top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Pemikiran Soendari Darmobroto dalam Pendidikan dan Perkawinan

    Dalam pidatonya di Kongres Perempuan Indonesia pertama, 22 Desember 1928, Siti Soendari Darmobroto dengan tegas menentang permaduan. Soendari mengeluhkan sikap lelaki yang suka memperlihatkan kekuasaannya. Baginya, sangat tidak pantas bila seorang lelaki memamerkan kegagahan dan kekuasaannya lewat poligami sewenang-wenang. Sebaliknya, dia menganjurkan agar lelaki dan perempuan bekerjasama untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan dan menyediakan ruang untuk perempuan meraih pendidikan serta menyuarakan nasib. “Sudah lama kaum laki-laki menjadi raja dalam pergaulan hidup dan terkadang juga dalam rumah tangga kita,” kata Soendari dalam pidatonya, dikutip Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang . “Kalau Indonesia ingin maju dan harum, haruslah kita semua berada dalam persamaan dengan kaum laki-laki,” sambungnya. Soendari menyebut bahwa persamaan pertama kali harus dibereskan dalam kehidupan rumahtangga. Lelaki dan perempuan seharusnya bisa salilng menghargai dan berjalan beriringan, bukan berebut siapa yang lebih berkuasa. Komentar Soendari soal kehidupan rumahtangga yang adil menjadi krusial. Tanpa keadilan dalam rumahtangga, perempuan tidak bisa aktif dalam masyarakat. Mereka juga tidak bisa bebas menempuh pendidikan bila orang tua mereka tidak memberi kesempatan sama untuk belajar, tidak bisa aktif berjuang bila suami menjadikan mereka sebatas konco wingking . “Lelaki juga harus membiasakan diri bahwa perempuan sudah semakin cerdas dan maju,” kata Soendari dalam pidatonya. Soendari bukan orang baru dalam perjuangan perempuan. Ia merupakan anak dari Wirio Darmobroto, bangsawan Ponorogo yang bekerja sebagai kepala sekolah. Soendari sendiri juga membuka sekolah di Pacitan, Jawa Timur. Namanya sering tertukar dengan Soendari istri Moh. Yamin, pahlawan nasional atau adik dr. Soetomo pendiri Boedi Oetomo. Siti Soendari Darmobroto. (Harry A Poeze/ Di Negeri Penjajah ). Soendari Darmobroto merupakan pendiri terbitan berbahasa Jawa WanitoSworo, yang dia dirikan pada 1913. Sebagai pemimpin redaksi, Soendari kerap menuangkan pemikirannya tentang praktik permaduan. “Penderitaan yang diakibatkan oleh praktik poligami sebenarnya jauh lebih parah dari yang kita bayangkan. Cinta tidak akan bisa dibagi sama rata dan sama rasa,” tulis Soendari seperti dikutip Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia. Selain soal kedudukan perempuan dalam perkawinan, Soendari juga amat peduli pada isu pendidikan perempuan. Pandangan tersebut ia tuangkan dalam tulisannya di Wanito Sworo . Pendidikan harus diutamakan bagi seluruh perempuan, kaya ataupun miskin. Soendari amat mengagumi kemampuan hidup mandiri perempuan desa. Para istri dari buruh adalah kelompok yang paling ingin mempelajari beberapa keterampilan seperti baca-tulis, menjahit, dan memasak. Harry A Poeze dalam Di Negeri Penjajah mengisahkan, Soendari Darmobroto hadir menyuarakan pendidikan bagi para gadis pribumi di Kongres Pengajaran Kolonial Pertama di Den Haag, Agustus 1916. Kala itu ia sedang berada di Belanda, menghadiri pelatihan guru sejak 1915. Dari keterangan Van Deventer, ketika menjalani pelatihan guru, Soendari merupakan janda beranak satu dan anaknya dititipkan di Jawa. Dalam pertemuan itu Soendari mengatakan pentingnya pendidikan perempuan. Kala itu dia hanya mampu bicara tentang perempuan Jawa karena ia bergelut dalam pendidikan perempuan Jawa. Menurutnya, ibu sebagai guru pertama bagi anak-anaknya haruslah berpendidikan. Maka dari itu, anak perempuan harus menerima pendidikan sama seperti anak lelaki, mengikutsertakan materi matematika, membaca, menulis, dan kemampuan untuk bertahan hidup seperti menjahit, memasak, dan membatik. Selain diajari bahasa Jawa, para gadis juga harus diajari bahasa Belanda. Soendari pun berpendapat pendidikan untuk perempuan kelas bawah lebih penting mengedepankan pada praktik lantaran akan lebih berguna untuk kehidupan mereka. Pendidikan baca-tulis-hitung harus dibarengi dengan keterampilan membuat batik dan membuat kue. Pengetahuan semacam ini bisa menjadi modal para gadis kampung untuk membuka warung, misalnya. Dengan begitu, mereka akan mandiri secara ekonomi. Seperti pembicara lainnya, Soendari juga berpikir pentingnya asrama untuk para perempuan yang mengenyam pendidikan lanjut.Namun,alasanyang dikemukakannya berbeda darialasan pembicara Belanda.  Soendari berpikir asrama akan membantu para siswa untuk lebih memahami budayanya sendiri dan tidak kehilangan identitasnya ketika mengenyam pendidikan Barat. Sementara orang Belanda berpikir bahwa asrama akan memudahkan siswa untuk terbiasa dengan kebiasaan dan gaya hidup Eropa. Pidato Soend a ri dalam pertemuan di Den Haag itu ia tutup de n gan pernyataan, semangat dari RA Kartini mengiringi usaha kaum perempuan dan menyatukan mereka. Lebih jauh, pendidikan perempuan adalah kunci untuk mengubah kondisi sosial masyarakat Jawa. “ Pada akhirnya, saya tahu, tidak ada alat yang paling efektif untuk menghapus adat usang, kecuali pendidikan,” kata Soendari seperti dikutip Susan Blackburn dalam Women and The State In Modern Indonesia .

