top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Amuk Ratu Adil di Oude Hospitaalweg

    Kabut pagi masih tertinggal di Bandung, ketika sekelompok serdadu bersenjata lengkap memenuhi jalanan utama. Mereka yang datang dari arah Cimahi itu lantas menyebar dalam formasi tempur. Sebagian terlihat berlindung di balik pohon-pohon besar di pinggir jalan. Sebagian yang lain mengokang senjatanya di sela tembok-tembok gedung. Satya Graha masih ingat dia baru saja keluar dari rumah saat seorang prajurit TNI berpangkat kopral ditembak mati di depan Hotel Preanger. Kendati di sekitarnya ada beberapa polisi, namun mereka sama sekali tak bertindak. “Malah saya lihat mereka tertawa-tawa bersama serdadu-serdadu pembunuh itu,”kenang Satya, eks wartawan Soeloeh Indonesia . Sementara itu di Oude Hospitaalweg (sekarang Jalan Lembong), para serdadu yang belakangan diketahui berasal dari Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) itu melakukan gerakan mengepung Markas Besar Divisi Siliwangi. Jarum jam menunjukan angka 9, kala mereka memulai tembakan pembuka dari arah parit-parit seberang jalan yang langsung berhadapan dengan markas Siliwangi. “Kami jadi gugup dan berlarian ke sana ke mari di ruangan tamu,” ujar Letnan Kolonel R.Soetoko, Wakil Kepala Staf Divisi Siliwangi  dalam buku Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (otobigrafi Kolonel Purnawirawan Mohamad Rivai). Namun hadirnya para perwira yang sudah makan asam garam pertempuran (seperti Letnan Kolonel Abimanyu dan Mayor Mashudi) di ruangan itu menjadikan situasi cepat terkendali. Dengan cara berpindah-pindah tempat, mereka bisa melakukan perlawanan melalui jendela-jendela yang ada di gedung tersebut. “Para pengawal berhasil opstelling (membangun kubu) sekitar markas sambil melepaskan tembakan-tembakan gencar ke arah gerombolan APRA,”kenang Soetoko. Dengan sepucuk Sten di tangan, Soetoko sendiri menembak terus menerus secara mengitar. Hamburan peluru dari senjatanya membuat para penyerbu lintang pukang dan tak berani mengangkat kepala mereka di dalam parit itu. Kendati sempat diimbangi, amuk para Ratu Adil itu akhirnya tak terbendung. Sebagai perwira yang jabatannya paling tinggi, Soetoko lantas memerintahkan para prajurit dan perwira yang sudah kehabisan peluru untuk meloloskan diri dengan cara melompati tembok belakang markas. Kehabisan peluru, Soetoko lantas menggunakan sepucuk pistol untuk melakukan perlawanan. Dalam posisi ditembaki, tetiba dilihatnya Mayor Mashudi masuk ke ruangan dengan membawa hower Sten penuh berisi peluru. Tanpa banyak basa-basi, dia meminta hower tersebut dan memasangnya di Sten yang masih tergeletak di dekatnya. Perlawanan pun berlangsung kembali. Sadar jumlah mereka yang hanya berlimabelas tidak seimbang dengan ratusan para penyerbu, Soetoko memutuskan untuk meninggalkan markas. Dalam pertempuran itu, telah gugur seorang prajurit Siliwangi sedangkan 14 lain-nya berhasil lolos. Begitu tak terdengar lagi tembakan dari kubu Siliwangi, pasukan APRA yang terdiri dari unit Korps Pasukan Khusus (KST), Polisi Belanda, KNIL dan Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KL) langsung merangsek. Secara brutal, anak buah Kapten R.P.P. Westerling itu menembaki setiap ruangan. “Mereka juga merampas uang yang ada, yakni gaji para prajurit TNI dari Divisi Siliwangi yang pertama kali akan dibayarkan,” tulis A.H. Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid II: Kenangan Masa Gerilya. Malang bagi Kepala Pendidikan Angkatan Darat Letnan Kolonel A.G. Lembong dan ajudannya Letnan Satu Leo Kailola. Mereka yang tidak mengetahui sama sekali Markas Besar Divisi Siliwangi sudah dikuasai musuh tanpa curiga memasuki halaman gedung tersebut. Namun sebelum memasuki halaman markas, para prajurit APRA langsung memberondong mobil yang ditumpangi keduanya dengan ratusan peluru. Keduanya langsung tewas seketika dalam kondisi luka sangat parah. Bahkan tidak puas hanya dengan menghantam Lembong dan Kailola dengan siraman peluru, para prajurit APRA secara keji merusak wajah keduanya dengan klewang dan bayonet.

  • Aksi Sadis Westerling di Medan

    Ratusan parasut tampak mengembang di langit kota Medan. Sekira satu kompi pasukan yang diterjunkan dari Malaka mendarat di lapangan terbang Polonia. Bersama mereka didrop pula 180 pucuk senjata revolver. “Pendropan itu kebetulan saya lihat langsung bersama teman-teman saya yang dahulu menjadi Gyugun lapangan terbang Polonia, Medan,” tutur Letkol (Purn) Burhanuddin kepada Edisaputra dalam Sumatera Dalam Perang Kemerdekaan . “Sayangnya kami tidak tahu siapa yang mendarat itu, tapi pendropan senjata secara jelas kami ketahui karena petinya pecah sewaktu jatuh ke bumi.” Sebagaimana tercatat dalam Medan Area Mengisi Proklamsi  yang disusun tim Biro Sejarah Prima, pendaratan pasukan penerjun yang dikerahkan Sekutu itu berlangsung pada 14 September 1945. Komandan pasukan tersebut ialah Letnan Raymond Westerling. Kedatangan Westerling telah dinanti oleh Letnan Brondgeest, seorang perwira Angkatan Laut Belanda yang memimpin Unit IV pasukan Anglo Dutch Country Section (ADCS). Mereka berkolaborasi menegakan kekuasaan Belanda di wilayah Sumatra Timur yang kaya akan hasil perkebunan. Brondgeest bertugas mengurusi organisasi pemerintahan sedangkan Westerling menyusun pasukan. Dalam waktu singkat, Westerling dapat membentuk sepasukan polisi berkekuatan 200 orang. Mereka terdiri dari orang Belanda, Indo-Belanda, dan orang pribumi dari Ambon dan Manado jebolan tentara KNIL. Di Medan, Westerling menjadi kepala dinas intelijen Belanda. Dari markasnya yang terletak di Hotel de Boer (kini Hotel Dharma Deli), Westerling memegang jaringan intelijen untuk setengah pulau Sumatra. Dalam menjalankan tugasnya, Westerling kerap kali bertindak bengis. Seorang opsir Inggris pernah menulis tentang kekejaman Westerling yang di luar nalar. Ketika sedang asyik minum kopi di pemondokannya, Westerling memperlihatkan kepala seorang Indonesia dari dalam keranjang sampah. Dengan santai Westerling menceritakan kepala itu milik seorang "ekstrimis" Indonesia yang berhasil dibuntutinya.     Westerling memburunya dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Dengan mengenakan topeng, dia menyusup ke rumah orang Indonesia yang dianggapnya sebagai pengacau tersebut. Di sudut kamar, Westerling bersembunyi dan menunggui buronannya tadi pulang. Setibanya masuk ke kamar, si pemilik rumah membeku ketakutan. Westerling meringkusnya dan menyampaikan bahwa malam itu adalah hari terakhirnya di dunia. Sebelum dieksekusi, Westerling sempat memberi makan dan mengurungnya di kamar mandi. “Jam empat pagi aku masuk ke kamar mandi dan menyuruh pengacau itu berpusing. Sekali penggal dengan pedangku aku memisahkan kepala dari badannya,” kata Westerling kepada si opsir Inggris yang menuliskannya dalam surat kabar Singapura. Berita tersebut dikutip K’tut Tantri dalam Revolusi di Nusa Damai . Aksi berangasan Westerling lainnya dituturkan oleh Herman (nama belakang disamarkan), mantan anak buah Westerling dalam depot pasukan khusus (DST). Kepada Maarten Hidskes, editor televisi Belanda, Herman mengatakan Westerling lebih cenderung bekerja untuk Inggris ketimbang dinas intelijen Belanda. menurut Herman, Medan bukanlah tempat yang cocok bagi Westerling. “Tentang orang ini (Westerling) saya mendengar bahwa dialah yang telah memenggal kepala seseorang dan menaruh kepala ini di trotoar masjid Sultan Deli,” tutur Herman kepada Maarten Hidskes dalam Thuis gelooft niemand mij: Zuid-Celebes 1946---1947  (dialihbahasakan berjudul Di Belanda tak seorang pun mempercayai saya: Korban metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946--1947 ). Anak buah Westerling juga tidak kurang brutalnya. Pada suatu hari dibawalah masuk seorang Cina yang dituduh memetakan pertahanan kamp tentara Inggris. Selama tiga hari orang Cina itu berkali-kali dibuat stres dan dihajar dengan keras, antara lain dengan tendangan di bawah lambungnya. Dokter mendiagnosis si cina malang itu dengan sejumlah luka parah. “Letnan Westerling bertanggung jawab atas pelaksanaan interogasi laki-laki cina itu dan menugaskan pelaksanaan itu ke orang-orang Inggris bawahannya,” ujar Herman. Orang-orang Inggris yang melakukan interogasi itu akhirnya dikenakan tahanan rumah. Sementara itu, Westerling dilarang memakai seragam tentara Inggris. Pada 23 Juli 1946, Westerling dipindahkan dari seksi intelijen ke satuan pasukan komando. Pemindahan itu sekaligus mengakhiri masa penugasannya di Medan. Sitor Situmorang yang memulai karir jurnalis di harian Waspada  Medan dalam otobiografinya Sitor Situmorang: Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba  mengenang Westerling sebagai sosok algojo yang melakukan teror pembunuhan di sekitar Medan.

