top of page

Hasil pencarian

9585 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kantor Sultan Yogyakarta Diserbu Belanda

    Tentara Belanda mencium adanya rapat merencanakan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Kepatihan Danurejan. Maka, esok harinya, mereka menyerbu kantor Sultan Hamengku Buwono IX itu. Mula-mula mereka mendatangi kantor sekretariat Dewan Pertahanan Daerah yang menempati ruangan di sebelah barat bangsal Kepatihan. Tempat ini diobrak-abrik dan para pegawainya ditawan. Setelah itu, mereka mengobrak-abrik seluruh kantor. “Banyak barang diangkut oleh tentara Belanda, menurut Hamengku Buwono IX termasuk surat-surat penting, naskah skripsi yang disusun ketika belajar di Negeri Belanda, dan juga rencana lengkap dari demokratisasi desa sebagaimana telah diterapkannya pada akhir zaman Jepang di Yogyakarta,” demikian tercatat dalam Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX . Sultan kemudian protes kepada Mayor Jenderal Meyer, panglima pasukan Belanda: “Kejadian di kantor Kepatihan beberapa hari yang lalu telah sangat menyinggung kehormatan saya. Anak buah Anda telah bersikap sangat tidak sopan dan mengadakan perampokan.” “Soal Kepatihan itu bukan instruksi saya,” kata Meyer. “Apalagi jika tanpa instruksi, berarti anak buah Anda berbuat di luar perintah dan indisipliner. Dan sekarang ini pun hal yang sama dapat tuan lakukan di Keraton saya karena tuan bersenjata dan saya tidak. Akan tetapi sebelum tuan melakukan itu, tuan harus membunuh saya dulu,” tegas Sultan. Mendengar perkataan tersebut, Meyer dan tujuh orang rekannya gagal menundukkan Sultan untuk mengajaknya bekerja sama dengan Belanda.

  • Kalau Ditindas Ya Melawan

    Di jagat hiburan tanah air, Maia Estianty, 38 tahun, dikenal sebagai musisi. Dia pentolan Ratu. Melalui tangan dinginnya, band duo ini melejitkan nama Pingkan Mambo dan Mulan. Setelah Ratu bubar, Maia membentuk Duo Maia bersama Mey Chan. Kini, mantan istri Ahmad Dhani itu mulai merambah dunia perfilman. Dia dapat peran sebagai mertua Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto dalam film Guru Bangsa: Tjokroaminoto besutan Garin Nugroho dan Dewi Umaya. Saat berbincang dengan Historia di sela-sela syuting film di bilangan Senayan September 2014, Maia menyebut sosok Tjokroaminoto sebagai idolanya. HOS Tjokroaminoto lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 16 Agustus 1882. Pemimpin Sarekat Islam (SI) ini adalah guru Sukarno, Musso, Alimin, dan Kartosoewirjo yang masing-masing memilih jalan berbeda dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Maia Estianti cicit Tjokroaminoto. Namun bukan karena pertalian darah itu dia mengagumi eyangnya. Bahkan dia bilang baru akhir-akhir ini saja dia mulai mendalami eyangnya. “Emang cicit kurang ajar ya,” ujarnya tertawa. Sejak kapan mengenal Tjokroaminoto? Dari kecil. Ketika itu bapak bilang, “kamu keturunan eyang Tjokroaminoto.” Dia suka cerita kalau eyang jago pidato. Suaranya keras berapi-api. Kalau dia pidato, satu lapangan sampai dengar. Dan itu yang kemudian diikuti Sukarno. Tapi waktu itu saya cuek. Tak mau tahu. Dalam hati saya, siapa sih (Tjokro)?. Begitu sekolah, waktu pelajaran sejarah, nama itu disebut-sebut guru. Oh, itu eyangku. Tapi itu pun tahu sekadarnya saja. Saya baru memahami detail tentang Tjokro ketika sebuah majalah bikin liputan khusus tentang Tjokroaminoto. Setelah baca itu, ooo… gila ya ternyata eyang gue . Emang cicit kurang ajar ya… Haahaha. Kenapa mengagumi Tjokroaminoto? Tjokro punya pemikiran yang sangat maju pada zamannya. Dia melahirkan tokoh-tokoh revolusioner dan militan, yang berani mendobrak dan tidak bergantung pada bangsa lain. Itu nggak gampang. Kalau gurunya nggak gila, murid-muridnya nggak mungkin gila juga. Setelah memahami lakon hidup dan sepakterjang Tjokroaminoto, nilai apa yang Anda ambil darinya? Kalau kita diinjak harus melawan. Kalau ditindas ya harus melawan. Dalam hal ini secara tidak sadar, ada darah dia dalam diri saya. Kayaknya bawaan badan. Ya, ngelawan aja . Mungkin eyang Tjokro lebih gila. Dia nggak ada takut-takutnya. Kalau eyang melahirkan Sukarno, Kartosoewirjo, Muso, saya melahirkan Pinkan, Mulan, Mey Chan. Hahaha… Relevansi pemikiran Tjokroaminoto? Sekarang kan orang-orang berpolitik, beda partai saling makan. Kalau dulu kan perjuangannya bagaimana melepaskan ketergantungan kita dari bangsa asing. Bagaimana kita terbebas dari kedzaliman penjajah. Kalau sekarang politik kita politik transaksional. Dagang. Dulu kan benar-benar murni. Bangsa ini harus besar. Bangsa ini harus merdeka. Bangsa ini harus punya pendidikan yang nggak boleh kalah sama orang-orang luar. Pemikiran-pemikiran Tjokro tidak transaksional. Dia bukan politikus yang kaya, punya banyak duit, tapi eyang punya pemikiran-pemikiran politik yang luar biasa.

