top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kebingungan Rombongan Perwira Angkatan Udara Sepulang dari China

    SAAT menerbangkan pulang helikopter Mi-6 dari Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Husein Sastranegara, Bandung ke PAU Atang Senjaya, Bogor pada 2 Oktober 1965, Letda Udara (kini kolonel udara purnawirawan) Pramono Adam mendapati hal janggal. “Di atas, ramai (informasi radio, red .). Nggak boleh ke sana, nggak boleh ke sini. Nggak boleh ke Halim, Halim udah diduduki oleh Angkatan darat,” ujar Pram menirukan suara radio di cockpit helinya, kepada Historia . Ternyata, larangan di radio yang didengar Pram merupakan aturan yang dikeluarkan komandan-komandan PAU kepada pesawat-pesawat AURI yang sedang mengudara menyusul terjadinya G30S. Larangan itu muncul mengikuti keadaan yang cepat berubah lantaran keadaan darurat. Kondisi seperti yang dialami Pram juga dirasakan Kolonel Udara Santoso saat ditugaskan memiloti pesawat Hercules AURI untuk menjemput rombongan Seskau AU yang study tour ke RRC. Dari Canton (kini Guangzhou) sampai memasuki wilayah udara Indonesia, tanggal 6 Oktober, penerbangan Santoso berjalan dengan baik dan tenang. Perubahan baru terjadi ketika pesawat mendekati ibukota. “Setelah pesawat mendekati Jakarta, mendapat tiga instruksi. Pertama, agar Hercules mendarat di PAU Halim, instruksi kedua, agar mendarat di PAU Atang Senjaya Semplak dan yang ketiga, agar mendarat di PAU Husein Sastranegara,” tulis Aristides Katoppo dan kawan-kawan dalam Menyingkap Kabut Halim 1965 . Tiga instruksi itu membuat bingung Santoso dan juga Komodor Sri Bimo Ariotedjo, Danjen Sekolah Staf Komando AU (Seskau), yang berada di cockpit . “Ini perintah siapa?” tanya Bimo. “Kalau instruksi dari PAU Husein pasti datang dari Kolonel Ashadi komandan PAU Husein,” jawab Santoso. Ashadi (KSAU 1977-1982 ) merupakan komandan PAU pertama yang mengeluarkan himbauan kepada pesawat-pesawat AURI yang hendak mendarat ke Halim agar mengalihkan pendaratan ke PAU Husein yang dianggapnya lebih aman. Himbauan itu muncul menyusul didudukinya Halim oleh RPKAD pada 1 Oktober sore karena mengira AURI bakal membom Kostrad. Himbauan pertama Ashadi, dinihari 2 Oktober 1965, ditujukan kepada lima pesawat AURI yang dikirim dari Wing Ops 002 Abdulrachman Saleh, Melang ke Halim. Sebuah pesawat B-25 Mitchell yang terlanjur mendarat di Halim sebelum himbauan Ashadi keluar, akhirnya roda-rodanya digembosi para personil RPKAD. Namun karena tidak mengetahui maksud Ashadi dan justru menilai himbauan itu akan dimaksudkan untuk bermacam hal yang tak diinginkan, Bimo memerintahkan agar Santoso tak mendaratkan Hercules ke Bandung. Bimo lalu menanyakan pada Santoso apakah sebelum berangkat ke Canton mendapatkan kejadian aneh. Sang pilot pun menjawab bahwa pada dinihari 2 Oktober ketika Laksda Sri Mulyono Herlambang hendak kembali ke Jakarta dari Medan, di atas Tanjung Priok pesawatnya ditembaki oleh Artileri Serangan Udara milik AD. Mendengar jawaban Santoso, Bimo langsung memerintahkan agar Hercules mendarat di Halim dan sebelum masuk Karawang, pesawat turun ke ketinggian 500 kaki. “ Straight masuk Halim. Nggak usah call-call -an. Long final runway 24, langsung mendarat!” kata Bimo memberi perintah. Hercules akhirnya selamat mendarat di Halim yang saat itu sudah aman setelah pasukan RPKAD keluar usai diberi penjelasan Laksda Herlambang. Namun ketika rombongan siswa Seskau hendak pulang ke rumah masing-masing pada pukul 20.00, datang perintah agar rombongan segera menghadap Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto. Kendati bingung, Bimo dan rombongannya yang berisi 70 perwira AU pun berangkat menghadap Soeharto. Kebingungan Bimo makin bertambah ketika di Kostrad dia bertemu kawan lamanya di AMN Yogyakarta, Letkol Oerip Widodo, yang sama sekali beda dari biasanya. Sampai di situ, Bimo dan rombongan masih belum tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Terlebih, di ruangan tempat mereka diterima terdengar suara dua orang bercakap dengan keras di belakang ruangan. “Ada yang sedang berkelahi. Mayjen TNI Soeharto dan Mayjen TNI Pranoto Reksosamodro,” kata seorang ajudan berpangkat letnan yang menemani rombongan Bimo. Setelah sekira sejam menunggu, rombongan Bimo akhirnya ditemui Soeharto. Setelah menanyakan siapa pimpinan rombongan, Soeharto langsung mengambil sebuah catatan. “Begini ya, saya perlu brief semua,” kata Soeharto, dikutip Aristides dkk. Pangkostrad lalu membacakan kronologi peristiwa G30S. “Seolah-olah, pimpinanmu ada di pihak sana,” kata Soeharto menutup briefing . Pernyataan Soeharto itu makin menambah kebingungan para anggota rombongan Bimo. Terlebih setelah Soeharto mempertunjukkan foto beberapa jenazah jenderal yang dibunuh di Lubang Buaya. Puncak kebingungan Bimo dan rombongannya terjadi ketika Soeharto menutup pertemuan dengan sebuah pertanyaan. “Jadi, Saudara pilih pimpinanmu atau pilih kami?” kata Soeharto. Alih-alih memberi pilihan, Bimo yang sama sekali tak mengetahui perkembangan keadaan tanah air beberapa hari belakangan menjawab diplomatis. “Begini, Pak, saya berangkat atas perintah Men/Pangau. Saya pulang mau laporan dulu,” ujarnya. Jawaban itu membuat Soeharto kecewa. Dia langsung bangun dari duduknya dan keluar ruangan tanpa mengeluarkan sepatah kata.

