Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Empat Senjata Jerman yang Mengubah Dunia
PERANG tidak hanya meninggalkan derita, kematian, atau mengubah geopolitik. Perang juga jadi etalase pamer kemajuan teknologi dan industri senjata. Jerman dalam gejolak Perang Dunia II harus diakui telah meninggalkan warisan yang mengubah dunia teknologi militer. Baik di darat, laut, maupun udara, Jerman punya senjata-senjata canggih yang tak dimiliki Sekutu. Sayangnya bagi Der Führer Adolf Hitler, pengembangan senjata-senjata canggih itu terlambat. Hanya secuil dari beragam rancangan senjata jempolan Jerman yang sempat digunakan di palagan lantaran mayoritas baru rampung menjelang perang berakhir. Alhasil, senjata-senjata itu dicontek dan dikembangkan oleh para pemenang Perang Dunia II: Uni Soviet, Inggris, dan Amerika Serikat. Berikut empat dari senjata itu yang lantas jadi cikal-bakal pengembangan senjata yang kondang hingga saat ini: Sturmgewehr 44 Sturmgewehr 44. Infantri alias pasukan darat jadi inti kekuatan militer suatu negara. Kecanggihan senjata ikut menentukan ketangguhan mereka. Salah satu pegangan pasukan infantri Jerman-Nazi paling kondang adalah Sturmgewehr 44 (StG-44). “Senjata ini adalah ayah dari segala senapan serbu yang dikembangkan pada 1941-1942. Senjata ini mengenalkan konsep penggunaan peluru pendek baru dengan jangkauan terbatas agar semburan tembakannya bisa lebih terkontrol dan karena berdasarkan bahwa kebanyakan senapan menembakkan peluru dengan jarak 400 meter saja,” ungkap Ian Hogg dan Terry Gander dalam Jane’s Guns Recognition Guide . StG-44 adalah senapan serbu otomatis modern pertama dunia yang desainnya berhulu pada otak Hugo Schmeisser, pengembang senjata andalan Hitler. Schmeisser banyak merancang senapan mesin ringan, antara lain Maschinenpistole 40 (MP-40), yang jadi pegangan resmi tentara Jerman; dan senapan laras panjang Karabiner 98k (Kar-98). Baca juga: Benarkah Kalashnikov di Balik Lahirnya AK-47? StG-44 berdimensi panjang 94 cm dan bobot 5,13 kg jika magasinnya terisi penuh 30 peluru berukuran 7,92x33 mm. Ia lebih pendek dari senapan mesin ringan Jerman lain yang berukuran 7,92x57 mm. Dalam semenit, StG-44 bisa menyemburkan 500-600 peluru kaliber 8 mm dengan jarak efektif 300 meter dalam mode otomatis, serta 600 meter pada mode semi-otomatis. StG-44 bagaikan kombinasi MP-40 dan Kar-98, lantaran bisa menyemburkan peluru seperti lazimnya senapan mesin ringan tapi akurat sebagaimana senapan laras panjang. Oleh Schmeisser, senjata ini diberi nama Maschinenpistole 44 (MP-44). Tetapi ketika diperkenalkan kepada Hitler, namanya diganti jadi Sturmgewehr 44 (StG-44) sebagai bagian dari upaya propaganda. Sebagai percobaannya, StG-44 dipasok untuk Waffen-SS atau pasukan Schutzstaffel, paramiliter Partai Nazi di front Timur medio 1943. Pasukan regular AD Jerman menyusul kemudian meski tetap mengadopsi nama awal MP-44. Sejak 1943 hingga akhir perang, StG-44 diproduksi lebih dari 420 ribu pucuk oleh C.G. Haenel Waffen und Fahrradfabrik. Lantaran tergolong terlambat jadi pegangan pasukan SS maupun pasukan reguler, StG-44 gagal membantu mengubah jalannya perang untuk Jerman. Empat tahun pasca-perang, cetak biru StG-44 dicontek pengembang senjata Uni Soviet Mikhail Kalashnikov, yang lantas merancang senapan serbu paling beken di jagat: Avtomat Kalashnikova alias AK-47. Type XXI Elektroboot Type XXI Elektroboot. Di laut, Jerman sebagai jago perang perairan dengan menggunakan Unterseeboot (U-Boot), juga punya alutsista canggih berupa Type XXI Elektroboot. Ia adalah tipe kapal selam (kasel) bertenaga listrik pertama dunia yang sukses beroperasi. Namun seperti halnya senapan StG-44, kemunculan kasel ini terlambat. Hingga akhir perang, hanya empat yang berhasil dibangun dan baru dua yang bisa digunakan Kriegsmarine (AL Jerman): U-2511 dan U-3008. Mengutip Erich Groner, Dieter Jung, dan Martin Maass dalam U-Boats and Mine Warfare Vessels: German Warships 1815-1945 , Elektroboot Tipe XXI ini baru dibangun mulai 1943 oleh tiga manufaktur: Blohm & Voss di Hamburg, AG Weser di Bremen, dan Schichau-Werke di Danzig dengan memanfaatkan rancangan sistem tenaga penggerak perhydrol ciptaan ilmuwan roket Hellmuth Walter. Sebagai alternatif dari tenaga listrik yang menjadi penggerak utama kasel ini adalah disel. Kombinasi ini umum digunakan dalam U-Boat Jerman. Baca juga: Kawanan Serigala U-Boat Berburu Mangsa Tipe XXI memiliki postur panjang 76,70 meter, lebar delapan meter, dan bobot 1.819 ton. Selain dilengkapi dua mesin disel dengan enam silinder, Type XXI ditenagai dua mesin listrik Siemens-Schuckert. Hasilnya selain punya kecepatan yang lebih laju, 15,6 knot di permukaan dan 17,2 knot saat menyelam, Type XXI bisa melenggang di bawah kapal-kapal musuh dengan tidak terdeteksi sonar karena suara mesinnya lebih kalem ketimbang kasel-kasel Jerman bertenaga disel. Type XXI bisa menyelam hingga 75 jam sebelum harus mengisi ulang baterai-baterai mesin listriknya. Ia juga bisa menyelam hingga kedalaman 240 meter. Standarnya, Type XXI dipersenjatai enam tabung torpedo diameter 21 inci dan empat meriam C/30 diameter 0,79 inci di geladaknya, dan diawaki 54 personil. Dari empat Type XXI yang diproduksi, baru dua unit yang sempat bertugas. Kasel U-2511 yang dikapteni Korvettenkäpitan Adalbert Schnee baru sekali mencicipi tugas patroli sebagai bagian dari Flotilla ke-11 U-Boat pada 3-6 Mei 1945. Pasca-perang, ia diubah untuk dijadikan kasel penelitian bawah laut. Sementara, U-3008 yang dipimpin Kapitänleutnant Fokko Schlömer baru berlayar pada 3 Mei 1945 untuk tugas patroli. Tapi ia disergap kapal-kapal Sekutu di hari yang sama. Ia dirampas dan diubah menjadi USS U-3008 . Beberapa tahun setelah perang berakhir, cetak biru Elektroboot Jerman ini dicontek para pemenang perang seperti Amerika (kasel kelas Tench, Tang, Gato, dan Balao), Inggris (kelas Porpoise), Uni Soviet (kasel kelas Whiskey), bahkan China (kelas Ming); dan negeri netral Swedia (kelas Hajen). Messerschmitt Me-262 Messerschmitt Me-262. Setelah Perang Dunia II, kekuatan udara merupakan unsur vital penentu kemenangan suatu pihak. Amerika dan Rusia selalu bersaing menjadi terdepan sebagai produsen pesawat jet tempur generasi kelima macam F-22 dan F-35 (Amerika) atau Sukhoi Su-57 (Rusia). Harus diakui, Jermanlah pemilik jet tempur pertama di dunia yang aktif beroperasi. Inggris boleh mengklaim sebagai yang pertama punya rancangan jet tempur lewat Frank Whittle (Power Jets Ltd.) pada 1936. Tetapi hasilnya berupa jet tempur Gloster Meteor F8 baru aktif operasional pada medio Juli 1944. Sementara Luftwaffe (AU Jerman) lewat pabrikan Messerschmitt yang mendesain jet tempur Me-262 di tahun yang sama seperti Whittle, sudah menggunakan jet tempurnya pada April 1944. Maka Messerschmitt Me-262 sebagai jet tempur pertama di medan perang. Ia juga diproduksi massal, sebanyak 1.430 buah hingga akhir Perang Dunia II. Messerschmitt membuat dua varian, yakni varian Schwalbe (walet) untuk pesawat tempur, dan Sturmvogel (burung pemangsa) untuk pesawat pembom ringan. Menukil The Illustrated Directory of Fighting Aircraft of World War II karya Bill Gunston, pesawat Me-262 dirancang Willy Messerschmitt lewat proyek pengembangan P.1065 dengan mengambil konsep mesin jet ciptaan Hans Joachim Pabst von Ohain sejak 1936. Sayangnya saat perang sudah bergejolak, Messerschmitt terkendala SDM dan bahan baku, mengingat mayoritas insinyurnya dikerahkan untuk produksi massal pesawat Bf-109 dan Me-209 atas perintah Reichsmarschall Hermann Göring. Baca juga: Tank Leopard yang Layu Sebelum Berkembang Dengan keterbatasan SDM dan bahan baku, Messerschmitt perlahan bisa merampungkan proyek jet tempur berdimensi 10,6 meter x 12,6 meter serta bobot 6.472 kg itu pada April 1941. Me-262 ini dipersenjatai empat senapan mesin MK-108 (30mm), 24 roket R4M, dan berkemampuan memuat dua bom 250kg. Saat test flight pada Juli 1942, Me-262 yang ditenagai dua mesin turbojet Junkers Jumo 004B-1 bisa mencapai kecepatan maksimum 900 km/jam dengan jarak terbang maksimum 1.050 km. Hitler mulanya enggan memberi lampu hijau untuk produksi massalnya lantaran lebih menginginkan memperbanyak produksi pesawat pembom berat. Tetapi berkat bujukan Menteri Persenjataan dan Produksi Perang Albert Speer, Hitler mengizinkan