  • Hikayat Kopi di Tanah Jawa

    TAHUN 1656, Belanda berhasil mengusir orang-orang Portugis dari Ceylon (Srilanka). Di wilayah tersebut, mereka menemukan hektaran kebun kopi yang  terbengkalai. Rupanya lahan itu milik orang-orang Arab yang ditinggalkan ketika Ceylon diduduki Portugis. Mengetahui potensi ekonomis-nya di pasaran dunia saat itu, VOC (Maskapai Perdagangan Hindia Timur) lantas menyewa seorang pakar botani bernama Carolus Linnaeus. Lewat proses penelitian bertahun-tahun, Linnaeus  berhasil menemukan teknik pembudidayaan tanaman kopi. “Linnaeus lantas menamakan tanaman kopi hasil budidaya-nya itu dengan Arabica,”tulis Gabriella Teggia dan Mark Hanusz dalam A Cup of Java . Menurut pakar sejarah kopi Prawoto Indarto, istilah “Arabica” mengacu kepada orang-orang Arab yang kali pertama mengelola tanaman kopi itu di Ceylon. Bahkan ada anggapan di kalangan orang-orang Belanda bahwa tanaman kopi berasal dari tanah Arabia. “Kalau memakai terjemahan bebas, Arabica itu kurang lebih berarti ‘tanamanya orang-orang Arab’,” ujar Prawoto. Berdasarkan hasil risetnya, Linnaeus yakin bahwa tanaman kopi Arabica dapat berkembang secara maksimal di wilayah beriklim sub-tropis dengan hawa pegunungan yang sejuk. Pendapat sang pakar itu menjadikan salah seorang anggota De Heeren Zeventien (Tuan Tujuh Belas, para pemegang saham VOC) yang juga menjabat sebagai walikota Amsterdam Nicholas Witsen pada 1696 memerintahkan Andrian van Ommen (Komandan Angkatan Perang VOC di Pantai Malabar,India) untuk mengirimkan benih kopi Arabica ke Batavia. Sesampai di Batavia, benih kopi Arabica lantas ditanam di Kedawung (tanah milik Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn (1691—1704).  Namun karena seringnya banjir melanda desa di wilayah yang sekarang terletak di Tangerang Selatan itu, maka uji tanam tersebut mengalami kegagalan. Pada 1699, seorang pejabat VOC bernama Hendricus Zwaardecroon kembali mencoba peruntungan dengan menanam benih Arabica di wilayah bantaran Sungai Ciliwung seperti Bifara Cina (Bidaracina), Kampung Melayu, Meester Cornelis (Jatinegara) dan wilayah-wilayah lain seperti Sukabumi dan Sudimara (Tangerang Selatan). “Percobaan kedua itu ternyata sukses,” ungkap Teggia dan Hanusz. Hasil tanaman kopi yang ditanam oleh Zwaardecroon itu lantas dibawa ke Balai Penelitian Botani Amsterdam pada 1706. Berdasarkan riset di sana kualitas kopi dari Jawa itu mutunya ternyata sangat baik. Setahun kemudian, benih Arabica dari Jawa tersebut diperbanyak lewat biji lalu disebar ke kebun-kebun botani di Eropa, termasuk kebun milik Raja Lois XIV. Akhir 1707, Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (1704—1709) memberitahukan kepada De Heeren Zeventien bahwa dia telah membagikan tanaman kopi Arabica kepada beberapa bupati di sepanjang pantai Batavia sampai Cirebon. “Dia membagikan itu hanya sekadar untuk kesenangan semata,” tulis Jan  Breman dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720—1870. Namun beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa tanaman kopi Arabica sama sekali tidak cocok ditanam pada dataran rendah. Maka dicobalah generasi awal kopi Arabica dari Jawa itu ditanam di wilayah-wilayah pegunungan yang tanahnya kaya unsur vulkanik seperti Cianjur dan Kampung Baru (Bogor). Pada 1711, Cianjur memanen hasil tanaman kopi Arabica yang pertama. Desebutkan oleh Breaman, saat itu Bupati Cianjur Raden Aria Wiratanu III berhasil menyetor hampir 100 pikul kepada VOC. Harga yang dia peroleh adalah 50 gulden perpikul ( 1 pikul=125 pon). “Cukup lumayan, meskipun sangat sedikit dibandingkan dengan harga yang tercatat di pasaran Belanda,” ujar Breman. Kendati demikian, kiriman kopi dari Cianjur berhasil memecahkan harga lelang tertinggi di Balai Lelang Amsterdam. Biji-biji hitam asal Jawa itu dianggap mutunya lebih baik dibanding barang sejenis yang berasal dari Mocha, Yaman. Menurut Prawoto, keberhasilan itu membuka peluang bagi Belanda untuk tampil sebagai pemain utama dalam bisnis kopi yang tengah menggila saat itu di Eropa. Maka berduyun-duyunlah para pebisnis Belanda mengembangkan tanaman kopi Arabica di wilayah Cianjur dan sekitarnya. “Di tahun 1723, terdapat lebih dari satu juta pohon kopi Arabica tumbuh di Kabupaten Cianjur,” tulis Mudrig Yahmadi dalam Sejarah Kopi Arabica di Indonesia. Tiga tahun kemudian, Belanda semakin berjaya sebagai pengekspor kopi terbesar di dunia. Produk mereka dikenal oleh mancanegara sebagai Java Coffee (Kopi Jawa) yang sejatinya berasal dari tanah Cianjur di Priangan Barat.

  • Lament dan Sejarah Lisan Orang Melanesia

    Planet Bumi baru saja diterjang tsunami. Ketika air telah surut, di sebuah bibir pantai, seorang laki-laki berhasil bertahan hidup karena sebuah noken. Sementara itu, sebuah telur putih yang ukurannya sedikit lebih besar dari semangka juga berhasil selamat dari bencana. Untuk melanjutkan kehidupan yang baru saja porak-poranda, si laki-laki itu harus menetaskan telur itu. Namun ternyata, tsunami tak hanya menyisakan mereka. Sampah-sampah plastik yang tak bisa terurai bermutasi menjadi monster-monster yang kelaparan. Sedangkan satu-satunya sumber pangan dan energi adalah telur putih besar itu. Maka terjadilah perebutan sumber daya antara manusia dan monster-monster. Di sisi lain, rombongan manusia tengah bermigrasi mencari tempat hidup yang baru. Perjalanan panjang dilakukan sambil menyanyikan lament  (lagu ratapan) yang mengisahkan sejarah manusia bertahan hidup ( survival ) dalam mencari pangan dan energi. Kisah di atas merupakan