  • Macz Man, Pelopor Suporter Kreatif Anti-Barbar

    TABUHAN drum bertalu-talu mengiringi nyanyian dan gerak koreografis suporter saat laga PSM Makassar kontra Arema FC, Rabu, 16 Oktober 2019. Kehangatan di Stadion Andi Mattalatta itu kian terasa dengan bersahabatnya kelompok suporter kedua tim yang berlaga. Kendati malam itu hampir segenap sudut stadion didominasi pendukung Juku Eja, julukan PSM, suporter tim tuan rumah itu tak sedikitpun menggunakan kedigdayaan untuk mengintimidasi Aremania, sebutan pendukung Arema FC, yang terselip di sektor tribun barat. Persahabatan itu membuat ratusan Aremania leluasa menyanyikan lagu-lagu penyemangat untuk timnya tanpa gangguan sehingga suaranya terdengar sampai ke tribun VIP Selatan yang Historia tempati. “Sudah sejak lama kami bersahabat dengan Aremania. Makanya ini mereka sekitar 300-an datang ke sini, tentu kita jamu. Sebagai bentuk balas budi karena ketika kami bertamu ke Malang pun kami dijamu dengan baik,” tutur Mustafa Amri, sekjen Macz Man, kepada Historia. Suasana bersahabat seperti itu memang selalu dikedepankan oleh Macz Man, kelompok suporter PSM terbesar dan pelopor gerakan suporter kreatif. Entah terinspirasi Andi Mattalatta ketika hendak menyalurkan pemuda ke hal-hal positif atau bukan, Macz Man ingin mengajak para suporter menjauh dari anarkis sehingga mengikis perilaku barbar para suporter yang hingga kini masih acap muncul di laga-laga sepakbola tanah air. Perintis Inisiatif Suporter Kreatif dan Atraktif Macz Man yang baru eksis pada 2001 jelas bukanlah kelompok suporter PSM tertua. Sebelumnya, PSM sudah dikawal Mappanyukki dan Suporter Hasanuddin di awal 1990-an, dan Ikatan Suporter Makassar (ISM) sejak 1995. Namun sebelum memasuki tahun 2000-an, suporter PSM termasuk salah satu suporter beringas. Perilakunya barbar. Lemparan benda-benda ke lapangan saat pertandingan, cacian rasis, hingga bentrok dengan suporter lawan menjadi ciri khas. “Perilaku suporter tahun 2000 ke bawah belum ada yang bersentuhan dengan kreativitas di stadion. Masih primitif. Artinya, perilakunya yang barbar. Sebelumnya, suporter PSM musuh dengan Bonek. Tidak ada sejarahnya merah (suporter PSM) bisa masuk stadion Gelora 10 November. Begitupun sebaliknya,” lanjut Mustafa. Penampakan harmonis Macz Man dan Aremania di Stadion Andi Mattalatta (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Hal itu menumbuhkan tekad Ocha Alim Bahri, pewarta foto cum fans PSM, untuk memberantasnya, terutama setelah PSM juara Liga Indonesia 1999-2000. Ocha sebelumnya mendapat “pencerahan” tentang suporter kreatif dari kiper PSM Hendro Kartiko. “Hendro Kartiko jelang laga away ke Malang dan Solo bisik ke bang Ocha. Tentang apakah enggak bisa bikin suporter PSM seperti Aremania atau menjadi suporter modern lain seperti Pasopati (suporter Persis Solo),” imbuh pria asal Palopo itu. Sepulang dari menemani PSM tur ke Jawa, Ocha mendekati sejumlah dedengkot kelompok suporter macam Suporter Hasanuddin dan ISM. Ocha ingin mengajak mereka memutar pemahaman bahwa bukan lagi zamannya jadi suporter beringas dan sudah saatnya berubah jadi suporter yang modern laiknya Aremania dan Pasopati. “Tapi kelompok-kelompok yang eksis saat itu tidak terima. Dibilangnya, bukan tipe (orang) Makassar itu. Kalau suporter Jawa boleh saja karena orangnya kan kalem-kalem. Makassar tidak bisa begitu. Karena tidak ada yang mau, makanya (Ocha) bikin kelompok sendiri,” sambung Mustafa. Ocha lalu mengajak rekannya Amarullah Pase dan Iriantosyah Kasih untuk menggodok konsep wadah baru pendukung tim Ayam Jantan dari Timur itu pada Desember 2000. Ketiganya juga berhasil menggalang massa “perintis” dengan menggaet 14 orang suporter lain yang punya pemahaman sama. “Mulai saat itu ikut bergabung 14 orang yang awalnya mereka anggota ISM kawasan Cilallang. Pak Ocha mulanya yang temui mereka dan kebetulan gayung bersambut dan sepaham dengan idenya Pak Ocha. Padahal kan ini anggota ISM. Jadi secara organisasi lembaga, tidak mau terima ide Macz Man untuk jadi suporter kreatif. Tetapi ada bagian dari kelompoknya yang mau terima dan itulah yang kemudian dibina,” tambahnya. Ketiga inisiator sengaja tak mendeklarasikan kelompok suporternya karena