sickman ” atau negara pesakitan. Bahwa hantu kekuatan Islam akan muncul di dalamnya sebagai kode-kode Bung Karno. “Sandiwara Bung Karno itu kan sandarannya sandi, rahasia, dan wara sebagai wacana. Kalau kita lihat bahasa Jawa kuno yang lama, itu disebut Alamkara, di mana dalam sastra, dia menciptakan dunia lain di dunia yang ada. Seperti halnya relief-relief di Candi Borobudur yang berupa cerita tafsiran Alamkara. Itu tidak ada dalam bahasa percakapan, lho, hanya dalam tulisan dan itu ada kode, pesan tesembunyi,” ungkap Taufik. “Sukarno kan sebenarnya ingin mengangkat Alamkara ini atau sandiwara, itu khasanah masa lampau dalam bentuk pertunjukan yang modern. Jadi melalui karya-karya sandiwara Bung Karno, kita bisa menyusuri sejarah intelektuaknya yang berkaitan dengan ide-ide global yang ada. Bukan semata-mata melihat sejarah intelektual politik, tetapi respons dia terhadap sains, kemanusiaan, hubungan antarbangsa, bisa ditangkap di naskah-naskahnya,” tandasnya. Baca juga: Makna Patung Bung Karno di Aljazair
- Cerita Para Bhayangkara
Pertengahan September 1948. Akibat terjadinya Insiden Madiun, hubungan kota tersebut dengan kota-kota lain (termasuk ibu kota Yogyakarta dan Blitar) terputus. Sementara itu di Madiun sendiri sedang terjadi penculikan dan pembunuhan oleh kaum komunis terhadap para pejabat Republik Indonesia (RI). Demi melakukan koordinasi penumpasan, Djawatan Kepolisian Negara (DKN) di Yogyakarta menugaskan Komisaris Polisi Soeprapto untuk menyampaikan surat perintah kepada M. Jasin, komandan Mobil Brigade Besar (MBB) Jawa Timur yang sedang ada di Blitar. Penyampaian surat perintah itu rencananya akan dilakukan lewat penerjunan Soeprapto dan dua perwira TNI (salah satunya adalah Mayor Islam Salim) di Alun-Alun Blitar. “Di Maguwo, mereka mendapat petunjuk (kilat) melakukan penerjunan dengan parasut tanpa latihan terlebih dahulu,” demikian menurut buku Brimob: Dulu,Kini dan Esok (disusun oleh Atim Supomo dkk). Penerjunan itu sendiri terpaksa dilakukan, karena di Blitar tidak ada bandar udara yang memungkinkan sebuah pesawat mendarat secara mulus. Begitu Hari-H tiba, berangkatlah sebuah pesawat kecil yang diawaki oleh seorang pilot berkebangsaan Amerika Serikat (AS) dan seorang kopilot berkebangsaan Indonesia. Dalam situasi penuh ketegangan, tibalah pesawat tersebut di atas Blitar. Begitu berada di atas Alun-Alun, pilot memerintahkan ketiga perwira tersebut untuk langsung terjun, namun tak satu pun yang memiliki nyali melakukan itu. Pesawat pun memutar dan bergerak lagi menuju kota Blitar. Namun begitu sampai di atas Alun-Alun, situasi yang sama kembali terjadi: para perwira emoh terjun. Pilot AS itu saking jengkel-nya kemudian menyerahkan kendali pesawat kepada kopilot. Dia lalu bergabung dengan ketiga perwira tersebut. “Ketika kopilot memberikan isyarat untuk terjun, pilot AS itu langsung menendang Soeprapto dan kedua perwira lainnya secara bergilir,” ungkap buku Brimob: Dulu,Kini dan Esok . Soeprapto dan Mayor Islam Salim bisa mendarat dengan selamat di Alun-Alun Blitar. Namun seorang perwira lainnya jatuh agak jauh dari Alun-Alun. Saat mendarat di atap rumah penduduk, orang-orang langsung mengepungnya karena dia dikira mata-mata musuh. Untungnya satu unit MBB bisa menyelamatkannya dan surat perintah pun berhasil diberikan kepada Jasin. Lain pengalaman Kompol Soeprapto lain juga pengalaman Moh. Enoh, seorang bhayangkara yang bertugas mengawal Wakil Presiden Mohammad Hatta. Suatu hari, Enoh tiba di Istana Wakil Presiden, Jakarta. Dia baru saja pulang dari daerah mengawal Wakil Presiden keliling Jawa Barat selama dua minggu. Demikian dikisahkan oleh H. Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967. Begitu tiba, dia langsung ditugaskan kembali untuk mengganti penjagaan di depan Istana Wakil Presiden. Entah kesal atau iseng saja, begitu sampai di pos penjagaan, Enoh tetiba berpidato menirukan lagak Bung Hatta saat di daerah. “Saudara-Saudara, 15 tahun yang lalu bangsa Indonesia seperti itik yang mati kehausan di kolam dan seperti ayam yang mati kelaparan di dalam lumbung!” teriaknya di depan seorang kawannya. Usai berpidato, Enoh mengomentari sendiri pidato Hatta yang baru saja dia teriakan itu. Dia menggrundel, kalau kolamnya kering ya mati kehausan betul dan kalau lumbungnya kosong ya mati kelaparan. Belum gerundelan -nya selesai, tanpa dinyana, tetiba Bung Hatta keluar dari ruangan dekat pos penjagaan dan tanpa berkomentar langsung masuk ke Istana. Tentu saja, Enoh kaget bukan kepalang. Dia memaki-maki kawannya yang tidak memberitahukan bahwa Bung Hatta ada di dekat mereka saat itu. Alih-alih merasa berdosa, kawan Enoh malah tertawa-tawa gembira. “ Rasain lu !” ujarnya.
