top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Sukarno Sebagai Seorang Arsitek

    Kisah-kisah Sukarno dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia barangkali sudah banyak diulas. Nama besar sebagai proklamator dan presiden pertama Indonesia juga sudah tak diragukan lagi. Namun, yang tak banyak menjadi sorotan, bagaimana jejak Bung Karno sebagai seorang arsitek. Dalam seri diskusi daring yang diadakan Historia untuk memperingati Bulan Bung Karno, Selasa, 2 Juni 2020, arsitek Yuke Ardhiati memaparkan beberapa karya-karya arsitektur Sukarno yang dibuat ketika masih menjadi mahasiswa hingga setelah menjabat sebagai presiden. Gagasan serta konsep arsitektur Sukarno juga bisa ditemui dalam banyak bangunan di Indonesia. Yuke Ardhiati yang juga menulis buku Sukarno Sang Arsitek menyebut jejak Sukarno sebagai seorang arsitek setidaknya ada dalam tiga tahapan. Yakni periode ketika mahasiswa, sebagai presiden muda dan pasca 1955. Arsitek Muda Di Technische Hoogeschool te Bandoeng, sekarang Institut Teknologi Bandung, Sukarno mengambil jurusan hidrologi atau pengairan. Meski tidak secara khusus menyenyam pendidikan arsitek, dalam jurusan ini Sukarno juga mendapat mata kuliah menggambar. Dari situlah, bakat sukarno sebagai arsitek justru muncul. Bakat Sukarno kemudian mendapat perhatian arsitek Charles Prosper Wolff Schoemaker yang juga mengajar Sukarno. “Barangkali ada bakat-bakat yang terekspos di situ oleh profesornya, dan beliau terlihat bakatnya dalam bidang arsitektur. Dan dimintalah beliau menjadi semacam asisten di bironya,” sebut Yuke. Pada masa ini, Sukarno banyak terpengaruh oleh Schoemaker. Salah satu peninggalannya adalah Toko Roti Red Tulip di Bandung. Bangunan tersebut kini sedikit rusak atapnya, namun dapat terlihat jelas tinggalan Sukarno pada ornamen-ornamen yang terpengaruh oleh Schoemaker. Selain itu, Sukarno juga turut serta dalam perancangan salah satu paviliun di Hotel Preanger. “Kesempatan baik itu menjadikan Bung Karno percaya diri untuk bikin biro arsitek kemudian tahun 1926,” sebut Yuke. Profesi sebagai arsitek sempat berhenti karena kesibukan dalam perjuangan kemerdekaan. Namun, Sukarno sempat membuat lagi biro arsitek bersama Roosseno Soerjohadikoesoemo. Sukarno sebagai advisor, sementara Rooseno yang membuat konstruksi.Beberapa karya Sukarno tertinggal di Bandung dan tempat ia bermukim dan dibuang. Setelah kemerdekaan dan Sukarno menjadi presiden, Sukarno juga membuat konsep sendiri terhadap bangunan-bangunan republik. Ide-idenya bercirikan tropis dengan atap limasan atau berbentuk perisai yang biasanya memiliki gada-gada dengan ornamen di atasnya. Jejak-jejak masa ini bisa ditemui pada Wisma Yaso, Istana Tampak Siring dan Istana Batu Tulis. “Selalu ada ornament-ornamen di dalam kepala pilar. Kolom-kolom itu bentuknya alami, natural. Bung Karno ternyata bisa menggubah gaya-gaya yang Indonesiana, yang Indonesia sekali, itu dalam bentuk Padma. Jadi itu semua ulir-ulirnya Padma,” jelas Yuke. Yuke juga menemukan terdapat unsur padma di hampir di semua pilar rumah yang didesain Sukarno. Selain itu, terdapat pula unsur teratai. “Jadi di dalam rumah beliau juga bikin kolam. Di Batutulis ada kolam di dalam ruangan studio beliau,” kata Yuke. Konsep tersebut, menurut Yuke, tidak lepas dari kebanggaan Sukarno pada ornamen-ornamen pada relief-relief candi di Indonesia. Bentuk-bentuk padmasana bahkan diaplikasikan pada berbagai furnitur yang terdapat di Istana Bogor. Obsesi Keabadian Pasca menunaikan haji dan suksesnya pemilu 1955, pandangan arsitektur Sukarno berubah. Kala itu Sukarno banyak diundang ke luar negeri, seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sejak itu, orientasinya terhadap arsitektur bersifat internasionalis dan modern dengan ornamen keindonesiaan. ”Beliau maunya arsitektur modern dan semua konstruksinya harus tahan cakaran zaman dengan beton. Jadi konsep keabadian itu sudah menjadi obsesi beliau,” ujar Yuke. Sementara unsur keindonesiaan banyak diwujudkan pada relief, patung-patung hingga mozaik. Mitologi dan berbagai unsur kebudayaan Indonesia dimasukan dan menjadi semacam tamansari yang memperlihatka wajah Indonesia. Gagasan-gagasan Sukarno tersebut kemudian banyak diwujudkan dalam bangunan, monumen maupun landmark kota yang masih populer hingga kini. Meski tak merancang langsung, ide-idenya disalurkan melalui arsitek-arsitek dan seniman Indonesia saat itu. Landmark kota Jakarta yang masih berdiri hingga kini seperti patung Dirgantara, patung Selamat Datang hingga monumen Pembebasan Irian Barat pun tak lepas dari intervensi Sukarno. Meski demikian, ia tetao memberikan ruang kepada seniman untuk berekpresi secara detail. Dalam pembangunan Monumen Nasional atau Monas misalnya, arsitek Sudarsono mengakui bahwa Sukarnolah arsitek penggagasnya. “Ada memoriam dari Pak Sudarsono bahwa dia meminta tolong diberikan satu prasasti di Tugu Nasional itu bahwa Bung Karno adalah arsitek penggagas dan saya eksekutornya,” terang Yuke. Sementara itu, banyak pula peninggalan dari gagasan arsitektur Sukarno di berbagai daerah. Seperti relief kayu “Ruang Gembira” di Hotel Samudra Beach Pelabuhan Ratu, Sukabumi dan relief “Untung Rugi di Kaki Merapi” di Hotel Royal Ambarukmo Yogyakarta dikerjakan oleh Harjadi S. Selain itu, relief di ruang VIP Bandara Kemayoran juga merupakan buah ide Bung Karno. Begitu pula mozaik porselen tari nusantara dalam Kubah Ramayana di Hotel Indonesia karya G Dharta. Peninggalan lainnya bisa ditelusuri di Bali, Ende, Kalimantan hingga Papua.