ingin lebih dulu punya “modal” agar ditengok publik. Utamanya via media, mengingat Ocha merupakan salah satu pewarta senior di Makassar. Ocha lalu meminta bantuan Mayor Haristanto, dedengkot Pasopati, untuk melatih bernyanyi dan koreografi. “Mulai latihan di Lapangan Karebosi, lalu berpindah-pindah di stadionnya UNM (Universitas Negeri Makassar). Lalu mulai bertambah anggota di situ sampai sekitar 100 orang. Karena dilatihnya sama Bung Mayor, makanya sampai sekarang yel-yel kita masih banyak pakai lagu pinjaman. Belum ada lagu lokal,” tutur Mustafa. Jajaran pengurus minus Presiden Macz Man Ocha Alim Bahri (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Setelah merasa “cukup” terlatih, Macz Man dideklarasikan pada 1 Februari 2001. Macz Man merupakan akronim Macazzart –pelesetan dari nama kota Makassar– Mania. Mustafa belum turut dalam “rombongan” perintis itu. Ia masih sekadar pendukung PSM tanpa organisasi. Butuh waktu agak lama sampai Macz Man bisa debut di Stadion Andi Mattalatta. Macz Man, kata Mustafa, pertamakali hadir di laga kandang PSM kontra Pelita Solo, 24 Juni 2001. Saat itulah Mustafa terpesona Macz Man dan memutuskan bergabung.  “Cikal-bakalnya banyak yang gabung dari situ. Termasuk saya.” Macz Man mulai dikenal publik via “kekuatan” media. “H+1 setelah debut itu, Macz Man muncul di media-media, bahkan media nasional ikut muat, tabloid Bola, karena ada rekan Pak Ocha, Sigit Nugroho,” kenang Mustafa. Kemunculan Macz Man tentu menuai nyinyiran dari kelompok-kelompok yang lebih senior. “Awalnya mereka tidak anggap kita. Dibilang, ‘ah, Macz Man ini baru seumur jagung.’ Tapi karena sering ter- cover media, jumlah kita mulai besar. Baru tahun kedua kita mulai adakan silaturahim ke para senior. Kita sepakat bahwa sekalipun beda payung, beda organisasi, tapi tim yang kita dukung sama. Setelah itu mereka mulai mengerti,” ujarnya. Salam Jabat Hati Sebagai identitas, Macz Man punya logo dan slogan. Logonya, seekor ayam jantan, sesuai julukan PSM, merupakan hasil sayembara yang dimuat di Harian Fajar . Sementara slogannya adalah “Salam Jabat Hati”, dicetuskan Mustafa sendiri. “Kebetulan ini slogan baru ada 2002 setelah kita tur ke Jawa. Ketemu dengan teman-teman Jakmania, Aremania, Bonek, sekaligus kita jalin persahabatan memperbaiki masa lalu. Di Aremania dikenal salam ‘Salam Satu Jiwa’. Bonek punya ‘Salam Satu Nyali, Wani!’. Nah pada saat itu kebetulan kita sepakat akan punya salam yang spesifik punya kita,” terang Mustafa. Ayam Jantan, logo Macz Man (Foto: the-maczman.com ) Ide Mustafa terinspirasi dari kata-kata “Salam Jabat Hati” di sebuah siaran radio lokal di Palopo. “Saya ingat sejak SMA sering dengar radio swasta di Palopo. Sebelum rampung siaran, penyiarnya berslogan ‘Salam jabat hati untuk saudaraku di pulau ini.’ Ah , kayaknya bagus ini. Saya lempar ke teman-teman di forum, mereka oke. Jadi maknanya, sekalipun kita berjauhan tapi tetap nyambung. Makanya salam jabat hati agar lebih akrab, kira-kira begitu,” tambahnya. Faktor slogan yang nyaris sama itu yang turut mengikat persahabatan Macz Man dengan Aremania dan bahkan Bonek, kendati dua suporter besar dari Jawa Timur itu saling bermusuhan. Soal ini, Macz Man tak mau pilih-pilih kawan. “Karena sama-sama disambut ketika kita bertamu ke Surabaya maupun ke Malang. Sama Aremania memang kita paling dekat, selain sama Pasopati. Sudah seperti silsilah keluarga. Pasopati yang mengajari Arema. Lalu Pasopati mengajari Macz Man. Jadi istilahnya, Pasopati itu bapaknya Macz Man dan Arema ini neneknya, hahaha …” Satu tradisi unik yang dimiliki Macz Man adalah tradisi memandikan patung legenda PSM Andi Ramang yang berdiri di Anjungan Losari dan menziarahi makam Ramang tiap merayakan hari jadi Macz Man 1 Februari. “Karena dia satu manusia langka orang bola di Indonesia. Satu-satunya pemain Indonesia yang diperingati saat wafatnya oleh FIFA. Dan memang ya itu (skandal suap) menghancurkan kariernya. Akhirnya dia pensiun, habis itu. Itulah… Padahal dia kan juga tidak akui terlibat skandal itu,” cetus Mustafa. Macz Man diakui publik sebagai pelopor suporter kreatif di Makassar. Eksistensinya menginspirasi kemunculan sejumlah kelompok lain yang juga tak mau kalau