Hasil pencarian
9581 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Susi Susanti yang Tak Sedramatis Kisah Asli
GEGARA kakaknya di- bully lawannya, Susi Susanti kecil (diperankan Moira Tabina Zayn) menantang balik sang jawara bulutangkis Tasikmalaya. Susi menang. Dari kemenangan itu, Susi mendapat tawaran berlatih di PB Jaya Raya medio 1985. Dari sinilah perjalanan sang “Ratu Bulutangkis” Indonesia itu bermula. Secuplik kisah masa kecil Susi itu jadi pembuka biopik bertajuk Susi Susanti: Love All garapan sineas Sim F. Scene lalu beralih, ke dalam sebuah bus yang ditumpangi Susi menuju menuju Jakarta. Susi duduk terdiam dekat jendela lalu dikagetkan oleh hinaan seorang pedagang asongan yang tak terima Susy menolak membeli dagangannya. “Dasar sipit, pelit!” Di masa Orde Baru berkuasa itu, masyarakat etnis Tionghoa acapkali jadi mangsa perundungan diskriminasi rasial. Susi mencoba tegar. Ia juga harus menahan rindu lantaran lama meninggalkan keluarganya demi menebus utang ayahnya, Rishad Haditono (Iszur Muchtar), mantan pebulutangkis level PON, terkait prestasi emas olimpiade. Beruntung, Susi mendapat tambahan motivasi dari idolanya, Rudy Hartono (Irwan Chandra), yang melihat bakat hebat dalam diri Susi. “Tetapi bakat saja tidak cukup. Butuh kerja keras dan kedisiplinan,” cetus Rudy kala menasihati Susi yang tengah jenuh dengan rutinitas latihan PB Jaya Raya. Alur cerita lantas bergulir cepat. Setahun kemudian (1986), Susi (diperankan Laura Basuki) sudah menginjakkan kaki di Pelatnas PBSI Cipayung. Ia langsung ditangani pelatih bertangan besi Liang Tjiu Sia (Jenny Zhang Wiradinata). Sia dan Tong Sinfu (Chew Kin Wah), digambarkan bekas eksil di Cina, didatangkan Ketum PBSI Try Sutrisno (Farhan) untuk mendongkrak prestasi bulutangkis Indonesia yang tengah menukik. Target pertama adalah Sudirman Cup perdana di Jakarta, 1989. Sebelum ke Indonesia, Sia dan Sinfu sempat mempertanyakan status kewarganegaraan mereka. Namun Try Sutrisno dan Sekjen PBSI Mangombar Ferdinand Siregar (Lukman Sardi) ingin lebih dulu mendapatkan bukti prestasi dari keduanya. Sudirman Cup 1989 juga jadi satu dari sekian ujian berat Susy, yang dibebani harus mencetak poin lantaran dua laga sebelumnya dimenangkan wakil Korea Selatan. Meski tertekan, Susi mampu keluar sebagai pemenang. Moira Tabina Zayn sebagai Susi Susanti kecil (Foto: Instagram @sim_f) Sementara, berada di Pelatnas dalam waktu lama membuat Susi mendapatkan “pelabuhan” hati dari sesama penghuni pelatnas asal PB Djarum, Alan Budikusuma (Dion Wiyoko). Acapkali keduanya melanggar jam malam demi berkencan, terpapar kenakalan remaja laiknya pebulutangkis lain yang juga menjalin kasih, Sarwendah Kusumawardhani (Kelly Tandiono) dan Hermawan Susanto (Rafael Tan). Drama-drama itu jadi bumbu tersendiri dalam film berdurasi 96 menit ini. Agar bisa merasakan sendiri bagaimana rasanya kasmaran yang bergonta-ganti dengan kesedihan, ketegangan, maupun tangis kebahagiaan Susi setelah memetik emas Olimpiade Barcelona 1992, jauh lebih baik Anda saksikan sendiri film yang tayang di bioskop-bioskop mulai 24 Oktober 2019 ini. Yang Tercecer dan Melenceng dari Fakta C oloring dan music scoring film ini ditata dengan sangat apik. Beberapa adegan menegangkan terbukti terasa menegangkan lantaran diiringi efek suara menggebu. Tata warna dalam film ini juga diracik dengan ciamik oleh Sim F yang sebelumnya sudah malang melintang menyutradarai iklan dan video klip. Pokoknya feel dan suasana 1980-an hingga 1990-an sangat terasa. Sayangnya, karakter dua sosok utama yang diperankan Laura dan Dion dibawakan kurang maksimal. Emosi penonton yang mulai dibangun lewat scene persiapan dan pertandingan, termasuk saat Susy pontang-panting menghadapi lawannya di final tunggal putri bulutangkis Olimpiade Barcelona 1992, sekonyong-konyong buyar. Adegan Susi menangis di puncak podium arena Pavelló de la Mar Bella gagal jadi klimaks yang memuaskan. Mungkin publik akan lebih terpuaskan jika memutar lagi footage aslinya yang bertebaran di YouTube . Bisa jadi karena beberapa faktor teknis yang menggerogotinya, seperti lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ yang dipotong. Atau, venue -nya tak menyerupai venue asli di Barcelona. Dilihat dari ciri-ciri bangunannya, syuting adegan itu diambil di BritAma Arena, Kelapa Gading untuk adegan indoor dan Museum Bank Indonesia untuk adegan outdoor . Namun yang lebih fundamental, soal muatan isu rasial. Dari setengah durasi ke belakang, isu diskriminasi yang pernah jadi luka bagi etnis Tionghoa itu begitu dominan. Film ini kembali membongkar luka yang telah lama “diperban”. Dominasi pesan ini menjadikan film ini terlena menampilkan perjuangan Susi, baik sejak di klub maupun di pelatnas. Porsi-porsi latihan berat Susi di bawah asuhan Tjiu Sia dan Alan di bawah besutan Tong Sinfu dan Rudy Hartono tak digambarkan sebagaimana mestinya. “Dulu kita latihan sampai jam 10 malam biasanya. Kalau sudah latihan, kita sudah sampai enggak bisa bangun dari tempat tidur,” kata Alan mengenang, kepada Historia. Alan juga menguraikan, dia dan Susi sampai tak sempat memikirkan waktu berpacaran, terlebih saat persiapan olimpiade. “Kalaupun ada waktu libur, biasanya kalau pergi pun bareng-bareng dengan kawan-kawan pelatnas lainnya, enggak berduaan,” tambahnya. Dion Wiyoko dan Laura Basuki sebagai Alan Budikusuma dan Susy Susanti (Foto: Instagram @filmsusisusanti) Maka aneh jika di film Alan dan Susi acap digambarkan jalan-jalan berduaan, bahkan sampai berkencan di kawasan Melawai. Bayangkan betapa jauhnya mereka mencuri waktu berpacaran dari Cipayung di ujung Jakarta Timur ke Melawai di Jakarta Selatan. Peran Tjiu Sia dan Tong Sinfu dalam beberapa adegan juga “menggantung”, terlepas dari akting Jenny sebagai Tjiu Sia dan Chew Kin Wah sebagai Tong Sinfu patut diacungi jempol ketimbang Laura dan Dion. Problem status warga negara Sia dan Sinfu sekadar dijadikan pelengkap isu rasial yang menerpa Susi hingga kerusuhan Mei 1998. Padahal tanpa tokoh Susi dan Alan pun, kisah asli kedua tokoh tersebut tak kalah mengharukan. Lebih runyam lagi, beberapa adegan melenceng jauh dari aslinya. Kendati lumrah dalam hal-hal yang dialihwahanakan ada bumbu-bumbu tambahan, alangkah baiknya tak menyerong jauh dari fakta. Celakanya, itu terjadi bahkan sedari awal, di adegan yang menggambarkan klub pertama Susi adalah PB Jaya Raya. Padahal, sebelum itu Susi sudah “memoles” bakatnya di PB Tunas Tasikmalaya. Lalu, soal sosok Rudy Hartono yang diperankan Irwan Chandra. Pada masa Susi masuk PB Jaya Raya, 1985, hampir semua anak didik berebut ingin bisa latihan dengan Rudy. Well , kurun 1981-1985 sejatinya Rudy masih disibukkan tugas sebagai Kabid Pembinaan PBSI di Senayan. Yang juga aneh karena anakronisme, saat Susi pertamakali masuk pelatnas, ia langsung berlatih di Cipayung. Faktanya, gedung Pelatnas PBSI itu baru dibangun pada 1992. Semasa angkatan Susi, Pelatnas masih di GOR Asia Afrika, Senayan. Chew Kin Wah dan Jenny Zhang Wiradinata sebagai Tong Sinfu dan Liang Tjiu Sia (Foto: Instagram @chewkinwah) Pelatih Alan juga digambarkan hanya Tong Sinfu. Padahal dalam biografinya, MF Siregar menguraikan para pebulutangkis putra, termasuk Alan, juga dipegang Rudy (selepas menjabat Kabid) dan Indra Gunawan. “Indonesia kalah di Thomas Cup Mei 1992 jelang olimpiade. Pelatih Alan ketika itu, Rudy Hartono dan Indra Gunawan, marah besar. Menimpakan penyebab kekalahan kepada pundak pemain kelahiran Surabaya itu,” kata Siregar dalam biografinya yang ditulis oleh jurnalis olahraga Brigitta Isworo Laksmi dan Primastuti Handayani, Matahari Olahraga Indonesia . Adegan kehadiran Siregar di final Olimpiade Barcelona 1992, yang menyaksikan pertandingan dari tribun kehormatan bersama Try Sutrisno, dalam film juga menunjukkan lemahnya riset film ini. Faktanya, Siregar tak sempat menyaksikan Susi berlaga di momen besar itu lantaran sedang pemulihan kondisi pasca-operasi jantung. Lukman Sardi (kanan) sebagai teknokrat olahraga Mangombar Ferdinand Siregar (Foto: Instagram @lukmansrd) Dalam biografinya, Siregar dituliskan hanya memantau laga final Susi sembari menemani para penghuni pelatnas lain yang tak ikut ke Barcelona, di Gedung Bulutangkis PBSI DKI Jakarta. Ia hanya menerima informasi jalannya pertandingan dari asistennya, Richard Mainaky. Jika menyaksikan langsung, dikhawatirkan jantung Siregar belum kuat. “Saat Richard keluar dengan kedua jempol ke atas dan bersorak kegirangan, Siregar tak bisa menahan luapan emosi. Namun Siregar berusaha tetap kalem menerima sukses besar yang sesuai prediksinya itu,” sebut Brigitta dan Primastuti. Terlepas dari banyaknya kekurangan itu, biopik ini patut diapresiasi. Ia hadir di tengah dahaga penonton Indonesia akan film yang membangkitkan nasionalisme lewat nostalgia prestasi Susi Susanti. Ia juga berani berbeda di tengah persaingan ketat antar- genre yang didominasi action , horor, dan komedi; dan banjir film Hollywood.