produksi massal dan Me-262 aktif masuk Luftwaffe pada awal 1944. Sebagai permulaan, Me-262 ditempatkan di Jäger Erprobungskommando (EKdo) atau unit pendidikan dan percobaan Luftwaffe pimpinan Kapten Werner Thierfelder pada April 1944 Ketika Me-262 mengudara, tak satupun pesawat tempur Sekutu –yang masih bermesin propeler– mampu menandingi kecepatannya. Namun penggunaan Me-262 lebih banyak untuk menyerang balik pesawat-pesawat pembom Sekutu yang kian intens membombardir wilayah Jerman sejak awal 1945, bukan untuk pertempuran antarpesawat tempur( dogfight ). “Ini pesawat Blitzkrieg (penyerang kilat). Tak pernah dimaksudkan untuk menjadi dogfighter (petarung udara), melainkan penghancur pesawat-pesawat pembom. Tetapi kelemahan utamanya, Me-262 tak punya rem tukik untuk membuat Anda bisa menghindari tabrakan dengan pesawat pembom yang diserang. Ia harus sudah bermanuver menghindar dari jarak 200 meter,” ujar Kapten Eric Brown, perwira penerbang AL Inggris yang menjajal Me-262 pasca-perang, dikutip Steve J. Thompson dan Peter C. Smith dalam Air Combat Manoeuvres. Vergeltungswaffe-2 Vergeltungswaffe-2. Selain jet tempur, negeri-negeri adidaya lazimnya ditakuti karena memiliki misil balistik jarak jauh. Sebelum Amerika, Inggris, India, Rusia, dan Korea Utara punya senjata ICBM (Intercontinental Ballistic Missile) reguler maupun berhulu ledak nuklir, Jerman sudah menggunakannya dengan misil balistik Vergeltungswaffe-2 (V-2). Misil jarak jauh pertama itu merupakan pengembangan dari roket V-1 alias bom terbang yang menjadi embrio misil jelajah. V-2 merupakan buah pikiran dari Dr. Wernher von Braun, ilmuwan roket yang mengembangkan LPR ( liquid-propellant rocket ) atau roket bertenaga bahan bakar cair lewat proyek “Aggregat” sejak 1941. Dibantu para ilmuwan lain dari pusat penelitian Angkatan Darat Heeresversuchsanstalt di Peneemünde, Von Braun juga memanfaatkan belasan ribu pekerja paksa dari kamp konsentrasi Mittlebau-Dora untuk mengerjakan situs konstruksinya di Mittlewerk. Per 18 Maret 1942, proyek itu rampung dan senjata yang dinamai Aggregat 4 (A-4) itu mulai menjalani serangkaian uji coba walau uji coba yang berhasil baru terjadi tujuh bulan berselang. Misil itu, menukil Michael Neufeld dalam biografi Wernher von Braun: Dreamer of Space, Engineer of War , berbobot 12.500 kg dengan panjang 14 meter dan diameter 1,65 meter. Ia bisa meluncur dengan jarak maksimal 88 km (206 km vertikal) dengan kecepatan 5.760 km/jam berkat tenaga roket yang berisi 3.810 kg etanol dan 4.910 oksigen cair. Baca juga: Tank Gaek Perang Dunia yang Bertahan Hidup Sampai akhir perang, Jerman mampu memproduksi misil ini hingga 5.200 unit. Misil-misil V-2 itu jadi senjata terbaru yang dioperasikan tiga batalyon di kesatuan AD Generalkommando XXX pimpinan Jenderal Artileri Erich Heinemann mulai September 1944, serta SS Werfer-Abteilung 500 di bawah komando Letjen Hans Kammler mulai Oktober 1944. Lantaran saat itu wilayah Jerman sudah intens jadi sasaran bombardir udara Sekutu yang berbasis di Inggris, Hitler menuntut senjata anyar itu diluncurkan sebagai balasan dengan menyasar perkotaan, bukan basis militer. Maka nama misil A-4 kemudian diganti menjadi V-2 ( vergeltungswaffe ) alias senjata balas dendam. Masa-masa teror terdahsyat Hitler dengan V-2 terjadi dalam kurun 12-20 Oktober. Tercatat 3.161 V-2 menyasar kota-kota di Belgia, Inggris, Prancis, dan Belanda. Banyak korban jatuh dari warga sipil. Di London saja mencapai 2.754 jiwa. “Saya merasakan penyesalan mendalam untuk para korban roket V-2, namun selalu ada korban di kedua belah pihak… Perang adalah perang dan ketika negara saya berperang, sudah jadi kewajiban saya berusaha membantu kemenangan peperangan itu,” tutur Von Braun mengenai hasil karyanya yang digunakan Hitler untuk menarget warga-warga sipil, dikutip Neufeld. Warisan Von Braun ini lalu dikembangkan dalam bentuk ICBM dan roket luar angkasa mengingat Von Braun direkrut NASA pasca-perang. Von Braun menggunakan konsep V-2-nya untuk membangun roket Saturn V dalam program Apollo pada 1960-an. Baca juga: Mahasiswa Indonesia dalam Proyek NASA
- Berlindung di dalam Sarung
Selain sebagai komandan batalion di Maospati, Kapten M. Jasin juga menjabat kepala personalia Resimen 31 yang berkedudukan di Madiun. Sedangkan Kapten Soetarto Sigit menjabat kepala seksi intel Resimen 31. "Suatu pengalaman yang menegangkan sekaligus lucu saya alami,"kata Jasin dalam memoarnya, Saya Tidak Pernah Minta Ampun Kepada Soeharto . Jasin menambahkan, "Saya bersama Soetarto Sigit ditemani seorang penghubung berpangkat kopral, berada di wilayah garis demarkasi di daerah Mojokerto. Kami bertiga beristirahat di sebuah warung di tepi jalan raya." Soetarto menyebut tentara penghubung ( renrakukei ) itu bernama Kopral Saimin. Namun, lokasi demarkasinya berbeda dengan Jasin. "Pengalaman yang tidak terlupakan terjadi pada Agustus 1946. Pada waktu itu Pak Jasin dan saya meninjau batalion Resimen 31 yang sedang bertugas di Front Surabaya Barat, tepatnya sekitar Desa Kedamean," kata Soetarto dalam testimoni di memoar Jasin. Garis demarkasi yang biasanya tenang mulai memanas karena suhu politik pertentangan Indonesia-Belanda mendekati titik mendidih. Maklum mendekati peringatan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1946. Pagi itu, Jasin, Soetarto, dan Kopral Saimin mendekati kompi di sebelah barat Desa Kedamean. Tiba-tiba pesawat Belanda terbang rendah di atas Front Barat Kedamean disertai suara gemuruh. "Alangkah terkejutnya kita ketika iring-iringan kendaraan lapis baja pasukan musuh menembus garis demarkasi menyerang kedudukan kita," kata Soetarto. "Secara refleks," kata Jasin, "saya dan Soetarto segera lari menyeberangi jalan yang menjadi batas demarkasi. Kopral penghubung kami masih berada di warung, tidak sempat menyeberang." Namun, menurut Soetarto, dirinya, Jasin, dan Kopral Saimin sempat berlindung di kebun ketela. Kopral Saimin kemudian berusaha mencari hubungan dengan kompi-kompi di seberang jalan. Baru saja ia menyeberang, datang iring-iringan tank dan half-track penuh dengan pasukan Belanda. "Kopral Saimin dengan cepat memasuki sebuah warung yang berada di seberang jalan untuk bersembunyi. Tetapi apa lacur, iring-iringan kendaraan lapis baja musuh berhenti di muka warung tersebut," kata Soetarto. Beberapa serdadu Belanda memasuki warung. "Pak Jasin dan saya hanya bisa melihat dengan hati berdebar-debar menunggu bunyi tembakan yang akan menghabisi nyawa Kopral Saimin," kata Soetarto. Waktu seakan berjalan pelan. Entah apa yang terjadi di dalam warung. Beberapa saat kemudian tentara-tentara Belanda keluar dari warung. Sungguh mengherankan mereka tidakmembawa Kopral Saimin, padahal ia jelas berada di warung dan tak mungkin keluar tanpa diketahuitentara Belanda yang bertebaran di jalan dan sekeliling warung. "Hati kami berdegub keras, sebab kalau kopral itu tertangkap, Belanda-Belanda itu juga akan segera dapat menangkap kami," kata Jasin. Apakah Kopral Saimin telah dibunuh ? Tetapi tidak terdengar letusan senjata. Beberapa tentara Belanda juga memeriksa daerah sekitar warung. Tak lama kemudian komandan mereka memerintahkan untuk memberangkatkan konvoi. Tuhan masih melindungi Kopral Saimin. Menurut Jasin, setelah yakin tank-tankBelanda berada di tempat jauh, "maka kami segera lari ke warung. Bersamaan dengan itu, kopral kami juga muncul dengan wajah pucat." Sedangkan menurut Soetarto, setelah iring-iringan musuh meneruskan penyerbuan ke arah markas batalion, " Kopral Saimin loncat keluar menyeberangjalan untuk bergabung kembali dengan Pak Jasin dan saya." "Bagaimana kamu bisa selamat?" tanya Jasin. "Saya masuk ke dalam kain sarung yang dipakai oleh ibu penjaga warung," kata Kopral Saimin dengan tersipu, sebagaimana diingat Soetarto. Sedangkan yang diingat Jasin, Kopral Saimin memberikan jawaban cukup panjang: "Wah, maaf Kapten, saya tidak sempat lari. Ketika Belanda-Belanda itu masuk warung, saya bersembunyi di dalam kain perempuan pemilik warung tersebut, yang terus diamdan tidak bergerak ketika Belanda menanyainya dan memeriksa warung. Saya selamat bersembunyi di selangkangan perempuan tadi!" Tentu saja, Kopral Saimin harus menahan napas selama bersembunyi di dalam kain itu. Ia pun dapat bernapas lega setelah selamat dari tentara Belanda.