skenario Planet-Sebuah Lament, sebuah pertunjukan yang menggabungkan teater, film, tarian, dan nyanyian yang menarasikan sebuah folklore  dalam kebudayaan Melanesia. Karya ini disutradarai oleh Garin Nugroho dan naskahnya ditulis oleh sutradara teater dan opera dari Melbourne, Michael Kantor. Laki-laki yang selamat dari tsunami menemukan sebuah telur. Diperankan oleh Boogie Papeda. (Fernando Randy/Historia). Menyanyikan Sejarah Lisan Kisah Planet-Sebuah Lament ini dinarasikan oleh Septina Layan, seorang penyanyi lament asal Merauke , dan paduan suara Mazmur Chorale dari Kupang. Melalui lagu-lagu lament Melanesia, mereka menceritakan kisah kehidupan, trauma, doa, keselamatan dan harapan untuk masa depan bumi. Septina Layan, yang telah bertahun-tahun melakukan riset mengenai lagu lament menyebut bahwa lament merupakan sebuah upaya menjaga ingatan tentang suatu kejadian melalui nyanyian. "Jadi lament itu sebenarnya sastra yang dinyanyikan. Sebenarnya juga berkaitan dengan tradisi lisan. Tradisi lisan bagaimana menceritakan sejarah kehidupan menggunakan nyanyian," kata Septina kepada historia.id. Lament , yang bila diterjemahkan menjadi "ratapan", telah berkembang di banyak kebudayaan dunia seperti Mesopotamia, Yunani, hingga Skotlandia. Dalam kebudayaan bangsa Melanesia yang tersebar dari Maluku, Papua hingga Kepulauan Hawaii, lament dapat ditelusuri sejak tradisi pengayauan (perburuan kepala manusia) eksis. "Yang saya kumpulkan hampir semua lagu itu sebenarnya mulai dari (zaman) pengayauan sudah ada," terang Septina. Lament diciptakan orang-orang Melanesia ketika sedang berduka, seperti ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia maupun kejadian-kejadian yang memilukan. "Yang lain berkisah tentang hal-hal yang menyentuh perasaan. Melihat bencana, melihat dinamika kehidupan yang dia merasa bahwa itu tidak seharusnya seperti itu. Akhirnya ungkapan-ungkapan itu untuk menguatkan kembali. Nyanyian itu justru memberikan kekuatan," ungkanya. Paduan suara dari Kupang, Mazmur Chorale, menyanyi dan berakting. (Fernando Randy/Historia). Karena berasal dari tradisi lisan, lagu lament selama ini hanya dihidupi oleh mama-mama Papua. Ketika berkebun maupun pergi ke hutan, mama-mama Papua sering menyanyikan lament . Sebagaimana khas nyanyian Papua, lament hanya memiliki empat dan lima nada (tetratonis dan pentatonis). Lament juga sarat akan pengulangan atau repetisi, gaya resitatif, dan pengulangan beberapa nada di akhir kalimat lagu. Septina sendiri mengenal lament sejak kecil karena ia lahir dari keluarga yang menghidupi lament. Ayahnya, seorang pembantu pastor membuatnya dekat dengan lament, paduan suara, dan bermusik. Septina pun kemudian terpanggil menekuni nyanyian-nyanyian tradisi bangsa Melanesia itu. "Saya baru mengumpukan di wilayah selatan Papua. Kebetulan itu sebenarnya kerinduan saya karena nyanyian-nyanyian tradisi itu lebih banyak diminati oleh orang tua dan jarang dinyanyikan oleh anak-anak karena kesulitan bahasa," sebutnya. Septina kini telah menghimpun 30 lagu, menotasikan, dan menuliskan liriknya berdasar memori orang-orang yang sudah tua. Ia kemudian membukukan kumpulan lagu tersebut dan membagikannya kepada anak-anak. Ia juga melatih mereka menyanyikannya. Septina juga menciptakan sendiri lagu-lagu lament dengan tema-tema yang berkaitan dengan masalah lingkungan di Papua seperti tergusurnya hutan sagu hingga kehidupan burung cendrawasih. Monster-monster yang diperankan oleh Galabby, Douglas D’Krumpers, Bekham Dwaa, dan Pricillia E.M. Rumbiak. (Fernando Randy/Historia). Ruang Ekspresi Indonesia Timur Garin Nugroho, sutradara Planet-Sebuah Lamen menyebut pementasan ini merupakan upaya untuk membicarakan dan menyediakan ruang ekspresi bagi budaya Melanesia yang selama ini jarang tersentuh. Garin sudah tertarik dengan lament sejak tahun 2012. Dia menyebut  lament  hidup di sudut-sudut Nusantara purba dan menjadi ratapan sejarah purba dunia, baik ratapan hilangnya kota-kota maupun rusaknya peradaban sebab perang atau bencana. Sejak 1985, Garin juga telah melakukan perjalanan ke daerah timur Indonesia dan mendengarkan lament ­ di desa-desa. Selain itu, pengalaman mendengar lament dalam perayaan paskah di Pulau Procida, Italia hingga Larantuka, Nusa Tenggara Timur juga menginspirasinya. "Saya melakukan perjalanan panjang sejak 1985 di NTT, khususnya Flores. Kalau anda baca dalam tradisi musikologi, (mereka) memiliki kekayaan luar biasa pada vokal. Dan saya banyak sekali jalan di Papua. Bahasa tubuh Papua kalau anda lihat tadi luar biasa sekali. Vocabulary -nya hampir kita tidak punya," ujar Garin. Burung yang menetaskan telur menjadi hutan kecil. Diperankan oleh Rianto. (Fernando Randy/Historia). Garin kemudian melakukan riset tentang lament hingga tanpa sengaja bertemu Septina Layan di Papua. Ia juga kemudian bertemu paduan suara Mazmur Chorale dari Kupang serta penari-penari Papua. "Oleh karena itu, ini menjadi sebuah kumpulan dari mereka yang kemudian memang membawa suara Melanesia," terang Garin. Garin menambahkan, merayakan Melanesia tidak hanya dengan menyebut-nyebut eksistensinya, melainkan juga dengan memberi dukungan kepada bakat-bakat luar biasa orang Melanesia. Planet-Sebuah Lament telah digelar di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, 18-19 Januari 2020 dan akan membuka perhelatan Asia-Pacific Triennial of Performing Arts (Asia-TOPA) Februari mendatang di Melbourne, Australia. Pertunjukan ini juga dijadwalkan tampil di Dusseldorf, Jerman, dan Amsterdam, Belanda.