  • Hanyut dalam Nyanyian Akar Rumput

    FAJAR Merah nyaris tak punya ingatan apapun tentang ayahnya. Ia dan kakaknya, Fitri Nganthi Wani, sudah ditinggal Wiji Thukul sejak masih “ingusan”. Ibunya, Siti Dyah Sujirah alias Sipon, harus jadi tiang kokoh sebagai pegangan Fajar dan Fitri sejak 21 tahun silam. Semua berawal dari hilangnya Wiji Thukul, sang kepala keluarga, yang jadi korban pergolakan negeri di pengujung pemerintahan Orde Baru. Hilangnya Wiji Thukul bukan sesuatu yang tak disangka. Sejak ia mulai mesra dengan politik dan karya-karyanya menikam hati rezim, Sipon yang sejak 1988 diperistri Wiji Thukul, sudah diwanti-wanti ayahnya. “Kamu siap ya, Ti,” cetus Sipon menirukan peringatan ayahnya. Peringatan itu akhirnya menjadi kenyataan ketika prahara Mei 1998 pecah. Wiji Thukul dan 12 aktivis lain hilang tak berbekas bak ditelan bumi. Lebih dari dua dekade mereka, para anggota keluarga, sanak, dan kawan, menunggu kepastian akan kejelasan nasib sang aktivis HAM itu, apakah masih hidup atau sudah tinggal nama.  Begitulah babak awal film dokumenter racikan Yuda Kurniawan, Nyanyian Akar Rumput . Sang sineas mengombinasikan beberapa footage berisi penuturan Fitri, Sipon, Wahyu Susilo (adik Wiji Thukul), dan Fajar si putra bungsu Wiji Thukul yang usianya baru sekira lima tahun kala ayahnya jadi korban penghilangan paksa. Foto pernikahan Wiji Thukul dan Sipon (Foto: Rekam Docs) Tahun demi tahun berganti. Rasa lelah mulai memudarkan harapan. Keberadaan Wiji Thukul tetaplah gelap. Fajar yang sosoknya jadi sorotan sentral di dokumenter berdurasi 112 menit ini, hanya bisa menumpahkan segala macam kerinduan pada sosok ayah lewat musik. Bersamatiga rekannya, pada 2012 Fajar membentuk band beraliran poem rock , Merah Bercerita. Lagu-lagunya dikreasikan dari musikalisasi puisi-puisi karya ayahnya. “Dengan musiknya, Fajar membawakan karya-karya puisi itu tidak sama dengan ayahnya. Ada nuansa romantis. Enggak versi ayahnya (membacakan puisi, red. ) yang penuh kemarahan. Fajar ingin menciptakan senyum,” kata Sipon. Band Merah Bercerita yang didirikan Fajar Merah dan tiga kawannya sejak 2012 (Foto: Rekam Docs) Dengan tenggelam dalam musik, Fajar seolah bertemu dengan ayahnya dalam versi imajinasi. Apalagi selama ini ia hanya bisa menerka-nerkaseperti apa sosok sang ayah, melalui karya-karyanya. Setiap kali album band-nya diluncurkan, acapkali dibarengi dengan memperingati hari lahir ayahnya yang jatuh pada 26 Agustus. “Sejauh apa aku mengenal bapakku?” ujar Fajar yang lantas terdiam lantaran kesulitan mencari arsip kenangan tentang ayahnya di ingatannya.  “Sebagai anak, ya bingung untuk mengucapkan selamat ulangtahun. Hanya bisa melalui musikalisasi puisi ini. Hal paling sederhana ya itu. Dengan musik aku seolah bisa bicara dengan bapak, untuk bilang bahwa apa yang bapak lakukan tidak sia-sia,” tandasnya. Merawat Perjuangan Wiji Thukul Dokumenter pemenangPiala Citra kategori dokumenter panjang di Festival Film Indonesia (FFI) 2018 itupatut dijadikan tontonan generasi muda kekinian. Selain sarat pengetahuan akan kehidupan politik bangsa di masa lalu, film itu juga menjadi wahana pas untuk mengingatkan presiden akan janjinya dua dekade silam. Dalam suatu adegan, Sipon bertuturbahwa Joko Widodo (Jokowi) ketika masih menjabat walikota Solopernah berjanji untuk membantu mencarikeberadaan Wiji Thukul. Meski zaman sudah berganti dan k ursi presiden sudah silih berganti diduduki orang-orang berbeda , kasus penghilangan paksa Wiji Thukul dan 12 aktivis HAM lain tak kunjung tuntas. “Di masa walikota mungkin dia punya kedekatan tapi kan dia enggak punya power (kewenangan, red . ). Tapi ketika dia menjadi presiden , kan dia punya power untuk melakukan lebih, walau kita juga pahami bukan hal yang ringan bagi Presiden Jokowi untuk menuntaskan agenda-agenda pelanggaran HAM masa lalu. Ternyata juga di masa kabinet sekarang orang yang dianggap bertanggungjawab malah jadi bagian,” tutur Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, kepada Historia. Jadi buronan pasca-Kudatuli, Wiji Thukul dinyatakan hilang pasca-Tragedi Mei 1998 sebagai korban penghilangan paksa (Foto: Rekam Docs) Kerusuhan Mei 1998 yang berimbas pada kejatuhan Soeharto memang jadi satu tonggak sejarah modern Indonesia yang rumit. Namun Yuda Kurniawan mengisahkannya dalam dokumenter sedemikian rupa hingga penonton usia +17 pun takkan merasa jemu. Alur ceritanya mengalir dengan apik dan menghanyutkan. Pun dengan selipan-selipan footage lawas sebagai penguat visual atas narasi sejarah yangada sehingga mudah dipahami. Lewat puisi-puisi Wiji Thukul yang dimusikalisasi Fajar Merah dkk., semisal “Bunga dan Tembok”, “Sajak Suara”, dan “Apa Guna”, penonton “dimanjakan” dalam mengenal siapa Wiji Thukul. Menurut Yuda, mulanya dokumenternya diberi judul Mencari Wiji Thukul , lantaran terinspirasi film dokumenter Searching for Sugar Man garapan Malik Bendjelloul dan Simon Chinn yang menang Piala Oscar untuk kategori dokumenter terbaik 2012. “Itu kan bercerita tentang musisi juga yang memperjuangkan suara orang-orang bawah. Awalnya saya perlu judul itu untuk woro-woro di sosial media. Tapi kemudian berubah pikiran karena merasa kurang sreg. Akhirnya pakai judul itu ( Nyanyian Akar Rumput ), selain juga untuk melestarikan puisi Wiji Thukul,” ujar Yuda. Yuda mengaku tak punya target muluk untuk Nyanyian Akar Rumput. Sebab, genre dokumenter dengan isu politik dan HAM masih kurang diminati  masyarakat walaupundihadirkan se-obyektif mungkin. “Saya enggak terlalu mikir target. Yang penting bagaimana film ini bisa dibawa ke ruang yang lebih luas. Di luar penonton festival atau bioskop-bioskop alternatif. Yang penting juga , bagaimana kita bisa menyuarakan kebenaran dalam film ini,” sambungnya. Fajar Merah (kanan) yang mengekspresikan kerinduan pada ayahnya lewat musik (Foto: Rekam Docs) Sementara, Wahyu punya harapan Nyanyian Akar Rumput tidak hanya sekadar suguhan di balik layar musikalisasi puisi Wiji Thukul yang dibawakan Fajar Merah dan bandMerah Bercerita. Dalam Nyanyian Akar Rumput, kata Wahyu, sarat nutrisi akan pengetahuan.Ratusan juta rakyat Indonesia bisa menikmati kebebasan dengan harga yang tidak murah. “Generasi muda akan melihat dan bercermin. Dia akan bisa mengkontraskan situasi. Bahwa sekarang baca buku bebas, maki-maki pejabat di sosial media sudah bebas, tapi kemudian dia akan tahu fakta-fakta masa lalu yang kontras. Harapannya dia akan punya daya juang. Paling tidak, untuk mempertahankan kebebasan yang sekarang ini yang harganya mahal dan perlu martir,” sambung Wahyu. “Penting untuk anak-anak muda mengenal Wiji Thukul. Kenapa? Karena dia yang membuat kalian bisa buka Youtube , Instagram , bebas kritik, tidak ada pembatasan buku-buku. Kebebasan yang asasi dan dengan melihat dokumenter ini, penting untuk merawat kebebasan itu,” tuturnya menutup obrolan.