- Kondisi Kesehatan Jakarta di Awal Kemerdekaan
BAGI Annie Senduk, kepala perawat di asrama kedokteran Jalan Kramat Raya 72 Jakarta, dan para tenaga kesehatan lain, mengatur jalannya layanan kesehatan di tengah krisis perang merupakan tantangan sulit. Selain harus berjibaku melawan penyakit tinggalan Jepang yang diderita rakyat, mereka juga harus siap membantu para pejuang di medan perang. Pada akhir kekuasaan Jepang, disentri merupakan satu dari beberapa penyakit paling banyak menyerang penduduk kota Jakarta. Ia menginfeksi 2.156 orang dengan rata-rata 150-600 orang di antaranya meninggal dunia. Menurut laporan tahunan Dinas Kesehatan Kota (DKK) Jakarta, banyaknya warga yang terjangkit disebabkan oleh kurangnya bahan makan dan buruknya kebersihan lingkungan. Selama pendudukan Jepang, Bagian Penyakit Rakyat di DKK memiliki total 204.353 pasien. Sebanyak 42.506 di antaranya penderita malaria. Frambosia juga banyak diderita penduduk di kampung-kampung, dengan 26.508 pasien terdaftar. Sementara penyakit Honger Oedeem (busung lapar) dilarang dicatat oleh penguasa meski sebenarnya banyak ditemukan. Belum sempat mengatasi masalah kesehatan yang ditimbulkan pada masa Jepang itu, para tenaga kesehatan dihadapkan pada kedatangan Sekutu yang disusul NICA. Pertempuran yang terjadi kemudian mengharuskan mereka ikut terjun menyelamatkan nyawa para pejuang meski akibatnya para perawat, dokter, mantri, dan bidan berguguran di medan perang. DKK amat kekurangan tenaga kesehatan. Jumlah dokter di Jakarta yang semula 26 orang berkurang karena sebagain memilih berpihak ke NICA, mengungsi ke pedalaman, atau kembali ke negaranya. Alhasil, jumlah dokter pro-republik yang tersisa di Jakarta hanya 14 orang. Mereka bahu-membahu dengan perawat, bidan, mantri, dan mahasiswa kedokteran menjalankan layanan kesehatan. Para tenaga kesehatan yang amat terbatas itu mesti bekerja dengan minimnya alat-alat kedokteran dan obat-obatan. Jumlah rumah sakit saat itu amat sedikit. Para dokter seringkali harus mengeluarkan uang pribadi untuk memenuhi kebutuhan alat praktik. Beruntung ada bantuan Palang Merah sehingga DKK bisa membangun 83 pos pertolongan pertama pada kecelakaan yang tersebar di Jakarta. “Kami dan para mahasiswa kedokteran membentuk regu-regu penolong para korban perang,” kata Annie Senduk testimoninya di kumpulan memoar perempuan Sumbangsihku bagi Ibu Pertiwi. Perawat dan mahasiswa kedokteran di Rumah Sakit Cikini, sambung Annie, ikut mengatur pos-pos Palang Merah untuk menangani korban yang berjatuhan. Hotel Du Pavilion digunakan sebagai gudang perbekalan dan obat-obatan. Nahas, lokasi itu kemudian diketahui NICA. Begitu mengetahui NICA hendak merebut Hotel Du Pavilion, para tenaga kesehatan berunding untuk mengatur strategi. Mereka berusaha memindahkan barang-barang ke luar kota karena di Klender dan Bekasi obat dan logistik sedang amat dibutuhkan. Setelah berhasil meminjam mobil dari Rumah Sakit Cikini, dokter-dokter Suwardjono Suryaningrat, Mahar Merdjono, Hussein Odon, Yusuf, dan Alex Kaligis datang untuk menjadi supir. “Mereka datang dengan baju yang lusuh dan muka yang kuyu karena tidak mandi. Persis seperti supir-supir truk angkutan jarak jauh, kumal,” kata Annie. Sementara, Rumah Sakit Budi Kemulyaan (RSBK) memegang peran penting dalam