atraktif dalam menyemangati PSM, seperti Laskar Ayam Jantan, Red Gank atau PSM Fans. Namun, Macz Man tetap masih yang terbesar. Dari data 2018, jumlah resmi pemegang kartu anggota mencapai 5.000 orang. ini belum termasuk para perantauan asal Makassar yang di luar Sulawesi. Meski tak mendapatkan dispensasi apapun dari klub, Macz Man tetap setia menemani di manapun PSM berlaga. “Enggak ada dispensasi dari manajemen (klub). Orang umum didiskon (tiket) 10 persen, kita pun sama saja. Tur ke luar juga biaya sendiri. Betul-betul mandiri. Tak jarang ada cerita anggota kita gadaikan BPKB kendaraannya untuk ongkos ke luar kota,” sambung Mustafa. Mustafa Amri, Sekjen The Macz Man (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Jelas bukan perkara mudah bagi pengurus untuk membuat Macz Man sesuai dengan angan di awal mengingat jumlah anggotanya begitu besar untuk ukuran di luar Jawa. Meski sudah “dididik” untuk menjadi suporter yang sportif dan kreatif, masih ada saja sisa-sisa perilaku barbar yang muncul. Insiden pelemparan terhadap para pemain Persija jelang final Piala Indonesia pada Agustus silam, contohnya. “Sangat sulit mengatur mereka. Tiap kepala punya pikiran sendiri-sendiri. Tak ada pendekatan meritokratis yang mudah laku karena sebagian suporter sepakbola kita, saya sebut sebagai kumpulan useful idiots , himpunan kaum teroris yang dilegalkan untuk berhimpun di stadion-stadion yang tak pernah dihukum ketika berbuat onar,” ujar Bambang Haryanto, mantan Sekjen Asosiasi Suporter Seluruh Indonesi (ASSI), dikutip Anung Handoko dalam Sepakbola tanpa Batas: City of Tolerance . Namun, para petinggi Macz Man tetap amat memperhatikan para anggotanya soal itu lantaran mewujudkan kelompok suporter kreatif sesuai angan tak secepat membalikkan telapak tangan. “Tidak jarang awal-awal kita bentrok dengan anggota kita karena ada yang mau lempar-lempar ke lapangan. Memang biasanya yang memantik brutalisme suporter adalah wasit. Walau kita sudah arahkan berperilaku kreatif, masih ada yang kambuh kalau terpancing. Memang butuh waktu,” tandas Mustafa.

  • Leluhur Orang Papua

    Ada dua ras berbeda yang mendiami Kepulauan Nusantara. Ras Mongoloid menempati bagian barat dan utara. Sementara di timur dan selatan ditinggali ras Australomelanesid. Secara fisik, keduanya dengan mudah dapat dibedakan. Orang Papua mewakili ras Australomelanesid. Sementara orang Melayu mewakili ras Mongoloid. Namun, leluhur orang Papua yang tertua tiba di Nusantara. Keberadaannya bisa ditarik mundur sampai masa Homo sapiens atau manusia yang secara anatomis modern, bermigrasi keluar dari Afrika. Harry Widianto, kepala riset Balai Arkeologi Yogyakarta, menjelaskan berdasarkan bukti paleoantropologis, sampai kini benua Afrika masih dipercaya sebagai sumber asal dan tempat evolusi hominid. Homo sapiens diperkirakan mulai menyebar keluar dari benua itu sejak 100.000-300.000 tahun yang lalu. Dengan menyusuri garis pantai dari Afrika, mereka berjalan kaki hingga kawasan Asia Tenggara. Secara berkelompok mereka menyusuri garis pantai dari Afrika sampai Nusantara dengan memanfaatkan jembatan darat yang menggabungkan Sumatra, Kalimantan, dan Jawa. Mereka lalu bergerak ke Halmahera sampai ke wilayah Papua. Merekalahyang kemudian disebut ras Melanesia. “Ini garis keturunan langsung dan bertahan sampai sekarang. Cirinya rambut merah, keriting. I ni diturunkan sampai sekarang di Papua dan Halmahera,” kata Harry yang ditemui dalam diskusi “Jejak Manusia Nusantara” di Museum Nasional, Jakarta, Selasa (5/11/2019) . Bukti penjelajahan manusia modern awal itu di Nusantara ditemukan di Lida Ajer, Sumatra Barat berupa gigi dari 73.000-63.000 tahun yang lalu. Kemudian di Indonesia bagian timur berupa alat-alat batu berumur 45.000-20.000 tahun yang lalu. “Manusia modern awal ini yang kemudian menurunkan ras Australomelanesid yang segera menyebar ke seluruh Kepulauan Nusantara sejak 15.000 tahun yang lalu,” kata Harry. Populasi ras Melanesia awalnya menjelajah dari kawasan inti mereka di sekitar Nugini, termasuk di Kepulauan Bismarck di pantai timur laut Nugini, Samudra Pasifik, hingga sampai ke Australia Tenggara. Populasi ini hidup di Australia sampai 30.000 tahun yang lalu. Dari