  • Misteri Kematian Frida Kahlo

    PERTUNJUKAN teater bertajuk Frida: Stroke of Passion oleh kelompok teater Macha yang bakal dihelat di Gedung Teater Casa 0101, Los Angeles pada 7 Februari 2020 mendatang memancing perhatian banyak pihak. Pertunjukan yang digarap sutradara pemenang Eddon Awards, Odalys Nanin, itu akan menyajikan detik-detik terakhir kehidupan pelukis legendaris asal Meksiko Frida Kahlo yang tak banyak diketahui publik.  Publik selama ini hanya mengetahui penyebab kematian Frida dari hasil resmi yang dirilis otoritas medis, bahwa Frida tewas karena pneumonia embolism (emboli paru) atau penyumbatan arteri di paru-paru. Pihak yang tak meyakini versi tersebut, termasuk Nanin, meyakini Frida meninggal pada 13 Juli 1954 karena bunuh diri. Keyakinan itu berangkat dari penafsiran atas kata-kata terakhir Frida di diary -nya: “ Espero Alegre la salida – y Espero no Volver jamás ”, yang artinya Aku begitu antusias menantikan jalan keluar – dan aku berharap takkan pernah kembali. Melalui Frida: Stroke of Passion , Nanin akan mengungkapkan hal baru. “Pertunjukan ini akan mengungkapkan pekan terakhir dalam hidup Frida Kahlo dan selubung misteri tentang siapa atau apa yang membunuhnya. Saya ingin menunjukkan babak-babak tentang fisik, emosi dan mental pikirannya selama sepekan sebelum kematiannya. Saya mengeksplorasi rasa sakitnya, rasa takut, cinta tapi yang terpenting adalah misteri kematiannya,” ujar Nanin, dikutip The Pride LA , 3 Januari 2020. Calon Dokter jadi Pelukis Lukisan hidup Frida memang penuh liku, sarat petualangan, cinta, dan skandal. Frida lahir pada 6 Juli 1907 di Coyoacán, Meksiko dengan nama lahir Magdalena Carmen Frida Kahlo y Calderón. Ia anak pertama dari rahim Matilde Calderón y González, perempuan berdarah Mestizo yang merupakan istri kedua fotografer Jerman Carl Wilhelm “Guillermo” Kahlo. Sejak kecil, Frida mengidap penyakit polio. Menukil Frida: The Biography of Frida Kahlo yang dirangkum sejarawan seni Hayden Herrera, Frida mengidap polio sejak usia enam tahun yang membuat kaki kanannya lebih kecil dari yang kiri. Seringkali di sekolah tingkat dasar ia jadi korban bullying karenanya. Namun, di rumahnya sang ayah begitu getol jadi “mentor” seni Frida, mulai fotografi hingga lukis. Frida Kahlo saat berusia lima tahun sebelum terkena penyakit polio (Foto: fridakahlo.org ) Frida termasuk pelajar yang cerdas. Ia nyaris jadi dokter kala studi medis di Escuela Nacional Preparatoria di Mexico City. Nahas, sebuah kecelakaan pada 17 September 1925 kala ia menumpang bus untuk pulang ke Coyoacan dari sekolahnya, merenggut masa depannya. “Tulang belakangnya patah di tiga bagian. Juga tulang selangkanya, serta tulang rusuk. Kaki kirinya mengalami retak di 11 bagian, tulang kaki kanannya tergeser, perutnya tertusuk besi handrail hingga menembus dinding vaginanya. Dokter yang merawatnya mengira dia takkan selamat di meja operasi,” ungkap Herrera. Frida akhirnya selamat setelah diopname selama sebulan di rumahsakit dan dua bulan rawat jalan. Otomatis Frida hanya bisa beraktivitas di kursi roda dan ketergantungan obat pereda nyeri. Ia lalu beralih studi ke politik. Bahkan, ia jadi kader PCM atau Partai Komunis Meksiko. Goresan Riwayat di Atas Kanvas Namanya sebagai seniman mulai dikenal sejak bergabung dengan partai komunis dan berkenalan dengan sejumlah aktivis seperti Julio Antonio Mella (eksil komunis Kuba), Tina Modotti (aktivis, seniman, dan fotografer Amerika), dan pelukis Diego Rivera yang kelak pada 1929 jadi suaminya. Setelah berpacaran dengan Rivera, Frida mulai getol mengeluarkan karya surealis yang sudah dirintisnya sejak 1926. “Tampak energi yang tak biasa, penggambaran karakter yang sangat tepat dan menggambarkan kekerasan yang sebenarnya…memiliki dasar pengaruh yang sangat jujur, kepribadian artistiknya juga orisinil. Jelas gadis ini seniman yang otentik,” ujar Rivera yang terpesona pada karya-karya Frida kala keduanya bersua pada 1928, dikutip Herrera. Selain gemar menelurkan lukisan potret diri, karya Frida tak jarang menggambarkan budaya masyarakat Meksiko prakolonial. Beberapa karya lainnya dipengaruhi aktivitas politik yang diikutinya mengenai isu-isu gender serta pembagian kelas di masyarakat Meksiko. Selain potret diri, Frida juga tak jarang melukis potret keluarga, seperti potret ayahnya, Carl Wilhelm “Guillermo” Kahlo, misalnya (Foto: fridakahlo.org ) Reputasi Frida meroket setelah menggelar pameran-pameran solo. Di antaranya, pameran di Galeri Seni Julien Levy, New York, pada 1938 yang disponsori seniman surealis André Breton. Juga pameran di Paris setahun setelahnya. “Meski pamerannya di Paris bertajuk The Mexique secara finansial kurang sukses, Musée National d’Art Moderne, Centre Georges Pompidou (Museum Louvre) membeli salah satu karya Kahlo, (berjudul) The Frame ,” ungkap Terri Hardin dalam Frida Kahlo: A Modern Master. Lukisan The Frame yang berukuran 28,5x20,7 itu merupakan lukisan potret diri yang dibuat Frida pada 1938. Karyanya tergolong anti- mainstream lantaran dilukis di atas kombinasi lembaran alumunium dan kaca. Frida sosok bertangan dingin jika sudah menggoreskan cat minyak di atas kanvas. Ia satu-satunya pelukis Meksiko yang karyanya terpajang di museum seni terbesar dunia, Louvre. Hari-Hari Terakhir Kendati di tahun 1940-an getol menelurkan banyak karya, kondisi kesehatan Frida berangsur menurun. Infeksi luka di tangan, sifilis, hingga depresi karena meninggalnya sang ayah pada April 1941 menjangkitinya. Pada 1950, Frida bahkan hampir menghabiskan sepanjang tahun dengan dirawat di Rumahsakit ABC, Mexico City usai operasi perbaikan tulang periodontal. Tiga tahun berikutnya kondisi Frida kian miris akibat penyakit gangrene atau kematian jaringan sel di kaki kanannya. Kaki kanan Frida mulai dari lutut ke bawah diamputasi pada Agustus 1953. Rasa sakit di kakinya membuat Frida mulai berpikir untuk mengakhiri hidupnya. “Mereka telah memberiku siksaan yang rasanya berabad-abad dan pada suatu ketika saya kehilangan alasan. Aku terus mengeluarkan keinginan untuk bunuh diri. Hanya Diego yang mencegahku melakukannya. Tak pernah aku merasakan sakit seperti ini sepanjang hidupku,” tulis Frida dalam diary -nya pada Februari 1954, dikutip Martha Zamora dalam Frida Kahlo: The Brush of Anguish. Meski sakit, Frida masih aktif di politik. Beberapa pekan sebelum meninggal, Frida bersama suaminya ikut berunjuk rasa menentang invasi CIA (dinas intelijen Amerika) di Guatemala. Namun gegara ikut demo itu pula kondisi kesehatannya kian gawat. Pada 12 Juli 1954 malam Frida mengalami demam tinggi dan hampir tak berhenti berteriak akibat rasa sakit di tulang belakangnya. Lukisan potret keluarga Frida Kahlo (kiri) dan lukisan "The Frame" (kiri) yang dibeli Museum Louvre pada 1939 (Foto: fridakahlo.org ) Pagi 13 Juli 1954, Frida ditemukan terbaring tak bernyawa di atas tempat tidurnya oleh salah satu asisten rumah tangganya di La Casa Azul. Catatan medis menerangkan, Frida meninggal karena emboli paru lantaran memang ia juga mengidap pneumonia. Setelah dikremasi, abu jenazahnya disimpan di kediamannya di La Casa Azul, yang pada 1958 diubah menjadi Museum Frida Kahlo. Dikremasinya jenazah Frida tanpa melalui otopsi menimbulkan misteri penyebab kematiannya. Beberapa pihak meyakini ia bunuh diri dengan menenggak obat pereda nyeri lebih dari dosis yang disarankan dokter. Setidaknya begitu yang diyakini Herrera dalam biografi Frida maupun Nanin yang akan mementaskan Frida: Stroke of Passion . Jalan berliku hidup Frida menginspirasi banyak orang untuk mengisahkannya lewat  novel, serial televisi, maupun film. Biopik Frida, Naturaleza Viva (1983) atau Frida (2002), yang diperankan aktris kawakan Hollywood Salma Hayek, hanyalah sedikit di antaranya.

