Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Agresi Militer Saat Puasa
Puasa tahun ini Indonesia berperang lawan Corona. Sementara pada puasa tahun 1947, Indonesia juga sedang berperang lawan musuh yang bernama Belanda.
- Repotnya Membawa Buku Bung Hatta
SELAMA sembilan bulan Mohammad Hatta meringkuk di Penjara Glodok. Dia menjadi pesakitan karena tulisan-tulisannya dalam majalah Daulat Ra’jat yang menyulut propaganda Indonesia merdeka. Tidak cukup di Penjara Glodok, pemerintah Hindia Belanda kemudian berniat mengasingkan Hatta ke Boven Digul, Papua. Hatta sendiri tidak peduli di manapun raganya berada. Yang bikin Hatta gundah adalah bagaimana cara membawa buku-bukunya ikut dalam pengasingan. Karena dengan buku, Hatta merasa bebas. Pikirannya bisa tetap sehat dengan melahap berbagai buku pengetahuan. Begitulah kiranya Hatta punya kecintaan terhadap literasi. Masalahnya, buku Hatta itu banyak sekali. “Dalam peti buku yang berukuran ¼ meter kubik satu, jumlahnya 16 buah. Jadi semuanya 4 m3. Mengepak semua buku itu akan memakan waktu paling sedikit 3 hari,” ujar Hatta dalam Memoir Beruntunglah Hatta kerena pemerintah Hindia Belanda mengizinkan Hatta membawa buku-bukunya ke Digul. Syaratnya, dia hanya diberi waktu tiga hari berturut-turut pulang balik dari Penjara Glodok kerumahnya di Jalan Sawah Besar. Dengan bantuan kemenakan-kemenakannya, semua buku Hatta berhasil dikemas ke dalam 16 peti besi. Pada 28 Januari 1935, Hatta tiba bersama tahanan politik PNI Baru lainnya di Tanah Merah, Boven Digul. Beberapa diantara mereka seperti Sutan Sharir dan Mohammad Bondan. Setelah disambut oleh panitia penerimaan, Hatta mulai teringat lagi dengan barang-barangnya. Dia hanya membawa pakaian dalam 1 kopor sementara buku sebanyak 16 peti besi. Dari kantor pemerintah ke kampung interniran jaraknya sekira 1,5 km. Hatta putar akal karena tidak mungkin menggotongnya sendirian. Seorang anggota panitia penerimaan mengusulkan kepada Hatta agar memakai jasa orang Kaya-Kaya, suku lokal yang mendiami Boven Digul. Orang-orang Kaya yang terdidik memang kerap bekerja membantu kaum interniran. Hatta menerima tawaran tersebut. “Kami berunding dengan seorang Kaya-Kaya yang kira-kira menjadi pemimpin mereka. Ia meminta sebagai ongkosnya satu uang kelip untuk tiap-tiap peti,” kenang Hatta. Uang kelip waktu itu nilainya 5 sen, bentuknya bundar dan berlobang ditengahnya. Memasuki tengah hari, sampailah Hatta di rumah yang disiapkan untuknya. Tidak ketinggalan 16 peti buku yang diusung orang Kaya-Kaya. Berkat bantuan orang Kaya-Kaya itu, Hatta bebas mengisi hari-hari pengasingannya di Boven Digul dengan membaca buku. Pada waktu pagi hingga menjelang siang, Hatta leluasa belajar di ruang bacanya. Setiap dua kali sepekan, Hatta memberi kursus kepada rekan-rekannya sesama tahanan Digul pelajaran ekonomi dan filsafat, Hatta juga dapat menambah penghasilannya dengan menulis karangan untuk surat kabar Pemandangan . Karangan itu dikirim secara berkala tiap bulan. Dalam melakoni pekerjaan intelektual tersebut, tentu saja buku-buku yang diboyong Hatta dari Jakarta itu amat besar perannya. Hingga pada Desember 1935, pemerintah memutuskan memindahkan Hatta ke Banda Neira, Kepulauan Maluku. Lagi-lagi orang Kaya-Kaya diperbantukan untuk menggotong buku-buku Hatta. Namun kali ini, mereka meminta bayaran sebesar 10 sen untuk tiap peti. Di Banda Neira, Hatta juga tidak lepas mengisi waktu dengan buku-bukunya. Belajar dan mengajar tetap menjadi rutinitas. Sekali waktu, buku-buku Hatta kena tumpahan air dari vas bunga oleh anak-anak angkat Sutan Sjahrir dari keluarga Baadilah yang bermain-main. Sjahrir memarahi anak-anak angkatnya itu dan Hatta pun turut meluapkan kegusarannya. Hatta menghardik mereka bahwa buku-buku itu alat pengetahuan yang harus dijaga betul. Rupanya Sjarir jadi merasa ikut bersalah. Pada akhir bulan sesudah kejadian itu, Sjahrir minta diri untuk pindah rumah. Sjahrir ingin menjaga ketenangan Hatta dari gangguan anak-anak angkatnya beserta saudara-saudara mereka yang nakal-nakal. “Ia kuatir nanti banyak buku-bukuku tersiram air, mungkin robek. Semacam itu jangan sampai terjadi,” demikian menurut Hatta. Masa pengasingan di Banda Neira berakhir pada 1 Februari 1942. Dengan kapal terbang laut Catalina, Hatta, Sutan Sjahrir dan tiga orang anak angkatnya diangkut ke Jawa. Tidak banyak yang bisa dibawa karena kapasitas muatan dalam pesawat terbatas. Hatta pun harus rela berpisah dari buku-buku yang sudah seperti anak-anaknya sendiri. “Yang kusayangkan ialah bahwa buku-bukuku tidak dapat dibawa serta dan ditinggalkan di Neira. Hanya satu Atlas Bos yang dapat kupindahkan ke dalam kopor pakaianku yang terbuat dari kulit,” kenang Hatta. Perpisahan Hatta dengan buku-bukunya rupanya hanya untuk sementara. Hatta barangkali ditakdirkan untuk selalu hidup bersama dengan buku-bukunya. Semua buku-buku yang tertinggal di Banda Neira akhirnya kembali ke sisi Hatta setelah dia menjadi wakil presiden Republik Indonesia. Buku-buku itu, kini masih tersimpan rapi di rumah peninggalan Bung Hatta di Jalan Diponegoro 57, Jakarta Pusat.*
- Buto Menari di Banyuwangi
SEORANG lelaki datang diiringi empat rekannya yang masing-masing membawa kuda dari kulit kerbau, cemeti, dan kepala buto. Tak lama setelahnya ia terduduk di tengah lapangan, berdoa, sembari menyanding kemenyan yang terbakar. Sejurus kemudian ia menari dengan cemeti yang ia lecutkan sekali dua. Lelaki yang membawa kuda dari kulit kerbau maju, mengasapi kudanya dengan kemenyan, lantas menemani si lelaki cemeti menari. Lelaki yang membawa kepala buto menyusul kemudian. Begitu ritual pembuka selesai dilakukan, sebanyak 234 buto masuk ke lapangan Krandenan, Purwoharjo. Gelombang pertama yang masuk ialah buto prajurit, diikuti patih, dan terakhir raja. Dengan wajah merah bertaring, rambut gimbal, dan mengapit replika kuda mereka menari ramai-ramai ( flashmob ) dalam Festival Jaranan Buto Millenial , yang masuk agenda Banyuwangi Festival, pada 8 Maret 2020. Para penari buto yang pentas malam itu merupakan murid SD-SMA di Banyuwangi. Suara gamelan, seperti bonang, gong, kempul, seruling, kecer, dan kendang mengiringi tarian perang mereka. Dua kubu saling hadap, berbalas tarian dan lecutan cemeti. Baca juga: Kuda Lumping Gaya Banyuwangi Ada tiga karakter dalam tarian Jaranan Buto, yakni raja, patih, dan prajurit. “Iya butonya juga memiliki nama, rajanya bernama Dosomuko, patihnya bernama Kumbokarno, dan prajuritnya bernama Patih Sekipu,” kata Setro Asnawi, pencipta tari Jaranan Buto Banyuwangi. Setro jadi salah satu seniman tari Jaranan Buto yang mendapat apresiasi dari Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Dikabarkan Banyuwangi.go.id dalam kesempatan tersebut Abdullah menyampaikan terima kasihnya kepada Setro, Kayid, dan Jumar yang terus melestarikan Jaranan Buto sebagai kesenian khas Banyuwangi. Penciptaan Setro Asnawi pindah dari Trenggalek ke Banyuwangi pada 1963. Kala itu usianya 23 tahun. Tahun pertama di Banyuwangi ia habiskan untuk bergaul dengan para seniman tari tradisional di Desa Cluring. “Saya mengamati daerah Banyuwangi tentang keseniannya. Di situ saya mempunyai ide ingin menambah kesenian di Banyuwangi,” kata Setro kepada Annisa’ul Fitriyah yang mewawancarainya untuk skripsi “Mitos Dalam Kesenian Tarian Jaranan Buto ‘Sekar Dhiyu’ Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi”. Baca juga: Masjid di Jantung Banyuwangi Menurut Setro, jaran kepang di berbagai wilayah relatif sama. Maka ia punya ide untuk menjadikan tokoh Minak Jingga yang punya akar kuat dalam sejarah Banyuwangi sebagai lakon dalam tari jaranan ciptaannya. “Minak Jinggo, yang dulunya ganteng dan bagus setelah bertempur dengan Kebomarcuet jadinya menjadi seperti buto. Jadi menurut saya jika saya menciptakan suatu kesenian jaranan bergambar buto sangat cocok berkembang di daerah Banyuwangi,” kata Setro. Kesenian Jaranan Buto ia ciptakan dari hasil perpaduan kesenian Trenggalek dan Banyuwangi. Banyak orang Osing, suku asli Banyuwangi, tinggal di Kecamatan Cluring. Sementara kecamatan Gambiran yang berbatasan dengan Cluring mayoritas penduduknya keturunan Mataram. Masyarakat Osing mengenal Minak Jingga sebagai pahlawan dari Kerajaan Blambangan, bahkan ada upaya penggambaran ulang sosok Minak Jingga sebagai ksatria tampan dan gagah. Namun dalam kisah Damarwulan, Minak Jingga digambarkan jahat dan berwujud buto. Kisah inilah yang lebih dominan hidup di masyarakat Jawa. Dari kedua cerita rakyat tersebut, Setro menciptakan tarian Jaranan Buto yang menggambarkan pertarungan dan perwujudan