sana barulah beberapa bermigrasi sampai ke Nusa Tenggara, Jawa, dan Kalimantan pada 15.000-5.000 tahun yang lalu. Mereka inilah ras Australomelanesid. “Cirinya berbadan kekar, kepala lonjong, gigi maju. Mereka menghuni gua lalu hilang pada 5.000 tahun lalu,” jelas dia lagi. Ras Australomelanesid segera menguasai hampir seluruh wilayah Kepulauan Nusantara hingga 5.000 tahun yang lalu. Menrut Harry, mereka kemudian menjadi satu ras yang cukup besar, Mereka hidup di gua-gua Jawa Timur, Jawa Tengah, DIYogyakarta, Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, dan Timur. Orang-orang ini juga punya kebiasaan menguburkan kerabatnya yang mati dengan sistem penguburan terlipat. “Seperti janin di dalam perut ibu,” kata Harry. Masyarakat Wamena, Papua, Indonesia. (Sergey Strelkov/123rf). Peter Bellwood dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia juga menjelaskan Daratan Sunda, Wallacea, dan Daratan Sahul merupakan wilayah yang bisa dikatakan sebagai kawasan Melanesia Lama. Populasi yang dulunya menempati kawasan itu merupakan leluhur orang-orang di Australia dan Melanesia modern. Melanesia mencakup gugus kepulauan yang memanjang dari Papua dan Aru lalu ke timur sampai Pasifik bagian barat, serta utara dan timur laut Australia.  “Jadi orang Papua itu justru keturunan manusia modern yang 70.000 tahun lalu tiba di Nusantara yang kemudian menghasilkan Australomelanesid,” kata Harry. “Sementara orang Nusa Tenggara adalah keturunan langsung dari Papua. Papua itu sulung. Paling tua (leluhurnya, red. ).” Populasi awal yang mendiami Nusantara kala itu pun terus menerus berevolusi menjadi kelompok yang beragam. Mereka mengalami perubahan tertentu, yaitu semakin mungilnya wajah dan tengkorak. “Saya curiga bahwa perubahan karena tekanan seleksi setempat mungkin juga berperan penting, walaupun proses ini tak terekam dalam perubahan budayanya,” tulis Bellwood. Kendati begitu, kelompok itu secara fenotip tetap Australomelanesid. Beberapa di antaranya bahkan tetap bertahan hingga kini. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang menghuni bagian timur. Sementara pada 5.000 tahun yang lalu sekelompok manusia modern lainnya datang dari utara menuju Kepulauan Nusantara. Merekalah ras Mongoloid, atau yang secara khusus disebut para penutur Austronesia. Mereka berpindah ke selatan dari Taiwan pada 5.000 tahun yang lalu dan tiba di Nusantara dan Filipina pada 4.000 tahun yang lalu. Mereka lalu menduduki daerah-daerah yang sudah pernah ditinggali populasi Australomelanesid. Populasi ras Mongoloid itu kemudian bercampur dengan sebagian ras Australomelanesid yang masih bertahan. Mereka terutama yang hidup di wilayah Wallacea, seperti Sulawesi dan Nusa Tenggara. Karenanya kini orang-orang di wilayah Nusa Tenggara merupakan hasil percampuran Australomelanesid dan Mongoloid. “Tentu saja sebaiknya kita senantiasa ingat bahwa semua bukti ini menunjukkan bahwa banyak di antara populasi Mongoloid yang sekarang tinggal di Indonesia dan Malaysia juga mempunyai banyak warisan genetik Australomelanesid,” tulis Bellwood. Bukti lain bahwa Australomelanesid masih bertahan ketika ras Mongoloid datang adalah temuan di Gua Harimau, Sumatra Selatan. Dari 82 rangka manusia yang ditemukan, 77 di antaranya adalah ras Mongoloid dan lima lainnya Australomelanesid. “Di situ hidup bersama, co-habitation namanya, di Gua Harimau pada 3.500 tahun lalu. Ini membuktikan bahwa ras Australomelanesid masih bertahan di Sumatra ketika Mongoloid datang. Tapi mereka tidak berkawin. Karena di situ terpisah ditemukannya, tidak seperti penduduk Nusa Tenggara sekarang,” kata Harry. Pada perkembangannya, Mongoloid, yaitu penutur Austronesia, menghuni kawasan Indonesia barat. Sementara Austromelanesid bergeser sedikit demi sedikit menghuni kawasan Indonesia timur. Kendati begitu, desakan migrasi penutur Austronesia itu tidak sampai kepedalaman Papua. Karenanya karakter Melanesia yang lebih asli masih dijumpai di pedalaman Papua. “Papua dan Nusa Tenggara secara genom berlainan dari kita. Jadi kalau sekarang fisiknya lain. Tapi kita semua kalau dibedah ya sama, asalnya dari pohon evolusi yang sama, Homo sapiens yang bergerak keluar dari Afrika,” lanjut Harry.