layanan persalinan. RSBK membuka pelatihan tentang persalinan untuk para gadis. Sepanajang 1945-1947 ada 163 gadis yang mengukuti pendidikan kebidanan di rumah sakit ini. Namun, dari 6 biro konsultasi kebidanan yang dimiliki RSBK pada pertengahan 1946, jumlahnya berkurang karena beberapa biro ditutup lantaran kekurangan pegawai. Selama 20 bulan, RSBK telah menolong 1157 wanita hamil. Selain karena perang, kematian penduduk disebabkan beragam penyakit. Berdasarkan laporan Kementerian Penerangan Republik Indonesia, Kotapradja Djakarta Raja Sepanjang 1946 , DKK mencatat ada 25.248 kematian dalam setahun dengan 21.002 di antaranya merupakan orang Indonesia. Kematian karena disentri mencapai 2930 orang dengan 256 di antaranya merupakan bangsa Indonesia. Malaria juga menjadi penyakit mematikan yang mengancam warga Jakarta. Sepanjang 20 bulan setelah kemerdekaan, tercatat ada 421.195 orang berobat karena malaria. Untuk menanggulanginya, DKK akhirnya membagikan kina ke penduduk. Penyakit-penyakit yang juga menyerang warga Jakarta antara lain: typhus abdominalis (545 pasien), para typhus (21 pasien), dan frambusia (8574 pasien). RS rakyat Bidara Tjina berperan penting membantu ketersediaan layanan kesehatan dengan menampung pasien-pasien yang tidak mampu ditangani Rumah Sakit Perguruan Tinggi (RSPT). Namun, perjuangan tenaga kesehatan saat itu bukan semata menangani pasien dan penyediaan bantuan kesehatan untuk para pejuang, tapi harus siap mempertahankan kedaulatan kesehatan republik. Seluruh pegawai kesehatan menolak ketika DKK hendak diambil alih Gemeente Batavia pada 18 Januari 1948. Mereka mengancam meninggalkan kantor dan balai-balai pengobatan dan lebih memilih menjalankan pengobatan rakyat di pasar-pasar dibanding bekerja di bawah Gemeente Batavia. Sikap tegas mereka itu disambung dengan munculnya perjanjian Renville yang menggagalkan niat Gemeente Batavia untuk mengambil alih DKK. Usaha keras mereka untuk mempertahankan bagian penting dari pemerintah republik untuk kepentingan masyarakat di kota Jakarta itu kembali terusik ketika Gemeente Djakarta kembali berusaha mengambil alih DKK pada 24 Agustus 1948. Mereka juga diusir setelah RSPT diambil alih oleh NICA. Tenaga kesehatan yang menolak bekerja untuk Belanda diminta untuk angkat kaki dari sana. “Serta-merta seluruh dokter dan pegawai rumah sakit ramai-ramai keluar dari pintu rumah sakit sambil tertawa dan mencemooh tantara Belanda,” kata GA Siwabessy dalam biografinya, Upuleru . Meski DKK sebagai salah satu Djawatan pemerintah Kota Djakata gagal dipertahankan, para dokter tak habis akal. Bersama rekan dokter asli Jakarta yang dengan senang hati menampung, mereka lalu melanjutkan pemberian layanan kesehatan. Siwabessy, yang ditampung di rumah dokter Mursadik, kemudian membuka praktik bersama dokter Sarlono di garasi rumah Sarlono demi kepentingan kesehatan warga Jakarta. Profesor Moh. Ali Hanafiah dan Bahder Djohan juga membuka poliklinik di garasi rumah Hanafiah. “Klinik darurat ini diakui sebagai poliklinik resmi RI,” kata Siwabessy. Di sanalah para dokter RSPT ramai-ramai menyediakan layanan kesehatan di masa krisis perebutan kekuasaan sampai posisi DKK kembali ke tangan Republik setelah pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949.






