- Buah Kengototan Maria Ullfah dalam Rapat BPUPKI
MARIA Ullfah menjadi satu-satunya perempuan yang duduk dalam Panitia Pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ketika membahas Undang-Undang Dasar, 29 Mei 1945 di Gedung Departemen Luar Negeri, Pejambon, Jakarta. “Karena saya ahli hukum, saya dimasukkan ke sana. Ketua aktif adalah Prof. dr. Supomo. Dialah yang banyak menyusun UUD 1945,” kata Maria Ullfah pada Dewi Fortuna Anwar dalam rekaman suara yang dikeluarkan Arsip Nasional. Namun, Maria bukan satu-satunya perempuan dalam rapat BPUPKI dari 28 Mei-1 Juni 1945 itu. Di luar Panitia Pertama, ada Siti Sukaptinah (ketua Fujinkai) di Panitia Ketiga yang membahas tentang pembinaan tanah air. Terlepas dari hanya ada dua perempuan dalam kongres tersebut, BPUPKI berhasil merumuskan banyak hal terkait bentuk negara dan luas wilayah. Dalam hal bentuk negara, sempat muncul dua pilihan dalam rapat tersebut, yakni republik atau kerajaan. Mayoritas peserta rapat yang datang dari Jawa Tengah menghendaki bentuk kerajaan. Mereka ingin mengikuti ramalan Joyoboyo. Namun, mayoritas peserta rapat menginginkan republik. “Kalau tidak salah yang mau kerajaan cuma 9 orang,” sambung Maria. Mengenai luas wilayah, rapat juga berjalan alot. Mohammad Yamin, salah satu anggota BPUPKI, mengusulkan untuk memperluas wilayah Indonesia sampai mencakup Malaya, Kalimantan bagian Inggris, Irian Timur, Timor jajahan Portugis, dan Pulau Madagaskar. “Yamin bilang Brunei, Malaysia dimasukkan. Yamin selalu begitu, semuanya mau dimasukkan,” kata Maria diiringi tawa kecil. Pada akhirnya diputuskan, luas wilayah Republik Indonesia hanya bekas Hindia Belanda. Dalam Maria Ullfah Pembela Kaumnya, Gadis Rasyid menyebutdefinisi warga negara juga masuk dalam pembahasan. Rapat memutuskan bahwa orang-orang keturunan pun boleh jadi warga negara Indonesia, seperti keturunan Tionghoa, keturunan Arab, dan keturunan Belanda. Sementara, dalam rapat Panitia Pertama yang membahas UUD, Maria mengusulkan tentang pemberian hak dasar yang sama bagi warga negara baik perempuan maupun lelaki. Usul Maria ini dianggap penting dalam gerakan perempuan sebagai upaya secara legal menyetarakan hak dasar perempuan dan lelaki. Namun, baru selesai Maria mengutarakan usulnya, Sukarno yang menghadiri rapat itu langsung menolak ide itu. “Nggak perlu. Itu sudah cukup,” kata Sukarno. Mendengar penolakan Sukarno, Maria mencoba menjelaskan maksudnya ialah hak dasar yang berlaku di tiap negara, bukan hak asasi yang berlaku universal sehingga perlu ditetapkan dalam UUD. Lebih jauh, ia ingin mencegah adanya diskriminasi pada perempuan dalam penegakan hukum sehingga ide tentang ‘semua orang sama di mata hukum’ harus dicantumkan. “Saya tidak bilang hak asasi tapi hak dasar. Bung Karno memang selalu keras terhadap saya, tapi waktu itu Pak Supomo yang menyusun,” sambungnya. Maria juga menyampaikan impresinya terhadap ketua panitia pertama, Prof. dr. Supomo. Menurut Maria Ullfah, Supomo berpihak pada gerakan perempuan sehingga ide pemberian hak dasar sama bagi perempuan dan lelaki didukung oleh Supomo. “Supomo baik sama (gerakan) perempuan. Dia yang menyusun sebagian besar UUD dan usulan saya dimasukkan. Untung saya ada di situ sebagai perempuan,” kata Maria. Usaha ngeyel Maria terbayar. Idenya disepakati dan tercatat dalam pasal 27 yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” “Pasal 27 itu harus selalu kita pegang sebagai warga negara, pegawai negeri, dan sebagai tenaga kerja wanita,” kata Maria. Atas jasanya itu, Komnas HAM memberikan penghargaan Anugerah HAM kepada Maria Ullfah pada 2014 bersama Munir Said Thalib.
