Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kebakaran Hutan Masa Majapahit
Kebakaran hutan di musim kemarau bukan hanya terjadi di masa kini. Tapi juga terjadi di masa Jawa Kuno. Ada beberapa petunjuk yang bisa menggambarkan kebakaran hutan pada masa lalu. Salah satunya Prasasti Katiden II atau Prasasti Lumpang. Prasasti tembaga itu ditemukan di Desa Katiden, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, pada lereng timur Gunung Arjuna. Berdasarkan pembacaan ahli epigrafi Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti, prasasti itu berisi pengumuman resmi pengukuhan kembali perintah pejabat Majapahit yang meninggal di Krrtabhuwana. Dia adalah penguasa yang mengeluarkan Prasasti Katiden I (24 Maret/22 April 1392). Sementara penguasa yang mengukuhkan ulang tiga tahun kemudian adalah Sri Bhatara Parameswara. Pengumuman itu ditujukan kepada pancatanda yang berkuasa di Turen, dan pejabat lainnya seperti wedana, juru, dan buyut. Seruan juga ditujukan kepada penduduk di sebelah timur Gunung Kawi, baik yang berada di timur atau di barat sungai. Pengumuman itu sehubungan dengan kedudukan warga Katiden yang meliputi sebelas desa. “Oleh karena mereka menjaga alang-alang ( hangraksa halalang ) di Gunung Lejar, mereka dibebaskan dari segala macam pajak, dibebebaskan dari jalang palawang , taker turun , demikian pula tahil dan segala macam titisara dibebaskan…,” sebut sisi bagian depan prasasti itu. Sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, mengatakandari prasasti itu, penduduk di wilayah satuan desa ( wisayapumpunan ) Katiden mendapat anugerah berupapembebasan pajak, perburuan, pengkonsumsian tanaman, pemanfaatan kayu gaten dan telur penyu. Mereka diberikan hadiah itu lantaran berjasa menjaga ilalang. “Sangat boleh jadi untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan, yang kerap disebabkan terbakarnya ilalang kering pada puncak kemarau,” kata Dwi. Apalagi menurut pembacaan L.C . Damais, peneliti École française d'Extrême-Orient (EFEO) , prasasti ini ditulis pada 17 Juli atau 15 Agustus 1395. “Tergambar bahwa kala itu adalah musim kemarau , ketika ilalang di Gunung Lejar dalam kondisi kering dan karenanya rentan terbakar,” kata Dwi. Berdasarkan keterangan prasasti, wilayahKatidenberada di timur Gunung Kawi. Lokasi yang mungkin terbakar, ada di areal Gunung Lejar yang kini disebut Gunung Mujur, yaitu anak dari Gunung Arjuna.Toponimi Lejar masih ada pada nama Desa Nglajar di wilayah utara-timur Kota Batu. Hutan di Gunung Mujur memang termasuk area hutan yang rentan terbakar hingga kini. “Celakanya semenjak masa Majapahit lokasinya berada dekat dengan areal permukiman,” kata Dwi. Adapun warga Katiden kemungkinan masuk dalam kelompok wong kalang . Mereka bermukim di tepian gunung atau hutan yang hidup dengan memanfaatkan sumber daya hutan. Peristiwa kebakaran hutan juga tergambar lewat relief Jataka di dinding Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Kebakaran digambarkan melanda hutan kecil di tepian kota. Kobaran api membuat binatang penghuni hutan, seperti kijang, burung, dan hewan lainnya berlarian menyelamatkan diri. Seekor anak burung puyuh terjebak dalam kobaran api. “Dari relief itu bisa tergambar ketika terjadi bencana, seperti kebakaran hutan, hewanlah yang bereaksi paling awal,” kata Dwi.“Sehingga dapat dijadikan sebagai indikator atau peringatan dini bahwa tengah terjadi suatu bencana.” Soal mitigasi, kata Dwi, pengalaman masa lalu itu bisa dijadikan pelajaran. Seperti digambarkan dalam prasasti, pemerintah secara khusus memberikan tugas kepada warga yang bermukim di tepi hutan sebagai penjaga. Penguasa memberikan anugerah kepada mereka karena berhasil mengemban tugasnya. “ Warga dari desa-desa itu berada di garda depan, yang semestinya paling sigap terhadap bencana tahunan kebakaran hutan di sekitanya,” kata Dwi.
- Agen CIA di Medan
DEAN Almy, agen CIA di Konsulat Amerika Serikat di Medan, menerima telegram dari James M. Smith Jr., Kepala Stasiun CIA di Jakarta. Dia diperintahkan untuk menemui Kolonel Maludin Simbolon di Bukittinggi.
- Shili Foshi yang Berubah Jadi San-fo-tsi
Di laut selatan sebuah kerajaan bangsa liar dikenal dengan nama Kerajaan San-fo-tsi. Ia memerintah 15 macam negeri. Letak San-fo-tsi ada di antara Chen-la dan Shepo. Bila angin baik, berlayar dari Kwang-tung ke negara itu bisa ditempuh dalam waktu 20 hari. Negeri itu tak menghasilkan gandum. Mereka memproduksi padi, kapri kuning dan hijau. Masyarakatnya menggunakan huruf Sanskerta. Mereka juga mengenal huruf Tiongkok. Jika mereka mengirim utusan ke Tiongkok mereka menulis dengan huruf itu. Begitu Dinasti Song (960-1279) di Tiongkok mencatat keberadaan kerajaan San-fo-tsi. Sementara itu, berita dari Zhu Fan Zhi atau Catatan Bangsa Asing yang disusun kepala bea cukai di Quanzhou, Fujian, Zhao Rugua pada masa Dinasti Song, menguraikan San-fo-tsi adalah negeri di selatan Ch-uan-hou, yang berhadapan dengan Formosa Utara. Rakyatnya bersarung kain kapas dan berpayung sutra. Mereka pandai berperang, baik di laut maupun di darat. Organisasi ketentaraannya sangat rapi. Banyak ahli, termasuk W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, yang menafsirkan San-Fo-tsi sebagai Kedatuan Sriwijaya yang ada di Palembang . Arkeolog George Cœdès dalam Kedatuan Sriwijaya pun mendukung pernyataan itu. Ia mengutip berita Tionghoa Zhao Rugua yang juga mengatakan kalau San-Fo-tsi berada di tepi laut besar dan menguasai lalu lintas pelayaran dari dan ke Tiongkok. Namun, Slamet Muljana dalam Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi berteori bahwa San-fo-tsi adalah kerajaan yang berbeda. San-fo-tsi mulai tercatat pada abad ke-10 merupakan kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya yang pernah berjaya pada abad ke-7. Sebelumnya, Kerajaan Sriwijaya pernah disebut dalam catatan Tiongkok dengan nama Shili foshi (Che-li-fo-che). Nama ini tercatat dalam Sejarah Baru Dinasti T’ang ( Hsin-t’ang-shu ) dari 618-907, maupun dalam karya biksu Tiongkok I-Tsing yang mampir di