  • Dua Sikap Kaum Republik

    PANGLIMA Komandemen Jawa Barat Jenderal Mayor R. Didi Kartasasmita terhenyak saat seorang anak buahnya membantah pendapatnya secara keras. Letnan Kolonel Eddie Soekardi, Komandan Resimen ke-3 TKR Jawa Barat, menyatakan bahwa perintah agar para anakbuahnya bekerjasama dengan tentara Inggris untuk menangani misi-misi internasional adalah sebuah ketidakmungkinan. “Saya bersama Moefreni (Komandan Resimen Cikampek) dan Omon (Komandan Resimen Bandung), merasa itu sebagai lelucon yang tidak lucu…” kenang Eddie Soekardi. Dibantah secara keras demikian, otomatis Didi menjadi emosi. Kendati ia sendiri tak menyetujui perintah tersebut, namun soal itu adalah kemutlakan bagi dirinya sebagai seorang tentara. “Ini kan urusan politik! Jadilah kamu komandan resimen yang matang!” ujarnya seperti dilukiskan dalam buku Pertempuran Konvoi Sukabumi-Cianjur 1945-1946 karya Yoseph Iskandar, Dedi Kusnadi dan Jajang Suryani. Eddie sendiri mengaku kaget dengan sikap atasannya tersebut. Pada akhirnya, ia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang prajurit yang harus melaksanakan apa yang dikatakan pimpinan. “Saya lalu minta maaf dan berjanji kepada Pak Didi untuk coba memahami perintah itu,” ujarnya. Kebijakan Sjahrir Pada 15 November 1945, kabinet presidentil RI berubah menjadi kabinet parlementer di bawah Sutan Sjahrir sebagai perdana menteri-nya. Naiknya Sjahrir menjadikan pihak Belanda dan Inggris “bernafas agak lega”. Setidaknya, Sjahrir dianggap lebih bebas dari pengaruh Jepang, moderat dan merupakan bagian dari kekuatan sosialisme demokrat dunia, ideologi yang banyak dianut oleh para tokoh dari negara-negara pemenang perang seperti Inggris. “Bahkan diperkirakan oleh Belanda dan Inggris, Sjahrir itu akan mudah diatur,” ujar Eddie Soekardi. Menurut Rudolf Mrazek, secara khusus, Belanda memang lebih “merasa nyaman” dengan Sjahrir dibanding dengan Sukarno-Hatta. Itu terbukti, saat Inggris mendesak Belanda untuk membuka dialog dengan kedua proklamator tersebut, mereka menolak karena merasa tidak ada kompromi dengan “para pemberontak”. “…kabinet Sjahrir adalah kabinet Indonesia demokratis terakhir yang dapat dipikirkan…” ungkap van der Plas seperti dikutip oleh Mrazek dalam bukunya Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia . Lantas bagaimana sikap Sjahrir sendiri? Sjahrir, kata Mrazek, sangat percaya Inggris adalah faktor dominan yang bisa mempengaruhi sikap politik Belanda. Sejak Inggris menguasai Indonesia pada awal abad ke-19 (lalu kemudian diserahkan kembali), sesungguhnya keberadaan Belanda di Indonesia bukan atas dasar kekuatan mereka sendiri. “Akan tetapi atas kebaikan Inggris dengan politik luar negerinya yang sama sekali menjadi andalan Belanda,” ungkap Sjahrir dalam Perdjoeangan Kita . Kesalingpahaman antara Sjahrir, Inggris dan Belanda membawa ketiga pihak ke meja perundingan pada 17 November 1945. Hasil nyata dari perundingan segitiga tersebut adalah Inggris akan membantu penyelesaian sengketa antara Belanda-Indonesia dan sebagai bentuk perwujudan niat baik, pemerintah RI akan membantu semua tujuan-tujuan misi internasional Sekutu di Indonesia. Duabelas hari kemudian, perundingan antara Inggris (diwakili oleh Brigadir Lauder) dan pemerintah Indonesia (diwakili oleh H.Agus Salim) diadakan kembali.Dalam perundingan itu ditetapkan bahwa Surabaya, Semarang, Jakarta, Bogor dan Bandung menjadi wilayah-wilayah kekuasaan militer Inggris.  Dalam rangka itu, PM. Sjahrir pun menyetujui Jakarta dijadikan kota diplomasi yang harus bebas dari kaum bersenjata.  Otomatis keputusan tersebut menjadikan  Resimen Jakarta pimpinan Letnan Kolonel Moefreni Moe’min harus digeser ke Cikampek. Kebijakan PM. Sjahrir disambut secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan di tubuh kaum republik. Jika seluruh kekuatan lasykar dan pemuda radikal menolak mentah-mentah, maka di internal TKR sendiri muncul dua sikap terkait masalah itu. Pertama, kalangan TKR yang menerima sepenuhnya keputusan Sjahrir. Kedua, kalangan TKR yang menerima keputusan Sjahrir dengan catatan: sekali pihak Sekutu tidak melakukan koordinasi dengan TKR maka tak ada cara lain selain harus menghantam kekuatan mereka. Insiden Dawuan Stasiun Cikampek, 21 November 1945. Dua puluh satu gerbong yang ditarik sebuah lokomotif itu bergerak menuju Bandung. Belum jauh dari stasiun, di wilayah Dawuan tiba-tiba kereta api berjalan semakin pelan. Bersamaan dengan itu, beberapa anggota TKR dari Resimen V Cikampek pimpinan Letnan Kolonel Moefreni Moe’min, meloncat ke atas lokomotif. Dalam bahasa Inggris yang fasih mereka memerintahkan kereta api yang memuat kiriman logistik dan amunisi untuk tentara Sekutu di Bandung  itu berhenti. “Kami minta surat izin untuk memasuki daerah kami dari pemerintah Republik Indonesia?!” teriak salah satu dari prajurit TKR itu. “ Apa? Kami harus memakai surat izin? Sejak kapan petugas Allied Forces yang ditugaskan ke Indonesia harus memakai izin? Tidak ada, kami tidak usah memakai surat izin!” jawab seorang letnan yang memimpin rombongan Sekutu tersebut. Adu mulut pun kemudian terjadi antara anggota Resimen V Cikampek dengan letnan tentara Inggris itu. Di tengah situasi tersebut, tiba-tiba terdengar rentetan tembakan dari salah satu jendela gerbong. Maka tak ayal lagi, tembakan itu disambut oleh salakan senjata dari ratusan prajurit Batalyon Priyatna. Pertempuran seru pun berlangsung. Mungkin karena kalah jumlah dan ketiadaan pengtetahuan akan medan setempat, peleton tentara Inggris dari kesatuan Gurkha itu pun menyerah setelah sebagian besar serdadunya banyak yang tewas. “Kami hanya menyisakan 4 tawanan  dan langsung merampas seluruh isi gerbong-gerbong  tersebut,” ujar Letnan Kolonel Moefreni Moe’min dalam Jakarta-Karawang-Bekasi: Dalam Gejolak Revolusi  karya Dien Majid dan Darmiati. Penghadangan itu sempat membuat Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin marah besar. Begitu mendengar insiden tersebut dari pihak Sekutu, ia langsung menelepon Moefreni dan memerintahkan pasukan Resimen V Cikampek untuk mengembalikan isi seluruh gerbong yang dirampas dan membebaskan para serdadu yang tertawan. Namun perintah itu ditolak oleh Moefreni. “Kalau kita terlalu mentolelir, lambat laun mereka akan menginjak kita dan kita akan kehilangan wibawa,” demikian alasan Moefreni. Untuk mencegah terjadinya insiden yang sama, selanjutnya pihak Sekutu melibatkan anggota TKR dari Jakarta dalam setiap misi pengiriman logistik via kereta api. Itu terjadi kali pertama pada 11 Desember 1945, saat satu kelompok kadet Akademi Militer Tangerang (AMT) pimpinan Daan Mogot ikut mengawal  kereta api yang memuat kiriman logistik untuk para interniran di Bandung. Namun hal tersebut tidak diterapkan Sekutu dalam misi pengiriman logistik yang memakai jalur darat lainnya. Kala pasukan dari TKR Jakarta mengawal misi-misi RAPWI via kereta api ke Bandung,  di beberapa kota justru penghadangan-penghadangan tetap dilakukan. Salah satu penghadangan yang paling merepotkan militer Inggris terjadi di rute Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung pada Desember 1945 dan Maret 1946.