- Menteri Pertahanan yang Hilang
Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, urusan pemerintahan mulai ditata. Kabinet pertama pun dibentuk pada 19 Agustus 1945 bernama Kabinet Presidentil. Kabinet Presidentil terdiri atas 12 Menteri Departemen ditambah lima Menteri Negara yang tidak mengepalai suatu Departemen tertentu. Kabinet ini kemudian dilantik oleh Presiden Sukarno pada 2 September 1945. Salah satu menteri dalam kabinet ini adalah Supriyadi, tokoh pemberontakan Peta (Pembela Tanah Air) di Blitar pada Februari 1945. Supriyadi diangkat sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Kementerian ini kemudian berubah menjadi Kementerian Pertahanan. Namun, Supriyadi tak pernah kelihatan bahkan dinyatakan hilang. “Menteri Keamanan Rakyat Supriyadi tidak pernah datang ke Jakarta dan tidak memberi jawaban yang pasti kesediannya diangkat menjadi Menteri. Maka tanggal 20 Oktober 1945 Presiden mengangkat Sulyadikusumo sebagai Menteri Keamanan Rakyat ad interim yaitu menteri sementara sebelum menteri yang asli ditemukan,” tulis Bibit Suprapto dalam Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan Indonesia. Saat itu, Indonesia baru memiliki Barisan Keamanan Rakyat yang menghimpun bekas anggota Peta, Heiho, dan sebagainya, belum memiliki tentara. Maka, pada 5 Oktober 1945 dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Meski tak ada kabarnya, pada 20 Oktober 1945, berbarengan dengan digantinya Menteri Keamanan Rakyat, Supriyadi ditunjuk sebagai Pemimpin Tertinggi TKR. Namun, Kabinet Presidentil jatuh pada 14 November 1945, hanya bertahan selama dua bulan 12 hari.Kabinet ini kemudian digantikan dengan kabinet parlementer dengan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri Hilangnya Supriyadi masih menjadi misteri hingga kini. Ratnawati Anhar dalam Pahlawan Nasional Supriyadi menyebut beberapa informasi tentang Supriyadi sempat muncul setelah dia menghilang. Ronomejo, seorang kamituwo desa Ngliman, Kabupaten Nganjuk mengaku pernah mengantar Supriyadi ke persembunyiannya di sebuah gua dekat air terjun Sedudo. Namun, ketika didatangi ayahnya, Darmadi, ia sudah tidak ada. Menurut Ronomejo, kemungkinan Supriyadi lari ke arah barat menuju Jawa Tengah. Informasi lainnya muncul dari M. Nakajima, Direktur Taisei Internatonal Coporation di Singapura. Ia menerangkan bahwa sekitar bulan Februari-Maret 1945, Supriyadi bersama dua orang kawannya datang ke rumahnya di Jalan Jangkongan, Salatiga. Di rumah Nakajima, mereka menginap semalam lalu harus pergi lagi karena didatangi Kempetai Jepang dari Semarang. Sementara itu, pada 2008, masyarakat dihebohkan dengan seseorang bernama Andaryoko Wisnuprabu yang mengaku sebagai Supriyadi. Sejarawan Baskara T. Wardaya dalam Mencari Supriyadi , mewawancarai Andaryoko yang saat itu Ketua Umum Perkumpulan Kesenian Sobokartti Semarang. Dalam kesaksiannya, Andaryoko tidak berharap diakui sebagai Supriyadi, ia hanya ingin menyampaikan narasi sejarah yang ia ketahui sepanjang hidupnya. Dalam wawancara itu, Andaryoko mengaku masih berada di sekitaran Sukarno dan terkadang bolak-balik Jakarta-Semarang. Ia juga mengetahui dirinya diangkat menjadi Menteri Keamanan Rakyat. “Waktu saya ditunjuk jadi menteri itu saya tidak diberi kantor, wong memang tidak ada tempat. Bung Karno saja masih belum tinggal di Istana,” katanya. Pada 12 Oktober 1945, Andaryoko pamit kepada Sukarno ke Semarang. Setelah ikut dalamPertempuran Lima Hari di Semarangpada 14 Oktober 1945, ia kembali ke Jakarta. Pada 20 Oktober 1945, Sukarno mengangkat Supriyadi menjadi Pemimpin Tertinggi TKR. Andaryoko membenarkan hal ini. “Organisasi BKR ditingkatkan menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan saya diangkat menjadi Panglima Tertinggi TKR itu,” sebutnya. Andaryoko mengaku mengundurkan diri sebagai Menteri Keamanan Rakyat dan Panglima Tertinggi TKR serta memilih menyepi untuk bersemadi. Namun, ia tetap diminta menjadi pembantu Sukarno.Selama menjadi pembantu Sukarno, ia sering bolak-balik Jakarta-Semarang. Ia ditugasi untuk mencari informasi apapun terkait situasi politik saat itu. Sejarawan Asvi Warman Adam meragukan pengakuan Andaryoko. Ia lebih meyakini Andaryoko sebagai anggota Peta yang kemudian bekerja di bidang pemerintahan di Semarang. “Sebagai seorang anggota Peta yang ada di Blitar, dia tahu segala kegiatan Peta di Blitar. Tapi mungkin bukan Supriyadi, karena anggota Peta yang ada waktu itu ratusan,” kata Asvi dalam wawancara dengan kompas.com . Menurut Asvi, waktu ada orang di Yogyakarta mengaku Supriyadi, Wakil Presiden Try Soetrisnomeminta Utomo Darmadi, adik tiri Supriyadi untuk mengeceknya.Utomo mengajak bicara dalam Bahasa Belanda,orang itu tidak mengerti.Ia juga menanyakan sesuatu dalam bahasa populer Jepang, orang itu juga tidak bisa menangkap. Supriyadi, kata Asvi, sekolah MULO dan Stovia pasti bisa Bahasa Belanda. Juga latihan Jepang, pasti menguasai istilah-istilah Jepang. Namun, dalam percakapan dengan Baskara, Andaryoko sama sekali tidak mengucapkan satu pun istilah Bahasa Belanda. Padahal, berbicara dengan orang-orang yang berusia 70-80 tahun dan pernah sekolah Belanda, pasti keluar istilah-istilah Belanda. Sementara Andaryoko cuma Bahasa Jawa. Selain itu, Asvi menambahkan, Andaryoko menyampaikan banyak keterangan yang tidak sesuai fakta sejarah. Misalnya,dia mengaku hadir pada Proklamasi 17 Agustus 1945 bahkan ikut mengerek bendera merah putih. Padahal secara historis, pengerek bendera merah putih adalah Latief Hendraningrat. Andaryoko juga menyebut sidang-sidang untuk menetapkan UUD 1945 diadakan di Gedung Joang 45. Padahal sidang-sidang itu di Gedung Pantjasila yang sekarang berada di dalam kompleks Kementerian Luar Negeri. Dia juga mengaku hadir ketika Supersemar diserahkan di Istana Bogor. “Yang menurut saya sangat aneh, tahun 1945 dia menolak ikut dalam pemerintahan karena meramalkan 20 tahun lagi akan ada huru-hara dan orang yang dukung Bung Karno akan tersingkir. Dia memilih di luar pemerintahan. Menurut saya itu klenik, mistis. Jadi, pengakuan Andaryoko dipertanyakan karena dia hadir di mana-mana. Dia tokoh mistis yang bisa meramal kejadian 20 tahun yang akan datang,” kata Asvi. Andaryoko Wisnuprabu,salah satu dari beberapa orang yang mengaku sebagai Supriyadi, meninggal dunia di Semarang pada 3 Juni 2009.