Sumatra dalam perjalanannya ke Nalanda. Hsin-t’ang-shu mencatat, Kerajaan Shili foshi mengirim utusan ke Tiongkok dalam kurun waktu 670-673 dan 737-741. Namun, sejak itu, utusan dari sana tak dikabarkan lagi. Beberapa abad setelah Shili foshi tak muncul, dalam perdagangan internasional pada 960 muncul kerajaan di Sumatra yang dicatat dengan nama berbeda, San-fo-tsi. Negeri ini mengirim utusan ke Tiongkok berkali-kali. Sejarah Dinasti Sung ( Sung Shi ) mencatat kedatangan utusan itu ke Tiongkok pada 960, 962, 971, 974, 975, 980, 983, 985, dan 988. Utusan yang terakhir tinggal di Kanton sampai 990. Waktu itu ia medengar negerinya sedang diserang oleh tentara dari negeri Cho-p’o. Hampir bersamaan dengan berita Tiongkok tentang adanya sebuah kerajaan bernama San-fo-tsi di lautan selatan, sejarah India memberikan petunjuk keberadaan kerajaan di tanah Sumatra, yaitu dalam prasasti Nalanda dari abad ke-9. Tersebutlah Raja Dewapaladewa, Raja Benggala di India, memerintahkan membuat prasasti yang memberitakan Sri Maharaja Balaputradewa menghadiahkan beberapa bangunan vihara kepada Universitas Nalanda. Ia berasal dari Suwarnadwipa, yang berarti Pulau Emas, dan menganut agama Buddha. Tertulis pula kakek sang Raja Balaputradewa yang dikenal dengan sebutan Sailendravamsatilaka Sri Wirawairimathana atau permata keluarga Sailendra, pembunuh musuh-musuh yang gagah perwira. Sejarawan Slamet Muljana berpendapat Suwarnadwipa adalah nama Sanskerta asli yang tidak digunakan dalam prasasti-prasasti Jawa dan Melayu. Yang digunakan dalam prasasti Jawa, yaitu Prasasti Amoghapasa (1286), adalah Suwarnabhumi. Arca ini dikirim Raja Kertanegara dari Singhasari kepada Raja Tribhuwanaraja sebagai Raja Suwarnabhumi. Ekspedisi yang terjadi pada 1275 ini kemudian dikenal sebagai Pamalayu. Dengan begitu, San-fo-tsi sebenarnya adalah transliterasi dari kata swarnabhumi. Ia merupakan kelanjutan dari Sriwijaya yang pernah berjaya pada abad ke-7. Pendapat itu kemudian didukung oleh sejarawan Suwardono dalam Sejarah Indonesia Masa Hidu-Buddha. “Kerajaan San-fo-tsi merupakan kelanjutan atau kebangkitan kembali dari Sriwijaya (Shili Foshi),” kata Suwardono. Analoginya, menurut Suwardono, seperti Kerjaan Singhasari yang didirikan oleh Rajasa. Ia kemudian hancur pada 1292. Berikutnya timbul kerajaan baru bernama Majapahit. Mengapa tak diberi nama yang sama oleh Wijaya? Alasannya, Majapahit ibu kotanya tak lagi di tempat di mana Singasari beribukota. Wijaya memindahkannya ke Trik, Mojokerto. Begitu juga dengan Shili foshi yang sempat tenggelam dalam hubungan internasional selama sekira 150 tahun lebih. Ia baru bangkit lagi pada akhir abad ke-9. “Bangkitnya Sriwijaya sebagai negara baru serta nama yang baru yaitu San-fo-tsi (Suwarnabhumi), dengan kota yang baru pula, yakni Jambi." Ibu Kota Baru Sriwijaya Namun, dalam Sriwijaya, Slamet Muljana seakan mengubah pandangannya. Swarnadwipa tak mungkin ditranskripsikan San-fo-tsi dalam tulisan Tionghoa. Sementara Swarnadwipa yang ada dalam prasasti Nalanda jelas merujuk pada pusat pemerintahan yang sama dengan yang disebut dalam prasasti-prasasti Sriwijaya. Alasannya, nama Swarnadwipa telah banyak dikenal dalam berita Tionghoa. I-Tsing menyebut dalam karyanya dengan Chin-chou atau Pulau Emas. Baik Swarnadwipa maupun Swarnabhumi punya arti yang sama dengan itu sebagai sebutan lawas untuk Pulau Sumatra. “Ia tak mentranskripsikannya ke dalam huruf Tionghoa tapi menerjemahkannya,” jelas Slamet Muljana. Pun letaknya, menurut Slamet Muljana, bukan pula di Jambi. Justru Jambi mungkin adalah bawahan San-fo-tsi. Dalam Sung-hui-yao atau catatan pemerintahan pada masa Dinasti Sung, pada 1082, Kerajaan Jambi masih berdiri sendiri sebagai bagian dari kerajaan San-fo-tsi. Kerajaan Jambi itu disebut Chan-pei. Nama yang mirip, yaitu Kien-pi disebutkan dalam Zhu Fan Zhi sebagai salah satu dari 15 negara bawahan San-fo-tsi. Selain Kien-pi, Zhu Fan Zhi yang disusun pada 1225 menyebut negeri bawahan kerajaan San-fo-tsi lainnya yaitu Pong-fong, Tong-ya-nong, Ling-ya-si-kia, Kilantan, Fo-lo-an, Ji-lo-ting, Tsien-mai, Pa-t’a, Tan-ma-ling, Kia-lo-hi, Pa-lin-fong, Sin-to, Lan-mu-li, dan Siam. Slamet Muljana kemudian menyamakan Pong-fong dengan Pahang, Tong-ya nong dengan Trengganu, Ling-ya-si-kia dengan Langkasuka, Ki-lan-tan dengan Kelantan, Ji-lo-ting dengan Jelotong di ujung tenggara Semenanjung, Tan-ma-ling dengan Tamralingga, Kia-lo-hi dengan Grahi, Pal-lin-fong dengan Palembang, Sin-to dengan Sunda, Ken-pi dengan Pulau Kempe di teluk Aru, Lan-wu-li dengan Lamuri (Aceh), Si-lan dengan Cyelon atau Sailan atau Sri Lanka. Karena Palembang dan Jambi masuk ke dalam daftar bawahan San-fo-tsi, artinya kerajaan itu tak bisa dicari di keduanya. Slamet Muljana beranggapan San-fo-tsi haruslah transkripsi dari nama tempat yang sudah ada pada masa Sriwijaya. Pasalnya pada 960 ketika Sriwijaya masih berdiri, nama San-fo-tsi telah muncul dalam sejarah Tionghoa. Selain di dalam catatan resminya juga ada dalam Prasasti Kanton (1079) yang mencatat perbaikan kuil Ti’en Ching atas biaya raja San-fo-tsi bernama Ti-hu-ka-lo. Slamet Muljana lalu menemukan transkripsi San-fo-tsi tak jauh dari nama Sambhogin. Ini didapat setelah ia meminta dua orang Tionghoa menulis Sambhogin dengan huruf Tionghoa. “Keduanya menjawab sulit sekali. Namun mereka berusaha juga untuk menulisnya. Mereka lalu membacanya menurut ucapan Mandarin dan Kanton: San-fo-tsi,” kata Slamet Muljana. Berdasarkan percobaan itu, dia yakin kalau San-fo-tsi dalam sejarah Sung adalah transkripsi dari Sambhogin. Sekarang nama itu menjadi Sabukingking, yang kini ada di timur Palembang, di tepi Sungai Musi. “Demikianlah Sabukingking atau Sambhogin adalah ibu kota Sriwijaya pada abad ke-10 ke atas,” kata Slamet Muljana. Artinya, ibu kota Sriwijaya pada abad ke-10 berpindah. Tapi, perpindahan itu tak jauh, dari Palembang ke Sabukingking. “Orang-orang Tionghoa menyebut nama kerajaan, yang pada waktu itu masih jelas bernama Sriwijaya, dengan nama pusat kerajaannya,” kata Slamet Muljana.