Minak Jingga sebagai buto. Baca juga: Ketika Orang Mandar Berlabuh di Banyuwangi “Jaranan Buto itu banyak berkembang di daerah Banyuwangi Selatan yang basisnya memang masyarakat Mataraman. Jadi Jaranan Buto itu akulturasi antara budaya masyarakat Mataraman dan idiom masyarakat Osing,” kata Hasan Basri, budayawan Banyuwangi kepada Annisa. Setro menyebut gerakan dalam Jaranan Buto sebagai lincak gagak, lantaran mirip burung gagak yang melompat-lompat. Gerakan tarinya lebih fokus pada kaki dan para pemain saling berhadapan, seolah siap baku hantam. Setro juga memberi sentuhan pada jaranan yang digunakan. Ia membuatnya dari kulit lembu (bukan anyaman bambu) dan berwujud kuda buto. Wujud itu ia ambil dari wayang buto. Pada awal penciptaannya, orang yang menaiki jaranan merupakan ksatria, sehingga tak boleh berhias seperti buto. Namun pada perkembangan selanjutnya, para penari berhias seperti buto untuk alasan seni. “Buto ini kebanyakan jahat, namun ada juga buto yang memiliki kemanusiaan, dan sebenarnya dulu itu yang menaiki adalah ksatria, bukan buto,” kata Setro. Baca juga: Perlawanan Jagapati sebagai Hari Jadi Banyuwangi Setelah berhasil menciptakan Jaranan Buto, Setro bergabung bersama Darni Wiyono dan beberapa seniman lain untuk mendirikan organisasi Jaranan Buto Sekar Dhiyu pada akhir 1963. “Tahun 1967 Jaranan Buto dirintis kembali dengan nama Sekar Dhiyu Baru Muncul. Raja Blambangan Minak Jinggo memang wujudnya seperti raksasa namun jiwanya seperti ksatria,” kata Darni. Makna Lain Buto Minak Jingga dalam tarian Jaranan Buto digambarkan sebagai seorang raksasa yang melawan Kebomarcuet. Karena itulah, gerakan tari didominasi adegan pertarungan antara dua raja dan pasukannya. Dalam kisah, Raja Majapahit membuka sayembara untuk memburu Kebomarcuet. Pemenang sayembara akan mendapat imbalan, diangkat anak bila perempuan dan menjadi mantu bila lelaki. Minak Jingga, atau sebelumnya dijuluki Joko Umbaran, mengikuti sayembara itu. Ia tidak digambarkan sebagai buto yang ganas, melainkan pemuda tampan, gagah, dan sakti, patih terbaik di Majapahit. Berkeliling Jawa, ia berkelana mencari Kebomarcuet, siluman berbadan manusia dan berkepala kerbau yang dianggap berbahaya bagi Kerajaan Majapahit. Baca juga: Menak Jingga yang Ganteng Pertempuran dengan Kebomarcuet amat sengit. Joko Umbaran berhasil mengalahkan musuh dan mengambil tanduknya. Tanduk ini kemudian diubah menjadi gada ( godho ). Dipercaya, kekuatan Kebomarcuet tersimpan di tanduknya sehingga siapa pun yang memiliki tanduk tersebut akan mendapat kedigdayaan. Meski berhasil mengalahkan siluman kerbau itu, Joko Umbaran mendapatkan luka di sekujur tubuhnya lantaran diseruduk Kebomarcuet. Kemenangannya harus dibayar dengan rusaknya wajah. Joko Umbaran kehilangan ketampanannya. Akibatnya, ia kehilangan kesempatan mempersunting anak Raja Majapahit. Sang putri menolak diperistri karena ngeri melihat wajah pemenang sayembara. Joko Umbaran sakit hati. Namun Sang Raja berusaha menenangkan dengan mengganti imbalan sayembara. Baca juga: Dwarapala Berwajah Ramah Joko Umbaran diberi kuasa untuk memerintah di Jawa bagian timur. Wilayah ini kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Blambangan, yang kini meliputi Karesidenan Besuki, termasuk Banyuwangi. Sejak itu ia disebut sebagai Prabu Minak Jingga yang berwajah seperti buto. Meski Prabu Minak Jingga mempunyai wujud seperti raksasa, jiwa ksatrianya tak hilang. Bagi rakyat Banyuwangi, ia dikenal sebagai sosok raja bijaksana dan sakti mandraguna. “Buto juga tidak selalu identik dengan orang yang menyeramkan. Buto juga memiliki arti lain, yaitu nyebuto . Nyebuto berarti kembali kepada tuhan, bahwa semua yang ada di bumi ini adalah ciptaan,” kata Setro.
- Malam Jahanam di Benteng Bonjol
Akhir November 1836. Benteng Bonjol dikepung ketat oleh ratusan tentara Belanda. Mereka sekali-kali membombardir pertahanan kaum Padri itu dengan tembakan-tembakan meriam besar. Akibatnya beberapa rumah dan masjid di dalam benteng terbakar. Beberapa bagian dinding benteng yang terbuat dari tanah pun jebol. “Dengan terbakarnya masjid di luar kampung, tampaklah oleh Belanda satu perohong (lubang menganga) akibat tembakan meriam mereka,” ungkap Muhammad Radjab dalam Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Adanya perohong itu sejatinya berbahaya bagi kaum Padri. Tentara Belanda sewaktu-waktu bisa menggunakannya untuk menerobos pertahanan mereka. Namun apa mau dikata, kaum Padri tidak pernah sempat memperbaikinya karena masih sibuk dengan kerusakan lebih parah di bagian benteng yang lain. * Sabtu malam, 2 Desember 1836. Benteng Bonjol dibekap gelap. Suara binatang malam yang biasanya nyaring bernyanyi tak terdengar sama sekali. Di tengah kesunyian itu, belasan bayangan memasuki perohong satu persatu. Langkah mereka seolah gerakan hantu: tak terdengar gemersiknya. Menurut Muhammad Radjab, belasan bayangan itu tak lain adalah tentara Belanda yang menyelinap. Mereka terdiri dari prajurit-prajurit dari unit Neger (Afrika) dan unit Bugis. Dikisahkan setiba di dalam area benteng, para prajurit itu langsung mengendap-endap di dekat rumah yang didiami oleh para istri dan anak-anak dari pemimpin kaum Padri, Tuanku Imam Bonjol. “Mendengar suara perempuan di dalam, serdadu-serdadu Neger cepat mengupak pintu rumah tersebut dan menyeret para perempuan itu keluar,” ungkap Radjab mengutip Naskah Tuanku Imam Bonjol . Versi yang lebih brutal mengenai kejadian itu termaktub dalam buku Serdadu Afrika di Hindia Belanda 1831—1945 karya Ineke van Kessel. Dituturkan oleh van Kessel bagaimana setelah unit gabungan Neger-Bugis itu merangsek benteng Bonjol terjadi kepanikan luar biasa di kalangan kaum Padri. Terlebih setelah diketahui para serdadu itu berusaha menculik para istri Tuanku Imam Bonjol. “Terjadi perkelahian yang berakibat seorang perempuan meninggal karena “pantatnya dibelah”, sementara pantat perempuan lainnya ditikam,” ungkap van Kessel. Tuanku Imam Bonjol sendiri begitu mendengar jeritan para perempuan dan anak-anak, langsung mengambil pedangnya. Dengan ditemani oleh Umar Ali (salah seorang anaknya), Tuanku Imam Bonjol berlari ke arah gubuk-gubuk yang ditempati oleh para istri dan anak-anaknya yang masih kecil. * Begitu melihat Tuanku Imam Bonjol dan Umar Ali, beberapa prajurit Neger secara spontan menembaki mereka. Akibatnya Tuanku Imam terkena di bagian lengannya sedangkan peluru yang lain menembus daging paha Umar Ali. Karena tak kuat menahan sakit, sambil terpincang-pincang Umar balik berlari ke arah masjid. Otomatis Tuanku Imam Bonjol tinggal sendirian. Kendati lengannya sudah terkena peluru, namun dia tetap menetakkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Bak banteng ketaton, Tuanku Imam Bonjol mengamuk hingga membuat para prajurit Belanda itu lari lintang pukang kembali ke arah perohong. “Tuanku Imam Bonjol terus mengejar mereka…”ungkap Radjab. Serdadu-serdadu asal benua hitam itu akhirnya mengeroyok Tuanku Imam Bonjol. Dalam suatu kesempatan, salah seorang dari mereka berhasil menghunjamkan bayonetnya ke tubuh Tuanku Imam Bonjol sampai pimpinan kaum Padri itu terguling-guling. Ketika sang musuh akan menghantamnya lagi dengan satu tusukan bayonet, Tuanku Imam Bonjol cepat berdiri dan mengibaskan pedangnya ke segala arah. Dalam kondisi kritis itulah, pasukan bantuan dari kaum Padri datang. Mereka langsung menerjang para serdadu Belanda tersebut hingga mundur dan keluar dari wilayah perbentengan. Tuanku Imam Bonjol sendiri yang sudah payah dan mendapatkan tigabelas lubang akibat tusukan dan tembakan langsung terjerembab pingsan. Para pengikutnya lantas memapah Tuanku Imam Bonjol dan membawa ke markas utama untuk segera diobati. * Apa yang menyebabkan Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin utama kaum Padri seolah dibiarkan sendiri menghadapi upaya penyelusupan serdadu-serdadu Belanda pada malam jahanam itu? Rupanya itu terkait dengan taktik gerilyawan Padri yang bila malam tiba mereka pergi ke arah hutan di wilayah Pancuran (kampung dekat Benteng Bonjol). Sesuai kesepakatan musyawarah para panglima Padri, guna menghindari peluru-peluru meriam Belanda yang kerap ditembakan sepanjang malam hari, maka begitu gelap datang mereka harus menghindar dari wilayah benteng. “Itulah sebabnya ketika terjadi perkelahian yang melibatkan Tuanku Imam, para pengikutnya tidak segera datang membantu,” tulis Radjab. Namun setelah terjadi upaya penculikan para istri Tuanku Imam Bonjol dan pengeroyokan terhadap pimpinan mereka, para prajurit Padri menjaga Benteng Bonjol secara ketat siang dan malam.