- Berbagi Kekuasaan dengan Lawan
Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Gerindra Edhy Prabowo masuk dalam Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Prabowo sebagai Menteri Pertahanan. Edhy sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Padahal Prabowo dan partainya merupakan rival Jokowi dalam Pilpres 2019. Drama rekonsiliasi antara lawan tanding politik semacam itu pernah terjadi pada era Kerajaan Singhasari. Saling rebut kursi pimpinan hingga saling tikam selama beberapa generasi akhirnya reda lewat jalan berbagi kekuasaan antara dua cabang keturunan Ken Dedes. Itu ketika Wisnuwarddhana, keturunan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung naik takhta. Ia memilih memerintah bersama sepupunya, Narasinghamurti, keturunan Ken Dedes dengan Ken Angrok. Serat Pararaton menceritakan kisah itu dimulai dari kiprah seorang anak Desa Pangkur bernama Ken Angrok. Ia membunuh Tunggul Ametung, akuwu Tumapel yang berada di bawah Kerajaan Kadiri. Angrok menggantikan kedudukannya sebagai akuwu sekaligus memperistri jandanya, Ken Dedes. Karier politik Ken Angrok makin naik setelah mengalahkan Dandang Gendis, Raja Kertajaya dari Kadiri pada 1222. Ia pun menjadi raja yang berkedudukan di Tumapel dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Menurut Suwardono, mantan pengajar sejarah di IKIP Budi Utomo Malang, sejak masa Tunggul Ametung, Tumapel berfungsi sebagai kuwu (perumahan). Ia berkembang pesat hingga menjadi sebuah kerajaan pada masa Ken Angrok. Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, mengatakan setelah Kadiri diduduki Ken Angrok, kondisi keluarga kerajaan menjadi rumit. Paling tidak ada tiga faksi yang sedang berebut ingin naik kursi pimpinan. Selain Ken Dedes, Ken Angrok kemudian memperistri Ken Umang. Ken Dedes telah hamil seorang putra dari Tunggul Ametung ketika dinikahi Ken Angrok. Anaknya dipanggil Anusapati. Dari Ken Dedes, Ken Angrok memperoleh putra bernama Mahisa Wong Ateleng. Sementara dari Ken Umang, Ken Angrok mempunyai putra bernama Tohjaya. “Kan masih ada mantan pejabat atau keturnanannya Dandang Gendis. Ini satu faksi. Di tubuh keluarga Ken Angrok paling tidak ada tiga, trah Ken Angrok-Ken Dedes, Ken Angrok-Ken Umang, Ken Dedes-Tunggul Ametung,” kata Dwi. Perpecahan itu, kata Dwi , makin mencuat setelah Ken Angrok mati. Berdasarkan Prasasti Mulamalurung, keturunan Ken Angrok beruntun menjadi raja Kadiri sesudah matinya Dandang Gendis. Mereka adalah Bhatara Parameswara (Mahisa Wong Ateleng), Gunung Bhaya (Agni Bhaya), dan Tohjaya. Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakrtagama menyebutkan penobatan Mahisa Wong Ateleng sebagai penguasa di Kadiri membuat iri Anusapati. Karena merasa anak sulung, Anusapati punya hak menduduki takhta. “Ibu, saya bertanya, apa sebab ayahanda kalau melihat kepadaku, berbeda tampaknya dengan saudara-saudara saya semua, apa lagi dengan putera ibu muda (Tohjaya, red. ), semakin berbeda pandangan ayah,” tanya Anusapati suatu hari pada Ken Dedes. Anusapati akhirnya tahu kalau bukan anak kandung Ken Angrok. Ia pun membunuhnya untuk membalas dendam kematian ayah kandungnya, Tunggul Ametung. Di luar persoalan dendam, menurut Slamet Muljana,ada latar belakang politik di balik pertanyaan Anusapati. Pertanyaan itu harus ditafsirkan: “mengapa bukan saya, melainkan adik saya Mahisa Wong Ateleng yang dinobatkan sebagai raja Kadiri.” Setelah kematian Ken Angrok, Anusapati dinobatkan menjadi penggantinya di Tumapel. Dari sana, kekuasaan pun terbelah dua: Kadiri di bawah Mahisa Wong Ateleng dan Tumapel di bawah Anusapati. Sementara Prasasti Mulamalurung tak menyinggung nama Anusapati. Karenanya, Slamet Muljana menjamin, tokoh itu tak dibunuh Tohjaya dengan Keris Gandring sebagaimana cerita Pararaton . Kalaupun keterangan di Pararaton ada benarnya, yang ditikam keris oleh Tohjaya bukan Anusapati. Tapi Guning Bhaya yang memerintah di Kadiri menggantikan kakaknya, Mahisa Wong Ateleng. Pembunuhan itu pun bukan karena balas dendam. Namun, lebih kepada ingin merebut kekuasaan. Pasalnya, dalam Prasasti Mulamalurung disebut Tohjaya adalah pengganti Raja Guning Bhaya di takhta Kadiri. “Tohjaya punya anggapan dia memiliki hak yang sama seperti saudara-saudaranya. Hanya saja, menurut Pararaton , dia dilahirkan dari selir, Ken Umang,” tulis Slamet Muljana. Kendati berhasil menduduki Kadiri, Tohjaya memerintah tanpa rasa tenang. Dia selalu curiga kepada keponakan-keponakan tirinya, putra Anusapati yang bernama Mapanji Sminingrat dan putra Mahisa Wong Ateleng yang bernama Mahisa Campaka atau Narajaya. Prasangka buruknya terbukti karena kedua ponakan tirinya itu kemudian menyingkirkannya. Sepeninggal Tohjaya, Mapanji Sminingrat menjadi raja dan digelari nama Wisnuwarddhana. Sementara Narajaya dimahkotai sebagai Ratu Angabhaya bergelar Narasinghamurtti. “Keduanya pun memerintah bersama laksana Wisnu dan Indra, bagaikan dua ekor ular dalam satu lubang,” catat Pararaton . Menurut Suwardhono dalam Sejarah Indonesia Masa Hindu-Buddha, keputusan itu dibuat karena Wisnuwardhana tak ingin memisahkan lagi kekuasaan Kadiri dan Tumapel seperti yang pernah dilakukan oleh kakeknya, Sri Rajasa. Tak cukup di situ, kakak tertua Mahisa Campaka, yaitu Nararya Waningyun yang menjadi putri mahkota Kerajaan Kadiri, ia jadikan permaisuri. “Bersatu kembalilah Kadiri dan Tumapel,” tulis Suwardhono. Prasasti Mulamalurung juga menyebut saat itu administrasi pemerintahan dibagi ke dalam delapan nagari. Masing-masing anggota keluarga mendapat kekuasaan sebagai vasal. “Dikokohkan secara birokrasi militer. Ini politik berbagi kekuasaan agar benturan politik bisa diminimalkan,” kata Dwi. Langkah Wisnuwardhana itu kemudian dikenang oleh putranya, Raja Kertanegara. Ia mencatat kembali peristiwa pembagian Kerajaan Janggala dan Panjalu yang pernah dipisah oleh Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan. Perpecahan yang pernah terjadi sejak itu, menurutnya telah disatukan kembali berkat ayahnya. “Sebagaimana tertulis dalam Prasasti Wurara, di atas lapik arca Buddha Aksobhya sebagai tumbal magis di daerah Wurara, bekas pertapaan Pu Bharada. Tujuannya agar tak ada pemisahan lagi,” kata Suwardhono. Pilihan Wisnuwardhana berbagi k ek uasa an dengan lawan politiknya agaknya berhasil menjadi pondasi bagi keemasan Singhasari pada masa berikutnya. Tapi itu dulu. Bagaimana dengan sekarang, akankah Indonesia maju dengan memberikan kekuasaan kepada lawan?
- Kristalisasi Keringat dan Air Mata Susi Susanti
BULUTANGKIS boleh dibilang merupakan permainan merakyat paling sering menghadirkan kebanggaan buat Indonesia. Prestasi mulai dari tingkat regional hingga internasional, macam olimpiade, yang dimiliki Indonesia datang darinya. Di pentas olimpiade, mestilah menyebut Susi Susanti dan Alan Budikusuma. Keduanya merupakan atlet pertama yang memberi Indonesia medali emas olimpiade, yakni di Olimpiade Barcelona 1992. Di seantero bumi pertiwi, nyaris semua orang mengenal sosok Susi. Sosok pahlawan olahraga itu kisahnya diangkat ke layar perak oleh Daniel Mananta dengan tajuk Susi Susanti: Love All, mulai tayang di bioskop-bioskop pada Kamis, 24 Oktober 2019. “Iya, beberapa tahun lalu dia (Daniel) ketemu Susi. Buat dia, sayang kalau kisahnya tidak difilmkan. Badminton kan olahraga yang merakyat, jadi dia memberanikan diri untuk mengambil tema olahraga dan mengangkat kisahnya Susi ini ke layar lebar,” kata Dion Wiyoko, aktor yang ikut terlibat dalam film, kala bertandang ke redaksi Historia, Senin (21/10/2019). Dion bermain memerankan Alan Budikusuma, kekasih Susi yang bareng dalam mempersembahkan emas olimpiade. Sementara, Susi diperankan Laura Basuki. “Susi sosok legenda perempuan untuk badminton. Hanya Susi, belum ada yang menggantikan rekornya dia memenangkan olimpiade. Film ini tentang perjuangannya, terus juga kisah cintanya. Biopik ini dimulai dari awal perjuangan Susi sebagai atlet,” kata Laura menimpali. Laura Basuki sebagai pemeran Susi Susanti. (Fernando Randy/Historia). Selain Dion dan Laura, turut bercerita Nathaniel Sulistiyo yang di film erperan sebagai Ardy B. Wiranata, pebulutangkis Indonesia yang jadi rival Alan di final bulutangkis tunggal putra Olimpiade Barcelona 1992. Nathan ingin masyarakat Indonesia bisa melihat langsung bagaimana pontang-pantingnya atlet sebelum berlaga di arena. “Film ini seperti membawa kita flashback lagi. Mungkin orang akan nostalgia lagi tentang momen itu. Tapi di sisi lain, kita ingin orang bisa mengapresiasi atlet-atlet. Banyak prosesnya. Panjang prosesnya untuk seorang atlet sampai bertanding membawa nama negara,” ujar Nathan yang juga mantan pebulutangkis dari PB Tangkas itu. Keringat dan Air Mata Tidak mudah jalan yang dilalui Susi sampai bisa berdiri di podium tertinggi penyerahan medali di Barcelona 27 tahun lewat. Tidak hanya peras keringat dalam persiapan, aral-rintang di luar arena juga membebaninya hingga meneteskan air mata. Sebagai atlet berdarah Tionghoa, Susi, Alan, dan para pebulutangkis lain terimbas isu-isu rasialisme yang kental di masa Orde Baru. “Dalam olahraga, kita lupa mengingat ras, agama, atau apapun itu. Di lapangan, kita hanya tahu bahwa kita bawa nama Indonesia. Buat saya di film ini, kita enggak ingat lagi nih, dia orang (etnis) apa. Di lapangan ya tahunya kita mewakili Indonesia,” lanjut Laura. Demi bisa merasakan keringat dan air mata itu yang lantas mengkristal jadi prestasi di Barcelona laiknya Susi 27 tahun lampau, Laura rela dikarantina selama enam bulan guna dilatih oleh pembesut Susi saat itu, Liang Tjiu Sia. Selain Laura, Dion pun ditempa latihan keras serupa selama empat bulan oleh pelatih yang sama. Laura, Dion, dan Nathan pun ingin mengajak publik untuk datang berbondong-bondong ke bioskop-bioskop terdekat mulai 24 Oktober 2019. Pasalnya film ini bakal mengungkap banyak hal, apa-apa saja yang jadi “musuh” Susi dan Alan dalam kesehariannya di pelatnas maupun kehidupan pribadi di luar lapangan. “Film ini ingin menyampaikan bahwa mengasihi adalah jawaban dari semua tantangan yang dialami oleh seorang Susi menjadi seorang juara dunia dan dirinya sendiri. Film ini harus ditonton karena akan banyak hal yang tidak pernah masyarakat tahu latar belakang Susi yang bisa menjadi seorang juara dunia dan legenda,” ujar sang sutradara Sim F ketika dihubungi Historia dalam kesempatan berbeda.