- Dari Manila ke Manila
SORE itu, 5 September 2019, di salah satu bidang lapangan basket Gelora Bung Karno. Seolah tak mau kalah dari keriuhan sekitar arena yang dikeluarkan suporter timnas Indonesia jelang pertandingan Indonesia kontra Malaysia, Julisa Rastafari acap mengeluarkan suara lantangnya. Urat di tenggorokannya berulangkali menegang kala ia memberi instruksi lewat teriakan. Maklum, arahannya harus terdengar para anak asuhnya. Gaya melatih Julisa memang keras. Seringkali omelan dengan kata-kata kasar keluar dari mulutnya. Sesekali tangannya tampak “gatal” seperti ingin menampar. Namun, semua itu cair ketika anak-anak asuhnya bisa mempraktikkan arahannya dengan benar, yang diikuti tos atau sekadar acungan jempol. Pun begitu, tak sekali pun terlihat orangtua anak-anak didiknya naik pitam atas gayanya melatih pasukan putri U-14 Indonesia Muda (IM). Sebaliknya, laku-laku Julisa justru beberapakali mengundang tawa kecil beberapa aparat keamanan di pinggir lapangan. “Kalau orang baru kenal pasti enggak betah sama saya. Jadi sebelum mereka minta saya (melatih), duduk bersama dulu orangtuanya. Kalau di lapangan saya (seperti) pakai helm. Saya enggak mau tahu itu anak presiden, pejabat, kalau salah ya saya omelin. Jadi harus commit dulu bahwa di lapangan dia anak gue. Mau gue apain kek, mau dikatain, enggak boleh marah,” kata Julisa kepada Historia. Melatih di IM jadi rutinitas Julisa di usia yang tak lagi muda. Setelah pensiun dari pemain pada 1992, ia sempat masuk kepengurusan Perbasi di Bidang Pembinaan Wanita hingga Bidang SDM dan Sertifikasi (1994-2014). Pernah pula ia melatih timnas U-16 pada 2013 dan U-18 setahun setelahnya. Julisa M. Rastafari tak segan bersikap keras terhadap anak-anak didiknya. (Fernando Randy/Historia). Darah Atlet Ibu dari pilar timnas basket putra Andakara Prastawa Dhyaksa itu juga lahir dari ayah seorang olahragawan. Ia lahir di Jakarta, 30 Juli 1962 dari pasutri Tuti Basuki dan Mursanjoto, kiper timnas Indonesia era 1950-an. Nama lahirnya Julisa Moertoetyana. Rastafari ditambahkan di belakang namanya setelah ia dipersunting pelatih basket legendaris Rastafari Horongbala pada 1991. Belakangan diketahui, ternyata ia masih sepupu dari sprinter legendaris Mohammad Sarengat. Dalam program “Impact” yang dipandu Peter Gontha pada 2007, Sarengat berkisah bahwa ayah Sarengat yang merupakan petenis Prawirosuprapto, merupakan ipar dari Mursanjoto. “Dia (Mursanjoto) awalnya dari IM juga. Jadi darah olahraga orangtua menurun ke saya. Tapi kenapa saya lari ke basket, mulanya gara-gara diledekin kakak saya waktu SD. Sama kakak saya sering diajakin main basket tapi pakai bola tenis. Tempat lilin dijadikan ring mini. Tapi sering dicurangin karena saya enggak ngerti aturannya,” kenangnya. Maka ketika beranjak SMP, ia mulai menseriusi bola basket, termasuk memahami aturan-aturannya, dengan mengikuti ekstrakurikuler di sekolahnya, Santa Theresia. Di situ pula ia mengenal latihan keras hingga membuatnya nyaris kapok main basket. “Pelatihnya di (SMP) Santa Theresia kebetulan bagus. Darnoto, adiknya Ary Sudarsono (pebasket legendaris nasional dan pembawa acara). Galaknya minta ampun. Sadis itu pelatih. Sempat saya ngambek enggak mau basket lagi. Terus ketemu Mas Ary Sudarsono. Dia bilang, mental kamu kecoa! Begitu ‘doang’ ngambek enggak mau basket lagi,” tutur Julisa. Pertemuan dengan Ary Sudarsono itu jadi titik balik kiprahnya. Ia tertantang untuk berlatih lebih keras sembari menempa mental. Maka jika dibilang siapa orang paling berjasa bagi sepakterjangnya di luar keluarga, Ary Sudarsono jawabannya. “Ya karena itu tertantang. Dia bilang, siapa tahu sebentar lagi jadi pemain nasional. Saya pun lanjut latihan dan sering nambah sendiri latihannya. Kebetulan saya juga senang olahraga dari kecil. Stamina dan nafas terbantu dari kegemaran saya olahraga beladiri, mulai dari karate sampai pencak silat. Sempat juga saya ikut Merpati Putih (dilatih) sama Mas Poeng dan Mas Budi (mendiang guru besar Purwoto Hadipoernomo dan Budi Santoso Hadipoernomo) di SD Besuki 3,” imbuhnya. Bak nostalgia dengan masa-masanya menjadi pemain, Julisa kerap berlarian men-dribble bola untuk memberi contoh. (Fernando Randy/Historia). Prestasi di Manila Sejak diguyur wejangan Ary Sudarsono, perlahan tapi pasti kiprah Julisa melesat. Selain digembleng di tim SMP Santa Theresia, ia ditempa di klub pertamanya, Prambors, hingga masuk tim inti DKI Jakarta untuk Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI) hingga PON 1977. “Setelah POPSI saya masuk IM dan dari situ bisa terpilih seleksi timnas Perbasi untuk persiapan SEA Games 1983. Dari waktu ke waktu kita TC ( training camp ) di Malaysia. Setiap hari ketemunya tim Malaysia. Eh , enggak tahunya di SEA Games (edisi 1991) kita ‘ngalahin’ dia, hahaha …,” kata Julisa mengenang dibumbui tawa. Dari empat SEA Games, Julisa punya koleksi dua perunggu dan sekeping perak. Dua perunggu diraihnya bersama tim putri di SEA Games 1987 dan 1989. Sementara yang paling bernilai, satu perak, dipetiknya di SEA Games Manila 1991. Di ibukota Filipina itulah Julisa seolah menebus kegagalan ayahnya di Asian Games 1954 di kota yang sama. Timnas PSSI yang saat itu tergolong “macan Asia” justru gagal meraih medali. Catatan RSSSF , Mursanjoto yang tampil menggantikan Parengkuan di bawah mistar, tetap gagal membantu timnas menang di perebutan perunggu. Timnas PSSI keok 4-5 dari Burma (kini Myanmar). “Kalau dapat perunggu rasanya biasa saja ya. Tentu pas meraih perak yang paling berkesan buat saya dan paling saya banggakan. Saat itu kita enggak menyangka bisa mengalahkan Malaysia. Saat TC ketemunya dia terus. Malaysia juga sudah anggap kita di bawahnya dia. Kita juga berpikirnya rebutan perunggu lagi sama Filipina atau tim lain,” sambung Julisa. Di SEA Games 1991 yang bersistem klasemen itu, tim putri Indonesia menang empat dari lima partai yang dimainkan. Malaysia termasuk dari empat lawan yang mampu mereka bekap (Indonesia vs Malaysia: 58-49). Hanya saja, mereka takluk oleh Thailand (54-65) di partai penentuan medali emas. Dua puluh empat tahun lamanya prestasi itu belum pernah disamai apalagi dilewati oleh para penerus Julisa dkk. Baru pada SEA Games 2015, timnas putri di bawah manajer Augie Fantinus dan pelatih Bambang Asdianto Pribadi kembali membawa pulang medali perak. Julisa M. Rastafari bersama sepasukan asuhannya U-14 Indonesia Muda. (Fernando Randy/Historia). Julisa sendiri sempat punya nazar bahwa dia takkan bisa tidur nyenyak dan belum bersedia meninggalkan lapangan untuk melatih jika prestasi tim putri belum bisa menyamainya – medali perak SEA Games. Kini, ia sudah bisa tenang. “Bangga dan terharu melihat timnas basket putri yang meraih kembali perak di SEA Games 2015, kali pertama setelah 24 tahun. Peran Augie sebagai manajer timnas putri pantas diberi acungan jempol,” tulisnya dalam testimoni otobiografi sang manajer, Jump!: Dari Penonton Jadi Manajer Timnas Indonesia .
