Hasil pencarian
9585 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Indonesia Penutur Austronesia Terbesar
AUSTRONESIA, rumpun bahasa yang mencakup sekitar 1.200 bahasa dituturkan oleh populasi yang mendiami kawasan lebih dari setengah bola dunia. Penuturnya meliputi Madagaskar di ujung barat hingga Kepulauan Paskah di ujung timur Pasifik, serta dari Taiwan-Mikronesia di batas utara hingga Selandia Baru di batas selatan. Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Harry Widianto menjelaskan, wilayah Indonesia sebagai kawasan penutur bahasa Austronesia sangat luas. Letaknya juga berada di tengah kawasan sebaran. “Penghuninya melingkupi 60 persen lebih dari seluruh penutur Austronesia. Keberadaan penutur non-Austronesia di wilayah timur menambah daya tarik studi untuk mengetahui interaksi dua ras yang berbeda dalam ruang dan waktu,” jelasnya kepada wartawan di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), Jakarta, Rabu (13/7). Harry menerangkan, para penutur Austronesia merupakan bangsa yang mengenalkan cara bercocok tanam hingga domestikasi binatang kepada penghuni kepulauan di Indonesia. Selain sebagai bangsa agraris, mereka pun pelaut andal. Disebutkan, penutur Austronesia muncul sekira 7.000-6.000 tahun yang lalu di Taiwan kemudian pada sekira 5.000 tahun yang lalu menyebar ke berbagai bagian dunia. Mereka membawa budaya khas neolitik yang dicirikan dengan kehidupan menetap dengan kegiatan bertani juga beternak. Di Indonesia, penutur Austronesia hadir sejak sekitar 4.000 tahun yang lalu seiring kedatangannya dari Taiwan melalui Filipina. Kemampuan mengadaptasikan diri terhadap lingkungan kepulauan memungkinkannya terus berkembang hingga menurunkan keragaman etnis bangsa Indonesia sekarang. “Mereka menaklukkan samudera untuk memperkenalkan sistem pertanian. Mereka ini pelaut ulung yang memperkenalkan pertanian,” lanjut Harry. Dengan kenyataan itu, Austronesia pun menjadi rumpun bahasa dengan sebaran terluas sebelum kolonisasi barat menjangkau berbagai bagian dunia. Ini merupakan jumlah bahasa terbesar di antara belasan rumpun bahasa di dunia. Adapun penutur Austronesia dapat digolongkan ke dalam ras Mongoloid Selatan. Berdasarkan penelitian sejauh ini, temuan rangka ras mongoloid selalu mengiringi temuan lukisan dinding cadas dan gua di berbagai pulau di Indonesia. “Dari sini gambar cadas kita yakini berhubungan dengan Austronesia dan selalu berkitan dengan rangka manusia mongoloid,” jelas Harry. Tinggalan budaya Austronesia juga diduga masih digunakan hingga kini dalam sistem pertanian. Kepala Puslit Arkenas, I Made Geria mencontohkan, sistem Subak di Bali merupakan sistem irigasi yang sudah mendasar sejak dulu. Sitem ini diindikasikan membawa pengaruh dari budaya Austronesia. “Unsur perdaban Austronesia sangat membumi di masyarakat. Makanya di Bali ada semacam tradisi yang masih dianut masyarakat,” papar dia. Melihat itu, pihak Puslit Arkenas bekerja sama dengan Direktorat Pelestari Cagar Budaya dan Permuseuman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan Simposium Internasional di Nusa Dua, Bali pada 18-23 Juli 2016 dengan tema diaspora Austronesia. “Para ahli menyebut ini fenomena besar dalam evolusi manusia dan kebudayaan. Tanpa diaspora, kita mungkin tidak di sini,” ungkap Peneliti Arkenas, Truman Simanjuntak. Simposium ini nantinya akan diikuti oleh 200 peserta, 45 orang di antaranya merupakan pakar dari berbagai negara. Pertemuan ini dihadiri para ahli Austronesia dari berbagai disiplin ilmu, seperti arkeologi, antropologi, sejarah, geologi, geokronologi, palinologi, linguistik, dan genetika. “Sebelumnya hanya orang luar saja yang fokus membicarakan ini. Dengan begitu di mata dunia Indonesia pun aktif menelusuri leluhur masyarakat penuturnya,” ucap Truman.
- Kapolri Pertama Lengser Karena Kebatinan
PARA perwira tinggi Polri beberapa kali mengadakan rapat untuk menggulingkan Kapolri pertama, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo yang menjabat sejak 1945. Mereka juga menghadap Presiden Sukarno menyatakan sikap anti-Soekanto. Alasannya unik. “Karena Soekanto lebih mementingkan kebatinan daripada urusan kepolisian,” kata Hoegeng Iman Santoso dalam otobiografi Hoegeng Polisi Idaman dan Kenyataan . Dalam upaya menjatuhkan Soekanto, Hoegeng mengaku “tidak terlibat, tidak dilibatkan dan tidak melibatkan diri di dalamnya.” Hoegeng tidak memandang jelek kebatinan, namun dia setuju pejabat tidak efektif menjalankan tugasnya harus diganti. Dalam kasus Soekanto, dia dinilai oleh banyak perwira tinggi karena kesukaannya terhadap kebatinan. Selain kebatinan, Soekanto juga bergabung dengan gerakan Freemason bahkan diangkat menjadi Suhu Agung Loji Timur Agung pada 1959 menggantikan Soemitro Kolopaking. Laku kebatinan Soekanto dapat dilihat dari Pataka Polri, bendera lambang Polri. Noegroho Djajoesman, sekretaris Direktorat Samapta Polri, berhasil menyelamatkan Pataka Polri ketika Mabes Polri kebakaran pada 1995. Ayahnya, Hendra Djajoesman, tahu persis sejarah Pataka Polri karena pernah menjadi ajudan Soekanto. Menurutnya, Pataka Polri dibuat khusus oleh Soekanto. Benderanya dijahit oleh Nyonya Soekanto. “Tiang Pataka berasal dari pohon yang terdapat di Pulau Karimun Jawa, yang secara khusus diambil Soekanto dengan cara tirakatan,” kata Hendra dalam biografi Nugroho Djajoesman, Meniti Gelombang Reformasi. Menurut Hoegeng, Soekarno mengabulkan tuntutan para perwira Polri anti-Soekanto. Soekanto pun kehilangan jabatannya karena menganut kebatinan. Soekarno menawarkan jabatan duta besar di Turki, namun Soekanto menolak. Soekanto diganti Soekarno Djojonegoro sebagai Menteri Panglima Angkatan Kepolisian/Kepala Kepolisian Negara pada 14 Desember 1959. Sementara itu, Moehammad Jasin, panglima Korps Mobiele Brigade (kemudian Brimob) yang berada di pihak Soekanto, punya cerita lain penjatuhan Soekanto. Dia tidak membantah soal kebatinan yang dilakoni Soekanto. Namun, dalam Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang , dia menguraikan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berada di balik penggulingan Soekanto. Soekarno mengangkat Jasin sebagai wakil Soekarno Djojonegoro, namun dia menolak. “Saya lebih baik dikembalikan ke daerah jika Bung Karno mengangkat Soekarno Djojonegoro sebagai pemimpin Kepolisian Negara karena dia diarahkan oleh PKI,” kata Jasin yang diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 2015. Bahkan, Jasin meminta kepada Soekarno agar meninjau kembali pengangkatan Soekarno Djojonegoro. Akibatnya, Jasin dikirim menjadi minister counselor pada kedutaan besar Indonesia untuk Jerman Barat. Soekarno Djojonegoro menjabat Menteri Panglima Angkatan Kepolisian/Kepala Kepolisian Negara sampai 30 Desember 1963.