- Darah 14 Suku di Tubuh Mira Lesmana
MIRA Lesmana teringat peristiwa bullying yang dialaminya saat bersekolah di Australia dulu. Kakak kandung musisi Indra Lesamana ini mengaku sempat mendapat diskriminasi dari orang-orang sekitarnya. Terutama jika berada di luar lingkungan rumah dan sekolah. Mira berkulit gelap. Wajahnya tidak western seperti orang-orang Australia. Hampir setiap orang yang ditemui memberi pandangan aneh kepadanya. Sering kali di dalam bis saat hendak berangkat sekolah, Mira tidak diperbolehkan untuk duduk. “Dan mereka (anak-anak kecil) kebanyakan suka teriak-teriak: 'K eep Australia white' ,” tuturnya kepada Historia . Di Indonesia sendiri, Mira biasa dipanggil Si Ambon oleh kawan-kawannya. Padahal menurut cerita ayahnya, ia tidak mempunyai kerabat atau leluhur yang berasal dari Ambon, Maluku. Namun mengenai sebutannya itu, produser Ada Apa Dengan Cinta (AADC) ini mengaku tidak keberatan. “Saya selalu merasa tidak keberatan. Mungkin karena rambut saya yang keriting, kulit saya yang cukup hitam karena sering berada di bawah matahari. Tapi buat saya ga masalah dan saya tidak melihat hal itu sebagai sebuah bully ,” ucap Mira. Ragam Moyang Dilihat dari garis keturunan ibu, kata Mira, ia berasal dari Jawa Tengah. Kakek dan neneknya asli Purworejo. Sementara garis keturunan ayah menurutnya agak samar karena sudah banyak yang tersebar di Eropa. “Tapi kalau dari beliau, dulu dia mengatakan aslinya adalah dari Madura, ada darah Dayak, Indo-Belanda, dan Indo-Jerman. Namun ada yang bilang ada darah Bandanya, walaupun saya tidak tahu itu Banda di Maluku, atau Banda Aceh,” jelas Mira. Namun dari hasil uji saliva (air liur) diketahui ada empat fragments DNA moyang di tubuh Mira. Beturut-turut dari yang paling dominan: 49.68% Asia Timur (Taiwan, Jepang, China, Vietnam, Korea, Makau); 38.10% Asia Selatan (14 suku bangsa di India); 12.21% Diaspora Asia (Asia-Amerika); dan 0.03% (Irak, Kurdi). Menarik untuk dikaji lebih jauh adalah keragaman gen moyang Mira yang berasal dari Asia Selatan. Ada 14 gen dari suku bangsa yang berbeda: Brahmin, Kayasth, Bhutia, Rajput, Karan, India secara umum, Bangladesh, Gope, Tamil, Gola, Nepal, Dhangar, Khandayat, dan Naga. Ahli genetika Herawati Sudoyo dalam acara kajian sains modern “Asal Usul Manusia Indonesia” menyebut jika keragaman bisa saja terjadi karena interaksi di dalam suatu wilayah yang sama dalam kurun waktu tertentu. Sehingga keragaman gen moyang dari satu tempat seperti yang terjadi pada Mira merupakan hal yang mungkin, meski terbilang unik. Satu yang mencuri perhatian dari leluhur Mira adalah suku Naga di India, yang oleh sejarawan Inggris John Keay disebut sebagai: “Orang-orang liar pemuja ular yang tak berbahaya”. Di dalam karyanya, A History of India, Keay menjelaskan bahwa masyarakat Naga merupakan suku bangsa yang asal-usulnya tersebar di berbagai wilayah, seperti bagian selatan India, bagian Barat Tiongkok, dan pantai Asia Tenggara. Menurut Arkeolog S.U. Deraniyagala suku Naga merupakan bagian dari suku bangsa yang telah membangun permukiman di Sri Lanka sekitar tahun 500 SM. Mereka diperkirakan datang dari daratan India saat terjadi migrasi besar-besaran. Penduduk suku Naga itu tersebar di berbagai wilayah, termasuk Asia Tenggara. Suku Naga di India ini memiliki kedekatan tradisi dengan suku Dayak di Kalimantan. Bahkan jika dilihat sekilas, fisik keduanya hampir tidak bisa dibedakan. Suku Naga sendiri merupakan satu dari ribuan etnis yang hidup di wilayah India. Berdasarkan penelitian, masyarakat Naga dan Dayak berasal dari wilayah yang sama, yakni Selatan China. Kesamaan-kesamaan yang terlihat dari kedua suku tersebut di antaranya: tradisi memakai anting hingga telinganya memanjang bagi kaum hawa sebagai tanda kecantikan, menjadikan burung rangkong simbol kehormatan, serta mengoleksi tengkorak manusia sebagai simbol kemenangan dan keberanian. Namun beberapa tradisi ini sekarang sudah mulai ditinggalkan. Mikhail Cooman dalam Suku Daya: Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan menyebut moyang orang-orang Dayak menyebar ke berbagai wilayah ketika mereka keluar dari daratan China. Sesampainya di Asia Tenggara, mereka terbagi menjadi beberapa kelompok. Ada yang masuk Nusantara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Brunei), ada juga yang memutuskan pergi ke Lembah Naga di India. Meski terpisah, mereka tetap mempertahankan tradisi yang dibawa. Informasi migrasi suku Naga itu juga diperkuat dengan tulisan Robert Dick dalam Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika berdasar hasil penelitian seorang ilmuwan bernama C.R. Stonor tentang suku Naga di wilayah Assam, India bagian Tenggara. Menurutnya, kebudayaan suku Naga sangat berbeda dengan kebudayaan utama India. Mereka lebih dekat dengan tradisi di Indonesia dan Asia Tenggara. “Terdapat kekerabatan dengan Indonesia yang tak dapat diragukan lagi … penduduknya sangat mungkin memiliki hubungan purba dengan penduduk asli di Semenanjung India …” kata Robert. Darah Dayak Uniknya, Mira memiliki darah Dayak di dalam tubuhnya. Berdasar cerita sang ayah, moyang (kakek ayahnya) Mira berasal dari suku Dayak. Meski tidak dijelaskan lengkap, leluhur Dayaknya itu sering dikisahkan di dalam keluarga. “Yang menarik adalah dia bahkan punggungnya masih ada ekornya. Saya tidak tahu itu benar atau tidak. Tapi yang jelas itu legenda yang selalu diceritakan di antara keluarga. Bahwa buyut kami itu orang Dayak, bahkan dari pedalaman,” kenang Mira. Jika benar demikian, lantas dari mana gen leluhur suku Naga bisa ada di tubuh Mira? Dan apa keterkaitan darah suku Naga ini dengan moyangnya dari Dayak? Sayangnya uji sampel DNA kali ini belum dapat memberikan jawaban yang tegas terkait hal tersebut. Andai data haplogroup –motif spesifik sebuah DNA yang digunakan untuk mengelompokan kesamaan-kesamaan gen makhluk hidup– dapat diperoleh, mungkin jawaban terkait keberadaan leluhur Mira ini dapat secara gamblang diterangkan. Namun walau begitu, Mira tetap senang dengan hasil uji DNA yang ia lakukan. Ada beberapa hal yang sebelumnya sudah ia prediksi. Seperti gen moyang Asia Selatan yang menurut Mira memang sudah pasti ada di dalam tubuhnya. Meski ada juga yang mengejutkan, terutama keberadaan leluhur dari suku bangsa Kurds, Iran. Baginya, informasi terkait leluhurnya itu sangat penting. Karena dapat membuktikan bahwa setiap manusia terkait satu sama lain. Proyek DNA juga bagi Mira memberikan gambaran bahwa tidak ada manusia yang lebih superior atau inferior. “Kita harus menyadari bahwa siapa kita itu tergantung dari diri kita sendiri dan kita tidak boleh merendahkan yang lain,” tutup Mira.