- Ketika Orang Mandar Berlabuh di Banyuwangi
ORANG Mandar, seperti para tetangganya, Bugis, Makassar, dan Bajau, memiliki tradisi sebagai orang laut yang hebat. Mereka lihai sebagai nelayan dan penjelajah laut yang berlabuh di berbagai pesisir Nusantara. Kampung-kampung orang Mandar kemudian muncul di luar Sulawesi. Salah satunya di Banyuwangi. Pada masa kolonial, Banyuwangi memiliki jalan bernama Boomstraat. Jalan sepanjang satu kilometer itu menghubungkan alun-alun di pusat kota di ujung barat dengan pelabuhan di ujung timur. Jalan ini menjadi salah satu ciri kota pelabuhan di Pulau Jawa seperti Banyuwangi. Menurut Olivier Johannes Raap dalam Kota di Djawa Tempo Doeloe , rumah-rumah Eropa dibangun di sepanjang Boomstraat . Toko serba ada yang menjual kartu pos bergambar Banyuwangi juga didirikan di jalan ini. Terdapat pula kampung-kampung nelayan seperti Kampung Melayu dan Kampung Mandar. “Dahulu, di sepanjang Boomstraat ini banyak terdapat permukiman nelayan dari luar, misalnya Kampung Melayu tersebut dan Kampung Mandar (orang Sulawesi) yang terletak sekitar 500 meter ke arah lurus sebelah kiri jalan,” tulis Johannes Raap. Kampung Mandar, seperti namanya, merupakan permukiman orang-orang Mandar yang datang dari Sulawesi bagian barat. Mereka mulai berdatangan ke Banyuwangi, yang dulu disebut Blambangan, sejak abad ke-18 dan terus berlangsung hingga abad ke-19. Tujuan utamanya untuk berdagang. Selain berasal dari kampung halaman mereka, orang-orang Mandar di Banyuwangi berasal dari orang Mandar yang telah bermigrasi ke berbagai daerah. Beberapa di antaranya adalah mereka yang sebelumnya pindah ke pulau-pulau di Sulawesi bagian selatan seperti Pulau Baranglompo. “Dari Pulau Baranglompo ini, selanjutnya banyak orang Mandar yang pindah ke Pasuruan, Panarukan, Banyuwangi,” tulis Mukhlis dkk dalam Persepsi Sejarah Kawasan Pantai . Kawasan Penting Orang Mandar awalnya mendiami pesisir Ulupampang, yang sekarang bernama Muncar, bersama berbagai komunitas pendatang lainnya seperti Bugis, Melayu, Tionghoa, dan Arab. Mereka memainkan peranan penting dalam aktivitas ekonomi dan perdagangan. Bahkan terlibat dalam perlawanan Blambangan melawan Belanda. Wijkenstelsel, kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mengharuskan permukiman dipisah berdasarkan etnis, membuat mereka harus pindah. Menurut Lisa Dwi Wulandari dan Chairul Maulidi dalam Topologi Lanskap Pesisir Nusantara: Pesisir Jawa ,karena bermata pencaharian sebagai nelayan, orang-orang Mandar pindah ke pesisir Boom dan membentuk Kampung Mandar yang sekarang. Di Kampung Mandar, mereka membangun rumah panggung sebagaimana rumah orang Mandar di kampung halaman mereka di Sulawesi. Tiang-tiang yang menyangga rumah panggung berfungsi untuk menghindari banjir ketika air laut sedang pasang. Dalam perkembangannya, ketika tanggul-tanggul penahan air laut dibangun, kolong-kolong rumah panggung ditutup. Dinding bata dibangun di bagian bawah dan menyatu dengan bangunan kayu di atasnya. Wilayah Kampung Mandar di Banyuwangi meliputi pesisir yang mengelilingi Teluk Boom. Di tengahnya terdapat sebuah pulau kecil. Wilayah ini secara administratif merupakan satu kelurahan sendiri yakni Kelurahan Kampung Mandar. “Teluk Boom yang ada di timur kota Banyuwangi merupakan kawasan teritorial penting, sebagai salah satu simpul pelayaran yang terhubung ke Sulawesi dan Bali,” sebut Wulandari dan Maulidi. Sebelum pelabuhan Ketapang dibangun, dermaga Teluk Boom terkenal sebagai penghubung Jawa dan Bali. Pada masa kolonial, pengaturan dan pengelolaan Teluk Boom dipercayakan kepada seorang tokoh lokal dari suku Mandar yang bergelar Datuk Kapiten. Tradisi Khas Kampung Mandar hari ini tidak hanya didiami orang-orang Mandar melainkan juga Jawa, Madura, Osing, sedikit keturunan Tionghoa dan Arab. Sebagian besar bekerja sebagai pengusaha skala kecil, nelayan, dan buruh. Namun tradisi dan kebudayaan khas Mandar yang diwariskan nenek moyang mereka masih dijalankan, seperti tradisi saulak , manten kurung , dan hadrah angguk . “Tradisi saulak adalah upacara pra-nikah, sebagai bentuk penghormatan kepada arwah nenek moyang, berkumpul bersama keluarga besar, dan memohon keselamatan. Kembang telon selalu ada di setiap upacara tradisi Mandar, yang di akhir acara kembang dilarung ke laut,” tulis Wulandari dan Maulidi. Di Kampung Mandar, kita akan menjumpai orang-orang berjualan garek atau cacing tambang sebagai umpan memancing. Pantai Boom yang kini tengah dikembangkan pemerintah turut membangun kembali masyarakat Kampung Mandar. Mereka mendirikan warung-warung yang menjual ikan bakar dan menyewakan kuda tunggangan untuk menyusuri pantai. Lanskap Gunung Agung Bali menjadi latar utama pemandangan Pantai Boom yang menawan. Berbagai festival digelar di pantai berpasir hitam ini seperti Beach Jazz Festival, Gandrung Sewu, dan Fish Market Festival. Mandar Fish Market Festival digelar untuk mempromosikan potensi perikanan ekaligus mengangkat kawasan nelayan Kampung Mandar sebagai salah satu ekowisata bahari. Mandar Fish Market Festival ini masuk dalam agenda tahunan Banyuwangi Festival.*
- Blambangan dan Kuasa di Ujung Timur Jawa
Raja Blambangan, Menak Jingga, menolak mengakui kedaulatan Majapahit. Namun, ia ingin menikahi Ratu Majapahit, Kencanawungu. Sang ratu menolak dan mengirim Damarwulan untuk membunuhnya. Damarwulan berhasil membunuh Menak Jingga. Kepalanya dipersembahkan kepada ratu. Setelah mereka menikah, sang ratu mengangkat Damarwulan ke singgasana. Perang antara Menak Jingga dan Damarwulan dalam kisah Damarwulan itu mirip dengan salah satu episode kekacauan dalam sejarah Majapahit. Dalam Serat Pararaton , episode ini dicatat sebagai peristiwa paregreg. J.L.A. Brandes, filolog berkebangsaan Belanda, dalam Verslag over een Babad Balambwangan, mengasosiasikan Menak Jingga dengan Bhre Wirabhumi. Anak selir ( rabihaji) Hayam Wuruk ini tak berhak menggantikan ayahnya. Maka, ditunjuklah Kusumawarddhani dan suaminya, Wikramawarddhana, untuk naik ke singgasana. Wirabhumi diberi kekuasaan memerintah di wilayah timur kerajaan. Sementara Kusumawardhani mendapat bagian barat dan berkedudukan di pusat Majapahit. Wirabhumi tidak menerima keputusan itu. Ia menentang pemerintahan saudari tirinya dan Wikramawardhana. Serat Pararaton mengisahkan Wikramawardhana atau Bhra Hyang Wisesa dari Kadaton Kulon , akhirnya mengalahkan Kadaton Wetan. Wirabhumi melarikan diri tapi tertangkap dan kepalanya dipenggal. Meski baru dikenal pada abad ke-16 atau awal abad ke-17, yang kemudian menyebar dalam berbagai versi, riwayat Damarwulan dapat memantik pencarian awal mula keberadaan Kerajaan Blambangan di ujung timur Jawa. Kendatiinformasi tentang kerajaan ini lebih banyak tercampur dengan mitos dan legenda. Cikal Bakal Sejarawan Sri Margana dalam disertasinya, "Java’s Last Frontier: The Struggle for Hegemony of Blambangan, c. 1763-1813",menyebut banyak sejarawan yang yakin tak lama setelah kejatuhan Tumapel (Singhasari) dan berdirinya Majapahit pada akhir abad ke-13 (1293), kerajaan baru didirikan di sebelah timur Jawa. Kerajaan ini memakai nama Blambangan. "Pendiri kerajaan ini dan lokasi ibu kotanya yang tepat sangat sulit ditentukan," tulis Margana . Meskipun demikian, pada awal Majapahit berdiri, wilayah ujung timur Jawa punya posisi yang spesial. Ini dimulai dari janji Kertarajasa Jayawardhana kepada Bupati Sumenep, Arya Wiraraja, untuk membagi dua kekuasaannya sebagaimana dikisahkan dalam Kidung Harsawijaya dan Serat Pararaton. P endiri Majapahit yang populer dengan nama Raden Wijaya itu membalas jasa kepada Wiraraja yang membantunya membangun Majapahit dan menumpas Jayakatwang dari Glang Glang. Janji itu baru lunas setelah pecah pertempuran dengan Rangga l awe pada 1295. Menurut Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit , Wiraraja mendapat bagian kerajaan di sebelah timur, terus ke selatan sampai pantai yang memuat TigangJuru . Sejak itu, ia berdiri sendiri sebagai raja di Lamajang dan tak lagi menghadap raja. "Wiraraja kembali ke Lamajang Tigang Juru, karena janji Raden Wijaya akan membagi dua Pulau Jawa, mendapat anugerah daerah Lamajang Utara, selatan, dan Tigang Juru ," catat Pararaton. Berdasarkan perjanjian Wiraraja dan Wijaya, maka Lamajang dan TigangJuru berada di bawah pemerintahan Wiraraja. Belakangan Lamajang menjadi basis perlawanan Nambi, yang menurut Pararaton dan Kidung Harsawijaya , adalah putra Wiraraja. Nambi mengangkat senjata terhadap pemerintahan Jayanegara, pengganti Wijaya. Nambi dan pendukungnya ditumpas pada 1316. Setelah peristiwa Nambi, wilayah timur kerajaan kembali di bawah kendali Majapahit. Pada masa inilah diduga nama Blambangan mulai dikenal. Muncul sebuah prasasti yang diduga menyebut nama lama Blambangan. "Menyapu bersih pemberontakan di Marlambangan ," catat prasasti itu berdasarkan terjemahan Mohammad Yamin dalam Tatanegara Madjapahit Parwa II. Dalam prasasti yang diperkirakan ditulis pada masa Jayanegara itu disebutkan Marlambangan , yang diterjemahkan menjadi Blambangan, dianugerahi status sima. Alasannya karena berbakti membantu tegaknya kedudukan raja di singgasana. Sementara itu, menurut sejarawan Jember, Zainollah Ahmad dalam Tahta di Timur Jawa: Catatan Konflik dan Pergolakan pada Abad ke-13 sampai ke-16, prasasti ini dikeluarkan sehubungan dengan selesainya penumpasan pemberontakan Nambi. Hal itu juga diisyaratkan dalam Nagarakrtagama . Dalam perjalanan kenegaraannya pada 1359, Hayam Wuruk mengunjungi