- Indikasi Kebangkitan PKI
PARA pemrasaran simposium “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain” di Balai Kartini, Jakarta, 1 Juni 2016, meyakini Partai Komunis Indonesia (PKI) akan bangkit lagi. Masing-masing menyebutkan tanda-tandanya. “Kegagalan pemberontakan PKI 1965 adalah kerugian bagi RRC (Republik Rakyat Cina). Oleh karena itu, tidak heran jika sekarang PKI bangkit lagi,” ujar Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo. Menurut tokoh intelektual TNI itu, tanda kemunculan kembali PKI mulai terlihat saat diadakan Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) di Den Haag, Belanda, November 2015. Tanda-tanda tersebut terus berkembang seperti belakangan ini terdapat penggunaan simbol-simbol palu arit di kalangan anak muda. “Itu adalah dalam rangka usaha mereka mempengaruhi masyarakat. Atas dasar itulah para pembela Pancasila melakukan gerak untuk melawan, untuk mengamankan NKRI dari ancaman komunisme,” ujar Sayidiman. Senada dengan Sayidiman, imam besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab menguraikan indikasi kebangkitan PKI antara lain ada kelompok yang kukuh terhadap pencabutan TAP MPRS No. XXV/1966. “Kalau ini dicabut yang untung adalah kader-kader PKI,” katanya. Rizieq menyebut tanda yang lain yaitu penghapusan materi sejarah pengkhianatan PKI di Madiun pada 1948 dan Gestapu 1965 dari kurikulum sekolah. Menurut Rizieq, reformasi 1998 berperan menghapuskan materi pengkhianatan PKI dari kurikulum sekolah. Dia mengusulkan agar materi tersebut dimasukkan kembali ke dalam kurikulum sekolah sebagai mata pelajaran sejarah. “Kurikulum itu penting. Siapa ini manusia yang punya kekuatan bisa menghapus kurikulum pengkhianatan PKI? Dia pasti bukan orang biasa. Pasti dia punya kekuatan politik, sosial, ekonomi,” kata Rizieq berapi-api. Selain itu, Rizieq mengusulkan agar film Pengkhianatan G30S/PKI karta Arifin C. Noer ditayangkan kembali setiap tanggal 30 September. Bahkan, Rizieq mengusulkan agar Litsus (Penelitian Khusus) –metode screening yang diterapkan Orde Baru kepada masyarakat– diberlakukan kembali, terutama untuk calon pejabat negara. Indikasi lain yang diungkap Rizieq adalah adanya lembaga swadaya masyarakat liberal atau komprador. Dia mencontohkan Komisi Nasional HAM salah satunya; kerja sama partai politik ke Tiongkok; usulan penghapusan kolom agama dalam KTP; seminar-seminar bertajuk ideologi kiri; sosialisasi lambang PKI pada kawula muda; jargon revolusi mental yang identik dengan melepaskan diri dari agama; pengusungan tokoh-tokoh PKI dalam karnaval; dan dorongan untuk minta maaf kepada korban PKI. “Sekalian saja minta maaf sama Belanda dan Jepang. Jangan tanggung-tanggung kalau minta maaf,” kata Rizieq yang juga menolak pelabelan korban terhadap para penyintas 1965. “Kalau mereka menganggap diri sebagai korban berarti penjahatnya NU, Banser, tentara, penjahatnya negara. Enak saja umat Islam diancam semua sebagai pelaku kejahatan,” ujarnya. Rizieq menginstruksikan kepada jajaran FPI untuk membubarkan hal-hal yang berbau PKI. “Kegiatan PKI dalam bentuk apapun akan kami bubarkan di seluruh wilayah Republik Indonesia,” pungkas Rizieq. Tokoh PMKRI dalam peristiwa 1965, Cosmas Batubara, menyetujui indikasi-indikasi tersebut. Dia menegaskan hanya dengan Pancasila kita bisa bergandengan tangan. “Reformasi membuka (demokrasi) tapi juga memberi kesempatan (kebangkitan PKI),” ujar Cosmas. Sementara Haji Lulung, ketua ormas Pemuda Panca Marga, menyesalkan ketiadaan figur Soeharto yang tidak lagi memimpin negeri ini. “Berhentinya Pak Harto adalah kekalahan bagi rakyat Indonesia, karena itu telah membuka kesempatan bagi bangkitnya PKI,” tukas Lulung yang juga wakil ketua DPRD DKI Jakarta. Sedangkan Mayjen (Purn.) Kivlan Zen mengatakan, indikasi kebangkitan PKI terlihat melalui pemugaran kembali bangunan kantor yang menurutnya markas PKI. Dia juga bertekad memerangi segala bentuk upaya menghidupkan PKI. “Ya, sudah bangkit, kantor PKI yang lama di samping Hotel Akasia di Jalan Matraman, itu kantornya. Sekarang itu mau direhab, pura-pura jadi PT (perusahaan), kantor PKI sekarang mau dibangun lagi. Kalau mereka siap perang, kita juga siap perang. Sebelum mereka memulai, kita pukul lebih dulu,” tegas Kivlan pada awak media.
