Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Pesan Damai di Hari Natal
HARAPAN itu muncul tepat di malam Natal 1947. Usaha perdamaian telah membuahkan hasil. Indonesia yang sejak mengumandangkan kemerdekaan terus terjerat ambisi Belanda kembali menguasai negeri akhirnya dapat sedikit bernapas lega. Pasalnya Panitia Jasa-Jasa Baik (Committee of Good Offices) yang dibentuk atas dasar Resolusi Dewan Keamanan menyatakan kesediaannya membantu menengahi masalah kedua negara yang tengah berselisih itu. Lantas apa alasan Dewan Keamanan bersedia membantu menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda tersebut? Berdasarkan penuturan Frank P. Graham, wakil Amerika Serikat (AS) dalam Panitia Jasa-Jasa Baik, Dewan Keamanan ingin negara-negara di Asia Tenggara yang baru merdeka, termasuk Indonesia, menjadi negara bebas. Mereka juga meminta agar Indonesia dan Belanda segera menghentikan segala bentuk tindakan-tindakan permusuhan. “Dewan Keamanan memutuskan memberikan jasa-jasa baiknya kepada kedua pihak untuk membantuk menyelesaikan sengketanya secara damai, sesuai dengan paragraf b dari resolusi Dewan Keamanan tanggal 1 Agustus 1947: menjelaskan sengketanya dengan arbitrasi atau dengan cara damai lainnya dan senantiasa memberitahukan kepada Dewan Keamanan tentang kemajuan dari usahanya,” tulis Alastair M. Taylor dalam Indonesian Independence and The United Nations . Resolusi itu diterima oleh keduanya. Sesuai kesepakatan, baik Indonesia maupun Belanda harus menunjuk satu negara sebagai perwakilan mereka di dalam Panitia Jasa-Jasa Baik. Belanda lalu memilih Belgia sebagai wakil, sementara Indonesia memilih Australia, sedang AS ditunjuk sebagai anggota ketiga. Maka terbentuklah anggota Komisi Tiga Negara (KTN), yang selanjutnya menjadi dewan penengah dalam persoalan diplomasi ini. Namun meski menerima usulan Dewan Keamanan, Belanda menunjukkan sikap kurang kooperatif dalam setiap perundingan. Mereka secara terang-terangan meminta agar Dewan Keamanan tidak ikut campur dalam sengketa di Indonesia. Baginya soal ini adalah urusan dalam negeri, yang berarti Belanda masih mengakui Indonesia bagian dari negaranya. Belanda begitu gigih menentang berbagai upaya Dewan Keamanan. Menurut Nugroho Notosusanto, dkk dalam Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, dari hasil pengamatan Dewan Keamanan, Belanda masih melakukan aksi militernya ketika proses diplomasi sedang berlangsung. Mereka bahkan membuat kebijakan sepihak dengan menentukan garis batas kekuasaan mereka di Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai Garis Van Mook. Di belakang garis itu nantinya akan berdiri wilayah milik Belanda. Walau pada kenyataannya daerah-daerah di sana masih dikuasai Republik dan masih banyak pejuang yang melakukan perlawanan. Tidak hanya soal wilayah, Belanda juga mempersulit berbagai upaya perundingan anggota KTN. Hingga akhirnya AS terpaksa turun tangan dengan meminjamkan kapal perangnya yang saat itu sedang merapat di Tanjung Priok. Pada 8 Desember 1947, secara resmi upaya perdamaian secara politik dimulai dimulai lagi dari Renville. Karena Belanda senantiasa mengadakan siasat mengulur waktu, dengan pendirian yang bukan-bukan, maka baikpun dalam bidang militer, maupun perundingan politik pada akhir Desember tahun 1947, belum tercapai sesuatu kemajuan. Berkah Hari Natal Tanpa terasa perundingan telah sampai pada usaha yang ke-49 kali, tepat pada 25 Desember 1947. Diceritakan Mohamad Roem dalam Bunga Rampai dari Sejarah , saat itu panitia sepakat menyerukan satu pesan sebagai bagian dari perayaan Natal, yakni “Pesan Hari Natal”. Pesan perdamaian itu menjadi harapan tersendiri bagi seluruh anggota perundingan yang ingin perselisihan segera berakhir dari kedua pihak. Pewakilan Belanda dan Indonesia diajak melihat kembali seluruh persoalan secara nyata dan lebih terbuka. Mereka diminta untuk menilai dampak dari perselisihan itu jika terus dilanjutkan. Banyak persoalan kemanusiaan yang pada akhirnya akan terabaikan dari situasi serba tegang tersebut. Hal itu juga akan merusak tujuan dari Dewan Keamanan dalam usahanya mendamaikan dunia. “Dalam pesan itu diingatkan dengan segala tekanan akan tanggung jawab kedua pihak untuk melaksanakan resolusi-resolusi Dewan Keamanan, kepada bahaya yang terkandung dalam pengangguhan lebih lama,” tulis Roem. Pesan Hari Natal memuat sedikitnya 12 usul untuk mencapai kesepakat politik antara Indonesia dan Belanda, di antaranya menerima garis Van Mook sebagai batas pemisah; menghentikan segala aktifitas yang berhubungan dengan pembentukan negara-negara di Jawa, Sumatera, dan Madura; menghentikan tindakan-tindakan agresif yang memicu perang, dan sebagainya. Mengetahui usulan itu, Belanda kembali melayangkan penolakan yang keras. Bagi mereka Panita Jasa-Jasa Baik sudah keterlaluan karena sebenarnya mereka tidak punya wewenang apapun. Kecuali kedua pihak setuju meminta panitia membuat usulan seperti itu. Terutama usulan untuk mengentikan pendirian negara-negara di Jawa dan Sumatera. Karena bagi mereka mendirikan negara boneka adalah siasat terbaik untuk menguasai kembali Indonesia. Ternyata tidak hanya Belanda yang kecewa dengan usulan itu, perwakilan Republik juga merasakan hal yang sama. Pihak Indonesia kecewa dengan usulan panitia karena dirasa tidak sesuai dengan keadilan dalam resolusi Dewan Keamanan. Terutama jika harus menerima genjatan senjata yang wilayahnya dibatasi oleh garis Van Mook. Bagi mereka garis itu dibuat satu pihak saja sehingga tidak adil rasanya jika menerima keputusan tersebut. Terlebih garis Van Mook memaksa Indonesia melepaskan daerah-daerah penting, yang didiami oleh kurang lebih 25 juta penduduk. Namun pihak Indonesia sendiri menerima usulan tersebut dengan syarat dipelajari terlebih dahulu. Sementara Belanda hanya menyutujui beberapa poin saja dan mengajukan konta usul kepada panitia. Salah satunya tetap memperbolehkan pembentukan negara-negara di dalam Republik. Perundingan pun berakhir dengan disetujuinya pembentukan negara bawahan Belanda. Seperti kita tahu, pada tahun-tahun berikutnya muncul negara-negara baru, seperti Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur, dan lain-lain. “Dalam pandangan panitia, Pesan Hari Natal merupakan sebuah kesatuan yang terjalin dan seimbang. Mutlak bagi penyelesaian terakhir sengketa,” kata Roem.