  • Atmosfer Semu Pemain Keduabelas

    APA jadinya pertandingan sepakbola tanpa atmosfer penonton? Bukan hanya manajemen tim yang rugi karena tiada pendapatan dari tiket, namun juga berpengaruh pada soal emosional dan mentalpemain di lapangan. Perkara inilah yang harus dikompromikan demi berjalannya lagi kompetisi sepakbola seluruh dunia. Yeyen Tumena, bek Timnas Indonesia periode 1995-2007 cum asisten pelatih timnas 2013, mengutarakan, bisa saja kompetisi digulirkan tanpa penontonseiring “The New Normal” di masa pandemi corona ini. Namun feel -nya akan sangat lain jika permainantak diiringi emosi penonton. “Korea, misalnya, sudah bisa jalan kompetisinya tanpa penonton. Tetapi sepakbola itu kan bukan hanya permainan teknik dan taktik,” tutur Yeyen dalam obrolan live “Bolatoria” yang dihelat Historia.id dan Bolalob.com di Facebook dan Youtube pada 15 Mei lalu.“Saya tidak bisa bayangkan kalau sepakbola tanpa penonton. Itu yang sulit kita terima. Ketika pertandingan itu tidak boleh ada penonton, ada yang hilang dari sepakbola. Karena sepakbola itu ada antusias, ada support , nyanyian, euforia, itu yang membuat sepakbola itu sangat menarik,” sambungnya. Sebagaimana diberitakan, Korea Selatan dengan K-League -nya jadi salah satu kompetisi yang melanjutkan musim ini di saat corona masih merajalela di berbagai belahan dunia. Untuk mengisi kekosongan euforia dan emosi dari “ pemain keduabelas ” itu, tribun-tribun stadion di Kore a diisi fans palsu dengan beragam cara . Klub K-League FC Seoul menggunakan sejumlah boneka seks sebagai pengganti pemain keduabelas mereka yang berujung denda (Foto: Yonhap) Salah satunya, trik yang digunakan klub FC Seoul dengan menggunakan boneka-boneka seks. Manajemen FC Seoul menganggap,penggunaan manekin-manekin yang aslinya sebagai alat pemuas syahwat itu akan lebih menarik ketimbang memajang papan-papan atau spanduk bergambar penonton biasasebagaimana yang diterapkan klub-klub K-League lain. Namun, kebijakan itu dianggap tak pantas dan melukai kaum perempuan. Alhasil, sebagaimana dikutip dari LA Times , 20 Mei 2020, FC Seoul didenda 100 juta won oleh komite disiplin K-League. “Kami meminta maaf sedalam-dalamnya terkait situasi ini. Kami aka meninjau prosedur-prosedur internal kami untuk memastikan hal ini tak terjadi lagi,” kata perwakilanFC Seoul. Sementara, di Bundesliga (liga Jerman)yang jadi kompetisi Eropa paling awal yang melakoni kick-off lagi, beberapa klub menggunakan cara konvensional dengan memajang gambar-gambar fansdi kursi penonton. Borussia Dortmundmemilih mengosongkan semua kursi namun menayangkan kerumunan fansnya di videotron di setiap sisi tribun Signal Iduna Park. Cara kreatif AGF Aarhus, klub Superligaen Denmark yang menghadirkan suporter via video conference Zoom (Foto: agf.dk ) Cara konvensional serupa tampaknya bakal ditiru liga-liga top Eropa lainyang akan menyusul menggulirkan kembali kompetisi 2019/2020: La Liga Spanyol pada 11 Juni, Premier League Inggris 17 Juni, dan Serie A Italia 20 Juni. Namun, tidak demikian dengan Superligaen Denmark. Sepertinya tiada yang lebih unik dan canggih dari cara yang ditempuh Superligaenyang sudah kembali berjalan pada akhir Mei lalu. Untuk menyiasati atmosfer semu akibat ketiadaan penonton, liga Denmarkmenghadirkan para fansnya secara live via platform konferensi video Zoom . Trik itu dianggap bisa membuat suasana lebih hidup ketimbang menghadirkan fans palsu. Beragam reaksi dari ribuan penonton bisa tetap dirasakan pemain lewat Zoom yang ditampilkan sejumlah videotron di tepi lapangan. Mural Kontroversial Arsenal Perkara pseudo fans sebetulnya bukan barang baru. Arsenal FC tercatat sebagai tim pertama yang melakoninya, 28 tahun lampau. Tentu musababnya bukan karena wabah atau pandemi, melainkan karena markasnya, Stadion Highbury, tengah direnovasi pada permulaan Premier League musim 1992/1993. Saat itu, tribun yang ditutup untuk renovasi hanya tribun belakang gawang sebelah utara sementaratribun barat, timur, dan belakang gawang sebelah selatan tetap dibuka. Diungkapkan Joshua Robinson dan Jonathan Clegg dalam The Club: How the English Premier League Became the Wildest, Richest, Most Disruptive Force in Sports , tribun utara itu mulai dipermak pada Agustus 1992 dan baru selesai pada Juli 1993. Untuk menutup tribun yang tengah dikonstruksi sepanjang musim, manajemen menutupnya dengan mural kerumuman delapan ribu suporter berbahan vinyl yang memakan dana 150 ribu poundsterling. “Musim pembuka Premier League 1992/1993 akan disiarkan secara langsung oleh televisi dan Highbury dirasa tak boleh terlihat berantakan di hadapan semua kamera. Wakil ketua klub David Dein dan direktur Ken Friar mencetuskan ide menghadirkan delapan ribu wajah suporter dalam bentuk poster setinggi 35 kaki dan lebarnya menutupi konstruksi,” tulis Robinson dan Clegg. Sektor North Bank atau tribun utara Stadio Highbury yang tengah dibongkar ditutupi poster (Foto: Twitter @EastStandArt) Beberapa pemain merasa aneh dengan keputusan itu. Tampil di hadapan penonton dari benda mati tentutanpa reaksi jika mereka mencetak gol. “Tetapi setidaknya saya tidak disoraki dengan ejekan saat berbuat kesalahan,” kata bek Lee Dixon, dikutip Robinson dan Clegg. Pilar pertahanan Arsenal lainn, Steve Bould, malah menganggap poster yang menutupi tribun utara itu seolah merupakan pembawa sial. Pasalnya, di laga kandang pertama pada 15 Agustus 1992,Arsenal keok 2-4 saat menjamu Norwich City. “Mural di tribun (utara) itu terasa aneh –semua wajah bisu yang terlukis menatap permainan Anda. Pertandingan pertama kami sempat unggul 2-0, tetapi pada akhirnya kalah 4-2 dan buat saya itu imbas dari tampil di depan mural aneh itu,” paparnya, disitat The Sun , 24 Mei 2020. Pendapat berbeda keluar dari mulut penyerang gaek Alan Smith. “Orang-orang menganggap ada kutukan pada mural itu. Butuh enam laga sampai akhirnya kami bisa mencetak gol ke gawang yang berada di sisi mural itu lewat gol sundulan Ian Wright saat melawan Manchester City (28 September). Jadi yang jelas mural itu bukan kutukan, namun memang sangat janggal rasanya tak merasakan sorakan dukungan yang nyata dari tribun itu,” ujar Smith, dikutip Jon Spurling dalam Highbury: The Story of Arsenal In N.5. “Walau begitu saya merasa adanya mural di sana lebih baik ketimbang tidak sama sekali. Setidaknya mural itu memberi suasana lebih intim. Memang performa kami di musim itu tidak maksimal, namun bukan berarti gara-gara ketiadaan penonton di tribun utara itu,” sambungnya. Sayangnya poster/mural itu mengundang kontroversi karena meniadakan gambar suporter berkulit hitam (Foto: Twitter @classicsshirts) Atmosfer semu yang dirasakan pemain dari mural di tribun utara itu bukan soal utama yang menjadikannya kontroversial. Yang paling dipermasalahkan adalah keragaman sosok penonton di mural itu. Padahal, Arsenal dikenal sebagai salah satu klub kosmopolitan dan banyak pemain lokal maupun asingnya berkulit hitam. “Mural Highbury itu sungguh kontroversial dan merupakan suatu hal yang memalukan bagi fans Arsenal. Absennya wajah-wajah berkulit hitam di mural itu merupakan kegagalan dalam merefleksikan basis fans klub yang sebenarnya,” ungkap Paul Brown dalam Savage Enthusiasm: A History of Football Fans . “Fans setia mereka bukan merasa tergantikan tapi justru merasa seperti diusir dari pertandingan. Sebuah survei fans yang dirilis Desember 1992 menyatakan, sebagian besar fans menganggap klub menghilangkan hak mereka untuk eksis, mengeksploitasi, dan membuang fans,” tambahnya. S ebagai salah satu petinggi klub , David Dein akibatnya mendapat protes langsung dari salah satu pemain kulit hitam Arsenal . “Kevin Campbell datang pada saya dan mengatakan: ‘Tuan Dein, tidak ada sama sekali saudara-saudara (berkulit hitam) saya di mural itu . ’ Saya kaget dan baru menyadari bahwa dia benar. Dengan bodohnya kami tidak menyadari itu sebelumnya. Saat itu juga kami langsung memperbaikinya,” tandas Dein.

  • Sejarah Salad nan Sehat

    Salad kaktus di Timur Tengah hingga gado-gado di Hindia Timur membuktikan makanan ini digemari siapapun.

  • Batik ala Bung Karno

    SUDAH rahasia umum apabila Presiden Sukarno bukan hanya cakap dalam berpolitik melainkan pula mumpuni dalam soal seni. Bakat seninya sudah tampak sejak kuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB). Hampir semua bidang seni menjadi perhatian khusus Sukarno. Mulai dari seni dua dimensi seperti lukisan, batik, hingga seni tiga dimensi seperti patung dan karya arsitektur. Soal batik, Sukarno pernah melontarkan gagasan soal batik Indonesia. Bung Besar menginginkan batik yang menampilkan nilai seni budaya sebagai jati diri bangsa sekaligus menyuarakan pesan persatuan Indonesia; sehingga batik di kemudian hari tidak lagi dikenal sebagai batik dari daerah penghasil batik tetapi batik yang mencerminkan persatuan Indonesia. "Bung Karno memerintahkan kepada Go Tik Swan untuk menemukan batik Indonesia," kata Yuke Ardhiati, arsitek sekaligus pengajar di Universitas Pancasila, dalam diskusi virtual bertema "Bung Karno Sang Arsitek" yang dihelat Historia.id , Selasa, 2 Juni 2020. Go Tik Swan atau Panembahan Hardjoanagoro semula adalah penari yang kemudian menjadi pengusaha batik di Surakarta. Go Tik Swan sebagai sampul buku Indonesia dan Sang Empu . Batik Indonesia Kedekatan Sukarno dengan Go Tik Swan tidak dibina dalam semalam. Perkenalan itu dimulai saat Dies Natalis Universitas Indonesia yang ke-5, jatuh pada 9 Februari 1955. Kala itu, Go Tik Swan bersama-sama mahasiswa lainnya mengadakan pementasan tari Gambir Anom di Istana Negara. Tari Gambir Anom adalah sebuah repertoar tari gaya Surakarta yang bertema gandrung (asmara). Sukarno yang hadir pada malam itu menonton pertunjukan hingga rampung dan terkesan kepada Go Tik Swan. Sejak itulah, keduanya akrab dan Bung Besar kerap meminta bantuan Go Tik Swan untuk melayani tamu-tamu negara yang berkunjung di Istana Merdeka. Semakin lama Sukarno paham bahwa Go Tik Swan adalah keturunan keluarga pengusaha sekaligus pembatik. Rustopo dalam bukunya Menjadi Jawa: orang-orang Tionghoa dan kebudayaan Jawa di Surakarta 1895-1998 , menerangkan bahwa Go Tik Swan adalah keturunan dari Tjan Sie Ing yaitu seorang pemuka Tionghoa sejak zaman Pakubuwana IX dan X yang mendapat pangkat Luitenant der Chinezen van Surakarta oleh pemerintah kolonial Belanda. Maka, ketika Sukarno meminta Go Tik Swan untuk membuat batik Indonesia, ia bukan sembarang pilih orang. Sukarno menginginkan batik baru yang bukan batik Solo, Yogyakarta, Pekalongan, Lasem, atau Cirebon. "Ketika mendengar permintaan itu, Pak Go Tik Swan sempat panas dingin. Beliau akhirnya mencari ke beberapa daerah," ungkap Yuke yang menulis buku Bung Karno Sang Arsitek. Pemuda Tionghoa kelahiran 11 Mei 1931 ini pun melakukan penelitian ke seantero sentra-sentra batik. Dari Surakarta, ia menuju sentra batik di Palmerah, Jakarta, lalu ziarah ke makam Luar Batang. Kemudian ia meneruskan ke utara dan ke timur menuju Cirebon dengan berkunjung ke sentra batik milik Haji Madmil dan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Go Tik Swan meneruskan perjalanan ke Pekalongan, lalu terus ke Demak dan ziarah ke makam Sunan Kalijaga. Ia melanjutkan perjalanan hingga Tuban dan menyepi di makam Sunan Bonang lalu kembali ke Surakarta. Upaya "laku" ini ternyata belum mendapatkan hasil. Go Tik Swan bahkan sempat ke Bali bersama Tjan Tjoe Sim, ahli sastra Jawa, ke rumah pelukis Walter Spies. Ia masih buntu. Hingga suatu ketika Go Tik Swan menerima wahyu. Batik karya Go Tik Swan yang dibuat tahun 1964, koleksi Iwan Tirta. ( dgi.or.id ) Menurut Wenda Widyo Saksono dalam skripsi berjudul Peranan Go Tik Swan Hardjonagoro dalam Mengembangkan Batik di Surakarta 1955-1964 , pada suatu malam, ketika Go Tik Swan duduk sendirian di bagian depan rumah (pendapa) yang setengah terbuka, dari jauh kelihatan bulan bergerak menuju kehadapannya. Bulan itu semakin dekat, semakin besar, sinarnya semakin terang. Sampai di hadapannya sinar bulan itu pecah dan hilang masuk ke dalam tubuh Go Tik Swan. Setelah peristiwa itu, Go Tik Swan sudah memiliki "wujud" batik Indonesia sesuai permintaaan Sukarno dan mulai memproduksinya di Kratonan 101. "Akhirnya Go Tik Swan menemukan bahwa batik Indonesia adalah perpaduan batik klasik dan batik pasisiran. Perpaduannya lewat warna. Batik klasik warnanya cokelat hitam dan kebiruan, sedang batik pasisiran kaya warna. Sejak itu, semua anak dan istri Bung Karno dibikinkan batik Indonesia oleh Go Tik Swan," ujar Yuke. Di sini nyata terlihat Sukarno sebagai pemberi ide atau penggagas mampu menggugah seorang seniman seperti Go Tik Swan untuk membuat karya, dalam hal ini batik, dengan napas keindonesiaan. "Batik Indonesia yang digagas Sukarno ini sangat indah. Batik ini bisa dibuat lagi oleh pembatik masa kini," pungkas Yuke.