- Ketika Hatta dan Pengusaha India Kerjai PM Nehru
SUDAH lima hari Wapres Moh. Hatta berada di Bukittinggi. Kunjungan safari politik pada pertengahan 1947 itu merupakan kunjungan pertamanya ke kota kelahirannya setelah Indonesia merdeka. Kunjungan itu dilakukan Hatta untuk memberi penjelasan kondisi negara kepada rakyat atas permintaan beberapa anggota KNIP Daerah Sumatra. Pada hari kelima, Hatta kedatangan tamu seorang India bernama Biju Patnaik. Ia merupakan pengusaha penerbangan sekaligus sahabat PM India Pandit Jawaharlal Nehru. Ia datang ke ibukota Indonesia, Yogyakarta, untuk membawakan bantuan obat-obatan dari PM Nehru sebagai bentuk dukungan terhadap revolusi Indonesia dan balas budi India atas tawaran bantuan beras dari Indonesia. Sebelum kembali ke India, Patnaik mendapat pesan dari Presiden Sukarno agar menemui Wapres Hatta di Bukittinggi terlebih dulu. Berbekal surat dari Sukarno, Patnaik lalu menemui Hatta. “Bung Karno menerangkan kepadanya untuk membawa aku kepada Nehru, membicarakan dengan Nehru, apakah dapat India membantu Republik Indonesia sebab Belanda sedang bersiap-siap untuk menyerbu ke daerah Republik dengan mengadakan interpretasi lain terhadap Persetujuan Linggarjati,”kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku, Sebuah Otobiografi. Selain menyodorkan surat Sukarno, Patnaik juga memberikan pakaian co-pilot kepada Hatta yang sengaja dia buatkan saat di Yogya. “Dibawakannya pula paspor untukku atas nama Abdullah,” sambung Hatta. Pemalsuan nama Hatta itu dilakukan Patnaik untuk keamanan penerbangan mengingat Belanda dengan ketat memblokade Indonesia saat itu. Mendengar keterangan Patnaik, Hatta langsung merasa senang. “Tentu saja aku bersedia untuk pergi menemui sahabat lamaku Jawaharlal Nehru, teman seperjuangan dulu di Brussels, tahun 1927, dalam organisasi Liga Menentang Penjajahan dan untuk Kemerdekaan Nasional.” Sambil menuggu esok tiba, Hatta menjamu tamu negara itu. Setelah makan malam, Hatta mengajak Patnaik menyaksikan pertunjukan kesenian di Padang Panjang. Tunanetra bernama Arsjad dengan permainan biolanya dalam pertunjukan itu memukau Patnaik. Di tempat tinggal Hatta usai pertunjukan, Patnaik setelah bertemu Arsjad meminta Hatta agar Pemerintah Republik Indonesia menyekolahkan Arsjad ke sebuah akademi musik di Brussels dengan biaya yang semua ditanggung Patnaik. Tiga hari kemudian, setelah menempuh perjalanan panjang dan transit di beberapa kota, Hatta tiba di New Delhi. Keesokan paginya, Hatta bertandang ke kediaman Nehri dengan diantar Patnaik. Hatta menunggu ketika Patnaik masuk untuk memberitahu Nehru bahwa ada tamu. Nehru sama sekali tidak mengetahui keberadaan Hatta di India. Maka begitu Patnaik menemuinya dan mengatakan bahwa ada tamu dari Indonesia bernama Abdullah yang hendak bertemu untuk menyampaikan pesan penting, Nehru bersiap-siap sebagaimana biasa dia menerima tamu yang tak kenal secara pribadi. Begitu persiapan selesai, Nehru langsung menemui tamunya. Nehru kaget bukan kepalang ketika ternyata tamunya bukan orang asing baginya. “Mohammad Hatta yang ada di sini, mengapa kau katakan bahwa seorang Abdullah yang tidak terkenal yang datang?” kata Nehru memarahi Patnaik sebagaimana dikutip Hatta.
- Cerita di Balik MD pada Mahfud
Mahfud MD salah satu yang dipanggil Presiden Joko Widodo pada Senin, 21 Oktober 2019. Dari latar belakangnya, diduga dia akan menjabat menteri terkait hukum. Sebelumnya, dia pernah menjabat Menteri Pertahanan kemudian Menteri Kehakiman dan HAM pada masa pemerintahan Gus Dur. Setelah menjabat ketua Mahkamah Konstitusi, dia menjadi anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Dia sempat dikabarkan akan mendampingi Jokowi sebagai wakil presiden, namun gagal. Jokowi didamping KH Ma’ruf Amin. Viktor Kamang, @vctrkmng , mencuit “dilihat dari gelarnya keknya Pa Mahfud MD ini calon Menkes.” Mungkin karena MD singkatan dari Medical Doctor. Ternyata, MD ada ceritanya. Mahfud mengungkapnya dalam buku Setahun Bersama Gus Dur . Ketika masuk PGA (Pendidikan Guru Agama) tahun 1971 di Pamekasan, Madura, di sekolah itu ada banyak murid bernama Mahfud. Di kelas Mahfud MD sendiri ada dua Mahfud. Setiap kali guru mengabsen, dua Mahfud itu selalu mengacungkan tangan bersama atau berteriak bersama, “hadiiir.” Gurunya, Asbun Nawawi, mengusulkan agar yang satu dipanggil dengan nama Mahfud A sedangkan yang satunya lagi, yaitu Mahfud MD, dipanggil dengan Mahfud B. Seminggu setelah mereka dipanggil Mahfud A dan Mahfud B, guru yang lain mengusulkan agar A dan B diganti dengan nama bapaknya masing-masing agar lebih enak didengar. Mahfud A menjadi Mahmud Musyaffa sedangkan Mahfud B menjadi Mahfud Mahmodin. Sejak menjadi pegawai negeri di kantor kecamatan, Mahmodin diganti namanya menjadi Emmo Prawirotroeno, sehingga teman-temannya memanggilnya Pak Emmo. Kata Emmo adalah suku kata yang kedua dari nama Mah-mo-din yang ditambah awalan Em. Mahfud tidak tahu mengapa nama asli perlu diganti dengan nama gelar ketika diangkat menjadi pegawai negeri. Namun, nama yang melekat pada Mahfud tetap nama aslinya, Mahmodin. “Dirasakan bahwa sebutan Mahfud Mahmodin kurang keren didengar sehingga diusulkan lagi agar kata Mahmodin disingkat menjadi MD. Jadilah nama saya Mohammad Mahfud MD,” kata Mahfud. Jadi, kata Mahfud, MD itu bukanlah gelar kesarjanaan atau singkatan dari kata Muhammadiyah. Ini perlu dijelaskan karena ada yang mengira dia berijazah Doctor of Medicine yang biasanya disingkat MD. Juga ada yang mengaitkannya dengan Muhammadiyah karena dia besar di Yogyakarta dan mempunyai banyak guru dan teman dari Muhammadiyah. “Semula kata MD itu dimaksudkan untuk keperluan membedakan pemanggilan di kelas saja,” kata Mahfud , “tetapi kemudian kata itu melekat pada ijazah resmi sehingga semua ijazah pendidikan formal (sampai doktor) serta semua besluit kepegawaian (sampai profesor) yang saya miliki memakai nama Moh. Mahfud MD.”