- Menguliti Muasal Pertunjukan Wayang Kulit
Gunungan muncul menari-nari dalam layar. Pertanda pagelaran akan dimulai. Gamelan gaya baru mengiringi. Para sinden bernyanyi dalam bahasa Indonesia. Begitupula sang narator yang bagaikan dalang membuka kisah pewayangan. Munculah Kertanegara, raja terakhir Singhasari dalam layar. Dalam wujud wayang, ia bermakutha dan mengenakan praba. Suara-suara terdengar tengah merapal mantra. Di belakang Kertanegara tergambar stupa. Ini penggambaran Kertanegara sedang melakukan ritual dalam ajaran Buddha Tantrayana. Seketika langit serupa merah darah. Pasukan Jaran Goyang dari Kadiri menggempur Singhasari, membakar, dan membunuh yang dilewatinya. "Bakar! Bakar! Bakar!" teriak mereka. Kertanegara dan semua pendeta kebingungan. Mereka masih separuh jalan menyempurnakan ritual Tantrayana untuk membangkitkan kekuatan sang Kalacakra di lapangan ksetra. Namun, api sudah di mana-mana. Serangan mendekat. "Jayakatwang!" teriak Kertanegara. "Raja Glang Glang terkutuk! Tak bisakah kau bersikap seperti layaknya kesatria? Kau mengerahkan pasukanmu pada saat pasukanku berlayar ke Sriwijaya. Kau menyerang di saat kami semua sedang melakukan ritual Tantra. Jayakatwang tunjukan dirimu! akan ku..." Tiba-tiba sebuah panah melesat menembus dadanya. Serapahnya terhenti seketika. Tertawalah Jayakatwang. "Si tua bodoh Kertanegara," katanya. "Teruslah bermimpi! Hukum alam menyatakan yang kuat dan cerdiklah yang akan berkuasa. Bukan raja yang gemar melakukan ritual sia-sia!" Matilah Kertanegara di tangan besannya sendiri. Singhasari pun binasa bersamanya. Wijaya, sang menantu berhasil kabur. Ia menyimpan dendam dan cita-cita meneruskan kembali pemerintahan Singhasari di Jawa. Episode itu mengawali pagelaran sinewayang karya sutradara Sambowo Agus Herianto di Teater Kautaman, Gedung Pewayangan Kautaman akhir pekan ini. Sinewayang Babad Majapahit dengan lakon Adiparwa Wilwatikta atau Berdirinya Kerajaan Majapahit itu menggabungkan gerak wayang kulit dengan penyajian ala film layar lebar. Pertunjukan selama kurang lebih dua jam ini diramu dari kisah runtuhnya Kerajaan Singhasari dan berdirinya Kerajaan Majapahit. Kisahnya mudah dimengerti karena disajikan dalam bahasa Indonesia. Pagelaran wayang dalam bentuk sinewayang mengubah cara penyajiannya dari tradisi lama. Tradisi yang katanya telah ada sejak era perkembangan Hindu-Buddha di Jawa. Tak mudah menentukan kapan dan bagaimana wayang purwa pertama kali dikenal masyarakat Jawa. Tapi ada teori yang menyatakan kalau bentuk wayang kulit sekarang berasal dari penciptaan awalnya pada era pemerintahan Jayabhaya di Kadiri (1130-1160). Soedarso Sp menjelaskan itu dalam “Morfologi Wayang Kulit: Wayang Kulit dipandang dari Jurusan Bentuk”, yang disampaikan dalam Pidato Ilmiah Pada Dies Natalis Ketiga Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 1987. Katanya , menurut R.M Mangkudimeja dalam Kawruh Asalipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kaliyan Agami ing Jaman Kina dan Pangeran Kusumadilaga dalam Serat Sastramiruda Jilid I, pada awalnya wayang dibuat di atas daun lontar. "Dalam proses penciptaannya si pembuat mengacu pada bentuk arca yang mendapat pengaruh budaya Hindu," kata Soedarso. Bentuk wayangnya tak seperti wayang kulit yang dikenal kini. Wayang kulit sekarang adalah gabungan dari tampak depan, tampak samping, dan pandangan menyudut. Kalau dulu, wayang dibuat tampak depan. Dari menggunakan lontar kemudian berkembang menggunakan kertas. Pada masa Majapahit wayang kertas itu berkembang menjadi wayang beber. Namun, Soedarso tak sepakat dengan teori itu. "Wayang kulit tidak baru diciptakan pada zaman pemerintahan Jayabhaya," tegasnya. Berdasarkan Kakawin Arjunawiwaha gubahan Mpu Kanwa pada 1036, wayang sudah dibuat dengan memahat kulit. Sementara naskah Bhoma Kawya dan Bharatayuddha melengkapi penggambaran tentang bagaimana pertunjukkan wayang kulit dimainkan waktu itu. "Sampai pada adanya kelir, blencong, serta instrumen pengiringnya, dapat dipastikan apa yang tergambar pada 1036 itu adalah hasil perkembangan dari sesuatu yang sudah dimulai lama sebelumnya," kata Soedarso. Karena sangat populer, ini kemudian mengilhami timbulnya ide menghiasi dinding candi dengan adegan dari pagelaran wayang kulit. Khususnya pada candi-candi dari periode Jawa Timur (di atas abad ke-10), seperti Candi Surawana, Candi Jago, Candi Tigawangi, dan Candi Panataran. Relief kisah Parthayajna di dinding Candi Jago menampilkan tokoh Arjuna dan dua punakawannya (Foto: Risa Herdahita Putri) Pendapat Soedarso itu didukung data prasasti. Arkeolog Dyah W. Dewi dalam "Kesenian Wayang Pada Masa Jawa Kuno dan Persebarannya di Asia" termuat di Pertemuan Arkeologi V mengungkapkan wayang sudah dikenal di Nusantarasejak kurang lebih abad ke-9. "Itu sehubungan dengan diselenggarakannya suatu upacara untuk memperingati suatu kejadian," katanya. Ada banyak buktinya. Timbul Haryono, guru besar arkeologi Universitas Gadjah Mada dalam "Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur", termuat di 100 TahunPascapemugaran Candi Borobudur, menjelaskan bukti tertua yang menyebut kata dalang ( haringgit ) adalah Prasasti Kuti (840 M) yang ditemukan di Joho, Sidoarjo. Dalam prasasti ini, haringgit dimasukkan ke dalam kelompok wargga i dalem. Artinya berada di lingkungan istana. " Haringgit adalah bentuk halus dari kata ringgit. Kata ini sampai sekarang masih ada dalam Bahasa Jawa, yang berarti wayang," jelas Timbul. Sementara padanan kata untuk ringgit bisa dijumpai di Prasasti Tajigunung (910). Di sini istilah haringgit digunakan secara bergantian dengan awayang . Informasi lebih lengkap terkait wayang dihadirkan oleh Prasasti Wukajana dari dari masa Raja Balitung (907). Prasasti ini menyebut pertunjukkan lakon Bhimma Kumara , sebuah cerita sempalan dari Mahabharata. Kisahnya tentang Kicaka yang tergila-gila pada Drupadi. Di dalamnya juga tertulis kalimat "... mawayang bwat hyang ". Menurut prasasti itu, sang dalang menampilkan lakon Bhimma Kumara untuk hyang . Sejauh ini Bhima Kumara adalah satu-satunya lakon wayang yang disebutkan dalam prasasti. Ada pula wayang orang dan wayang beber. Istilah wayang wwang (wayang orang) muncul pertama kali dalam Prasasti Dhimanasrama dari masa Mpu Sindok (abad ke-10). Sementara informasi tentang wayang beber muncul dalam catatan Ma Huan, Yingya Shenglan pada awal abad ke-15.Catatan ini merupakan satu dari dua sumber penting Tiongkok yang banyak bercerita tentang Majapahit. Catatan itu menyebut adanya pertunjukkan seorang laki-laki yang mempertontonkan gulungan bergambar yang disangga dengan dua batang kayu. Ia berbicara dengan suara keras, menjelaskan kisah dalam gulungan itu kepada penonton. Di atas gulungan itu ada gambar manusia, burung, binatang buas, rajawali, atau serangga. Purwarupa Wayang Tradisi wayang kemudian diwariskan hingga masa perkembangan Islam. Menurut Sunarto dan Sagio dalam Wayang Kulit Gaya Yogyakarta Bentuk dan Ceritanya, diduga tradisi pewayangan yang telah ada pada masa Majapahit dilanjutkan pada masa Kerajaan Demak dan berakulturasi dengan kebudayaan Islam yang berkembang kala itu. Tradisi pewayangan ini kemudian didukung oleh kuasa keraton. Lalu dikembangkan oleh penguasa dan para sunan untuk dijadikan salah satu media dakwah Islam. Bentuk wayang kulit pada masa ini berubah lagi. Sunarto dan Sagiomenjelaskan bentuknya menyesuaikan dengan ajaran Islam yang berkembang. Terutama larangan membuat karya seni yang menyerupai bentuk makhluk hidup. "Penggambaran tokoh wayang seperti yang ada dalam relief candi kemudian berubah menjadi gaya yang telah distilasi dan mengarah pada perlambangan," jelasnya. Lebih lanjut, Sri Mulyono dalam Wayang, Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya menjelaskan, yang berubah terutama adalah bentuk muka dan lengan. "Bentuk muka wayang kulit digambar miring, lengan dan tubuh dibuat panjang sehingga menjauhi gambar manusia yang sebenarnya," jelasnya. Namun, Soedarsono, guru besar bidang seni dan sejarah budaya UGM, dalam Beberapa Catatan tentang Seni Pertunjukan Indonesia melihat bentuk wayang kulit menjadi seperti yang sekarang bukan merupakan akibat dari stilasi masa Islam yang melarang membuat karya seni menyerupai makhluk hidup. Proses penyamaran dari wujud manusia sudah terlihat dalam seni masa sebelum Islam, yang terwujud dalam relief candi-candi. Pasalnya waktu itu pun cara penggambaran tokohnya memperlihatkan muka menyamping, dua bahu yang terlihat dari arah depan, disambung dengan dada dan perut dari arah samping, dan berakhir dengan tubuh bagian bawah yang menampakkan kedua kaki. "Itu menandakan perbedaan gaya seni antarmasa yang berbeda bukan terletak pada mana yang tidak distilir dan mana yang kemudian distilir, namun lebih kepada perbedaan bentuk stilasinya," jelasnya. Perkembangan wayang, khususnya wayang kulit kemudian menjadi sangat rumit ditelusuri. Kendati masih ada standardisasi gaya, atau yang dalam istilah pewayangan disebut dengan pakem. Ini paling terlihat, misalnya di wilayah Yogyakarta dan Surakarta. Itu karena di sana ada pusat otoritas sebagai pemegang kendali berkembangnya tradisi. Di luar pakemnya, seni wayang berkembang leluasa. Makanya kini dikenal banyak bentuk wayang, dari segi bahan, tokoh, dan cerita. Wayang kulit Arjuna gaya Bali/Wikipedia Kendati sudah banyak perubahan, bentuk wayang kulit lawas itu kini masih bisa ditemukan jejaknya di Bali. Berdasarkan sejarahnya, hubungan Jawa dan Bali telah ada berkat Airlangga. Ia adalah seorang pangeran dari Bali, putra Raja Udayana dengan Putri Dharmawangsa Tguh yang naik takhta menggantikan kakeknya di Jawa. Berikutnya, Bali dan Jawa terhubung setelah adanya ekspedisi Majapahit ke wilayah itu pada 1343. Ini berakibat pada kekalahan di pihak Bali. Semenjak itu, menurutahli bahasa P.J. Zoetmulder dalam Kalangwan, dapat dikatakan wilayah Bali mengalami proses Jawanisasi. Figur dan tata busana wayang kulit Bali umumnya punya kemiripan dengan penggambaran tokoh dalam relief candi-candi masa Jawa Timur. Bahkan, Soedarsono dalam Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta mengatakan kalau wayang Bali merupakan kesinambungan dari wayang Jawa Timur. Maka bisa dibilang kalau ingin membayangkan bagaimana rupa boneka wayang pada masa kuno, bisa dilihat wayang gaya Bali sekarang. Walaupun telah mengalami beberapa modifikasi, bentuk wayangnya tetap melestarikan bentuknya dari masa kuno.