  • Ajaran Amal untuk Ilmu Kebal

    KISAH perjuangan revolusi kemerdekaan di Indonesia seringkali berlumur bumbu mistis. Ganasnya peperangan melawan Belanda membuat para pejuang mencari berbagai cara untuk bertahan dalam pertempuran. Menjadi kebal adalah salah satunya. Menurut Kapten Soegih Arto, di masa revolusi banyak sekali pemuda pejuang yang berusaha memperoleh jimat. Benda bertuah itu diharapkan akan membuat mereka kebal dari tembakan pelutu ataupun tikaman bayonet. Beberapa dari mereka ada yang mencari sendiri atau mendapatkannya dari kiai maupun “orang pintar”. Ada yang dikalungkan di leher. Ada yang harus diikatkan di kepala. Ada harus dipakai sebagai sabuk, dan lain sebagainya. “Apakah mereka dapat dipersalahkan? Saya rasa tidak,” tutur Soegih Arto dalam otobiografinya Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur.) Soegih Arto . “Mereka telah ikut berjuang dengan caranya sendiri sesuai dengan kemampuannya.”     Soegih Arto mahfum terhadap fenomena tersebut. Pada 1946, dia merupakan komandan batalion yang bermarkas di Cibatu, daerah Garut, Jawa Barat. Soegih Arto sendiri pernah ditawari ilmu kebal oleh tetangganya di Cibatu bernama Dendadikusuma. Pak Denda –panggilan akrabnya– dikenal sebagai orang pintar yang menurut Soegih Arto setaraf dengan Dr. Sosrokartono, kakak R.A. Kartini. Agar menjadi kebal, Pak Denda mengajukan sejumlah syarat ringan yang mesti dipenuhi. Syaratnya adalah puasa tujuh hari berturut-turut. Puasa dilakukan pada siang hari. Kalau tiba waktu malam, boleh buka puasa. Setelah selesai puasa tujuh hari, maka harus menghadap Pak Denda lagi untuk menerima syarat lanjutan. Soegih Arto menjalani puasa dengan penuh semangat berharap akan memperoleh kekebalan yang diidam-idamkannya. Ketika bertemu kembali dengan Pak Denda setelah sepekan berpuasa, Pak Denda menanyakan ilmu kebal seperti apa yang diinginkan. Kebal kasar atau kebal halus. Kebal kasar membuat si penganutnya tidak terluka sekalipun ditembak atau dibacok. Sementara kebal halus, orang yang berniat jahat terhadap si penganutnya hanya akan mentok di niat saja. Soegih Arto memilih kebal halus. Pak Denda sangat gembira mendengar pilihan itu. Orang lain biasanya memilih kebal kasar karena khasiatnya tahan dari segala senjata sehingga kesaktiannya akan tersiar kemana-mana. Kalau kebal halus, maka tidak ada orang lain yang bisa mengetahui keampuhannya. Pun demikian dengan  kehebatan pemakainya yang tidak akan ditakuti atau disegani orang sebagaimana penganut kebal kasar. Pak Denda melanjutkan syarat berikutnya untuk menggapai ilmu kebal. Katanya, untuk kebal halus, kita harus berlaku sopan santun dan berbudi luhur terhadap sesama manusia. Inilah kunci kebal halus. Soegih Arto masih menanti syarat lanjutan tetapi hanya itulah wasiatnya. “Rasa kecewa tidak tertahan. Saya diam menunduk kesal. Tujuh hari saya berpuasa dan apa hasilnya? Nol besar,” gerutu Soegih Arto. Soegih Arto pulang dari rumah Pak Denda tanpa pamit. Dia merasa tertipu. Setelah merasa tenang, Soegih Arto mencoba merenungkan kembali perkataan Pak Denda. Lambat laun, pikiran Soegih Arto jadi terbuka dan akhirnya dapat menerima wasiat tersebut. “Kalau kita terapkan kata-kata ini, siapa yang akan memusuhi kita? Siapa yang tidak akan suka kepada kita? Kalau semua senang, tentunya tidak akan ada musuh. Kalau tidak ada musuh, siapa yang akan jahil kepada kita? Dalam benar ajaran itu,” kenang Soeigh Arto. Menyesal telah berburuk sangka, Soegih Arto kembali mendatangi Pak Denda untuk minta maaf. Tidak luput ucapan terimakasih dari Soegih Arto atas wejangan Pak Denda. Di dalam hatinya, Soegih Arto berikrar untuk menerapkan “ilmu” yang sudah diperolehnya.*

  • Akar Sejarah Yogurt

    Kata ‘yogurt’ berasal dari bahasa Turki, bermakna ‘yang akan dibekukan atau digumpalkan’. Berkembang ke seantero jagad karena dipandang sebagai makanan sehat.