- Tuntut PKI Membubarkan Diri
PARTAI Komunis Indonesia (PKI) telah dibubarkan oleh Jenderal Soeharto dengan Surat Keputusan Presiden No. 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966. Selain itu, TAP MPRS No. XXV/1966 tentang larangan menyebarkan Komunisme, Marxisme, dan Leninisme, hingga sekarang masih berlaku. Namun, rekomendasi simposium nasional “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain” yang berakhir hari ini, 2 Juni 2016, menyebutkan bahwa PKI masih eksis hingga hari ini. Mereka menuntut agar PKI membubarkan diri dan menghentikan segala kegiatan dalam bentuk apapun. “Sejak awal reformasi PKI telah melakukan kongres rahasia sebanyak tiga kali, berusaha memutarbalikan fakta sejarah dan mengedarkan film dan video yang bersifat menghasut dan fitnah; melimpahkan kesalahan pada pihak lain, khususnya Orde Baru, TNI, dan umat Islam,” kata Indra Bambang Utoyo, mantan ketua Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI), yang membacakan rekomendasi tersebut didampingi para purnawirawan jenderal dan tokoh agama. Simposium ini menetapkan peristiwa Madiun 1948 dan Gerakan 30 September 1965 sebagai pemberontakan PKI. Karena itu, pihak PKI harus meminta maaf kepada rakyat Indonesia. Namun, simposium juga mengakui bahwa peristiwa 1948 dan G30S 1965 menimbulkan korban jiwa, baik dari pihak pemerintah, TNI, rakyat, maupun PKI. Selanjutnya, rekomendasi simposium “meminta dengan sangat kepada pemerintah, LSM, dan segenap masyarakat agar tidak lagi mengutak-atik kasus masa lalu, karena dapat dipastikan memicu konflik horizontal berkepanjangan yang dapat mengancam integrasi bangsa dan NKRI.” “Akan lebih bijak dan bermanfaat bagi bangsa di masa depan apabila kita melupakan masa lalu dan melihat masa depan,” kata Indra, yang juga politisi Partai Golkar. Hal ini didasarkan anggapan telah terjadi rekonsiliasi alamiah terhadap keturunan PKI sehingga tidak ada lagi stigma yang tersisa pada mereka. Semua hak sipil mereka telah pulih kembali. Karena itu, tidak ada lagi alasan untuk mengadakan rekonsiliasi. “Banyak di antara mereka yang telah menjadi anggota partai politik, pegawai negeri, bupati, gubernur, anggota TNI/Polri tanpa ada yang mempersalahkan.” Rekomendasi simposium juga meminta kepada pemerintah supaya konsisten menegakkan Pancasila tentang pelarangan PKI sebagaimana termaktub dalam TAP MPRS No. XXV/1966 serta menindak setiap kegiatan yang terindikasi sebagai upaya membangkitkan PKI.
- Seruan Jihad dari Simposium Anti-PKI
MANTAN Wakil Presiden Try Sutrisno mengatakan dia heran dan gelisah dengan apa yang terjadi belakangan ini: beredar buku-buku Marxisme, penggunaan atribut palu arit, gugatan terhadap TAP MPRS No. XXV/1966 tentang pelarangan PKI, dan internasionalisasi peristiwa 1965 melalui Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) di Den Haag, Belanda. “PKI adalah ideologi terlarang. PKI telah berkali-kali mengadakan pemberontakan (1926, 1948, dan 1965),” kata Try Sutrisno yang menjadi keynote speaker dalam simposium “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain” di Balai Kartini, Jakarta, 1 Juni 2016. “Jika kita diminta mengabsahkan pemberontakan PKI, kita harus menolak. Berantas!” tegas Try Sutrisno. Menurut Try Sutrisno, korban prahara 1965 dari kelompok PKI saat ini telah mendapatkan kembali hak-hak sipilnya: sosial, politik, dan ekonomi. Karena itu dia menolak rekonsiliasi, apalagi permintaan maaf dari negara. Try Sutrisno mengakui bahwa korban-korban tapol (tahanan politik) yang diasingkan ke Pulau Buru tidak terindikasi dalam peristiwa 1965. Namun langkah itu dianggapnya tetap perlu dengan dalil pengamanan mereka dari amuk massa. “Di Buru dilindungi agar tidak mendapat serangan,” ujarnya. Try Sutrisno juga menegaskan bahwa peristiwa G30S 1965 adalah pemberontakan PKI. Dia mengklaim buku Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya karya Nugroho Notosutanto merupakan literatur paling sahih yang menjelaskan peristiwa 1965. Buku yang terbit pada 1994 itu diterbitkan Sekretariat Negara dan menjadi sumber resmi pemerintah saat itu. Menurutnya, buku tersebut layak diterbitkan ulang dan disebarkan seluas-luasnya. “Siapa yang menyebut G30S tanpa PKI, tidak pakai ini (menunjuk kepala), berarti dia mata-mata. Plin-plan,” tandas Try Sutrisno. Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, ketua simposium, dalam sambutannya menyatakan ada pihak-pihak yang sengaja menyebabkan kegaduhan dengan mengangkat wacana pengungkapan kebenaran tragedi 1965. “Ada pihak yang menginginkan Indonesia tidak stabil lewat isu-isu HAM,” ujarnya. Kiki mecemaskan, jika hal ini dibiarkan tanpa ada upaya serius untuk menghadapinya dapat dipastikan Pancasila dan NKRI akan tinggal fosil, menjadi sejarah. Menurut Kiki, rekonsiliasi terhadap para korban PKI secara alamiah sudah lama berlangsung sehingga rekonsiliasi formal dianggap tidak diperlukan. “Minta maaf kepada korban PKI pun keliru. Emangnya PKI tidak berdarah, emangnya tangannya tidak kotor? Umat Muslim, TNI Angkatan Darat, apa tidak menjadi korban PKI dulu? Keliru kalau hanya menuntut satu pihak,” ujar Kiki. Sementara itu KH Cholid Ridwan, ketua Majelis Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan tegas menolak permintaan maaf dari negara untuk korban PKI 1965. Menurutnya hal yang sama juga harus dilakukan terhadap pembantaian ulama yang terjadi saat peristiwa Madiun 1948. “Tiada maaf bagimu. Kalau negara minta maaf, kita jihad!” seru Cholid Ridwan. Seruan takbir dari seluruh hadirin membuka sesi pertama simposium itu.