- Kartini yang Pluralis
DI Indonesia, bisa jadi Kartini hidup hanya pada setiap 21 April. Anak-anak perempuan di sekolah merayakannya dengan mengenakan kebaya sebagai perlambang identitas gender. Sementara itu, Kartini dimasukan ke dalam sangkar emas sebagai pendekar feminisme. Namun nyatanya, dalam membaca pemikiran Kartini ada hal yang abai diperbincangkan, yaitu pandangannya tentang hak asasi manusia dan pluralisme. Demikian pendapat sejarawan Didi Kwartanada dalam diskusi panel Seminar Sejarah Nasional “Membayangkan Indonesia di Hari Depan” di Aston Priority Hotel & Conference, 4 Desember 2019. Apabila merujuk surat-suratnya dalam versi asli, Kartini juga mengungkapkan kegelisahannya tentang diskriminasi minoritas pada zaman kolonial. Menurut Didi, membaca ulang pemikiran Kartini tentang pluralisme - yang belum banyak diungkap - merupakan isu yang relevan bagi keadaan Indonesia dewasa ini. Dalam makalahnya “Membayangkan Indonesia yang Berbhineka: Kartini dan Pandangannya Mengenai Tionghoa dan Arab”, Didi mencatat empat surat Kartini yang memperlihatkan empatinya terhadap kalangan minoritas Tionghoa dan Arab. Mengapa Tionghoa dan Arab? Dalam struktur masyarakat kolonial, kedua etnis ini menempati posisi warga kelas dua sebagai kelompok vreemde oosterlingen (timur asing). Didi Kwartanada (memegang mikropon) dalam diskusi panel Seminar Sejarah Nasional "Membayangkan Indonesia di Hari Depan" di Aston Priority & Conference, 4 Desember 2019. Foto: Martin Sitompul/Historia. Bagi pemerintah kolonial, orang-orang Tionghoa dan Arab dapat dipakai sebagai minoritas perantara ( middleman minority ) yang membawahkan masyarakat pribumi. Orang Tionghoa dan Arab secara ekonomi relatif makmur tetapi rentan manakala ada gesekan politik. Di masa-masa terjadi kekosongan kekuasan atau ketika penguasa membutuhkan kambing hitam, merekalah yang kerap dipersalahkan dan menjadi korban. “Belanda itu seharusnya barat asing tetapi mereka mengasingkan-asingkan orang Tionghoa, Arab - yang notabene datang ke Nusantara jauh sebelum orang Belanda -, dan orang Hindia. Jadi, itu diskriminasi yang sangat parah dilakukan oleh Belanda,” ujar Didi. Kartini yang hidup di akhir abad 19, telah menyadari diskriminasi yang dialamatkan kepada etnis minoritas tersebut. Dalam kumpulan suratnya berjudul Door Duisternis tot Licht: Gedachten over en voor het Javaanse Volk ( DDTL ) yang diterbitkan pada 1911, termuat dua surat yang berbicara soal orang Tionghoa. Pertama , dalam surat bertanggal 3 Januari 1902, Kartini memuji Oei Tiong Ham, saudagar kaya pengusaha gula sebagai sosok yang dermawan. Di pihak lain, Kartini mencela sikap pemerintah kolonial yang selalu memojokan orang Tionghoa. Kedua , surat bertanggal 17 Juni 1902 yang ditujukan kepada Ny. De Boiij-Boissevain. Dalam surat itu, Kartini sangat terkesan dengan kabar beberapa perempuan Tionghoa yang hendak menempuh ujian guru. Hal ini membuat Kartini jadi ingin tahu lebih banyak tentang Tionghoa .Dia pun menyatakan simpati yang mendalam kepada kaum perempuannya. “Hura! Untuk kemajuan! Saya sungguh gembira tentang hal itu! Orang-orang Cina sangat keras dalam mempertahankan adat: sekarang kita lihat juga, bahwa adat yang paling keras dan paling lama dapat dipatahkan juga! Saya mendapat semangat dan harapan ,” seru Kartini sebagaimana dikutip Didi. Terlihat bahwa kemajuan di kalangan putri Tionghoa itu banyak menginspirasi Kartini. Satu budaya atau adat yang sudah berlangsung ribuan tahun dan membelenggu perempuan ternyata tidak bisa melawan kemajuan. Kartini optimis, betapa kerasnya kungkungan adat istiadat pada akhirnya dapat dipatahkan. Pada 27 Oktober 1902, dalam surat menyurat kepada Ny. Abendanon, Kartini menceritakan bahwa dia pernah sakit keras. Di tengah dera penyakit itu, Kartini mengaku tiada yang mampu menolongnya, termasuk dokter Eropa. Kartini barangsur sembuh setelah disuruh minum abu lidi dari Klenteng di Welahan, Jepara oleh seorang Tionghoa. Maka dengan penuh syukur, Kartini mendaku dirinya, “bahwa saya anak Buddha.” Sementara itu, surat tertanggal 14 Desember 1902 yang masih ditujukan kepada Ny. Abendanon adalah surat yang paling panjang dan memberikan argumen paling kuat dari Kartini tentang kemajemukan. Disini, selain golongan Tionghoa, Kartini banyak bicara juga mengenai golongan Arab di Rembang. Selain itu, Kartini juga menyuarakan protesnya akan sekat-sekat pemisah dan diskriminasi yang dibangun keluarganya serta masyarakat terhadap golongan Tionghoa. Sayangnya, surat-surat Kartini yang memuat pesan pluralisme itu luput ketika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Pada 1938, Balai Pustaka untuk kali keduanya menerjemahkan DDTL melalui sastrawan Pujangga Baru, Armijn Pane. Ironisnya, Balai Pustaka memutuskan tidak mengalihbahasakan DDTL secara utuh seperti edisi sebelumnya dengan alasan keterjangkauan harga. Total 22 surat yang sengaja dihilangkan oleh Armijn Pane yang diberi kuasa untuk menyunting terjemahahan yang diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang . Penyensoran ini, menurut Didi, seturut dengan jiwa zaman saat itu yang masih dibatasi sekat rasial. Selain dipraktikan pemerintah kolonial, kaum nasionalis pun masih enggan memberikan ruang untuk berbaur dengan kelompok timur asing, khususnya Tionghoa dalam satu organisasi. Dan inipun jamak terjadi. Adapun versi terlengkap dari surat-surat Kartini dapat dilihat dalam terjemahan filolog UGM, Sulastin Sutrisno yang berjudul Kartini: Surat-surat Kepada Ny. R.M. Abendanon Mandri dan Suaminya , terbit pada 1989. Dalam terjemahan ini, Sulastin memuat surat Kartini secara lebih utuh, termasuk pandangan Kartini tentang kemajemukan. Di tengah zaman yang diliputi diskriminasi etnis minoritas, Kartini telah maju selangkah. Disamping perhatian terhadap kaum perempuan yang lain menonjol dari Kartini adalah ketulusan hatinya dalam berinteraksi dengan berbagai golongan. Bagi Kartini, kemajemukan adalah satu keniscayaan. Dengan begitu, kata Didi, “Kartini layak diberi gelar ‘Pelopor Pluralisme’”.