  • Klokkenluider

    EDUARD Douwes Dekker memboyong pulang kemarahannya. Dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari posisinya sebagai asisten residen Lebak karena laporan tentang pelanggaran bupati tidak diproses tuntas. Setelah gagal mencoba beberapa pekerjaan, akhirnya Dekker memilih membenamkan diri pada sebuah kamar losmen di Brussel, menulis sebuah roman yang kelak berjudul Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda . Setelah novel itu terbit, Belanda gempar. Kaum kolonialis yang selama berabad tak pernah diganggu-gugat tiba-tiba saja menghadapi banyak pertanyaan orang tentang apa yang terjadi di tanah Hindia. Terlebih pada bagian akhir dari Max Havelaar, Multatuli, nama samaran Dekker, mengutip suratnya kepada Raja Willem III, “Tahukah yang mulia jika nun di sana rakyat Tuan yang lebih dari 30 juta disiksa dan dihisap atas namamu?” Lantas roman itu bergulir bak gelindingan bola salju yang kian membesar. “Ya, aku akan dibaca,” kata Multatuli membuat nujum. Maka nujumnya benar. Roman yang ditulisnya itu dibaca oleh RA. Kartini sampai Sukarno dan generasinya. Maka sejak terbitnya Max Havelaar banyak orang terbuka matanya, sadar akan situasi yang berlangsung. “Dia itulah yang kasih tahu pada orang Indonesia bahwa dirinya dijajah,” ujar Pramoedya Ananta Toer. Bagaimana nasib Multatuli setelah dia membongkar praktik kolonialisme yang menindas rakyat Hindia itu? Apakah dia ditangkap? Dipenjarakan? Atau dibunuh? Nasib demikian mungkin berlaku bagi para pembongkar kejahatan lainnya, tapi tidak bagi Multatuli. Sebagai klokkenluider (pembongkar kejahatan) begitu orang Belanda menjulukinya, dia mendapatkan tempat di hati para pemujanya, dieluk-elukan sebagai pahlawan yang berjuangan untuk sistem kolonial yang lebih adil dan memanusiakan rakyat Hindia Belanda. Bahkan Hella Haasse penulis roman Sang Juragan Teh ( Heren van de Thee ) menulis Multatuli sebagai “tukang berhayal gadungan” yang hidup bergelimang kesenangan dan banjir pujian. “Ia menginap di hotel mahal, tapi ketika tagihan datang, ia bilang dompetnya dicuri...Bepergian kemana-mana dengan gundik-gundiknya, berceramah, bergaya bak pahlawan bagi orang Jawa,” tulis Hella. Mungkin Belanda tak punya tradisi menghabisi riwayat hidup seorang seniman dan sastrawan seperti Multatuli. Atau mungkin kulitnya terlalu putih untuk dianggap sebagai ancaman serius bagi kerajaan dan tuan-tuan kolonialis di Hindia. Apapun itu, pada kenyataannya Multatuli tak disentuh sedikit pun oleh mereka yang menjadi sasaran kritik dan makiannya. Nasib berbeda terjadi pada mereka yang ada di Hindia Belanda, para pembaca karyanya. Sukarno, salah satu tokoh sentral gerakan pembebasan nasional menjadikan Max Havelaar sebagai kutipan dalam pidato pembelaannya di muka hakim pengadilan negeri Bandung pada 1930. Dia yang juga membongkar kejahatan kolonial harus mendekam di dalam penjara. Rupanya tak banyak yang berubah sejak zaman kolonial: setiap upaya membongkar kejahatan penguasa, selalu ada ancaman mengintai: dipenjara atau bahkan dihilangkan. Seperti Widji Thukul penyair yang ungkaian kata-kata dalam sajaknya dipandang bak sebilah pedang tajam bagi penguasa zaman Soeharto. Bait-bait puisinya yang membongkar kebobrokan Orde Baru, berujung pada hilangnya sang penyair itu. Pada era penuh larangan dan penindasan atas kebebasan, sastra bagaikan senjata mematikan bagi penguasa. Kritik adalah tabu dan si tukang kritik adalah pendosa yang harus dibungkam mulutnya. Sehingga mengatakan kebenaran menjadi sebuah “kemewahan” yang sangat beresiko, “Sebuah tindakan revolusioner,” kata George Orwell. Semua bertekad tak kembali ke belakang, mengulang masa-masa kelam. Namun kadangkala selalu ada penguasa pongah dari setiap zaman yang membuat kita bertanya sedang hidup di zaman apakah gerangan kita sekarang ini? Pertanyaan itu mendadak muncul ketika Haris Azhar membongkar patgulipat skandal bandar narkoba yang melibatkan petinggi di Kepolisian dan Angkatan Darat. Dia menjadi tersangka atas praktik penyelewengan yang dibukanya kepada publik. Dari kejadian tersebut kita bisa menemui kenyataan: kekuasaan di tangan siapapun, baik tuan kolonial maupun bangsa sendiri, selalu punya potensi besar untuk diselewengkan.*

  • Kadjo Belajar Membuat Arloji ke Belgia

    Suatu kali seorang penyewa tanah partikelir di Surakarta berkebangsaan Belgia, C. Coenaes, mengeluh kepada Susuhunan Paku Buwono VIII. Pangkal soalnya adalah keahlian tukang-tukang Kasunanan Surakarata yang kurang terampil. Coenaes mengeluh karena tidak memadainya perbaikan lonceng dan arlojinya yang dikerjakan oleh tukang dari keraton. “Dan penanganan atas barang-barang emasnya pun buruk sekali,” kata Coenaes sebagaimana dicatat Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 . Coenaes pun mengusulkan kepada Sunan agar salah satu tukangnya dikirim ke Eropa untuk dididik sebagai ahli arloji. Sunan mengiyakan usulan Coenaes itu. Sunan lalu memilih seorang abdi dalem muda bernama Kadjo untuk belajar menjadi pembuat arloji ke Belgia, negeri asal Coenaes. Kadjo sendiri adalah anak seorang perwira rendah pasukan kavaleri Kasunanan Surakarta. “Begitulah, pada Juni 1856 Kadjo yang berusia 21 tahun berangkat ke Brussel bersama keluarga Coenaes,” tulis Poeze. Pilihan Sunan ternyata tidak meleset. Dalam perjalan menuju Eropa bersama Coenaes, Kadjo sudah menampakkan keuletan dan loyalitasnya. Dia juga tidak canggung dengan keluarga Coenaes. Dalam perjalanan selama 23 hari yang penuh badai, Kadjo dengan setia menemani Nyonya Coenaes dan anak-anaknya. Sesampai di Brussel, Kadjo belajar bahasa Prancis sebelum belajar membuat arloji. Berkat kerajinannya, Kadjo menjadi murid yang menonjol karena cepat menyerap pelajaran membuat arloji. “Baru satu tahun dia sudah amat maju, sehingga dapat mengikuti pelajaran pembuat arloji Heckmann dan mengikuti pelajaran di Akademi Seni Menggambar untuk memahirkan diri dalam seni menggambar ornamen,” tulis Poeze. Kemampuan Kadjo bahkan lebih baik daripada murid-murid Heckmann yang lebih senior. Pada Oktober 1859, Kadjo memenangi penghargaan pertama dalam seni gambar ornamen kelas dua di Akademi Seni Menggambar. Coenaes merasa sangat puas dengan anak asuhnya itu: “Saya bisa katakan bahwa saya telah berhasil menjadikan orang Jawa ini seorang seniman sejati.” Ketika telah mahir, Kadjo memulai merancang dan membuat sebuah arloji khusus. Rencananya arloji khusus itu akan menjadi hadiah bagi Susuhunan Surakarta. Karya itu lalu diberi nama “ duplex a balancier compensateur dengan sepuluh batu”. Kadjo merancang arloji itu dengan memakai aksara Jawa pada angka-angka penunjuk waktunya. Dia memberikan sentuhan eksklusif di lempeng arloji itu. Di situ dia menerakan prasasti yang bunyinya “ Kadjo, habdi dalem ponokawan djam hing Soerokarto moeridipoen toewan Higman Brussel ” atau “Kadjo, abdi dalem pelayan jam di Surakarta, murid Tuan Heckmann di Brussel”. “Sebelum dikirim ke Surakarta, jam itu dipamerkan kepada Van Wielik, pembuat arloji Baginda Ratu Belanda, dan orang-orang lain lagi, antara lain Menteri Daerah Jajahan, Rochussen. Semuanya sangat terkesan dengan hasil kerajinan Kadjo,” pungkas Poeze.