- Jagoan PKI Anti Peluru
PADA 19 September 1948, PKI dan aliansinya yang menamakan diri Front Demokratik Rakyat (FDR) melakukan gerakan bersenjata di Madiun. Menurut Soe Hok Gie, perebutan kota tersebut berlangsung sejak jam 02.00. “Pagi-pagi pada 19 September, pemerintah RI ditumbangkan…” ungkap sejarawan muda asal UI itu dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan . Sehari kemudian Kolonel Djoko Soedjono, salah satu tokoh FDR, menegaskan bahwa tindakan-tindakan di Madiun bukanlah suatu pemberontakan. Dia menyebut istilah gerakan itu sebagai bentuk koreksi dari para pemuda revolusiener. Namun pemerintah RI di bawah Sukarno-Hatta terlanjur menganggapnya sebagai suatu upaya kudeta. Karena dianggap makar, maka pemerintah RI mengerahkan kekuatan militernya guna menumpas gerakan tersebut. Salah satu pasukan yang ditugaskan untuk menghancurkan kekuatan FDR adalah Divisi Siliwangi yang saat itu tengah berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sejak awal Oktober 1948, unit-unit Siliwangi sudah bergerak memburu Tentara Merah (istilah untuk kekuatan militer di bawah FDR) ke Madiun. Tanpa perlawanan yang berarti pada 30 September 1948, Madiun bisa dikuasai lagi oleh pasukan pemerintah. “Mayor Sambas Atmadinata dengan Batalyon Kian Santang-nya dan Peleton I MA (Akademi Militer) memasuki kota Madiun…”tulis Himawan Soetanto dalam Perintah Presiden Sukarno: “Rebut Kembali Madiun…” Gerakan pasukan pemerintah usai menguasai Madiun dilanjutkan dengan operasi perburuan orang-orang FDR ke wilayah-wilayah sekitar Madiun. Laiknya di Madiun, kekuatan FDR di kota-kota lain pun seolah tak bertaji dan selalu berhasil dipukul mundur oleh pasukan Siliwangi. Saat pembebasan suatu kawasan dari tangan FDR, unit-unit Siliwangi dan pasukan pemerintah lainnya melakukan penangkapan terhadap sejumlah tokoh PKI. Mereka terdiri dari prajurit, perangkat desa, lurah dan camat yang diangkat oleh FDR begitu Insiden Madiun meletus. Pada 18 Oktober 1948, giliran Blora jatuh ke tangan pasukan pemerintah yang diwakili oleh Batalyon Kala Hitam dari Divisi Siliwangi. Seperti biasanya, saat pembebasan sebuah kawasan, terdapat sejumlah musuh yang menjadi tawanan. Menurut Mayjen TNI (Purn.) Rachwono (saat itu masih seorang kadet di MA), salah seorang tawanan terlihat bersikap menantang dan seolah tak mau menyerah. Seorang prajurit Kala Hitam kemudian membawa tawanan itu ke tengah alun-alun Blora yang sudah dipenuhi kerumunan rakyat. Dengan menggunakan sepucuk pistol, dia kemudian menembak jagoan PKI itu dari jarak sekitar 30 meter. Dor! Peluru mengenai kening. Namun dia sama sekali bergeming. Hanya asap tipis yang nampak terlihat di sekitar kepalanya. Melihat pemandangan tersebut, seorang sersan berlari ke arah tawanan itu, menuntunnya ke tempat lain lalu dia mundur. Begitu berjarak sekitar 8 meter dari sang tawanan, dia berhenti seraya mengeluarkan pistol mitrailleur Scmeiser kaliber 9 mm dari sarungnya. Pistol dikokang lalu ditarik pelatuknya. Klik. Hanya itu yang terdengar. Dipicu lagi. Klik. Hingga tiga kali ditembakan, pistol itu sama sekali tak berfungsi. Semua yang hadir menjadi bingung termasuk Mayor Kemal Idris, komandan Yon Kala Hitam. Di tengah kebingungan itu, seorang komandan peleton menghampiri Mayor Kemal. “Ada apa, Mayor?” tanyanya. “Itu tawanan mita mati,” jawab Kemal. Tanpa banyak cakap lagi, sang Danton mencabut pistol Parabellum kaliber 9 mm dari sarungnya. Dia melambaikan tangannya kepada tawanan itu supaya mendekat. Seperti kerbau dicocok hidungnya, sang tawanan berjalan pelan menghampiri. Begitu dekat, sang Danton lalu menempelkan pistolnya ke kening jagoan PKI itu. Thek! Thek! Dua kali dipicu kembali pistol tidak berbunyi. “Punya ilmu ya?” tanya sang Danton. “Ndak…” jawab tawanan. Pistol dikokang lagi. Laras ditempelkan kembali ke kening tawanan. Dor! Kali ini dia terjengkang dan langsung roboh tak berkutik lagi. “Rupanya, jawaban “ndak” dari sang jagoan merupakan kunci pelepasan ilmu kebalnya sehingga dia mati sesuai permintaannya…” ungkap Rachwono dalam sebuah dokumen pribadinya. Mayor Kemal Idris termasuk orang yang kerap melihat kejadian aneh seperti di alun-alun Blora. Saat membebaskan Pati (pada Oktober 1948 juga), dia pun terlibat dalam kejadian serupa. Bahkan menurut Kemal, kejadian itu bukan saja disaksikan masyarakat banyak dan puluhan anak buahnya namun juga melibatkan mata perwira Australia Kolonel Stewart, seorang peninjau dari Komisi Tiga Negara (KTN). Itu nama sebuah lembaga yang dibuat PBB untuk mengawasi gencatan senjata antara Belanda-Indonesia pasca Perjanjian Renville. “Dia pun sampai heran dan bingung melihat kejadian itu,” ujar Kemal Idris dalam biografinya, Bertarung dalam Revolusi yang disusun oleh Rosihan Anwar, Ramadhan K.H. , Ray Rizal dan Dien Madjid. Ceritanya, seorang benggol (jagoan) PKI berhasil ditangkap. Setelah melalui pengadilan kilat, diputuskan dia mendapat hukuman mati. Maka eksekusi pun dilangsung di alun-alun Pati dengan disaksikan banyak orang. Namun berkali-kali ditembak dengan menggunakan berbagai jenis senjata (termasuk senapan otomatis), si benggol tetap segar bugar. Giliran Letnah Ahmad yang kemudian mencoba untuk mengeksekusi tawanan kebal peluru itu. Saat berhadapan dengan sang benggol , terjadilah dialog. “Kemana kawan-kawan kamu?” tanya Letnan Ahmad. Si benggol diam seribu bahasa. “Kalau kamu diam saja, kamu saya tembak!” hardik Letnan Ahmad. “Tembak saja,” ujar tawanan dalam nada tenang. Letnan Ahmad mengeluarkan sebutir peluru dari magasin pistolnya. Setelah menggesek-gesekannya ke tanah, peluru itu dimasukan kembali ke magasin. “Kamu mau mati ya?” “Ya.” Sang letnan kemudian mengarahkan pistol ke dada sang benggol . Dor! Suara pistol memecah ketegangan. Tawanan terhukum mati pun terpental. Dia langsung tewas seketika. Di Punung, Pacitan, para kadet MA mengalami kejadian serupa. Seperti dikisahkan oleh Daud Sinjal dalam Laporan Kepada Bangsa Militer Akademi Yogya , tersebutlah seorang lurah pro PKI yang diputuskan pengadilan kilat harus dihukum mati. Lurah yang dikenal sebagai seorang warok (jawara) itu lantas menghadapi regu tembak dengan sikap jumawa. Benar saja ketika ditembak, sang lurah sama sekali tidak mati. Alih-alih mati, darah yang keluar dari batok kepalanya malah dihirup kembali dengan tenangnya. Untunglah dalam situasi kritis itu, seorang tua menghampiri kadet Suhardiman. Dia kemudian berbisik,” Den Hardiman, dia punya aji-aji hitam di kolornya.” Jimat itu kemudian diambil. Hukuman tembak dilanjutkan. Barulah pada tembakan ke-4, sang warok itu tewas bersimbah darah.