  • CIA dalam Penyanderaan Konsulat Indonesia

    PARA pendukung gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) beberapa kali melakukan aksi di Belanda. Aksi pertama pada 31 Agustus 1970, mereka menyerang Wisma Indonesia, kediaman Duta Besar Indonesia, di Wassenaar. Hari itu bertepatan dengan kedatangan istri Mr. Dr. C.R.S. Soumokil, proklamator dan presiden pertama RMS, di Belanda. Dalam kontak senjata, seorang polisi Belanda, Hans Molenaar, mati. Duta Besar Letjen TNI (Purn.) Taswin Natadiningrat berhasil meloloskan diri.

  • Kontroversi Schumi

    BALAPAN Formula One (F1) musim 2020 memang masih dua bulan lagi, 15 Maret 2020. Namun, Lewis Hamilton sudah tak sabar. Juara bertahan asal Inggris dari tim Mercedes itu bakal menyongsong rekor untuk mensejajarkan diri dengan legenda hidup Michael “Schumi” Schumacher. Schumi punya koleksi tujuh gelar dunia. Hamilton yang kini dalam puncak kariernya dan tengah mendominasi F1 ibarat Schumi di masa lampau, sudah punya enam gelar itu. “2019 adalah tahun yang takkan saya lupakan. Saya tak bisa menggambarkan perasaan memenangi gelar keenam. Sekarang mari kita rayakan akhir 2019 dan kembali berjuang untuk 2020,” ujar Hamilton di akun Instagram -nya, @lewishamilton, 1 Januari 2020. Hamilton sendiri satu dari sekian pembalap F1 yang mengagumi Schumi. Sebaliknya, Schumi pernah meramalkan bahwa Hamilton bakal melampaui rekornya. Schumi mengungkapkannya dalam sebuah program BBC , 27 Oktober 2008, tak lama setelah Hamilton memenangi gelar pertamanya di musim 2008. Kala itu Schumi sudah pensiun (sementara) dan menjadi penasihat pengembangan di tim Scuderia Ferrari, lima tahun sebelum Schumi mengalami kecelakaan saat berski di Pengunungan Alpen. “Saya bisa bilang, tentu saya iya (Hamilton bisa memenangi tujuh gelar, red. ). Dulu tiada yang menyangka, bahkan saya sendiri, bisa mengalahkan rekor (Juan Manuel) Fangio. Lalu saya melewatinya. Rekor memang tercipta untuk dipecahkan,” sebutnya. Catatan Rekor di Atas Kecurangan Namun seperti halnya Hamilton, kegemilangan kiprah Schumi tak jarang diwarnai kontroversi. Tak sedikit insiden dengan kesengajaan dan kecurangan yang dilakoni di lintasan atas nama kemenangan dari sejumlah rival sengitnya. Insiden yang terjadi pada 1991, contohnya, kala Schumi belum masuk F1. Insiden itu terjadi 18 Agustus 1991, saat kualifikasi 430km of Nürburgring yang merupakan seri kelima di World Sportscar Championship. Menyitat Autosport , 16 November 2005, Schumi di balik kemudi mobil tim Sauber-Mercedes yang hendak melaju cepat untuk mencetak waktu terbaik, merasa dihalang-halangi pembalap tim Jaguar Derek Warwick. Saat itu Warwick sudah mencetak waktu terbaiknya dan menjalani sisa sesi kualifikasi dengan ‘santuy’. Alhasil, Schumi kesal dan kehilangan waktu di sesi itu. Michael Schumacher kala balapan di tim Sauber-Mercedes di ajang World Sportcars Championship (Foto: Daimler AG) Sebagai balasan, Schumi memepetkan mobilnya ke samping mobil Warwick, lantas banting setir hingga menghantam “hidung” dan ban depan mobil Warwick. Schumi yang kemudian kabur ke pit stop , dikejar Warwick. Sesampainya di garasi Sauber, Warwick melabrak Schumi. Nyaris terjadi baku pukul jika tak segera dilerai senior Schumi di Sauber, Jochen Mass. Insiden lainnya yang lebih culas terjadi 13 November 1994 di GP Australia yang jadi seri terakhir di musim itu. Schumi tinggal selangkah lagi menggamit gelar dunia pertamanya di tim Benetton-Ford. Namun posisinya di klasemen hanya berjarak satu poin dari rival sengitnya, Damon Hill asal Inggris di mobil tim Williams-Renault. Hill dalam otobiografinya, Watching the Wheels, berkisah bahwa pada lap ke-35 ia mengklaim punya kesempatan emas menyalip Schumi yang sejak awal memimpin balapan. Mobil Schumi tergelincir dan menabrak dinding pembatas sehingga beberapa bagian depannya rusak. Namun, Schumi ngotot melanjutkan balapan lantaran gelar juara dunia taruhannya. Saat di tikungan Hill hendak meng- overtake Schumi dengan kecepatan mobil yang menurun drastis akibat kecelakaan, Schumi sengaja menutup celah dan akhirnya kedua mobil bertabrakan. Schumi maupun Hill pun gagal finis. Alhasil, Schumi berhasil meraih gelar juara dunia pertamanya. Detik-detik Michael Schumacher (kanan) menabrakkan mobilnya ke arah Damon Hill di F1 GP Australia 1994 (Foto: Youtube Formula One) Dari hasil investigasi pengawas balapan, kejadian itu hanya dianggap insiden balapan biasa. Schumi bisa berbangga dengan gelar juara perdananya, namun sejumlah media Inggris mengecamnya meski Hill pribadi enggan berbicara miring lantaran masih terpengaruh tragedi kematian rekannya, Ayrton Senna, di GP San Marino beberapa bulan sebelumnya. “Saya terpaksa menerima hasilnya. Namun bagian terbesar dari diri saya juga merasa bahwa sejak kami kehilangan Ayrton, musim ini sudah berantakan. Gelar itu jadi yang pertama dari tujuh gelar Formula One-nya, di mana di saat itu jadi target di luar bayangan siapapun. Mungkin juga Senna takkan membayangkannya,” ungkap Hill. Hal serupa terjadi di seri terakhir GP Eropa musim 1997, di Sirkuit Jerez, 26 Oktober 1997. Schumi yang di musim itu sudah bersama tim Scuderia Ferrari, tengah bersaing ketat untuk gelar juara dengan pembalap tim Williams, Jacques Villeneuve. Schumi memimpin klasemen dengan 78 poin, hanya unggul satu poin dari Villeneuve. Menukil Chicago Tribune 12 November 1997, keculasan Schumi seperti yang ia lakukan pada Hill diulanginya terhadap Villeneuve. Kala balapan memasuki lap ke-48, Villeneuve yang senantiasa membuntuti Schumi berupaya menyalip di tikungan Dry Sac dari sisi dalam. Saat Villeneuve sudah mulai menyusul, Schumi menabrakkan hidung mobilnya ke sisi kiri body mobil Villeneuve. Mobil Schumi pun rusak parah dan ia gagal menyelesaikan balapan. Sementara meski body samping mobilnya rusak, Villeneuve tetap mampu melanjutkan dan bahkan finis urutan ketiga. Kali ini keculasan Schumi gagal berbuah. Villeneuve tetap juara. Michael Schumacher (merah) di kokpit Ferrari saat menyeruduk mobil Jacques Villenueve di F1 GP Eropa 1997 (Foto: formula1.com ) Kelakuan Schumi itu tak dibiarkan FIA selaku otoritas balapan. “Motor Sports Council FIA melucuti hasil urutan kedua klasemen Schumacher dan memerintahkannya terlibat dalam kampanye safe-driving tahun depan,” tulis Chicago Tribune. Schumi mengaku salah. Sejumlah media kembali mengutuknya. Bahkan media-media Jerman mengecam tindakannya. Meski tak disanksi, Schumi harus rela posisinya sebagai runner-up musim 1997 didiskualifikasi. Kontroversi lain terjadi di GP Austria 2002. Team order atau perintah manajer tim yang ditaati Schumi justru memancing kemarahan banyak fans Ferrari. Perintah itu mengharuskan Rubens Barrichello, rekan setimnya, memperlambat mobilnya agar Schumi lebih dulu menyentuh garis finis. Meski tak melanggar regulasi F1 maupun FIA, hal itu dianggap banyak pihak, utamanya fans Ferrari, sebagai tindakan tak sportif. Toh, musim 2002 masih panjang. Pada saat penerimaan trofi di podium, Schumi memaksa Barrichello untuk berdiri di puncak podium, sementara Schumi geser ke podium kedua. Kejadian itu membuat Ferrari didenda USD1 juta. “Saya berterimakasih pada Rubens untuk poin yang saya dapat, namun saya tidak terlalu senang dengan hal itu,” aku Schumi, dikutip BBC , 12 Mei 2002. Di Sirkuit Indiana Motor Speedway dalam GP Amerika Serikat 2002, kala Schumi sudah mengunci gelar dengan raihan poinnya, ia balas memberi jalan buat Barrichello untuk finis lebih dulu. Barrichello pun menang. Kelakuan Schumi (kanan) kala menjepit Rubens Barrichello ke pagar pembatas sirkuit di GP Hungaria 2010 (Foto: formula1.com ) Ending serupa tak terjadi di GP Hungaria 2010.  Ketika balapan memasuki lap ke-42, di salah satu trek lurus, Barrichello yang sudah bersama tim Williams berupaya menyalip dari sisi dalam. Schumi yang saat itu sudah bersama tim Mercedes, enggan memberi jalan. Mobil Barrichello dengan kecepatan 180 mil per jam pun terjepit antara mobil Schumi dan dinding pembatas. Meski tak terjadi kecelakaan, pengawas balapan menghukum Schumi dengan start dari posisi ke-10 di race berikutnya, GP Belgia. Schumi akhirnya minta maaf. “Setelah melihat insiden itu lagi, keputusan sanksi steward sudah tepat. Manuver saya terhadap dia (Barrichello) terlalu berbahaya. Memang saya ingin menunjukkan bahwa dia takkan bisa melewati saya, namun setelah dilihat secara rasional, saya membahayakan dia. Saya minta maaf dan bukan maksud saya membahayakan nyawanya,” tandas Schumi dikutip ESPN , 2 Agustus 2010.

  • Sejarah Bisnis Asuransi di Indonesia

    KASUS dugaan korupsi melanda Jiwasraya dan Asabri, dua perusahaan asuransi milik negara. Keduanya asuransi berbeda jenis. Jiwasraya bergerak di asuransi jiwa, sedangkan Asabri mengelola dana pensiun. Tapi pangkal kasus keduanya sama: kesalahan berinvestasi. Kesalahan itu merugikan negara lebih dari Rp20 triliun dan mengancam kepercayaan publik terhadap asuransi.