  • Sebut Kafir, Kiai Diadili

    Di Kudus, tinggallah seorang ulama besar yang sangat berpengaruh dan teguh pendiriannya. Ulama tersebut bernama Kiai Haji Raden Asnawi, A’wan Syuriah Nahdlatul Ulama. Pada zaman kolonial Belanda, dia hadapkan ke Pengadilan Negeri ( landraad ) karena tuduhan melakukan delik penghinaan kepada orang yang tidak salat sebagai orang kafir atau orang gila. Menurut KH Saifuddin Zuhri dalam memoarnya, Berangkat dari Pesantren , mengingat ulama tersebut sudah berusia lanjut dan sangat berpengaruh dalam masyarakat Kudus, ketua pengadilan secara persuasif meminta terdakwa mencabut kata-katanya dengan alasan tergelincir lidah ( slip of the tongue ). “Tetapi ajakan itu ditolak mentah-mentah,” kata Menteri Agama era Presiden Sukarno itu. Kiai Asnawi menegaskan bahwa dirinya sekadar mengatakan apa yang tersebut dalam kitab Fiqih: Falaa tajibu ‘alaa kafirin ashliyyin wa shobiyyin wa majnuunin artinya maka sembahyang itu tidak wajib dikerjakan oleh orang kafir, anak masih bayi, dan orang gila. “Dengan demikian maka siapa pun yang tidak melakukan sembahyang atau yang merasa dirinya tidak dibebani kewajiban sembahyang, samalah artinya dengan menyamakan dirinya orang gila. Yang menamakan dirinya sama dengan orang gila ialah pengakuannya sendiri berdasarkan bunyi kitab Fiqih, saya sekadar menerangkan bunyi kitab itu,” kata Kiai Asnawi membela diri. Pengadilan menjatuhkan hukuman denda sebesar 100 gulden. Namun, Kiai Asnawi tidak memiliki uang sebanyak itu. “Kalau tak mampu membayar denda 100 gulden, Pak Kiai mesti masuk penjara sekian hari,” kata ketua pengadilan. Kiai Asnawi keberatan alasannya masuk penjara bagi orang tua seperti dirinya amat menyusahkan. “Lagi pula bagaimana nasib santri-santri saya? Siapa yang mengajar mereka? Siapa yang mengimami sembahyang?” tanya Kiai Asnawi menebar pandangan ke sekeliling ruang pengadilan. Dia tetap berdiri dibantu tongkat dengan kepala tegak. Majelis menjadi riuh. Ketua pengadilan menskor persidangan sambil berunding dengan jaksa. “Perundingan sambil berbisik itu diakhiri dengan sang ketua pengadilan merogoh dompet dari kantongnya dan menyerahkan sejumlah uang kepada jaksa,” kata Saifuddin, ayah dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. “Pak Kiai, ini ada uang seratus gulden, harap Pak Kiai membayarkan dendanya,” kata jaksa. Kiai Asnawi pun dibebaskan dengan membayar denda seratus gulden yang berasal dari ketua pengadilan. Menurut Saifuddin, begitulah gambaran Kiai Asnawi yang juga pernah mengirim surat kepada Hadlratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Rois Akbar NU, dan membuatnya masygul berhubung dengan penggunaan terompet dan genderang oleh Ansor NU dalam baris berbaris. “Beliau tidak sependapat dengan Hadlaratusy Syaikh yang memperbolehkan terompet dan genderang dalam Ansor NU,” kata Saifuddin. Meskipun memiliki kharisma yang disegani di kalangan masyarakat, namun Kiai Asnawi tidak luput dari sentimen masyarakat karena tidak mengungsi ketika kota Kudus diduduki Belanda dalam agresi militer kedua pada Desember 1948. Alasannya, menurut Saifuddin, Kiai Asnawi yang sudah berusia 80 tahun tidak mampu hidup dalam gerilya, dikejar-kejar musuh dan bergerak terus. Selain itu, dia amat berat meninggalkan masjid dan pesantrennya. “Beliau tetap Republiken, menolak kerja sama dengan Belanda, meskipun tetap tinggal di dalam kota,” tegas Saifuddin.

  • Sukarno dan Majalah Playboy

    PADA 26 Juli 1965, Marshall Green menyerahkan surat kepercayaan sebagai Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia kepada Presiden Sukarno di Istana Merdeka Jakarta. Dia mendapatkan kesempatan lagi bertemu dengan Sukarno pada akhir Agustus 1965. Mereka membahas hubungan Indonesia-Amerika Serikat, namun tak menemukan landasan baru. Sebelum berpisah, Sukarno berbisik bahwa dia menyukai ulasan film dan sandiwara dalam majalah Playboy dan akan berterima kasih jika Green bisa menyelundupkan majalah tersebut secara rahasia untuknya. Green tersedak tapi menampakkan kesan berusaha memenuhi permintaan itu. Dia juga tak melaporkannya ke Kementerian Luar Negeri. Lalu istrinya, yang sedang berkunjung ke Amerika Serikat, mengiriminya Playboy melalui kantong diplomatik. Tapi khawatir ini jebakan, Green hanya menyimpan majalah dewasa tersebut. "Saya segera sadar bahwa ini mungkin sebuah jebakan. Pasti Sukarno punya cara yang lebih mudah untuk mendapatkan majalah itu," pikir Green. Enam bulan kemudian, ketika kedutaan Amerika Serikat dalam ancaman kepungan massa anti-Amerika Serikat, “majalah ini justru paling tahan api di antara semua berkas saya yang dibakar,” kata Green dalam memoarnya, Dari Sukarno ke Soeharto .*