- Para Ibu di Lapangan Hijau
SEPAKBOLA modern tak lagi melulu milik pria. Kaum perempuan pun sudah jempolan memainkan si kulit bundar, termasuk di negeri kita. Tak jarang pula memunculkan ibu-ibu tangguh, para pesepakbola putri yang tetap merumput meski tengah hamil dan setelah melahirkan. Tengok saja Sydney ‘ The Kid ’ Rae Leroux, striker klub NWSL (Liga Sepakbola Putri Amerika) Orlando Pride dan timnas putri Amerika Serikat. Pada 2016, ia sudah jadi ibu dari seorang bayi laki-laki hasil pernikahannya dengan pesepakbola MLS (Liga Amerika) Dom Dwyer. Menjadi seorang ibu dari bayi bernama Cassius Cruz Dwyer tak menghentikan karier Leroux di lapangan hijau meski sempat cuti setahun dari klub dan timnas saat hamil dan setelah melahirkan. Cerita berbeda saat peraih emas Olimpiade 2012 itu hamil anak kedua. Leroux tetap berlatih di tengah usia kehamilan 5,5 bulan pada Maret 2019. “Mulanya saya mengira takkan ikut latihan pramusim saat hamil 5,5 bulan tapi lihatlah sekarang,” kicaunya di akun Twitter -nya, @sydneyleroux, 4 Maret 2019. Leroux mengaku menghindari kontak fisik dengan rekan-rekan setimnya di sesi latihan. Baru pada April 2019 Leroux mengajukan cuti. Namun pada 29 September 2019 ia sudah tampil lagi untuk klubnya selepas tiga bulan melahirkan. Sydney Leroux yang masih berlatih saat tengah hamil lima bulan (Foto: Twitter @sydneyleroux) Kisah Leroux hanya seujung kuku dari entah berapa banyak pesepakbola putri di abad ke-21 yang memilih tetap berkarier meski sudah jadi ibu. Tidak hanya yang straight , beberapa pesepakbola lesbian juga tetap bermain meski sudah jadi ibu hasil dari bayi tabung. Cerita agak berbeda datang dari para pesepakbola putri yang berkarier di era abad ke-20. Sebelum era 1990-an, sepakbola masih tabu buat kaum hawa. Selain jamak dinyinyiri, para pesepakbola putri acap dibikin was-was lewat argumen kesehatan, utamanya kesehatan organ wanita. Maka tidak sedikit dari mereka yang akhirnya pilih gantung sepatu saat sudah menikah dan punya anak. Berikut ini enam pesepakbola putri abad ke-20 yang tercatat masih punya kemauan kuat bermain saat sudah menjadi ibu, atau bahkan masih sempat berlatih dan tampil saat tengah hamil: Katrine Søndergaard Pedersen Pedersen mulai meniti karier pada 1993 bersama tim muda Stensballe IK. Setahun berselang, ia mentas di klub Denmark lainnya, HEI. Pada 1994 itu pula bek kelahiran 13 April 1977 itu masuk dan jadi langganan timnas putri Denmark hingga 2013 dengan rekor 210 laga internasional. Alhasil, ia termasuk pesepakbola putri paling dihormati di Eropa. Dari hubungan asmaranya dengan sesama pesepakbola, Maiken Pape, Pedersen hamil anak pertama pada November 2013, sekaligus mengumumkan pensiun dari pentas internasional. Namun ia tetap bermain di klub sekaligus jadi ibu hingga benar-benar gantung sepatu di klub terakhirnya, Stabæk, pada 2015. Ia pun jadi pesepakbola legendaris asal Denmark paling diingat publik selain Peter Schmeichel dan Laudrup bersaudara (Michael dan Brian). “Ia (Pedersen) menjadi inspirasi bagi sepakbola putri,” sebut Presiden FIFA Sepp Blatter saat merayakan 125 tahun DBU (induk sepakbola Denmark), dikutip situs FIFA, 18 Mei 2004. Brandi Denise Chastain Meski Piala Dunia putri sudah digelar pada 1991, baru pada 1999 mulai populer dan mengglobal. Pesepakbola putri AS Chastain adalah ikonnya, gegara ia mencetak gol penentu dalam drama adu penalti di final kontra China. “Sebelum 1999 publik tak banyak tahu pesepakbola putri. Itu tahun yang hebat bagi sepakbola putri hingga menjadi populer dan Chastain jadi pahlawannya. Selebrasinya tertangkap kamera banyak fotografer saat ia berlutut, berteriak dengan memejamkan mata dan meninju ke udara, melepas baju dan hanya mengenakan bra sport . Brandi menjadi ikon instan. Bahkan orang yang tak mengerti sepakbola pun mengenal Brandi –si bintang sepakbola dengan bra sport -nya,” ungkap jurnalis Michelle Medlock Adams dalam biografi Brandi Chastain: No Hands Allowed. Lahir di San Jose, California, 21 Juli 1968, Chastain sudah mengolah si kulit bundar sejak SMA. Hobi itu dilanjutkannya di kampus, sejak 1986 dia bermain untuk tim California Golden Bears dan Santa Clara Broncos. Pada 1993, ia hijrah ke tim Jepang Shiroki FC Serena. Sejak 1988, ia masuk timnas Amerika dan menjadi andalan hingga 2004. Chastain turut dalam tim juara Piala Dunia Putri pertama tahun 1991 dan turut dalam tim ketika menyabet emas di Olimpiade Atlanta 1996 dan Sydney 2000. Dia baru pensiun di klub California Storm pada 2010. Pemain serba bisa yang mampu tampil di posisi bek, gelandang, hingga penyerang itu sudah jadi ibu dari seorang putra, Jaden Chastain Smith, sejak 8 Juni 2006. Kendati sempat pensiun, istri dari pelatih Santa Clara Broncos Jerry Smith itu kembali bermain pada 2009 sembari mengurus Jaden dan putra tirinya, Cameron Smith. Chastain baru gantung sepatu lagi setahun setelahnya. Faye White Namanya populer baik di klub, Arsenal Ladies, maupun timnas Inggris dalam kurun 1996-2013. Ikut mengantarkan tim “Tiga Singa” hingga ke final Piala Eropa 2009, prestasi kapten tim Inggris selama 11 tahun itu lebih mentereng di klub. Dia sudah memenangi 10 gelar liga, sembilan FA Cup, empat Community Shield, dan satu Piala UEFA. Dari pernikahannya dengan Keith Mulholland, White hamil pada April 2012 dan memutuskan pensiun dari timnas. Namun ia masih bermain di klub meski sudah melahirkan putra pertamanya, Lukas Mulholland, pada 2013. Sayangnya di tahun yang sama ia terpaksa gantung sepatu. “Semua orang bilang karena saya sudah punya bayi. Tapi bukan itu alasannya. Saya masih mampu menjalankan tugas (pemain). Kemampuan saya masih ada. Tubuh saya juga masih kuat, namun lutut saya yang bermasalah,” ujarnya, dinukil Daily Mail , 20 Maret 2013. Martina Voss Sejak masuk timnas Jerman pada 1984, Voss turut mempersembahkan empat Piala Eropa. Di klub pun eks gelandang KBC Duisburg, TSV Siegen, FCR 2001 dan Duisburg itu termasuk langganan juara. Kini ia masih berkarier di sepakbola sebagai pelatih timnas Jerman. Mulanya sosok kelahiran Duisburg, 22 Desember 1967 itu dikenal sebagai seorang lesbian dan sempat berpacaran dengan sesama pemain timnas, Inka Grings. Namun pada 1 Oktober 2009 ia menikahi pria bernama Herman Tecklenburg dan tak lama kemudian mengandung anak pertamanya. Pun begitu, ia masih tetap bermain. “Saya masih bermain sampai hamil empat bulan di bawah pengawasan dokter kandungan. Saya tak pernah takut, namun lawan saya harus tahu bahwa saya sedang hamil. Dua minggu setelah melahirkan, saya sudah mulai latihan lagi dan bermain setelah lima pekan melahirkan. Tapi memang harus diakui sulit bagi saya untuk sekaligus menyusui karena sulitnya mengatur jadwal laktasi dan latihan,” aku Voss, dikutip jurnal FIFA terbitan 2007 bertajuk “Health and Fitness for the Female Football Player”. Christie Patricia Pearce Sebelum bercerai dengan suaminya, Chris Rampone, pada 2017, ia dikenal dengan nama Christie Rampone. Bek kelahiran Fort Lauderdale, Florida pada 24 Juni 1975 itu memulai karier sepakbolanya pada 1993 di tim kampus Monmouth Hawks. Empat tahun berselang dia masuk Central Jersey Splash yang menandai kiprahnya di kompetisi profesional. Tahun itu juga Christie masuk timnas Amerika. Namanya sempat viral pada Agustus 2009. Pasalnya, menyitat situs FIFA, 27 Agustus 2009, Christie, pemain merangkap pelatih caretaker tim Sky Blue FC, masih ikut tampil di babak play-off WPS (Women’s Professional Soccer) Champioship walau tengah hamil tiga bulan. Hal itu turut jadi faktor ia dianugerahi WPS Sportswoman of the Year. Ia cuti saat kehamilannya memasuki usia empat bulan hingga melahirkan putrinya, Reece. Pada 2010, kembali tetap merumput bersama timnas Amerika hingga 2015 dan bersama klubnya hingga pensiun pada 2017. Ia mencatat rekor dua kali juara Piala Dunia Wanita (1999 dan 2015). Papat Yunisal Hampir segenap hidupnya dihabiskan di sepakbola. Lahir di Subang, 11 Juni 1963, Papat Yunisal mulai berkarier di Putri Priangan sejak 1979 dan masuk timnas PSSI Putri pada 1981. Prestasi tertinggi striker mungil itu, mengantarkan timnas putri jadi finalis ASEAN Women’s Championship 1982. Empat tahun berselang ia dipersunting pria yang enggan ia sebutkan namanya. Tak lama kemudian ia pun mengandung dan sempat vakum dari rumput hijau. Papat sudah comeback berlatih bersama Putri Priangan tak lama setelah melahirkan anak pertamanya. “Saya baru 40 hari lahiran sudah main, saking antusiasnya ingin main lagi. Saya ke dokter untuk cek kesehatan saya, cek nadi saya semua. Saya juga tanya, masih layak (secara medis) enggak saya bermain bola?” kata Papat kepada Historia. “Terus sama dokternya dibolehin. Syaratnya harus pake gurita yang bener-bener nge- press . Setelah itu main saya. Enggak ada rasa-rasa sakit apa gitu,” lanjut perempuan yang pensiun dari timnas pada 1987 dan dari klubnya tiga tahun berselang itu. Kini sebagai ibu dan juga nenek dari lima cucu, ia masih mendarmabaktikan dirinya sebagai Ketua Asosiasi Sepakbola Wanita Indonesia (ASBWI).