- Akar Historis Penyakit Sifilis
MEMELIHARA gundik dan mencumbu pelacur, menjadi dua gaya hidup yang tumbuh di dalam tangsi-tangsi militer kolonial sejak paruh pertama abad XIX. Gundik dipelihara oleh tentara berpangkat, sementara prajurit kelas kroco cukup jajan di lokalisasi sekitar tangsi. Maka tak heran, penyakit kelamin merebak saat itu. “Saya berani mengatakan 90 persen dari yang terinfeksi penyakit kelamin berasal dari kalangan tentara beserta pejabatnya,” tulis Gani A. Jaelani dalam Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942 . Biasanya, serdadu mengeluhkan timbulnya bisul-bisul. Setelah terdeteksi terkena sifilis, mereka harus membuat penyataan dengan perempuan mana dia berhubungan, dan dianjurkan rutin melakukan perawatan. Serdadu yang positif sifilis dibebaskan dari tugas berat atau tidak dimasukkan dalam sebuah ekspedisi. “Hal ini tentu mengerikan. Tentara kan garda terdepan pemerintah kolonial di tanah jajahan. Jika banyak serdadu yang sakit sifilis, tentu saja mengurangi jumlah tentara yang ada,” ujar Agus Setyawan, sejarawan Universitas Indonesia. Karena sifilis merebak kalangan militer, pemerintah pun mencari cara memeranginya. Pada 15 Juli 1852, Gubernur Jenderal Albertus Jacobus Duymaer van Twist mengeluarkan peraturan untuk mengatasi berbagai akibat pelacuran yang merugikan. Menurut Pemberantasan Prostitusi di Indonesia Masa Kolonial , yang diterbitkan Arsip Nasional Republik Indonesia, peraturan itu memuat tiga hal penting. Pertama , anggaran tahunan dari direktur jenderal keuangan sebesar f 20.000 untuk menanggulangi penyakit sifilis. Kedua , memerinci aturan prostitusi untuk menangkal aspek berbahayanya. Ketiga , peraturan ini hanya berlaku di beberapa daerah tertentu. Selain regulasi, pemerintah juga mendirikan rumah sakit khusus penyakit kelamin, seperti di Kudus (Semarang), Madiun dan Bogor pada 1858, serta di Cianjur (Priangan) pada 1854. Demikian pula dengan penyediaan personil medis, baik dokter Eropa atau dokter pribumi. Pada 1 November 1910, Departemen Pendidikan, Keagamaan, dan Industri ( Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid ) membuat laporan yang menganjurkan keterlibatan pemerintah dalam pemeriksaan kesehatan pelacur dihentikan. Dan tahun berikutnya, pemeriksaan kesehatan pelacur berhenti dan rumah sakit kelamin ditutup. Saat Belanda hengkang 1942, sifilis masih bercokol dan terus bertumbuh. Pemerintah Indonesia yang baru merdeka tak menutup mata tentang penyakit kelamin tersebut. Pada 1951, Departemen Kesehatan mendirikan Lembaga Pusat Penjelidikan dan Pemberantasan Penjakit Kelamin (LP4K) yang dikomandani Soetopo, mantan menteri Kesehatan era kabinet Abdul Halim, yang terletak di Jalan Indrapura-Surabaya. Lembaga ini menjalankan peran preventif, penyuluhan, penelitian, dan pendidikan tentang penyakit kelamin. LP4K melakukan serangkaian penelitian untuk mengumpulkan data penyebaran sifilis. Selama 1952 hingga 1957, LP4K memeriksa 3.054 anggota kepolisian di Surabaya dan 4.570 anggota Angkatan Darat. Hasilnya, tulis Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia jilid 2 yang diterbitkan Departemen Kesehatan, 21,5% polisi dan 33% personil Angkatan Darat menderita penyakit kelamin. Memasuki era Orde Baru, sifilis tetap mengancam. Pemerintah berupaya mencegah penularannya dengan pengobatan massal gratis, yaitu menyuntikkan 3 mililiter penisillin aluminium monostearate (PAM) kepada setiap penghuni lokalisasi, rutin seminggu sekali. Pengobatan massal dihentikan pemerintah pusat pada 1987 karena keterbatasan anggaran. Departemen Kesehatan menganjurkan setiap kepala daerah yang terdapat lokalisasi tetap melaksanakan program tersebut dengan penyandang dana lain. Selain dengan suntikan penisilin, pemerintah juga giat mewartakan penggunaan kondom sebagai salahsatu upaya membendung penyakit kelamin. Menurut buku Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia jilid 3, pada Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I, terdapat 81 kabupaten yang melaksanakan pemberantasan penyakit kelamin. Selama Pelita I, terdeteksi 100.000 orang terkena penyakit kelamin dan dilakukan tindakan pencegahan terhadap 20.000 sumber penularan. Sejak 1986 sampai 1988, tulis Hartadi dalam pidato pengukuhan guru besar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di Universitas Diponegoro berjudul “Prospek Penyakit Menular Seksual di Indonesia dalam Kaitannya dengan Era Globalisasi” tahun 1992, terdapat tujuh urutan Penyakit Menular Seksual (PMS) dilihat dari jumlah penderitanya. Sifilis berada di urutan buncit, sedangkan di urutan teratas adalah Non Spesifik Urethritis (NSU) semacam infeksi pada daerah genital yang tidak disebabkan kuman spesifik.*
- Gabungan Ormas Siapkan Simposium Tandingan