  • Hasrat Amerika Menguasai Niaga Lada di Sumatera

    Tak terima kapal niaganya, Friendship , dibajak, senator sekaligus pengusaha Aaron Waite komplain kepada Presiden Amerika Serikat (AS) Andrew Jackson. Pemerintah langsung mengirim kapal perang Potomac, yang berangkat dari pelabuhan New York pada 21 Agustus 1831. Kapal berkekuatan senjata 44 meriam itu berlayar lebih dari 20 ribu mil menuju Sumatera. Di perairan teramai sepanjang era perdagangan rempah itulah kapal Friendship mengalami nahas dibajak oleh kawanan bajak laut Sumatera. Lezatnya Laba Lada Kehadiran kapal-kapal niaga AS di perairan Sumatera, mulai Aceh hingga Bengkulu, ikut meramaikan perniagaan rempah dunia, yang pusatnya di Selat Malaka. Jonathan Carnes, seorang pelaut asal Salem, Massachusetts memelopori keterlibatan AS dalam perniagaan rempah dunia dengan pelayarannya langsung ke Bengkulu pada 1793. Dalam kunjungan untuk mempeluas areal perdagangannya itu, dia mendapat pelajaran bahwa rempah, terutama lada, merupakan komoditas paling baik untuk mengeruk laba. Setelah selesai membuat kapal Rajah berbobot 130 ton, Carnes memulai perniagaan itu dengan modal dua pipe (satu pipe setara empat galon) brandy, 58 kotak gin, 12 ton besi, tembakau, salmon, dan masih banyak komoditas lain. “Delapan belas bulan kemudian, kapal itu kembali dengan sebagian besar muatan lada yang menuai keuntungan 700 persen,” tulis Fred Czarra dalam Spices: A Global History . Pelayaran itu menarik perhatian orang-orang Salem. Setelah bersusah payah mencari tahu lokasi yang dirahasiakan Carnes, banyak orang Salem lain kemudian terjun dalam perniagaan rempah. “Pada 1795, kapal-kapal dari Salem menemukan jalan menuju pusat perkebunan lada yang besar dan masih baru di wilayah yang kini termasuk ke Aceh selatan, yakni pantai yang terletak antara Susoh (waktu itu disebut Susu) dan Trumon. Hingga 1803, pantai tersebut menghasilkan sekitar 5000 ton lada, dan sebagian besar dikirim ke New England,” tulis Anthony Reid dalam Sumatera Tempo Doeloe . Banyak pebisnis Amerika, terutama dari Salem, yang terjun dalam perniagaan rempah dengan Sumatera. Hal itu ditunjang oleh adanya kerja sama dengan Aceh yang kala itu merupakan entitas politik terpenting di Sumatera. Simbiosis mutualisme terjadi di antara keduanya. “Kerajaan Aceh menjadi kekuatan utama di dalam perniagaan rempah di Tenggara, dengan penolakan invasi Belanda dan menjalin hubungan dagang dengan para niagawan asal Salem,” tulis buku berjudul Liberty, Equality, Power: History of the American People, Compact Edition. Wanginya laba dari niaga lada membuat pelayaran pantai timur Amerika-Sumatra kian meningkat. “Sepanjang lebih dari tiga perempat abad sejak timbulnya niaga itu, hampir 1000 pelayaran antara Salem dan Sumatera di Hindia Timur. Salem tercatat menjadi pelabuhan lada untuk dua sisi Atlantik, pada paruh pertama abad ke-19. Salem tak hanya mensuplai lada hitam ke pantai timur AS tapi juga ke Eropa,” lanjut Czarra. “Amerika menjadi penyedia utama lada bagi Eropa,” tulis Reid. Politik Niaga Namun, keuntungan dari niaga lada bukan tanpa risiko. Sejak awal, para pebisnis Salem menyadari hal itu. Persaingan dengan pebisnis-pebisnis Eropa juga amat ketat di Sumatera. Inggris, misalnya, telah mendapatkan monopoli lada dari Laubee Dapa (kepala daerah Susoh) dengan perjanjian niaga yang mereka buat pada 1787. Kapten Jeremiah Briggs mengalami ketatnya persaingan itu. Di Mukka (Meukke), dia harus adu cepat dan adu kuat dengan para niagawan-pelaut Inggris. “Kalau memang kita harus berperang, maka yang terkuat harus mempertahankan diri,” kata George Nicholls, kapten kapal Inggris Active , menggertak Briggs, termuat dalam Sumatera Tempo Doeloe. Sebagaimana kapal-kapal niaga lain, kapal-kapal niaga AS juga menjadi langganan pembajakan. “Dari waktu ke waktu, kapal-kapal Amerika dirampas oleh gerombolan orang Aceh, sering kali disebabkan oleh konflik yang muncul akibat masalah harga ataupun perilaku liar dari kedua belah pihak,” tulis Reid. Pada 1831, kapal Friendship milik Aaron Waite yang menjadi korban pembajakan. “Bajak laut menyerbu kapal dagang AS Friendship dan membunuh beberapa pelautnya. Kru yang masih hidup, di pantai, melarikan diri ke pelabuhan lain di mana beberapa kapal dagang AS lainnya datang membantu. Mereka akhirnya bisa memulihkan Friendship , tetapi muatannya, senilai empat puluh ribu dolar, lenyap,” tulis Brendan January dalam The Aftermath of the Wars Against the Barbary Pirates . Senator Aaron Waite selaku pemilik kapal protes dan meminta negara turun tangan. Protes itu menuai dukungan. Joseph Peabody, politisi yang juga pengusaha bidang perkapalan, lalu mengajukan petisi pada pemerintah agar melindungi kapal-kapal yang terlibat dalam perdagangan sah di Sumatera. Presiden Jackson menerima protes itu dan mengirimkan satu kapal perang milik AL, Potomac , di bawah komandan Komodor John Downes. Pelayaran Potomac tak hanya menjadi pelayaran pertama internasional kaptennya, tapi juga mempelopori eksistensi AS, yang sebelumnya memilih netral, di dunia internasional. Oleh Jackson pelayaran itu disebut sebagai upaya untuk menghukum dan memberi pelajaran kepada bajak laut. Pada awal 1832, Potomac berhasil menyelinap masuk ke perairan Kuala Batu, Aceh dengan menyamar sebagai kapal Belanda, yang kala itu memblokade perairan Hindia. Tepat fajar 6 Februari 1832, meriam-meriam Potomac menghujani pantai di sepanjang pelabuhan diikuti dengan penyerbuan hampir 300 marinir dan pelaut Amerika ke tiga benteng yang dijadikan basis pertahanan Aceh. Meski mendapatkan perlawanan, mereka tak menemukan kesulitan dan berhasil merebut ketiga benteng itu. Komodor Downes melajukan Potomac semakin dekat dengan daratan untuk melumpuhkan satu benteng yang masih bertahan. “Di bawah tekanan ini, orang-orang Sumatera menyerah dan berjanji tidak akan menyakiti orang-orang Amerika lagi,” tulis Brendan. Akibat gempuran itu, sekira 100 jiwa orang Sumatera melayang. Downes kehilangan dua awaknya di samping beberapa awak lain menderita luka-luka. Upaya Downes tak mendapat pujian sepulangnya ke Amerika. Media-media justru menghujaninya dengan kritik. Tidak adanya diplomasi dan negosiasi, pembunuhan massal terhadap penduduk tak berdosa, dan kegagalan mendapatkan ganti rugi atas kargo Friendship yang dijarah merupakan pokok kritikan-kritikan itu. Ekspedisi itu juga tak menciptakan keamanan permanen bagi kapal-kapal niaga AS. Pada 1838, kapal niaga Eclipse yang menjadi sasaran pembajakan. Beberapa kru terbunuh dan pembajak yang telah menguasai kapal memerintahkan awak yang masih hidup untuk berenang. Saat pembajakan terjadi, Komodor George C. Read, yang mengomandani armada kecil, kapal Columbia dan John Adams , tengah berada di Sri Lanka, segera menuju Sumatera. Setibanya di sana pada Desember 1838, Read langsung meminta penguasa setempat menghadirkan para pelaku. Dua hari penantiannya tak menghasilkan apa-apa, dia langsung memerintahkan para awaknya untuk menyerang. Pasukan Read terus melakukan gerak maju karena para perompak belum menyerah. Kepada penguasa-penguasa kecil daerah yang dilaluinya, dia membuat perjanjian untuk tak mengulangi lagi perbuatannya. Dua upaya hukuman dari Amerika itu memelopori keterlibatan negeri itu dalam pentas politik-niaga internasional. “Para perwira angkatan laut AS, mengikuti konvensi maritim dan arahan untuk melindungi kapal dan awak mereka, meluncurkan sejumlah serangan hukuman terhadap berbagai orang untuk melindungi kehidupan Amerika di luar negeri,” tulis Bruce M. Arnold dalam Diplomacy Far Removed: A Reinterpretation of the U.S. Decision to Open Diplomatic Relations with Japan. Setelah Aceh, armada AS melanjutkan upaya serupa ke Jepang beberapa tahun kemudian, dan upaya serupa berlanjut hingga kini.