  • Suara Angklung dari Timur

    DI bawah guyuran hujan, ratusan pelajar dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas adu kebolehan di atas panggung. Mereka berusaha tampil atraktif dan penuh semangat dalam memainkan angklung. Berlompatan di atas panggung, atau melompat sambil memukulkan dua kentongan bambu sehingga menghasilkan tampilan unik.  Bukan hanya permainan musik yang rancak. Mereka juga beradu menebak dan menembang gending  (lagu) asli Banyuwangi seperti Thong-thong Bolong, Padang Ulan, Mak Ucuk, Pethetan, Bang Cilang-Cilung, Peteg-peteg Suku, dan Untring-untring. Tak ketinggalan pula jogedan dan celotehan-celotehan lucu yang mengocok perut penonton. Para penonton pun senang dan tertawa menyaksikan aksi para peserta Festival Angklung Caruk Pelajar di Gesibu, Banyuwangi, awal 2018. Angklung caruk adalah salah satu kesenian khas yang tumbuh di masyarakat Banyuwangi. “Caruk” artinya bertemu. Sekurang-kurangnya dua kelompok saling caruk  untuk bertanding memainkan angklung. Mereka juga memiliki suporter untuk memberi dukungan jagoannya dan menjatuhkan mental lawan. Festival Angklung Caruk merupakan salah satu acara yang masuk dalam agenda wisata tahunan Banyuwangi Festival.   Setelah angklung caruk, beberapa bulan kemudian giliran Festival Angklung Paglak digelar di hamparan hijau Bandara Banyuwangi. Dalam festival ini, para pemusik berusaha menghasilkan alunan musik yang terbaik. Mereka unjuk kemahiran memainkan angklung di atas paglak atau menara bambu. Semakin kencang pukulannya, menara bambu ikut bergoyang kian kencang. Inilah ciri khas kesenian ini. ”Angklung paglak adalah salah satu kesenian tertua di Banyuwangi. Ini kearifan lokal warga yang luar biasa. Kita ingin menunjukkan bahwa kearifan lokal bukan masa lalu, tapi masa depan,” ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas di laman Pemkab Banyuwangi. Ekspresi Pak Tani Banyak orang mengenal angklung berasal dari daerah Jawa Barat. Alat musik bambu yang kini terdaftar sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO ini lekat dengan orang Sunda. Namun, angklung ternyata juga berkembang di ujung timur Jawa. Jika angklung Sunda dijinjing dan digoyang untuk memainkannya, angklung Banyuwangi harus diletakkan atau disangga dengan perut dan dimainkan dengan cara dipukul. Ukurannya juga lebih besar dan terdiri dari dua angklung yang berpasangan. Penyangganya berukir naga atau kepala Gatotkaca. Tak diketahui sejak kapan angklung muncul, baik di tatar Sunda maupun Banyuwangi. Alat musik bambu memang telah digunakan dalam berbagai kebudayaan Nusantara pra-Hindu. Berkembang di berbagai daerah dan menemukan bentuknya sendiri. Paul Arthur Wolbers dalam “Gandrung and Angklung from Banyuwangi: Remnants of a Past Shared with Bali” di jurnal Asian Music Vol. 18 No. 1 tahun 1986 menyebut instrumen bambu di Banyuwangi awalnya berbentuk seperti kentongan yang dipasang pada paglak . Kentongan ini digunakan sebagai alat komunikasi antardesa serta untuk mengusir harimau dan hantu. Bambu sebagai alat musik tampaknya kemudian digunakan dalam upacara panen padi. Perkusi bambu menjadi pengiring ritual sekaligus hiburan bagi para petani. Sedangkan dari bentuknya, Wolbers menyebut angklung Banyuwangi memiliki hubungan dengan gamelan angklung dari Bali. “Beberapa xilofon bambu ada di Jawa, tapi tak ada yang mendekati bentuk keseluruhan dari angklung Banyuwangi. Satu-satunya instrumen yang terlihat mirip adalah grantang langka dari Bali,” sebut Wolbers. Grantang pernah memainkan peran dalam angklung gamelan Bali yang dapat dibandingkan dengan orkestra angklung dari Banyuwangi. Kemunculan kesenian angklung tak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Osing saat musim panen. Alat musik dari bambu dimainkan di atas paglak sebagai undangan dari pemilik sawah kepada warga agar ikut membantu sekaligus menghibur para petani. Selain itu, alunan musik angklung juga berguna untuk mengusir burung. Menurut Budhisantoso dkk dalam Pola Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Using di Kabupaten Banyuwangi Propinsi Jawa Timur , masyarakat Osing menyebut tradisi saat panen itu sebagai upacara “ngampung”. Para petani yang mampu biasanya nanggap kesenian “angklung sawahan” atau istilah yang lebih populer angklung paglak. “Kesenian ‘angklung sawahan’ ini dipertunjukkan di lokasi sawah yang sedang panen sehingga menambah suasana gembira dan semangat kerja bagi pemanen,” tulis Budhisantoso dkk. Ragam Angklung Dari permainan yang sederhana, angklung berkembang menjadi sebuah kesenian yang bisa digunakan untuk mengiringi sebuah tarian. Di Desa Kemiren, terdapat dua jenis kesenian angklung, yakni angklung pelangi sutra dan angklung caruk. Angklung pelangi sutra menampilkan tarian yang dibawakan beberapa orang dan diselingi lawakan –juga sandiwara bila diminta. Sedangkan angklung caruk mempertandingkan kebolehan para pemain dari sekurang-kurangnya dua kelompok seni. Dalam angklung caruk juga disajikan tarian seperti tari jangeran, tari gandrungan, cakilan, hingga kuntulan. Menurut Wolbers, latar belakang angklung caruk dapat ditemukan dalam beberapa tradisi yang telah punah. Salah satunya adalah tarian tarung menggunakan tongkat rotan yang dimainkan selama musim kemarau di beberapa daerah di Jawa Timur. Permainan ini diiringi oleh sekolompok pemusik. Di dekat Banyuwangi, pernah pula terdapat gitikan , hiburan yang menampilkan dua lelaki berusaha saling memukul dengan cambuk panjang terbuat dari serat daun kelapa. Pertunjukan itu diiringi oleh dua angklung yang repertoar musiknya sama dengan gandrung . “Kebiasaan lain yang mungkin telah berkontribusi pada angklung caruk ditemukan dalam apa yang Pigeaud sebut prang desa , ‘perang desa’," sebut Paul Arthur Wolbers dalam “Account of Angklung Caruk July 28, 1985” di jurnal Indonesia April 1987. Ayu Sutarto dalam makalahnya pada acara Jelajah Budaya berjudul “Sekilas tentang Masyarakat Using” menyebut angklung caruk berasal dari kesenian legong Bali. “Kecepatan irama musik dan lagu-lagu yang dimainkannya sangat dipengaruhi oleh nuansa musik angklung ritmis dari Bali. Namun dalam kesenian ini terdapat juga perpaduan antara nada dan gamelan slendro dari Jawa yang melahirkan kreativitas estetik,” tulis Ayu. Namun, Ayu memasukkan angklung caruk sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai “angklung daerah” yang bisa dipakai untuk mengiringi gending (lagu) dan tari. Jenis angklung daerah adalah angklung paglak, angklung caruk, angklung tetak, angklung dwi laras, dan angklung Blambangan. Angklung tetak merupakan pengembangan dari angklung paglak, dengan perubahan pada bahan instrumen dan nada. Angklung dwi laras merupakan pengembangan dari angklung tetak. Disebut angklung dwi laras karena angklung jenis ini menggabungkan komposisi dua nada, yaitu laras pelog dan laras slendro. Sementara angklung Blambangan merupakan pengembangan terakhir angklung di Banyuwangi. Ada beberapa gending yang biasa dimainkan dalam angklung daerah. Antara lain Jaran Ucul, Tetak-tetak, Gelang Alit, Mak Ucuk, Sing Duwe Rupo, Congoatang, Ulan Andung-andung, Mata Walangan, Ngetaki, Selendang Sutera, dan Padhang Ulan. Angklung dan Genjer-genjer Ada varian kesenian angklung yang pernah berkembang pada 1950-an. Ia disebut angklung modern tapi lebih dikenal sebagai genjer-genjer. Nama ini bukan hanya merujuk pada judul lagu Genjer-genjer. Melainkan digunakan sebagai sebutan untuk setiap gubahan dari sebuah kelompok angklung bernama Sri Muda. Bahkan Sri Muda sebagai kelompok musik pun sering disebut sebagai Genjer-genjer. Dalam Lekra Tak Membakar Buku, Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan menyebut, Sri Muda merupakan kelompok angklung modern yang populer pada 1950-an hingga 1960-an. Ia bermula dari organisasi yang bergerak di bidang khusus angklung caruk yang dibentuk tahun 1954 dengan nama Sri Tanjung. Dari Sri Tanjung, lahir konsepsi musik angklung baru. Kematangan revolusioner Sri Tanjung kian meluas dan membumi. Mereka mendorong para pemuda untuk menggunakan angklung sebagai senjata dalam bermusik. “Sri Tanjung pun lebur menjadi Sri Muda (Seni Rakyat Indonesia Pemuda). Lagu-lagu yang dibawakannya, terutama ciptaan Arief (Muhammad Arief, pencipta lagu Genjer-genjer, -red ), masih disukai. Bukan saja karena iramanya yang khas, tapi juga isinya progresif,” sebut Rhoma dan Muhidin. Lagu Genjer-genjer menjadi yang paling populer. Dari situlah Genjer-genjer bergeser menjadi sebutan konsepsi angklung modern Sri Muda dan sebutan untuk Sri Mudanya sendiri. Pada 1960-an berkembang pula tarian padangulan atau kadang disebut tari angklung. Diciptakan dari kebiasaan masyarakat Banyuwangi, terutama yang berdiam di sekitar pantai, beramai-ramai keluar rumah dan berjalan-jalan di pantai bila bulan purnama. Gerak dasar tarian banyak mengambil unsur pada pertunjukan gandrung, baik dari penari gandrung maupun pemajunya. Ditarikan anak laki-laki dan perempuan dengan perpasangan. Jumlah pasangan tidak terbatas. Menurut buku Ensiklopedi Tari Indonesia , t arian padangulan dipopulerkan tahun 1964. Semula digarap Wim Arimaya, seorang penari di daerah itu. Pada mulanya banyak mengambil unsur-unsur gerak tarian Melayu. Lalu disempurnakan hingga mencapai bentuknya sekarang oleh seniman-seniman tari muda, antara lain Sumitro Hadi. Setelah 1965, stigma negatif membuat redup dunia perkembangan kesenian angklung di Banyuwangi. Namun perlahan ia kembali muncul dan populer sebagai hiburan atau tontonan pada acara hajatan seperti perkawinan, khitanan, atau perayaan lainnya. Kini, lebih dari setengah abad setelah masa kejayaan angklung modern, berbagai festival angklung diadakan di Banyuwangi. Dari Fertival Angklung Caruk Pelajar hingga Festival Angklung Paglak yang dimainkan di atas menara bambu paglak diadakan untuk membangkitkan kembali tradisi angklung dari timur ini. Angklung paglak khas Banyuwangi yang telah mendarah daging nantinya juga melahirkan kesenian musik lokal semacam Kendang Kempul.