BERBAGAI organisasi masyarakat (ormas) bersama beberapa purnawirawan TNI-Polri menganggap Simposium Nasional 1965 yang digelar pada April lalu sebagai kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Untuk itu, gabungan ormas yang menamakan diri Gerakan Bela Negara akan menggelar simposium tandingan bertajuk “Mengamankan Pancasila dari Ancaman PKI dan Ideologi Lain” pada 1-2 Juni 2016 di Balai Kartini, Jakarta. Ketua panitia simposium, Letjen (Purn.) Kiki Syahnakri, menjelaskan simposium tandingan ini adalah upaya pelurusan terhadap simposium terdahulu. Menurutnya, simposium tersebut berat sebelah dan memberi angin bagi kemunculan PKI. Dia menegaskan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila tidak boleh mendapat tempat di Indonesia. “Kebangkitan PKI sudah menjadi kenyataan. Jika PKI tidak bangkit, itu naif,” ujar Kiki dalam konferensi pers di Gedung Dewan Dakwah Indonesia, Jakarta Pusat, siang tadi (30/5). Kiki menilai bahwa Pancasila sudah jauh ditinggalkan, sebaliknya faham komunisme kian marak. Dia merujuk penggunaan atribut palu arit (lambang PKI), beredarnya buku-buku Marxisme, Festival Belok Kiri, juga Simposium Nasional 1965 yang cenderung membela PKI. Simposium ini, lanjut Kiki, akan membedah PKI dari aspek ideologi, sejarah, agama, dan konstitusi. Selain itu, Kiki mengklaim rekomendasi hasil Simposium Nasional 1965 masih tertahan karena menunggu hasil simposium tandingan yang akan diselenggarakannya. Senada dengan Kiki, Alfian Tanjung mengatakan kemunculan PKI saat ini terlihat lewat familiarisasi istilah. Dia mengungkap ada pihak-pihak yang menjejali anak-anak muda dengan faham bahwa PKI sebagai Partai Kemerdekaan Indonesia ataupun Partai Kiai Indonesia. “Kita ingin menegaskan the real comeback , sebuah partai yang merasa masih ada yaitu PKI, yang berlambang palu arit. Acara (simposium) ini dilakukan dalam rangka menyikapi kebangkitan PKI dengan segala risiko yang akan dihadapi,” ujar Alfian, panitia acara simposium tandingan ini. Forum Umat Islam (FUI) menyampaikan dukungannya terhadap simposium tandingan tersebut. “Kita siap berjihad untuk menumpas PKI,” seru Muhammad Al-Khaththath, sekretaris jenderal FUI. Menurut rencana simposium akan dibuka Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan keynote speech dari Jenderal (Purn.) Try Soetrisno, serta menghadirkan peserta dari sekira 70 ormas. Juga akan menghadirkan korban-korban tragedi Madiun 1948 dan 1965. Simposium tersebut akan ditutup dengan apel siaga melakukan long march ke Istana Negara untuk meneruskan hasil simposium kepada Presiden Joko Widodo.
- Prasasti Berisi Kutukan
SELAIN dijajah Portugis, Belanda, Prancis, dan Jepang, Indonesia juga pernah dijajah Inggris. Ada anggapan bangsa yang dijajah Inggris akan bernasib baik. Benarkah? Sejarawan asal Inggris, Peter Carey menolak anggapan tersebut. Selama lima tahun menjajah Indonesia, Inggris banyak membawa kerugian. “Banyak yang katakan mungkin jika Indonesia dijajah oleh Inggris akan lebih baik, mereka banyak berkaca pada Malaysia dan Singapura. Tapi semua itu bohong,” ujarnya dalam seminar “Objects, Museums, Histories Between the Netherlands and Indonesia: the Case of Diponegoro,” di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (18/5). Menurut Peter Carey, ketika menginjakan kaki di Jawa, Inggris membuat kekacauan. Terlebih mereka adalah pencuri aset Indonesia nomor wahid. Dia menyoroti dua benda cagar budaya penting milik Indonesia yang masih berada di museum luar negeri. Prasasti Pucangan yang dikenal Calcutta Stone berada di Museum India dan Prasasti Sangguran atau dikenal dengan Minto Stone. Prasasti Pucangan berasal dari tahun 1041 M. Prasasti ini memuat sejarah awal pemerintahan Raja Airlangga, pendiri Kerajaan Kahuripan. Prasasti ini ditemukan pada masa Sir Stamford Raffles menjadi gubernur saat pemerintahan kolonial Inggris di Batavia. Dia mengirimkannya kepada Gubernur Jendral Lord Minto di Kalkuta, India. Sementara itu, Prasasti Sangguran yang berasal dari tahun 982 M ditemukan di daerah Malang. Prasasti ini dianggap penting karena menyebut raja Medang yang berpusat di Jawa Tengah, sebagai penguasa Malang. Kolonel Colin Mackenzie menghadiahkan prasasti ini kepada Raffles, yang oleh Raffles kemudian diserahkan kepada Lord Minto pada 1813. “Lord Minto berharap prasasti ini suatu saat akan bercerita kisah dari timur tentang kita,” tutur Peter Carey. Selama puluhan tahun, Prasasti Sangguran disimpan oleh pewaris keluarga Lord Minto di Skotlandia. Sudah berbagai cara dilakukan demi membawa pulang prasasti itu. Proses negosiasi dilakukan pemerintah Indonesia sejak 2004. Namun, hingga kini prasasti itu belum juga berhasil dibawa pulang ke Indonesia. Sudah lebih dari 200 tahun prasasti itu masih berdiri di halaman belakang rumah keluarga Lord Minto dalam keadaan tertutup lumut dan lapuk. Padahal, kata Peter Carey, prasasti itu mengandung kutukan yang mengerikan. Prasasti yang bersisi penetapan Desa Sangguran sebagai sima atau tanah perdikan itu dilarang untuk dipindahkan dari tempatnya semula. Jika itu dilakukan kutukan akan menghujani pelaku. Nyatanya, mereka yang terlibat dalam pemindahan prasasti itu pun ketiban sial. Lord Minto sendiri, setelah menerima batu itu, dicopot dari jabatannya sebagai gubernur jenderal tanpa alasan jelas. Dia pulang ke Inggris dalam keadaan sakit dan meninggal dalam perjalanan menuju Skotlandia. Hal serupa terjadi pada Raffles. Dia ditarik pulang ke Inggris. Pada 1818 kembali ke India dan kembali dipulangkan pada 1823. Setelahnya dia pun meninggal pada 1826. Ranggalawe, Bupati Malang juga mengalami nasib tak lebih baik. Makam bupati ini tak pernah diketahui. Padahal dia telah memerintah sejak tahun 1770-1820. Seolah ingatan lokal atas sang bupati telah dihapus. Sementara pengembalian dua prasasti itu masih belum mencapai kejelasan, benda yang disimpan oleh keluarga keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jean Chretien Baud telah berhasil dibawa pulang. Setelah 180 tahun menyimpan pusaka milik Pangeran Diponegoro, pada Februari lalu tongkat pusaka milik sang pangeran dikembalikan. Kini benda itu disimpan di Museum Nasional Jakarta.