Lamajang dan beberapa daerah di timur Jawa.Selain para pejabat Patukangan(Panarukan), tiga pejabat dari Bali, Balumbun, dan Madura, juga menghadap Hayam Wuruk. Zainollah mengaitkan Balumbun sebagai Blambangan. Menurut Zainollah, wilayah Lamajang dan TigangJuru tidak berkaitan secara historis dengan berdirinya Kedaton Wetan yang cikal bakalnya pada masa Hayam Wuruk. Meskipun memang ada kesamaan wilayah kekuasaan. "Adalah penyesatan sejarah untuk mengidentikan Lamajang dan TigangJuru yang didirikan Wiraraja dengan Kedaton Wetan di bawah Bhre Wirabhumi," kata Zainollah. Wilayah TigangJuru dimaknai berbeda-beda oleh para sejarawan. Zainollah menjelaskan wilayah Lamajang adalah batas barat. Sedangkan wilayah TigangJuru adalah wilayah utara, timur, dan selatan yang berbatasan dengan Lamajang. "Jadi wilayah TigangJuru adalah wilayah yang sekarang meliputi wilayah Kabupaten Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Banyuwangi," jelas Zainollah. "Ini adalah wilayah yang akhirnya juga diklaim sebagai wilayah Kerajaan Blambangan." Sementara itu, Hasan Djafar memperkirakan wilayah Wirabhumi terletak di ujung timur Majapahit, mencakup wilayah Lamajang dan Blambangan. Lebih jauh Zainollah menyebut kekuasaan Wirabhumi meliputi Banger di Probolinggo, Panarukan di Situbondo, hingga jazirah Blambangan. Pusatnya di Lamajang. "Wilayah Wirabhumi meliputi kawasan Lamajang dan TigangJuru yang pernah ada di masa Arya Wiraraja," lanjutnya. Kerajaan Blambangan yang muncul belakangan pada era Islam dan kolonial memiliki wilayah dari Lumajang (Gunung Bromo) sampai jazirah Blambangan sebagaimana diuraikan dalam Babad Blambangan. Status Politik Blambangan Jika wilayah kekuasaan Wirabhumi dianggap sebagai cikal bakal Kerajaan Blambangan, pada awalnya ia berstatus sebagai bawahan Majapahit. Walaupun agak ambigu jika menilik sumber Tiongkok. Berita dari masa Dinasti Ming (1368-1643) mencatat pada 1403 Kaisar Ch’eng-tsu mengirim utusan ke Jawa, yaitu ke raja "bagian barat", Tu-ma-pan, juga ke raja "bagian timur", yakni Put-ling-ta-hah atau p’i-ling-da-ha. Laksaman Cheng Ho kemudian memimpin armada ke Jawa. Setahun setelah tiba, ia menyaksikan dua raja Jawa saling berperang. Kerajaan di timur kalah dan dirusak. Waktu itu utusan Tiongkok berada di kerajaan bagian timur. Arkeolog Hasan Djafar dalam Masa Akhir Majapahit Girindrawarddhana dan Masalahnya menyebut wilayah Wirabhumi atau yang disebut Kedaton Wetan dalam Pararaton sebagai negara daerah. Epigraf Boechari pun melihat peperangan antara Kedaton Kulon dan Kedaton Wetan bukannya antara dua kerajaan yang berbeda. Dalam "A Preliminary Note on the Study of the Old-Javanese Civil Administration", termuat dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Boecharimengatakan bahwa wilayah kekuasaan Wirabhumi adalah salah satu daerah bagian Majapahit. Hal itu berdasarkan KakawinNagarakrtagama, Prasasti Waringin Pitu (1447), dan Prasasti Trowulan III (Pertengahan abad ke-15). Mereka yang memimpin dipanggil dengan gelar Bhra ( Bhre ) atau Bhatara. Bhre Wirabhumi salah satunya. Masing-masing kepala daerah memiliki hak otonomi. "Contohnya Bhre Wirabhumi yang mendapat wilayah di ujung timur Jawa, bisa mengirim utusannya sendiri ke Tiongkok. Karenanya, catatan Tiongkok pun mengira kalau ada dua kerajaan di Jawa Timur," kata Boechari. Namun, seperti kata Zainollah, lahirnya Kedaton Wetan mengakibatkan Kerajaan Majapahit terbelah menjadi dua faksi politik. "Keluarga yang tidak puas, jelas mengambil kesempatan untuk melepaskan diri dengan mendukung Kedaton Wetan," jelasnya. Selepas Wirabhumi Wirabhumi dari Kedaton Timur yang menentang Majapahit akhirnya tewas. Namun, kata Hasan Djafar, konflik keluarga itu bukannya reda. Sayangnya, bahkan Serat Pararaton tak memberi banyak petunjuk mengenai nasib Blambangan setelah kematian Bhre Wirabumi pada 1406. Sementara itu, Babad Blambangan menyebut setelah kematian Menak Jingga, Raja Brawijaya di Majapahit, menunjuk Menak Dadaliputih, anak Menak Jingga, sebagai penguasa baru Blambangan. Menurut Zainollah, ada yang menafsirkan Menak Dadaliputih adalah Bhre Pakembangan,salah satu anak Wirabhumi. Namun, Menak Dadaliputih juga dibunuh raja. Sang raja mengetahui penguasa baru Blambangan itu telah mencuri pusaka Majapahit yang terkenal, keris Kyai Semelagandring. "Menak Dadaliputih ini adalah putra Bhre Wirabhumi yang oleh raja Majapahit diberi haknya kembali, tapi kemudian tewas dalam peperangan melawan Majapahit," kata Zainollah. Kalaupun ini menjadi petunjuk, susah pula dipahami. Sang penulis babad tiba-tiba melompat menuju peristiwa yang terjadi satu setengah abad berikutnya di Blambangan. Ditambah lagi dalam salah satu bagian Babad Blambangan, yakni Babad Sembar dikisahkan versi yang sangat berbeda mengenai dinasti penguasa Blambangan. Menurut babad ini,Lembu Miruda, anak Brawijaya,adalah raja pertama Blambangan. Menurut Margana dalam disertasinya, penulis babad seolah menyatakan, setelah pembunuhan Menak Dadaliputih, penguasa Majapahit memilih untuk tidak mengangkat seorang penguasa baru di Blambangan dari dinasti Bhre Wirabumi yang pemberontak. Namun anaknya, Lembu Miruda yang ditunjuk menempati jabatan itu. "Dengan kata lain, penulis Babad Sembar melacak dinasti penguasa Blambangan hanya dari garis Raja Brawijaya yang secara genealogis bersambung dengan para penguasa Blambangan abad ke-18," tulis Margana. Dalam perkembangannya sejarah Blambangan tak pernah sepi dari konflik dan peperangan. Terutama pada abad ke-16, ketika wilayah itu berada di antara dua faksi politik yang berbeda antara Mataram Islam di barat dan Bali di timur. Di tambah lagi pada abad ke-17, kedatangan Belanda dan Inggris ikut mengadu kekuatan politik dan ekonomi di kawasan itu. Margana mengatakan Kerajaan Blambangan memiliki sejarah panjangnya sendiri. Ia telah berkembang bersamaan dengan kerajaan Hindu terbesar di Jawa, Majapahit. "Pada masa keruntuhan Majapahit abad ke-15, ia berdiri sebagai satu-satunya kerajaan Hindu di Jawa, mengontrol bagian terbesar wilayah ujung timur Jawa," tulis Margana.
- Jejak Sikh di Indonesia
SEJAK pertengahan abad ke-19, orang-orang Sikh mulai berdiaspora ke berbagai penjuru dunia. Dari Eropa, Asia Tenggara, Australia hingga Amerika Utara, komunitas-komunitas Sikh berkembang selama era kolonial. Orang Sikh bermigrasi sebagai buruh, pasukan keamanan, petani hingga pedagang. Di Asia Tenggara, Malaya menjadi pendaratan pertama orang-orang Sikh. Mereka dibawa oleh Inggris ke tanah Melayu itu pada 1873. Tujuan awalnya untuk memerangi pemberontak Tionghoa di pertambangan timah di Perak. Menurut Darshan Singht Tatla dalam The Sikh Diaspora, The Search for Statehood , mereka kemudian direkrut dalam dinas pemerintah dan membentuk pasukan keamanan dalam kendali Inggris. Pemerintah Inggris merekrut langsung orang-orang Sikh dari Punjab. Komunitas orang Sikh di Malaya kemudian berkembang ke berbagai tempat di sepanjang Semenanjung Malaya. Dari situ, mereka kemudian bermigrasi ke tempat-tempat di Asia Tenggara lainnya hingga ke Australia dan Selandia Baru. “Dari Malaya banyak orang Sikh pindah ke wilayah tetangga, Thailand atau Sumatra, sementara orang-orang yang lebih ambisius berangkat ke Australia dan Selandia Baru,” sebut Darshan. Sementara itu, orang-orang India juga dibawa oleh Belanda sebagai buruh kontrak di perkebunan yang berlokasi di sekitar Medan, Sumatra Utara pada abad ke 19. Mereka berasal dari India selatan maupun utara dengan latar belakang agama Hindu, muslim, dan Sikh. Senada dengan Darshan, Swarn Singh Kahlon dalam Sikhs in Asia Pasific, Travel among the Sikh Diaspora from Yangon to Kobe menyebut permukiman Sikh telah ada di Sumatra dari sekitar tahun 1898 setelah orang-orang Sikh direkrut sebagai pasukan keamanan wilayah Malaya. “Asal usul Sikh Sumatra bukan sebagai orang yang direkrut di kepolisian seperti halnya di negara-negara tetangga, tetapi lebih sebagai kawanan petani dan pengusaha kecil,” tulis Swarn. Pada akhir abad ke-19 cabang De Javasche Bank dibuka di Medan dan mata uang Belanda mulai diperkenalkan. Orang-orang Sikh dipekerjakan sebagai penjaga keamanan pada bank tersebut. Populasi Sikh di Medan kemudian meningkat pada awal abad ke-20 dan mereka mendirikan kuil Sikh atau Gurdwara pada 1911. Menurut Swarn, gelombang selanjutnya datang dengan jumlah yang signifikan pada 1920-an. Seperti sebelumnya, kebanyakan menetap di sekitar Medan. Sebagian besar bekerja sebagai petani atau memiliki usaha produk susu. Pada 1931, di dekat Gurdwara Medan didirikan Sekolah Bahasa Inggris Khalsa yang merupakan sekolah Bahasa Inggris pertama di Medan. Orang-orang Sikh dari Semenanjung Malaya pun mengirim anak-anak mereka ke sekolah tersebut karena memiliki fasilitas asrama. Dari Sumatra, permukiman orang Sikh kemudian muncul di Batavia. Komunitas mereka awalnya berkembang di daerah pelabuhan Tanjung Priok. Dua perusahaan Inggris, Ocean Liner dan General Motors juga membawa orang-orang Sikh sebagai penjaga. Terdapat pula orang Sikh yang bekerja sebagai penjaga toko milik sesama orang India. “Berbeda dengan orang-orang Sikh di Sumatra, yang sebagian besar datang langsung dari India, orang-orang Sikh di Batavia (Jakarta) kebanyakan berasal dari negara-negara Melayu,” tulis Swarn. Jumlah orang Sikh kemudian meningkat pada 1925. Dan pada tahun yang sama, Gurdwara Tanjung Priok didirikan. Sebelum periode Perang Dunia II, terdapat 100 orang Punjabi dari 25 keluarga di Jakarta. “Sebagian besar dari