- Ketika Islam dan Hindu Bertemu dalam Sikh
Di Punjab, wilayah India utara yang berbatasan dengan Pakistan, Islam dan Hindu telah bersinggungan sejak abad ke tujuh. Konflik antar kedua agama dan terutama diprakarsai oleh para penguasa juga telah berlangsung sepanjang sejarahnya. Penjajahan dan perang pun merenggut banyak korban. Toleransi beragama di perbatasan anak benua ini sebenarnya sempat terwujud dalam kompromi Islam kepada Hindu melalui para Sufi dan kompromi Hindu kepada Islam dalam gerakan Bhakti. Namun, pada abad ke-16 seorang Guru muncul sebagai jembatan antara dua agama yang kemudian melahirkan agama baru: Sikh. Ajaran Sikh bermula dari Guru Nanak (1469–1539), anak seorang pegawai rendahan di desa dekat Lahore. Sejak kecil, Nanak sudah belajar agama Hindu dan Islam dan seringkali terlibat diskusi dan perdebatan dengan para pengembara suci yang ditemuinya. Keinginan untuk menemukan kebenaran rohani kemudian menuntunnya pada laku pertapa. Ia berpuasa, berdoa, dan bermeditasi. Guru Nanak kemudian berkeliling menyebarkan pemikirannya. Ia mengujungi desa-desa bersama dua kawannya, seorang musisi muslim dan seorang Hindu dari kasta terendah. Ia berkhotbah dalam syair yang dinyanyikan dengan iringan kecapi. “Tak ada Hindu, tak ada muslim,” begitulah pernyataan awal Guru Nanak. Menurut Khushwat Singh dalam The Sikh , pada dasarnya ajaran Guru Nanak adalah perang melawan omong kosong dalam agama. Ia juga memiliki keberanian untuk mengatur hidupnya sesuai dengan ajarannya sendiri. Dua kejadian dapat menggambarkan metode pendekatan Guru Nanak. Pertama, di Sungai Gangga. Para Brahmana biasanya mandi dan melemparkan air ke arah matahari terbit sebagai persembahan bagi leluhur mereka yang sudah mati. Namun, Guru Nanak justru melemparkan air ke arah yang berlawanan. Ketika ditanya, ia menjawab, “Saya menyirami ladang saya di Punjab. Jika Anda dapat melemparkan air ke orang mati di surga, akan lebih mudah untuk mengirimkannya ke tempat lain di bumi.” Kedua, suatu ketika Guru Nanak tertidur dengan kakinya mengarah ke Makkah. Seorang imam marah dan membangunkannya. Ia hanya berkata: “Jika Anda pikir saya menunjukkan rasa tidak hormat dengan mengarahkan kaki saya ke rumah Tuhan, putarlah kaki saya ke arah lain di mana Tuhan tidak tinggal.” “Ajarannya memicu imajinasi petani Punjab dan sejumlah besar pengikut berkumpul di sekelilingnya,” sebut Khushwant. Menurut J.S. Grewal dalam “The Sikh of The Punjab” yang termuat dalam The New Cambridge History of India Volume 2 , Guru Nanak telah melakukan perjalanan di dalam dan luar India selama kuartal pertama abad ke-16. Dalam satu syair, ia menyebut telah mengunjungi kota-kota di “sembilan wilayah bumi” ( nau-khand ). “Hampir tidak ada keraguan bahwa ia mengunjungi pusat-pusat penting ziarah Hindu dan muslim. Ia berdebat dengan para protagonis dari hampir semua sistem kepercayaan dan praktik keagamaan di India kontemporer,” tulis Grewal Pemikiran-pemikiran Guru Nanak tersebar terutama di wilayah Punjab dan kemudian menjadi iman bagi murid-muridnya. Dalam bahasa Sanskerta murid disebut “Shish”. Kata “Shish” inilah yang kemudian menjadi “Sikh”, sebutan bagi pengikut ajaran Guru Nanak. Meski dipuja banyak orang, Guru Nanak bukan tokoh yang membuat klaim keilahian atau kekerabatan dengan Tuhan. Ia merasa cukup hanya sebagai seorang Guru. “Sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk menyatukan umat Hindu dan muslim. Keberhasilan pribadinya ke arah ini luar biasa. Ia diakui oleh kedua komunitas,” tulis Khushwat. Ketika Guru Nanak meninggal, orang muslim ingin menguburnya. Sedangkan orang Hindu menghendakinya dikremasi. Ia telah menjadi titik temu antara orang Hindu dan muslim di Punjab. Setelah kepergian Guru Nanak, misinya dilanjutkan oleh sembilan guru lainnya. Tiap Guru tidak ditentukan oleh hukum waris melainkan dipilih, baik oleh Guru sebelumnya maupun oleh para murid, karena cocok untuk melindungi dan mengembangkan ajaran spiritual yang ditinggalkan oleh Guru Nanak. Selama 200 tahun, para penerus ini menyempurnakan aspek religius Sikhisme. Selama itu pula, naskah-naskah disusun dan kuil-kuil yang disebut Gurdwara didirikan. Guru keempat, Ram Das (1534–1591) meletakan batu pendirian kuil Amritsar yang menjadi kuil Sikh paling penting. Sementara itu, Guru kelima, Arjun (1563–1606) menyelesaikan kompilasi naskah-naskah Sikh dan memasukan tulisan-tulisan orang suci Hindu dan muslim. Kompilasi itu kemudian menjadi Adi Granth, kitab suci orang Sikh. Guru Arjun menarik perhatian penguasa muslim lalu ditangkap, disiksa dan kemudian dieksekusi di Lahore. Ia menjadi martir pertama dan terpenting dalam sejarah Sikh. Pada 1699, Guru kesepuluh sekaligus terakhir, Gobind Singh (1666-1708) mendirikan institusi Khalsa, yang artinya “murni”. Khalsa merupakan tatanan orang-orang Sikh yang setia dan terikat oleh identitas dan disiplin yang sama. Kini orang Sikh telah berdiaspora ke berbagai negara. Per 2018, mengutip worldatlas.com , ada lebih dari 25 juta penganut Sikh di seluruh dunia. Bahkan , Kanada memiliki Menteri Pertahanan Nasional , Harjit Sajjan , yang merupakan seorang Sikh.
- Masjid di Jantung Banyuwangi
RAMADAN kali ini penuh keprihatinan. Akibat virus Covid-19, masjid-masjid yang biasanya penuh sesak orang khusyuk beribadah kini sepi. Hal ini berlaku di seluruh masjid di Indonesia, termasuk di Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi. Pengunjung acara menunggu berbuka puasa, yang dalam bahasa Osing disebut Ngerandu Buko , bisa dihitung dengan jari. Masjid Agung Baiturrahman, yang berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman, memang bangunan paling mencolok di jantung kota Banyuwangi. Bangunan dua lantai ini tampak megah. Kubah-kubahnya menawan. Secara keseluruhan masjid ini memiliki 11 kubah: lima kubah besar dan enam kubah kecil. Kubah besarnya terdiri dari satu kubah utama, dua kubah sayap di utara dan selatan, serta dua kubah berjalan di serambi utara dan selatan. Kubah berjalan? Ya, kubah utama Masjid Agung Baiturrahman dapat digeser atau berjalan secara otomatis; membuka dan menutup. Jika terbuka, sirkulasi udara di dalam ruangan bisa terjaga dan para jamaah pun bisa menikmati pemandangan langit yang indah dari dalam masjid. Masjid Agung Baiturrahman adalah salah satu masjid tua di Indonesia. Ia dibangun seiring perkembangan agama Islam di Blambangan, nama lama untuk Banyuwangi. Masjid Jami’ Medio akhir abad ke-18, situasi di Blambangan belum berangsur normal setelah gejolak Perang Puputan Bayu. Meski Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) sudah menancapkan kukunya, keamanan masih belum stabil. VOC berpikir keras bagaimana menciptakan stabilitas di ujung timur Jawa ini. Atas saran dari Residen Blambangan Hendrik Schophoff, Mas Alit diangkat sebagai bupati Blambangan dengan menyandang gelar Tumenggung Wiraguna I. “Bupati pertama, Mas Alit, orang Blambangan yang ada di Madura itu muslim. Saat diangkat menjadi bupati, dia meminta kepada kompeni untuk mendirikan masjid,” ujar Hasnan Singodimayan, budayawan Banyuwangi dalam sebuah wawancara di akun BTD channel yang tayang di laman YouTube . Mas Alit memindahkan ibukota dari Ulupampang ke Banyuwangi dan mulai membangun kota atas biaya dari VOC. Tata kota dibuat Mas Alit sendiri. Bangunan penting seperti pendopo, pasar, penjara atau kantor polisi, dan masjid dibangun sesuai konsep arsitektur Jawa. “Falsafahnya adalah pendopo mewakili kekuasaan ada di utara. Selatannya pasar. Nah, kalo kamu kerja di pasar, lalu jadi orang baik, silakan ke kanan, ke masjid. Nah kalo kamu orang jahat, suka nipu, maka arahnya ke kiri, ke kantor polisi. Di tengahnya itu lapangan,” terang Hasnan. Menurut Rully Damayanti dan Handinoto dalam “Kawasan ‘Pusat Kota’ dalam Perkembangan Sejarah Perkotaan di Jawa”, dimuat jurnal Dimensi Teknik Arsitektur , Juli 2005, struktur kota semacam itu umum di Jawa pada masa prakolonial hingga abad ke-18, baik di kota pesisir maupun pedalaman. Salah satu yang mendapat perhatian Mas Alit adalah masjid. Dia menyumbangan tanah wakaf untuk pembangunan masjid. Lalu, pada Desember 1773, dimulailah pembangunan sebuah masjid yang sederhana dan berbahan kayu yang disebut Masjid Jami’. Ukurannya tidak besar tapi cukup untuk menampung lebih banyak orang untuk salat berjemaah. Selama lebih dari setengah abad bentuk masjid tak berubah. Sampai akhirnya, pada 1844, masjid dibuat permanen. Menurut Dea Denta Tajwidi dan I Wayan Pardi dalam artikel ‘Dinamika Perkembangan Sejarah Masjid Agung Baiturrahman di Kota Banyuwangi Tahun 1773-2007” di jurnal Santhet April 2018, bentuk bangunan masjid lebih menonjolkan bentuk arsitektur Jawa seperti joglo. Karena beratap joglo, masjid ini dikenal dengan sebutan Masjid Joglo. Bentuk masjid bisa dilihat pada kartu pos yang diterbitkan Impor Mij “Djember” pada 1900-an. Dalam Kota di Djawa Tempo Doeloe , Olivier Johannes Raap mendeskripsikan masjid bergaya rumah joglo berada di belakang pendopo kabupaten. Di sampingnya terdapat sebuah menara rendah beratap oktagonal, “yang lebih mirip menara di Keraton Solo daripada menara masjid.” Raap menduga, gaya arsitektur itu merupakan adaptasi kebudayaan Mataram di wilayah Blambangan. Kondisi masjid pada saat renovasi di era bupati Harwin Wasisto. (Wikipedia). Perubahan Arsitektur Sebenarnya bukan hanya di Banyuwangi. Masjid di Asia Tenggara umumnya beratap tumpang; semakin ke atas semakin kecil dan yang paling atas berbentuk joglo. Kekaisaran Ottoman-lah yang memperkenalkan penggunaan kubah pada masjid kala melancarkan gerakan “pemurnian” Islam. “Lambat-laun kubah menjadi simbol arsitektur Islam paling modern, yang seakan-akan wajib ada pada masjid-masjid baru di Asia Tenggara,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia . Padahal kubah tidak identik dengan Islam. Ia merupakan bagian dari arsitektur lama, yang mulai digunakan secara luas pada abad pertengahan oleh imperium Romawi. Ini dibuktikan dengan keberadaan bangunan Panthenon (kuil) di Kota Roma yang dibangun pada 118 M-128 M oleh Raja Hadria. Kubah juga menghiasi masjid-masjid di Nusantara. Ia populer hingga 1960-an. Masjid Jami’ di Banyuwangi pun ikut terpengaruh. Kala renovasi dilakukan pada 1969-1971, atap masjid berbentuk kubah, dengan bangunan utama tetap mempertahankan bentuk Jawa. Masjid Jami' juga berganti nama menjadi Masjid Agung Baiturrahman. Perubahan kembali dilakukan sesuai konsep arsitektur yang dominan kala itu. Pada renovasi yang lakukan pada 1980-an, selain pelebaran masjid, kubah dibongkar dan atap joglo kembali digunakan. Alasannya, tulis Dea Denta Tajwidi dan I Wayan Pardi, “untuk menonjolkan ciri khas bentuk kearifan lokal masyarakat Osing pada saat itu.” Sejatinya, penggunaan atap joglo tengah digalakkan saat itu. Ini tak lepas dari pengaruh Presiden Soeharto, seorang pengagum nilai-nilai dan tradisi Jawa. Soeharto mendorong pembangunan masjid bergaya tradisional dengan Masjid Agung Demak sebagai prototipe –beratap tumpang tiga susun. Lalu, pascareformasi, Masjid Baiturrahman kembali berbenah. Pada 2005, masjid dipugar. Atap masjid dikembalikan lagi ke bentuk kubah. Lalu bagian bangunan diperkaya dengan ornamen yang menunjukkan ciri khas masyarakat Osing. Mimbar masjid bernuansa asli Banyuwangi dengan ukiran gajah oling , ragam hias atau motif yang diyakini paling tua di Banyuwangi. Deretan jendela tertutup (kaca grafir) di bawah kubah sayap selatan, tengah, dan utara juga dihiasai motif gajah oling . Begitu pula kaca grafir pada krawangan besi hollow yang mengitari semua ruangan masjid. Kini, Masjid Agung Baiturrahman lebih megah dan indah. Ia menjadi pusat kegiataan keagamaan di Kota Banyuwangi. Nuansa sejarah tetap terasa dengan keberadaan makam para bupati Banyuwangi. Untuk rekreasi, terdapat Taman Sri Tanjung –yang diambil dari tokoh Sri Tanjung dalam legenda Banyuwangi, di sisi timur masjid. Masjid ini juga digunakan untuk beragam acara budaya. Termasuk Festival Endog-endogan, acara mengarak ribuan telor setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang masuk dalam agenda Banyuwangi Festival. Untuk tahun 2020, acara dengan nama Festival Maulid dijadwalkan pada 29 Oktober.