  • Berpacu dalam Kendang Kempul

    SIAPA tak kenal Ikke Nurjanah? Penyanyi dangdut bersuara merdu dan berpenampilan sopan ini pernah kondang di blantikan musik Indonesia. Sejak usia remaja, dia memang sudah menjadi penyanyi profesional dan meluncurkan sejumlah album. Namun, sebelum dikenal sebagai penyanyi dangdut, Ikke identik dengan lagu-lagu Jawa. Hal ini tak bisa dilepaskan dari kesuksesan album Ojo Lali . Bahkan berkat album itu pula namanya melejit. Setelah itu sederet album Jawa pun dirilisnya. Salah satunya album Gelang Alit . Album Gelang Alit diproduksi MSC Records dan dirilis tahun 1996 saat Ikke masih kuliah. Menariknya, di album ini, Ikke mencoba menginterpretasi lagu berbahasa Osing dari Banyuwangi berjudul “Gelang Alit” karya Fatrah Abal atau Faturahman Abu Ali. Kendati liriknya sudah diubah ke dalam bahasa Indonesia, aransemennya masih kental nuansa Banyuwangi. Tumbuh indah di taman hati Laut Ketapang airnya keruh Pinggir kota Banyuwangi Siang malam kurindu Hati rasa setiap hari Album Gelang Alit cukup mendapat sambutan dari penggemar musik tanah air. Album itu juga mengangkat kembali musik etnik Banyuwangi ke ranah musik nasional. “Dan Ikke Nurjanah, penyanyi dangdut, memiliki hit nasional pada 1997 dengan sebuah lagu kendang kempul, yang merupakan sumber kebanggaan utama bagi banyak orang di Banyuwangi,” tulis Bernad Arps dalam “Osing Kids and the banners of Blambangan” di jurnal Wacana , April 2009. “Tampaknya ini adalah ungkapan keinginan untuk sebuah pengakuan.” Kendang kempul adalah sebutan untuk musik etnik yang lahir dan berkembang di Banyuwangi, Jawa Timur. Dari Gandrung Musik kendang kempul tumbuh dan berkembang dari kesenian gandrung Banyuwangi. Alat musik yang digunakan pun dipakai pada kesenian gandrung. Ada yang menyebut kendang kempul telah ada dan berkembang pada 1920-an dengan munculnya lagu-lagu yang diciptakan untuk mengiringi kesenian gandrung. “Musik kendang kempul pada awalnya disebut dengan kendang gong, yakni seni musik yang tumbuh dan berkembang dari tradisi kesenian gandrung,” tulis Ginanjar Wahyu Raka Siwi dalam tugas akhirnya di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dengan judul “Musik Populer Kendang Kempul Banyuwangi”. Namun, lagu-lagu gandrung dirasa kurang memanjakan telinga. Maka, sejumlah seniman mulai menciptakan lagu-lagu bertema alam dan rakyat kecil. “ Nah, setelah itu mulai berkembang lagu-lagu Banyuwangi dengan iringan angklung,” ujar Hasan Singodimayan, mantan aktivis Himpunan Seniman dan Budayawan Islam yang berafiliasi dengan partai Masyumi, dikutip Ikwan Setiawan dalam artikel “Merah Berpendar di Brang Wetan: Tegangan Politik 65 dan Implikasinya terhadap Industri Musik Banyuwangen”. Salah satu lagu yang kemudian populer adalah Genjer-genjer, diciptakan musisi Mohamad Arief, pada 1953. Lagu ini menggambarkan kesulitan hidup pada masa pendudukan Jepang sehingga memaksa penduduk di Banyuwangi makan genjer yang dianggap pakan ternak –karenanya ada yang menyebut lagu ini diciptakan masa Jepang. Sejak gabung Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Mohammad Arief mendirikan grup angklung Srimuda (Seni Rakyat Indonesia Muda). Pada 1960-an, ketika singgah di Banyuwangi dan disuguhi pertunjukan angklung dengan lagu penutup Genjer-genjer, petinggi PKI dan Lekra Njoto berucap: “Lagu ini pasti akan segera meluas dan menjadi lagu nasional!” Terbukti lagu itu populer. Disiarkan RRI dan TVRI . Dinyanyikan penyanyi-penyanyi nasional. Selain Mohammad Arif, ada banyak seniman Banyuwangi era itu yang menulis lagu seperti Andang C.Y., Nasikin, B.S. Nurdian, Mahfud Hariyanto, Endro Wilis, A.K. Armaya, dan Fatrah Abal. Mereka umumnya bergabung dengan lembaga-lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan partai politik saat itu. “Musik lokal Banyuwangi pada awalnya adalah kreativitas para seniman musik yang didorong oleh kepekaan sosial. Realitas sosial yang terjadi pada masyarakat Banyuwangi yang diungkapkan oleh seniman dalam bentuk syair lagu,” tulis Hervina Nurullita dalam “Stigmatisasi terhadap Tiga Jenis Seni Pertunjukan di Banyuwangi” di Jurnal Kajian Seni , November 2015. Perkembangan musik lokal Banyuwangi surut setelah Peristiwa 1965. Lekatnya lagu Genjer-genjer dengan PKI berimbas pada stigma kiri terhadap semua musik Banyuwangi. Beberapa seniman yang selamat mengalami stigma, trauma, dan ketakutan. Kendang kempul berkembang dari kesenian gandrung Banyuwangi. (Dok. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi).  Adaptif Pada 1970-an, A.K. Armaya kembali ke Banyuwangi dari perantauannya di Jakarta. Dia mendapati suasana ketakutan masih membayangi para seniman untuk membuat lagu-lagu Banyuwangi. Sementara masyarakat Banyuwangi lebih familiar dengan musik-musik beraliran pop hingga dangdut. Armaya berhasrat untuk menghidupkan kembali lagu-lagu Banyuwangi. Inisiatifnya mendapat dukungan dari Bupati Joko Supaat Slamet. “Hingga pada tahun 1975-an Banyuwangi sudah mulai berani merekam lagu-lagu berbahasa Osing namun dengan pengawasan dan fasilitas dari pemerintah,” tulis Akbar Satria Putra Mahendra dan Agus Trilaksana dalam “Musik Kendang Kempul Tahun 1980-2008” di jurnal Avatara , Oktober 2018. “Pelukan mesra pendopo”, begitu istilah yang dipakai Ikwan, berwujud merekam lagu-lagu Banyuwangen karya mantan seniman Lekra maupun bukan dengan instrumen yang mengkolaborasikan angklung dan gandrung karena kedua jenis instrumen tersebut sangat populer. “Dipakainya lagu-lagu ciptaan para seniman kiri menandakan bahwa persoalan stigma politis untuk sementara bisa diatasi, meskipun kontrol memang masih begitu ketat,” tulis Ikwan. Terlepas dari kontrol rezim terhadap perkembangan kesenian Banyuwangen, lanjut Ikwan, nyatanya para seniman punya mekanisme sendiri untuk mengembangkan kesenian tradisi-lokal di Banyuwangi. Mereka tetap berkarya, meskipun harus bersiasat terus-menerus. “Industri rekaman yang dibina oleh Pendopo, ternyata mempunyai peran strategis untuk menyemarakkan kembali kesenian beraroma rakyat di tengah-tengah masyarakat,” tulis Ikwan. Sebenarnya, setelah 1965, dunia musik di Banyuwangi tetaplah semarak. Menurut Akbar dan Agus, sejarah musik di Banyuwangi pasca 1965 berawal dari grup orkes Gavilas yang digadang-gadang sebagai pionir orkes musik Melayu di Banyuwangi. Grup ini juga populer saat itu. Eksistensi Gavilas mendorong munculnya grup orkes lainnya. Salah satunya Arbas (Arek Banyuwangi Asli) pimpinan Sutrisno. Pada 1980-an Sutrisno dan teman-temannya mempopulerkan kendang kempul namun dengan balutan musik yang berkembang saat itu. Mereka menggabungkan unsur instrumen dalam gandrung dengan peralatan musik modern untuk mendapatkan warna baru yang nantinya akan menjadi identitas khas Banyuwangi. Nama kendang-kempul diambil karena dalam musik yang dibuat ada kendang dan kempul sebagai instrumen utama. Alat musik itulah yang membedakannya dari musik etnik lainnya. Kemudian ditambahkan organ, biola, dan gitar yang merupakan alat musik modern. Kekuatan utamanya terletak pada lirik-lirik lagunya yang berbahasa Osing. Ini pula yang membuat kendang kempul bisa diterima, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Pada dasarnya, ujar Sutrisno kepada Ikwan, kendang kempul itu orkes versi Osing dengan memasukkan kendang dan kempul. Upaya Sutrisno dan kawan-kawan rupanya mendapat tempat di hati masyarakat Banyuwangi. “ Ketika sekitar 1980 kendang Kempul dibuat kira-kira dalam bentuknya yang sekarang, yaitu musik pop, ini adalah langkah yang cukup radikal,” tulis Arps. Eksistensi kendang kempul di pentas nasional mencuat setelah “Ratu Kendang Kempul” Mbok Sumiati membuat album dengan pelawak kenamaan Jakarta, Doyok dan Cahyono. “Walaupun mereka dari background komedi, namun untuk masalah olah vokal, mereka tak kalah dengan penyanyi dangdut papan atas. Warna vokal dan basa Osing Mbok Sumiati lah tetap yang mendominasi keunikan dari lagu-lagu yang mereka bawakan. Sebagai contoh, lagu Kenal Lare Osing yang dibawakan Doyok dan Sumiati dalam album Cinta Modal Sepeda ,” tulis Akbar dan Agus. Perkembangan ini kian menyemarakkan dunia musik Banyuwangi. Industri rekaman lokal pun tumbuh. Album rekaman dalam format VCD dibuat dan didistribusikan ke lapak-lapak penjual. Penjualannya pun lumayan. Lagu-lagunya, sebagian besar bertema cinta meski ada juga bermuatan “patriotisme”, mewarnai siaran-siaran radio di wilayah Banyuwangi. Bahkan pada 1990-an lagu-lagunya digemari untuk karaoke, baik pada perayaan maupun kontes. “Bernyanyi kendang kempul adalah hobi populer di kalangan anak sekolah menengah. Saya telah berbicara dengan beberapa orang yang pikirannya menjadi salah satu ciri utama menjadi Laré Using adalah dapat menyanyikan kendhang kempul dan mengetahui lagu tersebut,” ujar Arps. Namun badai melanda industri musik di manapun karena adanya perkembangan teknologi informasi, terutama internet. Akibatnya penjualan VCD turun. Mau tak mau, para produser rekaman pun merambah dunia digital. Siasat lain dilakukan dengan bergeser ke genre dangdut koplo yang lagi tren. Maklum, masa keemasan lagu Banyuwangi sempat turun pada 2006. Sandi Record, misalnya, berkreasi dengan mengkolaborasikan musik Banyuwangi dengan berbagai genre seperti koplo, house dan disco. Kreasi Sandi Record ternyata diterima pasar. Album-album yang diproduksinya kembali meledak. Selain menggarap lagu-lagu Banyuwangi, dia mulai merambah pasar dangdut. Sandi Record membidik diva dangdut seperti Elvi Sukaesih dan Ikke Nurjanah untuk rekaman. “Lagu dangdut ini untuk nutupin kalau lagu Banyuwangi sepi,” ujarnya, dikutip Lokadata .  Kendati muncul kritik, kecenderungan semacam itu menunjukkan betapa dinamisnya musik Banyuwangi. Hal itu pula yang membuat kendang kempul bisa bertahan. Bagaimanapun, kendang kempul sudah didapuk sebagai musik daerah Banyuwangi. Upaya untuk melestarikan dan mengembankannya pun terus dilestarikan. Antara lain melalui Festival Gending Osing yang kembali digelar Pemkab Banyuwangi pada akhir tahun lalu. “Kami semua sangat bersyukur musik Banyuwangi terus berkembang. Dan yang paling penting, tak hanya bergema di daerahnya, bahkan musik Banyuwangi mudah kita temui di daerah lain. Surabaya contohnya. Saya itu kerap terdengar musik Banyuwangi diputar atau dimainkan musisi jalanan jika berkunjung ke wilayah Jawa Timur lain,” kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, dikutip laman Pemkab Banyuwangi. Yuk, ikut berdendang.