- Kontemplasi Nan Sunyi di Gereja Sacrè-Coeur
Berbicara tentang Prancis tak akan bisa lepas dari kota Paris. Kota ini memberikan kesan kuat bagi para pelancong. Musik, kultur, seni, dan sepakbola bersatu di kota ini. Suasana kotanya romantis. Banyak pasangan ucap janji setia di menara Eiffel, Sungai Seine, dan Jembatan Ponts de Art. Sudut lain kotanya tak kalah ciamik. Bangunan bersejarah berlimpah. Salah satu bangunan bersejarah itu Gereja Sacrè-Coeur. Letaknya di Montmartre, daerah berbukit di pinggiran utara kota Paris. Saya harus melalui berbagai jalan sempit untuk menuju Sacrè-Coeur. Kanan dan kiri jalan sempit itu sesak oleh berbagai kafe untuk minum kopi, makan, dan menenggak wine . Ribuan wisatawan mengunjungi Sacrè-Coeur setiap harinya. (Fernando Randy/Historia). Setelah melewati jalan sempit, saya bertemu ratusan anak tangga dan harus menapakinya pelan-pelan. Cukup melelahkan. Tapi ketika sampai di puncak bukit, lelah itu sirna. Pemandangan Paris terhampar jelas. Gereja Sacrè-Coeur berdiri dengan megah di atas ketinggian 130 meter. Suasana jalan menuju ke Sacrè-Coeur di Montmarte Paris. (Fernando Randy/Historia) Sacrè-Coeur berusia lebih dari satu abad. Pembangunannya dimulai pada 1875. Tak lama setelah kekalahan Prancis dari Prusia pada 1871 dan revolusi Komune Paris pada tahun yang sama. Dua peristiwa ini begitu memukul orang Katolik Prancis. Mereka merasa peristiwa itu muncul tersebab dosa-dosa keseharian mereka. Sebagai bentuk pertobatan, mereka berikhtiar mendirikan sebuah gereja dan meminta Paul Abadie, seorang arsitek, untuk merancangnya. Gambar-gambar pada dinding Gereja Sacrè-Coeur. (Fernando Randy/Historia). Pembangunan Sacrè-Coeur selesai pada 1914. Kemudian gereja ini dikuduskan pada 1919, setelah Perang Dunia I berakhir. Kekhasan Sacrè-Coeur terletak pada pemilihan warnanya. Semuanya putih bersih. Simbolisasi dari arti namanya, Hati Suci. Warna putih dihasilkan dari penggunaan batu Château-Landon. Batu ini mengeluarkan zat kapur yang berfungsi sebagai pemutih alami dan sanggup bertahan lama sehingga membuat gereja ini terlihat putih bersinar. Berbagai patung umat Kristiani menghiasi Gereja Sacrè-Coeur di Paris. (Fernando Randy/Historia). Saat memasuki gerbang Sacrè-Coeur, saya dapat merasakan kekuatan arsitekturnya. Situasi di sana memang ramai, tapi nuansa ketenangan begitu kuat. Ramai di luar gereja, damai di dalam hati. Di dalam gereja tinggi menjulang itu terdapat berbagai patung tokoh umat Kristiani. Selain itu juga tersua lukisan dinding yang sangat indah berupa Yesus terbang. Menambah kuat kesan spiritual selama berada di Sacrè-Couer. Para wisatawan mengambil foto kota Paris dari atas Sacre-Coeur Paris. (Fernando Randy/Historia). Pesan-pesan yang teringgal di Sacrè-Coeur. (Fernando Randy/Historia). Sacrè-Coeur terbuka luas untuk semua penganut agama. “Wisatawan dari semua negara, dari agama apapun, bebas masuk ke dalam sini. Yang terpenting adalah sopan dan saling menghargai, karena ini adalah tempat ibadah,” ujar Adrien Rene (34), salah satu penjaga gereja. Lukisan Yesus Kristus di atap Gereja Sacrè-Coeur Paris. (Fernando Randy/Historia). Setelah menyelami kedalaman arsitektur Sacrè-Coeur, saya keluar gereja dan melihat berbagai atraksi kreatif para seniman Paris di sekitar gereja. Dari pemusik, pelukis jalanan, hingga pesulap. Mereka menggantungkan hidup pada gereja dan berharap berkatnya selalu terlimpah kepada mereka. Jules seorang pesulap saat mempertontonkan keahlianya di sekitar Sacrè-Coeur Paris. (Fernando Randy/Historia). Jules (25), seorang wanita pesulap di sekitar Sacrè-Coeur, mengatakan bahwa dia belum lama menggelar pertunjukan di sekitar gereja. "Namun Sacrè-Coeur selalu memberikan berkat melimpah kepada saya dalam setiap kepingan euro wisatawan." Para wisatawan menikmati sore hari di Sacrè-Coeur. (Fernando Randy/Historia).
- Mula Kaum Ibu Membincang Masalah Politik
KONGRES Perempuan Indonesia (KPI) IV menandai perbedaan penting tiga kongres serupa sebelumnya. Jika pada KPI I sampai III pembahasan selalau berkaitan dengan hak perempuan di ranah perkawinan dan pendidikan, pada KPI IV para perempuan menitikberatkan diskusi pada peran perempuan dalam politik. Meski pembahasan mengenai hak plih sudah dlakukan pada kongres ketiga, para perempuan masih sebatas untuk mempelajari dan melakukan riset lebih dalam. Baru pada kongres keempat mereka bersepakat untuk memperjuangkan posisinya di ranah politik melalaui tuntutan pemberian hak pilih. Kongres yang diadakan di Semarang pada 25-28 Juli 1941 ini dipimpin oleh Ny. Sunaryo Mangunpuspito. Sebanyak 13 organisasi perempuan seperti Aisyiyah, Isteri Indonesia, Wanita Taman Siswa, dan lain-lain hadir untuk menyumbangkan buah pikir mereka. Kongres pada akhirnya menghasilkan beberapa keputusan seperti, sepakat mendukung Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan organisasi lainnya menolak wajib militer ( militieplicht ) terbatas bagi bangsa Indonesia. Selain itu, kongres menyarankan pada Volksraad agar mendorong bahasa Indonesia dimasukkan sebagai mata pelajaran tetap pada sekolah menengah (HBS dan AMS). Mereka juga mendirikan empat komite yang masing-masing bertugas untuk memberantas buta huruf, menyelidiki kesempatan kerja perempuan Indonesia, mempelajari hukum Islam dalam perkawinan, dan memperbaiki ekonomi perempuan. Pembahasan kongres didominasi soal hak pilih perempuan mengingat sejak 1930-an para perempuan Indonesia berusaha keras untuk mendapatkan hak suara sama seperti lelaki. Di tahun-tahun sebelumnya, sedikit sekali catatan tentang perjuangan hak pilih perempuan pribumi. Susan Blackburn dalam Women and the State in Modern Indonesia menyebut ada beberapa alasan yang mendasari kelambanan organisasi perempuan Indonesia dalam menyadari isu hak pilih. Salah satunya, organisasi konservatif, biasanya berdasar agama, meyakini bahwa perempuan tidak siap untuk berperan dalam urusan politik dan tidak pernah didorong untuk melakukannya. Selain itu, politik selalu diartikan sebagai dunia laki-laki. Namun ketika perempuan Indonesia menyaksikan seorang perempuan Belanda duduk di Dewan Rakyat, mereka tergugah untuk mendapatkan hak pilih juga. Lewat keputusan kongres, mereka menolak sikap Minangkabauraad yang enggan memberikan hak pilih bagi kaum ibu. Sebaliknya, mereka mengajukan tuntutan pada Volksraad agar perempuan Indonesia mempunyai hak pilih aktif dan pasif. Sebagai tindak lanjut, kongres mengirimkan telegram pada Dewan Rakyat, Fraksi Nasional Indonesia (Suroso), dan Gubernur Jenderal di Batavia tentang hak pilih perempuan. "Setelah mendengar pembicaraan-pembicaraan dalam Dewan Rakyat, di mana sebagian besar anggotanya telah menyetujui hak untuk memilih bagi wanita, Kongres Perempuan Indonesia ke IV mohon agar hak pilih bagi kaum wanita dikabulkan," demikian bunyi surat tersebut seperti tercatat dalam Sejarah Setengah Abad Kesatua Pergerakan Wanita Indonesia. Soeroso yang menerima surat tersebut menyampaikannya dalam sidang Dewan Rakyat pada 4 September 1941. Sidang berlangsung cukup alot lantaran beberapa anggota Dewan Rakyat seperti T. de Raadt, Soeangkoepon, dan Loa Sek Hie, menolak memberikan hak pilih bagi perempuan pribumi. Pemerintah Kolonial juga menanggapi tuntutan dari KPI pada sidang tanggal 9 September 1941. Mr. Van Hasselt, perwakilan dari Pemerintah Hindia Belanda, menyatakan belum saatnya memberi hak pilih pada perempuan Indonesia dan perempuan bangsa asing. Namun, secara prinsip pemerintah tidak keberatan pada hak pilih perempuan Indonesia dan bangsa asing. Pernyatan itu mengecewakan para perempuan. Perjuangan mereka juga harus terhenti lantaran Jepang keburu masuk lalu membekukan KPI. Satu-satunya organisasi perempuan yang diperbolehkan adalah Fujinkai, organisasi perempuan bentukan Jepang yang berbau militeris. Rencana kongres kelima di Surabaya pimpinan Nyonya Sundari dari Putri Budi Sejati pun batal. "Jaman kolonial Belanda itu yang terakhir adalah kongres perempuan Indonesia IV di Semarang tahun 1941. Jaman Jepang tidak ada apa-apa," kata Maria Ullfah pada Dewi Fortuna Anwar dalam arsip rekaman sejarah lisan Arsip Nasional RI.