  • Di Balik Prasasti Kutukan Sriwijaya

    Sebagian besar prasasti kutukan yang dikeluarkan penguasa Sriwijaya ditempatkan di daerah strategis dari sisi ekonomi. Tujuannya untuk mengikat masyarakat agar tak memberontak dan patuh terhadap perintah raja.  Beberapa prasasti kutukan yang ditemukan di Palembang yaitu Prasasti Bom Baru, dan Prasasti Telaga Batu. Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka dan Prasasti Karang Berahi ditemukan di Jambi. Sedangkan Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Jabung ditemukan di Lampung.   Menurut Sondang M. Siregar, peneliti Balai Arkeologi Sumatra Selatan, dalam “Prasasti-Prasasti Kutukan dari Masa Sriwijaya”, termuat di Menggores Aksara, Mengurai Kata, Menafsir Makna, kata “kutuk” dan “semoga” (berkat) sering tertulis  di prasasti-prasasti itu. Kutukan ini merupakan pesan penting dari pembuat prasasti kepada masyarakat di lokasi prasasti ditempatkan. “Mungkin di daerah itu terdapat permasalahan sehingga prasasti kutukan harus dibuat,” tulis Sondang. “Banyaknya prasasti Sriwijaya yang berisikan kutukan dan diletakkan di berbagai tempat mengindikasikan adanya masalah pada masa Sriwijaya.” Palembang, contohnya, pada mulanya menjadi lokasi transit kapal-kapal dari dalam dan luar negeri karena letaknya strategis. Ia menjadi persinggahan kapal-kapal yang masuk dari Selat Bangka menuju perairan Sungai Musi. Selanjutnya, Palembang menjadi daerah perdagangan, pusat kesenian, dan agama. Prasasti Telaga Batu menyebutkan para pejabat di Kerajaan Sriwijaya. “Ini mengindikasikan pusat pemerintahan Sriwijaya pernah berada di sekitar Prasasti Telaga Batu,” tulis Sondang. Filolog asal Belanda, J.G. de Casparis, menulis dalam  Prasasti Indonesia  bahwa orang-orang yang disebut pada prasasti itu adalah mereka yang dikategorikan berbahaya. Mereka dianggap berpotensi melawan Kedatuan Sriwijaya. Karenanya mereka perlu disumpah. Sejarawan Jerman, Hermann Kulke, dalam “Kadatuan Srivijaya-Imperium atau Keraton Sriwijaya?” yang termuat di  Kedatuan Sriwijaya,  menjelaskan sebagaimana tertulis dalam prasasti, orang-orang berbahaya di kedatuan ini bukan saja para pangeran dan komandan tentara yang dapat menggalang pemberontakan ketika mereka jauh dari pusat. Tetapi juga sejumlah abdi rendahan yang mudah menjangkau raja, seperti juru tulis, tukang cuci, budak, pelaut, dan pedagang, bisa sangat berbahaya. “Maksud Prasasti Sabokingking adalah memberikan ancaman sebesar-besarnya kepada semua lawan, dan bukan melegitimasi klaim Sriwijaya untuk memerintah mereka,” tulis Kulke. Prasasti Sabokingking adalah nama lain dari Prasasti Telaga Batu. Prasasti kutukan juga ditemukan di Boombaru, daerah yang dekat dengan Sungai Musi. Menurut Sondang, prasasti kutukan diletakkan di sana agar penguasa bisa mengontrol dan mengawasi aktivitas perdagangan dari daratan menuju sungai atau sebaliknya. “Mengawasi masyarakat yang berkhianat atau pemberontak yang hendak masuk ke Sriwijaya melalui Sungai Musi,” tulis Sondang. Prasasti Kota Kapur ditempatkan di daerah paling strategis, Pulau Bangka. Lokasi itu berada di jalur pelayaran internasional. Pulau Bangka menjadi lokasi transit kapal-kapal lokal maupun luar negeri. “Kapal-kapal yang datang dan pulang pasti melalui Selat Bangka,” tulis Sondang. Prasasti Kota Kapur juga menunjukkan bahwa lokasi itu pernah diduduki oleh Kerajaan Sriwijaya dengan tujuan mengawasi atau mengontrol kegiatan perdagangan di pantai timur Sumatra. Prasasti Karang Berahi, prasasti kutukan di Jambi. (Dok. Kemendikbud). Situs Karang Berahi berada di tepian Sungai Merangin, Jambi. Sungai ini dapat dilayari kapal untuk mengangkut hasil bumi dari wilayah sekitarnya, seperti rotan, manau, getah, damar, jenang, dan damar. Situs itu berdekatan dengan situs Buddhis, yaitu Tingkip dan Bingin Jungut. Menurut Sondang, sungai yang mengalir di ketiga lokasi ini mengandung bijih-bijih emas. “Penguasa Sriwijaya menempatkan prasasti kutukan di Desa Karangberahi untuk mengawasi perdagangan di Perairan Sungai Musi dan Batanghari,” tulis Sondang. Kemudian Prasasti Palas Pasemah dan Jabung di daerah Lampung. Tempat ditemukannya prasasti itu berada di aliran Sungai Sekampung. Keduanya merupakan kecamatan yang berdekatan. Palas Pasemah ada di sisi selatan Jabung. Keduanya adalah daerah subur dan punya hasil perkebunan. “Keberadaan prasasti kutukan di dua daerah ini menunjukkan bahwa daerah ini potensial,” tulis Sondang. Penguasaan dua daerah ini diperkirakan untuk mengawasi atau mengontrol kegiatan perdagangan di bagian selatan Pulau Sumatra. Pun untuk mengawasi jalur perdagangan di Selat Sunda. Arkeolog Universitas Indonesia, Ninie Susanti, menjelaskan, untuk menancapkan hegemoninya, Sriwijaya mengeluarkan enam prasasti kutukan. Isinya adalah ancaman bagi mereka yang berani melawan raja. Kekuatan Sriwijaya terlihat dari mandala-mandala yang mengakui kedaulatannya, yaitu Kota Kapur, Jambi, Lampung, dan Baturaja.   Mandala-mandala yang mengakui kedaulatan Sriwijaya itu bersatu karena memiliki kepentingan yang sama. “Kepentingan utamanya, yaitu berdagang, menjadi konsensus bersama di antara masyarakat sipil yang ada di wilayah Kedatuan Sriwijaya,” kata Ninie. Menurut Ninie, tokoh intelektual pembentukan pemerintahan maritim adalah para  datu  (pemimpin mandala, red .) yang mempunyai kepentingan bersama dengan Sriwijaya. Ini yang kemudian muncul dalam Prasasti Karang Berahi, Kota Kapur 1 dan 2, Baturaja, Palas Pasemah, dan Bom Baru. Kalimat kutukan atau  sapatha,  menurut arkeolog Universitas Gadjah Mada, Tjahjono Prasodjo, merupakan cara agar semua orang patuh pada keputusan penguasa. Sanksi yang dipilih ini lebih bersifat sakral kedewaan, bukannya sanksi atau denda sebagaimana masa sekarang. “Saya kira pada zamannya, ketika orang sangat percaya dengan kekuatan kutukan, itu adalah cara yang paling efektif untuk mengamankan dan melindungi kelangsungan sebuah penetapan atau piagam,” ujar Tjahjono. Menurut Danang Indra Prayudha dalam “Pengertian Pranantika dalam  Sapatha :   Tinjauan Prasasti Tuhanaru”, temuat di  Menggores Aksara, Mengurai Kata, Menafsir Makna,  bentuk-bentuk hukuman atau malapetaka dalam  sapatha  secara psikologis akan menimbulkan rasa takut atau kengerian bagi masyarakat. Dampak rasa takut yang muncul itulah yang digunakan agar masyarakat menghindari perbuatan yang dilarang. Sebagaimana pula yang dicatat dalam Prasasti Telaga Batu atau Sabokingking: "Kedamaian abadi akan menjadi buah yang dihasilkan kutukan ini."

  • Agen CIA yang Menuduh Sukarno Bernegosiasi dengan Belanda

    PADA 2001, bertepatan dengan peringatan 100 tahun kelahiran Sukarno, terbit buku Soekarno, Biografi 1901-1950  karya politisi dan penulis Belanda, Lambert Giebels. Buku ini dianggap telah menyudutkan Sukarno. Pada halaman 398, Giebels mengutip informasi dari Bob Koke, perwira intelijen OSS (Office of Strategic Services), cikal bakal CIA, bahwa Sukarno bersedia memulihkan kedudukan gubernur jenderal Belanda asal dia diangkat menjadi perdana menteri. Percakapan ini konon terjadi setelah November 1945 setelah "Sukarno mungkin sekali kehilangan tempat berpijak".