mereka adalah penjaga di malam hari dan rentenir di siang hari. Mereka juga menyimpan kereta kuda, yang mereka sewa ke orang Indonesia setempat untuk digunakan sebagai taksi setiap hari,” tulis Swarn. Di bawah pendudukan Jepang, orang India di Indonesia terbilang makmur. Namun, pasca Perang Dunia II, banyak orang Sikh dan komunitas India lainnya yang pergi ke India dan Malaya. Keamanan jadi alasannya. “Periode revolusioner pasca perang di Jakarta menyebabkan kesalahpahaman tentang peran yang dimainkan oleh orang India dan terjadi kerusuhan. Di Jakarta Barat, dua puluh lima orang India, mayoritas dari mereka Sikh, dibakar,” tulis Swarn. Pada November 1945, sebagian besar orang India pindah ke Pasar Baru untuk mencari perlindungan. Di Pasar Baru mereka mempertahan komunitas dan kemudian mendirikan Yayasan Sikh Gurdwara Mission pada 1955 yang masih aktif hingga kini. Menurut data Swarn, per 2017, ada sekitar 7.000 orang Sikh di Indonesia yang tersebar di berbagai daerah dari Sumatra Utara, Sumatra Barat, Surabaya, Bandung, Jakarta, Semarang, Bengkulu, Pekanbaru, Yogyakarta, Samarinda, Balikpapan hingga Batam. Sebagian besar orang Sikh menetap di Sumatra Utara di mana mereka telah tinggal selama empat genesai. Ada sekitar 4.000 Sikh yang tersebar dari Medan, Binjai, Lubuk Pakam, Kaban Jahe, Kisaran, Siantar hingga Belawan. Salah satu tokoh Sikh Indonesia ialah Gurnam Singh, seorang atlet. Ia memenangkan tiga medali emas di Asian Games 1962 pada cabang atletik. Sementara itu, 16 Spetember 2019, Indonesia kehilangan Harbinderjit Singh Dillon atau H.S. Dillon, salah satu tokoh Sikh terkemuka. H.S. Dillon merupakan pegiat hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, sosial ekonomi hingga pertanian. Pada 2007, ia menerima penghargaan Bintang Jasa Pratama dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pada 2015 ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Joko Widodo. Ia menikah dengan Drupadi S. Harnopidjati, seorang muslim.*
- Badilah si Perintis Aisyiyah
SUATU siang di masa pendudukan Jepang. Badilah Zuber, Ketua Aisyiyah, sedang di sekolahnya ketika segerombolan Kempeitai mendatanginya. Sekonyong-konyong mereka mengajukan pertanyaan. “Apakah Nyonya menjadi ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah?” “Saya menjadi ketua karena saya yang paling tua di antara mereka,” jawab Badilah. “Hasil Nyonya menjadi guru itu cukup atau Nyonya mempunyai kekayaan?” “Kami orang dituntun untuk memohon kepada Tuhan agar diberi kecukupan hidup,” kata Badilah. Itu merupakan kali kedua Kempeitai mendatangi Badilah. Sebagai pemimpin organisasi perempuan Islam Aisyiyah, beberapakali ia dipanggil untuk diinterogasi. Jepang mengawasi gerakan perempuan dengan amat ketat. Semua naskah pidatonya diperiksa sebelum dibacakan kepada khalayak. Suatu kali, Badilah dilarang berpidato oleh tantara Jepang lantaran di naskahnya memuat perbandingan perang yang dilakukan Nabi Muhammad dan Napoleon Bonaparte. Bagi badan sensor Jepang, seperti ditulis Sri Sutjiatiningsih dkk. dalam Peranan Wanita Indonesia Dalam Masa Pengerakan Nasional , pidato Badilah dianggap mengejek pemerintah Jepang. Badilah Zuber. Badilah Zuber dikenal sebagai tokoh pendiri Aisyiyah. Ia lahir di Yogyakarta, 15 Mei 1903 dari keluarga Muslim taat. Dia tumbuh di Kauman, Yogyakarta. Dari lingkungan sekitarnya ia melihat bahwa kedudukan perempuan masih sangat rendah di masyarakat. “Bahkan beberapa ulama pun berpendirian demikian. Dengan alasan, agama mereka berpendirian bahwa kaum perempuan tidak diperkenankan belajar dan menulis,” kata Badilah dalam memoarnya di buku Sumbangsihku Bagi Pertiwi. Badilah, yang dididik ayah-ibunya untuk punya keberanian dalam bertindak, melihat pendirian para ulama tersebut sebagai hal yang ganjil. Padahal, menurut Badilah, surat pertama yang diturunkan pada Nabi Muhammad memiliki pesan pemberantasan buta huruf dan mencari ilmu pengetahuan. Ketika Kiai Achmad Dahlan mendirikan sekolah dasar untuk semua anak, lelaki maupun perempuan, orang tuanya amat senang dan memasukkan Badilah ke sekolah itu. Badilah bersama Siti Zaenab, Siti Aisyah, Siti Dauchah, Siti Dalalah, Siti Busyro, dan Siti Hayinah merupakan kader generasi kedua Nyai dan Kyai Ahmad Dahlan. Achmad Dahlan sendiri mengajar pelajaran agama di sekolah yang bentuknya amat sederhana. Murid-murid duduk di atas tikar. Sebagai pengganti meja, mereka menggunakan kotak minyak tanah bekas. Para pengusaha batik di Yogyakarta amat senang dengan pembukaan sekolah ini. Mereka tak segan membobol celengan untuk disumbangkan ke sekolah Achmad Dahlan. “Bukan main gembiranya orang-orang tua itu, termasuk ibu-bapakku, sesudah mereka dapat membaca dan menulis huruf Arab, Jawa, dan Latin. Namun menurut Badilah, ada kondisi yang masih menyudutkan perempuan, terutama dalam kedudukan-kedudukan dan hak sehari-harinya. Salah satu yang membuat Badilah geli ialah pemikiran bahwa perempuan tak lebih Swarga nunut neraka katut ( ke surga hanya membonceng, ke neraka pasti terbawa). Ia keheranan kenapa paham semacam ini diterima banyak orang. Selain menajdi murid Achmad Dahlan, Badilah juga bersekolah di Meisjes Niutrale School, setingkat HIS. Ia senang bisa belajar di sana, bergaul dengan teman yang berbeda latar belakang dan menemukan kontradiksi kehidupan dalam kegiatan sekolahnya. Misalnya, ketika ia terjebak dalam situasi harus menyanyikan “ Hier duldt de grond geen dwingelandij, waar vrijheid eeuwen stond.” Artinya kurang lebih, di sini tanahnya tidak mengizinkan paksaan, di tempat ini kemerdekaan sudah berabad-abad lamanya. Menyanyikannya saja sudah membuat Badilah merasa ngeri sebab faktanya, kondisi Indonesia kala itu berada di bawah penjajahan Belanda. Paksaan, pemerasan, dan penyiksaan pada kaum pribumi amat terang di depan mata. “Sungguh pertentangan batin yang amat sangat bagi diriku,” katanya. Ia amat bersyukur ayahnya memasukannya ke sekolah itu. Baginya, ilmu-ilmu Al-Quran yang sudah dia pelajari sebelumnya amat berhubungan dengan ilmu bumi, sejarah, dan biologi. Bagi Badilah, belajar sejarah membuatnya memahami kekejaman panjajah dan menumbuhkan keinginan agar bangsanya lekas merdeka. Setelah lulus, Badilah melanjutkan ke MULO pada 1918. Guru-gurunya semua orang Belanda. Mereka bersikap baik dana adil baik pada murih berkulit sawo matang atau kulit putih. Badilah pernah mengalami peristiwa yang amat berkesan, yakni ketika seorang teman sekelasnya yang pribumi kehabisan buku tulis namun takut meminta buku tulis baru yang memang disediakan sekolah. Guru yang mengetahui ini lantas berkata, “Makanya kalian kehilangan segala-galanya karena kalian tidak berani mempertahankan hak-hak kalian.” Dari guru itulah Badilah belajar bahwa setiap orang harus mempertahankan haknya. Badilah juga dikenal sebagai murid pemberani. Dia pernah menanyakan soal nilainya yang jelek, padahal dia merasa sudah belajar dengan amat tekun. Setelah ditelusuri, rupanya sang guru melakukan kesalahan dalam penulisan nilai raport. Badilah lalu bergabung dengan Jong Java, organisasi yang menumbuhkan semangat anti-penjajahan. Bertemu dengan banyak pemuda yang semangat menolak penjajahan, Badilah makin yakin melaksanakan tugas agama dengan sebaik-baiknya berarti menunjang kepentingan bersama dan bangsa. Membela kemerdekaan bangsa sejalan dengan perintah agama. Keaktifannya dalam forum yang didirikan Achmad Dahlan tak berkurang meski ia menempuh pendidikan Barat dan berkegiatan di Jong Java. Pada 1917, Badilah jadi salah satu perempuan yang memprakarsai pendirian Aisyiyah. Ia hadir sebagai penulis. Pendirian Aisyiyah sebenarnya tak lepas dari keinginan untuk menyebarkan ajaran Islam agar tak disalahpahami. Ide ini kemudian disampaikan pada Haji Mochtar, salah satu pendiri PB Muhammadiyah. “Kumpulkan teman-temanmu,” kata Mochtar menyetujui ide Badilah. Nama Badilah juga tercatat sebagai anggota redaksi pertama Majalah Soeara Aisjijah yang terbit perdana pada 1926. Baginya, ini merupakan kesempatan untuk melatih diri untuk menulis dalam bahasa Indonesia. Tulisannya sering dijadikan rujukan oleh pengurus-pengurus Aisyiyah di daerah. Namun rupanya pemerintah Belanda tak menyukai hal ini. Ia mendapat peringatan untuk berhati-hati dalam menulis. Badilah sering dikirim oleh Achmad Dahlan untuk mengisi pengajian di kalangan umum terpelajar, seperti ke Kweekschool di Yogyakarta maupun luar kota. Ia juga mengajar di sekolah Schackel Muhamamdiyah sembari terjun langsung dalam pemberantasan buta huruf bagi remaja putri dan ibu-ibu. Di kelasnya ia gemar menceritakan sejarah dari perspektif orang pribumi bahwa Diponegoro yang dibenci Belanda merupakan pemimpin yang bijaksana. Dan bagaimana Belanda sering menjebak para pemimin bangsa dengan janji berunding namun pada akhirnya ditangkap. Menurut Dyah Siti Nuraini dalam tesisnya “Corak Pemikiran Dan Gerakan Dakwah Aisyiyah Pada Periode Awal (1917-1945)”, Badilah terpilih sebagai pemimpin Aisyiyah pada 1938. Semasa kepemimpinannya yang singkat (hanya setahun), Badilah berupaya memperluas jaringan Aisyiyah dengan organisasi perempuan lain dengan bergabung ke Kongres Perempuan Indonesia II pada 1938. Berkat keaktifannya pula, cabang-cabang Aisyiyah dibuka di daerah-daerah dan luar Jawa. Badilah kembali terpilih sebagai ketua Aisyiyah pada kongres Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta tahun 1941. Jabatan ini bertahan hingga 1943. Pada kongres ke 31, Badilah kembali terpilih dan memimpin Aisyiyah pada 1951-1953.