  • Mula Rumah Sakit untuk Pribumi

    Seorang dukun mengunyah prum dan sirih. Sejurus kemudian, kunyahannya dia semburkan ke tubuh pasiennya yang luka. Kandungan antiseptik pada daun sirih efektif untuk menyembuhkan luka. Demikianlah gambaran pengobatan di Nusantara pada masa pengobatan medis belum masuk ke kalangan pribumi. Keahlian dukun menyembuhkan penyakit tak diragukan masyarakat. Penghormatan pada mereka pun tinggi. Ketika wabah cacar melanda, para dukun berkeliling rumah untuk membagikan jeruk sebagai usaha menangkal cacar kendati hasilnya tak sesuai harapan.  Data dari Almanak Nederlansch Indie pada 1850, di Jawa tercatat ada lebih dari seribu dukun, dua ratus-an sinse (tabib Tionghoa). Sementara, jumlah petugas medis Eropa tidak sampai seratus orang. Alhasil, layanan medis Barat pun terbatas meski p ada tahun-tahun pertama setelah VOC runtuh layanan kesehatan sudah diambilalih pemerintah kolonial. B Sama seperti masa sebelumnya, layanan kesehatan di negeri jajahan mayoritas dikerjakan oleh ahli bedah dan dikhususkan untuk pasien Eropa. Ada tiga jenis layanan yang diberikan, yakni rumah sakit umum, rumah sakit kota yang kebanyakan tinggalan VOC, dan layanan kesehatan di pedalaman desa untuk pribumi. Jenis layanan terakhir muncul setelah kemunculan dokter Djawa di pedalaman. Sebelum itu, pasien pribumi berobat ke dukun lantaran pemerintah kolonial tidak memberikan layanan medis untuk prbumi karena dianggap tidak menguntungkan. Pemerintah bahkan mengatakan tidak bertanggung jawab atas ketersediaan layanan medis untuk pribumi biasa. Perhatian untuk menyediakan layanan kesehatan bagi pribumi baru muncul ketika wabah cacar  menyerang Banyumas hingga menewaskan banyak buruh perkebunan. Pemerintah lalu mendirikan Sekolah Dokter Djawa pada Oktober 1847 atas usulan Kepala Miliataire Geneeskundige Dienst (Dinas Kedokteran Militer) Dr. William Bosch pada Gubernur Jenderal J.J. Rochussen. Sekolah yang bertempat di Weltevreden, Batavia ini memberi masa studi dua tahun. Dalam Healers on the Colonial Market, Liesbeth Hesselink menyebut, sebagian besar guru hampir tidak memiliki pengalaman dengan pasien pribumi. Para lulusan dari sekolah inilah yang ditugaskan menangani pasien pribumi dengan pengawasan dokter Eropa. Setelah lulus, siswa sekolah dokter Djawa dikirim sebagai mantri vaksin dalam epidemi yang menyerang buruh perkebunan. Selain mengatasi cacar, pemerintah juga memberikan layanan kesehatan untuk pekerja seks yang terkena sifilis. Pembentukan layanan kesehatan sifilis ini juga bermula dari alasan ekonomi, yakni Belanda tak ingin rugi karena buruh-buruhnya mati atau berkurang. Di layanan kesehatan semacam inilah pasien pribumi biasanya ikut berobat. Bukan hanya sifilis atau cacar, tapi segala penyakit yang sulit disembuhkan dukun. Lambat laun, kepercayaan masyarakat pada layanan dokter Djawa membaik. Mereka akhirnya membuka ruang konsultasi yang kemudian berubah menjadi klinik yang menangani pribumi. Laporan Direktur Layanan Publik pada 1877 menyebut ada 35 rumah sakit untuk masyarakat sipil umum. Rumah sakit ini menerima layanan untuk pasien pribumi, termasuk merawat pasien sifilis. Karena layanan kesehatan ini makin ramai didatangi pasien pribumi, pemerintah kolonial memperbesar layanan dari yang mulanya hanya melayani satu jenis penyakit itu. Koloniale Verslagen (KV) 1879 menyebut ada pembahasan mengenai status layanan kesehatan untuk pribumi di pedalaman. Para ahli medis dan para kepala Pemerintahan Daerah akhirnya sepakat meningkatkan status layanan kesehatan sifilis yang menerima pasien pribumi dan beberapa klinik yang dibuka oleh dokter menjadi rumah sakit pribumi. Rumah sakit pribumi ini pun menerima subsidi dari pemerintah. Pada 1879, pemerintah Hindia Belanda mendata ada empat rumah sakit untuk warga sekitar Pasuruan, Probolinggo, Wonosobo, dan Gombong. Rumah sakit ini diakui oleh penguasa setempat sehingga petugas kesehatan yang diterjunkan pun ditunjuk oleh pemerintah. Bukti lain tentang keberadaan rumah sakit untuk pribumi tercatat dalam Koloniaal Verslag yang keluar tahun 1902. Laporan tersebut mencatat ada 88 rumah sakit pribumi di Jawa dan luar Jawa. Menurut Sjoerd Zondervan dalam Patients Of The Colonial State, ada sedikit kesimpangsiuran tentang jumlah rumah sakit pribumi dalam catatan. Petugas medis dan pegawai sipil setempat kadang tidak bisa membedakan antara rumah sakit pribumi, rumah sakit penanganan sifilis untuk perempuan ( syphilitische vrouwen ), atau kombinasi keduanya yang juga melayani penjara lokal. Hal ini tentu disebabkan oleh pembentukan rumah sakit pribumi yang tadinya pusat perawatan sifilis. Hingga 1900, ada 59 rumah sakit pribumi di Jawa.