- Gamelan Rantang dari Pengasingan
Kamp Tanah Merah terletak di pedalaman hutan kawasan atas aliran Sungai Digul yang penuh buaya. Jaraknya kira-kira 160 km dari Merauke, empat malam jika naik sampan. Pada Maret 1927, kapal dari Surabaya berlayar menuju tempat itu membawa rombongan besar pertama tahanan politik Belanda. Mereka yang dikirim ke kamp adalah orang-orang yang membangkang terhadap pemerintah kolonial Belanda. Salah satu dari para tahanan rombongan pertama itu adalah Pontjopangrawit. Seorang seniman sekaligus pejuang kemerdekaan dari Surakarta. Di Tanah Merah, Pontjopangrawit membuat seperangkat gamelan yang di kemudian hari dikenal sebagai Gamelan Digul. Kaleng-Kaleng Susu Di Kamp Tanah Merah, para tahanan harus membangun rumah sendiri. Mereka menebang pohon untuk papan dan tiang dengan dua kilogram paku dan besi-besi yang sudah berkarat. Paku dan perkakas bangunan itulah yang dimanfaatkan Pontjopangrawit untuk membuat gamelan. “Ia mula-mula membuat gamelannya dari kaleng tempat susu bubuk (yang tentunya didatangkan dari Ambon) sebagai pengganti bonang-bonangnya. Rebabnya terbuat dari kaleng sardine dan kulit binatang, karena ia tidak bisa menemukan isi perut atau kantung empedu kerbau, begitu juga tidak ada separoh tempurung kelapa yang bisa digunakan untuk membuat perut rebab,” tulis Margaret J. Kartomi dalam Gamelan Digul di Balik Sosok Seorang Pejuang . Sementara itu, untuk membuat gong gedhé kemodhong , Pontjopangrawit dan kawan-kawannya menggunakan periuk tanah besar, yang biasa digunakan di dapur. Periuk itu ditaruh di dalam sebuah kotak kayu, dengan dua bilahan-nada berjendul dari besi. Gong dipasang bergantung pada rentangan tali di atasnya. Kaleng-kaleng susu yang dipakai untuk dua bonangnya, pada akhir 1920 diganti dengan rantang besi yang sangat berat. Menurut Makmud Amin, eks Digulis yang diwawancarai Kartomi, Pontjopangrawit berhasil mendapat rantang buatan Belanda yang bagus dan tidak lagi dipakai oleh penduduk Belanda di Hindia. “Rantang tentu saja berbunyi lebih bagus dan lebih panjang daripada kaleng susu yang tidak ada harganya. Sampai hari ini pada umumnya bunyinya masih tetap murni dan stabil,” sebut Kartomi. Gamelan Digul dicat warna hijau dan kuning. Namun analisis sayatan melintang pigmen menunjukan bahwa sebelumnya gamelan tersebut berwarna hijau muda. Awalnya gamelan ini juga tidak diberi nama sepeti gamelan-gamelan lain. Nama “Gamelan Digul” disematkan untuk membedakannya dengan gamelan perunggu lain di Universitas Monash, lokasi gamelan itu saat ini. Rantang besi digunakan untuk bonang barung. (Chrish Basile/Arsip Departemen Musik Universitas Monash). Hari Buruh Di kamp, Gamelan Digul sering digunakan untuk mengiringi pertunjukan kesenian Jawa seperti wayang orang dan ketoprak. Menurut Kartomi, Gamelan Digul menjadi sarana hiburan, kesibukan kesenian, dan kegembiraan di tengah kehidupan kaum buangan. Membuat mereka merasa agak longgar dari kerasnya kehidupan di kamp. Mas Marco Kartodikromo, penulis yang juga diasingkan ke Digul hingga meninggal karena malaria, menyebut gamelan ini dalam bukunya berjudul Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel . “Pada 1 Mei 1928 orang-orang itu mengadakan perayaan untuk memperingati Hari Buruh tanggal 1 Mei dan menyelenggarakan berbagai pertunjukan seperti gamelan, musik, barongan, liongan, sport padvinder (kepanduan) dst. Gamelan dibuat dari rantang seng oleh Pontjopangrawit, buangan dari Solo,” tulis Marco. Pada Hari Buruh itu, kebetulan pukul delapam pagi kapal Segah datang membawa 98 buangan baru. Pertunjukan yang sedang diadakan kemudian sekaligus untuk menyambut orang-orang baru tersebut. “Tapi gara-gara penyambutan yang luar biasa ramainya itu, orang-orang baru terpaksa dijemur di tanah lapang dari pukul 8 sampai pukul 12 siang, dan baru sesudah itu mereka disuruh datang ke Interneeringskamp . Banyak di antara mereka menderita pusing kepala karena terlalu panas, sedang anak-anak banyak yang menangis,” sebut Marco. Malamnya, orang-orang menonton tonil, pandu, musik hingga wayang orang. Namun pertunjukan dibubarkan pasukan militer. “Kurang lebih 400 orang lelaki dipaksa jongkok, berjajar lima-lima, lalu digiring ke tangsi, dimasukan gudang gabah. Semalam suntuk mereka tak dapat tidur. Paginya mereka diperintahkan mengangkut zink dari motorboot milik kapal Segah yang baru datang,” tulis Marco Perayaan Hari Buruh itu mengakibatkan tiga orang dihukum lima hari yaitu Siswoditardjo, Brotosiswojo pendiri perkumpulan wayang orang, dan Pontjopangrawit, pembuat gamelan. Kempul pada Gamelan Digul. (Annette Bowie/Arsip Departemen Musik Universitas Monash). Dibawa ke Australia Pada 1932, Pontjopangrawit menjadi salah satu tahanan yang dibebaskan dan dikirim pulang ke rumahnya di Surakarta. Sedangkan gamelan buatannya tetap berada di kamp dan dimainkan kawan-kawannya. Gamelan Digul kemudian dibawa ke Australia pada masa pendudukan Jepang. Para eks Digulis memainkan gamelan ini dan alat musik Indonesia lainnya seminggu sekali di Hotel Metropole, Melbourne pada 1943 sampai 1945. Hubungan Indonesia dan Australia kala itu juga sedang mencapai puncaknya. Gerakan kemerdekaan Indonesia didukung oleh para pelaut dan aktivis serikat buruh Australia. “Dukungan Australia pada perjuangan Indonesia melawan kekuasaan kolonial telah mendekatkan kedua bangsa ini menjadi lebih akrab. Maka Gamelan Digul boleh dipandang sebagai lambang persahabatan yang kuat antara rakyat Australia dan Indonesia,” sebut Kartomi. Pada 1945, para eks Digulis dan aktivis politik kembali ke Indonesia. Sementara itu, Gamelan Digul ditinggal di Australia. Pada 1946, gamelan tersebut disumbangkan ke Museum Victoria. Kemudian menjadi milik Departemen Musik Universitas Monash pada 1977.
- Curhat Habibie ke Nasution
SEKALI waktu Profesor Bacharuddin Jusuf Habibie mendatangi Jenderal TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution. Saat itu, Nasution belum lama pensiun dari TNI. Seingatnya pertemuan dengan Habibie terjadi pada awal 1970. Habibie sendiri kala itu tengah menjabat sebagai Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). “Habibie datang mengeluh kepada saya. Dengan idealismenya telah ia programkan pembuatan pesawat-pesawat keperluan pertanian (penyemprotan) yang diperlukan oleh program Bimas (Bimbangan Massal Penyuluhan Pertanian, red. ) kita, dan ia usahakan kredit dari Jerman untuk itu,” kenang Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 8: Masa Pemancangan Orde Pembangunan. Habibie menuturkan gagasannya kepada Nasution tentang pengembangan teknik pertanian dengan bantuan pesawat penyemprot lahan. Dalam upaya itu, Habibie kerap mendapat sikutan. Alih-alih dieksekusi, gagasan Habibie justru mentah ditangan koleganya sesama pejabat. Habibie juga mengatakan cadangan peralatan pesawat AU pada era Sukarno masih banyak yang bisa dimanfaatkan. Pemeriksaan dan perawatan pesawat-pesawat itu tidak perlu dibawa ke Hongkong tapi bisa dikerjakan di Indonesia. Habibie telah menghadap menteri-menteri bersangkutan dan pejabat tinggi lainnya. Tetapi satupun dari mereka tiada yang memberi respon positif. Menurut Nasution, usaha Habibie mentok karena Departemen