Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Mengenal Dwidjosewojo, Bapak Asuransi Indonesia
EMPAT perusahaan asuransi Indonesia terbelit masalah pada Januari 2020. Jiwasraya, Asabri, Taspen, dan AJB Bumiputera 1912. Tiga milik negara, satu lainnya kepemilikan bersama (mutual) di antara para pemegang polis. Masalah ketiganya berbeda. Dugaan kasus korupsi pada Jiwasraya dan Asabri, kejanggalan di Taspen, dan pembengkakan klaim dalam AJB Bumiputera 1912. Masalah-masalah termaksud mencederai kepercayaan khalayak pada asuransi. Juga melenceng dari apa yang dicita-citakan oleh Dwidjosewojo, Bapak Asuransi Indonesia.
- Orang Indonesia Jadi Agen OSS
PADA 8 Juni 1944, kapal selam Inggris, HMS Tradewind berangkat dari Trincomalee, Ceylon (Sri Lanka), untuk melaksanakan operasi OSS (Office of Strategic Services), pendahulu CIA. Salah satu tujuan operasi bersandi Ripley I itu untuk mendaratkan agen OSS asal Indonesia. Agen itu bersandi Humpy dan Johnny.
- Mengintip Belakang Layar Nyanyian Akar Rumput
KEUNIKAN. Itulah “kekayaan” Wiji Thukul yang menarik perhatian Yuda Kurniawan, sineas penggarap Nyanyian Akar Rumput, untuk mengenal lebih jauh. Selain rangkaian kata dalam puisi-puisinya berbeda dari pada umumnya, Yuda tertarik dengan nama Wiji Thukul. “Itu sejak saya kelas 3 SMP ya. Saya pikir itu dulu bukan puisi. Wiji Thukul nulisnya enggak seperti puisi pada umumnya. Kayak cerpen. Ia bercerita. Enggak berima, enggak indah seperti puisi-puisi Chairil Anwar atau WS Rendra. Di situ juga mulai kenal namanya itu. Namanya unik, kan. Thukul,” ujar Yuda kepada Historia , Rabu (22/1/2020). Puisi-puisi Thukul biasa terselip di buku-buku yang acap dibawa pamannya kala pulang ke Banyuwangi, Jawa Timur dari perantauannya di Yogyakarta. Di kota itu, sang paman kuliah di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Begitulah penuturan Yuda tentang awal perkenalannya dengan penyair berjuluk “sang peluru” dan karya-karyanya. Yuda baru mengetahui fakta hilangnya Thukul pasca-Tragedi Mei 1998 kala duduk di bangku SMA. “Saya SMA, 1999, baru tahu kemudian, oh ternyata pengarang puisi yang sering saya baca sejak SMP itu orangnya hilang, diculik,” lanjut sineas kelahiran 8 Oktober 1982 itu. Pencariannya soal siapa Thukul terus bergulir hingga dia kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2001. “Pas kuliah di Yogya lebih penasaran lagi untuk mencari tahu. Sempat kemudian kepikiran bikin karya. Cuma karena referensi pembuatan film masih minim, kamera juga susah, kalaupun sewa harganya mahal, ide itu mengendap saja,” ujarnya. Yuda Kurniawan, sutradara "Nyanyian Akar Rumput" pemenang Piala Citra 2018 kategori dokumenter panjang terbaik (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Lama tertimbun, hasrat Yuda muncul lagi tahun 2012. Sebuah artikel tentang band indie asal Solo, Merah Bercerita, yang –digawangi salah satunya oleh Fajar Merah, anak bungsu Thukul– dibacanya membuat Yuda kagum. Kekagumannya kian bertambah ketika menyaksikan video unggahan kawannya, Lexy Rambadeta, di Youtube . Video itu menampilkan Merah Bercerita memainkan musikalisasi puisi “Bunga dan Tembok” karya Thukul. “Saya terkesima. Dari situ saya makin cinta sama Fajar. Main gitarnya rapi, bagus banget. Saya pikir, oke banget ini. Walau belum nemu momentumnya, tapi niatku dulu membuat dokumenter Wiji Thukul seperti menemukan jalannya. Bahwa si Fajar ini ingin melestarikan puisi bapaknya melalui lagu. Sebuah spirit yang bagus,” sambung Yuda. Yuda lantas mendekati Lexy, sineas yang sudah menghasilkan sejumlah karya dokumenter macam Mass Grave (2001) dan Student Revolt (2001), dan Batas Panggung (2004). Lexy acap menenteng kamera untuk mendokumentasikan sejumlah forum terkait kasus pelanggaran HAM 1997-1998 serta kasus penghilangan paksa yang digulirkan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Lexy dikenal cukup dekat dengan keluarga Wiji Thukul. “Tapi memang dia belum pernah sempat mendokumentasikan secara khusus menjadi karya tentang Wiji Thukul,” kata Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul. Yuda pun mendiskusikan idenya dengan Lexy. Gayung pun bersambut. Selain punya banyak koleksi terkait keluarga Wiji Thukul, Lexy pula yang jadi perantara Yuda bisa mengontak Fajar dan ibunya, Siti Dyah Sujirah alias Sipon. Setelah mendapat lampu hijau, segera Yuda bertolak ke Solo pada Juni 2014. “Jadi saya ke sana memposisikan diri sebagai fans -lah. Ibarat kalau saya ke Potlot, ingin ketemu Kaka (Slank), kurang lebih begitu. Saya jelaskan bahwa saya ingin memfilmkan Fajar sebagai sosok anak Wiji Thukul yang punya band. Alhamdulillah mereka welcome ,” sambung Yuda. Band Merah Bercerita yang salah satunya digawangi anak bungsu Wiji Thukul, Fajar Merah (kedua dari kiri) (Foto: Dok. Yuda Kurniawan/Rekam Docs) Saat itu juga Yuda memulai proses produksi dokumenternya. Mulai dari mengambil gambar kegiatan band Merah Bercerita sampai memfilmkan keseharian serta wawancara Sipon, Fitri Nganthi Wani (putri sulung Wiji Thukul), dan Wahyu Susilo (adik Wiji Thukul) yang sudah tinggal di Depok. Yang belum ada hanya keterangan dari Nasri Nugroho, adik Wiji Thukul. “Kalau Mas Wahyu kan baru 2015 bisa ke sana, ketika ikut Fajar saat ke Jakarta. Kalau Mas Nasri Nugroho lagi sibuk, banyak kegiatan. Mbak Sipon sudah sempat minta Fajar nganterin saya ke Mas Nugroho. Enggak tahu kenapa, gagal terus. Dalam arti, pas mau ke sana beliaunya lagi ke luar kota. Tapi ya buat saya sudah terwakili sama Mas Wahyu-lah. Secara konektivitas Fajar kan juga sangat dekat dengan Mas Wahyu, seperti pengganti bapaknya,” ujarnya. Narasi Sejarah Nyanyian Akar Rumput berpusar pada kehidupan dan pergulatan batin Fajar Merah sebagai anak bungsu Wiji Thukul. Dua pokok alur cerita yang bertautan dengan benang sejarahnya tak lain adalah musik-musik yang dimainkan Merah Bercerita. Fajar dkk. mengreasikan sendiri musiknya dengan memanfaatkan lirik-lirik dari sejumlah puisi karya Wiji Thukul seperti “Apa Guna”, “Sajak Suara”, “Kebenaran Akan Terus Hidup”, “Bunga dan Tembok”, “Derita Sudah Naik ke Leher”, atau “Yang Aku Tahu”. Dalam wawancara di dokumenter itu, Wahyu merasa Fajar telah memberi nyawa baru dalam karya-karya kakaknya. Sementara, Sipon melihat Fajar dengan musiknya justru memberi wajah baru puisi-puisi suaminya. “Dengan musiknya, Fajar membawakan karya-karya puisi itu tidak sama dengan ayahnya. Ada nuansa romantis. Enggak versi ayahnya (membacakan puisi, red. ) yang penuh kemarahan. Fajar ingin menciptakan senyum,” kata Sipon. Narasi lainnya adalah tentang bagaimana Thukul tak hanya membela wong cilik dengan kata-kata namun juga kerap ikut turun ke jalan yang cuplikannya turut dihadirkan Yuda. Seperti saat terjadi kasus pembangunan Waduk Kedung Ombo pada 1989, misalnya, di mana ribuan keluarga harus terusir dan tak mendapat ganti rugi yang sepadan dari pemerintah. Wahyu Susilo, adik bungsu Wiji Thukul (Foto: Randy Wirayudha) Pun dengan kasus protes karyawan PT Sritex di Sukoharjo pada 1995. Imbasnya, Wiji dan keluarga mulai diteror sejumlah pihak tak dikenal. “Memang sejak lama kami mengalami represi, sedari awal 1990-an. Ketika ada kasus Kedung Ombo, rumah disatroni,” kenang Wahyu. Puncaknya adalah peristiwa Kudatuli atau Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli 1996, tak lama setelah Megawati Soekarnoputri didongkel dari kursi ketua umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Thukul dan para aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) dituduh jadi dalang kerusuhannya. Akibatnya, ia turut