  • Menilik Sejarah Purworejo yang Diklaim sebagai Pusat Keraton Agung Sejagat

    MENGAKU sebagai Sinuhun, Totok Santosa Hadiningrat mendirikan dan memimpin Keraton Agung Sejagat (KAS) di Purworejo, Jawa Tengah. Keraton yang belum selesai pembangunannya itu berpusat di Desa Pogung Jurutengah, Bayan, Purworejo. Totok mengaku sebagai juru damai dan punya kekuasaan atas seluruh negara di dunia. Totok juga mengklaim KAS punya alat-alat kelengkapan di Eropa, dan Persatuan Bangsa-Bangsa sebagai parlemen dunia yang menyokong mereka. Selain itu, Pentagon juga diklaim sebagai dewan keamanan KAS, bukan milik Amerika. Pendirian KAS menjadi bahan lelucon masyarakat karena otak-atik gathuk yang tak masuk akal. Masyarakat Purworejo dan lebih khusus Kecamatan Bayan sendiri tak ada yang percaya dengan omongan Totok. Jumeri, warga Bayan yang rumahnya bertetangga dengan Keraton jadi-jadian itu, mengatakan, sebagaimana diberitakan rmol Jateng, bahwa hanya dua orang tetangganya yang bergabung dengan Totok, lainnya tidak. Kelucuan pada penyelewengan sejarah ini kemudian berakhir setelah Totok dan delapan anggota KAS, termasuk Fanni Aminadia yang menjadi Kanjeng Ratu, ditangkap polisi pada Selasa (14 Januari 2020) petang. Bila menilik sejarah, Purworejo dulunya termasuk Negaragung Bagelen. Nama Purworejo dipakai sebagai pengganti nama Brengkelan, pusat kota Bagelen. Wilayah ini bertetangga dengan Banyumas di sebelah barat dan dengan Keraton Mataram di sebelah timur. Bagelen bersama Banyumas, Kedu, Mataram, Pajang, Sukowati, dan Gunung Kidul masuk dalam kekuasaan Mataram abad ke-17 yang diperoleh berkat perjanjian dan pernikahan. Sementara daerah timur Mataram lebih banyak diperoleh melalui penaklukan. Kondisi Bagelen pada awal abad ke-19 dikisahkan Kapten Godfrey Baker dari Batalion ke-7 Infanteri Ringan Benggala dalam laporannya kepada Raffles.  Dalam perjalanannya ke timur pada 1815, Baker melalui aliran Suangai Cingcingguling menuju Bagelen sebagai tanah-jabatan Negaragung Mataram. Selama berkuda sejauh enam puluh mil ke kota penyeberangan Brosot di Kali Progo, Baker terperangah menyaksikan daerah paling makmur dan berpenduduk padat. Dilaluinya Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan (Jalan Daendels) yang membentang sepanjang pinggir pantai selatan. Menurut catatan Baker, hampir seluruh wilayah itu tampak ditanami padi dan kedelai.  Rawa-rawa menjadi penghasil ikan yang diolah menjadi gereh (ikan asin) dan diperdagangkan sepanjang pantai selatan hingga ke muara Sungai Serayu. Sebagian ikan asin itu juga dijual ke kecamatan di pedalaman seperti Ledok (sekarang Wonosobo). Wilayah ini amat kaya. Hampir sama seperti Kedu, Bagelen merupakan gudang padi dan bahan pangan di timur Jawa Tengah. Tak hanya hasil padi, wilayah ini juga memproduksi kain tenun dan kedelai dalam jumlah besar. Di desa-desa, pertenunan kapas menjadi tulang punggung industri kerajinan kain rami (linen), selempang batik katun, baju perempuan, dan kain sarung. Sebelum Perang Jawa (1825-1830), beberapa sentranya terletak di Desa Jono (kini di Kecamatan Bayan, Purworejo), Tangkilan, dan Wedi.  Ketiga wilayah ini, seperti diceritakan Peter Carey dalam Kuasa Ramalan, dihuni banyak penduduk Tionghoa. Pasca-Perang Jawa, sentra kain rami terletak di Tanggung, dekat jatung Kota Purworejo kini. Namun demikian, wilayah Bagelen juga tumpang tindih antara Keraton Mataram dan Kasunanan Surakarta. Batas wilayah kedua kerajaan itu tak jelas. Peter Carey mengisahkan, pada sekira 1820-an ada seorang Mantri Desa Karang Bolong di pantai selatan Jawa (kini Kebumen), yang dulu masuk dalam wilayah Bagelen, dilaporkan oleh rakyatnya. Penduduk Karang Bolong menyalahkan Demang Juni karena enggan menaruh banyak sesajen pada Ratu Kidul sebagai penyebab kegagalan panen. Penduduk mengajukan protes kepada patih Surakarta, bukan Mataram, yang menandakan Karang Bolong sebagai wilayah kekuasaan Surakarta. Musafirul Huda dalam skripsinya “Perlawanan Raden Adipati Cokronegoro Terhadap Pasukan Pangeran Diponegoro Di Bagelen”, menyebut batas kekuasaan Mataram dan Surakarta yang tidak begitu jelas sering membawa pertikaian di kalangan penguasa lokal. Herdi Sahrasad dalam “Bagelen: Historia Para Intelektual dan Jenderal Yang Dilupakan”, menyebut pada masa kolonial, kawasan agraris di pedalaman Jawa ini mengalami kemiskinan akibat penjajahan. Maka tak jarang, protes-protes dari masyarakat pun terjadi. Dari kondisi semacam ini, lahirlah intelektual dan jenderal pro-kemerdekaan. Beberapa tokoh ternama kelahiran Bagelen, seperti Kasman Singodimedjo (PPKI), Boentaran Martoatmodjo (BPUPKI), Oerip Sumohardjo, dan filsuf  Nicolaus Driyarkara. Namun kedudukan Bagelen berubah pada 1 Agustus 1901. Nama Bagelen hanya digunakan untuk menyebut salah satu kecamatan di Purworejo. Wilayahnya pun dimasukkan ke dalam Karesidenan Kedu dan tidak punya silsilah dengan Keraton Agung Sejagat.