- Ha...Ha...Ha... Buat Sukarno
ADIAN Napitupulu, politisi nyentrik dari PDIP menolak jabatan menteri yang ditawarkan Presiden Joko Widodo. Adian merasa dirinya belum cukup mampu mengemban tanggung jawab tersebut. Presiden Jokowi menatap dengan sorot mata yang tajam kala mendengar Adian mengatakan tidak bersedia jadi menteri. Penolakan juga pernah dialami oleh Sukarno, Presiden RI yang pertama. Kali ini bukan soal tawaran jabatan menteri tapi soal tawaran konsepsi bernegara. Yang berperkara dengan Bung Karno ialah Ignatius Joseph Kasimo, Ketua Umum Partai Katolik. Pada 21 Februari 1957, Sukarno memanggil semua pimpinan partai politik ke Istana. Kepada mereka semua, Sukarno melontarkan gagasan yang kemudian dikenal sebagai Konsepsi Presiden. Melalui konsepsi itu, Sukarno menyarankan pembentukan kabinet “empat kaki” yang terdiri dari partai-partai pemenang pemilu: PNI, Masjumi, NU, dan PKI. Sepekan berselang, 28 Februari 1957, Sukarno memanggil kembali pimpinan partai politik. Agenda pertemuan meminta persetejuan masing-masing pimpinan partai terhadap Konsepsi Presiden. PKI, Murba, PNI, PRN, Baperki, Persatuan Pegawai-pegawai Kepolisian menyatakan menerima. NU, PSII, Parkindo, IPKI, dan PSI ragu-ragu dan menyatakan mempertimbangkan kembali. Sementara itu, Masjumi dan Partai Katolik dengan tegas menyatakan penolakan. Pimpinan Masjumi, Mohammad Natsir menguraikan penolakannya dengan berpidato panjang lebar. Lalu tibalah giliran Kasimo. Sebelum berbicara, Kasimo punya kebiasaan unik: suka tertawa sambil mengurai senyum lebar. Ciri khas inilah yang melekat pada diri Kasimo. Dia dikenal sebagai politisi senior gaek namun berhati periang. Ketika bersua Bung Karno, seperti biasa Kasimo memulai dengan senyuman khasnya. Sewaktu Bung Karno menanyakan bagaimana sikap Partai Katolik terhadap konsepsinya, Kasimo malah tertawa. Kasimo bukan berarti meremehkan pertanyaan Sukarno. Begitulah caranya mengumpulkan keberanian menyatakan pendapat yang bertentangan dengan kemauan presidennya. “Namun Bung Karno rupanya merasa diejek oleh Kasimo,” sebagaimana terkisah dalam biografi I.J. Kasimo: Hidup dan Perjuangannya yang disusun Threes Nio. Secara singkat dan padat, Kasimo menyatakan tidak setuju dengan konsep Sukarno. Penolakan Kasimo yang terutama sehubungan dengan dilibatkannya PKI dalam kabinet. Merujuk pengalaman sejarah di Eropa Timur, Kasimo beranggapan pengikutsertaan orang-orang komunis akan menyebabkan sebuah negara menjadi komunis. Ini terjadi pada negara Cekoslovakia. Bagi Kasimo, sikap terhadap PKI tidak dapat ditawar-tawar. Sebagai mantan murid Romo van Lith (pelopor missie Katolik di Jawa), Kasimo mempunyai toleransi yang cukup besar terhadap golongan lain. Namun toleransi ini terkecuali terhadap golongan komunis yang dalam pandangan Kasimo anti-agama dan kebebasan beragama. Selesai pertemuan di Istana, para wartawan menanyakan pendapat Kasimo tentang Konsepsi Presiden. “Ha-ha-ha-ha…” itu saja yang keluar dari mulut Kasimo. Sejak saat itulah Sukarno menunjukkan rasa kurang senang terhadap Kasimo. Ketersinggungan Sukarno berbuntut panjang. Dua bulan kemudian, pada April 1957, beberapa petinggi partai dipanggil lagi ke Istana. Dari Partai Katolik yang dipanggil ialah Prof. Mr. A.A. Soehardi, A.B. de Rozari, dan Ir. Soewarto. Kasimo selaku ketua partai tidak diberi tahu. Sebagai akibat dari sikap Kasimo, Partai Katolik tidak diikutsertakan dalam Kabinet Karya yang dipimpin Perdana Menteri Djuanda. Demikian pula dalam kabinet-kabinet berikutnya. Partai Katolik baru masuk dalam kabinet ketika Kasimo tidak lagi menjabat ketua. “Karena berani melawan mainstream politik, ia harus mengundurkan diri dari kepemimpinan partai dan segala kemungkinannya yang melekat pada jabatan tersebut untuk masa itu. Ia menjadi persona non grata untuk sistem masa itu,” tulis J.B. Sudarmanto dalam Politik Bermartabat: Biografi I.J. Kasimo . Pada 1960, Kasimo mengundurkan diri sebagai Ketua Partai Katolik setelah memimpin partai itu selama kurang lebih 30 tahun. Tampuk kepemimpinan selanjutnya diserahkan kepada Ketua DPP Partai Katolik Frans Seda. Baru pada 1964, Frans Seda. menduduki kursi Menteri Perkebunan dalam Kabinet Dwikora.
- Didi Kempot, Makin Tua Makin Ambyar
Malam itu Istora Senayan, Jakarta, ramai. Anak-anak, remaja, dan orang tua bersemangat menuju salah satu panggung dalam acara Pekan Kebudayan Nasional (PKN) 2019 minggu lalu (7-13 Oktober 2019). Ada beragam sajian seni di panggung PKN. Salah satunya pergelaran musik campursari dari pria berambut gondrong kelahiran Surakarta. Dialah Didi Prasetyo atau Didi Kempot. Didi Kempot saat menunggu giliran naik pentas di Senayan. (Fernando Randy/Historia). Sebelum Didi naik ke atas panggung, Historia sempat berbincang pendek dengannya. Dari obrolan tersebut diketahui bahwa asal usul nama Kempot adalah Kelompok Penyanyi Trotoar. “Yah dulu saya itu penyanyi jalanan alias ngamen, akrab sama trotoar,” ujar adik dari almarhum pelawak Mamiek Prakoso, yang tenar dengan mengecat sebagian rambutnya dengan warna keemasan. Ekspresi ribuan fans Didi Kempot yang memadati Istora Senayan. (Fernando Randy/Historia). Didi Kempot saat membawakan berbagai hits dari album-albumnya. (Fernando Randy/Historia). Didi mulai aktif bermusik sejak 1989. Dia memilih musik campursari sebagai jalan hidup berkeseniannya. Campursari adalah musik yang muncul dari perpaduan instrumen gamelan Jawa dan Barat. Diperkenalkan kali pertama oleh R.M. Samsi dari kelompok musik RRI Semarang pada 1953. Campursari menggabungkan nada pentatonik dan diatonis. Sebuah percampuran antara tradisionalitas dan modernitas. Salah satu fans Didi Kempot menangis terharu di tengah keseruan konser tersebut. (Fernando Randy/Historia). Tua dan muda semua bergembira bersama saat Didi Kempot bernyanyi. (Fernando Randy/Historia). Panggung Didi Kempot yang selalu penuh oleh para fansnya di seluruh Jakarta. (Fernando Randy/Historia) Melalui campurasari, Didi membuat ratusan lagu. Kebanyakan lagunya bertema tentang cinta, patah hati, dan kehilangan orang tersayang. Karena tema-tema itulah fans Didi Kempot menamakan diri mereka sebagai Sad Bois dan Sad Girls. Ada juga yang menamakan diri mereka Sobat Ambyar (hancur). Fans juga menjuluki Didi Kempot, pria yang juga terkenal di Suriname itu, sebagai The Godfather of Broken Heart . “Ya, mungkin karena tema patah hati mengena di anak-anak masa kini. Itu buktinya tiap saya nyanyi mereka selalu berjoget,” kata Didi. Fenomena tersebut memang bukan isapan jempol belaka. Begitu Didi Kempot naik panggung, ribuan penggemarnya langsung histeris bahkan sampai menangis. Berbagai atribut kaos bergambar Didi Kempot pun tak luput digunakan oleh para Sobat Ambyar. (Fernando Randy/Historia). Semua Sad Bois dan Sad Girls larut dalam alunan lagu-lagu sang Godfather. (Fernando Randy/Historia) Di panggung PKN, Didi tampil sekira pukul 20.00 WIB. Dia menyapa penggemarnya. “Sobat Ambyar, sing penting aja jotos-jotosan yo (Sobat Ambyar, yang penting jangan berkelahi, ya).” Salam pembukanya disambut riuh oleh ribuan Sobat Ambyar. Kemudian pria berusia 52 tahun tersebut melantunkan lagu-lagu andalannya: Cidro, Stasiun Balapan, Banyu Langit, dan Pamer Bojo. Orang-orang turut bernyanyi. Ekspresi Didi Kempot di panggung dalam gelaran PKN Kebudayaan. (Fernando Randy/Historia). Ribuan fans Didi Kempot bernyanyi dan berjoget bersama tanpa henti bersama sang legenda campursari. (Fernando Randy/Historia). Di tengah jeda lagu, Didi berucap, “Wah ternyata di Jakarta pun kalian masih menghargai musik tradisional. Terima kasih!” Tanpa basa-basi lagi, Lord Didi, julukan lainnya, kembali menggempur panggung. Malam itu benar-benar milik Sobat Ambyar. Mereka merayakan patah hati daripada meratapinya. Ditemani langsung oleh sang Godfather . Salam Ambyar! Didi Kempot mengucapkan terima kasih kepada semua Sobat Ambyar yang telah hadir di Senayan. (Fernando Randy/Historia).