diburu aparat sampai akhirnya hilang bak ditelan bumi usai Tragedi Mei 1998. Yuda menghadirkan narasi-narasi itu dengan kombinasi ekspositori dan observatori, di mana selain menyajikannya lewat wawancara, juga via foto maupun footage lawas dari beberapa pihak, serta footage aktivitas sehari-hari para subyek film. Footage kerusuhan Mei 1998, misalnya, didapat Yuda dari sineas senior Tino Saroengallo. “Jadi Om Tino dulu pernah bikin film Student Movement in Indonesia: They Forced Them to be Violent (2002). Film yang juga menang Piala Citra 2004 kategori dokumenter panjang. Film yang asalnya dari gambar yang banyak beliau dan temannya ambil tentang zaman 1998. Saya hubungi Om Tino, bahwa saya sedang butuh footage tentang 1998,” tutur Yuda. Tino Saroengallo (kiri) sosok yang memberi Yuda Kurniawan (kanan) beberapa footage penting untuk meramu "Nyanyian Akar Rumput" (Foto: Dok. Yuda Kurniawan/Rekam Docs) Yuda mulanya hanya minta izin untuk memakai beberapa scene dari film itu. Namun Yuda justru diberi master -nya secara cuma-cuma, yang kemudian diedit Yuda untuk dipakai beberapa bagiannya. “Kebetulan Om Tino waktu itu juga sudah sakit, bolak-balik dirawat di Singapura. Pas saya bikin screening di Cikini, beliau menyempatkan hadir. Beliau bilang, ‘Ini (hasilnya) oke. Footage -nya masangnya pas. Wes , semoga filmnya sukses ya.’ Itu terakhir ketemu beliau sebelum meninggal (pada 27 Juli 2018). Menurutku gila. Ini orang baik banget. Pas beliau meninggal saya sempatkan datang. Dengan dikasih master -nya, saya seperti dikasih warisan,” tambahnya. Sementara, footage keluarga mewakili Wiji Thukul menerima Yap Thiam Hien Award pada 2002 dan cuplikan-cuplikan Sipon di Aksi Kamisan, didapat Yuda dari Lexy. Juga secara cuma-cuma. Footage-footage itu digunakan Yuda untuk melengkapi beberapa video lain yang didapat dari keluarga Wiji Thukul. “Dia ngasih free . Katanya, pakai aja. Tentu dengan senang hati karena saya butuh banyak video itu. Dia punya koleksi banyak banget yang dia susun rapi dari tahun 2000, ketika saya main ke rumahnya. Kalau footage Fajar yang di acara Mata Najwa, aku pakai rekamanku sendiri waktu nge- shoot plasma tv di studionya. Alhamdulillah dibolehkan sama produsernya,” lanjut Yuda. Kiri ke kanan: Yuda Kurniawan, Fajar Merah, Lexy Rambadeta (Foto: Dok. Yuda Kurniawan/Rekam Docs) Setelah rampung, Yuda mendaftarkan filmnya ke Busan International Film Festival dan ternyata lolos untuk world premier dan kompetisi di kategori dokumenter panjang pada 5 Oktober 2018. Lantas Yuda mendaftarkannya ke beberapa festival lainnya dari 2018 sampai 2019. Empat dari 16 festival yang diikutinya membuahkan penghargaan. Salah satunya, Piala Citra di FFI 2018. Capaian itu mendorongnya untuk membawa Nyanyian Akar Rumput ke bioskop-bioskop komersil pada 2019. Nyanyian Akar Rumput menjadi film kedua yang menampilkan sosok Wiji Thukul dan kisah yang tercecer di baliknya, setelah Istirahatlah Kata-Kata (2017) karya Yosep Anggi Noen. “Bagi saya, Yuda ini juga figur anak muda yg sampai sekarang melakukan pencarian juga ya, siapa sih sosok Wiji Thukul. Secara fisik enggak pernah ketemu. Seperti juga Yosep Anggi Noen. Kan ketika aktivitas Wiji Thukul memuncak, mereka masih anak-anak, belum mengerti. Makanya saya appreciate sekali ya dua film ini,” tandas Wahyu.
- Aksi Para Sailor untuk Emperor
MINGGU, 15 Mei 1932 di Kuil Yasukuni, Tokyo. Setelah turun dari dua taksi yang membawa ke depan pintu masuk samping kuil, sembilan perwira muda Angkatan Laut (AL) Kekaisaran Jepang langsung membungkuk ke arah Dewa Matahari. Usai melakukan ritual, mereka membeli sebuah jimat kepada seorang pendeta Shinto dan kembali ke dua taksi tadi. Mereka menuju kediaman resmi Perdana Menteri (PM) Tsuyoshi Inukai, politisi senior berpandangan moderat dari partai Rikken Seiyukai. Tak lama kemudian, mereka tiba di tujuan. “Di sini mereka memaksa melewati seorang sersan polisi dan masuk ke kamar Perdana Menteri Tsuyoshi Inukai, lelaki kecil berjenggot berumur 75 tahun,” tulis John Toland dalam The Rising Sun: The Decline and Fall of the Japanese Empire, 1936-1945 . Sejurus kemudian, peristiwa penting dalam sejarah Jepang yang ikut membentuk sejarah dunia pun diciptakan para perwira AL itu. Kedatangan para perwira AL ke rumah PM Inukai itu merupakan buah dari akumulasi masalah ekonomi, politik, diplomasi, dan ideologis masyarakat Jepang era 1920-an. Sebagaimana banyak perwira muda Angkatan Darat (AD) jebolan Akademi Militer kurun 1907-1916 , para perwira muda AL itu juga amat membenci demokrasi liberal dengan para politisi korup di dalamnya. Mereka berambisi mewujudkan idealisme dengan menggulirkan Restorasi Showa guna membentuk Jepang baru. Restorasi Showa, yang dipromosikan oleh penulis sosialis-mistikus ultrakanan Kita Ikki, bertujuan menggulingkan demokrasi liberal dan merestorasi kekuasaan kaisar. “Visi mereka tentang Restorasi Showa dipengaruhi oleh ajaran Kita Ikki, menyiratkan bahwa kekuatan politik dan ekonomi harus ‘dikembalikan’ kepada Kaisar dan rakyat. Ini akan dilakukan dengan menghapuskan ‘kelas istimewa’, mendistribusikan kembali kekayaan, dan mengembalikan negara daripada kalangan bisnis besar dalam mengendalikan ekonomi,” tulis Ben-Ami Shillony dalam Revolt in Japan: The Young Officers and the February 26, 1935 Incident . Para perwira muda dan kaum ultra-kanan yakin demokrasi liberal dengan perdana menteri sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan biang permasalahan yang membelit Jepang. Bukan hanya mengerdilkan posisi politik kaisar, demokrasi liberal juga dianggap melemahkan perekonomian dan diplomasi Jepang. Akibat sistem itu, perekonomian Jepang jadi amat bergantung pada hubungan internasionalnya, terutama pada Amerika dan Inggris, dan kekayaan hanya dinikmati segelintir elit dan konglomerat. Selain itu, kehormatan Jepang juga tercoreng lantaran diplomasinya tak seindependen di era sebelum demokrasi. Bagi para perwira muda AL, kebencian mereka makin bertambah dengan ditandatanganinya Treaty for the Limitation and Reduction of Naval Armament (London Naval Treaty) pada 22 April 1930 sebagai kelanjutan dari Washington Naval Treaty tahun 1922. Kesepakatan yang ditandatangani Inggris, Amerika, Prancis, Italia, dan Jepang itu mengerdilkan AL Jepang. “Meningkatnya ketegangan antara militer dan otoritas sipil ini mengemuka dalam kontroversi London Naval Treaty tahun 1930. Perjanjian itu, yang memberlakukan rasio kepemilikan kapal laut tidak menguntungkan bagi Jepang terhadap Amerika Serikat dan Inggris, ditentang Staf Umum Angkatan Laut karena merusak keamanan Jepang. Tetapi PM Hamaguchi, yang menyatakan masalah ini lebih bersifat politik daripada urusan militer, menolak keberatan staf Angkatan Laut dan meminta Kaisar menandatangani perjanjian itu. Tindakan ini dipuji kaum liberal sebagai penegasan berani kontrol sipil atas militer. Tetapi banyak perwira, serta konservatif sipil, melihatnya sebagai pengabaian terang-terangan kepentingan nasional oleh politisi partai dan sebagai manipulasi memalukan ‘pengkhianat di sekitar takhta’ terhadap Kaisar,” tulis Donald A. Jordan dalam China’s Trial by Fire: The Shanghai War of 1932. Para perwira muda AL yakin cara terbaik untuk mengatasi permasalahan negeri, yang diperparah oleh Great Depression 1929, adalah dengan menghilangkan sumber permasalahan: para polititsi liberalis. Penggunaan kekerasan bukan pantangan dalam keyakinan mereka. “Ideologi perwira muda mengacu pada tradisi shishi dan konsep revolusioner Barat. Seperti shishi , yang telah melakukan