- Tokoh Terlupakan Pendiri Sekolah Guru Bumiputera Pertama
SELAIN Ki Hajar Dewantara, Indonesia memiliki tokoh-tokoh yang amat berjasa dalam dunia pendidikan. Mereka adalah Willem Iskander dan Mohammad Syafei. Sayang, keduanya kurang dikenal. Ki Hajar Dewantara dikenal luas sebagai tokoh pendidikan karena tanggal lahirnya, 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Menteri pendidikan pertama ini mendirikan sekolah Taman Siswa tahun 1922. Selain itu, semboyan yang diciptakannya, “Tut Wuri Handayani” (di belakang memberi dorongan) menjadi semboyan Kementerian Pendidikan. Lantas siapa Willem Iskander dan Mohammad Syafei? Banyak orang tak mengenal Willem Iskander dan Mohammad Syafei. Bahkan, menurut Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Anies Baswedan banyak orang, terutama para pendidik, hanya mengenal tetapi tidak memahami Ki Hadjar Dewantara. “Ki Hajar Dewantara saja lewat, apalagi dua nama ini (Syafei dan Willem),” kata Anies dalam sambutan bedah buku Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas di Hotel Santika, Jakarta Barat, 13 Mei 2016. Buku karya St. Sularto, wartawan senior Kompas ini, memuat peran tiga tokoh pendidikan: Ki Hadjar Dewantara, Willem Iskander, dan Mohammad Syafei. Mohammad Syafei lahir di Ketapang, Kalimantan Barat, tahun 1893. Marah Sutan, seorang guru di Padang yang jadi ayah angkatnya, mengirim Syafei untuk menimba ilmu di sekolah keguruan di Belanda. Tujuannya agar Syafei bisa membuka sekolah untuk kaum bumiputera. Dan Syafei mewujudkannya dengan mendirikan sekolah Indonesische Nederland School (INS) di Desa Kayutanam, Padangpariaman, Sumatra Barat pada 1926. Sekolah INS Kayutanam ini dibuat untuk membantu warga agar merdeka, sanggup berdiri sendiri, bebas dari ketergantungan kepada bangsa lain. Namun, di antara ketiga tokoh tersebut, Willem Iskander lebih dulu mendirikan sekolah untuk bumiputera. Dia mendirikan Kweekschool voor Inlandsch Onderwijzers (Sekolah Guru Bumiputera) atau disebut Kweekschool Tanobato di Kota Panyabungan, Mandailing Natal, Sumatra Utara pada 1862. Willem Iskander lahir di Panyabungan pada 1840 dengan nama Sati Nasution. Nama Willem Iskander didapat saat dia pindah agama dari Islam ke Kristen saat studi keguruan di Belanda. Saat Sularso menggunjungi Mandailing Natal pada 2015, dia miris karena tidak banyak orang tahu tentang Willem Iskander. Sebuah monumen untuk petilasan kelahirannya bahkan salah menuliskan nama. Di sana tertulis “Willem Iskandar”. “Willem Iskander sudah dilupakan, padahal dia adalah pelopor guru,” kata Sularto. Willem Iskander menekankan pentingnya pendidikan bagi kaum bumiputera. Baginya, perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. “Dia kiranya memahami bahwa dengan mendidik anak laki-laki, kita mendidik satu orang. Dengan mendidik anak perempuan, kita bakal mendidik satu keluarga,” kata Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan tahun 1978-1983. Willem mendirikan Kweekschool Tanobato sepulang dari studinya di Belanda. Kweekschool Tanobato bukanlah sekolah guru pertama di Hindia Belanda. Sebelumnya telah berdiri Kweekschool Surakarta (1851) dan Kweekschool Fort de Kock di Bukittinggi (1856). Namun, murid-murid kedua sekolah ini berasal dari kelas bangsawan sehingga disebut sekolah raja. Sedangkan Kweekschool Tanobato terbuka untuk umum dengan bahasa Mandailing sebagai bahasa pengantar. Willem Iskander mendapatkan kesempatan beasiswa ke Belanda untuk kedua kalinya pada 1874. Kepergiannya ke Belanda membuat Kweekschool Tanobato ditutup dan sebagai penggantinya dibuka Kweekschool Padangsidempuan pada 1879. Saat di Belanda, Willem Iskander mengajukan beasiswa kepada pemerintah Belanda untuk guru Kweekschool lain, termasuk di luar Kweekschool Tanobato. Terpilihlah tiga guru: Banas Lubis dari Kweekschool Tanobato, Ardi Sasmita dari Kweekschool Bandung, dan Raden Mas Surono dari Kweekschool Surakarta. Nahas, Banas Lubis dan Ardi Sasmita meninggal pada pertengahan tahun 1875. Sedangkan Raden Mas Surono dipulangkan karena sakit, lalu meninggal dalam perjalanan. Willem Iskander juga meninggal tragis dengan cara bunuh diri pada 8 mei 1876, delapan bulan setelah pernikahannya dengan Maria Jakoba Witer. Penyebabnya, menurut Sularto, dia merasa kalut karena kematian tiga rekannya ditambah kekacauan rumah tangganya. Willem Iskandar mati muda dalam usia 36 tahun. Melalui Kweekschool Tanobato dia telah membuka kesempatan bagi kaum bumiputera untuk memperoleh pendidikan. “Kepeloporan dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan calon guru, berarti pula peranannya sebagai pejuang lewat pendidikan dan pendidik pejuang,” kata Sularto.