- Sepakbola, Puasa, dan Corona
PUASA Ramadhan tahun ini sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Buat para penggila bola, puasa kali ini “kering” sajian sepakbola karena pandemi viruscorona masih berjangkit di mana-mana. Padahal sebelumnya, sepakbola acap jadi teman makan sahur. Tetapi, belum lama ini sejumlah liga top Eropa musim 2019/2020 dikabarkan bakal dilanjutkan. Sementara, Eredivisie (Liga Belanda) diakhiri tanpa juara dan Ligue 1 (Prancis) dihentikan total dengan “menghadiahi” Paris Saint-Germain (PSG) sebagai juaranya. Adapun Liga Champions belum dirilis keputusannya oleh UEFA. Kalaupun bakal dilanjutkan lagi, empat liga top Eropa bakal menerapkan prosedur kesehatan luar biasa ketat. Yang paling signifikan, laga-laga bakal dilakoni tanpa penonton. Lantas, bagaimana dengan Liga 1 Indonesia? “Kalau pertandingan tidak boleh ada penonton, seperti ada yang hilang dari sepakbola. Karena dalam sepakbola tidak hanya ada permainan dan taktik. Ada juga antusiasme suporter berupa nyanyian penambah motivasi, dan itu yang bikin sepakbola itu menarik,” ujar Yeyen Tumena, eks bek timnas Indonesia, dalam obrolan live “Bolatoria” bersama jurnalis olahraga Kukuh Wahyudi dan dipandu host Ari Putra Prima, Jumat (15/5/2020). Dalam live di Youtube dan Facebook yang dihelat Historia bersama Bolalob.com itu Yeyen menambahkan, “Kalau kompetisi di Indonesia, menurut saya, kita harus menghitung ulang plus-minusnya. Mungkin klub banyak berpikir, ya sudah stop untuk fokus kesehatan dll. Kalau memang belum ada izin keramaian, misalnya dari pemerintah karena PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) masih berjalan, sulit kita lanjutkan. Tapi harus ada solusi terhadap para pelaku sepakbola yang hidup dari sepakbolanya juga,” imbuh jebolan timnas Primavera I (1993) yang kini menjabat Ketua Asosiasi Pelatih Sepakbola Seluruh Indonesia (APSSI) itu. Dilema Ibadah Puasa Pesepakbola Muslim Terlepas dari perkara pandemi corona , masih ada dilema lain yang dihadapi para pemain mengingat saat ini bulan suci Ramadan. Bagi para pemain Muslim di liga-liga top Eropa, mereka dihadapkan pada persoalan apakah mengutamakan profesionalitas atau keimanannya sebagai umat Islam yang wajib berpuasa. “Iya mungkin di negara-negara mayoritas Islam kompetisinya bisa gampang dikompromikan. Semisal pertandingannya dimundurkan jamnya setelah berbuka puasa. Tapi enggak begitu di Eropa. Nah perkara dilema ini banyak dialami pemain-pemain bintang yang Muslim, antara merelakan diri untuk tidak puasa atas nama profesionalitas atau tetap teguh berpuasa,” timpal Kukuh. Persoalan itu tentu pernah dialami Zinedine Zidane, Nicolas Anelka, Thierry Henry, Frédéric Kanouté, Kolo Touré, Éric Abidal, Karim Benzema, Mesut Özil, Paul Pogba, Mohamed Salah, dan sederet pesepakbola Muslim lain. Penyelesaian dilema tersebut lazimnya bervariatif, bergantung pada pihak klub maupun pelatih, mau memaklumi atau tetap menuntut profesionalitas si pemain. Dengan kondisi tersebut, lanjut Kukuh, semua kembali bergantung pada pribadi si pemain, apakah tetap mau berpuasa di tengah padatnya jadwal latihan dan pertandingan atau memilih tak puasa dan membayar utang puasa ketika kompetisi tengah libur. “Ada juga kasusnya Anelka yang mualaf sejak 2004. Di musim berikutya, 2005, dia memilih pindah ke Fenerbahçe di Turki dari Manchester City. Karena di Turki yang mayoritas Muslim, dia bisa lebih disiplin menjalani ibadahnya,” tutur Kukuh. Para pesepakbola muslim yang kadang dilematis menyikapi bulan puasa di tengah kompetisi, ki-ka: Zinedine Zidane, Nicolas Anelka, Mesut Ozil, & Paul Pogba (Foto: uefa.com/arsenal.com ) Sebelum dekade 2000-an, operator liga-liga Eropa belum menjadikan bulan puasa sebagai isu penting. Sebab, kecuali kompetisi di Prancis yang banyak imigran Afrika Utara dan negara-negara Eropa Timur, di era itu belum banyak pemain Muslim yang berkiprah terutama di liga-liga top Eropa Barat. Di Jerman, misalnya, pemain Muslim baru ada seorang pada 1967, yakni Özcan Arkoç, kiper asal Turki yang membela Hamburg SV. Sedangkan di Inggris kala kompetisi profesional Premier League memasuki debutnya pada 1992, baru ada Mohamed Alí ‘Nayim’ Amar, gelandang kelahiran Spanyol yang direkrut Tottenham Hotspur, sebagai pemain Muslim. Seiring makin banyak pemain Muslim di liga-liga top Eropa pada akhir 1990-an, menurut Arief Natakusumah dalam Drama Itu Bernama Sepakbola: Gambaran Silang Sengkarut Olahraga, Politik, dan Budaya , persoalan Ramadan mulai jadi perhatian FA (Inggris) mulai 2004. “Kepedulian FA sebagai tindak lanjut insiden terbesar atara Ramadan versus sepakbola yang terjadi di Manchester, 2003. Saat itu sebuah tim lokal remaja, Abram Moss Warrior, kena hukuman 250 pound dan reduksi nilai sebanyak sembilan poin akibat tak mau bertanding seperti biasa dengan alasan para pemainnya tengah berpuasa,” tulis Arief. Kasus Abram Moss itu jadi perhatian Dewan kota Manchester dan sempat viral di seantero negeri. Kasusnya menjadi pertanyaan, mengapa FA memberi sanksi lebih berat ketimbang kasus-kasus yang lebih parah di level Premier League semisal kasus tawuran 22 pemain Arsenal kontra Manchester United di Old Trafford pada 1990. Middlesbrough yang pernah absen dalam liga pada 1996, juga sekadar dihukum pengurangan tiga poin. “Setelah (kasus) itu FA bertindak bijak. Untuk menghormati datangnya 1 Ramadan 1427 H atau 5 Oktober 2005, tiada duel Premier League pada midweek. Ketika hari raya Idul Fitri jatuh pada 3-4 November 2005, di Inggris pun tak ada jadwal kompetisi,” tambahnya. Adaptasi Tubuh Penyesuaian jadwal acap dijadikan solusi negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim untuk menyiasati kompetisi di bulan puasa. Sementara bagi pemain yang teguh berpuasa meski tanpa dimaklumi klub maupun pelatih, mesti berupaya dua kali lebih berat. Sebab, mereka harus memikirkan cara adaptasi tubuh agar tak begitu banyak mempengaruhi performa di lapangan. “Peneliti Aljazair Dr. Zerguini yang juga anggota komisi kesehatan medis FIFA sejak 1980-an menjalani studi kasus ini bersama pusat riset dan medis FIFA, F-Marc. Kesimpulan laporannya, salah besar kalau ada anggapan Ramadan membahayakan kesehatan (pesepakbola),” sambung Arief. “Dari perspektif medis, aktivitas sepakbola selama puasa memunculkan banyak hal bagi tubuh kecuali traumatology dan cardio-respiratory . Kendalanya persiapan fisik, kondisi psikis, nutrisi, metabolis, pengaturan cairan tubuh dan elektrolit serta jam biologis termasuk juga hydroelectrolytic , hypoglycaemia , dan dehidrasi. Semua fenomena ini dikenal sebagai over-compensation yang terjadi drastis sampai satu pekan pertama bulan puasa,” tambahnya. Özcan Arkoç tampil di Hamburg SV sejak 1967 (kiri) & Mohamed Alí 'Nayim' Amar di Tottenham Hotspur sebagai dua dari perintis pesepakbola muslim di Eropa Barat (Foto: hsv.de/premierleague.com ) Pada pekan kedua, tubuh sudah mulai terbiasa menyimpan cadangan tenaga hasil kombinasi puasa, latihan, dan diet karbohidrat tinggi. Di sisi lain, tubuh juga akan terasa lebih enteng lantaran sudah melewati proses detoksifikasi. Hal itu diamini Yeyen yang mengalami puasa di Italia (tim Primavera) pada 1993-1994, selain di negeri sendiri sepanjang berkarier bersama PSM Makassar , Persebaya Surabaya , Persija Jakarta , dan Persma Manado kurun 1995-2007. “Di Primavera malah pertandingannya siang, jam 2 atau jam 3 siang. Sulit untuk kita bisa bilang bahwa boleh tidak puasa karena sebagai musafir dan segala macam. Kawan-kawan sebagian besar tetap berpuasa dan itu berdampak pada penampilan langsung. Sampai manajemen, pelatih, memberi wejangan supaya anak-anak jangan puasa deh, kalau memang tidak mampu,” kata Yeyen mengenang. “Kalau pengalaman di Liga Indonesia ya harus bermain malam. Memang kita bermain tidak kekurangan cairan karena sudah masuk makanan saat berbuka, dan minimal harus yang masuk karbohidrat. Secara prosedur kesehatan, minimal karbohidrat yang masuk ke badan itu tiga jam sebelum pertandingan. Kalau yang masuk protein atau lemak, itu butuh waktu lebih lagi untuk tubuh kita mencerna,” tambahnya. Tetapi yang jadi PR kalau di negeri sendiri, sambung Yeyen, justru soal pola istirahat. Sebab, pertandingan dimainkan lebih malam, yakni jam 21.30 atau satu jam lebih awal daripada liga di Malaysia . “Dampaknya berubah cara hidup. Biasanya malam sudah harus istirahat, nah ini berubah jadi ke pagi. Kalau main malam biasanya selesainya 23.30, artinya kita enggak bisa langsung makan, enggak bisa langsung istirahat karena ada asam laktat dalam tubuh yang membuat kita pegal, enggak bisa tidur, enggak bisa makan, maunya minum aja,” papar Yeyen. “Kalau tidak diatasi, si pemain baru bisa tidur setelah sahur. Itu kembali pada masing-masing pemain untuk bisa menjaga fisik secara profesional. Tapi ini kan kalau menurut medis tidur malam dengan tidur pagi-siang kan berbeda. Nah, di situ yang besar pengaruhnya bagi pemain ketika ada pertandingan di bulan puasa,” sambung bek kelahiran Padang, 16 Mei 1976 itu. Yeyen Tumena berbagi pengalamannya menyoal puasa dan profesionalitas di lapangan sebagai eks bek Primavera dan timnas Indonesia (Foto: Instagram yeyen_tumena) Tetapi jika lingkungan mendukung, otoritas juga mendukung, fisik dijaga betul-betul, dan pola makan serta istirahat diperhatikan benar, bukan tidak mungkin si pemain atau sebuah tim bisa tetap berjaya di lapangan meski tengah puasa. Selain disiplin diri, faktornya adalah keteguhan iman. Hal itu bukan hanya slogan, tapi memang ada faktanya. “Contoh kasusnya juga yang menarik. Pertama, soal final sepakbola putra Asian Games 1998 di Bangkok. Yang ketemu itu Kuwait dan Iran. Sementara Kuwait memilih bersantai dan tak melakukan aktivitas fisik jelang final, tim Iran tetap giat latihan. Dua tim saat final sama-sama berpuasa, tapi akhirnya tetap Iran yang menang 2-0,” ujar Kukuh. “Pernah juga ada kasus semifinal leg kedua CAF Champions League, November 2003. Tuan rumah ES Tunis tahu para pemain tim tamu, Ismaily FC, tetap puasa dan dengan culas mengubah jadwal dari jam 21.30 ke jam dua siang. Pelatih Ismaily (Theo Bucker) sampai mengutuk siasat tuan rumah. Jadilah itu pertandingan tim yang puasa dan tidak. Hasilnya mengejutkan, Ismaily menang 3-1,” tandasnya.