Restorasi Meiji sekitar 70 tahun sebelumnya, Perwira Muda itu menyatakan kesetiaan langsung kepada Kaisar dan bermaksud menggulingkan pemerintah, yang diduga merampas kekuasaannya. Seperti kaum radikal kiri, Perwira Muda menganggap negara kapitalis sebagai alat yang digunakan oleh beberapa orang kaya untuk mengeksploitasi ‘massa’,” sambung Shillony. Adanya kesamaan visi dan misi dengan Sakurakai (Cherry Blossom Society), organisasi ultranasionalis rahasia yang didirikan para perwira muda AD, membuat para perwira muda AL semakin percaya diri. Keyakinan mereka untuk mengambil tindakan terhadap para politisi sipil kian kuat setelah bekerjasama dengan kelompok League of Blood yang didirikan tokoh ultranasionalis Inoue Nissho. Komplotan itu lalu membuat rencana untuk menghabisi para pejabat sipil dan pengusaha kaya. PM Inukai, yang menjabat PM sejak 13 Desember 1931, masuk dalam daftar yang mesti dihabisi. Selain liberalis sejati, Inukai dengan kebijakan menghentikan aneksasi Mancuria oleh AD Jepang di Kwantung dan tak mengakui Manchukuo, negara boneka buatan AD Jepang di Mancuria, dianggap para ultranasionalis sebagai pengkhianat. Komplotan menembak mantan PM Hamaguchi Osachi, si pendukung London Naval Treaty, pada 14 November 1930. Akibat luka-lukanya, ia tewas pada 26 Agustus 1931. Komplotan lalu menembak mati Menteri Keuangan Junnosuke Inoue, si penentang meningkatnya peran militer, 9 Februari 1932. Pada 5 Maret, giliran Takuma Dan, direktur jenderal perusahaan Mitsui, yang ditembak mati. Dua bulan kemudian, para perwira muda AL mendatangi PM Inukai di kamarnya tanpa menunjukkan sikap hormat. Dengan tenang sang perdana menteri lalu mengajak mereka ke ruang pertemuan. Mereka tak menggubris permintaan Inukai untuk memberi penjelasan dan berdialog. “Pada saat itu seorang rekan mereka yang telah kepanasan akibat melewati koridor masuk, dengan belati di tangan, berteriak, ‘Tak ada gunanya bicara! Tembak!’,” tulis Toland. Semua perwira muda di ruangan pun langsung menembak Inukai yang langsung tewas di tempat. Rencana mereka membunuh artis Charlie Chaplin, yang sedang berkunjung ke Jepang dan menjadi tamu kehormatan Inukai, gagal karena saat kejadian Chaplin sedang menonton sumo bersama seorang putra Inukai. Chaplin dijadikan target karena mereka anggap sebagai simbol Inggris, tempat ditandatanganinya Naval Treaty yang mengerdilkan AL Jepang. Komplotan lalu menyerang kantor polisi dekat kediaman Inukai. Tak ada perlawanan karena hari itu Minggu, libur. Komplotan lalu bergeser ke Bank of Japan dan menggranat kantor itu. Sementara di tempat lain, konspirator lain melemparkan bom yang menghancurkan jendela-jendela sebuah gedung setelah menyebarkan selebaran. Para anggota komplotan akhirnya menyerahkan diri. Namun alih-alih diganjar hukuman berat, simpati publik justru mengalir ke mereka. Mereka dianggap pahlawan karena telah melawan sumber permasalahan bangsa. Para perwira AL pengomplot pun mendapat hukuman amat ringan, banyak yang hanya dipindah tempat tugas. Ketidaktegasan tersebut membuat posisi politik militer melonjak kuat dan militerisasi meluas. Kekerasan oleh militer makin sering terjadi. Dominasi militer itu pada akhirnya membawa Jepang memukul gong Perang Pasifik. “Pembunuhan Inukai, khususnya, efektif menandai berakhirnya pemerintahan republik di Jepang, sama seperti Insiden Mukden tahun sebelumnya menandai, dalam retrospeksi, membeloknya Jepang menuju jalur agresi dan penghancuran diri. Dari saat kematian Inukai sampai setelah Perang Dunia II, sistem pemerintahan dan pihak sipil berhenti berfungsi. Sebaliknya, suksesi perdana menteri muncul terutama dari jajaran AD dan AL. Pada saat yang sama, tuntutan militer semakin sulit ditolak,” tulis Mark Borthwick dalam Pacific Century: The Emergency of Modern Pacific Asia.
- Dari Gereja Kandang Ayam ke Namlea
"Ini Santo Paulus di Atas Bukit Karang, kudirikan gerejaku," kata Romo Alexander Dirdjosusanto bangga. Sebuah gereja Katolik yang layak bagi para tahanan politik (tapol) akhirnya berhasil didirikan di Unit III kamp pembuangan Pulau Buru pada 1976. Pendirian gereja itu bermula dari ide Lukas Tumiso, tapol asal Surabaya yang hendak membangun gereja di Unit III. Namun karena keterbatasan bahan bangunan, ia menggunakan sebuah bangunan bekas kandang ayam. Setelah dibersihkan dari gurem dan sedikit perbaikan, gereja sederhana itu bisa mengadakan kegiatan-kegiatan agama Katolik. Kegiatan Tumiso sempat diejek oleh beberapa kawannya, salah satunya adalah Oey Hay Djoen, mantan anggota Konstituante dari PKI. Oey menyebut ketika di Surabaya, Tumiso bukan penganut Katolik yang taat. "Tumiso jadi apa itu? Arek itu di Surabaya tidak seperti itu. Sekarang kok ke gereja. Tahi kucing macam apa coba?" ujar Oey Hay Djoen. Tumiso pun hanya tertawa dan menganggap Oey hanya bercanda. Pasalnya, Tumiso dan Oey memang sudah akrab sejak di Surabaya. Lain halnya dengan Oey, Tjoo Tik Tjoen, seorang pemikir di PKI justru mendukung Tumiso. "Kamu jangan dengarkan omongannya Oomu (Oey Hay Djoen) itu. Sudah, keinginanmu seperti apa, lanjutkan saja," kata Tjoo Tik Tjoen. Kegiatan di gereja bekas kandang ayam itu mendapat perhatian Romo Alexander Dirdjosusanto dari Namlea. Romo Alex pun membangun gereja yang lebih layak bagi para tapol yang beragama Katolik. Gereja baru itu diberi nama Santo Paulus di Atas Bukit Karang. Untuk memperkaya bacaan tentang agama Katolik, Romo Alex menawarkan kepada Tumiso untuk berkunjung ke Namlea setiap hari Minggu. Namun, Tumiso menolaknya. "Romo, kalau ke Namlea kita setuju, ndak keberatan. Tapi kalau tiap Minggu, ndak bisa Romo," kata Tumiso. "Lho, kenapa ndak bisa?" tanya Romo Alex. "Tugas pokok seorang tapol itu di sektor pertanian, bukan di gereja," jawab Tumiso. "Ah, nanti itu bisa kita bicarakan," balas Romo Alex. Jawaban Tumiso atas tawaran Romo Alex itu membuat Tumiso diolok-olok oleh teman-temannya. Ia dianggap bodoh karena tidak mau menerima tawaran ke Namlea. Tumiso beralasan, jika ia menerima tawaran itu, barangkali ia bisa kena hukuman. Namun, Romo Alex tetap mendesaknya untuk ke Namlea agar bisa memperdalam agama Katolik. Akhirnya, Tumiso bersedia dengan syarat ada satu orang lagi yang menemani. Alasannya untuk membantu membawa sayuran ke Namlea, 15 kilogram untuk pastoran dan 15 kilogram untuk susteran. Usulannya disetujui. Tumiso dan satu tapol lainnya akhirnya ke Namlea setiap Minggu. Namun, setelah empat kali ke Namlea, Tumiso berhenti. "Ini ndak bisa berlanjut, sebab Namlea itu impian. Ibarat punya uang ratusan ribu satu kamar, kita tetap tidak bisa ke Namlea. Ke peradaban," ujarnya. Tumiso mengatakan bahwa tidak adil jika hanya orang Katolik yang diberi kesempatan mengunjungi Namlea. "Toh yang lain cemburu. Itu seumur hidup orang belum tentu bisa tahu Namlea," ungkapnya. Tumiso kemudian mengusulkan agar selain dua orang Katolik untuk keperluan belajar agama, diberikan kesempatan pula kepada dua orang lainnya untuk bersama-sama mengunjungi Namlea. Ternyata usulan itu disetujui. Para tapol akhirnya bisa mengunjungi Namlea secara bergiliran setiap hari Minggu. Kunjungan ke Namlea juga ternyata bisa membuka akses para tapol terhadap informasi di luar kamp. Selain itu, mereka juga bisa mendapat berbagai barang yang dibutuhkan di kamp. "Kalau turun ke Namlea, pasti ada majalah Tempo , pasti ada kacamata, pasti ada pakaian bekas," sebutnya. Tumiso pun akhirnya bisa berkelakar kepada Oei Hay Djoen. Yang dulu mengejeknya ketika merintis gereja, saat itu ikut senang karena sering diberi bacaan dari Namlea.