- Ramadan Hamka di Penjara
Ramadan 1964 merupakan cobaan berat datang bagi Buya Hamka. Suatu hari, dua petugas polisi datang menyambangi rumahnya. Hamka yang baru saja tiba dari mengisi pengajian di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan dibuat terkejut. Polisi berpakaian preman itu datang membawa surat perintah penahanan, berdasarkan Undang-Undang Antisubversif atau Penpres No.11 dan No.13. Mereka juga menyatakan hendak mengadakan penggeledahan. Seketika suasa menjadi riuh di kediaman Hamka. Tidak ada satupun anggota keluarga yang menyangka kejadian seperti itu akan menimpa kepala keluarganya. Diceritakan putra pertama Hamka, Yusran Rusydi, dalam Buya Hamka: Pribadi dan Martabat , istri Hamka yang ketika itu sedang sakit sampai tidak sadarkan diri setelah melihat Hamka dibawa ke Markas Besar Kepolisian. Baca juga: Hamka dan Maag Berjamaah “Saya lihat ayah merangkul bahu ummi. Kemudian dengan suara hati-hati berbisik, bahwa polisi itu bermaksud menahan, tapi tak lama karena ayah yakin tak bersalah apa-apa,” tuilis Yusran. Situasi Politik Hamka benar-benar dihadapkan dengan situasi yang amat berat. Dia terpaksa menghabiskan ibadah puasa di balik jeruji besi. Namun Hamka tidak sendiri. Sejumlah tokoh lain mendapat perlakuan yang sama. Bahkan ada yang diamankan jauh sebelum Hamka. Situasi politik kala itu rupanya yang menjadi sebab penderitaan Hamka dan keluarganya. Mohammad Hatta pernah menyebut politik Demokrasi Terpimpin yang diterapkan oleh Sukarno pada periode 1960-an ini sebagai sebuah sistem diktator karena anti kritik. Dalam bukunya Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan Menguasai Nusantara , Sri Bintang Pamungkan menyebut banyak tokoh yang menjadi korban pada periode masa tersebut, di antaranya: Sutan Sjahrir, Anak Agung Gde Agung, Mohammad Roem, dan lainnya. Baca juga: Hamka dan Patung Nabi Muhammad “Mereka ditangkap dan bahkan dipenjarakan, serta Masyumi dan PSI menajdi partai-partai terlarang,” tulis Sri Bintang. Menurut Taufik Abdullah, dkk (ed) dalam Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional , alasan diamankannya Hamka oleh pemerintah adalah karena majalah Pandji Masjarakat yang dipimpinnya telah menerbitkan sebuah esai berjudul “Demokrasi Terpimpin” yang berisi kritikan terhadap kekuasaan Sukarno. Di samping itu ada berbagai kecurigaan lainnya. Penantian Panjang Selama hampir sebulan penuh kabar tentang keberadaan Hamka belum juga diperoleh. Pihak keluarga hampir tak memiliki informasi yang jelas di mana sang ayah ditahan. Mereka juga tidak bisa memastikan bagaimana kondisi kesehatannya. Sampai kemudian menjelang Idul Fitri, ada kabar yang menyebut bahwa keluarga diperkenankan bertemu Hamka di Sekolah Kepolisian Sukabumi. “Penantian tanpa kepastian itu menyiksa batin kami. Umi terutama, kecemasannya tak berakhir. Kami menanti dengan gelisah, khawatir Ayah terluka. Kami selalu mengumandangkan doa, agar ayah baik-baik saja,” ungkap Yusran. Setelah berkendaraan dari Jakarta ke Sukabumi, keluarga akhirnya bisa bertemu dengan Hamka. Yusran melihat ayahnya tampak agak kurus dan kulitnya seakan bertambah hitam. Pertemuan itu begitu menggembirakan hati Hamka dan keluarganya. Cukup lama tidak bertemu membuat obrolan ringan pun menjadi penuh makna. Baca juga: Hamka dan Tongkatnya Selama waktu kunjungan tersebut, obrolan mereka diawasi ketat oleh para penjaga di sana. Keluarga Hamka pun dilarang menggunakan bahasa daerah agar seluruh percakapan dapat dipantau. Bahkan ketika obrolan mengarah kepada kondisi Hamka dan kehidupannya di tahanan, para penjaga itu akan segera bereaksi. “Kenapa ayah tampak hitam?” tanya salah seorang anak. “Oh, bapak sekarang berjemur setiap pagi,” seorang polisi dengan sigap memotong pembicaraan. Keluarga hanya bisa terdiam. Para polisi seolah tak mau lepas mengawasi mereka. Begitu waktu berkunjung habis, keluarga berpamitan kepada Hamka. Ketika hendak menjabat tangan dan menicum pipi, Yusran dibisiki oleh Hamka: “Polisi ini sama dengan Gestapo Nazi”. Kata-kata Hamka itu begitu menyayat hati Yusran. Ketakutan keluarga akan perlakuan buruk yang diterima Hamka mungkin saja benar adanya. Sesudah kunjungan pertama itu, beberapa kali keluarga Hamka kembali diberi kesempatan membesuk. Tetapi tempat Hamka ditahan selalu berpindah-pindah. Dari Sukabumi ke Cimacan, kemudian ke Puncak, dan Megamendung. Istri Hamka selalu ikut ketika jadwal membesuk, di mana pun tempatnya. Baca juga: Buya Hamka di Bawah Panji Muhammadiyah Dalam suatu kunjungan ke Cimacan, salah seorang putra Hamka diselipi sepucuk surat oleh Hamka tanpa sepengetahuan polisi. Surat kecil itu rupanya berisi alasan penangkapan Hamka. Dia dituduh mengepalai sekelompok orang, yang didanai Tengku Abdul Rahman, bermaksud membunuh Sukarno. Hamka dituduh memimpin rapat di Tanggerang bersama kawan-kawannya: Gazhali Sahlan, Dalali Umar, dan Kolenel Nasuhi. “Yang mengerikan, ayah terpaksa membuat pengakuan palsu karena menghindari penyiksaan fisik. Selama sebulan ayah diperiksa oleh satu tim polisi dengan sorot lampu, dituding, dihinda, dan diancam supaya mengakui tuduhan. Surat itu kami rahasiakan terhadap umi,” tulis Yusran. Rumah tahanan yang terakhir ditempati Hamka berada di Megamendung. Tetapi tidak lama jika dibandingkan tempat lainnya karena dia dibebaskan bersyarat setelah penyakitnya kambuh di tahanan. Hamka kemudian menjalani perawatan di Rumah Sakit Persahabatan dan dibebaskan setelah kekuasaan beralih ke Orde Baru.