Perhubungan tidak bersedia membangun fasilitas pemeliharaan pesawat-pesawat lama dengan kredit dari Jerman. Padahal, persediaan alat-alat untuk fasilitas itu amat banyak dan masih tersimpan dalam peti-peti. Jika digunakan akan banyak yang bisa diperbuat. Tampaknya, departemen terkait lebih senang memperbaikinya di Hongkong. Pada akhirnya, alat-alat itupun tidak terpakai dan hilang digerogoti atau rusak. “Rupanya pula overhaul (pemeriksaan) di luar negeri merupakan satu vested interest tertentu, ” kata Nas. Bagi Nas vested interest (kepentingan poribadi) dalam program pemerintah adalah “hama” paling berbahaya, penyakit yang begitu dikutuk oleh Angkatan 66. “Sedih rasanya jika kita menyadari bahwa telah tumbuh vested interest baru pada tubuh kekuasaan Orde Baru,” kenang Nas dengan nasa prihatin. Habibie memang punya kedekatan secara pribadi dengan Nasution. Bagi Habibie, Nas adalah kolega sekaligus pamong. Padahal, Habibie tidak punya banyak rekan dari kalangan yang berlatar belakang militer. Tentang rapatnya relasi dengan Habibie, Nasution pernah mengisahkan. “Keluarga Habibie dari dulu dekat dengan saya,” kata Nas dalam Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai: Perjalanan Hidup A.H. Nasution. Hubungan itu semakin dipererat dengan tali kekeluargaan. Mantan ajudan Nasution, Soedarsono (terakhir berpangkat mayor jenderal) menikah dengan Sri Rejeki yang merupakan adik Habibie. Soedarsono selama beberapa tahun menjabat Kepala Pelaksana Harian Otorita Batam yang dibentuk oleh Habibie. Nasution sendiri juga sering berkunjung ke rumah keluarga Habibie yang berada di Kuningan, Jakarta Selatan. Hubungan keduanya tidak lantas putus ketika pemerintah memusuhi Nasution yang tergabung dalam kelompok oposisi Petisi 50. Di masa itu, kiprah Habibie melesat sebagai Menteri Riset dan Teknologi dan mengepalai sejumlah proyek besar pemerintah di bidang industri berat. Dalam perantaraannya, Habibie berperan mencairkan kebekuan hubungan rezim Orde Baru dengan tokoh-tokoh kritis seperti Nasution dan Ali Sadikin Pada 1993, Habibie menggelar silahturahmi Hari Raya Idul Fitri dengan kelompok Petisi 50 di kediaman Nasution. Dalam suasana itu terlihat Habibie cukup dekat dengan keluarga Nasution. Disitulah Habibie lantas berinisiatif mengundang para tokoh Petisi 50 berkunjung ke PT PAL –dimana Habibie sebagai direktur utama– yang membuat Ali Sadikin terharu. “Saya lebih cenderung melihat B.J. Habibie sebagai orang bertakwa,” ujar Nasution dikutip Tempo, 12 Juni 1993. “Habibie dengan rencana positif itu berniat baik untuk memperoleh masukan dari berbagai pihak atas apa yang dikerjakan.” Dan setelah itu pula, kehormatan terhadap Nasution mulai dipulihkan. Untuk pertama kalinya sejak 1980, Nasution dikunjungi sejumlah pejabat tinggi militer. Mereka antara lain Menhankam Jenderal TNI Edi Sudrajat, Menko Polkam Jenderal TNI Soesilo Soedarman, Panglima ABRI Jenderal TNI Feisal Tanjung, dan lainnya. Pihak ABRI pun secara resmi menyatakan penghentian status cekal terhadap Nasution.*
- Pasang-Surut Hubungan Bali dengan Bangsa Asing
HINGGA kini, Bali masih menjadi ujung tombak pariwisata Indonesia. Bagi warga asing tak lengkap rasanya jika mengunjungi Indonesia tanpa menikmati suasana Bali. Gelar salah satu ‘surga dunia’ pun tak ayal disematkan kepada pulau di sebelah timur Jawa tersebut. Data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali menunjukan bahwa tiap tahunnya jumlah kunjungan pelancong asing ke Bali selalu meningkat. Hingga Juli 2019, dilansir bali.bps.go.id , telah ada 3,4 juta kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali. Walau menjadi destinasi terfavorit di Indonesia, tidak semerta-merta menjadikan Bali sebagai daerah yang aman. Dari daftar kota-kota teraman tahun 2019 yang dipublikasikan Majalah CEOWORLD, di situs resminya ceoworld.biz , bulan Agustus lalu, Bali menempati urutan 212 dari 334 kota di dunia. Namun sejarah bangsa ini mencatat rakyat Bali abad ke-16 hingga abad ke-18 merupakan sosok masyarakat yang ramah. Jaminan perlindungan dan keamanan didapatkan oleh orang-orang Belanda dan Inggris yang berkunjung ke sana. Mereka membuka selebar-lebarnya kesempatan bagi para penjelajah itu membangun kehidupannya di Pulau Dewata. Hubungan Erat Kontak pertama rakyat Bali dengan bangsa asing dimulai sekitar abad ke-16. Kapal penjelajah Belanda Cornelis de Houtman tercatat merapat di pantai Bali pada 25 Januari 1597. Selama 30 hari lamanya de Houtman beserta anak buahnya menjelajah sebagian besar pulau itu. Ia lalu mencatat semua hal yang dilihat dan didengarnya dalam sebuah laporan perjalanan, yang kemudian oleh peneliti Belanda Cornelis Lekerkerker dalam Bali en Lombok: Overzicht der Litteratuur Omtrent deze Elianden tot einde 1919 , disebut Bali Verslag . Menurut Made Sutaba, dkk. dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali , Cornelis de Houtman dan awak kapalnya diterima dalam suasana yang baik oleh masyarakat Bali. Hal itu tentu membuat de Houtman terkejut. Mengingat selama ini kedatangannya selalu mendapat penolakan dari masyarakat di daerah-daerah yang ia singgahi. “Kunjungan Cornelis de Houtman di beberapa tempat sebelumnya boleh dikatakan kurang berhasil. Ia disambut dengan penuh kecurigaan oleh masyarakat setempat sehingga menimbulkan beberapa insiden,” tulis Sutaba. Keramahan penguasa serta rakyat Bali diterima baik oleh de Houtman. Ia lalu mengutus dua orang bawahannya, Lintsgentsz dan Manuel Rodenberch untuk menyampaikan rasa hormat dan memberikan sejumlah buah tangan kepada Raja Gelgel. Dalam Sedjarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok: Pertjobaan sebuah Studi Hukum Internasional Regional di Indonesia , E. Utrecht menyebut jika tindakan de Houtman itu merupakan percobaan pertama Belanda menjalin hubungan diplomasi dengan salah seorang raja di Pulau Bali. “Namun kesempatan ini rupanya belum dimanfaatkan untuk mengadakan suatu traktat atau kontrak antara kekuatan politik Belanda dengan salah seorang raja Bali,” ungkap Sutaba. Pada saat de Houtman meninggalkan Bali, Manuel Rodenberch dan seorang kawannya, Yacob Claess, tidak turut serta. Keduanya memutuskan untuk tinggal lebih lama di Bali. Mereka bermaksud meneliti masyarakat di sana dan membuat laporan yang lebih rinci mengenai kehidupan di Bali. Pada 1601, Belanda singgah di Bali untuk kedua kalinya. Kali ini Cornelis van Heemskerck yang dipercaya memegang kendali kapal. Meski beda pimpinan, kedatangan orang-orang Belanda ini tetap disambut dengan hangat oleh masyarakat Bali. Menurut Utrecht kedatangan Heemskerck merupakan tindak lanjut dari hubungan sebelumnya. Dalam kesempatan ini Heemskerck menyampaikan surat dan hadiah dari Pangeran Maurits (memerintah 1590-1625) untuk penguasa Bali. Sebagai balasan, raja Bali menghadiahi Heemskerck seorang gadis bangsawan Bali. Walau mulanya sang kapten menolak, namun berkat saran dari Rodenberch akhirnya diterima pula. “Sebab bila hadiah itu ditolak berarti suatu penghinaan kepada raja Bali, sehingga dapat menimbulkan keretakan dalam hubungan yang telah terjalin baik itu.” Mengalami Keretakan Seiring waktu berjalan, hubungan Bali dengan orang-orang Eropa semakin erat