- Amuk Ratu Adil di Oude Hospitaalweg
Kabut pagi masih tertinggal di Bandung, ketika sekelompok serdadu bersenjata lengkap memenuhi jalanan utama. Mereka yang datang dari arah Cimahi itu lantas menyebar dalam formasi tempur. Sebagian terlihat berlindung di balik pohon-pohon besar di pinggir jalan. Sebagian yang lain mengokang senjatanya di sela tembok-tembok gedung. Satya Graha masih ingat dia baru saja keluar dari rumah saat seorang prajurit TNI berpangkat kopral ditembak mati di depan Hotel Preanger. Kendati di sekitarnya ada beberapa polisi, namun mereka sama sekali tak bertindak. “Malah saya lihat mereka tertawa-tawa bersama serdadu-serdadu pembunuh itu,”kenang Satya, eks wartawan Soeloeh Indonesia . Sementara itu di Oude Hospitaalweg (sekarang Jalan Lembong), para serdadu yang belakangan diketahui berasal dari Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) itu melakukan gerakan mengepung Markas Besar Divisi Siliwangi. Jarum jam menunjukan angka 9, kala mereka memulai tembakan pembuka dari arah parit-parit seberang jalan yang langsung berhadapan dengan markas Siliwangi. “Kami jadi gugup dan berlarian ke sana ke mari di ruangan tamu,” ujar Letnan Kolonel R.Soetoko, Wakil Kepala Staf Divisi Siliwangi dalam buku Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (otobigrafi Kolonel Purnawirawan Mohamad Rivai). Namun hadirnya para perwira yang sudah makan asam garam pertempuran (seperti Letnan Kolonel Abimanyu dan Mayor Mashudi) di ruangan itu menjadikan situasi cepat terkendali. Dengan cara berpindah-pindah tempat, mereka bisa melakukan perlawanan melalui jendela-jendela yang ada di gedung tersebut. “Para pengawal berhasil opstelling (membangun kubu) sekitar markas sambil melepaskan tembakan-tembakan gencar ke arah gerombolan APRA,”kenang Soetoko. Dengan sepucuk Sten di tangan, Soetoko sendiri menembak terus menerus secara mengitar. Hamburan peluru dari senjatanya membuat para penyerbu lintang pukang dan tak berani mengangkat kepala mereka di dalam parit itu. Kendati sempat diimbangi, amuk para Ratu Adil itu akhirnya tak terbendung. Sebagai perwira yang jabatannya paling tinggi, Soetoko lantas memerintahkan para prajurit dan perwira yang sudah kehabisan peluru untuk meloloskan diri dengan cara melompati tembok belakang markas. Kehabisan peluru, Soetoko lantas menggunakan sepucuk pistol untuk melakukan perlawanan. Dalam posisi ditembaki, tetiba dilihatnya Mayor Mashudi masuk ke ruangan dengan membawa hower Sten penuh berisi peluru. Tanpa banyak basa-basi, dia meminta hower tersebut dan memasangnya di Sten yang masih tergeletak di dekatnya. Perlawanan pun berlangsung kembali. Sadar jumlah mereka yang hanya berlimabelas tidak seimbang dengan ratusan para penyerbu, Soetoko memutuskan untuk meninggalkan markas. Dalam pertempuran itu, telah gugur seorang prajurit Siliwangi sedangkan 14 lain-nya berhasil lolos. Begitu tak terdengar lagi tembakan dari kubu Siliwangi, pasukan APRA yang terdiri dari unit Korps Pasukan Khusus (KST), Polisi Belanda, KNIL dan Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KL) langsung merangsek. Secara brutal, anak buah Kapten R.P.P. Westerling itu menembaki setiap ruangan. “Mereka juga merampas uang yang ada, yakni gaji para prajurit TNI dari Divisi Siliwangi yang pertama kali akan dibayarkan,” tulis A.H. Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid II: Kenangan Masa Gerilya. Malang bagi Kepala Pendidikan Angkatan Darat Letnan Kolonel A.G. Lembong dan ajudannya Letnan Satu Leo Kailola. Mereka yang tidak mengetahui sama sekali Markas Besar Divisi Siliwangi sudah dikuasai musuh tanpa curiga memasuki halaman gedung tersebut. Namun sebelum memasuki halaman markas, para prajurit APRA langsung memberondong mobil yang ditumpangi keduanya dengan ratusan peluru. Keduanya langsung tewas seketika dalam kondisi luka sangat parah. Bahkan tidak puas hanya dengan menghantam Lembong dan Kailola dengan siraman peluru, para prajurit APRA secara keji merusak wajah keduanya dengan klewang dan bayonet.
- Aksi Sadis Westerling di Medan
Ratusan parasut tampak mengembang di langit kota Medan. Sekira satu kompi pasukan yang diterjunkan dari Malaka mendarat di lapangan terbang Polonia. Bersama mereka didrop pula 180 pucuk senjata revolver. “Pendropan itu kebetulan saya lihat langsung bersama teman-teman saya yang dahulu menjadi Gyugun lapangan terbang Polonia, Medan,” tutur Letkol (Purn) Burhanuddin kepada Edisaputra dalam Sumatera Dalam Perang Kemerdekaan . “Sayangnya kami tidak tahu siapa yang mendarat itu, tapi pendropan senjata secara jelas kami ketahui karena petinya pecah sewaktu jatuh ke bumi.” Sebagaimana tercatat dalam Medan Area Mengisi Proklamsi yang disusun tim Biro Sejarah Prima, pendaratan pasukan penerjun yang dikerahkan Sekutu itu berlangsung pada 14 September 1945. Komandan pasukan tersebut ialah Letnan Raymond Westerling. Kedatangan Westerling telah dinanti oleh Letnan Brondgeest, seorang perwira Angkatan Laut Belanda yang memimpin Unit IV pasukan Anglo Dutch Country Section (ADCS). Mereka berkolaborasi menegakan kekuasaan Belanda di wilayah Sumatra Timur yang kaya akan hasil perkebunan. Brondgeest bertugas mengurusi organisasi pemerintahan sedangkan Westerling menyusun pasukan. Dalam waktu singkat, Westerling dapat membentuk sepasukan polisi berkekuatan 200 orang. Mereka terdiri dari orang Belanda, Indo-Belanda, dan orang pribumi dari Ambon dan Manado jebolan tentara KNIL. Di Medan, Westerling menjadi kepala dinas intelijen Belanda. Dari markasnya yang terletak di Hotel de Boer (kini Hotel Dharma Deli), Westerling memegang jaringan intelijen untuk setengah pulau Sumatra. Dalam menjalankan tugasnya, Westerling kerap kali bertindak bengis. Seorang opsir Inggris pernah menulis tentang kekejaman Westerling yang di luar nalar. Ketika sedang asyik minum kopi di pemondokannya, Westerling memperlihatkan kepala seorang Indonesia dari dalam keranjang sampah. Dengan santai Westerling menceritakan kepala itu milik seorang "ekstrimis" Indonesia yang berhasil dibuntutinya. Westerling memburunya dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Dengan mengenakan topeng, dia menyusup ke rumah orang Indonesia yang dianggapnya sebagai pengacau tersebut. Di sudut kamar, Westerling bersembunyi dan menunggui buronannya tadi pulang. Setibanya masuk ke kamar, si pemilik rumah membeku ketakutan. Westerling meringkusnya dan menyampaikan bahwa malam itu adalah hari terakhirnya di dunia. Sebelum dieksekusi, Westerling sempat memberi makan dan mengurungnya di kamar mandi. “Jam empat pagi aku masuk ke kamar mandi dan menyuruh pengacau itu berpusing. Sekali penggal dengan pedangku aku memisahkan kepala dari badannya,” kata Westerling kepada si opsir Inggris yang menuliskannya dalam surat kabar Singapura. Berita tersebut dikutip K’tut Tantri dalam Revolusi di Nusa Damai . Aksi berangasan Westerling lainnya dituturkan oleh Herman (nama belakang disamarkan), mantan anak buah Westerling dalam depot pasukan khusus (DST). Kepada Maarten Hidskes, editor televisi Belanda, Herman mengatakan Westerling lebih cenderung bekerja untuk Inggris ketimbang dinas intelijen Belanda. menurut Herman, Medan bukanlah tempat yang cocok bagi Westerling. “Tentang orang ini (Westerling) saya mendengar bahwa dialah yang telah memenggal kepala seseorang dan menaruh kepala ini di trotoar masjid Sultan Deli,” tutur Herman kepada Maarten Hidskes dalam Thuis gelooft niemand mij: Zuid-Celebes 1946---1947 (dialihbahasakan berjudul Di Belanda tak seorang pun mempercayai saya: Korban metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946--1947 ). Anak buah Westerling juga tidak kurang brutalnya. Pada suatu hari dibawalah masuk seorang Cina yang dituduh memetakan pertahanan kamp tentara Inggris. Selama tiga hari orang Cina itu berkali-kali dibuat stres dan dihajar dengan keras, antara lain dengan tendangan di bawah lambungnya. Dokter mendiagnosis si cina malang itu dengan sejumlah luka parah. “Letnan Westerling bertanggung jawab atas pelaksanaan interogasi laki-laki cina itu dan menugaskan pelaksanaan itu ke orang-orang Inggris bawahannya,” ujar Herman. Orang-orang Inggris yang melakukan interogasi itu akhirnya dikenakan tahanan rumah. Sementara itu, Westerling dilarang memakai seragam tentara Inggris. Pada 23 Juli 1946, Westerling dipindahkan dari seksi intelijen ke satuan pasukan komando. Pemindahan itu sekaligus mengakhiri masa penugasannya di Medan. Sitor Situmorang yang memulai karir jurnalis di harian Waspada Medan dalam otobiografinya Sitor Situmorang: Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba mengenang Westerling sebagai sosok algojo yang melakukan teror pembunuhan di sekitar Medan.