  • Sejarah Lajur Khusus Sepeda di Indonesia

    Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggencarkan pembuatan lajur khusus untuk pesepeda pada November 2019 sepanjang 69 kilometer. Lajur itu menyatu dengan jalan aspal kendaraan bermotor. Hanya dipisahkan oleh garis tak putus berwarna putih. Selain cat putih, terdapat pula cat hijau, kuning, dan merah sebagai penanda lajur itu. Anggaran pembuatan lajur khusus untuk pesepeda sebesar Rp73 miliar. Anggota DPRD mempertanyakan jumlah anggaran itu. Sebaliknya, para penggiat transportasi massal dan alternatif mendukung pembuatan lajur itu. Terlepas dari besaran anggarannya. Mereka menilai pembuatan lajur itu sudah mendesak dan berkaitan dengan keselamatan semua pengguna jalan. Lajur khusus untuk pesepeda sangat jarang ada di kota-kota besar Indonesia. Begitu pula dengan sejarah pembuatannya. Padahal dulu kala pemerintah kolonial telah membagi jalan untuk macam-macam pengguna jalan. Berbagi Lajur Sedikit catatan tentang pembagian lajur itu termaktub dalam Atoeran Mempergoenakan Djalan Raja karya Mr. Dr. F.J.W.H. Sandbergen terbitan 1939. Buku ini mengandung maklumat penggunaan jalan raya. Salahsatunya untuk pesepeda.   “Kereta angin sekali-kali tidak boleh lalu di tengah-tengah jalan,” catat Sandbergen. Kereta angin adalah sebutan untuk sepeda pada masa itu. “Kencang, cepat seperti angin,” begitu kesan almarhum Pramodya Ananta Toer, pengarang sekaligus arsiparis yang tekun mengumpulkan kliping berita dari media massa, dalam novel Anak Semua Bangsa. Novel ini mengambil latar waktu awal 1900-an di Hindia Belanda. Sepeda mulai muncul di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. “Sepeda awal digunakan oleh pegawai kolonial dan para bangsawan, selanjutnya juga oleh para misionaris dan saudagar kaya,” ungkap Hermanu dalam Pit Onthel . Sepeda sebermula menjadi lambang gengsi kelompok elite. Harganya mahal. Tetapi nilai sepeda menurun ketika auto atau kendaraan bermotor masuk Hindia Belanda pada 1920-an. Sepeda berubah menjadi milik orang banyak. Jalanan kota-kota besar Hindia Belanda seperti Batavia, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan pun ramai oleh pesepeda. Bahkan Yogyakarta berjuluk kota sepeda. Pesepeda melaju di lajur kiri jalan di Bandung pada 1933. ( geheugenvannederland.nl ). Kartu pos lawasan koleksi Olivier Johannes Raap yang dibukukan menjadi Kota di Djawa Tempo Doeloe menunjukkan pembagian lajur pengguna jalan. Lajur paling kiri tersedia untuk pejalan kaki. Gerobak sapi atau kerbau melintas di samping kanan pejalan kaki. Lalu di sebelah kanannya, lajur untuk pesepeda. Kemudian lajur untuk sado atau delman. Lajur paling kanan digunakan pengendara bermotor, roda dua ataupun empat.   Tidak ada marka pembatas di jalan. Tapi pembagiannya jelas. Dari paling lambat menuju paling cepat. “Tiap-tiap macam kendaraan mesti berjalan di bagian jalan yang ditentukan bagi masing-masing,” tulis Sandbergen. Dia menambahkan, pembagian itu untuk menjamin keteraturan dan keselamatan semua pengguna jalan. Pengguna jalan dilarang saling menyerobot lajur lainnya. “Dalam hal itu di jalan kereta angin hanya orang yang naik kereta angin saja boleh lalu,” catat Sandbergen. Tetapi seringkali pesepeda melaju di lajur kanan, lajur kendaraan bermotor. Biasanya lantaran aspal di lajur pesepeda berlubang. Bersepeda di lajur untuk kendaraan bermotor adalah pelanggaran lalu-lintas. Tak peduli dalih pesepeda, polisi menyemprit dan menghentikan pesepeda. “Penunggang sepeda tak henti-hentinya diperbal dan didenda,” catat P.K. Ojong dalam Kompas , 7 April 1969. Diperbal merupakan istilah polisi koloial untuk menginterogasi pelaku tindak pidana ataupun pelanggar lalu-lintas. Jika terbukti bersalah, pelanggar lalu-lintas terkena denda. Menurut Ojong, banyaknya pesepeda masuk ke lajur kendaraan bermotor menjadi perhatian serius harian Het Dagblad . Dalam pandangan Het Dagblad , pemerintah kurang memperhatikan kepentingan pesepeda. Het Dagblad meminta pemerintah kolonial agar memperbaiki lajur untuk pesepeda. Tetapi Ojong tidak menyebut tanggal pasti terbitan harian tersebut sehingga mempersulit penelusuran lebih lanjut tentang fenomena itu. Kota Kehilangan Pesepeda Ojong menjelaskan pula tentang terulangnya fenomena masuknya pesepeda ke lajur untuk kendaraan bermotor pada 1969. Ini terjadi di Jakarta pada sekitar Jalan Sudirman. Pesepeda enggan menggunakan lajur mereka tersebab aspalnya berlubang dan bergelombang. Saat itu, kendaraan bermotor mulai merajai jalanan. Ali Sadikin, Gubernur