- Kisah Buronan Sekutu
Pasca berakhirnya Perang Dunia II, banyak tentara Jepang yang melakukan desersi. Alih-alih menuruti seruan pimpinan tertingginya, mereka malah bergabung dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia. Menurut peneliti sejarah dari Jepang Aiko Kurasawa, jumlah mereka hampir mendekati 1.500 orang. “Motivasi mereka bermacam-macam, namun sebagian karena takut menghadapi pengadilan perang Sekutu,” ungkap penulis buku Sisi Gelap Perang Asia itu. Baca juga: Cerita Para Desersi Jepang Aiko tidak salah. Setidaknya itu yang menjadi salah satu motivasi Masharo Aoki untuk lari ke Jawa dan bergabung dengan gerilyawan TNI dari unit Pasukan Pangeran Papak (PPP) sejak Maret 1946. Sumber-sumber Belanda menyebut bahwa Aoki tadinya merupakan pimpinan kamp konsentrasi yang bertanggungjawab atas ratusan tawanan Eropa di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). “Dia dikenal sangat kejam, namun beberapa saksi menyebut Aoki justru berlaku fair terhadap orang-orang Eropa yang menjadi tanggungjawabnya di sebuah kamp yang terletak di Flores,” tulis koran Nieuwe Courant , 24 Juni 1949 . Aoki kemudian merubah namanya menjadi Abu Bakar. Dia dikenal sebagai salah satu komandan paling populis di Markas Besar Gerilya Galunggung (MBGG), sebuah unit rahasia yang dibentuk oleh TNI di pegunungan Garut-Tasiklmalaya. Dalam suatu penggerebekan, Aoki berhasil ditangkap militer Belanda di Gunung Dora pada 26 Oktober 1948. Alih-alih diserahkan kepada pihak Sekutu, militer Belanda malah mengadili lelaki Jepang kharismatik itu. Aoki akhirnya ditembak mati di Garut pada 21 Mei 1949. Baca juga: Drama di Gunung Dora Nasib serupa juga dialami oleh Nishida dan Karta (belum jelas benar siapa nama Jepang-nya). Kedua eks tentara Jepang itu menurut sumber-sumber Sekutu yang berhasil digali oleh sejarawan Des Alwi, merupakan bekas algojo-algojo yang bertanggungjawab atas hilangnya nyawa puluhan orang Amerika Serikat, Inggris, Belanda dan Australia di Kamp Ambon, Maluku pada 1943-1945. “Des menceritakan itu langsung kepada saya,” ungkap almarhum Priyatna Abdurrasyid, eks perwira Corps Polisi Tentara (CPT) di Bogor. Menghindari kejaran pihak Sekutu, Nishida dan Karta lantas lari ke Surabaya sekira akhir 1945. Dari Surabaya mereka pergi ke Batavia dan selanjutnya menghindar ke pelosok hingga bergabung dengan Tentara Republik Indonesia (TRI) dari Batalyon II Resimen Bogor pimpinan Mayor A.E. Kawilarang. Baca juga: Mayor Alex dan Harta Karun Jepang Rupanya keberadaan kedua buronan perang itu tercium oleh intelijen Sekutu. Awal April 1946, Detasemen Kejahatan Perang Australia (AWCD) mengirimkan petugasnya yang bernama Squadron Leader Frederick George Birchall untuk meringkus Nishida dan Karta. Demikian menurut pemberitaan koran The Canberra Times , 20 April 1946. Sebelum mendapatkan keduanya, Birchall justru dibunuh duluan oleh Nishida dan Karta dengan bantuan satu kompi TRI pimpinan Letnan Bustomi dari Yon II. Mayat Birchall kemudian dikubur di sebuah kebun dekat Stasiun Maseng, Bogor Selatan. “Dibantu oleh dua warga setempat, saya berhasil menemukan jasadnya dan memberikannya ke pihak Sekutu via pemerintah RI,” ujar Priyatna. Atas permintaan Sekutu, Nishida dan Karta kemudian ditangkap. Dengan mudah mereka kemudian diringkus oleh Polisi Tentara (PT) di markas Yon II. Dalam otobiografi-nya ( Untuk Sang Merah Putih ), A.E. Kawilarang yang saat itu menjabat sebagai komandan batalyon mengaku awalnya keberatan anak buahnya ditangkap begitu saja. Namun karena ada surat perintah langsung dari Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin, Kawilarang tak bisa berbuat apa-apa. Nishida dan Karta lantas diserahkan ke Markas Besar Komandemen Jawa Barat di Purwakarta. Di sana, mereka berdua diperlakukan secara baik, bahkan ditempatkan tidak di sel tahanan. “Kami ditampung bersama kedua Jepang itu di sebuah mess Komandemen,” ujar Priyatna yang ikut mengantar Nishida dan Karta ke Purwakarta. Baca juga: Tewasnya Perwira Australia di Bogor Selanjutnya, Priyatna, yang saat itu berpangkat letnan satu, jadi terlibat lebih akrab dengan kedua Jepang itu. Kepada perwira PT tersebut, Nishida berkisah bagaimana mereka berdua mengikuti nasib terlempar dari satu medan perang ke medang perang lainnya di Asia: mulai Indocina hingga Indonesia. Setelah beberapa hari tinggal bersama kedua tahanan itu, Priyatna akhirnya harus balik ke Bogor. Seiring dengan itu, keluar perintah dari Jakarta kepada Panglima Komandemen Jawa Barat Jenderal Mayor Didi Kartasasmita. “Mereka memerintahkan saya untuk memberangkatkan kedua mantan tentara Jepang itu ke Jakarta,” ungkap Didi Kartsasmita dalam otobiografinya, Pengabdian bagi Kemerdekaan (disusun oleh Tatang Sumarsono). Namun perintah itu tak pernah terlasanakan. Sebelum Kepala Intel Komandemen Jawa Barat Mayor Soeroto Koento menyampaikannya secara langsung kepada Nishida dan Karta, kedua eks tentara Jepang tersebut keburu mati dalam kondisi kepala pecah. Penyebabnya, ledakan granat yang konon mereka lemparkan sendiri ke dinding kamar. Rupanya Nishida dan Karta lebih memilih harakiri daripada harus berdiri sebagai pesakitan di pengadilan militer Sekutu. Baca juga: Desersi Jepang Masa Perang Kemerdekaan
- Sri Tanjung: Kisah Eksorsisme di Ujung Timur Jawa
DENGAN penuh harap Sri Tanjung menanti Sidapaksa pulang. Suaminya telah sepekan pergi ke surga demi menjalankan perintah Prabu Hadikrama. Namun bukannya berbalas rindu, Sri Tanjung justru ketakutan karena suaminya pulang dengan amarah. Menurut Sidapaksa, Raja Sulakrama telah memergoki Sri Tanjung bermesraan dengan laki-laki lain ketika ia bertugas. Sidapaksa tetap tak percaya ketika Sri Tanjung memberitahu bahwa justru Raja Sulakrama yang hendak memperkosanya. Sri Tanjung lalu diajak ke Hutan Setra Gandamayu. Rambutnya ditarik dari belakang. Di tangan kanan suaminya, tergenggam sebilah keris. “Apabila darah saya berbau harum, maka benarlah kalau saya istri yang betul-betul setia kepada suami,” ucap Sri Tanjung sebelum keris sang suami membunuhnya. Darah Sri Tanjung ternyata wangi. Sidapaksa langsung menyadari kesalahannya dan menyesal. Ia menjadi gila, memohon kepada dewa agar istrinya dihidupkan kembali. Jiwa Sri Tanjung ketika itu sudah mencapai alam kematian. Ia telah menyeberangi sungai dibantu seekor buaya putih. Tapi ia bertemu Dewi Durga, yang menghidupkannya kembali usai mendengar kisahnya. Ia dipulangkan ke rumah kakeknya, pertapa Tambapetra. Di sanalah akhirnya ia ditemukan kembali oleh Sidapaksa. Sri Tanjung diminta kembali hidup bersama sang suami. Sri Tanjung yang tadinya malas akhirnya bersedia. Syaratnya Sidapaksa membawakan kepala Raja Sulakrama. Ia akan menjadikannya alas kaki. Syarat itu dipenuhi. Kesumat Sri Tanjung terbalaskan. Sri Tanjung dan Sidapaksa kembali hidup bersama. Begitulah kisah Sri Tanjung yang digubah dalam bentuk kidung dan hadir dalam banyak manuskrip. Salah satu versinya pernah dipentaskan secara teatrikal dalam Banyuwangi Ethno Carnival yang masuk rangkaian Banyuwangi Festival 2016. Masyarakat Banyuwangi percaya kalau Sri Tanjung dan kisahnya benar-benar pernah terjadi. Baca juga: Menak Jingga yang Ganteng Menurut Anis Aminoedin dkk dalam Penelitian Bahasa dan Sastra dalam Naskah Cerita Sri Tanjung di Banyuwangi, sebagaian masyarakat meyakini beberapa tempat di Banyuwangi berkaitan dengan kisah itu. Misalnya daerah Penataban. Wilayah ini dulunya lokasi Sidapaksa natab-natab atau membentur-benturkan kepalanya akibat gila karena membunuh istrinya. Lalu Desa Kramasan dianggap sebagai tempat keramas Sri Tanjung sebelum ia dibunuh. Adapun Desa Tanjung, yang letaknya beberapa kilometer ke arah selatan Kota Banyuwangi, merupakan tempat asal Sri Tanjung. Hingga saat ini pun terdapat sumur yang dikenal luas sebagai Sumur Sri Tanjung di belakang Pendopo Shaba Swagata Blambangan, rumah dinas Bupati Banyuwangi. Menurut masyarakat ini adalah lokasi jasad Sri Tanjung diceburkan setelah dibunuh. Konon, sumber mata air itu mengeluarkan wangi sebagai bukti kesetiaan Sri Tanjung. Itulah yang kemudian dipercayai masyarakat sebagai asal-usul nama Banyuwangi, yaitu " banyu " yang berarti air dan " wangi " yang berarti harum. “Masih ada tempat-tempat lain yang dihubung-hubungkan dengan cerita Sri Tanjung. Karena sangat percayanya, cerita ini dianggap tabu untuk dipentaskan di berbagai media seni, seperti ludruk, ketoprak, atau drama,” catat Anis Aminoedin. Tak cuma di Banyuwangi, cerita Sri Tanjung yang punya banyak versi itu dikenal di beberapa daerah. Kisah ini bahkan sudah lebih dulu populer sejak berabad lalu oleh orang-orang Majapahit. Dari Majapahit ke Banyuwangi Filolog R.M. Ng. Poerbatjaraka dalam Kapustakan Djawi menyebutkan kalau kisah Sri Tanjung juga dikenal di Bali. Sementara Prijono dalam disertasinya Sri Tanjung, Een Oud-Javaansch Verhall mendata ada 22 versi naskah yang berasal dari Bali dan Banyuwangi. Satyawati Suleiman dalam Batur Pendopo Panataran mencatat arkeolog Belanda P.V. van Stein Callenfels pernah menyebut kalau kisah Sri Tanjung bersama Sudamala termasuk dalam kesusastraan Aliran Banyuwangi . Ini merupakan aliran yang menurutnya pernah berkembang pada abad ke-17 dan ke-18, yakni ketika Kerajaan Blambangan belum mengenal Islam. Kisah Sri Tanjung itu berkembang berdasarkan sebuah cerita yang sudah lebih dulu ada pada masa Kerajaan Majapahit. Kerajaan ini, berdasarkan sumber Serat Pararaton , pada masa pemerintahan Kalagemet atau