  • Tiga Menguak Sidi

    Tamat dari AMS (setingkat SMA) di Bandung, Sutan Sjahrir berangkat ke Amsterdam, Belanda, untuk kuliah. Sempat mondok bersama kakaknya, dia kemudian tinggal di apartemen sahabatnya, Salomon Tas, wartawan dan ketua Perkumpulan Mahasiswa Sosialis Demokrat. Tas tinggal dengan istrinya, Maria Johanna Duchateau, dua anak mereka yang masih kecil, dan teman Maria, Judith van Wamel. Sjahrir hadir di saat hubungan Tas, yang kemudian menjalin hubungan asmara dengan Judith, dengan Maria renggang. Cinta Sjahrir kepada Maria tak bertepuk sebelah tangan. Mereka saling memberikan panggilan sayang: Mieske untuk Maria dan Sidi untuk Sjahrir. Ketika hendak pulang ke Indonesia pada 1932, Sjahrir mengajak Mieske –panggilan sayang dari Sjahrir. Sjahrir pulang lebih dulu untuk mengambil-alih pimpinan partai Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI Baru. Empat bulan kemudian, Maria menyusul bersama kedua anaknya. Medan menjadi tempat pertemuan mereka. Pada 10 April 1932, di sebuah masjid di Medan, mereka menikah. “Sjahrir dan Maria tinggal di rumah yang pernah digunakan Sjahrir sebelum bersekolah ke Jawa,” tulis Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia. Setelah menjadi suami-istri, mereka berkeliling Medan. Mereka berjalan bergandengan tangan, pergi ke pasar, serta nonton film, musik, dan teater. Mereka segera jadi bahan gunjingan penduduk bumiputera maupun Belanda. “Suratkabar-suratkabar lokal menjadikannya isu besar dan mendesak pemerintah mengambil tindakan terhadap Sutan Sjahrir dan istrinya,” kutip Mrazek. Pernikahan antara pribumi dan kulit putih tak bisa diterima. Para pemuka agama tak terima karena Maria menjadi mualaf dan menikah dengan cara Islam. Status Maria yang belum resmi bercerai juga dipermasalahkan. “Akibatnya, muncul reaksi dari pejabat pemerintah kolonial yang segera mempertanyakan masalah bigami,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas. Pada 5 Mei 1932, pernikahan Sjahrir dinyatakan batal oleh pejabat agama Islam. Pada 14 Mei, atau lima minggu setelah mereka hidup bersama sebagai suami-istri, pemerintah Belanda memulangkan paksa Maria ke Belanda. Sjahrir sedih. Terlebih Maria tengah mengandung anak laki-lakinya yang kemudian meninggal tiga minggu setelah lahir. Upaya mereka untuk bersatu terhalang penolakan pemerintah Belanda. Hubungan mereka pun hanya bisa dilakukan lewat surat-menyurat. Sekian lama sendiri, Sjahrir kepincut Gusti Raden Ayu Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardhani, putri Mangkunegara VII, ketika bertemu di Linggarjati. Hubungan mereka terjalin melalui surat-menyurat namun tak berlanjut. Nurul tak mau menikah dengan tokoh politik dan tak mau dimadu. Sjahrir bertemu kembali dengan istrinya pada April 1947 dalam sebuah acara pertemuan di New Delhi, India. Nehru yang mengundang Maria bermaksud memberi kejutan untuk Sjahrir. Nehru tak tahu kalau Sjahrir sudah menjalin asmara dengan sekretarisnya, Siti Wahjunah Saleh, biasa disapa Poppy. Di bandara, Sjahrir merangkul Maria dan menempelkan pipinya. Selebihnya, pertemuan setelah 15 tahun itu berlangsung dingin. Nyala cinta mereka benar-benar padam ketika bercerai pada 12 Agustus 1948. Belakangan, Maria menikah dengan adik Sjahrir, Soetan Sjahsyam, yang bersekolah di Belanda. Sjahrir sendiri menjalin cinta jarak jauh dengan Poppy, yang memutuskan kuliah di Leiden dan London. “Menjaga jarak selama satu atau dua tahun untuk tahu apakah kami cocok untuk menikah,” kata Poppy kepada Mrazek. Setelah Poppy menyelesaikan studi, Sjahrir menikahinya di Kairo Mesir pada 1951. Mereka hidup bersama hingga ajal memisahkan.