- Petik Laut Pancer Kian Moncer
JALANAN dusun itu penuh umbul-umbul. Sisi kanan dan kirinya terpasang tali pembatas. Di ujung jalan yang mengarah ke laut, gapura mungil nan cantik berdiri. Spanduk membentang di bagian atap. Tulisannya “Lautku Kehidupanku”. Tak jauh dari gapura, ada tempat pelelangan ikan. Banyak orang berkumpul di sana. Tapi bukan untuk jual-beli ikan. Ada Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, sesepuh dusun, warga dusun, anak-anak sekolah, peserta arak-arakan, nelayan dan wisatawan. Jumlahnya seribuan lebih. Hari itu, 9 September 2019, mereka berkumpul untuk merayakan hari “Petik Laut Pancer” ke-43. Petik laut adalah ritual khas tahunan masyarakat Banyuwangi, Jawa Timur. Biasanya berlangsung dalam bulan Muharam (kalender Islam) atau Sura (tanggalan Jawa). Ada serangkaian acara yang digelar dalam ritual ini. Dari bersih dusun, doa bersama, khataman, pementasan wayang kulit dan hiburan rakyat, hingga melarung sesaji. Sebelum melarung sesaji, ada prosesi menyematkan anting-anting dan pancing emas di kepala kambing yang sudah disembelih. Kepala kambing kemudian ditempatkan pada perahu kecil bersama sesaji lainnya untuk diarak menuju pinggir pantai Pancer dan dilarung ke tengah laut. Sebagai acara penutup, warga Pancer mandi bersama di laut. Air laut yang sudah dilarungi sesaji dipercaya bisa membuang sial dan memberikan keselamatan. Interaksi Budaya Pancer merupakan wilayah di pesisir selatan Banyuwangi, Jawa Timur. Jaraknya sekira 60 kilometer dari pusat kota Banyuwangi. Sebagian besar penduduknya mengandalkan hidup dari laut. Mereka turun-temurun menjadi nelayan dan berkarib dengan laut hampir sepanjang hidupnya. Bagi mereka, laut adalah karunia dari Tuhan. Hubungan timbal baik harus dijaga. “Ritual ini merupakan cara kami dalam mensyukuri rezeki yang telah kami dapatkan sekaligus mohon do’a agar diberi keselamatan saat melaut,” kata Suwandi , ketua Panitia Petik Laut Pancer ke-43. Berdasarkan tuturan lisan, ritual Petik Laut terbentuk dari interaksi budaya orang Osing (pemukim awal), Madura, dan ajaran Islam. Percampuran ini terjadi sekira akhir abad ke-19. Saat itu usaha perkebunan swasta tumbuh di Banyuwangi. Para pemilik perkebunan mendatangkan kuli dari Ponorogo, Madiun, Bojonegoro, Jawa Tengah, Yogyakarta, Madura, Makassar, dan Mandar. Baca juga: Ikan-ikan dari Muncar “Mereka terkonsentrasi di pesisir seperti Muncar, Grajangan, Pancer, dan Bulusan,” catat Novi Anoegrajekti dkk. dalam “The Oral Tradition of Petik Laut Banyuwangi Revitalization of Tradition and Local-Global Political Space” makalah untuk The1st International Seminar on Language, Literature, and Education 2017. Kedatangan orang-orang dari beragam wilayah ke Banyuwangi memungkinkan persentuhan, pertukaran, dan percampuran kebudayaan antar mereka. Dari sini pula pandangan mereka tentang alam dan manusia ikut terbentuk. Pandangan mereka menempatkan alam sebagai sesuatu yang hidup. Alam dan manusia saling membutuhkan. Tuhan menitipkan alam kepada manusia. Hubungan keduanya mesti berjalan harmonis. Tuhan menyediakan segala sesuatu dalam alam bagi manusia untuk diolah sesuai kebutuhannya. Sebagai bentuk terimakasih kepada Tuhan, manusia memberikan sesuatu kepada alam lewat ritual Petik Laut. Perahu yang dihias dalam ritual Petik Laut Pancer tahun 2018. (Dok. Disbudpar Kabupaten Banyuwangi). Di Banyuwangi, ritual Petik Laut yang megah dilakukan nelayan di Muncar, sebuah kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. hal ini bisa dipahami karena di sana terdapat pelabuhan penghasil ikan terbesar di Jawa dan terbesar kedua di Indonesia setelah Bagansiapiapi, Riau. Sejak lama Muncar menarik banyak orang untuk menggantungkan hidup. Jumlah nelayan di sana pun terus meningkat. Akibatnya Muncar menjadi wilayah yang padat penduduk. Banyak di antaranya hidup miskin. Maka, pemerintah menganjurkan nelayan-nelayan miskin itu pindah ke tempat yang baru. “Banyak nelayan menerima anjuran yang bijaksana itu dengan sukarela dan kemudian pemerintah mendirikan beberapa bangunan di Pancer,” tulis Sugianto dalam “Cerita Dobel B”, dimuat Warta BRI tahun 1982. Baca juga: Penghormatan dari Para Pemetik Laut Menurut Sugianto, dulu orang-orang tak suka tinggal di daerah ini, kecuali para pemburu. Sebab, daerah itu ditutupi hutan rimba. Pada 1970, untuk mencapai Pancer bukanlah hal mudah. Mesti naik kuda atau jalan kaki. Kondisi itu berubah setelah pemerintah membangun rumah-rumah, pasar, dan tempat pelelangan ikan. Pancer pun berubah menjadi dusun kecil yang masuk wilayah Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran. “Pancer, daerah perikanan yang baru, telah mengundang nelayan nelayan termiskin yang tak punya harapan untuk memperbaiki kehidupan mereka dan mengubah tanah terpencil itu menjadi sebuah daerah tempat tinggal yang nyaman,” tulis Sugianto. Karena umumnya berasal dari Muncar, para nelayan pun membawa ritual Petik Laut Muncar yang konon sudah dilakukan sejak 1901. Ritual Petik Laut Pancers kali pertama diadakan pada 1976, tahun yang sama dengan pembukaan Pelabuhan Perikanan Pancer. Warga bersiap menggotong gunungan dalam ritual Petik Laut Pancer tahun 2018. (Dok. Disbudpar Kabupaten Banyuwangi). Kekhasan Lokal Dalam masyarakat Pancer, alam yang paling dekat dengan mereka adalah laut. Kepada lautlah orang-orang tempatan berutang rasa. Melalui Petik Laut, utang itu ditunaikan. Semula ritual ini dilakukan oleh segelintir orang secara sederhana. Lambat-laun, ritual ini menyebar luas dan dirayakan secara meriah. Petik Laut pun menjadi ritual jamak di pesisir Banyuwangi. “Upacara Petik Laut merupakan perhelatan besar bagi masyarakat nelayan, misalnya di Muncar, Pancer, Blimbingsari,” tulis Junus Melalatoa dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z . Petik Laut di Banyuwangi secara umum memiliki makna dan tujuan yang sama. Tapi itu bukan berarti Petik Laut di Banyuwangi sepenuhnya sama. Ada beberapa unsur khas dari Petik Laut suatu daerah dengan daerah lainnya. Misalnya terkait dengan tokoh pionir dan perkembangan ritualnya. “Setiap daerah pasti memiliki kekhasan lokalnya masing-masing seperti yang ada di Pantai Pancer ini. Ini adalah bagian budaya masyarakat yang akan selalu ada,” tutur Khofifah. Baca juga: Di Balik Ritual Keboan Petik Laut terbesar di Banyuwangi terdapat di Muncar. Tokoh pionirnya bernama Sayid Yusuf. Sedangkan Petik Laut Pancer merupakan terbesar kedua. Tradisi lisan menyebut nama Mbah Sutijo sebagai pionirnya. Tapi sebagian lagi menyebut nama Pancer sebagai nelayan pertama penggelar ritual. Kedua tradisi lisan tak memaklumatkan secara pasti kapan tahunnya. Yang jelas, perkembangan Petik Laut Pancer tak lepas dari pembangunan Instalasi Pelabuhan Perikanan (IPP) Pancer pada 1976. “Semenjak dibuka pada tahun 1976 oleh pemerintah kabupaten, keberadaan IPP Pancer mempunyai peranan vital bagi masyarakat pesisir dalam menunjang perekonomiannya,” catat Ersy Martika dalam Analisis Persepsi Masyarakat Nelayan Terhadap Instalasi Pelabuhan Perikanan (IPP) Pancer , tesis pada Universitas Brawijaya. IPP Pancer sempat rusak oleh tsunami besar pada 1994. Begitu pula dengan sebagian besar wilayah Pancer. Korban luka dan meninggal lebih dari seratusan. Orang tempatan mengalami trauma beberapa lama. Tapi mereka kemudian bangkit dan membangun kembali IPP Pancer dan wilayahnya. Ritual Petik Laut pun digelar kembali. Malah kian meriah sehingga menjadi salah agenda wisata tahunan unggulan dalam Banyuwangi Festival.