Jayanagara (1309-1328) memperluas kekuasaannya ke bagian timur Jawa, menembus area dari Lumajang hingga ke timur, termasuk Blambangan. Baca juga: Perlawanan Jagapati sebagai Hari Jadi Banyuwangi Pada masa keruntuhan Majapahit abad ke-15, Blambangan berdiri sebagai satu-satunya kerajaan Hindu di Jawa. Ia mengontrol wilayah Ujung Timur Jawa. Wilayah ini kini terbagi dalam lima kabupaten, yakni Banyuwangi, Jember, Lumajang, Bondowoso, dan Situbondo. Pada masa Majapahit, kisah Sri Tanjung ditemukan dalam beberapa relief candi. Antara lain Candi Jabung di Probolinggo yang berangka tahun 1354. Ditemukan pula pada Batur Pendapa Panataran di Blitar yang terdapat angka tahun 1375. Lalu pada dinding Candi Surawana di Kediri yang tak berangka tahun namun diperkirakan dibangun pada 1400 atau 12 tahun setelah kematian Bhre Wengker, paman Raja Hayam Wuruk yang didharmakan di candi ini. Kisah Sri Tanjung dalam relief dikenali dari penggambaran seorang gadis yang duduk di atas seekor ikan besar. Gambar ini mengingatkan pada satu bagian dari cerita versi teks yang menceritakan Sri Tanjung dibawa buaya putih menyeberangi sungai ke alam kematian. “Pada relief-relief di Jawa Timur tak terdapat seekor buaya yang ditumpangi perempuan. Mungkin para pemahat pada waktu itu lebih suka menggambarkan seekor ikan daripada seekor buaya,” kata Satyawati. Baca juga: Keindahan yang Terjaga dari Hutan Tua Sementara Lydia Kieven dalam Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit berasumsi ikan merupakan bagian dari kisah Sri Tanjung versi lisan yang lebih tua, atau mungkin versi tulis yang sudah hilang. Tak menjadi soal kalau cerita pada relief seakan menyimpang dari naskah. Kidung Sri Tanjung ini adalah salah satu cerita yang digubah pada periode Jawa Timur tanpa bergantung pada sumber India. Dari tradisi lisan, cerita ini mewujud dalam penggambaran pada relief. “Harus dipertimbangkan bahwa Indonesia, khususnya Jawa, memiliki tradisi lisan yang kuat. Sampai hari ini, media penyebarluasan lisan masih lebih disukai khalayak luas daripada media tulisan,” katanya. Tradisi lisan inilah yang kemudian membawa kisah Sri Tanjung ke berbagai daerah dengan versi masing-masing. Kata Kieven, fakta adanya beberapa manuskrip yang isinya agak berbeda untuk sejumlah teks Jawa Kuno membuktikan kreativitas dalam mengarang versi baru yang menghasilkan bentuk amat beragam. “Kita dapat menyimpulkan bahwa bahkan ada lebih banyak lagi variasi yang tidak kita ketahui,” ujarnya. Simbol Penyucian Dari semua episode, bagian kisah Sri Tanjung menunggang ikan untuk menyeberang dari alam kehidupan ke kematian selalu dipilih oleh para pemahat relief. Menurut Kieven, ini memperlihatkan kisah Sri Tanjung mungkin berfungsi sebagai pengantar peziarah candi dalam transisi mereka dari ranah duniawi ke ranah suci. Terlebih lagi kisah cinta seperti dalam cerita Sri Tanjung ini, dinilai Kieven, akan memikat para peziarah sebelum mereka menyelami cerita lainnya yang mempunyai makna spiritual lebih kuat. Misalnya pada dinding Candi Surawana. Selain terpahatkan kisah Sri Tanjung, terdapat relief bermuatan kisah Arjunawiwaha . Menurut Kieven, relief Sri Tanjung bisa dianggap sebagai pengantar sebelum pengunjung mendekati relief Arjunawiwaha yang bermuatan lebih filosofis dan sakral. Baca juga: Merawat Kisah Nabi Yusuf Cerita Sri Tanjung bukan cuma menyoal tema percintaan, tetapi ada makna eksorsisme di dalamnya. Kata Kieven, kisah Sri Tanjung sengaja digambarkan dalam relief candi untuk menekankan soal pembebasan spiritual. “Pembebasan jiwa adalah topik utama dalam berbagai pemujaan. Jelas pula merupakan fungsi penting situs-situs keagamaan,” katanya. Hal ini terbukti dari betapa populer kisah itu. Tak heran, selain Sudamala, kisah Sri Tanjung hingga kini sering pula dibawakan dalam tradisi ruwatan di Jawa. Kisah ini dipercaya menjadi simbol melepas segala bentuk perbuatan jelek, malapetaka, hal kotor yang bersifat duniawi menuju kondisi yang kembali suci.*
- Kerusuhan Siswa Tionghoa Singapura, Cara Komunis-Nasionalis Lawan Kolonalis Inggris
HARI ini, 13 Mei, 66 tahun silam. Para siswa di sekolah-sekolah menengah Tionghoa di Singapura berkumpul di Sekolah Chung Cheng, sekolah Tionghoa terbesar di Singapura. “Mereka bermaksud mengajukan petisi kepada Gubernur Singapura Franklin Gimson,” tulis Cheong Suk-wai dalam Sound of Memories, the Recordings from the Oral History Centre, Singapore . Inti petisi mereka yakni menentang ordonansi National Service, aturan wajib militer paruh-waktu kepada pemuda berusia 18-20 tahun. Ordonansi tersebut merupakan salah satu langkah pemulihan yang diambil pemerintah kolonial Inggris untuk mengembalikan kekuasaannya di koloni selepas Perang Dunia II. Dinas wajib itu dilakukan untuk menyiasati masalah pertahanan yang saat itu praktis dipegang oleh militer yang mayoritas kulit putih dan jumlahnya tak seberapa. Padahal, rencana jangka panjang pemerintah kolonial diprioritaskan pada peningkatan kehidupan sosial-ekonomi. Peran-serta masyarakat lokal amat diperlukan. Untuk mencapainya, pemerintah berpijak pada pembangunan pendidikan modern (Barat) berbahasa pengantar Inggris. Perhatian lebih pada pendidikan Barat itu mematikan pendidikan berbahasa daerah (Tionghoa maupun Melayu) dan kemudian memunculkan sentimen negatif di kalangan siswa dan juga guru sekolah-sekolah Tionghoa terhadap pemerintah kolonial. Di sisi lain, banyak dari siswa sekolah Tionghoa sudah memiliki kesadaran akan kemerdekaan. Di antara mereka sudah ada yang menjalin kerjasama dengan gerakan anti-kolonialisme yang diusung Klub Sosialis Univeritas Malaya. Fakta-fakta di luar seperti kemenangan Vietnam atas kolonialis Prancis di Dien Bien Phu atau yang lebih dulu, kemerdekaan Indonesia, makin memacu mereka untuk bergerak menentang kolonialis Inggris demi memerdekakan Singapura. Sentimen para siswa Tionghoa terhadap kolonialis itu bertemu dengan keinginan kaum komunis yang berupaya mengenyahkan kolonialisme. Mereka menganggap para pelajar sebagai potensi “bahan bakar” bagi perjuangan melawan kolonialisme. Selepas dikeluarkannya keadaan darurat di Malaya (Juni 1948) oleh pemerintah kolonial akibat pembunuhan terhadap tiga orang kulit putih yang dilakukan aktivis komunis di bawah Chin Peng di perkebunan, perjuangan kaum komunis terpaksa tiarap. “Pada 1948, pemerintah Singapura juga mengeluarkan Peraturan Darurat, melarang Partai Komunis Malaya (MCP), dan jajaran kepemimpinannya. Dari tahun 1950-1953, kepemimpinan komite dan cabang-cabang distrik di Singapura runtuh, dan organisasi berada dalam keadaan tanpa kemudi. Hanya ada tiga anggota partai tersisa. Mereka adalah Fang Chuang Pi yang bertugas menyebarkan ideologi melalui koran Freedom , Chiam Choon Chian yang bertanggung jawab atas gerakan buruh, dan Ng Meng Chiang yang bertanggung jawab atas gerakan mahasiswa,” tulis buku yang dieditori Kwa Chong Guan dan Kua Bak Lim, A General History of the Chinese in Singapore . Peran Ng Meng Chiang, yang dijuluki Kamerad D, amat vital dalam mengorganisir pelajar. “Pada periode ketika jaringan bawah tanah dihancurkan dan semangat kerja rendah, pemimpin mahasiswa Partai Komunis Malaysia, Ng Meng Chiang, dan editor koran Freedom , Fang Chuang Pi, meluncurkan gerakan massa yang terbuka dan legal untuk mengumpulkan pelajar, pekerja dan petani dari Februari 1954 hingga April 1955, juga dikenal sebagai ‘The Open United Front’,” sambung Guan dan Lim. Di tangan Kamerad D-lah protes-protes terhadap kebijakan kolonialis, terutama yang terkait dengan dunia pendidikan, diorganisir. “Ini termasuk boikot ujian sekolah tahun 1951 karena dianggap ‘konspirasi untuk melemahkan pendidikan Cina’ dengan Lim Chin Siong sebagai salah satu pemimpinnya. Ini diikuti oleh demonstrasi kekerasan Mei 1954 melawan National Service di bawah kepemimpinan Ng Meng Chiang alias Comrade D dan dibantu Lim Hock Koon dan Lim Chin Siong,” tulis Bilveer Singh dalam Quest for Political Power: Communist Subversion and Militancy in Singapore . Maka begitu pemerintah kolonial mengesahkan ordonansi National Service pada Desember 1953, Kamerad D dan para pendukungnya amat senang. Mereka mendapat momentum pas untuk meluncurkan gerakan lagi. “Masalah National Service adalah anugerah bagi MCP (Malayan Communist Party),” tulis Guan dan Lim. Ordonansi itu sendiri mewajibkan semua siswa sekolah dan warga koloni berusia 18-20 tahun untuk ikut pelatihan militer paruh waktu. Mereka yang tak mematuhinya akan dihukum denda atau penjara. Pendaftaran paling akhir dijadwalkan pada 12 Mei 1954. Namun menjelang tenggat berakhir, belum ada satupun dari siswa sekolah-sekolah Tionghoa yang mendaftar meski tim dari pemerintah sudah dua kali dikirim ke sekolah Chung Cheng untuk membagikan formulir pendaftaran. “Para siswa di sekolah-sekolah menengah Cina menolak seruan tersebut yang dianggapnya sebagai cara lain Inggris untuk melemahkan kekuatan peluang pendidikan dan karier mereka,” tulis Cheong Suk-wai dalam Sound of Memories, the Recordings from the Oral History Centre, Singapore . Tak adanya pendaftar dari pelajar Tionghoa mendorong Kepala Sekretaris William Goode melakukan pertemuan dengan perwakilan Serikat Siswa Sekolah Menengah Tionghoa pada 13 Mei. Karena jadwal pertemuan sudah diketahui luas, sekira seribu pelajar Tionghoa yang sedang mengikuti kompetisi olahraga di Stadion Jalan Besar bergeser ke tempat pertemuan Goode, berjarak sekitar 30 menit berjalan kaki, sebagai bentuk dukungan kepada perwakilan pelajar Tionghoa. Di tengah penantian mereka terhadap hasil perundingan itulah hal tak terduga terjadi. Entah siapa yang memulai. “Semuanya berubah menjadi kekacaun saat mereka bentrok dengan polisi anti-huru-hara,” sambung Cheong Suk-wai. Meski tak ada korban jiwa, lebih dari 20 orang dari kedua belah pihak mengalami luka-luka. Pemerintah kolonial menahan lebih dari 50 orang yang dianggap terlibat dalam kerusuhan. Lee Kuan Yew, pengacara yang kemudian menjadi “Bapak pendiri Singapura”, membela para pimpinan pelajar di pengadilan. “Saat ia membantu pembelaan hukum para siswa yang ditangkap, Lee Kuan Yew memiliki kesempatan untuk masuk ke kalangan pendidikan Tiongkok. Dia melihat dan mengalami langsung semangat juang, cita-cita politik, dan tekad untuk menggulingkan kolonialisme di kalangan mahasiswa Tiongkok. Untuk membangun Malaya yang demokratis, anti-Komunis, sosialis, Lee Kuan Yew memutuskan untuk membasmi para elit kelompok untuk membantunya mendapatkan dukungan dari para siswa yang berpendidikan Cina. Dia percaya bahwa dia dapat memenangkan para aktivis Tiongkok berpendidikan untuk mendukung tujuannya untuk pemerintahan sendiri dan kemerdekaan. Insiden 13 Mei memberi Lee Kuan Yew pengantar ke kalangan berpendidikan Cina,” tulis Guan dan Lim.*