  • Kisah Cinta Ki dan Nyi Hajar Dewantara

    Juni 1913, Sutartinah beroleh kabar tak sedap soal tunangannya, Suwardi Suryaningrat –kelak dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Pemerintah kolonial Hindia Belanda mengancam akan menangkap Suwardi karena menulis artikel berjudul “Als Ik Een Nederlander was” (Andaikan Aku Seorang Belanda) di buletin resmi Komite Boemi Poetra. Komite ini diketuai Tjipto Mangunkusumo, Suwardi sebagai sekretaris, dan Abdoel Moeis serta Wignjodisastro sebagai anggota. Dalam artikelnya, Suwardi mengkritik rencana peringatan seabad kemerdekaan Belanda dari Prancis dengan biaya dari rakyat jajahan Hindia Belanda. Buletin itu dicekal dan komite dilarang menerbitkan apapun. Tak terima, Tjipto menulis artikel di surat kabar De Express, 20 Juli 1913, berjudul “Kracht of Vreez” (Ketakutan atau Kekuatan). Intinya, dia menganggap sikap represi terhadap Komite Boemi Poetra adalah bentuk ketakutan pemerintah. Berselang sepekan, Suwardi kembali menohok pemerintah dengan artikel di De Express, 28 juli 1913, berjudul “Een voor Allen, Allen voor Een” (Satu untuk semua, semua untuk satu). Pemerintah tak dapat lagi menahan diri. Pasukan Belanda dikirim ke Bandung untuk meringkus Suwardi dan Tjipto, serta menyegel kantor Indische Partij, tempat Komite Boemi Poetra bekerja. Tak terima kedua koleganya ditangkap, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker yang baru kembali dari Belanda, menulis di De Express, berjudul “Onze Helden Soewardi en Soetjipto Mangoenkoesoemo” (Pahlawan-pahlawan kita Suwardi dan Sucipto Mangunkusumo) . Kabar penangkapan cepat beredar, bahkan sampai ke kerabat Paku Alaman di Yogyakarta. Sumardinah Martadirja melalui surat menanyakan soal itu kepada adiknya, Sutartinah: “Bahwa di Yogyakarta sudah tersiar kabar bahwa kangmas Suwardi hendak mencetuskan pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda, tolonglah jawab, apakah berita itu benar?” “Kanda Sumardinah Martadirja, Yogyakarta. Kalau berita itu benar, aku yang lebih dulu tahu. Dan jika pun benar, aku sudah siap menghadapi risiko apa pun dengan penuh kebanggaan sebagai keturunan brandal Diponegoro,” jawab Sutartinah dalam surat balasan, seperti dikutip Bambang Sokawati Dewantara dalam biografi Nyi Hajar Dewantara . Raden Ajeng Sutartinah lahir pada 14 September 1890. Dia cucu Sri Paku Alam III sekaligus canggah atau keturunan kelima Pangeran Dipaonegoro. Sutartinah bergegas menuju Bandung, namun terlambat. Suwardi dan Tjipto sudah ditahan, sementara Douwes Dekker juga dilarang menerima tamu. Bandung mencekam sebab banyak pasukan kolonial berjaga dengan sangkur telanjang. Atas izin kepala militer setempat, Sutartinah bertemu Suwardi meski hanya lima menit. Di ruang khusus, Suwardi menggenggam tangan Sutartinah. Mereka bertukar sapu tangan yang diselipkan ke genggaman masing-masing tanpa sepengetahuan penjaga. Rupanya, masing-masing menulis pesan di dalamnya. Pesan Suwardi supaya Sutartinah menyelipkan berita dari luar tahanan melalui serdadu asal Ambon yang terpercaya, Sersan Soulisa. Sedangkan Sutartinah berpesan bahwa dirinya akan kembali ke Yogyakarta untuk mencari dukungan dan bantuan seperlunya. Sutartinah memenuhi permintaan Suwardi. Kabar dari luar penjara disampaikan melalui Sersan Soulisa yang menyimpannya di dalam laras senapan. Sehari sebelum pulang ke Yogyakarta, Sutartinah mendapat surat dari Douwes Dekker: “Tinah! jangan berkecil hati! kau harus bangga bahwa satu di antara pahlawan-pahlawan kita itu adalah manusia pujaanmu.” Sutartinah pun membalas: “Nest yang baik, Suwardi bukanlah pahlawanku. Tetapi pahlawan kita semua, seperti halnya dirimu dan Tjipto.” Tinah biasa menyapa Douwes Dekker dengan panggilan Nest dari namawa awalnya, Ernest. Di Yogyakarta, Sutartinah berhasil meyakinkan Sri Paku Alam VII mengenai kasus Suwardi melalui jasa saudara sepupunya, pangeran Suryaningprang. Pemerintah kolonial meminta supaya orangtua Suwardi, Pangeran Suryaningrat dapat menekan perangai anaknya. Suryaningrat berangkat ke Bandung, dan justru mendukung perjuangan anaknya. Sehari setelah Suryaningrat meninggalkan Bandung, Sutartinah diminta ayah mertuanya untuk berangkat ke Bandung untuk menemani proses pengadilan Suwardi. Sebulan, Tiga Serangkai merasakan dinginnya kamar berjerajak besi. Pada 18 Agustus 1913, hakim memutuskan Tiga Serangkai akan dibuang ke Bangka, Banda Neira dan Timor, Kupang. Namun, mereka menolak dan menginginkan pengasingan keluar tanah air, dengan negara tujuan negeri Belanda. Sebelum berangkat, akhir Agustus 1913, Suwardi dan Sutartinah melangsungkan pernikahan sederhana di Puri Suryaningratan, Yogyakarta. Mereka akan melangsungkan bulan madunya di tanah pengasingan. Pada 13 September 1913, kapal Bullow bertolak ke Belanda, membawa Tiga Serangkai serta Sutartinah. Sutartinah tak menikmati bulan madunya. Selain sebagai istri Suwardi, dia juga mengatur belanja harian orang-orang buangan politik itu. Dana tersebut berasal dari Tado Fonds, badan bentukan Indische Partij yang menggalang dana dari organisasi atau masyarakat untuk membiayai buangan politik. Jumlahnya pun tak banyak. Untuk menambal kekurangan, Sutartinah menyediakan mengajar di taman kanak-kanak di Weimaar, Den Haag. Sekali waktu, Suwardi dan Tjipto mendapat undangan ke Berlin, Jerman untuk menghadiri presentasi Douwes Dekker di Universitas Berlin. Sutartinah tak turut karena sedang hamil. Namun malang, Suwardi dan Tjipto dicokok intelijen Jerman yang mengikuti mereka, karena mendengar mereka berdua berbicara memakai bahasa Jawa. Intel Jerman itu menduga bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Jepang. Jerman belum bersekutu dengan Jepang saat Perang Dunia I. Kabar penahanan ini tiba juga ke Sutartinah. Dia pun mengontak karibnya, Chrislebeau, pelukis kesayangan Ratu Wilhelmina, dan Kementrian Luar Negeri Belanda. Akhirnya, pemerintah Belanda mengontak pemerintah Jerman. Sutartinah yang sedang hamil membawa surat pembebasan ke Berlin. Suwardi dan Tjipto pun bebas. Douwes Dekker mengantar mereka ke stasiun, pulang ke Belanda. “He Cip! Tahukah kamu? Salah Siapakah semua ini?” tanya Douwes Dekker. “Tentu salahmu! Kamulah yang mengundang kami,” jawab Tjipto. “Ah tidak bisa,” jawab veteran Perang Boer itu mengelak. “Ini salah Suwardi sebab dia tidak mengajak Tinah. Seharusnya kau mulai menyadari Wardi, apapun yang terjadi, kau dan Tinah tidak boleh berpisah sedetik pun juga,” ujar Douwes Dekker. Pada 1928, saat Suwardi berusia 40 tahun, mengganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara, demikian pula Sutartinah, menjadi Nyi Hajar Dewantara. Selama 46 tahun Nyi Hajar mendampingi Ki Hajar dalam suka dan duka.