terjalin, terutama sekitar abad ke-17 dan abad ke-18. Hal itu disebabkan oleh peningkatan jumlah perdagangan budak di Bali. Umumnya para budak ini dikirim ke tempat-tempat strategis yang menjadi pusat pemerintahan Belanda, seperti Batavia, Maluku, dan Sumatera. Di kalangan orang-orang Eropa budak dari Bali cukup terkenal. Budak laki-lakinya dikenal memiliki kesetiaan yang besar dan keinginan belajar yang tinggi. Sementara budak perempuan Bali dikenal sebagai pengasuh yang baik, serta pandai dalam melakukan perawatan kesehatan. Setelah H.W. Daendels (1808--1811) menduduki jabatan gubernur jenderal, Belanda memulai serangkaian penguasaan di Nusantara, tidak terkecuali Bali. Daendels berusaha mendirikan pemerintahan kolonial di sana. Ia memulainya dengan mengirim Van den Bahl sebagai konsul dan pengawas perdagangan di Bali. Ketika Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) mengambil alih kekuasaan, peraturan perdagangan budak di Bali dihapuskan. Bukannya senang, hal itu malah mendapat reaksi keras dari raja Buleleng dan Karangasem. Dua kerajaan itu lalu melakukan serangan terhadap orang-orang Inggris di Banyuwangi. Mengetahui penyerangan itu, Raffles merespons balik dengan menundukkan Buleleng dan Karangasem. Setelah itu kerajaan-kerajaan di Bali menyutujui gagasan penghapusan perbudakan di wilayahnya. “Namun demikian rupanya perdagangan budak masih berlangsung terutama oleh orang-orang Cina,” ungkap Utrecht. Tahun 1817 rombongan Belanda pimpinan Van den Broek tiba di Bali. Ia bermaksud mendirikan pangkalan dagang di sana. Namun, usahanya itu mengalami kegagalan karena sikap raja-raja Bali yang mulai berubah terhadap orang-orang Eropa. Kesalahpahaman yang sebelumnya jarang terjadi pun kini menjadi hal yang lumrah, dan kecurigaan-kecurigaan terhadap orang-orang Eropa mulai menumpuk di dalam diri rakyat Bali. Tahun 1824, melalui perantara pedagang Arab, Belanda berusaha membujuk raja-raja Bali membuka wilayahnya untuk perdagangan mereka. Tawaran tersebut ternyata ditolak oleh sebagian besar raja-raja Bali. Pada 1827, J.S. Wetters berhasil mendapatkan kepercayaan dari para penguasa Bali. Ia pun akhirnya mendapat kepercayaan untuk mengatur perdagangan di pulau itu. Rupanya kelonggaran dari penguasa Bali itu dimanfaatkan oleh Belanda untuk memperlemah hukum di Bali. Mereka mencoba menanamkan kekuasaan mereka secara mutlak di Bali. Namun, berbagai usaha pelemahan itu selalu berujung kegagalan. “Pada saat itu Bali hanya mengenal satu hukum saja, yaitu hukuman mati. Di samping itu kesewenang-wenangan seorang raja tidak dapat dirubah sedikitpun,” tulis Sutaba. Puncak retaknya hubungan Belanda dengan rakyat Bali terjadi saat para kolonial itu mencampuri urusan internal kerajaan-kerajaan di Bali. Pemerintah Belanda sebelumnya telah memutuskan untuk memperoleh pengaruh politik di sana. Bagi mereka cara terbaik untuk melakukannya hanyalah dengan turut ambil bagian di dalam pemerintahan raja-raja Bali. Sebagian penguasa dan rakyat yang tidak menghendaki hal itu terjadi akhirnya menentang keras tindakan orang-orang Belanda. “Usaha Belanda untuk ikut berperan dalam pemerintahan kerajaan Buleleng tampak dalam berbagai perjanjian. Tujuan sebenarnya ialah untuk menjerat secara diplomatis supaya Bali dapat dijajah dengan mudah tanpa mempergunakan intervensi bersenjata karena yang terakhir ini akan memerlukan biaya dan kurban yang besar,” tulis Sutaba.
- Keluar dari Bayang-Bayang Liem Swie King
HARIYANTO Arbi jadi satu dari sekian legenda bulutangkis Indonesia yang turut mengernyitkan dahi kala mendengar kabar Audisi PB Djarum hendak dihentikan mulai 2020. Ia sendiri jebolan PB Djarum dan berkat didikan klub yang lahir di Kudus, Jawa Tengah tersebut ia jadi termasuk eks atlet yang bergelimang gelar dunia. “Kami tiga bersaudara yg sangat berhutang budi dengan @PBDjarum berkat didikannya Bendera Merah Putih bisa kami kibarkan di manca negara. Sudah 50 tahun tak henti2nya @PBDjarum membina juara2 baru. Tetap semangat PB Djarum demi Indonesia Juara!!” cuitnya di akun Twitter -nya @arbismash . Darah Olahragawan Lahir dari keluarga olahragawan pada 21 Januari 1972 di Kudus, langkah Hariyanto lurus mengikuti jejak kedua kakaknya, Hastomo dan Eddy. Hastomo merupakan salah satu atlet binaan PB Djarum angkatan pertama sebagaimana maestro Liem Swie King. Hariyanto dan kedua kakaknya merupakan putra salah satu jagoan bulutangkis lokal, Ang Tjin Bik. Ang-lah yang memperkenalkan bulutangkis pada Hariyanto dan kedua kakaknya. Hariyanto mengikuti jejak Hastomo dan Eddy menseriusi bulutangkis dengan masuk PB Djarum. Ia masuk asrama Kaliputu pada 1982. “Paling dirindukan ya, kehidupan di asrama. Ada saja kegiatan. Kalau pas enggak latihan, bisa main bola, kadang tenis meja bareng-bareng. Begitu juga tradisi lari ke (bukit) Colo dan Kaliyitno. Lari jaraknya kira-kira 18 kilometer dari asrama,” kata Hariyanto mengenang, kala ditemui Historia di kantor Flypower, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Hariyanto Arbi di kantor Flypower (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Dalam biografi Hariyanto Arbi, Smash 100 Watt, wartawan senior Broto Happy Wondomisnowo mencatat, kecemerlangan Hariyanto sudah tampak sejak usia pelajar. Saat mengikuti Kejuaraan Pelajar se-Asia di Hongkong pada 1986, ia andil dalam membawa pulang gelar juara beregu. Prestasi Hariyanto dilanjutkan dengan gelar juara Invitasi Bulutangkis Dunia Yunior tiga tahun berselang. Era 1980-an menandai kemonceran Hariyanto di tingkat yunior. Di era 1990-an, namanya sudah melesat di level senior. Dari yang mulanya kalahan dari para seniornya seperti Joko Supriyanto, Ardy Bernardus Wiranata hingga Eddy Kurniawan, Hariyanto bangkit berkat dorongan mental dari para mentornya di PB Djarum. “Waktu itu memang sempat ada beberapa pelatih di pelatnas (PBSI, red. ) pernah ngomong bahwa prestasi saya sudah mentok. Biasanya yang bisa menguatkan itu orangtua dan klub. Jadi PB Djarum benar-benar membantu saya. Kalau lagi kesepian karena saya enggak ada sepantarannya di asrama PBSI, saya ‘ngungsi’ ke asrama PB Djarum Jakarta,” sambung Hariyanto. Bayang-Bayang Liem Swie King Perlahan tapi pasti, Hariyanto bangkit. Ia membuktikannya dengan menggamit gelar All England 1993. Gelar prestisius pertama itu tak pernah lekang dari ingatannya itu ia pertahankan di tahun berikutnya. “Kalau dulu kan PB Djarum identiknya dengan All England ya. Jadi waktu juara awal All England itu yang membanggakan banget. Jadi kalau zaman dulu kan Liem Swie King patokannya. Kalau sudah juara All England seperti dia, itu sudah luar biasa sekali,” lanjutnya. Lewat gaya permainannya yang atraktif dengan jumping smash -nya, tak ayal ia mulai disebut-sebut sebagai reinkarnasi Liem Swie King. “Ya saya sih senang-senang saja dibilang mirip Liem Swie King. Karena memang Om Swie King kan idola saya. Dan perjalanan dia untuk mencapai juara All England luar biasa,” tambah Hari. Hariyanto Arbi & Liem Swie King dengan jersey legendaris PB Djarum (Foto: Instagram @hariyanto_arbi) Semasa belia di kandang PB Djarum di Kudus, ia dibina para pelatihnya macam Arisanto dan Anwari dengan diberi patokan sosok Swie King. “Waktu kecil di