- Sultan Syahrir dan Ragam Muasal Manusia Indonesia
SULTAN Syahrir punya keyakinan bahwa dia masih punya darah keturunan Nabi Muhammad SAW. Mayor TNI AD itu sejak kecil sudah dikisahkan silsilah keluarganya yang darahnya masih berkelindan dengan Sayid Jalaluddin. Pria asal Palu, Sulawesi Tengah itu keluarga besarnya berasal dari suku Kaili. Para pendahulunya sampai membuat pohon silsilah untuk mengaitkan darah keluarganya dengan Rasulullah SAW. “Menurut kepercayaan orangtua, kami berasal dari Arab. Jadi ada keturunan dari Sayid Jalaludin yang menikah di Cikoang. Intinya menurut beliau-beliau (para pendahulu Sultan), Sayid Jalaluddin ini keturunan Rasulullah yang berperjalanan sampai ke Palu, Sulawesi Tengah,” kata Sultan kepada Historia. Kedatangan Sayid Jalaludin ke Sulawesi, menurut Sultan, tak lepas dari upaya penyebaran Islam lewat pernikahan dengan putri bangsawan setempat. “Nah akhirnya mungkin gennya menang ke saya itu gen lokalnya, jadi enggak kelihatan sama sekali Arabnya (di wajah Sultan). Tetapi perkara sah atau tidaknya keturunan Rasulullah, itu di luar pengetahuan saya,” sambungnya. Beragam literatur, semisal Islam and Colinialism: Becoming Modern in Indonesia and Malaysia karya Profesor Muhamad Ali, pakar studi Islam di University of California, menyebutkan adanya ulama Islam bernama Sayid Jalaludin al-Aidit. Menurut Ali, Sayid Jalaluddin adalah ulama Syiah dari Jazirah Arab. “Sayid Jalaluddin al-Aidit datang dari Arabia melalui Aceh dan Banjar (Kalimantan) ke Cikoang pada abad ke-17. Al-Aidit dikatakan berlabuh di Cikoang karena di Makassar sudah terlalu dominan pedagang Sunni Syafii,” tulis Ali. Namun lantaran wajah Sultan tak menampakkan ciri Arab, ia tak pernah kena rundung ( bully ). “Yang menarik sebenarnya bully itu bukan kepada suku saya, tetapi budaya yang ada di keluarga saya. Di keluarga saya perkawinannya ke dalam. Tidak boleh seorang wanita menikah dengan di luar darah keluarganya. Jadi bapak saya sendiri dengan ibu saya, istilahnya sepupu satu kali,” terang Sultan. Perundungan itu baru dirasakan Sultan setelah ia masuk asrama di SMA-nya di Magelang, Jawa Tengah yang tentu didominasi orang Jawa. “Saya mengalami culture shock. Bayangkan, saya sebagai perantauan lulusan SMP masuk lingkungan asrama SMA yang baru dengan berbahasa yang bahasanya tidak saya pahami. Apalagi buat mereka yang orang Jawa, katanya juga tidak baik menikah satu sepupu. Katanya kalau dalam pelajaran biologi, nanti anaknya down syndrome . Saya merasa ter- bully di situ,” tambahnya. Namun, perlahan ia bisa berbaur dan kawan-kawannya pun saling mengerti budaya satu sama lain. Begitu pula ketika Sultan masuk akademi militer di kota yang sama. Bercampur dengan para taruna dari Aceh hingga Papua, ia merasa perbedaan adalah kekayaan dan bisa jadi kekuatan di antara mereka sendiri. Oleh karena itu, kondisi sosial-masyarkat belakangan yang mulai diwarnai pengkotak-kotakan antara pribumi dan non-pribumi membuat Sultan prihatin. Hal itu jadi salah satu faktor yang mendorongnya ikut tes DNA ( Deoxyribonucleic acid) yang diselenggrarakan Historia.id dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI lewat Proyek DNA Asal Usul Orang Indonesia (ASOI) . “Apa sih pribumi dan non-pribumi? Saya miris melihat kita, terutama beberapa tahun belakangan ini, memfragmentasi diri kita sendiri,” ujar Sultan. Dominan DNA Asia Timur Apa yang diyakini tak selalu berbanding lurus dengan fakta. Hal itulah yang dialami Sultan ketika mengetahui hasil tes DNA-nya tak sama dengan yang dia yakini selama ini. Gen Asia Timur justru mendominanasi dirinya. “Saya terkejut. Kok saya 83 persen itu Asia Timur? Pengertian saya kan Asia Timur itu Tiongkok. Padahal saya enggak ada roman-roman (ciri wajah) Tiongkok,” cetus Sultan. Herawati Supolo-Sudoyo (kanan) pakar genetika Lembaga Biologi Molekuler Eijkman memaparkan hasil tes DNA Sultan Syahrir (Foto: Dok. Historia) Rincian hasil tes DNA-nya: Asia Timur 83,04 persen, Asian Disperse (Diaspora Asia) 13,11, dan Asia Selatan 3,78 persen. Sementara, gen Timur Tengah-nya hanya 0,07 persen. Menurut pakar genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Profesor Herawati Supolo-Sudoyo, nenek moyang Sultan bagian dari migrasi Austronesia sejak empat milenium (4.000 tahun) lampau. “Gelombang migrasi ini dari Yunan (Cina Selatan) turun ke bawah. Yang sebagian besar dari orang Indonesia, terutama mereka yang tinggal di Sulawesi, adalah yang pertamakali menerima latar belakang Austronesia. Jadi Pak Sultan sesuai sekali presentasenya, 83 persen Asia Timur yang asalnya dari migrasi Austronesia dari Yunan itu,” kata Herawati. Sementara, 13,11 persen gen Diaspora Asia merupakan orang-orang dari Asia Timur yang merantau sampai ke Amerika Utara. “Kan Pak Sultan asalnya (moyangnya) dari Asia daratan tadi, nah sebagian dari yang di situ menyeberang Selat Bering masuk ke Amerika,” sambung Herawati. Sedangkan 3,78 persen gen Asia Selatannya, kata Herawati, berasal dari keturunan Bengali. “Terus yang terakhir, Middle East -nya (0,07 persen) dari Oman. Dari keturunan Bedouin (Badui). Jadi memang Pak Sultan ini genetiknya Austronesia tapi rupanya ada percampuran sedikit dari Bengali dan Bedouin.” Bedouin adalah salah satu masyarakat di Jazirah Arab yang hidup nomaden mengikuti sumber ketersediaan sumber air. Bedouin terbagi dua, satu berdiam di utara dan tengah Jazirah Arab. Mereka lantas menyebar ke Afrika Utara. Adapun kelompok kedua mengembara di wilayah selatan Jazirah Arab (Yaman, Oman), hingga kemudian menyebar hingga Asia Selatan dan Asia Tengah. Meski terkejut, Sultan bisa menerima fakta yang ada. “Saya makin yakin kita semua justru bukan berasal dari Indonesia. Jadi buat apa menganggap diri kita lebih Indonesia dari yang lain. Kalau kita mau lihat mana yang lebih Indonesia, kita bisa lihat dari dua hal: Pertama , bagaimana dia mengisi kemerdekaan? Mungkin itu klise karena seragam saya. Kedua , bagaimana dia merawat keindonesiaan kita?” sambung Sultan. Baginya, mengisi dan merawat keindonesiaan tidaklah rumit. “Apakah kita sudah manusiakan mereka dengan adil dan beradab dalam bingkai persatuan?” tandasnya.





