- Mengunjungi Tempat Belajar I-Tsing
Para biksu baru saja selesai sarapan. Mereka berlari-lari kecil mengelilingi tembok-tembok mahavihara . Katanya itu ampuh untuk memperlancar pencernaan. Mereka menghabiskan hari-harinya belajar di mahavihara itu. Bangunannya mirip kota berbenteng. Dengan bata-bata yang disusun sebagai tembok. Begitu sunyi dan jauh dari keramaian, mahaviahara tersembunyi di tengah hutan pedalaman Sumatra, di seberang Sungai Batanghari yang lebar. Kondisi itu dicatat I-Tsing, biksu asal Tiongkok yang pernah melawat ke Sumatra pada abad ke-7 dalam perjalanannya ke Nalanda, India. Suasana ini pula yang terbayang ketika memasuki kawasan Candi Kedaton. " Dia (I-Tsing, red. ) menggambarkan keseharian para biksu yang tinggal di sini. Kalau kita observasi deskripsi ini mirip dengan kompleks Candi Kedaton ," ujar Asyhadi Mufsi Sadzali, arkeolog Universitas Jambi , ketika ditemui di Kompleks Percandian Muaro Jambi. Candi Kedaton merupakan salah satu kompleks candi dari gugusan Kompleks Percandian Muaro Jambi. Dari jalan raya, ia tertutup tembok bata kuno. Namun begitu menyeberangi kanal yang memisahkan kompleks ini, barulah terlihat kelompok bangunan ini adalah yang terbesar di antara gugusan candi-candi di Kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi. Ada tembok pagar keliling setinggi dua kali orang dewasa yang menutup kompleks bangunan kuno itu dari luar. Gerbang asli masuk ke kompleks ini berada di arah berlawanan dari jalan raya. Kendati gapuranya masih berdiri kokoh, wujudnya sudah tak utuh. Mungkin dulunya ia beratap dan berpintu. Sarnobi, salah satu dari 12 juru pelihara di candi itu, sempat menunjukkan adanya dua baris tulisan Jawa Kuno pada salah satu hiasan Makara pada gapura. Aksaranya bergaya kuadrat, yaitu gaya tulisan yang dipahat menonjol. Titi Surti Nastiti, ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, pernah menjelaskan dalam kesempatan yang berbeda kalau gaya tulisan ini muncul pada masa Kadiri dan masih dipakai pada zaman Majapahit. Berdasarkan tulisan itu, menurut Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan dalam Candi Indonesia Seri Sumatera, Kalimantan, Bali, Sumbawa , mungkin Candi Kedaton pernah dipakai sebagai tempat meditasi Mpu Kusuma. "Tempat mengheningkan ciptanya (meditasi, red. ) Mpu Kusuma," bunyi tulisannya. Masuk melewati gapura, di bagian dalam kompleks nampak tembok-tembok bata lain yang lebih rendah. Fungsinya membagi halaman. Sekiranya ada sembilan halaman di sana. Di dalam halaman-halaman yang terpisah itu ada sepuluh runtuhan bangunan. Di antaranya, bangunan induk, mandapa, danbangunan perwara yang ukurannya lebih kecil. Ditemukan pula sumur kuno dari susunan bata, juga belanga perunggu yang lebarnya kira-kira satu meter. "Dulu ini kebun karet, duku, durian. Candinya sebagian utuh, sebagian hancur," ujar Sarnobi yang menemani kunjungan kala itu. "Ada pohon besar sekali di atas candi itu dulunya. Kami ikut juga merobohkannya." Warga sekitar candilah yang pertama menemukan keberadaan candi itu. Mereka heran mengapa tanah di tempat yang kini nampak candinya itu begitu tinggi. "Ditanam apapun nggak bisa hidup. Rupanya banyak batu kerikil dan candi di dalamnya," kata Sarnobi. Bata-bata yang berserakan di kawasan itu dulunya juga sering dibawa pulang warga sekitar untuk dijadikan pondasi rumah. "Kan tidak tahu, dibikin pondasi rumah kok bagus," kata Sarnobi sambil tertawa. Gerbang Kompleks Candi Kedaton. (Risa Herdahita Putri/Historia). Dikunjungi I-Tsing Banyak peneliti yang mengkaitkan sisa-sisa bangunan di lahan seluas 43.000 m2 itu dengan mahavihara yang pernah didatangi oleh I-Tsing. Di kota Foshi yang berbenteng itu, menurut Shinta Lee, penerjemah catatan perjalanan I-Tsing dari Komunitas Sudimuja & Jinabhumi, I-Tsing melihat kalau para biksu menganalisis dan mempelajari semua mata pelajaran yang persis seperti yang ada di Kerajaan Tengah (Madhyadesa, India). Misalnya, Pancavidya yang mencakup pelajaran tata bahasa, pengobatan, logika, seni, keterampilan kerajinan, dan ilmu mengelola batin. "Tata cara dan upacaranya sama sekali tak berbeda," kata Shinta. Sedangkan menurut Asyhadi, dilihat dari lokasinya, gugusan kompleks percandian Muaro Jambi secara keseluruhan memang cocok sebagai tempat belajar. Dalam mambangun mahavihara para pendirinya pasti memilih lokasi yang jauh dari keramaian. Kalau tak di gunung, maka di tengah hutan. "Untuk mencari tempat yang sunyi dan cocok untuk belajar jauh dari godaan duniawi," kata Asyhadi. "Kita lihat sekarang sungai ini (Batanghari, red .) begitu luas dan lebar. Bayangkan ribuan tahun lalu mungkin lebih lebar lagi, artinya akses lalu lalang susah dan jarang dilakukan." Sayangnya, data pertanggalan yang bisa memperkuat apakah percandian ini semasa dengan kedatangan I-Tsing belum bisa banyak berbicara. Sejauh ini periode pembangunan candi baru bisa diperkirakan lewat adanya temuan keramik Dinasti Tang (618-907) dan yang terbanyak, temuan keramik dari era Dinasti Sung (960-1279). Ada lagi yang memperkirakan lewat gaya tulisan dalam lempengan emas berisi mantra yang ditemukan dalam kawasan situs di Candi Gumpung. Ahli epigrafi, Boechari menganalisis gaya tulisan itu berasal dari abad ke-7 dan ke-8. Sementara gaya arsitektur candi di Kompleks Percandian Muaro Jambi tak bisa dijadikan ukuran. "Tak bisa menganalisis arsitektur Muaro Jambi dari abad keberapa karena agak unik. Uniknya candi-candi ini polos dan sederhana," kata Asyhadi. Arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi, Ignatius Suharno juga mengatakan perlunya kajian lebih dalam soal apakah benar Candi Kedaton dan candi-candi di sepanjang gugusan Kompleks Percandian Muaro Jambi itu benar yang dimaksudkan I-Tsing dalam catatannya. "Makanya, belum ada catatan jelas atau prasasti terkait Muaro Jambi. Adanya baru analisis-analisis," katanya saat ditemui di kantor BPCB. Namun, yang pasti semua sepakat. Karena sebagian besar adalah candi, ditambah pentirtaan, dan arca-arca bernapaskan ajaran Buddha, tentunya Kompleks Percandian Muaro Jambi berkaitan dengan pusat keagamaan bagi masyarakat Buddha di masa lalu.