  • Serangan Aktivis Kiri di Bandara Lod Israel

    HARI ini, 30 Mei , 48 tahun silam, Pablo Tirado-Ayala mendapati kenyataan amat berbeda di Bandara Lod (kini Bandara Internasional Ben Gurion), Tel Aviv, Israel. Alih-alih mendapatkan kebahagiaan spiritual dengan mengikuti wisata religi ziarah ke “Tanah Suci” itu, pria Puerto Riko yang menjadi warga negara Amerika Serikat tersebut justru tak pernah mendapatkannya karena hanya bisa sampai bandara. Kerusuhan mengerikan di bandara itu tak “mengizinkannya” sampai ke “Tanah Suci” dan justru membawanya ke fase kehidupan berbeda yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Pablo tak mau bicara, di rumah ia hampir selalu berada di kamarnya, ia hanya akan keluar selama beberapa menit, dan dia tak akan bicara, dan dia akan kembali ke kamarnya,” ujar Angel Ramirez Colon, anak angkat semata wayang pasangan Pablo dan Antonia, dalam kesaksiannya tentang sang ayah yang diutarakan dalam persidangan di United States District Court for the District of Puerto Ricopada 2008, dimuat di laman osenlaw.com . Pablo mengalami gangguan jiwa berat akibat terluka oleh tembakan tak lama setelah pesawatnya mendarat di Bandara Lod, dikenal dengan Pembantaian Bandara Lod (Lod Airport Massacre). Kerusuhan itu dilakukan tiga teroris Jepang anggota Japanese Red Army (JRA), organisasi ultra-kiri pecahan Red Army Faction (FAR) yang didirikan Fusako Shigenobu. Menurut Sara Dissanayake dalam “Japan” yang termuat di buku Handbook of Terrorism in the Asia-Pasific , FAR beroperasi dengan tujuan menggulingkan pemerintah dan monarki di Jepang serta menggerakkan revolusi di dunia. “Anggota kesatuan itu terlibat dalam berbagai tindakan kriminal di Jepang, termasuk serangan terhadap kantor polisi dan serangan bank. Pada 31 Maret 1970, sembilan anggota RAF membajak sebuah penerbangan Japan Airlines dan memerintahkan pilotnya menerbangkan pesawat ke Korea Utara, di mana mereka diberi perlindungan dan tempat tinggal,” tulis pakar terorisme itu. Akibatnya, pemerintah Jepang mengambil tindakan keras. Tindakan keras pemerintahan Jepang terhadap kelompok kiri pada 1970-1971 dan adanya persaingan sengit antar-kelompok kiri memaksa Shigenobu dan beberapa anggota militan lain menyingkir ke luar negeri. Mereka memilih Lebanon, tempat Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) bermarkas, sebagai tempat pelarian. Shigenobu dan kawan-kawan disambut hangat rekan internasionalnya dalam perjuangan melawan imperialisme itu. “Kedatangan Shigenobu di Timur Tengah amat tepat sesuai dengan keinginan yang tumbuh dalam orang-orang Palestina untuk mencari dukungan luar kegiatan anti-Israel mereka. Meskipun Palestina telah lama berjuang melawan Israel, mereka melakukannya dengan sedikit keberhasilan,” tulis Aileen Gallagher, investigator lepas dan penulis, dalam The Japanese Red Army .    Kekalahan Arab dalam Perang Arab-Israel 1967 membuat para pemimpin perjuangan Palestina mengubah taktik. Perang konvensinal tak mungkin mereka lakukan lagi karena Israel terlalu kuat dengan dukungan AS. “Terorisme dan perang gerilya kini dianggap satu-satunya harapan warga Palestina untuk menyingkirkan Israel dari tanah yang mereka anggap milik mereka. Orang-orang Palestina mulai mencari inspirasi dan bantuan dari kelompok lain di seluruh dunia yang telah berjuang untuk menggulingkan pemerintah,” sambung Aileen. Setelah Shigenobu mendirikan JRA di Lembah Bekaa, kerjasama para militan kiri Jepang itu dengan PFLP kian intensif. Satu aksi penting yang mereka rencanakan adalah menyerang bandara Lod di ibukota Israel. “Serangan itu sebenarnya dikoordinir PFLP tetapi dieksekusi oleh tiga anggota JRA,” kata Sara. Pemilihan anggota JRA sebagai eksekutor diusulkan Shigenobu untuk menghilangkan kecurigaan pihak keamanan bandara Israel yang sedang gencar mengawasi pendatang Arab. Meski sempat meragukan, pimpinan PFLP akhirnya menerima usulan Shigenobu. “JRA adalah semangat kekeluargaan sempurna dan mitra yang sukarela,” tulis Aileen. Setelah perencaan dibuat, mereka mencari eksekutor. Salah satu yang bersedia, Kozo Okamoto. Setibanya di Beirut setelah beberapa bulan menjalani penerbangan estafet dari Tokyo via Amerika, Okamoto menjalani pelatihan sembilan minggu.   Misi dijalankan oleh tiga eksekutor: Kozo Okamoto, Takeshi Okudaira (suami Shigenobu), dan Yasuyuki Yasuda. Mereka menyamar sebagai turis Jepang. Mereka hanya membawa sedikit koper, berisi senapan semi-otomatis dan granat. Setelah pelesir ke Paris, mereka tur ke Roma. Tiga hari di Roma, mereka lalu terbang ke Tel Aviv menggunakan pesawat Air France dengan nomor pererbangan 132 dari Paris yang transit di Roma. Pada saat-saat itulah Pablo Tirado-Ayala di Amerika amat bahagia karena waktu wisatanya ke “Tanah Suci” makin dekat. “Itu adalah topik utama obrolan di rumah. Antonia tidak mau bergabung dengan Pablo karena Angel masih di rumah (pada saat itu berusia 16) dan dia tidak ingin meninggalkannya sendirian,” kata Angel Ramirez, anak-angkat Pablo. Pablo akhirnya berangkat ke Tel Aviv bersama 16 wisatawan-peziarah lain dari Puerto Rico. Mereka tiba di Bandara Lod pada 30 Mei. Begitu turun dari pesawat, mereka mengantri di ruang bagasi untuk mengambil barang-barang bawaan. Saat itulah, tulis Aileen, “Tiga lelaki Asia mengambil tas dan pindah ke dinding yang jauh, berpura-pura mencari sesuatu di koper mereka. Tiba-tiba, tembakan memenuhi ruangan itu.” Ketiga teroris terus memberondongkan senapannya secara membabi buta ke arah kerumanan orang di ruang bagasi bandara. Salah satu teroris lalu melemparkan granat ke beberapa kelompok orang yang berkerumun. Mereka tak puas dan memperluas wilayah ke serangan ke ruang tunggu di luar. Okudaira bahkan memasuki landas-pacu dan memberondong sebuah pesawat. Ketika pelurunya habis, dia melemparkan granat yang tersisa dan tubuhnya hancur bersamaan dengan kepingan-kepingan granat itu. Banyak orang menganggap itu sebagai aksi bom-bunuh dirinya, namun banyak saksi mengatakan dia terpeleset dan jatuh ke arah granat yang dilemparnya. Teroris kedua, Yasuda, tewas tertembak tak lama berselang. Sebagian saksi menyatakan dia terkena friendly fire , namun banyak saksi meyakini dia tertembak oleh aparat keamanan bandara. Sementara, Okamoto, lari keluar untuk melemparkan granat ke arah pesawat setelah kehabisan peluru. Okamoto tak melawan saat dibekuk petugas keamanan. Dia bahkan berharap dihukum mati aparat keamanan Israel meski hal itu tak pernah dikabulkan. Meski hanya beberapa menit, serangan tiga teroris JRA itu menewaskan 26 orang. Salah satunya, Profesor Aharon Katzir, ahli bio-fisika Israel. Sementara, 80 orang lain mengalamai luka-luka akibat serangan itu. “Misi ini akan tercatat dalam sejarah sebagai tindakan paling berdarah JRA, yang akan menempatkannya di antara organisasi teroris yang paling ditakuti di dunia,” tulis Aileen. Salah satu korban adalah Ros Sloboda. Perempuan asal London yang saat itu bekerja di Tel Aviv itu tertembak salah satu kakinya. Dia bahkan sempat yakin dirinya bakal tewas ditembak lebih lanjut oleh salah seorang teroris yang dilihatnya. Namun, keyakinan itu meleset. Nyawanya selamat. Meski nyawanya juga selamat, Pablo mengalami gangguan mental berat. Dia berhasil pulang ke Puerto Rico, namun tidak pulang sebagai Pablo sebelumnya yang ceria, ramah, perhatian, dan penyayang. Gangguan mental berat membuatnya murung dan mengurung diri sepanjang hari di kamarnya. Dia tak bisa tidur tanpa minum obat. Di tengah tidurnya, dia sering terbangun dan berteriak. Upaya pengobatan yang dilakukan Antonia istrinya dengan membawanya ke instalasi perawatan mental selama sebulan, tak banyak membantu. Pembantaian Bandara Lod telah mengubah kepribadian Pablo. “Dia tak mudah didekati lagi seperti sebelumnya,” kata Angel. Perubahan itu juga amat menyedihkan Antonia. “Karena dia tempat diajak bicara, yang akan menghabiskan waktunya bersama kami, orang yang mengajak kami pergi, seorang penyedia utama, (tapi) dia tak ada lagi,” ujar Antonia.