  • Legenda dari Bawah Tanah

    DETEKTIF Nipper Read (diperankan Christopher Eccleston) geleng-geleng kepala sambil tersenyum kecut di mobilnya. Buruannya, Reggie Kray (Tom Hardy), justru disenangi penduduk East End, London, karena ramah dan kerap memberi hadiah. Penduduk justru terlihat tak nyaman dengan aparat keamanan. Kondisi ini membuat Read yakin bahwa tugas memburu Reggie takkan mudah.

  • Neraka Pasukan Gurkha

    JEMBATAN usang itu terpuruk seperti orang sakit. Selain kanan-kirinya tak bertangan lagi, badan jalannya bolong di sana-sini. Sekitar 30 meter di bawahnya, sungai Cisokan yang berwarna coklat tengah dihinggapi belasan perahu kecil milik para penambang pasir. Tak banyak orang tahu, jika 72 tahun lalu, di jembatan ini banyak prajurit Inggris meregang nyawa akibat serangan pejuang Indonesia dari tebing-tebing bukit sekitar Sungai Cisokan. Mereka berasal dari Batalion 3/3 Gurkha Riffles Divisi ke-23 The Fighting Cock (Divisi Ayam Jago), sebuah batalion elite Angkatan Darat Kerajaan Inggris yang termasyhur dengan pisau khukrinya. Cerita berawal dari tertahannya Batalion Jats (termasuk dalam Divisi Ayam Jago) di Sukabumi pada 9-10 Desember 1945, akibat gempuran TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan laskar. Untuk membantu kedudukan pasukan tersebut, pada 11 Desember 1945 bergeraklah konvoi pasukan penolong itu. “Mereka terdiri dari pasukan 3/3 Gurkha Riffles yang dikawal sejumlah tank Sherman, panser Wagon dan brencarrier ,” ujar Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi dalam Pertempuran Konvoi Sukabumi-Cianjur 1945-1946 . Namun, radiogram markas besar Sekutu yang memerintahkan pengiriman pasukan penolong itu bocor ke pihak Republik. Atas dasar informasi tersebut, Resimen III TKR Sukabumi memerintahkan Bataliton III pimpinan Kapten Anwar Padmawidjaya menghadang konvoi itu mulai dari jembatan Cisokan sampai Gekbrong. Sejak pagi, Kompi II di bawah Kapten Dasuni Zahid dan pasukannya menyiapkan posisi stelling  di sekitar jembatan Cisokan. Mereka berlindung di balik pepohonan dan di atas tebing di kedua sisi jalan dekat jembatan Cisokan. Sekitar pukul 09.00, konvoi pasukan Gurkha mulai memasuki zona merah. Mereka bergerak lambat dengan dipandu satu pesawat pengintai. Begitu tiba di bagian tengah jembatan, tanpa ampun mereka dihajar hamburan peluru dan granat dari pasukan Kompi II. Mereka kocar-kacir dan beberapa kendaraan tempur meledak karena menggilas ranjau darat. “Beberapa prajurit Gurkha yang nekad keluar dari kendaraannya langsung menjadi sasaran para penembak runduk Kompi II,” kisah Eddie kepada Historia . Kendati dihujani peluru dan granat, konvoi pasukan Gurkha berhasil lolos. Namun, kerugian tak bisa dihindari. Selain korban jiwa, menurut almarhum Idris Priatna, eks Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia cabang Cianjur, mereka juga harus kehilangan satu pesawat pengintai yang hancur menubruk puncak pohon kelapa karena terbang terlalu rendah. Di kawasan Cikijing, konvoi pasukan Gurkha kembali diserang pejuang Cianjur. Akibatnya, satu truk yang mengakut pasukan meledak bersama para penumpangnya. Untuk menghindari ranjau darat, sejumlah kendaraan tempur berjalan agak ke pinggir. Konvoi terus mempercepat perjalanannya. Tetapi di wilayah Belendung, lagi-lagi satu truk menggilas ranjau darat hingga meledak dan melontarkan belasan penumpangnya ke udara. Menghadapi situasi kritis itu, pasukan Gurkha hanya bisa berteriak kebingungan sambil menembak dengan sasaran membabi buta. Memasuki kota Cianjur, konvoi Gurkha dijadikan mainan oleh pasukan gabungan dari berbagai laskar (Barisan Banteng pimpinan Suroso, Hizbullah, Pemuda Sosialis Indonesia dan Sabilillah). Mereka dibuat bingung dengan serangan pararel yang dilancarkan dari balik tembok toko-toko yang berderet sepanjang jalan dan dari gang-gang sempit. Di Cikaret, aksi penembak runduk dari Kompi III pimpinan Kapten Musa Natakusumah cukup merepotkan kedudukan konvoi Gurkha. Tidak berhenti di Cikaret, Rancagoong, Warungkondang, Gekbrong, dan Sukaraja, neraka tetap mengikuti konvoi tersebut. Di tikungan Rancagoong, mereka kehilangan satu tank Sherman yang menginjak ranjau darat lantas oleng terperosok ke jurang dangkal. Setelah berulang kali diserang, pasukan Gurkha dalam kondisi babak belur berhasil mencapai kota Sukabumi menjelang malam. Dalam buku The Fighting Cock, The Story of the 23rd Indian Division karya Letnan Kolonel A.J.F. Doulton diceritakan bagaimana kagetnya prajurit-prajurit Batalion Jats begitu menyaksikan pasukan penolongnya dalam kondisi yang sama dengan mereka.*