- Hanyut dalam Nyanyian Akar Rumput
FAJAR Merah nyaris tak punya ingatan apapun tentang ayahnya. Ia dan kakaknya, Fitri Nganthi Wani, sudah ditinggal Wiji Thukul sejak masih “ingusan”. Ibunya, Siti Dyah Sujirah alias Sipon, harus jadi tiang kokoh sebagai pegangan Fajar dan Fitri sejak 21 tahun silam. Semua berawal dari hilangnya Wiji Thukul, sang kepala keluarga, yang jadi korban pergolakan negeri di pengujung pemerintahan Orde Baru. Hilangnya Wiji Thukul bukan sesuatu yang tak disangka. Sejak ia mulai mesra dengan politik dan karya-karyanya menikam hati rezim, Sipon yang sejak 1988 diperistri Wiji Thukul, sudah diwanti-wanti ayahnya. “Kamu siap ya, Ti,” cetus Sipon menirukan peringatan ayahnya. Peringatan itu akhirnya menjadi kenyataan ketika prahara Mei 1998 pecah. Wiji Thukul dan 12 aktivis lain hilang tak berbekas bak ditelan bumi. Lebih dari dua dekade mereka, para anggota keluarga, sanak, dan kawan, menunggu kepastian akan kejelasan nasib sang aktivis HAM itu, apakah masih hidup atau sudah tinggal nama. Begitulah babak awal film dokumenter racikan Yuda Kurniawan, Nyanyian Akar Rumput . Sang sineas mengombinasikan beberapa footage berisi penuturan Fitri, Sipon, Wahyu Susilo (adik Wiji Thukul), dan Fajar si putra bungsu Wiji Thukul yang usianya baru sekira lima tahun kala ayahnya jadi korban penghilangan paksa. Foto pernikahan Wiji Thukul dan Sipon (Foto: Rekam Docs) Tahun demi tahun berganti. Rasa lelah mulai memudarkan harapan. Keberadaan Wiji Thukul tetaplah gelap. Fajar yang sosoknya jadi sorotan sentral di dokumenter berdurasi 112 menit ini, hanya bisa menumpahkan segala macam kerinduan pada sosok ayah lewat musik. Bersamatiga rekannya, pada 2012 Fajar membentuk band beraliran poem rock , Merah Bercerita. Lagu-lagunya dikreasikan dari musikalisasi puisi-puisi karya ayahnya. “Dengan musiknya, Fajar membawakan karya-karya puisi itu tidak sama dengan ayahnya. Ada nuansa romantis. Enggak versi ayahnya (membacakan puisi, red. ) yang penuh kemarahan. Fajar ingin menciptakan senyum,” kata Sipon. Band Merah Bercerita yang didirikan Fajar Merah dan tiga kawannya sejak 2012 (Foto: Rekam Docs) Dengan tenggelam dalam musik, Fajar seolah bertemu dengan ayahnya dalam versi imajinasi. Apalagi selama ini ia hanya bisa menerka-nerkaseperti apa sosok sang ayah, melalui karya-karyanya. Setiap kali album band-nya diluncurkan, acapkali dibarengi dengan memperingati hari lahir ayahnya yang jatuh pada 26 Agustus. “Sejauh apa aku mengenal bapakku?” ujar Fajar yang lantas terdiam lantaran kesulitan mencari arsip kenangan tentang ayahnya di ingatannya. “Sebagai anak, ya bingung untuk mengucapkan selamat ulangtahun. Hanya bisa melalui musikalisasi puisi ini. Hal paling sederhana ya itu. Dengan musik aku seolah bisa bicara dengan bapak, untuk bilang bahwa apa yang bapak lakukan tidak sia-sia,” tandasnya. Merawat Perjuangan Wiji Thukul Dokumenter pemenangPiala Citra kategori dokumenter panjang di Festival Film Indonesia (FFI) 2018 itupatut dijadikan tontonan generasi muda kekinian. Selain sarat pengetahuan akan kehidupan politik bangsa di masa lalu, film itu juga menjadi wahana pas untuk mengingatkan presiden akan janjinya dua dekade silam. Dalam suatu adegan, Sipon bertuturbahwa Joko Widodo (Jokowi) ketika masih menjabat walikota Solopernah berjanji untuk membantu mencarikeberadaan Wiji Thukul. Meski zaman sudah berganti dan k ursi presiden sudah silih berganti diduduki orang-orang berbeda , kasus penghilangan paksa Wiji Thukul dan 12 aktivis HAM lain tak kunjung tuntas. “Di masa walikota mungkin dia punya kedekatan tapi kan dia enggak punya power (kewenangan, red . ). Tapi ketika dia menjadi presiden , kan dia punya power untuk melakukan lebih, walau kita juga pahami bukan hal yang ringan bagi Presiden Jokowi untuk menuntaskan agenda-agenda pelanggaran HAM masa lalu. Ternyata juga di masa kabinet sekarang orang yang dianggap bertanggungjawab malah jadi bagian,” tutur Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, kepada Historia. Jadi buronan pasca-Kudatuli, Wiji Thukul dinyatakan hilang pasca-Tragedi Mei 1998 sebagai korban penghilangan paksa (Foto: Rekam Docs) Kerusuhan Mei 1998 yang berimbas pada kejatuhan Soeharto memang jadi satu tonggak sejarah modern Indonesia yang rumit. Namun Yuda Kurniawan mengisahkannya dalam dokumenter sedemikian rupa hingga penonton usia +17 pun takkan merasa jemu. Alur ceritanya mengalir dengan apik dan menghanyutkan. Pun dengan selipan-selipan footage lawas sebagai penguat visual atas narasi sejarah yangada sehingga mudah dipahami. Lewat puisi-puisi Wiji Thukul yang dimusikalisasi Fajar Merah dkk., semisal “Bunga dan Tembok”, “Sajak Suara”, dan “Apa Guna”, penonton “dimanjakan” dalam mengenal siapa Wiji Thukul. Menurut Yuda, mulanya dokumenternya diberi judul Mencari Wiji Thukul , lantaran terinspirasi film dokumenter Searching for Sugar Man garapan Malik Bendjelloul dan Simon Chinn yang menang Piala Oscar untuk kategori dokumenter terbaik 2012. “Itu kan bercerita tentang musisi juga yang memperjuangkan suara orang-orang bawah. Awalnya saya perlu judul itu untuk woro-woro di sosial media. Tapi kemudian berubah pikiran karena merasa kurang sreg. Akhirnya pakai judul itu ( Nyanyian Akar Rumput ), selain juga untuk melestarikan puisi Wiji Thukul,” ujar Yuda. Yuda mengaku tak punya target muluk untuk Nyanyian Akar Rumput. Sebab, genre dokumenter dengan isu politik dan HAM masih kurang diminati masyarakat walaupundihadirkan se-obyektif mungkin. “Saya enggak terlalu mikir target. Yang penting bagaimana film ini bisa dibawa ke ruang yang lebih luas. Di luar penonton festival atau bioskop-bioskop alternatif. Yang penting juga , bagaimana kita bisa menyuarakan kebenaran dalam film ini,” sambungnya. Fajar Merah (kanan) yang mengekspresikan kerinduan pada ayahnya lewat musik (Foto: Rekam Docs) Sementara, Wahyu punya harapan Nyanyian Akar Rumput tidak hanya sekadar suguhan di balik layar musikalisasi puisi Wiji Thukul yang dibawakan Fajar Merah dan bandMerah Bercerita. Dalam Nyanyian Akar Rumput, kata Wahyu, sarat nutrisi akan pengetahuan.Ratusan juta rakyat Indonesia bisa menikmati kebebasan dengan harga yang tidak murah. “Generasi muda akan melihat dan bercermin. Dia akan bisa mengkontraskan situasi. Bahwa sekarang baca buku bebas, maki-maki pejabat di sosial media sudah bebas, tapi kemudian dia akan tahu fakta-fakta masa lalu yang kontras. Harapannya dia akan punya daya juang. Paling tidak, untuk mempertahankan kebebasan yang sekarang ini yang harganya mahal dan perlu martir,” sambung Wahyu. “Penting untuk anak-anak muda mengenal Wiji Thukul. Kenapa? Karena dia yang membuat kalian bisa buka Youtube , Instagram , bebas kritik, tidak ada pembatasan buku-buku. Kebebasan yang asasi dan dengan melihat dokumenter ini, penting untuk merawat kebebasan itu,” tuturnya menutup obrolan.