  • Enam Prasasti Kutukan Sriwijaya

    Untuk mempertahankan hegemoninya, Sriwijaya, sejauh yang sudah ditemukan, mengeluarkan enam prasasti kutukan. Isinya adalah ancaman bagi mereka yang berani melawan penguasa. "Prasasti-prasasti yang berisi kutukan adalah salah satu cara Sriwijaya untuk menancapkan hegemoninya. Ini sebagai bukti bagaimana ia (Sriwijaya, red.)  diakui," ujar Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia. Prasasti kutukan dari masa Sriwijaya yang ditemukan di Palembang, yaitu Prasasti Bom Baru, dan Prasasti Telaga Batu. Prasasti Baturaja ditemukan di Baturaja. Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka. Prasasti Karang Berahi ditemukan di Jambi. Sementara Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Jabung ditemukan di Lampung. Dari enam buah prasasti, lima buah di antaranya dalam keadaan utuh. Sementara yang paling lengkap isi persumpahannya hanya Prasasti Telaga Batu. Prasasti Telaga Batu (Sabokingking) berasal dari abad ke-7, berbahasa Melayu Kuno, dan ditulis dengan aksara Pallawa. Pada bagian atasnya terdapat hiasan tujuh ekor kepala ular kobra. Pada bagian bawah tengah terdapat semacam cerat tempat mengalirnya air. Mereka yang diancam dengan kutukan adalah pengkhianat dan yang berhubungan dengan pengkhianat, mata-mata para datu  yang berkuasa di mandala-mandala Sriwijaya, berkomplot dengan musuh atau berkomplot untuk menentang Sang Datu Sriwijaya, serta tak patuh pada Kedatuan Sriwijaya. Bukan cuma pengkhianat yang akan dihukum. Anak-anaknya, istri, anak cucu, kerabat, dan teman-temannya juga terancam. Peringatan ini ditujukan pula kepada para putra raja Sriwijaya ( rajaputra ), menteri ( kumaramatya ), bupati ( bhupati ), panglima ( senapati ), pembesar atau tokoh lokal terkemuka ( nayaka ), bangsawan ( pratyaya ), raja bawahan ( haji pratyaya ), hakim ( dandanayaka ), ketua pekerja atau buruh ( tuha an vatak = vuruh ), pengawas pekerja rendah ( addhyaksi nijavarna ), ahli senjata ( vasikarana ), tentara ( catabhata ), pejabat pengelola ( adhikarana ), karyawan toko ( kayastha ), pengrajin ( sthapaka ), kapten kapal ( puhavam ), peniaga ( vaniyaga ), hingga pelayan raja ( marsi haji ), dan budak raja ( hulun haji ), bahkan tukang cuci sekalipun. "Apabila kalian tak setia kepadaku, kalian akan mati oleh kutukan ini," demikan ancaman dalam prasasti itu. Sejarawan Jerman, Herman Kulke, dalam “Kedatuan Srivijaya-Imperium atau Keraton Sriwijaya?” yang termuat di  Kedatuan Sriwijaya,  menjelaskan sebagaimana dalam prasasti orang-orang berbahaya di kedatuan itu bukan saja para pangeran dan komandan yang dapat menggalang pemberontakan ketika mereka jauh dari pusat. Tapi juga sejumlah abdi rendahan yang mudah menjangkau raja, seperti juru tulis, tukang cuci, budak, pelaut, dan pedagang, bisa sangat berbahaya.  "Engkau akan mati oleh kutukan ini yang terminum olehmu. Aku akan memberi perintah untuk menghukum dirimu," demikian kutukan itu kepada mereka. Ancaman juga ditujukan kepada mereka yang berani merayu dan membujuk selir-selir raja Sriwijaya dengan tujuan mengetahui keadaan di dalam istana. Juga kepada dukun yang tahu bagaimana caranya membuat orang jadi sakit hati. Lalu mereka yang memanfaatkan hal-hal berbau magis, menyebabkan pikiran orang lain menjadi gila, dengan cara menggunakan berbagai benda, abu, obat-obatan atau mantera, tanpa mengindahkan perintah. Mereka termasuk yang tak patuh pada Sriwijaya akan mati karena kutukan ini. "Kedamaian abadi akan menjadi buah yang dihasilkan kutukan ini," catat prasasti itu. Prasasti kutukan lainnya adalah Prasasti Kota Kapur. Menurut Sondang M. Siregar, peneliti Balai Arkeologi Sumatra Selatan, dalam "Prasasti-Prasasti Kutukan dari Masa Sriwijaya", termuat di Menggores Aksara, Mengurai Kata, Menafsir Makna, prasasti itu salah satu dari lima prasasti kutukan yang dibuat Dapunta Hyang, penguasa dari Kadatuan Sriwijaya. Prasasti ini ditulis pada 686 dan ditemukan 12 abad kemudian di pesisir barat Pulau Bangka. Di dalamnya disebutkan nama Kadatuan Sriwijaya. Ancaman ditujukan kepada daerah-daerah di pedalaman yang memberontak dan bersekongkol dengan pemberontak, berbicara dengan pemberontak, mengenal pemberontak, dan mendengarkan kata pemberontak. Pun mereka yang mengganggu ketenteraman jiwa, membuat orang sakit, dan membuat orang gila. Mereka yang menggunakan mantra, racun, racun upas, tuba, dan ganja untuk tujuan itu. "Yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini mati juga kena kutuk," seru prasasti itu. Prasasti Palas Pasemah yang ditemukan di Lampung Selatan mungkin berasal dari akhir abad ke-7. Isinya tak jauh beda. Di dalamnya disebutkan ancaman kepada para pemberontak dan mereka yang tak setia kepada pemerintah. "… yang memberontak, berkomplot dengan pemberontak, bicara dengan pemberontak, tahu pemberontak, tak setia kepadaku, akan terbunuh oleh kutukan…," seru prasasti itu. Prasasti Karang Berahi yang ditemukan di Kabupaten Merangin, Jambi, memiliki kesamaan dengan Prasasti Kota Kapur, kecuali pada bagian akhirnya. "Jika orang takluk setia kepadaku, dan kepada mereka yang oleh saya diangkat menjadi datu , maka semoga usaha mereka diberkahi juga marga mereka dan keluarganya berhasil kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari bencana, kelimpahan segala untuk semua negeri mereka," kata prasasti itu pada bagian akhirnya. Prasasti Bom Baru yang ditemukan di tepian Sungai Musi diperkirakan berasal dari abad ke-7. Isinya tak beda jauh. Prasasti ini mengancam para pemberontak dan warga yang tak setia pada Sriwijaya. Juga kepada mereka yang menyebabkan orang hilang ingatan, sakit, gila, dan mengguna-guna supaya tunduk pada kemauannya. Mereka inilah rakyat yang durhaka yang akan dibunuh oleh sumpah. "…dikatakan durhaka…apabila tak berbakti dan tunduk…dibunuh oleh sumpah dan disuruh supaya hancur oleh…," kata prasasti itu. "Tapi bila berbakti dan tunduk kepadaku, ia akan menemukan perbuatannya kembali, sentosa selamat dengan sanak keluarganya." Tak semua prasasti kutukan memiliki struktur kalimat yang lengkap karena tulisan sudah sangat aus dan tak terbaca. Sebagaimana Prasasti Jabung. "Keadaannya sudah aus sehingga tidak dapat terbaca dengan lengkap," jelas Sondang. Sementara Prasasti Baturaja yang ditemukan pada September 2018 hanya tersisa patahan bagian atasnya. Ia juga memuat kutukan bagi pengkhianat dan pemberontak. Penemuan Prasasti Baturaja ini pun menambah jumlah temuan prasasti dari masa Sriwijaya di wilayah Sumatra Selatan. Berdasarkan paleografinya prasasti itu sama dengan aksara yang digunakan dalam penulisan Prasasti Talang Tuwo (684). Ia ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno. Sondang menjelaskan, kutukan ini merupakan pesan penting yang disampaikan si pembuat prasasti kepada masyarakat di lokasi prasasti itu ditempatkan.  "Mungkin di daerah itu terdapat permasalahan sehingga prasasti kutukan harus dibuat," kata Sondang. "Banyaknya prasasti Sriwijaya yang berisikan kutukan dan diletakkan di berbagai tempat mengindikasikan adanya masalah pada masa Sriwijaya." Sementara kalau menurut arkeolog Puslitarkenas, Bambang Budi Utomo Prasasti persumpahan Karang Berahi, Kota Kapur, Palas Pasemah, dan Jabung ditempatkan untuk mengantisipasi supaya masyarakat yang sudah ditaklukkan Sriwijaya tidak memberontak. "Bukan karena ada masalah baru dibuat prasasti, tetapi ditaklukan dulu baru dibuatkan prasasti," jelasnya. "Kala itu sumpah sangat populer dan dipercaya betul."