- Penghormatan dari Para Pemetik Laut
PULUHAN perahu nelayan beraneka motif dan warna mengarungi Laut Muncar. Di sebuah lokasi berair tenang di Plawangan, iring-iringan perahu berhenti. Dengan dipimpin sesepuh nelayan, githik (perahu kecil) berisikan berbagai sesaji dan hasil bumi dilarung ke tengah laut. Para nelayan sontak menceburkan diri ke laut, berebut mendapatkan sesaji. Ada juga yang menyiramkan air yang dilewati sesaji ke seluruh badan perahu. Mereka percaya air ini menjadi pembersih malapetaka sekaligus limpahan berkah ketika melaut nanti. Dari Plawangan, iring-iringan perahu bergerak menuju Tanjung Sembulungan yang terletak di kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Di tempat ini nelayan kembali melarung sesaji untuk penunggu Tanjung Sembulungan. Setelah itu ritual dilanjutkan ziarah ke makam Sayid Yusuf, orang pertama yang diyakini membuka lokasi Tanjung Sembulungan. Ritual diakhiri dengan selamatan dan doa bersama. Kemudian dilanjutkan menikmati tari gandrung dengan gending-gending klasik suku Osing hingga sore hari. Upacara Petik Laut rutin digelar setiap tahun oleh para nelayan di kawasan Muncar, sekitar 30 km meter dari kota Banyuwangi, Jawa Timur. Biasanya setiap 15 Muharram/Suro penanggalan Jawa. Upacara Petik Laut bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil tangkapan ikan yang melimpah sekaligus permohonan agar selalu mendapatkan keselamatan (tolak bala). Kosmologi Pesisir Muncar adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Dengan wilayah berada di pesisir pantai, tak heran mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan. Di Muncar terdapat pelabuhan penghasil ikan terbesar di Jawa dan terbesar kedua di Indonesia setelah Bagansiapiapi, Riau. Pelabuhan ini sudah ada sejak masa Kerajaan Blambangan. Muncar didiami nelayan dari beragam etnis. Orang Madura, Bugis, dan Mandar datang dan menyatu dengan penduduk Jawa dan Osing. Mereka juga memperkenalkan agama Islam dan mengadaptasi budaya-budaya lokal. Dari sinilah lahir tradisi Petik Laut. Tradisi lisan meyakini ritual Petik Laut berkembang setelah kehadiran orang Madura di Banyuwangi. Konon, ritual ini sudah diadakan nelayan Muncar sejak 1901 dengan dipimpin seorang dukun. Ritual ini dikaitkan dengan kepercayaan bahwa laut dan segala isinya ada yang menjaga. Nelayan dapat selamat dan memperoleh ikan karena izin dari penjaga laut, yakni Nyi Roro Kidul. Baca juga: Ikan-ikan dari Muncar Selain Nyi Roro Kidul, ada tokoh supranatural lainnya yang justru dianggap paling penting dalam ritual ini. Ia adalah Ratu Rejo Mino, yang dalam kepercayaan Wong Osing dianggap sebagai “Ratu Ikan”. “Ratu Rejo Mino ( the lesser spirit ) sebagai ratu penguasa ikan-ikan di laut memiliki kekuasaan untuk melimpahkan ikan atau tidak,” tulis Nur Ainiyah dalam “Islam, Osing dalam Bingkai Tradisi dan Kosmologi: Studi Nelayan Kedungrejo-Banyuwangi”, dimuat jurnal Lisan Al-Hal , Desember 2016. Dalam artikel lain berjudul “Petik Laut”, dimuat jurnal Religia Vol. 20, No.2, 2017, Nur Ainiyah mengaitkan ritual Petik Laut dengan sebuah legenda. Dalam kitab Marsodo Mancing , ada kisah dua bersaudara yang memancing dengan kail emas dan berhasil menangkap Ratu Rejo Mino. Dalam dialog , Sang Ratu mengatakan bahwa dia akan memberikan banyak ikan jika setiap Muharrom masyarakat melakukan ritual laut. Versi lain menyebut ritual Petik Laut dimulai dengan kedatangan seorang nelayan dari Timor yang bernama Sayid Yusuf ke Muncar, bersamaan waktunya dengan penyebaran agama Islam di Blambangan. Baca juga: Di Balik Ritual Keboan Sayid Yusuf dikenal sebagai orang yang “pandai” dan suka membantu masyarakat sekitar. Suatu ketika ikan-ikan di laut Muncar seolah menghilang. Ditambah lagi, banyak nelayan menemui ajal oleh ganasnya ombak. Untuk mengusir petaka itu, Sayid mengajak masyarakat untuk melakukan upacara, memohon kepada Yang Kuasa, dengan menyertakan kesenian gandrung yang disukainya. Setelah upacara itu malapetaka pun sirna. Sejak itulah upacara Petik Laut diadakan setiap tahun. Sayid Yusuf dimakamkan di Tanjung Sembulungan dan masih dikeramatkan sebagian masyarakat nelayan Muncar. Tempat ini pula yang hingga kini menjadi lokasi terakhir dari rangkaian kegiatan upacara Petik Laut. Di Tanjung Sembulungan pula terdapat dua makam penari gandrung yang diziarahi nelayan dalam ritual Petik Laut. Cerita tutur menyebut Sayid Yusuf menyukai kesenian gandrung. Dia juga mencintai seorang penari gandrung. Bahkan ada yang menyebut orang Osing menikahkan Sayid Yusuf dengan penari gandrung yang cantik. Hingga suatu ketika penari tersebut meninggal dan dimakamkan di dekat pantai Tanjung Sembulungan. Festival Petik Laut Muncar di Pelabuhan Muncar, Banyuwangi, Minggu, 16 Oktober 2016. (Dok. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi). Cerita tutur lainnya menyebutkan, saat ritual Petik Laut pertama kali digelar di Tanjung Sembulungan, seorang penari gandrung meninggal dan dimakamkan di pinggir pantai. “Sejak itu, Petik Laut wajib menghadirkan penari gandrung,” tulis Farah N. Azizah dan Turyati dalam “Gandrung dalam Upacara Ritual Petik Laut di Pantai Muncar Kabupaten Banyuwangi”, dimuat jurnal seni Makalangan , Juni 2014. Setelah ritual dipraktikkan turun-temurun, arus perubahan terjadi seiring menguatnya pengaruh kiai dan kalangan pesantren di daerah Muncar. “Ritual Petik Laut yang semula hanya merupakan ritual kecil para nelayan dan masih terpengaruh kuat dengan animisme dan dinamisme, kemudian berkembang menjadi ritual besar yang banyak dihiasi unsur-unsur Islam,” tulis Eko Setiawan dalam “Eksistensi Budaya Bahari Tradisi Petik Laut di Muncar Banyuwangi”, dimuat jurnal Universum , Juli 2016. Baca juga: Selera Naga Sejuta Rasa Nur Ainiyah menyebut objek penting lain dari persembahan dalam ritual Petik Laut, yakni Nabi Hidir. Nabi Hidir secara historis dijelaskan dalam Alquran, bahwa ia hidup abadi sampai akhir zaman dan hidupnya di laut atau di pantai. Masyarakat nelayan Islam Desa Kedungrejo, Kecamatan Muncar, meyakini bahwa laut dan isinya dijaga Nabi Hidir. Mereka berharap bisa bertemu agar bisa mengubah nasib. “Hal ini cukup beralasan karena Nabi Hidir adalah sosok suci yang setiap permintaannya dikabulkan oleh Allah,” tulis Nur Ainiyah. Maka, jadilah ritual Petik Laut sebagai bentuk akomodasi dari tradisi lokal dan Islam di kalangan nelayan yang menjadi satu bingkai kosmologi pesisir. Wahana Pariwisata Upacara Petik Laut memiliki rangkaian kegiatan yang penting. Ritual dimulai dari pembuatan sesaji oleh sesepuh nelayan. Sesaji terdiri dari berbagai macam; dari pancing emas hingga pisang raja, dari segala jenis buah hingga aneka jajan pasar. Salah satu sesaji yang sangat penting adalah kepala kambing kendit, yaitu kambing hitam dengan bulu putih melingkar dari perut sampai punggung. Pemakaian kambing kendit dan sejumlah sesaji itu meniru cara Sayid Yusuf. Masing-masing punya makna. Misalnya, w arna kambing hitam dan putih melambangkan sifat baik dan buruk manusia. Pancing emas disimbolkan sebagai pengingat para nelayan bahwa bekerja di lautan itu senilai emas, perlu pengorbanan, demi menghidupi keluarga. Pada malam hari sebelum pelaksanaan Petik Laut, masyarakat menggelar pengajian atau semaan di sejumlah surau dan rumah warga. Baca juga: Sajian dari Beragam Pasar Kuliner Menjelang siang, sesaji diarak keliling kampung ( ider bumi ) menuju tempat pelelangan ikan (TPI). Setiba di TPI, sesaji disambut enam penari gandrung. Setelah dibacakan doa oleh sesepuh nelayan, sesaji diarak menuju perahu. Dimulailah prosesi upacara melarung sesaji di lautan. Ritual Petik Laut masih bertahan hingga kini. Selain tujuannya sebagai ungkapan syukur sekaligus tolak bala, ritual Petik Laut merupakan bentuk penghormatan nelayan lokal terhadap laut. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memberikan dukungan agar kearifan lokal tersebut tetap terjaga. Selain itu, kegiatan Petik Laut bisa menjadi wahana pariwisata. Salah satunya dengan mengemas tradisi tersebut menjadi bagian dalam agenda wisata tahunan Banyuwangi Festival. Untuk tahun 2020, Petik Laut Muncar dijadwalkan digelar 3 September 2020.