  • Kala M. Jusuf Nyaris Direnggut Maut

    TANPA pemberitahuan sebelumnya, Pangdam Hasanuddin Kolonel M. Jusuf disertai Komandan PM Kodam Hasanuddin Letkol CPM Sugiri, As-Ops Koandait (Komando Antar Daerah Indonesia Timur) Letkol Suraksono, dan Kepala Kepolisian Sulawesi Selatan/Tenggara Kombes Pol. Mardjaman mendatangi pos komando Yon 330 Siliwangi –yang ditugaskan memberi bantuan kodam setempat dalam mematahkan pemberontakan Kahar Muzakkar– di Enrekang, 2 April 1964. Kedatangan mereka mengagetkan para pimpinan Yon 330 yang saat itu sedang rapat. Setelah makan siang bersama, Jusuf mengatakan dirinya minta disediakan satu kompi pasukan untuk mengawalnya esok. “Besok aku akan mengadakan pertemuan dengan Andi Selle agar ia kembali ke jalan yang benar. Sebagai putera Sulawesi saya ingin mengajaknya baik-baik untuk bersama-sama membangun Sulawesi ini. Pertemuan ini dipersiapkan oleh Letkol Eddy Sabar, komandan Brigif 011, namun saya tidak tahu pasti bagaimana kelanjutan dari pertemuan ini. Karena itu siapkan satu kompi 330 untuk pengamanan, dan tugaskan seorang perwiramu yang baek untuk mendampingi saya!” kata Jusuf, dikutip Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M. Jusuf Panglima Para Prajurit . Andi Selle merupakan Dan Yon Bau Massepe di Korps Cadangan Nasional Sulawesi Selatan yang dipimpin Kahar Muzakkar. Selle dan Kahar kemudian berpisah jalan. “Dalam minggu-minggu sebelum hari yang telah ditetapkan untuk integrasi resmi Korps Cadangan Nasional, pertentangan intern yang pertama di kalangan pengikut-pengikut Kahar Muzakkar terjadi ketika Andi Selle memihak Pemerintah dalam persoalan apakah integrasi Korps Cadangan Nasional Sulawesi Selatan akan dilakukan batalyon demi batalyon atau tidak,” tulis Cornelis van Dijk dalam Darul Islam, Sebuah Pemberontakan . “Penggabungan Batalyon Bau Masseppe Andi Selle ke dalam Tentara sebagai Batalyon 719 pada 7 Agustus 1951 hanyalah memperbesar pertentangan antara Kahar dan Tentara, selanjutnya.” Dalam perjalanan waktu, besarnya kebebasan yang dimiliki para komandan batalyon, termasuk Selle, membuat mereka menyalahgunakan posisi militer yang ada untuk mencari keuntungan pribadi. Seperti Andi Sose, Andi Selle juga tumbuh menjadi warlord yang merugikan masyarakat dan negara. Dalam Paths and Rivers: Sa’dan Toraja Society in Transformation, Profesor Roxana Waterson dari National University of Singapore menggambarkan keduanya sebagai oportunis, serakah, menggunakan posisi militer untuk terlibat dalam perdagangan barter yang amat menguntungkan, berusaha mengendalikan ekspor regional dengan mengorbankan pemerintah pusat, mematok harga lokal, dan menarik pajak barang dalam perjalanan ke kota-kota dataran rendah. “Laporan Staf Angkatan Darat tahun 1961, yang saat itu jelas-jelas dianggap sebagai liabilitas, menggambarkannya sebagai seorang oportunis dan petualang ambisius, siap memperkaya dirinya dengan cara apa pun yang mungkin dan selalu mencari peluang untuk mendapat untung dari kedua belah pihak, apakah pemerintah atau gerilyawan,” lanjut Roxana. Oleh karena itulah Dan Yon 330 Siliwangi Mayor Himawan Soetanto menaruh curiga besar saat Jusuf menerangkan rencana perundingannya dengan Selle. “Bakalan rame nih!” kata Himawan kepada wakilnya, Yogie S. Memet, mengomentari keterangan Jusuf. Namun, Himawan tetap mematuhi perintah Jusuf dengan mempersiapkan pasukan yang diminta. Dua kompi dipersiapkannya untuk perundingan itu, yakni Kompi E/330 di bawah Lettu Mukardanu sebagai kompi pengawal dan Kompi D/330 di bawah Lettu Anwar Rasyim sebagai kompi cadangan. Sepuluh prajurit terbaik diplot menjadi pengawal pribadi Jusuf. Sementara untuk pendamping Jusuf, Himawan menugaskan Kapten Jayadi. Pada pukul 07 pagi keesokan harinya, Jusuf berangkat ke Pinrang, tempat perundingan, dikawal satu peleton dari Kompi E/330. Para pengawal pribadi Jusuf yang dipimpin Peltu Daud Supriyanto menggunakan jip Gaz dan jip yang digunakan Jayadi. Anggota kompi yang lain naik truk. Jusuf sendiri menggunakan sedan Dodge milik gubernur Sulawesi Selatan yang dipinjamnya untuk keperluan resmi. Sedan itu berada di belakang jip Jayadi dan di depan truk kompi. Di sedan itu juga ikut Letkol Sugiri dan Kombes Mardjaman, keduanya duduk di baris supir. Begitu konvoi mendekati lokasi perundingan, Desa Lappangeng, para prajurit Siliwangi mulai curiga karena ratusan pengawal Selle dengan beragam senjata sudah bersiap di sepanjang jalan. “Pasukan Siliwangi yang cuma satu kompi itu ditambah sejumlah kecil pasukan dari Raiders Hasanuddin akhirnya berbaur dengan pasukan Andi Selle di tepi-tepi jalan. Semua bersenjata lengkap dan berdiri dengan raut muka tegang,” tulis Atmadji. Kecurigaan prajurit Siliwangi makin bertambah ketika melihat mobil Jusuf dibuntuti sebuah power wagon berisi tujuh pengawal Selle bersenjata bren, yang kemudian menjaga pintu bangunan tempat perundingan. “Andi Selle datang dengan memakai baju merah dengan disertai oleh salah seorang kepercayaannya Sersan Mayor Mansyur,” tulis Badan Pembina Corps Siliwangi Jakarta Raya dalam Album Kenangan Perjuangan Siliwangi . Kecurigaan itu akhirnya tak berbuah apa-apa. Tak lama kemudian, Jusuf dan Selle beriringan keluar dari tempat perundingan sambil tersenyum dan berbincang. Keduanya lalu menaiki mobil Jusuf, yang di dalamnya ada Sugiri, Mardjaman, dan supir. Mobil itu akan membawa mereka ke rumah Bupati Pinrang H. Andi Makkulau, sekitar delapan kilometer dari tempat perundingan, untuk makan siang atas permintaan Selle. Jusuf duduk di kursi belakang kiri dan Selle di belakang kanan. Di sebuah pertigaan dalam perjalanan, mobil Jusuf bukannya berbelok ke kanan malah lurus. Mobil seolah-olah menuju Pare-Pare lalu ke Makassar. Para pengawal Selle pun mengkhawatirkan pemimpinnya akan dibawa lari ke Makassar untuk ditangkap. Sebuah jip pengawal Selle lalu mendahului mobil Jusuf. Jip itu mendadak berhenti. Beruntung supir masih sempat menghentikan mobil Jusuf sehingga tak menabrak mobil di depannya. Sejurus kemudian, tulis Atmadji, “Jusuf melompat turun dan memerintahkan pengawal untuk menangkap Selle, dan Selle juga turun dari sisi yang lain dan memberikan perintah.” Tembak-menembak jarak dekat antara pengawal Jusuf dan pengawal Selle pun tak terhindarkan. “Tiga penumpang di mobil Dodge terkena peluru semua karena tidak sempat ke luar mobil. Kolonel Sugiri tewas, Kombes Pol. Mardjaman mengalami luka-luka di tangan, sementara supir Langa, luka di kepala hingga topinya robek. Mobil Dodge penuh dengan lubang-lubang peluru. Dan pihak pengawal pribadi juga gugur Praka Adang B dan sejumlah prajurit Kujang lainnya mengalami luka-luka ringan,” sambung Atmadji. Hampir bersamaan dengan perintah Jusuf kepada Daud agar menangkap Selle, Selle pun memerintahkan prajuritnya untuk menembak Jusuf. “Hampir bersamaan dengan bunyi senjata otomatis yang ditujukan ke sedan, salah seorang pengawal Jusuf yaitu Praka Syamsudin melempar granat ke arah jip yang memotong konvoi yang kemudian disusul dengan tembakan Thompson Sersan Kopong Poyong, juga pengawal Jusuf yang lain.” Tembak-menembak makin sengit setelah pasukan pengawal Jusuf yang tertinggal jauh di belakang tiba. Sementara tangan kanannya memegang senapan, Peltu Daud langsung melompat dan merangkul Jusuf untuk memberi perlindungan sambil menarik panglima ke arah mobil Gaz. Dalam upaya perlindungan itulah Daud roboh setelah dadanya diterjang peluru pengawal Selle. Jusuf terpaksa meneruskan perjalannya ke jip Gaz tanpa perlindungan. “Menurut Jusuf, sewaktu ia berjalan menuju jip Gaz, Andi Selle malah meneriakkan komando kedua: ‘Ikuti dia dan tembak!’ Para pengawal kemudian terus mengalihkan tembakan ke arah Jusuf. Tetapi ia sendiri merasa ada sesuatu yang panas di belakang lehernya dan punya insting bahwa ada sesuatu yang melindungi nyawanya,” tulis Atmadji. Begitu Jusuf masuk ke dalam jip, supir langsung menancap gas sekuat mungkin menerobos apa saja yang ada di depan tanpa menghiraukan hujan peluru di sekitarnya. Jusuf dan penumpang lain dalam jip pun selamat. Sementara, para prajurit Siliwangi dan pengawal Selle masih baku tembak meski hanya beberapa menit. Namun karena pasukan Siliwangi lebih menguasai cara menembak dan menguasai posisi, korban lebih banyak jatuh dari pihak Selle. Tak lama kemudian, Selle dan para pengawalnya yang tersisa melarikan diri ke hutan. “Tetapi dalam tembak-menembak yang terjadi Andi Selle, yang berhasil melarikan diri, tertembak bahunya,” tulis Van Dijk.