- Dua Sikap Kaum Republik
PANGLIMA Komandemen Jawa Barat Jenderal Mayor R. Didi Kartasasmita terhenyak saat seorang anak buahnya membantah pendapatnya secara keras. Letnan Kolonel Eddie Soekardi, Komandan Resimen ke-3 TKR Jawa Barat, menyatakan bahwa perintah agar para anakbuahnya bekerjasama dengan tentara Inggris untuk menangani misi-misi internasional adalah sebuah ketidakmungkinan. “Saya bersama Moefreni (Komandan Resimen Cikampek) dan Omon (Komandan Resimen Bandung), merasa itu sebagai lelucon yang tidak lucu…” kenang Eddie Soekardi. Dibantah secara keras demikian, otomatis Didi menjadi emosi. Kendati ia sendiri tak menyetujui perintah tersebut, namun soal itu adalah kemutlakan bagi dirinya sebagai seorang tentara. “Ini kan urusan politik! Jadilah kamu komandan resimen yang matang!” ujarnya seperti dilukiskan dalam buku Pertempuran Konvoi Sukabumi-Cianjur 1945-1946 karya Yoseph Iskandar, Dedi Kusnadi dan Jajang Suryani. Eddie sendiri mengaku kaget dengan sikap atasannya tersebut. Pada akhirnya, ia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang prajurit yang harus melaksanakan apa yang dikatakan pimpinan. “Saya lalu minta maaf dan berjanji kepada Pak Didi untuk coba memahami perintah itu,” ujarnya. Kebijakan Sjahrir Pada 15 November 1945, kabinet presidentil RI berubah menjadi kabinet parlementer di bawah Sutan Sjahrir sebagai perdana menteri-nya. Naiknya Sjahrir menjadikan pihak Belanda dan Inggris “bernafas agak lega”. Setidaknya, Sjahrir dianggap lebih bebas dari pengaruh Jepang, moderat dan merupakan bagian dari kekuatan sosialisme demokrat dunia, ideologi yang banyak dianut oleh para tokoh dari negara-negara pemenang perang seperti Inggris. “Bahkan diperkirakan oleh Belanda dan Inggris, Sjahrir itu akan mudah diatur,” ujar Eddie Soekardi. Menurut Rudolf Mrazek, secara khusus, Belanda memang lebih “merasa nyaman” dengan Sjahrir dibanding dengan Sukarno-Hatta. Itu terbukti, saat Inggris mendesak Belanda untuk membuka dialog dengan kedua proklamator tersebut, mereka menolak karena merasa tidak ada kompromi dengan “para pemberontak”. “…kabinet Sjahrir adalah kabinet Indonesia demokratis terakhir yang dapat dipikirkan…” ungkap van der Plas seperti dikutip oleh Mrazek dalam bukunya Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia . Lantas bagaimana sikap Sjahrir sendiri? Sjahrir, kata Mrazek, sangat percaya Inggris adalah faktor dominan yang bisa mempengaruhi sikap politik Belanda. Sejak Inggris menguasai Indonesia pada awal abad ke-19 (lalu kemudian diserahkan kembali), sesungguhnya keberadaan Belanda di Indonesia bukan atas dasar kekuatan mereka sendiri. “Akan tetapi atas kebaikan Inggris dengan politik luar negerinya yang sama sekali menjadi andalan Belanda,” ungkap Sjahrir dalam Perdjoeangan Kita . Kesalingpahaman antara Sjahrir, Inggris dan Belanda membawa ketiga pihak ke meja perundingan pada 17 November 1945. Hasil nyata dari perundingan segitiga tersebut adalah Inggris akan membantu penyelesaian sengketa antara Belanda-Indonesia dan sebagai bentuk perwujudan niat baik, pemerintah RI akan membantu semua tujuan-tujuan misi internasional Sekutu di Indonesia. Duabelas hari kemudian, perundingan antara Inggris (diwakili oleh Brigadir Lauder) dan pemerintah Indonesia (diwakili oleh H.Agus Salim) diadakan kembali.Dalam perundingan itu ditetapkan bahwa Surabaya, Semarang, Jakarta, Bogor dan Bandung menjadi wilayah-wilayah kekuasaan militer Inggris. Dalam rangka itu, PM. Sjahrir pun menyetujui Jakarta dijadikan kota diplomasi yang harus bebas dari kaum bersenjata. Otomatis keputusan tersebut menjadikan Resimen Jakarta pimpinan Letnan Kolonel Moefreni Moe’min harus digeser ke Cikampek. Kebijakan PM. Sjahrir disambut secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan di tubuh kaum republik. Jika seluruh kekuatan lasykar dan pemuda radikal menolak mentah-mentah, maka di internal TKR sendiri muncul dua sikap terkait masalah itu. Pertama, kalangan TKR yang menerima sepenuhnya keputusan Sjahrir. Kedua, kalangan TKR yang menerima keputusan Sjahrir dengan catatan: sekali pihak Sekutu tidak melakukan koordinasi dengan TKR maka tak ada cara lain selain harus menghantam kekuatan mereka. Insiden Dawuan Stasiun Cikampek, 21 November 1945. Dua puluh satu gerbong yang ditarik sebuah lokomotif itu bergerak menuju Bandung. Belum jauh dari stasiun, di wilayah Dawuan tiba-tiba kereta api berjalan semakin pelan. Bersamaan dengan itu, beberapa anggota TKR dari Resimen V Cikampek pimpinan Letnan Kolonel Moefreni Moe’min, meloncat ke atas lokomotif. Dalam bahasa Inggris yang fasih mereka memerintahkan kereta api yang memuat kiriman logistik dan amunisi untuk tentara Sekutu di Bandung itu berhenti. “Kami minta surat izin untuk memasuki daerah kami dari pemerintah Republik Indonesia?!” teriak salah satu dari prajurit TKR itu. “ Apa? Kami harus memakai surat izin? Sejak kapan petugas Allied Forces yang ditugaskan ke Indonesia harus memakai izin? Tidak ada, kami tidak usah memakai surat izin!” jawab seorang letnan yang memimpin rombongan Sekutu tersebut. Adu mulut pun kemudian terjadi antara anggota Resimen V Cikampek dengan letnan tentara Inggris itu. Di tengah situasi tersebut, tiba-tiba terdengar rentetan tembakan dari salah satu jendela gerbong. Maka tak ayal lagi, tembakan itu disambut oleh salakan senjata dari ratusan prajurit Batalyon Priyatna. Pertempuran seru pun berlangsung. Mungkin karena kalah jumlah dan ketiadaan pengtetahuan akan medan setempat, peleton tentara Inggris dari kesatuan Gurkha itu pun menyerah setelah sebagian besar serdadunya banyak yang tewas. “Kami hanya menyisakan 4 tawanan dan langsung merampas seluruh isi gerbong-gerbong tersebut,” ujar Letnan Kolonel Moefreni Moe’min dalam Jakarta-Karawang-Bekasi: Dalam Gejolak Revolusi karya Dien Majid dan Darmiati. Penghadangan itu sempat membuat Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin marah besar. Begitu mendengar insiden tersebut dari pihak Sekutu, ia langsung menelepon Moefreni dan memerintahkan pasukan Resimen V Cikampek untuk mengembalikan isi seluruh gerbong yang dirampas dan membebaskan para serdadu yang tertawan. Namun perintah itu ditolak oleh Moefreni. “Kalau kita terlalu mentolelir, lambat laun mereka akan menginjak kita dan kita akan kehilangan wibawa,” demikian alasan Moefreni. Untuk mencegah terjadinya insiden yang sama, selanjutnya pihak Sekutu melibatkan anggota TKR dari Jakarta dalam setiap misi pengiriman logistik via kereta api. Itu terjadi kali pertama pada 11 Desember 1945, saat satu kelompok kadet Akademi Militer Tangerang (AMT) pimpinan Daan Mogot ikut mengawal kereta api yang memuat kiriman logistik untuk para interniran di Bandung. Namun hal tersebut tidak diterapkan Sekutu dalam misi pengiriman logistik yang memakai jalur darat lainnya. Kala pasukan dari TKR Jakarta mengawal misi-misi RAPWI via kereta api ke Bandung, di beberapa kota justru penghadangan-penghadangan tetap dilakukan. Salah satu penghadangan yang paling merepotkan militer Inggris terjadi di rute Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung pada Desember 1945 dan Maret 1946.