- Pertemuan Terakhir Sukarno dan Abdurachim
ABDURACHIM seorang guru spiritual berasal dari Banten. Ia memiliki tempat penyembuhan bernama Darul Annam di Petojo Selatan, Jakarta. Pada 1937, ia berkenalan dengan dr. Soeharto saat mengobati pasien. Mereka kemudian menjadi akrab. Pada 1942, Soeharto menjadi dokter pribadi Sukarno dan Mohammad Hatta. Ia memperkenalkan Abdurachim kepada Sukarno. Abdurachim pun menjadi salah satu guru spiritual Sukarno sampai akhir hayatnya. Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, Sukarno jatuh dari kekuasaannya. Pertanggungjawabannya ditolak MPRS. Rezim Orde Baru menjadikan Sukarno yang sakit sebagai tahanan kota kemudian tahanan rumah. Howard Palfrey Jones, duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, dalam memoarnya, Indonesia: The Possible Dream, mengaku mengenal beberapa tokoh agama yang memiliki spiritual yang dalam dan berdedikasi, seperti Abdurachim, yang dikenal selama bertahun-tahun sebagai penasihat spiritual Sukarno, dan dihargai karena menyembuhkan ratusan orang. Pada 10 Februari 1967, Sukarno meminta Soeharto menemui Abdurachim. Sudah beberapa bulan Abdurachim sakit, sukar berjalan. Sebelumnya, Soeharto sempat menengoknya dan diizinkan masuk ke kamar tidurnya. "Jangan cemas dan bersusah hati, Dik," kata Abdurachim. "Apa yang saya alami ini adalah ujian. Dan saya menerimanya dengan penuh kesabaran." Ketika Soeharto datang membawa pesan Sukarno, Abdurachim sedang berbaring di tempat tidur. Ia duduk sendiri tanpa dibantu. Namun, kalau berjalan harus dibantu. "Saya diminta oleh Bung Karno supaya menemui Kakak," kata Soeharto dalam memoarnya, Saksi Sejarah . "Sebaiknya saya langsung bertemu dengan Bung Karno di tempatnya. Atur saja," kata Abdurachim. "Bisa, Kak?" tanya Soeharto. "Insyaallah," jawab Abdurachim. "Ingatlah, Dik, saya juga lahir pada tanggal 6 Juni 1901, sama dengan Bung Karno. Meskipun jarang bertemu, tapi saya merasa kami berdua seolah-olah saudara kembar. Saya senang jika ia senang, saya sedih jika ia sedih." Abdurachim melanjutkan, "Saya masih ingat akan peristiwa pada akhir Agustus 1945 dulu, ketika tengah malam mengantarkan Dik Harto atas nama Bung Karno menghadap Ndoro Sosrokartono di Bandung. Dengan Ndoro Sosro saya pun mempunyai hubungan batin yang akrab." Soeharto mengatur pertemuan Abdurachim dan Sukarno masih di bulan Februari 1967, sekira pukul 10:00 pagi di guest house istana. Soeharto menjemput Abdurachim dari rumahnya. Ia memapahnya karena susah berjalan. Mereka berbicara di salah satu kamar guest house istana. Ketika pembicaraan meningkat serius, Soeharto pergi keluar kamar meninggalkan mereka. Ia masuk lagi ke kamar sekitar pukul 11.30 karena Abdurachim ingin pulang sebelum zuhur. Begitu membuka pintu kamar, ia menyaksikan adegan mengharukan: Sukarno berhadapan dengan Abdurachim , kedua tangannya memegang pundak Abdurachim, sambil mencucurkan air mata. Ketika berpisah, Soeharto mendengar Sukarno berkata, "Baiklah Kak, saya akan bertobat." Dalam perjalanan pulang, Abdurachim berdiam diri. Ia tak mengungkapkan isi pembicaraannya dengan Sukarno. Soeharto pun tak menanyakannya. Namun, Soeharto berkesimpulan Abdurachim dapat meyakinkan Sukarno untuk bertobat, mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pertemuan Abdurachim dan Sukarno ternyata yang terakhir. Abdurachim meninggal dunia pada 28 Maret 1967, lebih dulu dari Sukarno. Ia dimakamkan di desa kelahirannya di Banten. Sementara itu, Jones menyebut ketika Sukarno berbelok ke kiri, ia tidak lagi berkonsultasi dengan Abdurachim. Saat terakhir dalam keadaan sakit, Abdurachim meminta bertemu Sukarno. "Ia memberi tahu presiden bahwa ia mengambil jalan yang salah. Ia mendesaknya agar berpaling dari komunisme dan bekerja sama dengan Jenderal Soeharto dan Nasution. Sukarno menolak dan tetap pada jalan yang menjatuhkannya," kata Jones. Setelah berhenti sebagai menteri dan dokter presiden, Soeharto mendapat izin mengunjungi dan memeriksa Sukarno di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Kesehatannya sudah sangat menurun. Ketika Soeharto minta diri, Sukarno berkata, "Sampaikan salamku kepada teman-teman, terutama Kakak Abdurachim." Soeharto tidak memberitahu Sukarno kalau Abdurachim sudah meninggal dunia. Soeharto pulang dengan sedih. Namun, ia yakin Sukarno mantap untuk bertobat. "Saya yakin pula bahwa ia kemudian meninggal dalam Islam," kata Soeharto.*
- Narasi di Balik Jersey Legendaris Magic Johnson
PUBLIK basket Amerika Serikat dihebohkan oleh lelang sepasang sepatu langka Nike Air Jordan edisi pertama. Sepatu yang dimaksud adalah sepasang sepatu yang pernah dipakai legenda NBA Michael Jordan pada musim 1985. Sepatu milik Jordan Geller, pendiri museum sepatu Shoezeum di Las Vegas, itu dilempar ke Balai Lelang Sotheby hingga 17 Mei 2020 dalam rangka pemutaran episode pamungkas serial dokumenter Michael Jordan bertajuk The Last Dance . Nun jauh di seberang, publik basket di tanah air dihebohkan dengan bakal dilelangnya sebuah jersey asli milik Earvin ‘Magic’ Johnson. Pelelangan jersey Magic Johnson milik Ary Sudarsono itu dalam rangka kepedulian penanggulangan pandemi SARS-Cov-2 (virus corona ). Dalam live Instagram yang diprakarsai komunitas Manusia Basket Indonesia pada Minggu (10/5/2020), Ary memaparkan bahwa jersey LA Lakers berwarna ungu bernomor punggung 32 itu pemberian Magic Johnson. Ia dilelang via daring di akun Instagram (@sudarsonoary) dan Facebook -nya dalam kurun 12-23 Mei 2020 setiap pukul 08.00-23.00 WIB. Ia membuka harga Rp5 juta dan setiap peserta lelang bisa mengajukan tawarannya lewat kolom komentar di dua akun medsosnya itu. Baca juga: Salam Olahraga! Apa Kabar Ary Sudarsono? Jersey Magic Johnson milik Ary Sudarsono yang dilelang (Foto: Instagram @sudarsonoary) Uang hasil bidding itu nantinya bisa disumbangkan si pemenang lelang ke instansi atau pihak manapun yang dikehendakinya dalam bentuk bantuan langsung, baik berupa alat pelindung diri (APD) atau sembako. Ary hanya meminta bukti foto penyaluran sumbangannya maupun bukti transfer senilai tawaran tertinggi. "Apa yang saya lakukan atas nama komunitas Manusia Basket Indonesia ingin menyampaikan, bahwa basket itu bukan hanya olahraga, pertandingan atau sekedar bermain saja. Tapi basket itu gambaran tentang sportivitas, kesetiakawanan dalam kehidupan, bagaimana manusia memainkan perannya masing-masing baik secara individu ataupun kelompok, menjadi kepedulian untuk hasil terbaik bagi kelompoknya,” ujar Ary dalam live Instagram -nya. Kenangan Berharga Antara Ary punya cerita panjang tentang Magic Johnson. Pertemuannya pertamakali terjadi di Amerika pada 1991. Pertemuan bermula dari ketika sang mantan pebasket, wasit basket internasional, dan presenter olahraga beken itu berupaya mendatangkan tayangan NBA ke Indonesia. Ketika itu, Ary tengah gelisah karena targetnya membawa tayangan premium NBA tak menemui hasil lantaran negosiasinya dengan Komisioner NBA David Stern stag. Namun, pada akhirnya Ary sukses membawa tayangan NBA yang kemudian disiarkan RCTI itu di tahun yang sama. Keberhasilan itu berkat pertemuan tak sengaja dengan Magic Johnson dan bantuan morilnya. Ketika Ary tengah makan siang usai negosiasi alot dengan pihak NBA di New York, ia bertemu Johnson yang hendak nge - gym . Baca juga: Jungkir Balik Mengimpor NBA ke Indonesia Kolase Ary Sudarsono bersama Earvin 'Magic Johnson Jr. (kiri) & Julius Winfield 'Dr. J' Erving II (Foto: Instagram @sudarsonoary) Johnson bersimpati atas upaya Ary mendongkrak pamor basket di sebuah negeri Asia Tenggara yang mungkin belum pernah didengar Johnson. Tetapi karena keterbatasan waktu, Johnson meminta Ary mengontaknya di lain hari. Janji itu ditepati Johnson. Beberapa hari berselang, Ary diajak menonton laga Boston Celtics vs LA Lakers dan dikenalkan pula dengan legenda NBA Julius ‘Dr. J’. Erving. Jejaring Ary di NBA meluas. Komunikasi dan negosiasi lanjutan dengan pihak NBA pun jadi lebih moncer. Dua tahun berselang, Ary bertemu lagi dengan Johnson. Pada pertemuan kedua di tahun 1993 itulah Ary dihadiahi jersey LA Lakers bertandatangan Johnson yang belum terpakai. “ Jersey itu dari tahun 1993 saat saya bertemu untuk bicara soal tayangan NBA di Indonesia dan perkembangan minat basket di Indonesia. Sekaligus penjajakan untuk undang dia ke Indonesia,” tutur Ary ketika dihubungi lebih lanjut oleh Historia . “ Jersey -nya memang dipersiapkan oleh Magic Johnson untuk saya. Itu satu set. Ada bola, topi, syal, dan jersey. Bolanya sudah rusak karena kelamaan didiamkan di lemari. Tanda tangannya juga sudah tipis karena kelamaan tersimpan pula,” sambungnya. Baca juga: Ary Sudarsono " Mr. Golden Whistle " Jersey orisinil LA Lakers pemberian Magic Johnson yang diharapkan bisa terlelang dengan harga tinggi (Foto: Instagram @sudarsonoary) Selang empat tahun, Ary pun sukses mendatangkan sang legenda beserta beberapa pebasket NBA lain ke Jakarta dalam tim Magic Johnson All Stars. Di tim itu, Johnson bermain menghadapi tim Satria Muda dan Indonesia Texmaco pada Januari 1997. “Bangga dan bahagia bisa main lawan Magic Johnson. Istimewanya, cuma 20 orang Indonesia yang bisa langsung lawan Magic dan kebetulan saya salah satunya, sekaligus ditugaskan untuk menjaga dia,” kata Wahyu Widayat, mantan pebasket Satria Muda, mengenang laga melawan Magic Johnson 23 tahun silam itu. “Saya sebagai insan basket wajib mendukung apapun itu yang dilakukan orang-orang atau berbagai komunitas, termasuk Manusia Basket Indonesia yang bertujuan mulia untuk berbagi kebaikan. Apalagi jersey yang dilelang itu kelasnya legenda NBA. Semoga terjual dengan nilai yang pantas,” tambah asisten pelatih timnas basket putra tersebut. Bagaimana keberhasilan Ary mendatangkan Magic Johnson itu, Ary punya kisahnya tersendiri. Menurutnya, “Negosiasi mendatangkannya? Kita ngobrol biasa saja. Cuma ada kesamaan pola pikir. Bagaimana menjadikan basket tidak hanya bermain atau bertanding, tetapi jadi media untuk membangun kesamaan, kepedulian, sportivitas, dan sportsmanship . Semua itu jadi bekal hidup manusia dalam kehidupan di luar basket. Bahwa basket adalah pendidikan,” kata Ary menutup obrolan. Baca juga: Cerita Sandiaga yang Mengidolakan Magic Johnson
- Gelar Khalifatullah untuk Raja Yogya
Raja trah Mataram Islam semula bergelar Panembahan, Sunan atau Susuhunan. Gelar Khalifatullah kemudian dipakai oleh raja dari Kesultanan Yogyakarta.






