- Nasihat Bung Karno untuk HMI
PERNYATAAN komisioner KPK Saut Situmorang tentang prilaku koruptif kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berbuntut panjang. Senin, 9 Mei kemarin, ratusan kader HMI mendemo KPK, menuntut Saut diberhentikan dari KPK. Demonstrasi berakhir ricuh, meninggalkan sejumlah kerusakan di gedung KPK. Sebagai organisasi mahasiswa Islam yang telah malang melintang puluhan tahun di atas panggung politik nasional, bukan sekali-dua HMI memainkan peranan penting di dalam sejarah. Pada pergolakan politik 1965 misalnya, Presiden Sukarno secara khusus berdialog dengan HMI untuk memecahkan persoalan yang terjadi saat itu. Dalam amanatnya kepada para kader HMI di Istana Bogor, 18 Desember 1965, Presiden Sukarno menguraikan situasi gawat pascaperistiwa Gerakan 30 September 1965. Termasuk soal korban-korban pembantaian anggota dan simpatisan PKI di banyak tempat di Indonesia. “Saudara-saudara, negara ini terancam retak terutama sesudah Gestok (Gerakan Satu Oktober). Sebab, manakala negara ini pecah, Islam di Indonesia juga akan ikut menderita kerugian,” kata Sukarno dalam Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara yang disunting oleh Bonnie Triyana dan Budi Setiyono. Khusus mengenai Islam, Sukarno mengakui terkadang sedih melihat orang Islam yang tidak mengerti ajaran Islam. Misalnya, di Jawa Timur, banyak anggota PKI, anggota Pemuda Rakyat, atau hanya simpati saja kepada PKI, dibunuh. Jenazahnya di- kleler -kan tergelatak di pohon, pinggir sungai, bahkan dicemplungkan ke sungai. Tidak ada yang berani mengurusnya karena diancam akan dibunuh. Padahal, hukum mengurus jenazah adalah fardu kifayah. “Yang mau ngerumat (mengurus) anak-anaknya si korban pun diancam. Padahal ngerumat anak yatim itu pun adalah perintah agama Islam. Agama Islam itu malahan boleh dikatakan agama untuk, ini sekadar sebutan, anak yatim. Sebab, dalam ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis nabi disebut peliharalah yatim,” kata Sukarno. Oleh karena itu, Sukarno meminta, alangkah baiknya dari kalangan mahasiswa HMI yang mengetahui hukum-hukum Islam cobalah turba (turun ke bawah) ke Jawa Timur dan Jawa Tengah, memberikan penerangan kepada umat Islam di sana agar jenazah tidak di- kleler -kan. “Sebab, saudara-saudara, dit kan niet zo door gaan (ini tidak bisa terus-terusan dengan cara begini). Kalau terus-terusan bukan saja Islam mendapat noda, umat Islam, juga negara kita terancam pecah…, we are going to hell, ” kata Sukarno. Sukarno mengingatkan dengan menyitir sejarawan Edward Gibbon (1737-1794) dan Arnold Toynbee (1889-1975): a great civilization never, never goes down unless it destroys itself from whitin , “satu peradaban yang besar tidak akan hancur kecuali jika merusak dirinya sendiri, memecah diri sendiri, aku berkata, merobek-robek dadanya dari dalam.” “Buat mahasiswa Islam dan seluruh mahasiswa oleh karena mahasiswa lebih banyak membaca buku daripada orang-orang lain, pegang ucapan Gibbon dan Arnold Toynbee itu,” kata Sukarno. Menurut Sukarno kejayaan dan kejatuhan masyarakat Islam karena “bukan saja karena bab ijtihad ditutup, salah satu sebab yang amat dalam sekali, tetapi juga karena umat Islam gontok-gontokan satu sama lain.” Di bagian akhir amanatnya, Sukarno meminta kepada kader HMI: jangan gontok-gontokan dan pergilah turba untuk mengurus jenazah-jenazah karena itu fardu kifayah dalam agama Islam. “Kerjakanlah dengan sebaik-baiknya agar dunia ini betul-betul menjadi baik, karena engkau menyumbang kepada kebaikan itu. Masa depan Indonesia tergantung padamu, pemuda dan pemudi Indonesia,” kata Sukarno menutup amanatnya.
- Menkopolhukam Menerima Data Kuburan Massal
MENINDAKLANJUTI simposium nasional tragedi 1965, Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan beserta stafnya mengadakan pertemuan dengan para penyintas 1965 didampingi aktivis hak asasi manusia, di kantor Kemenkopolhukam di Jalan Merdeka Barat No. 15 Jakarta Pusat, pada Senin, 9 Mei 2016. Dalam forum itu, Luhut menerima data para korban beserta lokasi kuburan massal dari Yayasan Penelitian Korban Pembantaian (YPKP) 1965. Sebelumnya, Luhut telah diperintahkan oleh Presiden Joko Widodo untuk mencari kuburan massal tragedi 1965. “Ada 122 titik kuburan massal yang diserahkan,” kata Bedjo Untung, ketua YPKP. Bedjo mengungkapkan di dalam kuburan massal itu sedikitnya terdapat 13.999 korban pembantaian. Angka tersebut masih terbatas untuk Jawa dan Sumatera. Belum terhitung pula data korban yang tiada pusaranya seperti yang dibuang di Sungai Ular, Asahan, Kaliberantas dan Bengawan Solo. Jumlah itu masih akan bertambah lagi, menanti data dari wilayah lain seperti Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Sebelum menyerahkan data tersebut, Bedjo meminta jaminan kepada Menkopolhukam berupa keamanan para saksi korban dan saksi pelaku dalam menunjukan lokasi kuburan massal; keamanan lokasi kuburan massal agar tidak digusur, dirusak, dan dihilangkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. “Kita akan menjamin keamanannya. Negara ini negara besar dan karena itu kita akan menjamin keselamatan (yang bersangkutan),” kata Luhut sebagaimana dituturkan Bedjo. Selain itu, Luhut juga menginstruksikan kepada Kodam dan Kodim agar tidak lagi melakukan tekanan kepada korban dan penyintas tragedi 1965 yang ada di daerah-daerah. Menanggapi data korban yang disampaikan, Menkopolhukam menyatakan secepatnya akan mendatangi lokasi kuburan massal. Beberapa sampel lokasi yang disebutkan di antaranya Boyolali, Pati, dan Pemalang. Dan bilamana diperlukan, akan dilakukan penggalian kembali, setelah berkoordinasi dengan lembaga terkait seperti Kejaksaan Agung, Komnas HAM, dan tim arkeologi. Kendati demikian, Luhut masih enggan mengakui keterlibatan negara dalam tragedi 1965. Dia bersikukuh bahwa tragedi 1965 adalah konflik horizontal. Soal ini menjadi tema yang mendominasi jalannya pembicaraan dalam pertemuan tersebut. “Dia (Luhut) tidak mau mengakui bahwa yang terjadi adalah state crime (kejahatan yang disponsori aparat negara),” ujar Reza Muharam, anggota pengarah International Tribunal Peoples (IPT). Menurut aktivis HAM itu, harus ada pengakuan bahwa banyak orang tidak bersalah yang telah direpresi oleh negara. Dia mencontohkan kasus Pulau Buru, ketika ada sekira sepuluh ribu orang yang dibuang dan diasingkan belasan tahun tanpa proses peradilan. Hal yang sama juga terjadi terhadap orang-orang yang di “PKI-kan” merujuk kelompok Sukarnois. Oleh karena itu, Reza mengharapkan dibentuk Komite Kepresidenan untuk pengungkapan kebenaran. Apapun jalan penyelesaian yang akan ditempuh pemerintah nanti, sebaiknya mengakomodasi empat hak korban yang diakui konvensi HAM internasional: hak untuk mengetahui kebenaran, hak keadilan, rehabilitasi, serta jaminan negara bahwa tragedi yang sama tidak akan terulang. Hingga saat ini, pemerintah masih menunggu rekomendasi dari tim perumus simposium. Menurut rencana, hasilnya akan diumumkan minggu depan.