- Kuda Lumping Gaya Banyuwangi
Kesan misterius langsung terasa saat tiupan seruling dan tabuhan kendang mulai dibunyikan. Sambil mengikuti irama musik, sejumlah orang berparas seram berlenggak-lenggok, memamerkan gerakan tari yang enerjik. Seolah-olah menunggang seekor kuda, yang juga digambarkan memiliki bentuk seram, gerakan orang-orang itu semakin liar. Dalam keadaan tidak sadarkan diri, para penari bergerak ke sana ke mari di bawah arahan seorang pawang. Inilah Jaranan Buto . Jaranan Buto atau Jaranan Buta adalah kesenian tari khas daerah Banyuwangi. Bentuknya serupa dengan Kuda Lumping di Kediri, Jatilan di Yogyakarta, atau Jaran Kepang di beberapa kawasan Jawa Tengah, yakni menggunakan properti kuda dalam setiap pertunjukannya. Tetapi bedanya, Jaranan Buto memakai properti kuda yang memiliki rupa seperti raksasa ( buto ). Menurut Agus Dwi Handoko dan Septina Alrianingrum dalam “Perkembangan Seni Tari Jaranan Buto di Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi Tahun 1963-2007” dimuat jurnal AVATARA , simbol kuda dalam kesenian jaranan memiliki nilai filosifis sebagai semangat perjuangan, keperkasaan, dan jiwa ksatria. Simbol kuda ini juga dikenal oleh suku-suku di seluruh dunia. “Kuda dalam kesenian tari Jaranan Buto ini ditampilkan sebagai wujud makhluk berwajah manusia raksasa berbadan kuda sehingga disebut dengan kuda raksasa (jaranan buto),” tulis Agus dan Septina. Di dalam penelitiannya, Agus dan Septina menyebut Jaranan Buto berasal dari Dusun Cemetuk, Desa Cluring, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi. Istilah Jaranan Butho diambil dari nama tokoh legendaris Minakjinggo. Banyak anggapan di masyarakat yang menggambarkan Minakjinggo bukan sebagai manusia biasa, melainkan raksasa (dalam bahasa Jawa disebut Buto). Sebagai penguasa Balambangan kesaktian Minakjinggo memang sangat terkenal. Dia diceritakan pernah membuat repot Kerajaan Majapahit. Dusun Cementuk sendiri berbatasan dengan Kecamatan Gambiran, yang mayoritas memiliki garis keturunan dari trah Mataram. Akibat letak geografisnya itu, kata Agus dan Septina, Desa Cluring mampu menghasilkan Jaranan Buto. Sehingga tarian ini merupakan produk akulturasi budaya antara budaya Jawa (Mataram) dengan kebudayaan Suku Osing. Sementara Clara van Groenendael dalam Jaranan: The Horse Dance and Trance in East Java , menyebut Jaranan Buto yang ada di Banyuwangi ide awalnya dibawa oleh orang-orang dari Trenggalek. Tetapi di dalam tulisannya, Groenendael tidak menyebut kapan hal itu terjadi. Sebuah data dari tahun 1930-an, berasal dari penelitian Th. Pigeaud, menunjukkan bahwa tarian kuda tidak ada di tengah tradisi para penghuni lama Banyuwangi (Suku Osing). Dia hanya meyakini bahwa jenis tari ini telah berumur sangat panjang dan dimainkan secara turun-temurun oleh masyarakat. “Ini mungkin menunjukkan bahwa fenomena tarian kuda sebenarnya diimpor ke Banyuwangi. Saya tidak dapat mengetahui kapan hal itu terjadi,” ungkap Groenendael. Pertunjukan tari Jaranan Buto umumnya dilakukan dalam jumlah besar. Ada sekitar 16-20 orang, dihimpun dalam 8 grup, yang terlibat. Para penari dibuat sedemikian rupa –rambut panjang, kulit diwarnai merah, dan pakaian yang diyakini dipakai oleh raksasa dalam cerita wayang– sehingga wajah dan perawakannya menyerupai sosok Buto . Setiap pementasan akan diiringi oleh instrumen musik khas Jaranan Buto, terdiri dari: dua bonang, gong (besar dan kecil), seruling (sompret), kecer, dan dua buah kendang. Sebagai bagian penting dalam Jaranan Buto, replika kuda berbentuk kepala raksasa yang terbuat dari kulit lembu tidak pernah lupa disertakan. Wajah raksasa itu pun didominasi warna merah menyala, dengan kedua mata besarnya. Cerita yang diangkat pun beragam, biasanya tentang kisah kepahlawanan Minakjinggo, atau kisah heroik tokoh lainnya. Satu hal yang menarik dalam pertunjukkan Jaranan Buto adalah kesurupan yang dialami para penari. Secara tidak sadar, para penari ini akan mengejar orang-orang yang memanggil dengan siulan. Mereka juga bisa memakan kaca beling, api, ayam hidup, dan berbagai atraksi lainnya. Setiap pementasan, para penari akan didampingi beberapa orang pawang. Pawang ini bertanggung jawab menyadarkan kembali para penari Jaranan Buto dan penonton yang ikut kesurupan selama pertunjukkan. “Kesenian Jaranan Buto ini merupakan salah satu mahkota yang harus dilestarikan, dipelihara, dan ditunjukkan kepada dunia luar, sehingga potensi ini dapat bermanfaat baik untuk masyarakat maupun pemerintah, terutama dalam meningkatkan pendapatan asli daerah,” tulis Agus dan Septina.
- Suap di Balik Upaya Pembebasan Irian Barat
Pada pertemuan hari kedua, Soegih Arto melanjutkan lobi-lobi dengan Mr. Olaf de Rijke. Misi memenangkan Irian Barat lewat jalan menyuap ketua fraksi Dewan Papua itu tinggal selangkah lagi. Perundingan sendiri akan membicarakan soal keuangan dan mekanisme pembayaran. Semula pembicaraan diawali dalam bahasa Belanda. Namun ketika akan memasuki inti perundingan, de Rijke menyela. Tetiba, dia menggunakan bahasa Jawa. “Mr. de Rijke nyeletuk dalam bahasa Jawa agar sekretarisnya yang Belanda totok itu tidak dapat mengerti apa yang sedang dirundingkan,” tutur Soegih Arto dalam otobiografi Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur.) Soegih Arto . Soegih Arto dan rekannya, Kartono Kadri tidak keberatan. Mereka pun mulai tawar menawar dalam bahasa Jawa. De Rijke membuka penawaran pada angka US$ 1.000.000. Soegih Arto minta turun menjadi US$ 500.000. Setelah negosiasi bolak-balik, akhirnya tercapai titik temu pada harga US$ 750.000. Perkara berapa jumlah uang sogokan beres. Pembicaraan kemudian beralih lagi mengenai bagaimana cara menyerahkan uang itu. Pada prinsipnya, Soegih Arto bersedia membayarkan uang itu melalui bank yang dipilih de Rijke setelah resolusi bergabung dengan Indonesia dikeluarkan oleh parlemen Dewan Papua. Namun suasana pembicaraan mendadak jadi panas karena Mr. de Rijke minta dibayarkan saat itu juga. Soegih Arto tidak dapat menyetujui usulan de Rijke tersebut. Muncullah saling tuduhan dan perkataan yang menyinggung satu sama lain. Mr. de Rijke mengatakan bahwa orang Indonesia lihai berpolitik licik sehingga tidak dapat dipercaya. Mosi senanda pun dilantarkan Soegih Arto karena de Rijke bersedia menjual Papua demi uang. De Rijke tetap ngotot dan membela diri. Menurutnya, tindakannya bernegosiasi dengan pihak Indonesia menanggung resiko yang besar sekali. Kalau ketahuan oleh pemerintah Belanda, kata de Rijke, maka dia bisa dibunuh. Soegih Arto memutuskan untuk menunda pembicaraan. Agar tidak bersikap gegabah, dia ingin melapor dan menanti instruksi selanjutnya dari Presiden Sukarno. Usul itu dengan susah payah disetujui de Rijke. Menurut de Rijke, tidak mudah baginya keluar masuk Papua tanpa dicurigai. De Rijke juga menggambarkan suasana di parlemen Dewan Papua yang ternyata cukup banyak anggotanya pro-Republik Indonesia. Hanya saja, suara mereka belum mencapai mayoritas untuk menggolkan suatu resolusi. Oleh karena itu, de Rijke perlu melobi dan butuh dana untuk beberapa anggota. Itulah sebabnya, de Rijke bersikukuh agar uang sogok dibayarkan Soegih Arto saat perundingan berlangsung. Menurut pakar intelijen Ken Conboy, de Rijke begitu bernafsu agar pihak Indonesia mengirim uang yang dijanjikan ke sebuah rekening Bank Australia. Tetapi, sebelum melakukan ini Soegih Arto dan Kartono Kadri meminta jaminan itikad baik bahwa Dewan Papua akan bersiap-siap mendukung integrasi. “Sesudah ditunggu beberapa hari, ternyata si anggota dewan ini tidak menghubungi lagi. Upaya penyuapan ini kemudian dibatalkan dan dananya tidak pernah dikirim,” tulis Conboy Dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia . Dalam otobiografinya, Soegih Arto mengisahkan perundingannya dengan de Rijke berakhir di persimpangan jalan. Pertemuan itu tidak pernah dilanjutkan karena sulit untuk mencapai titik temu, terutama mengenai cara dan kapan penyerahan keuangan. Pendirian Soegih Arto tersebut didukung oleh Bung Karno. Pun tanpa praktik suap-menyuap itu, Indonesia pada akhirnya dapat memenangkan Irian Barat. “Persoalan diplomasi gelap ini hilang lenyap tidak berbekas dan Irian Barat diselesaikan melalui New York Agreement, pada tanggal 15 Agustus 1962,” tutur Soegih Arto. Operasi rahasia yang dikerjakan Soegih Arto dan Kartono Kadri gagal karena, menurut Ken Conboy, “anggota Dewan Papua asal Belanda (de Rijke) yang bermaksud menarik keuntungan pribadi atas nama pemerintahnya, menjadi ketakutan.” Pada Oktober 1962, Kartono Kadri menjadi sekretaris Soedjarwo Condronegoro, kepala perwakilan Indonesia di Irian Barat. Dalam sebuah pertemuan yang tidak direncanakan, Kartono Kadri sempat bersua dengan de Rijke. Pada saat itu, de Rijke tinggal di depan Yachtclub. Kadri mendapati de Rijke dengan raut penuh gelisah. De Rijke menanyakan siapa saja yang mengetahui tentang pertemuan rahasia di Hongkong. Jawaban yang disampaikan Kadri rupanya tidak memuaskan. Betapa takutnya de Rijke sehingga keesokan harinya dia menyeberang ke Papua Nugini yang masih dikuasai Australia. Hingga Soegih Arto merampungkan otobiografinya pada 1989, de Rijke diketahui masih berada di Papua Nugini dan tercatat sebagai warga negara Australia.






