  • Pemikiran Soendari Darmobroto dalam Pendidikan dan Perkawinan

    Dalam pidatonya di Kongres Perempuan Indonesia pertama, 22 Desember 1928, Siti Soendari Darmobroto dengan tegas menentang permaduan. Soendari mengeluhkan sikap lelaki yang suka memperlihatkan kekuasaannya. Baginya, sangat tidak pantas bila seorang lelaki memamerkan kegagahan dan kekuasaannya lewat poligami sewenang-wenang. Sebaliknya, dia menganjurkan agar lelaki dan perempuan bekerjasama untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan dan menyediakan ruang untuk perempuan meraih pendidikan serta menyuarakan nasib. “Sudah lama kaum laki-laki menjadi raja dalam pergaulan hidup dan terkadang juga dalam rumah tangga kita,” kata Soendari dalam pidatonya, dikutip Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang . “Kalau Indonesia ingin maju dan harum, haruslah kita semua berada dalam persamaan dengan kaum laki-laki,” sambungnya. Soendari menyebut bahwa persamaan pertama kali harus dibereskan dalam kehidupan rumahtangga. Lelaki dan perempuan seharusnya bisa salilng menghargai dan berjalan beriringan, bukan berebut siapa yang lebih berkuasa. Komentar Soendari soal kehidupan rumahtangga yang adil menjadi krusial. Tanpa keadilan dalam rumahtangga, perempuan tidak bisa aktif dalam masyarakat. Mereka juga tidak bisa bebas menempuh pendidikan bila orang tua mereka tidak memberi kesempatan sama untuk belajar, tidak bisa aktif berjuang bila suami menjadikan mereka sebatas konco wingking . “Lelaki juga harus membiasakan diri bahwa perempuan sudah semakin cerdas dan maju,” kata Soendari dalam pidatonya. Soendari bukan orang baru dalam perjuangan perempuan. Ia merupakan anak dari Wirio Darmobroto, bangsawan Ponorogo yang bekerja sebagai kepala sekolah. Soendari sendiri juga membuka sekolah di Pacitan, Jawa Timur. Namanya sering tertukar dengan Soendari istri Moh. Yamin, pahlawan nasional atau adik dr. Soetomo pendiri Boedi Oetomo. Siti Soendari Darmobroto. (Harry A Poeze/ Di Negeri Penjajah ). Soendari Darmobroto merupakan pendiri terbitan berbahasa Jawa WanitoSworo, yang dia dirikan pada 1913. Sebagai pemimpin redaksi, Soendari kerap menuangkan pemikirannya tentang praktik permaduan. “Penderitaan yang diakibatkan oleh praktik poligami sebenarnya jauh lebih parah dari yang kita bayangkan. Cinta tidak akan bisa dibagi sama rata dan sama rasa,” tulis Soendari seperti dikutip Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia. Selain soal kedudukan perempuan dalam perkawinan, Soendari juga amat peduli pada isu pendidikan perempuan. Pandangan tersebut ia tuangkan dalam tulisannya di Wanito Sworo . Pendidikan harus diutamakan bagi seluruh perempuan, kaya ataupun miskin. Soendari amat mengagumi kemampuan hidup mandiri perempuan desa. Para istri dari buruh adalah kelompok yang paling ingin mempelajari beberapa keterampilan seperti baca-tulis, menjahit, dan memasak. Harry A Poeze dalam Di Negeri Penjajah mengisahkan, Soendari Darmobroto hadir menyuarakan pendidikan bagi para gadis pribumi di Kongres Pengajaran Kolonial Pertama di Den Haag, Agustus 1916. Kala itu ia sedang berada di Belanda, menghadiri pelatihan guru sejak 1915. Dari keterangan Van Deventer, ketika menjalani pelatihan guru, Soendari merupakan janda beranak satu dan anaknya dititipkan di Jawa. Dalam pertemuan itu Soendari mengatakan pentingnya pendidikan perempuan. Kala itu dia hanya mampu bicara tentang perempuan Jawa karena ia bergelut dalam pendidikan perempuan Jawa. Menurutnya, ibu sebagai guru pertama bagi anak-anaknya haruslah berpendidikan. Maka dari itu, anak perempuan harus menerima pendidikan sama seperti anak lelaki, mengikutsertakan materi matematika, membaca, menulis, dan kemampuan untuk bertahan hidup seperti menjahit, memasak, dan membatik. Selain diajari bahasa Jawa, para gadis juga harus diajari bahasa Belanda. Soendari pun berpendapat pendidikan untuk perempuan kelas bawah lebih penting mengedepankan pada praktik lantaran akan lebih berguna untuk kehidupan mereka. Pendidikan baca-tulis-hitung harus dibarengi dengan keterampilan membuat batik dan membuat kue. Pengetahuan semacam ini bisa menjadi modal para gadis kampung untuk membuka warung, misalnya. Dengan begitu, mereka akan mandiri secara ekonomi. Seperti pembicara lainnya, Soendari juga berpikir pentingnya asrama untuk para perempuan yang mengenyam pendidikan lanjut.Namun,alasanyang dikemukakannya berbeda darialasan pembicara Belanda.  Soendari berpikir asrama akan membantu para siswa untuk lebih memahami budayanya sendiri dan tidak kehilangan identitasnya ketika mengenyam pendidikan Barat. Sementara orang Belanda berpikir bahwa asrama akan memudahkan siswa untuk terbiasa dengan kebiasaan dan gaya hidup Eropa. Pidato Soend a ri dalam pertemuan di Den Haag itu ia tutup de n gan pernyataan, semangat dari RA Kartini mengiringi usaha kaum perempuan dan menyatukan mereka. Lebih jauh, pendidikan perempuan adalah kunci untuk mengubah kondisi sosial masyarakat Jawa. “ Pada akhirnya, saya tahu, tidak ada alat yang paling efektif untuk menghapus adat usang, kecuali pendidikan,” kata Soendari seperti dikutip Susan Blackburn dalam Women and The State In Modern Indonesia .

  • Hikayat Kopi di Tanah Jawa

    TAHUN 1656, Belanda berhasil mengusir orang-orang Portugis dari Ceylon (Srilanka). Di wilayah tersebut, mereka menemukan hektaran kebun kopi yang  terbengkalai. Rupanya lahan itu milik orang-orang Arab yang ditinggalkan ketika Ceylon diduduki Portugis. Mengetahui potensi ekonomis-nya di pasaran dunia saat itu, VOC (Maskapai Perdagangan Hindia Timur) lantas menyewa seorang pakar botani bernama Carolus Linnaeus. Lewat proses penelitian bertahun-tahun, Linnaeus  berhasil menemukan teknik pembudidayaan tanaman kopi. “Linnaeus lantas menamakan tanaman kopi hasil budidaya-nya itu dengan Arabica,”tulis Gabriella Teggia dan Mark Hanusz dalam A Cup of Java . Menurut pakar sejarah kopi Prawoto Indarto, istilah “Arabica” mengacu kepada orang-orang Arab yang kali pertama mengelola tanaman kopi itu di Ceylon. Bahkan ada anggapan di kalangan orang-orang Belanda bahwa tanaman kopi berasal dari tanah Arabia. “Kalau memakai terjemahan bebas, Arabica itu kurang lebih berarti ‘tanamanya orang-orang Arab’,” ujar Prawoto. Berdasarkan hasil risetnya, Linnaeus yakin bahwa tanaman kopi Arabica dapat berkembang secara maksimal di wilayah beriklim sub-tropis dengan hawa pegunungan yang sejuk. Pendapat sang pakar itu menjadikan salah seorang anggota De Heeren Zeventien (Tuan Tujuh Belas, para pemegang saham VOC) yang juga menjabat sebagai walikota Amsterdam Nicholas Witsen pada 1696 memerintahkan Andrian van Ommen (Komandan Angkatan Perang VOC di Pantai Malabar,India) untuk mengirimkan benih kopi Arabica ke Batavia. Sesampai di Batavia, benih kopi Arabica lantas ditanam di Kedawung (tanah milik Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn (1691—1704).  Namun karena seringnya banjir melanda desa di wilayah yang sekarang terletak di Tangerang Selatan itu, maka uji tanam tersebut mengalami kegagalan. Pada 1699, seorang pejabat VOC bernama Hendricus Zwaardecroon kembali mencoba peruntungan dengan menanam benih Arabica di wilayah bantaran Sungai Ciliwung seperti Bifara Cina (Bidaracina), Kampung Melayu, Meester Cornelis (Jatinegara) dan wilayah-wilayah lain seperti Sukabumi dan Sudimara (Tangerang Selatan). “Percobaan kedua itu ternyata sukses,” ungkap Teggia dan Hanusz. Hasil tanaman kopi yang ditanam oleh Zwaardecroon itu lantas dibawa ke Balai Penelitian Botani Amsterdam pada 1706. Berdasarkan riset di sana kualitas kopi dari Jawa itu mutunya ternyata sangat baik. Setahun kemudian, benih Arabica dari Jawa tersebut diperbanyak lewat biji lalu disebar ke kebun-kebun botani di Eropa, termasuk kebun milik Raja Lois XIV. Akhir 1707, Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (1704—1709) memberitahukan kepada De Heeren Zeventien bahwa dia telah membagikan tanaman kopi Arabica kepada beberapa bupati di sepanjang pantai Batavia sampai Cirebon. “Dia membagikan itu hanya sekadar untuk kesenangan semata,” tulis Jan  Breman dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720—1870. Namun beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa tanaman kopi Arabica sama sekali tidak cocok ditanam pada dataran rendah. Maka dicobalah generasi awal kopi Arabica dari Jawa itu ditanam di wilayah-wilayah pegunungan yang tanahnya kaya unsur vulkanik seperti Cianjur dan Kampung Baru (Bogor). Pada 1711, Cianjur memanen hasil tanaman kopi Arabica yang pertama. Desebutkan oleh Breaman, saat itu Bupati Cianjur Raden Aria Wiratanu III berhasil menyetor hampir 100 pikul kepada VOC. Harga yang dia peroleh adalah 50 gulden perpikul ( 1 pikul=125 pon). “Cukup lumayan, meskipun sangat sedikit dibandingkan dengan harga yang tercatat di pasaran Belanda,” ujar Breman. Kendati demikian, kiriman kopi dari Cianjur berhasil memecahkan harga lelang tertinggi di Balai Lelang Amsterdam. Biji-biji hitam asal Jawa itu dianggap mutunya lebih baik dibanding barang sejenis yang berasal dari Mocha, Yaman. Menurut Prawoto, keberhasilan itu membuka peluang bagi Belanda untuk tampil sebagai pemain utama dalam bisnis kopi yang tengah menggila saat itu di Eropa. Maka berduyun-duyunlah para pebisnis Belanda mengembangkan tanaman kopi Arabica di wilayah Cianjur dan sekitarnya. “Di tahun 1723, terdapat lebih dari satu juta pohon kopi Arabica tumbuh di Kabupaten Cianjur,” tulis Mudrig Yahmadi dalam Sejarah Kopi Arabica di Indonesia. Tiga tahun kemudian, Belanda semakin berjaya sebagai pengekspor kopi terbesar di dunia. Produk mereka dikenal oleh mancanegara sebagai Java Coffee (Kopi Jawa) yang sejatinya berasal dari tanah Cianjur di Priangan Barat.