  • Banjir di Kerajaan Tarumanegara

    Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga digali oleh maharaja yang mulia dan memiliki lengan kencang serta kuat, yaitu Purnnawarmman. Alirannya ditujukan ke laut. Itu setelah saluran sungainya sampai di istana kerajaan yang termasyhur. Pada tahun ke-22 bertakhtanya Yang Mulia Raja Purnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja, ia menitahkan pula menggali kali yang permai dan berair jernih. Gomati namanya. Itu setelah alirannya melintas di tengah-tengah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda Sang Purnnawarmman.  Pekerjaan ini dimulai pada hari baik tanggal 8 paro-gelap bulan Phalguna. Lalu disudahi pada tanggal ke-13 paro-terang bulan Caitra. Jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya. Saluran galian itu panjangnya 6.122 tumbak. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1.000 ekor sapi yang dihadiahkan. Begitulah yang dicatat Prasasti Tugu, peninggalan Raja Purnawarman. Prasasti itu diperkirakan ditulis pada abad ke-5, yaitu pada tahun ke-22 pemerintahan Raja Purnawarman. “Pokok isi Prasasti Tugu adalah penggalian dua sungai, yaitu Sungai Candrabhaga dan Sungai Gomati,” kata Dwi Cahyono, dosen sejarah dan arkeolog Universitas Negeri Malang. Kali Gomati digali atas perintah dari Purnawarman. Bahkan, sang raja mungkin terjun langsung dalam penggalian itu. Pasalnya, teks dalam prasasti mengibaratkan sang raja memiliki lengan kencang serta kuat. “Waktu penggalian dilakukan pada tahun ke-22 masa pemerintahannya, ketika Purnawarman telah berusia separoh baya,” ujar Dwi. Banyak yang menafsirkan bahwa saluran-saluran itu dibuat untuk mengatasi banjir. Salma Fitri Kusumastuti dalam “Banjir dalam Beberapa Berita Prasasti” termuat di Menggores Aksara, Mengurai Kata, Menafsir Makna, menjelaskan bahwa prasasti itu mengindikasikan Kali Chandrabhaga digali Raja Purnawarman karena alirannya sampai ke istana. Untuk kedua kalinya Raja Purnawarman kembali memerintahkan penggalian kali yang lain, Gomati. “Air yang masuk ke lingkungan kerajaan dapat diartikan sebagai banjir,” tulis Salma. Karena mungkin masih mengganggu kehidupan di istana, Purnawarman pun mengambil langkah dengan menggali saluran lainnya. Prasasti beraksara Pallawa dan berbahasa Sanskerta itu menyebutkan penggalian kedua selesai selama 21 hari. Dimulai sejak tanggal 8 paro-gelap ( krsnapaksa ) bulan Phalguna hingga 13 paro terang ( sukapaksa ) bulan Caitra . Menurut Dwi kalau dikonversikan ke masa sekarang kegiatan ini berlangsung sejak pertengahan Februari-Maret hingga pertengahan Maret-April. “ Bisa jadi untuk memperlebar dan memperdalam aliran air sungai kecil yang telah ada sebelumnya, sepanjang 6 . 122 tumbak,” kata Dwi . Prasasti Tugu memakai satuan pengukuran tumbak sebagai satuan ukuran tanah. Pada lingkungan budaya Sunda, 1 tumbak sama dengan 14 m². Sebutan lainnya di Jawa untuk tumbak adalah ubin atau bata. Apabila ruas sungai Gomati yang digali adalah 6.122  tumbak, artinya ruas yang digali adalah 6.122 x 14 m² sama dengan 85.708 m². “Galian seluas itu dikerjakan selama 21 hari. Suatu luas gali yang besar untuk ukuran zamannya, yang untuk itu butuh pengerahan orang dalam jumlah besar,” kata Dwi. Letak Bencana Empat belas abad kemudian, Prasasti Tugu ditemukan kembali di Jakarta Utara. Dalam laporan Notulen Bataviaasch Genootschap 1879 disebutkan bahwa Prasasti Tugu ditemuan di Kampung Tugu. Saat ini unsur nama “Tugu” ditemukan pada nama dua kelurahan di Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Kelurahan Tugu Utara, dan Kelurahan Tugu Selatan. Di Kecamatan Koja, terdapat kelurahan lain bernama Koja, Lagoa, Rawa Badak Selatan, dan Rawa Badak Utara. Melihat ini, kata Dwi, sangat mungkin kalau wilayah Tugu Utara dulunya sempat berupa areal perairan sub-marine .Sementara kelurahan Tugu Selatan berbatasan dengan jalan Plumpang-Semper, Kelurahan Tugu Utara, Kali Bendungan Melayu, Kelurahan Rawa Badak Selatan, Kali Cakung Lama di Kelurahan Semper Barat, dan Kali Bendungan Batik di Kelurahan Pegangsaan Dua. Karenanya, menurut Dwi , lokasi awal berdirinya Prasasti Tugu pasti di Kelurahan Tugu Selatan. Tepatnya di suatu kampung bernama “Batu Tumbuh”, yang ada di sekitar Simpang Lima Semper, tak jauh dari tepi Kali Cakung Lama.  “Boleh jadi, toponimi ‘Tugu’ yang kini menjadi nama dari dua kelurahan itu berasal dari adanya batu prasasti, yang bentuknya silindirs, yang menyerupai tugu batu,” kata Dwi. “Ketika diketemukan pada 1879, seolah ada batu yang tumbuh dari dalam tanah, sehingga muncul sebutan Batu Tumbuh.” Kini nama kampung Batu Tumbuh jarang dikenal publik. Untungnya, masih ada lorong pendek di dalam kampung yang mempunyai nama Jalan Batu Tumbuh, dengan akses timur ke barat, melintasi Sungai Cakung Lama yang mengalir dari selatan ke utara.  Konon, kata Dwi, beberapa meter sebelah utara dari ujung barat lorong itu dulunya ada semacam punden desa. Punden desa biasanya sebutan untuk awal mula desa itu berkembang. Oleh warga setempat lokasi itu dinamai Kramat Batu Tumbuh. “Sayangnya, kini sudah tak ada lantaran kena gusur untuk pelebaran Jalan Pegangsaan Dua,” kata Dwi.  Sungai Itu Kini Filolog, R.M.NG. Poerbatjaraka dalam Riwayat Indonesia I menulis kalau Sungai Candrabhaga yang disebut dalam Prasasti Tugu kini berubah sebutan menjadi Kali Bekasi. Namanya mengalami perubahan dari Candra , yang berarti bulan dan Bhaga ,menjadi Bhaga dan Candra , kemudian Bhaga dan Sasi . Sama seperti candra, sasi berarti bulan. Kali Candrabhaga atau yang kini menjadi Kali Bekasi, menurut prasasti mengalir melintasi istana Kerajaan Tarumanagara yang masyhur. Artinya, kemungkinan lokasi Tarumanagara berada di Daerah Aliran Sungai Kali Bekasi sekarang. Adapun nama Gomati, kata Dwi, dipinjam dari nama sungai di India. Ia adalah anak dari Sungai Gangga, sebagai sungai suci. “Baik Sungai Gomati atau Candrabhaga merupakan nama dua sungai yang terkenal di Punjab,” kata Dwi. Sungai Gomati kini berubah sebutan menjadi Kali Cakung Lama. Unsur sebutan “lama” memberikan gambaran bahwa sungai kecil ini adalah kali purba. Sungai Cakung kini menjadi buangan banjir dari Kota Bekasi maupun Jakarta Timur dan Utara. Nama-nama di kawasan itu mempunyai unsur “rawa”, seperti Rawa Badak, Rawamangun, Rawasari, Rawa Lumbu, Rawa Bebek, Rawa Terate, Rawa Bunga, dan seterusnya. Adapula tempat-tempat yang mempunyai unsur nama “pulo”, yaitu daratan yang menyembul di perairan rawa. Seperti Pulo Gadung dan Pulo Gebang. Ada pula unsur nama “muara”, misalnya Kamal Muara, Kapuk Muara, dan Cipinang Muara. Terdapat juga unsur nama “teluk”, seperti Teluk Pucung, serta habitat “buaya”, seperti Lubang Buaya.   Karenanya Kali Candrabhaga maupun Kali Gomati sengaja digali untuk menangani banjir tahunan pada sekitar pusat pemerintahan Tarumanagara di daerah Bekasi dan Jakarta Timur sekarang. Ikhtiar ini didasari oleh kesadarannya bahwa areal tempat ia tinggal berawa-rawa, yang rentan banjir di musim penghujan. “Kesadaran adaptif-ekologis telah dimiliki oleh raja Purnawarman beserta rakyat Tarumanegara kala itu. Suatu teladan bijak dari masa lampau,” kata Dwi.  Candrabhaga dan Gomati, kata Dwi, merupakan sungai-sungai yang penting di wilayah kekuasaan Tarumanegara, selain sungai induk Citarum, yang unsur “tarum”-nya dijadikan sebagai unsur nama dari kerajaan Tarum(anagara).  “Ketiganya adalah sungai-sungai yang rentan menimbulkan bencana air bah pada wilayah yang menjadi DAS-nya,” ujarnya.   Kini, Kali Cakung yang dulu adalah buah karya Maharaja Purnawarman sebagai solusi banjir justru menjadi salah satu biang banjir di kala penghujan. “Tragis memang,” kata Dwi.

bottom of page