top of page

Sejarah Indonesia

Suap Di Balik Upaya Pembebasan Irian Barat

Suap di Balik Upaya Pembebasan Irian Barat

Negosiasi tersembunyi dalam misi pembebasan Irian Barat pernah terjadi. Mentok gara-gara perkara waktu penyerahan uang.

15 Mei 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Mr. Olaf de Rijke (kiri berpostur jangkung), ketua fraksi Dewan Papua berjabat tangan dengan Nicolaas Jouwe, di Hollandia, 18 Februari. (Arsip Nasional Belanda, koleksi Elsevier).

Pada pertemuan hari kedua, Soegih Arto melanjutkan lobi-lobi dengan Mr. Olaf de Rijke. Misi memenangkan Irian Barat lewat jalan menyuap ketua fraksi Dewan Papua itu tinggal selangkah lagi. Perundingan sendiri akan membicarakan soal keuangan dan mekanisme pembayaran.

Semula pembicaraan diawali dalam bahasa Belanda. Namun ketika akan memasuki inti perundingan, de Rijke menyela. Tetiba, dia menggunakan bahasa Jawa. “Mr. de Rijke nyeletuk dalam bahasa Jawa agar sekretarisnya yang Belanda totok itu tidak dapat mengerti apa yang sedang dirundingkan,” tutur Soegih Arto dalam otobiografi Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur.) Soegih Arto.


Soegih Arto dan rekannya, Kartono Kadri tidak keberatan. Mereka pun mulai tawar menawar dalam bahasa Jawa. De Rijke membuka penawaran pada angka US$ 1.000.000. Soegih Arto minta turun menjadi US$ 500.000. Setelah negosiasi bolak-balik, akhirnya tercapai titik temu pada harga US$ 750.000. Perkara berapa jumlah uang sogokan beres. Pembicaraan kemudian beralih lagi mengenai bagaimana cara menyerahkan uang itu.      


Pada prinsipnya, Soegih Arto bersedia membayarkan uang itu melalui bank yang dipilih de Rijke setelah resolusi bergabung dengan Indonesia dikeluarkan oleh parlemen Dewan Papua. Namun suasana pembicaraan mendadak jadi panas karena Mr. de Rijke minta dibayarkan saat itu juga. Soegih Arto tidak dapat menyetujui usulan de Rijke tersebut. Muncullah saling tuduhan dan perkataan yang menyinggung satu sama lain.  


Mr. de Rijke mengatakan bahwa orang Indonesia lihai berpolitik licik sehingga tidak dapat dipercaya. Mosi senanda pun dilantarkan Soegih Arto karena de Rijke bersedia menjual Papua demi uang. De Rijke tetap ngotot  dan membela diri. Menurutnya, tindakannya bernegosiasi dengan pihak Indonesia menanggung resiko yang besar sekali. Kalau ketahuan oleh pemerintah Belanda, kata de Rijke, maka dia bisa dibunuh.


Soegih Arto memutuskan untuk menunda pembicaraan. Agar tidak bersikap gegabah, dia ingin melapor dan menanti instruksi selanjutnya dari Presiden Sukarno. Usul itu dengan susah payah disetujui de Rijke. Menurut de Rijke, tidak mudah baginya keluar masuk Papua tanpa dicurigai.


De Rijke juga menggambarkan suasana di parlemen Dewan Papua yang ternyata cukup banyak anggotanya pro-Republik Indonesia. Hanya saja, suara mereka belum mencapai mayoritas untuk menggolkan suatu resolusi. Oleh karena itu, de Rijke perlu melobi dan butuh dana untuk beberapa anggota. Itulah sebabnya, de Rijke bersikukuh agar uang sogok dibayarkan Soegih Arto saat perundingan berlangsung.


Menurut pakar intelijen Ken Conboy, de Rijke begitu bernafsu agar pihak Indonesia  mengirim uang yang dijanjikan ke sebuah rekening Bank Australia. Tetapi, sebelum melakukan ini Soegih Arto dan Kartono Kadri meminta jaminan itikad baik bahwa Dewan Papua akan bersiap-siap mendukung integrasi.


“Sesudah ditunggu beberapa hari, ternyata si anggota dewan ini tidak menghubungi lagi. Upaya penyuapan ini kemudian dibatalkan dan dananya tidak pernah dikirim,” tulis Conboy Dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia.


Dalam otobiografinya, Soegih Arto mengisahkan perundingannya dengan de Rijke berakhir di persimpangan jalan. Pertemuan itu tidak pernah dilanjutkan karena sulit untuk mencapai titik temu, terutama mengenai cara dan kapan penyerahan keuangan. Pendirian Soegih Arto tersebut didukung oleh Bung Karno. Pun tanpa praktik suap-menyuap itu, Indonesia pada akhirnya dapat memenangkan Irian Barat.


“Persoalan diplomasi gelap ini hilang lenyap tidak berbekas dan Irian Barat diselesaikan melalui New York Agreement, pada tanggal 15 Agustus 1962,” tutur Soegih Arto.


Operasi rahasia yang dikerjakan Soegih Arto dan Kartono Kadri gagal karena, menurut Ken Conboy, “anggota Dewan Papua asal Belanda (de Rijke) yang bermaksud menarik keuntungan pribadi atas nama pemerintahnya, menjadi ketakutan.”


Pada Oktober 1962, Kartono Kadri menjadi sekretaris Soedjarwo Condronegoro, kepala perwakilan Indonesia di Irian Barat. Dalam sebuah pertemuan yang tidak direncanakan, Kartono Kadri sempat bersua dengan de Rijke. Pada saat itu, de Rijke tinggal di depan Yachtclub.


Kadri mendapati de Rijke dengan raut penuh gelisah. De Rijke menanyakan siapa saja yang mengetahui tentang pertemuan rahasia di Hongkong. Jawaban yang disampaikan Kadri rupanya tidak memuaskan. Betapa takutnya de Rijke sehingga keesokan harinya dia menyeberang ke Papua Nugini yang masih dikuasai Australia. Hingga Soegih Arto merampungkan otobiografinya pada 1989, de Rijke diketahui masih berada di Papua Nugini dan tercatat sebagai warga negara Australia.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim dikenal dengan julukan Napoleon dari Batak. Menyalakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda di tanah Simalungun.
Antara Raja Gowa dengan Portugis

Antara Raja Gowa dengan Portugis

Sebagai musuh Belanda, Gowa bersekutu dengan Portugis menghadapi Belanda.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page