  • Lament dan Sejarah Lisan Orang Melanesia

    Planet Bumi baru saja diterjang tsunami. Ketika air telah surut, di sebuah bibir pantai, seorang laki-laki berhasil bertahan hidup karena sebuah noken. Sementara itu, sebuah telur putih yang ukurannya sedikit lebih besar dari semangka juga berhasil selamat dari bencana. Untuk melanjutkan kehidupan yang baru saja porak-poranda, si laki-laki itu harus menetaskan telur itu. Namun ternyata, tsunami tak hanya menyisakan mereka. Sampah-sampah plastik yang tak bisa terurai bermutasi menjadi monster-monster yang kelaparan. Sedangkan satu-satunya sumber pangan dan energi adalah telur putih besar itu. Maka terjadilah perebutan sumber daya antara manusia dan monster-monster. Di sisi lain, rombongan manusia tengah bermigrasi mencari tempat hidup yang baru. Perjalanan panjang dilakukan sambil menyanyikan lament  (lagu ratapan) yang mengisahkan sejarah manusia bertahan hidup ( survival ) dalam mencari pangan dan energi. Kisah di atas merupakan skenario Planet-Sebuah Lament, sebuah pertunjukan yang menggabungkan teater, film, tarian, dan nyanyian yang menarasikan sebuah folklore  dalam kebudayaan Melanesia. Karya ini disutradarai oleh Garin Nugroho dan naskahnya ditulis oleh sutradara teater dan opera dari Melbourne, Michael Kantor. Laki-laki yang selamat dari tsunami menemukan sebuah telur. Diperankan oleh Boogie Papeda. (Fernando Randy/Historia). Menyanyikan Sejarah Lisan Kisah Planet-Sebuah Lament ini dinarasikan oleh Septina Layan, seorang penyanyi lament asal Merauke , dan paduan suara Mazmur Chorale dari Kupang. Melalui lagu-lagu lament Melanesia, mereka menceritakan kisah kehidupan, trauma, doa, keselamatan dan harapan untuk masa depan bumi. Septina Layan, yang telah bertahun-tahun melakukan riset mengenai lagu lament menyebut bahwa lament merupakan sebuah upaya menjaga ingatan tentang suatu kejadian melalui nyanyian. "Jadi lament itu sebenarnya sastra yang dinyanyikan. Sebenarnya juga berkaitan dengan tradisi lisan. Tradisi lisan bagaimana menceritakan sejarah kehidupan menggunakan nyanyian," kata Septina kepada historia.id. Lament , yang bila diterjemahkan menjadi "ratapan", telah berkembang di banyak kebudayaan dunia seperti Mesopotamia, Yunani, hingga Skotlandia. Dalam kebudayaan bangsa Melanesia yang tersebar dari Maluku, Papua hingga Kepulauan Hawaii, lament dapat ditelusuri sejak tradisi pengayauan (perburuan kepala manusia) eksis. "Yang saya kumpulkan hampir semua lagu itu sebenarnya mulai dari (zaman) pengayauan sudah ada," terang Septina. Lament diciptakan orang-orang Melanesia ketika sedang berduka, seperti ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia maupun kejadian-kejadian yang memilukan. "Yang lain berkisah tentang hal-hal yang menyentuh perasaan. Melihat bencana, melihat dinamika kehidupan yang dia merasa bahwa itu tidak seharusnya seperti itu. Akhirnya ungkapan-ungkapan itu untuk menguatkan kembali. Nyanyian itu justru memberikan kekuatan," ungkanya. Paduan suara dari Kupang, Mazmur Chorale, menyanyi dan berakting. (Fernando Randy/Historia). Karena berasal dari tradisi lisan, lagu lament selama ini hanya dihidupi oleh mama-mama Papua. Ketika berkebun maupun pergi ke hutan, mama-mama Papua sering menyanyikan lament . Sebagaimana khas nyanyian Papua, lament hanya memiliki empat dan lima nada (tetratonis dan pentatonis). Lament juga sarat akan pengulangan atau repetisi, gaya resitatif, dan pengulangan beberapa nada di akhir kalimat lagu. Septina sendiri mengenal lament sejak kecil karena ia lahir dari keluarga yang menghidupi lament. Ayahnya, seorang pembantu pastor membuatnya dekat dengan lament, paduan suara, dan bermusik. Septina pun kemudian terpanggil menekuni nyanyian-nyanyian tradisi bangsa Melanesia itu. "Saya baru mengumpukan di wilayah selatan Papua. Kebetulan itu sebenarnya kerinduan saya karena nyanyian-nyanyian tradisi itu lebih banyak diminati oleh orang tua dan jarang dinyanyikan oleh anak-anak karena kesulitan bahasa," sebutnya. Septina kini telah menghimpun 30 lagu, menotasikan, dan menuliskan liriknya berdasar memori orang-orang yang sudah tua. Ia kemudian membukukan kumpulan lagu tersebut dan membagikannya kepada anak-anak. Ia juga melatih mereka menyanyikannya. Septina juga menciptakan sendiri lagu-lagu lament dengan tema-tema yang berkaitan dengan masalah lingkungan di Papua seperti tergusurnya hutan sagu hingga kehidupan burung cendrawasih. Monster-monster yang diperankan oleh Galabby, Douglas D’Krumpers, Bekham Dwaa, dan Pricillia E.M. Rumbiak. (Fernando Randy/Historia). Ruang Ekspresi Indonesia Timur Garin Nugroho, sutradara Planet-Sebuah Lamen menyebut pementasan ini merupakan upaya untuk membicarakan dan menyediakan ruang ekspresi bagi budaya Melanesia yang selama ini jarang tersentuh. Garin sudah tertarik dengan lament sejak tahun 2012. Dia menyebut  lament  hidup di sudut-sudut Nusantara purba dan menjadi ratapan sejarah purba dunia, baik ratapan hilangnya kota-kota maupun rusaknya peradaban sebab perang atau bencana. Sejak 1985, Garin juga telah melakukan perjalanan ke daerah timur Indonesia dan mendengarkan lament ­ di desa-desa. Selain itu, pengalaman mendengar lament dalam perayaan paskah di Pulau Procida, Italia hingga Larantuka, Nusa Tenggara Timur juga menginspirasinya. "Saya melakukan perjalanan panjang sejak 1985 di NTT, khususnya Flores. Kalau anda baca dalam tradisi musikologi, (mereka) memiliki kekayaan luar biasa pada vokal. Dan saya banyak sekali jalan di Papua. Bahasa tubuh Papua kalau anda lihat tadi luar biasa sekali. Vocabulary -nya hampir kita tidak punya," ujar Garin. Burung yang menetaskan telur menjadi hutan kecil. Diperankan oleh Rianto. (Fernando Randy/Historia). Garin kemudian melakukan riset tentang lament hingga tanpa sengaja bertemu Septina Layan di Papua. Ia juga kemudian bertemu paduan suara Mazmur Chorale dari Kupang serta penari-penari Papua. "Oleh karena itu, ini menjadi sebuah kumpulan dari mereka yang kemudian memang membawa suara Melanesia," terang Garin. Garin menambahkan, merayakan Melanesia tidak hanya dengan menyebut-nyebut eksistensinya, melainkan juga dengan memberi dukungan kepada bakat-bakat luar biasa orang Melanesia. Planet-Sebuah Lament telah digelar di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, 18-19 Januari 2020 dan akan membuka perhelatan Asia-Pacific Triennial of Performing Arts (Asia-TOPA) Februari mendatang di Melbourne, Australia. Pertunjukan ini juga dijadwalkan tampil di Dusseldorf, Jerman, dan Amsterdam, Belanda.