- Di Balik Prasasti Kutukan Sriwijaya
Sebagian besar prasasti kutukan yang dikeluarkan penguasa Sriwijaya ditempatkan di daerah strategis dari sisi ekonomi. Tujuannya untuk mengikat masyarakat agar tak memberontak dan patuh terhadap perintah raja. Beberapa prasasti kutukan yang ditemukan di Palembang yaitu Prasasti Bom Baru, dan Prasasti Telaga Batu. Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka dan Prasasti Karang Berahi ditemukan di Jambi. Sedangkan Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Jabung ditemukan di Lampung. Menurut Sondang M. Siregar, peneliti Balai Arkeologi Sumatra Selatan, dalam “Prasasti-Prasasti Kutukan dari Masa Sriwijaya”, termuat di Menggores Aksara, Mengurai Kata, Menafsir Makna, kata “kutuk” dan “semoga” (berkat) sering tertulis di prasasti-prasasti itu. Kutukan ini merupakan pesan penting dari pembuat prasasti kepada masyarakat di lokasi prasasti ditempatkan. “Mungkin di daerah itu terdapat permasalahan sehingga prasasti kutukan harus dibuat,” tulis Sondang. “Banyaknya prasasti Sriwijaya yang berisikan kutukan dan diletakkan di berbagai tempat mengindikasikan adanya masalah pada masa Sriwijaya.” Palembang, contohnya, pada mulanya menjadi lokasi transit kapal-kapal dari dalam dan luar negeri karena letaknya strategis. Ia menjadi persinggahan kapal-kapal yang masuk dari Selat Bangka menuju perairan Sungai Musi. Selanjutnya, Palembang menjadi daerah perdagangan, pusat kesenian, dan agama. Prasasti Telaga Batu menyebutkan para pejabat di Kerajaan Sriwijaya. “Ini mengindikasikan pusat pemerintahan Sriwijaya pernah berada di sekitar Prasasti Telaga Batu,” tulis Sondang. Filolog asal Belanda, J.G. de Casparis, menulis dalam Prasasti Indonesia bahwa orang-orang yang disebut pada prasasti itu adalah mereka yang dikategorikan berbahaya. Mereka dianggap berpotensi melawan Kedatuan Sriwijaya. Karenanya mereka perlu disumpah. Sejarawan Jerman, Hermann Kulke, dalam “Kadatuan Srivijaya-Imperium atau Keraton Sriwijaya?” yang termuat di Kedatuan Sriwijaya, menjelaskan sebagaimana tertulis dalam prasasti, orang-orang berbahaya di kedatuan ini bukan saja para pangeran dan komandan tentara yang dapat menggalang pemberontakan ketika mereka jauh dari pusat. Tetapi juga sejumlah abdi rendahan yang mudah menjangkau raja, seperti juru tulis, tukang cuci, budak, pelaut, dan pedagang, bisa sangat berbahaya. “Maksud Prasasti Sabokingking adalah memberikan ancaman sebesar-besarnya kepada semua lawan, dan bukan melegitimasi klaim Sriwijaya untuk memerintah mereka,” tulis Kulke. Prasasti Sabokingking adalah nama lain dari Prasasti Telaga Batu. Prasasti kutukan juga ditemukan di Boombaru, daerah yang dekat dengan Sungai Musi. Menurut Sondang, prasasti kutukan diletakkan di sana agar penguasa bisa mengontrol dan mengawasi aktivitas perdagangan dari daratan menuju sungai atau sebaliknya. “Mengawasi masyarakat yang berkhianat atau pemberontak yang hendak masuk ke Sriwijaya melalui Sungai Musi,” tulis Sondang. Prasasti Kota Kapur ditempatkan di daerah paling strategis, Pulau Bangka. Lokasi itu berada di jalur pelayaran internasional. Pulau Bangka menjadi lokasi transit kapal-kapal lokal maupun luar negeri. “Kapal-kapal yang datang dan pulang pasti melalui Selat Bangka,” tulis Sondang. Prasasti Kota Kapur juga menunjukkan bahwa lokasi itu pernah diduduki oleh Kerajaan Sriwijaya dengan tujuan mengawasi atau mengontrol kegiatan perdagangan di pantai timur Sumatra. Prasasti Karang Berahi, prasasti kutukan di Jambi. (Dok. Kemendikbud). Situs Karang Berahi berada di tepian Sungai Merangin, Jambi. Sungai ini dapat dilayari kapal untuk mengangkut hasil bumi dari wilayah sekitarnya, seperti rotan, manau, getah, damar, jenang, dan damar. Situs itu berdekatan dengan situs Buddhis, yaitu Tingkip dan Bingin Jungut. Menurut Sondang, sungai yang mengalir di ketiga lokasi ini mengandung bijih-bijih emas. “Penguasa Sriwijaya menempatkan prasasti kutukan di Desa Karangberahi untuk mengawasi perdagangan di Perairan Sungai Musi dan Batanghari,” tulis Sondang. Kemudian Prasasti Palas Pasemah dan Jabung di daerah Lampung. Tempat ditemukannya prasasti itu berada di aliran Sungai Sekampung. Keduanya merupakan kecamatan yang berdekatan. Palas Pasemah ada di sisi selatan Jabung. Keduanya adalah daerah subur dan punya hasil perkebunan. “Keberadaan prasasti kutukan di dua daerah ini menunjukkan bahwa daerah ini potensial,” tulis Sondang. Penguasaan dua daerah ini diperkirakan untuk mengawasi atau mengontrol kegiatan perdagangan di bagian selatan Pulau Sumatra. Pun untuk mengawasi jalur perdagangan di Selat Sunda. Arkeolog Universitas Indonesia, Ninie Susanti, menjelaskan, untuk menancapkan hegemoninya, Sriwijaya mengeluarkan enam prasasti kutukan. Isinya adalah ancaman bagi mereka yang berani melawan raja. Kekuatan Sriwijaya terlihat dari mandala-mandala yang mengakui kedaulatannya, yaitu Kota Kapur, Jambi, Lampung, dan Baturaja. Mandala-mandala yang mengakui kedaulatan Sriwijaya itu bersatu karena memiliki kepentingan yang sama. “Kepentingan utamanya, yaitu berdagang, menjadi konsensus bersama di antara masyarakat sipil yang ada di wilayah Kedatuan Sriwijaya,” kata Ninie. Menurut Ninie, tokoh intelektual pembentukan pemerintahan maritim adalah para datu (pemimpin mandala, red .) yang mempunyai kepentingan bersama dengan Sriwijaya. Ini yang kemudian muncul dalam Prasasti Karang Berahi, Kota Kapur 1 dan 2, Baturaja, Palas Pasemah, dan Bom Baru. Kalimat kutukan atau sapatha, menurut arkeolog Universitas Gadjah Mada, Tjahjono Prasodjo, merupakan cara agar semua orang patuh pada keputusan penguasa. Sanksi yang dipilih ini lebih bersifat sakral kedewaan, bukannya sanksi atau denda sebagaimana masa sekarang. “Saya kira pada zamannya, ketika orang sangat percaya dengan kekuatan kutukan, itu adalah cara yang paling efektif untuk mengamankan dan melindungi kelangsungan sebuah penetapan atau piagam,” ujar Tjahjono. Menurut Danang Indra Prayudha dalam “Pengertian Pranantika dalam Sapatha : Tinjauan Prasasti Tuhanaru”, temuat di Menggores Aksara, Mengurai Kata, Menafsir Makna, bentuk-bentuk hukuman atau malapetaka dalam sapatha secara psikologis akan menimbulkan rasa takut atau kengerian bagi masyarakat. Dampak rasa takut yang muncul itulah yang digunakan agar masyarakat menghindari perbuatan yang dilarang. Sebagaimana pula yang dicatat dalam Prasasti Telaga Batu atau Sabokingking: "Kedamaian abadi akan menjadi buah yang dihasilkan kutukan ini."
- Agen CIA yang Menuduh Sukarno Bernegosiasi dengan Belanda
PADA 2001, bertepatan dengan peringatan 100 tahun kelahiran Sukarno, terbit buku Soekarno, Biografi 1901-1950 karya politisi dan penulis Belanda, Lambert Giebels. Buku ini dianggap telah menyudutkan Sukarno. Pada halaman 398, Giebels mengutip informasi dari Bob Koke, perwira intelijen OSS (Office of Strategic Services), cikal bakal CIA, bahwa Sukarno bersedia memulihkan kedudukan gubernur jenderal Belanda asal dia diangkat menjadi perdana menteri. Percakapan ini konon terjadi setelah November 1945 setelah "Sukarno mungkin sekali kehilangan tempat berpijak".