tempat latihan, oleh pelatih kita diberitahu bahwa di Djarum ini ada sosok yang luar biasa, Liem Swie King. Bahwa dia kalau latihan enggak mau kalah, disiplin juga. Jadi kita kalau latihan diceritakan itu. Oh , kalau mau bagus ya diarahkannya mengikuti Om Swie King ini.” Smash 100 Watt Hariyanto lantas dikenal luas bukan hanya karena gelar-gelar prestisiusnya macam Thomas Cup 1994, dua emas Asian Games 1994 serta Kejuaraan Dunia 1995. Ia juga tenar lantaran senjata mematikannya yang ikonik, Smash 100 Watt, yang membuatnya keluar dari bayang-bayang Swie King. Dalam biografinya disebutkan bahwa julukan itu mencuat setelah ia ditantang seniornya, Ardy BW, untuk bisa mengalahkan Rashid Sidek di kandangnya pada final Malaysia Open 1993. Tantangan itu pun dijawab Hariyanto lewat perkataan bahwa dia akan mengalahkan Rashid dengan “Smash 100 (berkekuatan) Watt”. Celetukan itu lantas terdengar wartawan Indonesia dan ketika menang, sebutan itu muncul di headline beberapa suratkabar nasional. Pukulan ikoniknya itu menurut salah satu pelatihnya di PB Djarum, Arisanto, dalam biografinya, dikatakan terinspirasi dari jumping smash Liem Swie King . Namun, Hariyanto tidak membenarkan 100 persen. “Benar bahwa inspirasi salah satunya dari Liem Swie King. Kedua, pelatih saya, Indra Gunawan, menyarankan juga melihat Mas Hastomo. Dia posturnya kecil tapi lompatan smash -nya tinggi. Saya disuruh coba latihan kayak gitu. Seperti menambah skipping , lompat pagar, drilling , latihan shadow /bayangan, banyak prosesnya sampai bisa kayak gitu,” tuturnya. Alhasil, gerakannya “Smash 100 Watt” tak 100 persen sama dengan jumpingsmash Swie King. Jika Swie King lazimnya lebih dulu ambil selangkah mundur sebelum melompat, Hariyanto langsung melompat dan melakukan smash keras itu. Hariyanto menutup kariernya tahun 2000. Enggan mengikuti jejak Hastomo yang masih melatih di PB Djarum, Hariyanto memilih berbisnis peralatan olahraga bersama seniornya Fung Permadi dengan membangun merek Flypower. Hariyanto Arbi saat menangi All England 1994 (kiri) & emas Asian Games 1994 di Hiroshima (Foto: Instagram @hariyanto_arbi) Di balik suksesnya dalam karier dan bisnis, Hariyanto masih menyimpan satu penyesalan. Dari semua gelar yang dibanggakannya, ia kecewa belum pernah menyumbangkan medali olimpiade buat negerinya. Pada Olimpiade 1992 di Barcelona ia tak masuk dalam line-up tim. Di Olimpiade Atlanta 1996, ia disingkirkan wakil Denmark Poul-Erik Høyer Larsen di semifinal 11-15 dan 6-15. Untuk perebutan perunggu pun ia keok di tangan Rashid Sidek lewat pertandingan tiga set: 15-5, 11-15 dan 6-15. Ia pun gagal menambah pundi medali dari cabang bulutangkis, sebagaimana kelima rekannya: Ricky Subagdja/Rexy Mainaky (emas), Mia Audina (perak), serta Susy Susanti dan Denny Kantono/Antonius Ariantho (masing-masing perunggu). “Waktu Olimpiade 1996 itu paling pahit. Saya sudah masuk semifinal tapi tidak mendapatkan medali sama sekali. Itu pengalaman yang sangat mengecewakan buat saya. Dulu sebelumnya kan belum ada olimpiade (baru dipertandingkan 1992). Patokan prestis biasanya All England. Setelah ada olimpiade, semua mencita-citakan juara di olimpiade,” tandasnya.
- Hatta Bikin Pengusaha Hasjim Ning Pening
HASJIM Ning, pengusaha-sahabat Presiden Sukarno sekaligus keponakan Wapres Moh. Hatta, selalu ingat pribadi Hatta sangat teguh memegang prinsip. Salah satu prinsip yang teguh dipegang Hatta adalah ketidakmauannya menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. “Misalnya, pada suatu hari di awal tahun 1950, Bung Hatta yang telah begitu lama tidak ketemu dengan ibundanya sudah demikian rindunya. Aku disuruh menjemput ke Sumedang,” kata Hasjim dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Bagi Hasjim, permintaan Bung Hatta kurang sesuai dengan adat ketimuran. Hasjim menyarankan Bung Hatta mengirimkan mobil dinasnya untuk menjemput sang ibu jika Bung Hatta tak punya waktu. Dengan menunjukkan bakti kepada ibunya begitu, Hasjim yakin sang ibu pasti bangga. “Tidak bisa. Pakai saja mobil Hasjim,” jawab Bung Hatta. “Mobil itu bukan kepunyaanku. Mobil itu milik negara.” Hasjim yang bingung dengan sikap pamannya itu pun mau-tak mau menurutinya. Kebingungan itu pula yang dirasakan Hasjim ketika suatu kali menemui Bung Hatta dan menjelaskan keinginannya untuk berderma. “Oom,” kata Hasjim, “perusahaanku ingin menyumbang, karena memperoleh untung lumayan tahun ini. Siapa menurut Oom yang perlu dibantu?” “Hasjim tentu lebih tahu. Kasihkan padanya,” jawab Bung Hatta singkat dan datar. “Baik juga kalau ada yang Oom calonkan,” kata Hasjim terus mengejar. “Coba Hasjim tanya Margono!” Hasjim lalu menemui Margono Djojohadikusumo, pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) sekaligus ayah ekonom Soemitro Djojohadikusumo, yang dimaksud Hatta. Margono merupakan pendiri sekaligus ketua Yayasan Bung Hatta, yayasan yang bergerak di bidang perpustakaan. Kepada Margono, Hasjim menceritakan soal pembicaraannya dengan Hatta. Margono langsung tertawa begitu mendengar penjelasan Hasjim. “Bung Hatta, Bung Hatta. Untuk menyebut yayasan yang memakai namanya saja ia tidak mau. Ia malah menyuruh Hasjim kepadaku sebagai ketua yayasan,” kata Margono, dikutip Hasjim. Sebagai salah seorang sahabat dan pernah menjadi bawahan Hatta di Departemen Urusan Perekonomian semasa pendudukan Jepang, Margono tahu betul pribadi Hatta. “Ia seorang yang keras memegang ajaran dan hukum agamanya, tanpa fanatik dan mengganggu orang-orang lain. Di dalam sikap hidupnya ia selalu mendengrakan suara hati nuarninya dan sangat menghargakan waktu sampai kepada soal yang berkecil-kecil,” kata Margono dalam otobiografinya, Kenang-Kenangan dari Tiga Zaman: Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis . Penjelasan Margono pun membuka pintu lebih bagi Hasjim dalam memahami Bung Hatta. “Seringkali sikap Bung Hatta itu menyesakkan napasku karena aku tidak bisa mengerti. Kalau ingin mengetahui sikapnya, tak ada gunanya mengajaknya berdebat. Ia selalu punya alasan. Tapi yang terutama ia tidak pernah mau berubah dari pendiriannya semula,” kata Hasjim. Keteguhan sikap Hatta itu makin membuat Hasjim enggan memanfaatkan kedekatannya dengan Bung Hatta untuk meminta katebelece . Namun, suatu ketika, keadaan memaksa Hasjim minta katebelece kepada Bung Hatta. Hasjim memintanya untuk keperluan bisnisnya ke Amerika Serikat (AS). Pasalnya, Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Jakarta baru akan memberinya visa jika ada jaminan dari dua orang terkemuka Indonesia. Hasjim langsung mendatangi Bung Hatta usai mendapat pemberitahuan dari Kedubes AS. Dia yakin bakal mendapatkan apa yang diinginkannya dari Bung Hatta mengingat perjalanan bisnisnya juga menyangkut kepentingan negara. Setelah menceritakan duduk perkaranya, Hasjim meminta jaminan tertulis kepada Bung Hatta. Alih-alih mendapatkannya, Hasjim justru ditanya balik oleh Bung Hatta. “Mengapa tidak Hasjim minta pada presiden direktur Chrysler saja?” kata Bung Hatta. “Akan memakan waktu lama, Oom,” jawab Hasjim menjelaskan lamanya proses surat-menyurat formal Indonesia-AS saat itu yang bisa memakan waktu sebulan. “Tidak mengapa menunggu.”






