- Lemahnya Lelaki dalam Kesenian Makassar
SERANG Dakko,70 tahun, menabuh gendang di halaman rumahnya di kawasan Benteng Somba Opu, Sulawesi Selatan. Dia memainkannya dengan begitu rancak, menghentak, cengingisan , dan berteriak. Tangan kanannya memegang tanduk sapi untuk memukul kulit gendang, sementara tangan kirinya memukul gendang dengan tangan kosong. Mengapa demikian? “Itu kiri gendang, Nak, laki-laki. Kalau kanan perempuan. Jadi perempuan yang dipukul, kalau laki-laki lembek kulitnya, nda kuat,” kata Serang Dakko. Serang Dakko, sapaan akrabnya Daeng Serang, adalah salah seorang maestro gendang di Sulawesi Selatan. Dia memainkan gendang sejak usia belia, belajar dari ayahnya yang bermain untuk kalangan istana Gowa. Kini, dia hidup dengan keahliannya bermain gendang, menghidupi keluarga, dan terkadang mendapat tawaran bermain di acara kawinan atau sunatan. Di rumahnya di kawasan Benteng Somba Opu, dia membuka sebuah padepokan. Namanya Sanggar Alam. Dia mengajari beberapa mahasiswa untuk menari dan bermain gendang. Suatu sore, ketika usai bermain gendang, saya membantunya mengangkat gendang untuk ditempatkan di salah sisi panggung. Tapi tiba-tiba dia menegur. “Salah,” katanya. Menurut Daeng Serang, meletakkan gendang harus sesuai aturan. Kulit perempuan di bagian bawah, dan kulit laki-laki di bagian atas. Jika terbalik, gendang cepat rusak, suaranya tak nyaring lagi. Seorang perempuan anggota Sanggar Alam protes. Kenapa harus perempuan yang selalu dibawah? “Perempuan itu kuat. Kalau laki-laki lemah,” jawabnya. Di Makassar, salah satu tarian yang dikenal adalah Pakarena. Tarian ini dibawakan 12 orang perempuan. Di masa lalu, Pakarena semacam tarian ritual. Tarian dipentaskan di atas tanah. Telapak kaki harus selalu bersentuhan dengan tanah; tak boleh terangkat. Selama ini, kata Daeng Serang, Pakarena yang menjadi salah satu ikon kesenian Makassar berubah bentukkarena tuntutan pelestarian lalu dipentaskan di atas panggung. Perempuan sebagai penari tidak lagi bersatu dengan tanah. Beberapa penari yang bermain di Sanggar Alam mengatakan, menari Pakarena tradisi jauh lebih sulit dibanding tarian lainnya. Semua gerakan badan harus dilekukkan. Pandangan harus selalu menunduk. Kepala tak boleh terangkat. Lentikan tangan pun tak boleh melewati kepala. Saya beberapa kali menyaksikan tari Pakarena, termasuk Pakarena Sambori’na yang sudah mulai langka. Di Makassar, masyarakat mengenal 12 ragam Pakarena, termasuk satu diantaranya adalah Pakarena Malino dan Pakarena Gantarang. Menyaksikan tari Pakarena memang cukup membosankan karena gerakannya sangat lambat. Sementara, musiknya menghentak kencang. Tapi, bagi para pelaku seni di Makassar, itulah letak dan kekuatan tarian ini. “Jadi, musik itu (laki-laki) mengganggu penari. Penari (perempuan) harus kuat menahan godaan apapun. Jadi kalau lambat musik, agak cepat itu gerakan, kalau cepat musik jadi lambat tariannya,” kata Daeng Serang. R. Anderson Sutton, profesor etnomusikologi di University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat, dalam Pakkurru Sumage’: Musik, Tari, dan Politik Kebudayaan Sulawesi Selatan menulis, permainan gendang di Makassar tidak hanya menampilkan musik, tapi suara dan laku fisik selama pertunjukkan yang melambangkan tipe ideal laki-laki: lincah, keras, dan bersemangat. Sementara para penari yang menciptakan gerakan, cara berdiri, dan berpakaian sebagai tipe ideal perempuan Makassar. Keliaran dan kedinamisan para pemusik mendorong Sutton mencari korelasinya dengan hubungan gender. Dalam bahasa Makassar, pemain gendang disebut gandrang . Di satu sisi, gandarang dalam pengertian lainnya adalah berhubungan seks. “Tampaknya gerak tangan laki-laki, kadang memegang penabuh dari tanduk itu (yang berlekuk halus dapat disamakan dengan penis yang sedang menegang) yang dipukulkan pada kulit gendang, dapat mengesankan hubungan seksual, terutama jika melihat diskursus gender seputar alat musik ini berikut pertunjukannya,” tulis Sutton.





















