top of page

Sejarah Indonesia

Lemahnya Lelaki Dalam Kesenian

Lemahnya Lelaki dalam Kesenian Makassar

Dalam permainan gendang, laki-laki adalah makhluk lemah. Dalam tarian, perempuan kuat menahan godaan.

28 April 2016

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Tari Pakarena di Makassar. Foto: Tropenmuseum.

SERANG Dakko,70 tahun, menabuh gendang di halaman rumahnya di kawasan Benteng Somba Opu, Sulawesi Selatan. Dia memainkannya dengan begitu rancak, menghentak, cengingisan, dan berteriak. Tangan kanannya memegang tanduk sapi untuk memukul kulit gendang, sementara tangan kirinya memukul gendang dengan tangan kosong.


Mengapa demikian? “Itu kiri gendang, Nak, laki-laki. Kalau kanan perempuan. Jadi perempuan yang dipukul, kalau laki-laki lembek kulitnya, nda kuat,” kata Serang Dakko.


Serang Dakko, sapaan akrabnya Daeng Serang, adalah salah seorang maestro gendang di Sulawesi Selatan. Dia memainkan gendang sejak usia belia, belajar dari ayahnya yang bermain untuk kalangan istana Gowa. Kini, dia hidup dengan keahliannya bermain gendang, menghidupi keluarga, dan terkadang mendapat tawaran bermain di acara kawinan atau sunatan.


Di rumahnya di kawasan Benteng Somba Opu, dia membuka sebuah padepokan. Namanya Sanggar Alam. Dia mengajari beberapa mahasiswa untuk menari dan bermain gendang. Suatu sore, ketika usai bermain gendang, saya membantunya mengangkat gendang untuk ditempatkan di salah sisi panggung. Tapi tiba-tiba dia menegur. “Salah,” katanya.


Menurut Daeng Serang, meletakkan gendang harus sesuai aturan. Kulit perempuan di bagian bawah, dan kulit laki-laki di bagian atas. Jika terbalik, gendang cepat rusak, suaranya tak nyaring lagi. Seorang perempuan anggota Sanggar Alam protes. Kenapa harus perempuan yang selalu dibawah? “Perempuan itu kuat. Kalau laki-laki lemah,” jawabnya.


Di Makassar, salah satu tarian yang dikenal adalah Pakarena. Tarian ini dibawakan 12 orang perempuan. Di masa lalu, Pakarena semacam tarian ritual. Tarian dipentaskan di  atas tanah. Telapak kaki harus selalu bersentuhan dengan tanah; tak boleh terangkat.


Selama ini, kata Daeng Serang, Pakarena yang menjadi salah satu ikon kesenian Makassar berubah bentukkarena tuntutan pelestarian lalu dipentaskan di atas panggung. Perempuan sebagai penari tidak lagi bersatu dengan tanah. Beberapa penari yang bermain di Sanggar Alam mengatakan, menari Pakarena tradisi jauh lebih sulit dibanding tarian lainnya. Semua gerakan badan harus dilekukkan. Pandangan harus selalu menunduk. Kepala tak boleh terangkat. Lentikan tangan pun tak boleh melewati kepala.


Saya beberapa kali menyaksikan tari Pakarena, termasuk Pakarena Sambori’na yang sudah mulai langka. Di Makassar, masyarakat mengenal 12 ragam Pakarena, termasuk satu diantaranya adalah Pakarena Malino dan Pakarena Gantarang.


Menyaksikan tari Pakarena memang cukup membosankan karena gerakannya sangat lambat. Sementara, musiknya menghentak kencang. Tapi, bagi para pelaku seni di Makassar, itulah letak dan kekuatan tarian ini.


“Jadi, musik itu (laki-laki) mengganggu penari. Penari (perempuan) harus kuat menahan godaan apapun. Jadi kalau lambat musik, agak cepat itu gerakan, kalau cepat musik jadi lambat tariannya,” kata Daeng Serang.


R. Anderson Sutton, profesor etnomusikologi di University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat, dalam Pakkurru Sumage’: Musik, Tari, dan Politik Kebudayaan Sulawesi Selatan menulis, permainan gendang di Makassar tidak hanya menampilkan musik, tapi suara dan laku fisik selama pertunjukkan yang melambangkan tipe ideal laki-laki: lincah, keras, dan bersemangat. Sementara para penari yang menciptakan gerakan, cara berdiri, dan berpakaian sebagai tipe ideal perempuan Makassar.


Keliaran dan kedinamisan para pemusik mendorong Sutton mencari korelasinya dengan hubungan gender. Dalam bahasa Makassar, pemain gendang disebut gandrang. Di satu sisi, gandarang dalam pengertian lainnya adalah berhubungan seks.


“Tampaknya gerak tangan laki-laki, kadang memegang penabuh dari tanduk itu (yang berlekuk halus dapat disamakan dengan penis yang sedang menegang) yang dipukulkan pada kulit gendang, dapat mengesankan hubungan seksual, terutama jika melihat diskursus gender seputar alat musik ini berikut pertunjukannya,” tulis Sutton.


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page