- Nasib Tragis Raja Inggris yang Dimakzulkan
RABU 18 Desember 2019 menjadi “Rabu kelabu” bagi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Malam hari itu waktu setempat, House of Representatives mengetuk palu untuk menetapkan impeachment atau pemakzulan terhadap Trump. Pemakzulan bisa disebut sebagai proses politik untuk mengadili tindak kejahatan seorang pemimpin. Di negara-negara dengan sistem bikameral, pemakzulan berhulu pada suara mayoritas yang didapatkan dari pemungutan suara di badan legislatif. Suara mayoritas itu lalu diteruskan ke Senat. Senat lalu menyelidikinya dan memutuskan apakah si kepala negara harus melepaskan jabatannya atau tidak. Sebelum Trump yang nasibnya bakal ditentukan Senat AS kelak, ada dua presiden AS yang dimakzulkan meski kemudian tetap menjabat sampai akhir masa jabatan. Adalah Andrew Johnson pada 24 Februari 1868 dan Bill Clinton pada 19 Desember 1998. Di Indonesia, setidaknya dua presiden pernah di- impeach , yakni Sukarno pada 12 Maret 1967 dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 23 Juli 2001. Namun tahukah Anda bahwa tidak hanya presiden, seorang raja pun pernah dimakzulkan bahkan sampai divonis eksekusi mati? Siapa Raja Charles I? Dari beragam catatan sejarah, peristiwa pemakzulan pertama terhadap seorang pejabat negara terjadi di Inggris pada 1346. Adalah Lord William, bangsawan Inggris yang menjadi baron keempat di Latimer, yang dimakzulkan. Tiga abad berselang, giliran seorang raja yang di- impeach hingga bermuara pada eksekusi mati. Raja itu ialah Charles I. Charles I dinobatkan jadi raja Inggris, Skotlandia, dan Irlandia pada 25 Maret 1625 sepeninggal ayahnya, Raja James I (Raja James IV, sebagai penguasa Skotlandia). Sebagaimana mendiang ayahnya, Charles I juga kerap berselisih dengan parlemen yang banyak diisi para politisi puritan. Oleh karena itu, perselisihan Charles I dengan parlemen tak hanya soal uang atau kebijakan diplomatik, namun juga soal agama. Perselisihan agama itu berpangkal pada istri Charles I, Ratu Henrietta, yang berasal dari Prancis dan beragama Katolik Roma. Lukisan tiga wajah Raja Charles I. ( royalcollections.org.uk ). Mengutip Robert Unwin dalam The Making of United Kingdom , perkara lain yang bikin ruwet hubungan sang raja dan parlemen adalah relasinya dengan George Villiers, 1st Duke of Buckingham. Villierslah biang kerok yang membuat Inggris terlibat dalam berbagai konflik yang menguras keuangan negara, seperti di Perang Ekspedisi Cádiz kontra Spanyol (1-7 November 1625) dan Pertempuran St. Martin melawan Prancis (1627). “Charles butuh uang dari parlemen yang bakal menaikkan pajak. Parlemen memanfaatkannya untuk bernegosiasi. Parlemen merilis daftar keluhan rakyat terhadap raja yang dikenal dengan ‘Petition of Right’. Charles terpaksa setuju. Namun menyusul pembunuhan Duke of Buckingham pada 1629, hubungan antara Charles dan parlemen memburuk, Charles membubarkan parlemen,” ungkap Unwin. Maka selama 11 tahun berikutnya Inggris dipimpin seorang tiran yang memerintah tanpa diawasi parlemen. Baru pada 1640 parlemen diketengahkan Charles atas usulan salah satu menterinya, Thomas Wentworth, 1st Earl of Strafford. Nahas, setahun berselang justru Wentworth sendiri dimakzulkan parlemen yang berakhir pada keputusan eksekusi mati. Parlemen dan Charles kembali bersitegang saat kekuasaannya hendak dikerdilkan parlemen lewat hukum-hukum baru yang dikeluarkan House of Commons (legislatif). Charles yang marah menggeruduk parlemen dengan pasukannya untuk menangkap lima musuh politik di House of Commons pada 1642. Para oposan itu lalu kabur. Peristiwa itu menandai dimulanya Perang Saudara Inggris antara kaum “Roundheads” yang pendukung parlemen dan “Cavaliers” sebagai loyalis Charles I. Meski Perang Saudara Inggris terjadi hingga 1649, Charles I sudah lebih dulu ditawan di Isle of Wight sejak 1648. Baru pada Januari 1649 statusnya sebagai raja dimakzulkan House of Commons, badan legislatif di Parlemen Rump, dengan dakwaan penyalahgunaan kekuasaan dan pengkhianatan terhadap rakyat Inggris. Raja Charles I dalam sidang pemakzulannya. (Wikipedia/Repro The Phelps Family of America and their English Ancestors ). Pada 20 Januari 1649, Charles I diseret ke kursi terdakwa di Westminster Hall. Tiga hakim dan 150 komisioner pengadilan tinggi menghadapi sang raja dalam pengadilan kasus itu. Tetapi Charles I menganggap peradilan itu sebagai peradilan ilegal. Sebagai raja, ia masih berpegang pada hukum tradisional Inggris: raja adalah kekuasaan abadi yang diberikan Tuhan sehingga raja dianggap takkan pernah salah. Oleh karenanya, persidangan itu tak punya kekuatan hukum terhadap kedudukannya sebagai raja. “Tidak ada pengacara terpelajar yang akan menyetujui bahwa sebuah pemakzulan bisa dihadapkan pada raja… Saya ingin tahu wewenang dari otoritas hukum mana, sampai saya bisa diseret ke (persidangan) ini,” kata Charles I saat diberi kesempatan bicara, dikutip dari The Constitutional Documents of the Puritan Revolution: 1625-1660 yang dieditori Samuel Rawson Gardiner dari Universitas Oxford. Pernyataan itu mendapat bantahan dari Bradshaw, satu dari tiga hakim yang memimpin sidang. Menurutnya, saat Charles I dinobatkan dengan sumpah, sumpahnya punya makna timbal-balik terhadap rakyat. Dalam dakwaan, justru rakyatlah yang dikhianati Charles I hingga menjadikan ikatan antara raja dan rakyatnya terputus. Surat vonis Raja Charles I (kiri) & ilustrasi eksekusi mati dengan pemenggalan kepala. ( parliament.uk ). Charles I pun tetap disidang dan pada 27 Januari 1649 divonis hukuman mati. “Sidang mencapai keputusan bahwa Charles (dari wangsa/dinasti) Stuart dinyatakan bersalah atas kejahatan yang dituduhkan padanya sebagai tiran, pengkhianat, pembunuh dan musuh negara, dengan hukuman mati lewat eksekusi pemenggalan kepala,” demikian bunyi vonis Charles yang ditandatangani 59 komisaris sidang, termaktub dalam arsip “Death Warrant of King Charles I” yang dimuat situs parliament.uk . Eksekusinya digelar di halaman Banqueting House, Istana Whitehall pada 30 Januari 1649 siang. Peristiwa pemakzulan itu lantas diadopsi para perumus konstitusi AS, di mana dalam Konvensi Konstitusi 1787 prosedur pemakzulan dimasukkan di Konstitusi Amerika Pasal II ayat 4. Konstitusi serupa itu kini dihadapi Trump.