  • Ketidakadilan Mengancam Kemajemukan

    Indonesia merupakan negeri multikultural dan majemuk yang sedang menghadapi tantangan karena krisis sosial dan ekonomi. Masalah ini juga muncul di berbagai negara, terutama negara-negara yang justru merayakan multikulturalisme. “ Brexit , munculnya pemerintah yang tidak lagi menghargai multikulturalisme, dan fenomena terakhir adalah Donald Trump,” kata Hilmar Farid, sejarawan dan Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, dalam pidato sebagai pembicara kunci dalam “Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII-2017” di Museum Nasional, Jakarta (2/9). Oleh karena itu, menurut Hilmar, multikulturalisme dan kemajemukan tidak seharusnya dipersepsi secara lugu sebagai cita-cita tatanan sosial-budaya yang serba harmonis dan serba-baik. Tak mungkin hanya dengan merayakan kemajemukan dan berupaya membuat orang memiliki rasa toleransi, maka semua bisa teratasi. Multikulturalisme dan kemajemukan selalu merupakan bagian dari suatu proyek politik dan ekonomi. Di Indonesia, politik kemajemukan budaya sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak era kolonial. Kolonialisme Belanda dibangun di atas dasar pertimbangan yang dewasa ini kita kategorikan sebagai kebijakan multikultural. Hilmar merujuk kepada kajian sejarah legal Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional (Van Vollenhoven Institute, 2014), untuk mengidentifikasi beberapa fase dalam perkembangan politik multikultural kolonial di Indonesia. Fase awal dari era VOC sampai tahun 1870. Sejak VOC membuka kantor di Batavia dan Ambon, kepentingan awalnya bukanlah mengembangkan kekuasaan politik, melainkan kepentingan dagang dan penguasaan akses ke sumber daya alam. Oleh karenanya, VOC tidak berkepentingan untuk menyeragamkan atau menyatukan kemajemukan hukum adat masyarakat Nusantara. Pemerintah kolonial Belanda pun meneruskan pendekatan semacam itu. Hal ini tampak dalam Regeringsreglement 1854 Pasal 75 Ayat 3 yang menyatakan bahwa untuk orang-orang pribumi akan diterapkan “hukum agama, pranata-pranata dan kebiasaan orang-orang pribumi” ( de godsdienstige wetten, instellingen en gebriuken der Inlanders ). Inilah akar dari “multikulturalisme kolonial”. Fase tengah dari tahun 1870 sampai tahun 1910. Pluralisme hukum itu mengalami perubahan arah pada tahun 1870. Regeringsreglement 1854 mencantumkan pasal tentang kemungkinan diberlakukannya toepasselijkverklaring (penerapan hukum Belanda untuk orang-orang pribumi). Kemungkinan itu ditindaklanjuti menjadi hukum khusus untuk orang-orang pribumi melalui pengesahan Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders pada 1870. Di dalamnya, antara lain, diatur tentang kewajiban para pekerja pribumi yang mengikat kontrak dengan majikan Belanda. Pada tahun yang sama diundangkan pula Agrarisch Wet yang memperkenalkan sistem hak milik ( eigendom ) dan hak guna usaha ( erfpacht ). Baik hukum yang mengatur ketenagakerjaan dan pertanahan ini bertentangan dengan kemajemukan pranata adat. Sebagai ganti kerja wajib, Belanda mengenalkan kerja upahan; sebagai ganti tanah adat yang dikelola secara komunal, Belanda mengenalkan tanah swasta. Kendati begitu, sebagian besar pranata adat yang tidak mengganggu jalannya liberalisasi dibiarkan bertahan. Fase akhir dari tahun 1910 sampai tahun 1942. Usaha untuk mengunifikasi hukum Hindia Belanda tetaplah berlangsung setengah-setengah karena kebijakan pengakuan pada kemajemukan budaya dan pranata adat kaum pribumi masih diadopsi Belanda. Pengakuan itu justru mendapat angin dengan upaya kodifikasi hukum adat yang dibuat Van Vollenhoven dalam kitab kompilasi hukum adat terlengkap yang disusunnya pada 1910, yakni Adatwetboekje voor heel Indie . Pengakuan pada kemajemukan hukum adat (seperti dikodifikasi Van Vollenhoven) dan otoritasnya untuk menentukan putusan hukum diterima pada dekade 1920-an dan bertahan sampai dengan kedatangan Jepang tahun 1942. Dengan begitu, Belanda mengkonsolidasikan Hindia Belanda ke arah “kolonialisme multikultural”. Dari uraian tersebut, menurut Hilmar, tampak bahwa kolonialisme Belanda di Indonesia tidak asing dari kebijakan multikultural. Yang terjadi justru pemanfaatan multikulturalisme untuk tujuan kolonial. “Dalam hal itu, kita dapat memotret keseluruhan proses kolonisasi sejak VOC sampai jatuhnya pemerintahan Hindia Belanda sebagai proses peralihan dari multikulturalisme kolonial ke kolonialisme multikultural,” kata Hilmar. “Artinya, peralihan dari kebijakan kolonial yang membiarkan kemajemukan budaya Nusantara asal tidak mengganggu perdagangan, ke kebijakan kolonial yang secara aktif memanfaatkan kemajemukan budaya untuk mengkonsolidasi rezim kolonial.” Perlu diingat bahwa Van Vollenhoven terinspirasi dari kajian antropologi Snouck Hurgronje, De Atjehers (1893), yang memperkenalkan untuk pertama kalinya istilah Adatrecht . Snouck Hurgronje, menulis kajian itu dalam rangka mencari solusi kultural untuk penundukan militer atas Aceh yang telah memakan biaya teramat besar, seperti Perang Diponegoro yang hampir membikin Belanda kolaps secara ekonomi. Jadi, dari situ dapat dibaca bahwa upaya Van Vollenhoven mengkodifikasi hukum adat dan mendorong pengakuan atasnya adalah tawaran solusi untuk konsolidasi kolonialisme yang lebih stabil dan murah. Dengan kata lain, tawaran untuk sebuah kolonialisme multikultural. “Kolonialisme memang berdiri dari prinsip perbedaan. Ini yang memungkinkan ia hidup. Namun, kolonialisme tidak akan hidup jika prinsip keadilan ditegakkan. Saya kira transformasi dari masa kolonial sampai hari ini belum sepenuhnya terjadi,” kata Hilmar yang meraih gelar doktor di bidang kajian budaya di National University of Singapore pada 2014. Dari uraian sejarah tersebut, lanjut Hilmar, tampak pula akar ekonomi politik dari multikulturalisme dan kemajemukan. Dalam situasi kekinian, akar ekonomi politik itu juga dapat kita temukan dalam gejala sektarianisme dan fanatisisme. “Sektarianisme dan fanatisisme religius di kalangan kaum miskin perkotaan karena kesenjangan ekonomi yang begitu tajam memicu tumbuhnya harapan akan keadilan Ilahi. Itulah yang menyebabkan mengapa kaum miskin kota dengan cepat mengalami radikalisasi oleh isu agama,” kata Hilmar. Sektarianisme primordial dan puritanisme religius di kalangan kelas menengah atas perkotaan disebabkan oleh persaingan kerja dan alienasi sosial akibat kapitalisme high tech memicu tumbuhnya kebutuhan atas identitas primordial dan cara beragama yang zakelijk . Inilah yang menyebabkan mengapa kelas sosial yang mapan justru menjadi pelaku utama sektarianisme dan puritanisme. Sentimen rasis dan merebaknya kontroversi tentang isu “invasi pekerja Cina” yang begitu cepat diyakini orang-orang. Sumber sesunggguhnya terletak pada ketidakpastian kerja yang merupakan konsekuensi logis dari fleksibilitas pasar tenaga kerja yang diakibatkan oleh kebijakan neoliberal global. “Kemajemukan yang sehat hanya dapat diwujudkan apabila sumber masalah ketidakadilan ekonomi dibereskan terlebih dulu,” pungkas Hilmar.

bottom of page