  • Kisah Asmara Dua Perwarta

    Sekembalinya dari Amerika Serikat untuk belajar ilmu jurnalistik di Bernard College, Columbia University, Siti Latifah Herawati Latip langsung meniti karier sebagai wartawan. Ia bekerja sebagai stringer (perantara) untuk wartawan Filipina yang ingin melakukan liputan di Hindia Belanda. "Wartawan itu Carlos Romulo yang beberapa tahu kemudian menjabat Menteri Luar Negeri negaranya,"  katanya dalam autobiografinya Kembara Tiada Berakhir. Ketika masa pendudukan Jepang, Herawati bekerja sebagai penyiar yang membacakan surat dari para tahanan perang di Radio Hosokyoku. Ia menerima pekerjaan ini setelah dibujuk sahabat ayahnya, dr. Latip, yang bernama Bahrum Rangkuty. Meski awalnya sempat menolak, Herawati mau menerima pekerjaan ini lantaran ada sisi kemanusiaan di dalamnya. Ia mulai bekerja pada April 1942 dan di sinilah ia bertemu Burhanudin Mohamad (B.M.) Diah yang kelak jadi suaminya. Pemuda Berkumis Tipis Benih cinta Herawati pada BM Diah mulai muncul pada suatu hari ketika sang pria menawarkan bantuan padanya. “Inilah aku, tidak punya gelar. Sekolahku sedang-sedang saja. Bolehkah aku mengangkat kopormu, Miss Latip?” kata B.M. Diah yang kala itu berusia 25 tahun. Kata-kata B.M. Diah itu menyentuh hati Herawati. Meski latar belakang dan gaya hidup dua pewarta ini amat berbeda, Herawati yakin pemuda Burhanudin kelak bisa menjadi kebanggaan keluarganya. B.M. Diah, pria Aceh keturunan Barus sudah yatim piatu, kala itu di Batavia tak punya sanak saudara. Sementara, Herawati datang dari keluarga terpandang keturunan Jawa. Ayahnya seorang dokter dan di keluarganya banyak orang berpangkat. Namun, pemuda berkumis tipis itu tak patah arang. Ia keluarkan keahliannya mengolah kata. Ia kirimkan puisi-puisi gombalnya dalam bahasa Inggris untuk meluluhkan hati si gadis yang pernah berkuliah di Amerika. Love is ageless Written about, words are limitless Love knows no extremity Either boundary Lewat Soetomo Satiman yang memperhatikan gerak-gerik si pemuda berkumis tipis itulah Herawati makin yakin untuk melanjutkan hubungan. “Soetomo Satiman, sepupu saya yang juga bekerja di Hosokyoku tidak suka bicara banyak. Rupanya ia memperhatikan tingkah laku dan tindak tanduk rekannya, Burhanudin Diah, yang mulai mengakrabkan diri terhadap saya…. Menurut pengakuannya pada saya, ‘Diah oke.’ Saya pun tidak ragu lagi,” kata Herawati seperti ditulis Toeti Kakilatu dalam BM Diah, Wartawan Serba Bisa. BM Diah juga menuliskan kisah pertemuannya dengan Herawati dalam sebuah puisi berjudul Nature Boy. There was a boy A very strange and chatter boy They say he wandered very far, very far Over land and sea A little shy and sad of eye But very wise was he And the one day A magic day he passed my way And while we spoke of many things Poors and kings Just he said to me The greatest thing You ever learned Is just to love And be loved, in return Pernikahan Herawati dan B.M. Diah. Makin luluhlah hati Herawati dikirimi puisi penuh gombalan dari B.M. Diah hingga memutuskan menikahi pria itu. Namun, ada saja hal yang terjadi sebelum pernikahan berlangsung. B.M. Diah ditangkap Kenpeitai 10 hari sebelum pernikahan karena berkerja di dua tempat, Hosokyoku dan suratkabar Asia Raya. Penangkapan itu membuat keluarga dr. Latip amat panik. Undangan sudah disebar, dekor, rias, dan katering sudah dipesan, tapi pengantin pria malah ditahan Kenpeitai. Dengan bantuan Pemimpin Redaksi Asia Raya Sukarjo Wirjopranoto dan Meester R. Sujono (kakak ipar Herawati), Diah dibebaskan tiga hari sebelum hari pernikahannya. Ia ditahan selama seminggu dan tidak mendapat perlakuan kasar (berbeda dari tahanan lain yang dipukuli hingga babak belur). Selama tiga hari menanti hari pernikahan, Herawati dan B.M. Diah dilarang berjumpa oleh Siti Alimah, ibunda Herawati. Namun dua sejoli ini tetap berkirim kabar lewat telepon dan selalu menggunakan bahasa Inggris. Diah pun selalu menyapa Herawati dengan, “How are you Miss Latip?”. Mereka pun akhirnya menikah. Resepsi pernikahan dihadiri Sukarno dan Hatta yang baru keluar dari pengasingan. Dari pihak Herawati, hadir Muhammad Amin, Haji Agus Salim, dan Mohammad Isa. Dari pihak Diah, hadir keluarga Daan Anwar. Ijab-kabul pun dilaksanakan. Penghulu menuntun mempelai pria mengikuti ucapannya. Burhanudin bin Mohamad Diah dinikahkan dengan Siti Latifah Herawati bin Latip dengan mas kawin seratus ringgit dibayar… utang.