- Enam Prasasti Kutukan Sriwijaya
Untuk mempertahankan hegemoninya, Sriwijaya, sejauh yang sudah ditemukan, mengeluarkan enam prasasti kutukan. Isinya adalah ancaman bagi mereka yang berani melawan penguasa. "Prasasti-prasasti yang berisi kutukan adalah salah satu cara Sriwijaya untuk menancapkan hegemoninya. Ini sebagai bukti bagaimana ia (Sriwijaya, red.) diakui," ujar Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia. Prasasti kutukan dari masa Sriwijaya yang ditemukan di Palembang, yaitu Prasasti Bom Baru, dan Prasasti Telaga Batu. Prasasti Baturaja ditemukan di Baturaja. Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka. Prasasti Karang Berahi ditemukan di Jambi. Sementara Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Jabung ditemukan di Lampung. Dari enam buah prasasti, lima buah di antaranya dalam keadaan utuh. Sementara yang paling lengkap isi persumpahannya hanya Prasasti Telaga Batu. Prasasti Telaga Batu (Sabokingking) berasal dari abad ke-7, berbahasa Melayu Kuno, dan ditulis dengan aksara Pallawa. Pada bagian atasnya terdapat hiasan tujuh ekor kepala ular kobra. Pada bagian bawah tengah terdapat semacam cerat tempat mengalirnya air. Mereka yang diancam dengan kutukan adalah pengkhianat dan yang berhubungan dengan pengkhianat, mata-mata para datu yang berkuasa di mandala-mandala Sriwijaya, berkomplot dengan musuh atau berkomplot untuk menentang Sang Datu Sriwijaya, serta tak patuh pada Kedatuan Sriwijaya. Bukan cuma pengkhianat yang akan dihukum. Anak-anaknya, istri, anak cucu, kerabat, dan teman-temannya juga terancam. Peringatan ini ditujukan pula kepada para putra raja Sriwijaya ( rajaputra ), menteri ( kumaramatya ), bupati ( bhupati ), panglima ( senapati ), pembesar atau tokoh lokal terkemuka ( nayaka ), bangsawan ( pratyaya ), raja bawahan ( haji pratyaya ), hakim ( dandanayaka ), ketua pekerja atau buruh ( tuha an vatak = vuruh ), pengawas pekerja rendah ( addhyaksi nijavarna ), ahli senjata ( vasikarana ), tentara ( catabhata ), pejabat pengelola ( adhikarana ), karyawan toko ( kayastha ), pengrajin ( sthapaka ), kapten kapal ( puhavam ), peniaga ( vaniyaga ), hingga pelayan raja ( marsi haji ), dan budak raja ( hulun haji ), bahkan tukang cuci sekalipun. "Apabila kalian tak setia kepadaku, kalian akan mati oleh kutukan ini," demikan ancaman dalam prasasti itu. Sejarawan Jerman, Herman Kulke, dalam “Kedatuan Srivijaya-Imperium atau Keraton Sriwijaya?” yang termuat di Kedatuan Sriwijaya, menjelaskan sebagaimana dalam prasasti orang-orang berbahaya di kedatuan itu bukan saja para pangeran dan komandan yang dapat menggalang pemberontakan ketika mereka jauh dari pusat. Tapi juga sejumlah abdi rendahan yang mudah menjangkau raja, seperti juru tulis, tukang cuci, budak, pelaut, dan pedagang, bisa sangat berbahaya. "Engkau akan mati oleh kutukan ini yang terminum olehmu. Aku akan memberi perintah untuk menghukum dirimu," demikian kutukan itu kepada mereka. Ancaman juga ditujukan kepada mereka yang berani merayu dan membujuk selir-selir raja Sriwijaya dengan tujuan mengetahui keadaan di dalam istana. Juga kepada dukun yang tahu bagaimana caranya membuat orang jadi sakit hati. Lalu mereka yang memanfaatkan hal-hal berbau magis, menyebabkan pikiran orang lain menjadi gila, dengan cara menggunakan berbagai benda, abu, obat-obatan atau mantera, tanpa mengindahkan perintah. Mereka termasuk yang tak patuh pada Sriwijaya akan mati karena kutukan ini. "Kedamaian abadi akan menjadi buah yang dihasilkan kutukan ini," catat prasasti itu. Prasasti kutukan lainnya adalah Prasasti Kota Kapur. Menurut Sondang M. Siregar, peneliti Balai Arkeologi Sumatra Selatan, dalam "Prasasti-Prasasti Kutukan dari Masa Sriwijaya", termuat di Menggores Aksara, Mengurai Kata, Menafsir Makna, prasasti itu salah satu dari lima prasasti kutukan yang dibuat Dapunta Hyang, penguasa dari Kadatuan Sriwijaya. Prasasti ini ditulis pada 686 dan ditemukan 12 abad kemudian di pesisir barat Pulau Bangka. Di dalamnya disebutkan nama Kadatuan Sriwijaya. Ancaman ditujukan kepada daerah-daerah di pedalaman yang memberontak dan bersekongkol dengan pemberontak, berbicara dengan pemberontak, mengenal pemberontak, dan mendengarkan kata pemberontak. Pun mereka yang mengganggu ketenteraman jiwa, membuat orang sakit, dan membuat orang gila. Mereka yang menggunakan mantra, racun, racun upas, tuba, dan ganja untuk tujuan itu. "Yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini mati juga kena kutuk," seru prasasti itu. Prasasti Palas Pasemah yang ditemukan di Lampung Selatan mungkin berasal dari akhir abad ke-7. Isinya tak jauh beda. Di dalamnya disebutkan ancaman kepada para pemberontak dan mereka yang tak setia kepada pemerintah. "… yang memberontak, berkomplot dengan pemberontak, bicara dengan pemberontak, tahu pemberontak, tak setia kepadaku, akan terbunuh oleh kutukan…," seru prasasti itu. Prasasti Karang Berahi yang ditemukan di Kabupaten Merangin, Jambi, memiliki kesamaan dengan Prasasti Kota Kapur, kecuali pada bagian akhirnya. "Jika orang takluk setia kepadaku, dan kepada mereka yang oleh saya diangkat menjadi datu , maka semoga usaha mereka diberkahi juga marga mereka dan keluarganya berhasil kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari bencana, kelimpahan segala untuk semua negeri mereka," kata prasasti itu pada bagian akhirnya. Prasasti Bom Baru yang ditemukan di tepian Sungai Musi diperkirakan berasal dari abad ke-7. Isinya tak beda jauh. Prasasti ini mengancam para pemberontak dan warga yang tak setia pada Sriwijaya. Juga kepada mereka yang menyebabkan orang hilang ingatan, sakit, gila, dan mengguna-guna supaya tunduk pada kemauannya. Mereka inilah rakyat yang durhaka yang akan dibunuh oleh sumpah. "…dikatakan durhaka…apabila tak berbakti dan tunduk…dibunuh oleh sumpah dan disuruh supaya hancur oleh…," kata prasasti itu. "Tapi bila berbakti dan tunduk kepadaku, ia akan menemukan perbuatannya kembali, sentosa selamat dengan sanak keluarganya." Tak semua prasasti kutukan memiliki struktur kalimat yang lengkap karena tulisan sudah sangat aus dan tak terbaca. Sebagaimana Prasasti Jabung. "Keadaannya sudah aus sehingga tidak dapat terbaca dengan lengkap," jelas Sondang. Sementara Prasasti Baturaja yang ditemukan pada September 2018 hanya tersisa patahan bagian atasnya. Ia juga memuat kutukan bagi pengkhianat dan pemberontak. Penemuan Prasasti Baturaja ini pun menambah jumlah temuan prasasti dari masa Sriwijaya di wilayah Sumatra Selatan. Berdasarkan paleografinya prasasti itu sama dengan aksara yang digunakan dalam penulisan Prasasti Talang Tuwo (684). Ia ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno. Sondang menjelaskan, kutukan ini merupakan pesan penting yang disampaikan si pembuat prasasti kepada masyarakat di lokasi prasasti itu ditempatkan. "Mungkin di daerah itu terdapat permasalahan sehingga prasasti kutukan harus dibuat," kata Sondang. "Banyaknya prasasti Sriwijaya yang berisikan kutukan dan diletakkan di berbagai tempat mengindikasikan adanya masalah pada masa Sriwijaya." Sementara kalau menurut arkeolog Puslitarkenas, Bambang Budi Utomo Prasasti persumpahan Karang Berahi, Kota Kapur, Palas Pasemah, dan Jabung ditempatkan untuk mengantisipasi supaya masyarakat yang sudah ditaklukkan Sriwijaya tidak memberontak. "Bukan karena ada masalah baru dibuat prasasti, tetapi ditaklukan dulu baru dibuatkan prasasti," jelasnya. "Kala itu sumpah sangat populer dan dipercaya betul."






