- Khazanah Arsip Lima Tokoh Indonesia
DALAM Kongres Pemuda I, para perempuan turut hadir. Emma Peradiredja salah satunya. Dia mewakili Jong Islaminten Bond. Dalam kongres tersebut Emma aktif dalam pembicaraan mengenai nasib perempuan dalam pendidikan. Pada Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda, Emma kembali hadir dan aktif. Ketika masa revolusi fisik, Emma menjadi pemimpin pemuda dalam perlawanan di Bandung dan menjadikan rumahnya sebagai markas. Ketika Bandung menjadi lautan api, ia bersama Djawatan Kereta Api mengungsi ke Cisurupan pada Juni 1947 untuk kemudian pindah ke Yogyakarta hingga ditangkap pada 1949. Seluruh aktivitas Emma sejak 1921-1978 tersebut tercacat dengan rapi lewat tulisan tangannya. Catatan pribadi Emma inilah yang diserahkan Amarawati Poeradiredja, anak Emma, kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Pengambilalihan arsip tersebut kemudian diresmikan dalam acara Penyerahan Arsip LAPAN, Ormas, dan Perseorangan di ANRI, Kamis (19 Desember 2019). “Semua arsip Bu Emma saya simpan baik-baik. Saya mencatat arsip yang dipinjam lalu kembali. Undangan untuk berbicara tentang Bu Emma juga semua saya simpan dengan baik,” kata Amara. Ada lima tokoh yang arsipnya diserahterimakan ke ANRI. Selain Emma, ada Ir. Djuanda Kartawidjaja, Ir. Suharto, dr. Rusmono, dan Rajab Leasa. Dari kalangan ormas yang menyerahkan arsip statis ialah Teater Keliling pimpinan Rudolf Puspa. Selain itu, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga menyerahkan foto dan citraan satelit Lumpur Lapindo yang pernah digunakan sebagai rujukan ganti rugi lahan korban tedampak. Rudolf Puspa memberikan sambutan di acara penyerahan arsip Teater Keliling. (Nur Janti/Historia). Menurut Kepala Subdirektorat Akuisisi Arsip III Ormas, Perseorangan, dan Sejarah Lisan Yosephine Hutagalung, proses pengambilalihan arsip pribadi memakan waktu sekira satu tahun. Seluruh foto yang dkumpulkan kemudian diriset kembali untuk diberi konteks waktu dan peristiwa. Upaya menambah khazanah arsip perorangan juga dibarengi dengan pembuatan arsip sejarah lisan yang bisa memperkaya sumber periset biografi tokoh. Dalam pembuatan arsip sejarah lisan Ir. Djuanda Kertawidjaja, misalnya, ANRI telah mewawancara anak bungsunya, Noorwati Djuanda. Dokumen penting yang diserahkan oleh keluarga Ir. Djuanda Kartawidjaja merupakan catatan sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Solo pada 25 Februari hingga 7 Maret 1946. Sebelumnya, pihak ANRI juga meminta arsip perorangan dari Ciputra mengingat ia punya banyak karya dalam pembangunan kota Jakarta. Sayangnya, kondisi kesehatan Ciputra tidak memungkinkan. “Tadinya kami mau membuat proyek sejarah lisan ke Pak Ciputra, namun sayangnya beliau sedang dirawat di rumahsakit dan tidak bisa diwawancara,” kata Yosephine. Sementara, penyerahan arsip Ir. Suharto sudah dimulai sejak November 2018. Semula keluarga hanya menyerahkan arsip foto namun ketika Ir. Suharto meninggal pada Agustus 2019, seluruh arsip diserahkan pada ANRI. Koleksi paling menonjol ialah rancangan pesawat XT-400 sebagai pesawat perintis. Ada pula kumpulan foto dan dokumen Ir. Suharto dari 1966-2017. Mengenai arsip dr. Rusmono, isinya berupa kumpulan disposisi Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto kepada Rusmono selama menjabat sebagai dokter kepresidenan pada 1986-1995. Terdapat pula arsip foto pelaksanaan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) di Fakfak yang diserahkan Rajab Leasa. Penyerahan arsip Emma Poeradiredja, dilakukan selama setahun. “Pengerjaan Arsip Bu Emma sudah dilakukan sejak pertengahan 2018. Sejauh ini koleksi arsip era pergerakan nasional masih sedikit, khususnya perempuan. Maka arsip dari Bu Amara jadi penting untuk melengkapi koleksi ANRI,” kata Suryagung, arsiparis yang mengerjakan akuisisi arsip Emma Poeradiredja. Amarawati menceritakan perjuangan Emma Poeradiredja. (Fernando Randy/Historia). Dalam proses penyerahan arsip ini, Amara memberikan delapan buku, arsip foto, surat, naskah pidato, dan dokumen kegiatan Emma. Namun Amara meminta agar ANRI memberikan salinannya. “Kalau yang asli boleh diambil, tapi setidaknya saya punya salinannya. Jadi ketika ada yang bertanya tentang Bu Emma saya punya pegangan,” kata Amarawati. Arsip yang diserahkan dari keluarga Emma terhitung paling banyak lantaran Amara cukup rajin menata dan mendaftar peninggalan Emma. “Semua yang saya simpan dan koleksi itu penting. Untuk kenangan saya tentang Bu Emma, juga untuk diwariskan ke anak cucu saya. Kita nggak bisa melupakan sejarah yang begitu dekat,” kata Amara.
- Tjokroaminoto Jadi Hanoman
Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau HOS Tjokroaminoto merupakan tokoh yang dikenal sebagai guru bangsa. Dia menempa tokoh-tokoh seperti Sukarno, Muso, Alimin hingga Kartosoewiryo kala mondok di rumahnya, di Surabaya. Selain sebagai guru politik yang jago berpidato, Tjokroaminoto ternyata juga seorang seniman. Bakat seni Tjokroaminoto terasah ketika dia bersekolah di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) Magelang. Selain mendapat pendidikan sebagai calon pegawai pemerintahan, Tjokroaminoto juga dilatih berbagai kesenian Jawa. Pelajaran khusus bagi para pelajar Jawa di OSVIA meliputi sastra, karawitan hingga tari-tarian Jawa. "Adalah suatu aib bagi seorang priyayi lulusan OSVIA, bila tidak mahir menari Jawa, yang disebut beksa. Dan Oemar Said Tjokroaminoto memang mahir sekali dalam hal tari-tarian ini," sebut Subagiyo Ilham Notodijoyo dalam Harsono Tjokroaminoto: Mengikuti Jejak Perjuangan Sang Ayah. Pada 1902, Tjokroaminoto lulus dari OSVIA. Dia kemudian menjadi pegawai pamongpraja sebagai juru tulis patih di Ngawi, Jawa Timur. "Akan tetapi seperti halnya dengan Tirto Adhi Soerjo , ia tidak menyukai pekerjaan tersebut, sehingga ia keluar dari dinas pamongpraja pada tahun 1905, kemudian menggabungkan diri pada suatu pertunjukan wayang orang," tulis Hartono Kasmadi dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Tengah. Pada 1907, Tjokroaminoto pindah ke Surabaya dan bekerja di firma Kooy & Co. Kegemaran berkesenian Jawa, terutama pada pertunjukan wayang orang, terus ia bawa. Ia seringkali membawa anak dan para pelajar yang mondok di rumahnya untuk berlatih wayang orang. "Kalau saya tidak salah ingat, ketika saya masih berusia sekitar 5-6 tahun, di Surabaya, ayah bersama-sama para pelajar yang mondok di rumah, secara teratur entah seminggu sekali atau seminggu dua kali, mengadakan latihan tari-tarian wayang bertempat di Taman Seni Panti Harsoyo, sekarang barangkali taman ini telah berubah menjadi hotel," ungkap Harsono Tjokroaminoto dalam Menelusuri Jejak Ayahku . Ketika bermain dalam pertunjukan wayang orang, Tjokroaminoto sering memerankan tokoh Hanoman. Sosok kera putih sakti itu adalah tokoh wayang idolanya. "Jika ikut dalam suatu pertunjukan wayang orang, maka kesukaan almarhum dulu ialah menjadi Hanoman. Dalam memilih peranan itu kiranya beliau ingin memuntahkan isi jiwanya dalam menghadapi perjuangan bangsanya,” tulis Amelz dalam H.O.S Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuangannya . Dalam kisah Ramayana, Hanoman bersama pasukan wanara diceritakan berhasil mengalahkan banyak tentara Dasamuka dalam satu peperangan. Dasamuka sendiri merupakan tokoh yang oleh TJokroaminoto dianalogikan sebagai penjajah. "Jadi rupanya yang menjadi latar belakang ayah menggemari peran sebagai Hanoman tidak lain adalah karena Hanoman itu, bagi beliau, merupakan simbol di dalam perjuangannya membela bangsa Indonesia dari penindasan penjajah Belanda," kata Harsono. Selain itu, Tjokroaminoto mengibaratkan Dasamuka sebagai kapitalis yang harus dihancurkan. Maka pertarungan Hanoman dan Dasamuka relevan dengan semangat perjuangannya. "Bagi ayah, pertarungan ini merupakan perlambang dari perjuangan beliau dalam usaha rakyat Indonesia menghancurkan penjajah yang angkara murka, yang bersifat kapitalistik dan imperialistis itu," terang Harsono. Selain pandai bermain dalam pertunjukan wayang orang sebagai Hanoman, Tjokroaminoto juga jago menyanyikan tembang-tembang Jawa serta membuat sajak dan pantun Jawa. Keluarganya pun juga dekat dengan kesenian meskipun mereka berbeda selera. Istrinya, Soeharsikin, lebih memilih piano daripada gamelan. Sedangkan anak-anak Tjokroaminoto seperti Oetari, Anwar Tjokroaminoto, dan Harsono Tjokroaminoto juga pandai bermain alat musik dan menyanyi.





