  • Sejarah Panjang Kopi Lanang

    NGOPI di kafe itu biasa. Tapi menikmati secangkir kopi di tengah perkebunan yang sejuk berbalut pemandangan indah tentu jauh lebih nikmat. Apalagi jika di tempat itu tersedia kopi lanang yang memiliki rasa lebih lembut, tekstur padat, dan aroma harum. Jika Anda ingin mencobanya, datanglah ke Banyuwangi, Jawa Timur. Di sana ada Wisata Kuliner Kopi Lanang, destinasi yang menggabungkan konsep wisata alam sekaligus edukasi, yang berada di tengah perkebunan Malangsari. Anda bisa menikmati kopi premium kualitas ekspor. Selain itu sajian kuliner yang diolah dengan aroma kopi lanang. Dari wedang ronde hingga es degan. Dari watu lempit hingga getuk gulung rasa. Gagasan Wisata Kuliner Kopi Lanang yang berlokasi di Dusun Ledoksari, Desa Kebunrejo, Kecamatan Kalibaru ini muncul setelah acara ekspor perdana kopi robusta Malangsari ke sejumlah negara. Seperti diketahui, perkebunan Malangsari adalah salah satu sentra penghasil kopi robusta terbaik di Nusantara. Produknya sudah diekspor ke Italia, Jepang, Inggris, hingga Swiss. “Pada kesempatan yang sama, wisata ini menawarkan edukasi petik hingga penyajian kopi bersama para pakar. Sehingga wisata ini menjadi pusat edukasi yang lengkap bagi wisatawan dan para pelajar,” kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, dikutip laman  Dinas Koperasi, Usaha Mikro dan Perdagangan Kabupaten Banyuwangi, akhir tahun lalu. Anas mengaku senang Wisata Kuliner Kopi Lanang akhirnya bisa dibuka lewat kerjasama dengan Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara XII (PTPN XII). Pembukaan tempat ini bagian dari upaya bersama untuk mengembalikan citra Banyuwangi sebagai penghasil kopi berkualitas. Kopi Robusta Kopi berakar kuat di Banyuwangi. Banyuwangi kaya kopi. Sejak zaman Belanda kopi sudah dikembangkan di perkebunan-perkebunan kopi milik penjajah Belanda. Biji kopi pertama di Banyuwangi berasal dari Clement de Harris, residen pertama Besuki, pada 1788. Besuki terdiri atas empat afdeeling (kabupaten): Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Banyuwangi. Dari keempatnya, Banyuwangi mempunyai pegunungan luas bernama Ijen. Cocok untuk pertumbuhan kopi. De Harris pun menanamnya di Sukaraja, utara Banyuwangi –kini masuk wilayah Kecamatan Giri . Masa tanam paksa 1830-1870 mendorong perluasan kebun-kebun kopi di Banyuwangi ke arah selatan. Wilayah itu mencakup Songgon, Wongsorejo, Glagah, Licin, Kalipuro, Pesanggaran, Glenmore, dan Kalibaru (Malangsari). Wilayah ini pun mulai dikenal sebagai penghasil kopi di Jawa selain wilayah Priangan di Jawa Barat. Menurut Upik Wira Marlin Djalins dalam “Subject, Lawmaking and Land Rights: Agrarian Regime and State Formation in Late-Colonial Netherlands East Indies”, disertasi di Universitas Cornell tahun 2012, di bawah pengawasan kepala desa, kebun-kebun kopi ditanam dan dirawat penduduk setempat dan menghasilkan keuntungan yang besar bagi Belanda. Kopi Banyuwangi bahkan terkenal di Belanda dan sangat dicari. “Kemasyhuran kopi Banyuwangi menarik perhatian para pengusaha yang bercita-cita tinggi dan tersebar di wilayah Jawa Timur,” tulis Upik. Sejumlah pengusaha mencoba peruntungan dengan membuka perkebunan kopi. Terlebih setelah penghapusan Sistem Tanam Paksa yang memungkinkan budidaya kopi dikelola swasta. Pada 1959 dan 1960, perusahaan perkebunan milik Belanda dinasionalisasi. Mereka dimasukkan dalam satu wadah dan kini menjadi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII. Mulanya banyak perkebunan menanam varietas kopi arabica. Namun berjangkitnya penyakit tanaman kopi menyebabkan penurunan produksi kopi secara drastis. Maka, diperkenalkanlah varietas kopi robusta di Jawa yang lebih tahan penyakit dan produktivitasnya tinggi. Hasilnya, pertumbuhan kopi robusta melampaui produksi kopi Arabica. “Introduksi kopi robusta ini ternyata telah menjadi titik awal dari perubahan sejarah industri kopi di Indonesia. Penanaman dan pengembangan kopi jenis ini bukan saja telah mengubah negeri kita dari produsen kopi arabika menjadi produsen kopi robusta, tetapi lebih penting lagi jenis kopi ini telah menyelamatkan kelangsungan negeri ini sebagai salah satu penghasil kopi dunia,” tulis Latifatul Izzah dalam Dataran Tinggi Ijen: Potongan Tanah Surga untuk Java Coffee. Kopi robusta merupakan salah satu komoditas utama perkebunan Malangsari. Malangsari menempati lahan seluas 2.665,92 hektar yang mencakup delapan wilayah: Besaran, Watulempit, Mulyosari, Kampung Tengah, Tretes, Gunungsari, Pacurejo, dan Ledoksari. Kopi robusta kerap dibilang kopi kelas dua. “Lebih pahit dan sedikit asam daripada jenis Arabica. Kadar kafeinnya juga lebih banyak,” ujar Jaenal Arifin, alumnus program studi sejarah Universitas Jember, yang pernah meneliti tentang perkebunan kopi Malangsari. Namun siapa sangka dari kopi robusta muncul kopi bernilai tinggi yang dikenal dengan sebutan kopi lanang . Mendongrak Gairah Perluasan kebun kopi mempengaruhi perilaku orang-orang di Banyuwangi. Mereka bukan saja mengenal budidaya kopi, tapi juga bagaimana menghayati kopi dengan caranya sendiri. Kopi merekatkan mereka. “Sekali seduh, kita bersaudara,” demikian slogan mereka turun-temurun. Tapi produksi dan budaya kopi di Banyuwangi belum cukup untuk mendongkrak citra kopi Banyuwangi. Padahal sejak lama Banyuwangi merupakan salah satu sentra produksi kopi di Jawa. Rasa kopi Banyuwangi juga cukup khas. Misalnya saja kopi lanang Malangsari. Kopi ini disebut lanang lantaran bentuk bijinya berbeda dari kopi lainnya. Bentuknya tunggal dan bulat, sedangkan biji kopi lainnya terbelah dan berbiji dua (dikotil). Bentuk kopi lanang juga lebih kecil. Lanang berasal dari bahasa Jawa, artinya lelaki. Di pasar internasional ia biasa disebut peaberry coffee .  Kopi lanang terbaik muncul dari pohon kopi robusta berumur 10 tahun ke atas. Pohon itu harus tumbuh di tanah yang gembur, subur, mengandung banyak humus, berjenis andosol atau latosol, dan bertekstur baik. Genealogi pohon kopi tersebut berasal dari kebun percobaan di Kaliwining pada 1930-an. Anakannya tahan terhadap parasit Pratylenchus coffee dan Radopholus similis serta kekeringan. Ketinggian tempat ikut berpengaruh terhadap kualitas robusta. Pegunungan Meru Betiri mempunyai ketinggian 450-700 meter di atas permukaan laut. Perkebunan kopi menghadap ke timur sehingga memperoleh sinar matahari pagi yang lebih dari cukup. Selain itu, perkebunan kopi memperoleh angin laut dari selatan. Kondisi ideal untuk robusta. Menurut tuturan orang tempatan, kopi lanang diperoleh secara tidak sengaja. Para pekerja semula mengira kopi lanang sebagai kopi gagal. Bentuknya berbeda dari kebanyakan kopi. Tapi setelah dikumpulkan, jumlahnya 2-5 persen dari total panen. Sayang kalau dibuang. “Kopi gagal” itu pun diolah. Rasanya ternyata lebih nendang daripada sebagian besar kopi panenan. Sejak itu penelitian tentang kopi lanang muncul. Setelah diadakan penelitian oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, kopi itu justru jadi komoditas unggulan Perkebunan Malangsari. Kandungan kafein kopi lanang lebih tinggi 2,1 persen dibandingkan kopi lain. Rasanya mirip kopi luwak dengan aroma kuat dan agak asam. Mitosnya, kopi lanang mampu meningkatkan stamina dan gairah seksual lelaki. Biji kopi lanang mengandung senyawa tribulus terrestris untuk meningkatkan testoteron dan dehidroepiandrosteron (DHEA), sejenis steroid alami yang ada dalam tubuh orang. Tapi ini bukan berarti kopi lanang hanya cocok dikonsumsi lelaki. Perempuan pun bisa mengonsumsinya untuk menambah stamina bekerja. Untuk memperoleh kopi lanang perlu penyortiran dari hasil panen kopi robusta yang berbiji bulat dan tunggal. “Karena kelangkaan dan kerumitan pengolahannya itulah yang membuat kopi lanang lumayan mahal harganya,” ujar Jaenal Arifin. Pengembangan Kopi Lanang Belakangan ini, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan PTPN XII bertekad mengangkat citra kopi lanang dengan berbagai program. Antara lain ekspor kopi lanang ke Italia dan pembukaan wisata kuliner kopi lanang. Kopi lanang dianggap bisa bersaing dengan kopi dari daerah lain. Harganya Rp150-160 ribu per kilogramnya. Lebih mahal daripada kopi robusta biasa. Sebab, untuk memperolehnya, butuh usaha lebih. Puluhan ribu biji kopi disortir tiap kali panen. Hasilnya 2-5 persen saja yang dipilih sebagai kopi lanang. Dari 2.100 ton kopi, hanya 110 ton yang termasuk kopi lanang. Sisanya dijual sebagai robusta. Kebanyakan pekerja penyortiran adalah perempuan dengan menggunakan tempeh, ayakan bulat dari bambu. Para pengunjung wisata kuliner kopi lanang dapat melihat langsung penyortiran itu. Kalau Anda belum tergoda dengan destinasi wisata di Malangsari, cobalah menjajal rasa kopi lanang dan membuktikan sendiri mitosnya.

  • Petaka Tempe Bongkrek

    Jika pernah membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk  karya Ahmad Tohari atau menonton film adaptasinya Sang Penari , tempe bongkrek barangkali sudah tak asing lagi. Makanan inilah yang menyebabkan orang-orang Dukuh Paruk beserta ronggengnya keracunan hingga meninggal. Kejadian itu juga mengawali kisah Srintil, anak pembuat tempe bongkrek, yang menjadi ronggeng di kemudian hari. Tempe bongkrek merupakan makanan yang populer di tempat asalnya, Banyumas, Jawa Tengah. Tak seperti tempe biasa, tempe bongkrek terbuat dari campuran kedelai dan ampas atau bungkil kelapa yang kemudian difermentasi. Karena murah, tempe bongkrek menjadi salah satu makanan yang digemari masyarakat. Namun dalam sejarahnya, seperti pada novel Ahmad Tohari, tempe bongkrek pernah menyebabkan keracunan dan kematian massal secara berkala. Wabah keracunan tempe bongkrek pertama kali dicatat oleh otoritas Belanda pada 1895. Kemudian pada 1902, ilmuan Belanda, Adolf G. Vorderman, juga telah menggambarkan beberapa jenis tempe bongkrek. Ia mencatat pula bahwa tempe bongkrek menyebabkan keracunan makanan yang fatal. Keracunan massal yang lebih jelas perkaranya kemudian tercatat pada 1931 hingga 1937. Ketika itu Hindia Belanda dilanda depresi ekonomi. Penduduk desa kemudian membuat tempe bongkrek sendiri daripada membeli dari pembuat tempe berpengalaman. Hal ini menyebabkan banyak orang keracunan. Per tahun, tempe bongkrek beracun menyebabkan 10–12 orang meninggal. “Hanya sedikit yang selamat. Penduduk desa setempat percaya bahwa keracunan itu disebabkan oleh roh jahat atau oleh Dewi Samudera Hindia yang sedang marah!” sebut William Shurtleff dan Akiki Aoyagi dalam History of Tempeh, a Fermented Soyfood From Indonesia . Sejak awal 1930-an, W.K. Mertens dan A.G. van Veen dari Eijkman Institute di Batavia telah menyelidiki penyebab keracunan tempe bongkrek. Pada 1933, mereka menemukan bahwa penyebab munculnya racun pada tempe bongkrek adalah bakteri Pseudomonas cocovenenans . Bakteri inilah yang menghasilkan asam bongkrek dan toksoflavin. “Permulaan penyakit terjadi dalam beberapa jam setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi dan kematian dapat terjadi hanya dalam waktu 20 jam,” tulis J. David Owens dalam Indigenous Fermented Foods of Southeast Asia. Menurut Arbianto Purwo dalam “Bongkrek food poisoning in Java” seperti dilansir Shurtleff dan Aoyagi dalam History of Tempeh and Tempeh Product, dari 1951 hingga 1975, sebanyak 7.216 orang keracunan tempe bongkrek. Dari jumlah tersebut, 850 orang di antaranya meninggal dunia. Hal ini menunjukan 11,8% dari mereka yang keracunan berakhir meninggal atau rata-rata 34 orang meninggal dalam setahun. Sementara itu, pada 1975 tampaknya menjadi tahun terburuk kasus keracunan tempe bongkrek. Sebanyak 1.036 orang keracunan dan 125 orang meregang nyawa. Kemudian pada 1977, meski jumlahnya menurun, lebih dari 400 orang keracunan dan lebih dari 70 korban meninggal. Sebenarnya, pada 1958 telah diketahui bahwa daun asam dari spesies  Oxalis  yang tumbuh sebagai gulma di Banyumas, dapat mencegah toksisitas pada tempe bongkrek. Namun, penggunaan daun asam ini tidak diadopsi. Pada 1962, pemerintah Indonesia telah melarang produksi tempe bongkrek. Namun, larangan ini tidak berhasil dan keracunan terus terjadi hingga 1980-an. Tercatat pada 1988, racun tempe bongkrek memakan korban 37 orang di Banyumas.

bottom of page