  • Misteri Kematian Frida Kahlo

    PERTUNJUKAN teater bertajuk Frida: Stroke of Passion oleh kelompok teater Macha yang bakal dihelat di Gedung Teater Casa 0101, Los Angeles pada 7 Februari 2020 mendatang memancing perhatian banyak pihak. Pertunjukan yang digarap sutradara pemenang Eddon Awards, Odalys Nanin, itu akan menyajikan detik-detik terakhir kehidupan pelukis legendaris asal Meksiko Frida Kahlo yang tak banyak diketahui publik.  Publik selama ini hanya mengetahui penyebab kematian Frida dari hasil resmi yang dirilis otoritas medis, bahwa Frida tewas karena pneumonia embolism (emboli paru) atau penyumbatan arteri di paru-paru. Pihak yang tak meyakini versi tersebut, termasuk Nanin, meyakini Frida meninggal pada 13 Juli 1954 karena bunuh diri. Keyakinan itu berangkat dari penafsiran atas kata-kata terakhir Frida di diary -nya: “ Espero Alegre la salida – y Espero no Volver jamás ”, yang artinya Aku begitu antusias menantikan jalan keluar – dan aku berharap takkan pernah kembali. Melalui Frida: Stroke of Passion , Nanin akan mengungkapkan hal baru. “Pertunjukan ini akan mengungkapkan pekan terakhir dalam hidup Frida Kahlo dan selubung misteri tentang siapa atau apa yang membunuhnya. Saya ingin menunjukkan babak-babak tentang fisik, emosi dan mental pikirannya selama sepekan sebelum kematiannya. Saya mengeksplorasi rasa sakitnya, rasa takut, cinta tapi yang terpenting adalah misteri kematiannya,” ujar Nanin, dikutip The Pride LA , 3 Januari 2020. Calon Dokter jadi Pelukis Lukisan hidup Frida memang penuh liku, sarat petualangan, cinta, dan skandal. Frida lahir pada 6 Juli 1907 di Coyoacán, Meksiko dengan nama lahir Magdalena Carmen Frida Kahlo y Calderón. Ia anak pertama dari rahim Matilde Calderón y González, perempuan berdarah Mestizo yang merupakan istri kedua fotografer Jerman Carl Wilhelm “Guillermo” Kahlo. Sejak kecil, Frida mengidap penyakit polio. Menukil Frida: The Biography of Frida Kahlo yang dirangkum sejarawan seni Hayden Herrera, Frida mengidap polio sejak usia enam tahun yang membuat kaki kanannya lebih kecil dari yang kiri. Seringkali di sekolah tingkat dasar ia jadi korban bullying karenanya. Namun, di rumahnya sang ayah begitu getol jadi “mentor” seni Frida, mulai fotografi hingga lukis. Frida Kahlo saat berusia lima tahun sebelum terkena penyakit polio (Foto: fridakahlo.org ) Frida termasuk pelajar yang cerdas. Ia nyaris jadi dokter kala studi medis di Escuela Nacional Preparatoria di Mexico City. Nahas, sebuah kecelakaan pada 17 September 1925 kala ia menumpang bus untuk pulang ke Coyoacan dari sekolahnya, merenggut masa depannya. “Tulang belakangnya patah di tiga bagian. Juga tulang selangkanya, serta tulang rusuk. Kaki kirinya mengalami retak di 11 bagian, tulang kaki kanannya tergeser, perutnya tertusuk besi handrail hingga menembus dinding vaginanya. Dokter yang merawatnya mengira dia takkan selamat di meja operasi,” ungkap Herrera. Frida akhirnya selamat setelah diopname selama sebulan di rumahsakit dan dua bulan rawat jalan. Otomatis Frida hanya bisa beraktivitas di kursi roda dan ketergantungan obat pereda nyeri. Ia lalu beralih studi ke politik. Bahkan, ia jadi kader PCM atau Partai Komunis Meksiko. Goresan Riwayat di Atas Kanvas Namanya sebagai seniman mulai dikenal sejak bergabung dengan partai komunis dan berkenalan dengan sejumlah aktivis seperti Julio Antonio Mella (eksil komunis Kuba), Tina Modotti (aktivis, seniman, dan fotografer Amerika), dan pelukis Diego Rivera yang kelak pada 1929 jadi suaminya. Setelah berpacaran dengan Rivera, Frida mulai getol mengeluarkan karya surealis yang sudah dirintisnya sejak 1926. “Tampak energi yang tak biasa, penggambaran karakter yang sangat tepat dan menggambarkan kekerasan yang sebenarnya…memiliki dasar pengaruh yang sangat jujur, kepribadian artistiknya juga orisinil. Jelas gadis ini seniman yang otentik,” ujar Rivera yang terpesona pada karya-karya Frida kala keduanya bersua pada 1928, dikutip Herrera. Selain gemar menelurkan lukisan potret diri, karya Frida tak jarang menggambarkan budaya masyarakat Meksiko prakolonial. Beberapa karya lainnya dipengaruhi aktivitas politik yang diikutinya mengenai isu-isu gender serta pembagian kelas di masyarakat Meksiko. Selain potret diri, Frida juga tak jarang melukis potret keluarga, seperti potret ayahnya, Carl Wilhelm “Guillermo” Kahlo, misalnya (Foto: fridakahlo.org ) Reputasi Frida meroket setelah menggelar pameran-pameran solo. Di antaranya, pameran di Galeri Seni Julien Levy, New York, pada 1938 yang disponsori seniman surealis André Breton. Juga pameran di Paris setahun setelahnya. “Meski pamerannya di Paris bertajuk The Mexique secara finansial kurang sukses, Musée National d’Art Moderne, Centre Georges Pompidou (Museum Louvre) membeli salah satu karya Kahlo, (berjudul) The Frame ,” ungkap Terri Hardin dalam Frida Kahlo: A Modern Master. Lukisan The Frame yang berukuran 28,5x20,7 itu merupakan lukisan potret diri yang dibuat Frida pada 1938. Karyanya tergolong anti- mainstream lantaran dilukis di atas kombinasi lembaran alumunium dan kaca. Frida sosok bertangan dingin jika sudah menggoreskan cat minyak di atas kanvas. Ia satu-satunya pelukis Meksiko yang karyanya terpajang di museum seni terbesar dunia, Louvre. Hari-Hari Terakhir Kendati di tahun 1940-an getol menelurkan banyak karya, kondisi kesehatan Frida berangsur menurun. Infeksi luka di tangan, sifilis, hingga depresi karena meninggalnya sang ayah pada April 1941 menjangkitinya. Pada 1950, Frida bahkan hampir menghabiskan sepanjang tahun dengan dirawat di Rumahsakit ABC, Mexico City usai operasi perbaikan tulang periodontal. Tiga tahun berikutnya kondisi Frida kian miris akibat penyakit gangrene atau kematian jaringan sel di kaki kanannya. Kaki kanan Frida mulai dari lutut ke bawah diamputasi pada Agustus 1953. Rasa sakit di kakinya membuat Frida mulai berpikir untuk mengakhiri hidupnya. “Mereka telah memberiku siksaan yang rasanya berabad-abad dan pada suatu ketika saya kehilangan alasan. Aku terus mengeluarkan keinginan untuk bunuh diri. Hanya Diego yang mencegahku melakukannya. Tak pernah aku merasakan sakit seperti ini sepanjang hidupku,” tulis Frida dalam diary -nya pada Februari 1954, dikutip Martha Zamora dalam Frida Kahlo: The Brush of Anguish. Meski sakit, Frida masih aktif di politik. Beberapa pekan sebelum meninggal, Frida bersama suaminya ikut berunjuk rasa menentang invasi CIA (dinas intelijen Amerika) di Guatemala. Namun gegara ikut demo itu pula kondisi kesehatannya kian gawat. Pada 12 Juli 1954 malam Frida mengalami demam tinggi dan hampir tak berhenti berteriak akibat rasa sakit di tulang belakangnya. Lukisan potret keluarga Frida Kahlo (kiri) dan lukisan "The Frame" (kiri) yang dibeli Museum Louvre pada 1939 (Foto: fridakahlo.org ) Pagi 13 Juli 1954, Frida ditemukan terbaring tak bernyawa di atas tempat tidurnya oleh salah satu asisten rumah tangganya di La Casa Azul. Catatan medis menerangkan, Frida meninggal karena emboli paru lantaran memang ia juga mengidap pneumonia. Setelah dikremasi, abu jenazahnya disimpan di kediamannya di La Casa Azul, yang pada 1958 diubah menjadi Museum Frida Kahlo. Dikremasinya jenazah Frida tanpa melalui otopsi menimbulkan misteri penyebab kematiannya. Beberapa pihak meyakini ia bunuh diri dengan menenggak obat pereda nyeri lebih dari dosis yang disarankan dokter. Setidaknya begitu yang diyakini Herrera dalam biografi Frida maupun Nanin yang akan mementaskan Frida: Stroke of Passion . Jalan berliku hidup Frida menginspirasi banyak orang untuk mengisahkannya lewat  novel, serial televisi, maupun film. Biopik Frida, Naturaleza Viva (1983) atau Frida (2002), yang diperankan aktris kawakan Hollywood Salma Hayek, hanyalah sedikit di antaranya.

  • CIA dalam Penyanderaan Konsulat Indonesia

    PARA pendukung gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) beberapa kali melakukan aksi di Belanda. Aksi pertama pada 31 Agustus 1970, mereka menyerang Wisma Indonesia, kediaman Duta Besar Indonesia, di Wassenaar. Hari itu bertepatan dengan kedatangan istri Mr. Dr. C.R.S. Soumokil, proklamator dan presiden pertama RMS, di Belanda. Dalam kontak senjata, seorang polisi Belanda, Hans Molenaar, mati. Duta Besar Letjen TNI (Purn.) Taswin Natadiningrat berhasil meloloskan diri.

bottom of page