Jakarta 1966—1977, menekankan moda transportasi pada kereta api, bus, taksi, dan bemo. Tetapi rencana pengembangan ini kalah oleh kebijakan pemerintah pusat dengan program pengembangan industri otomotif. Hasilnya jumlah kendaraan bermotor pribadi melesat pesat di Jakarta pada 1970-an. Lajur sepeda menyatu dengan jalan kendaraan bermotor di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. (Fernando Randy/Historia). Almarhum Firman Lubis, penulis buku Jakarta 1970-an , menyebut dekade 1970-an sebagai era menghilangnya pesepeda. “Sejak ramainya kendaraan bermotor, orang mulai tidak berani naik sepeda di jalan umum karena cukup membahayakan,” terang Firman. Keterangan Firman senada dengan cerita seorang pesepeda dalam Mingguan Midi , 13 Juli 1974. Pesepeda kerapkali kena semprot atau senggol pengendara bermotor. Mereka sudah berjalan agak ke kiri. Tetapi pengendara bermotor hampir menabraknya. “Lu mau ke mana?” teriak pengemudi sedan kepada pesepeda. “Apakah bapak bisa menolong? Sebaiknya saya lewat jalur mana? Jalur ini khusus untuk bus kota, bemo, helicak. Tidak disebutkan sepeda. Apa lewat jalur cepat. Saya berpikir ke sana, tetapi bapak menebak saya lewat jalur bus kota. Kita selesaikan dengan pak polisi. Bisa kita tanyakan,” kata pesepeda tak mau kalah. Pengemudi sedan enggan berurusan panjang. Dia tancap gas. Kisah tadi menggambarkan tidak ada lagi pembagian lajur untuk pesepeda. Semua lajur dikuasai oleh kendaraan bermotor. “Jakarta adalah kota untuk orang yang punya mobil. Orang yang naik sepeda atau berjalan kaki hampir-hampir tidak diakui kehadirannya di jalan-jalan raya kota ini,” kata Mochtar Lubis dalam “Jakarta Kota Penuh Kontras,” termuat dalam Prisma No 5, Mei 1977. Keadaan pesepeda di kota besar lainnya pun serupa Jakarta. Medan, salahsatu kota dengan pesepeda terbanyak di Indonesia, mulai kehilangan pesepeda hari demi hari. Pesepeda terakhir kali menguasai jalanan pada 1960-an. “Jalur-jalur itu masih dipelihara sampai sekitar tahun 1960-an. Yaitu di beberapa jalan utama Kota Medan, seperti Jalan Kesawan, Jalan Pemuda, Hakka, Sutomo, Kapten Palang Merah, dan semua jalan penghubung inti-kota,” catat Ahmad Arif (editor) dalam Melihat Indonesia dari Sepeda . Tapi pertumbuhan kendaraan bermotor mengubah komposisi pemakai jalan di Medan. Pesepeda pun tersingkir. Merancang Ulang Gairah bersepeda muncul kembali pada akhir dekade 1980-an. Mirip dengan era awal kehadiran sepeda di Hindia Belanda, dekade ini ditandai dengan kepemilikan sepeda pada orang-orang kelas atas. Kelompok ini membeli sepeda-sepeda mahal. Harganya setara atau bahkan di atas kendaraan bermotor. Rangkanya berlapis emas. Penggunaannya pun bukan untuk harian, melainkan sebatas simbol prestise atau kegiatan melobi kolega bisnis. Sehingga tak ada tuntutan dari mereka kepada pemerintah untuk menghadirkan lajur khusus untuk pesepeda. Memasuki era 2000-an, komunitas pesepeda bermunculan. Antara lain bike to work dan bike to campoes di Jakarta dan Depok Mereka menggunakan sepeda sebagai kebutuhan transportasi harian. Karena itu mereka meminta pemerintah menyediakan fasilitas pendukung untuk pesepeda seperti parkir dan lajur khusus. Jalur khusus untuk pesepeda. Terpisah dari jalan kendaraan bermotor di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta. (Fernando Randy/Historia) Beberapa perkantoran di wilayah segitiga emas (Gatot Subroto-Rasuna Said-Sudirman dan Thamrin) mulai membuat parkir khusus sepeda. Sementara kampus Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia mulai menyediakan lajur dan parkir khusus sepeda sejak 2007. Arkian lajur khusus untuk pesepeda muncul di kota Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Jakarta, Palembang, Bogor, Balikpapan, dan Bandung. Desainnya berlainan. Ada yang menyatu dan ada pula yang terpisah dengan lajur kendaraan bermotor. Tetapi lajur-lajur itu kurang dibuat secara konseptual dan terkesan ala kadarnya. Belakangan ini, sejumlah pemerintah kota mulai menggagas ulang konsep pembuatan lajur sepeda. Pembuatannya dirancang lebih terintegrasi dengan moda transportasi lain. Juga dengan penerapan aturan perlindungan untuk para pesepeda seperti denda bagi pengendara bermotor jika menerabas lajur pesepeda.

  • Perang Pidato Aidit-Sukarno

    AWAL 1965. Wajah Menteri Agama Saifuddin Zuhri tetiba mengeruh. Pernyataan Presiden Sukarno yang memberitahukan bahwa pemerintah berencana akan membubarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sama sekali tak bisa diterimanya. Ketika ditanya alasannya, Bung Karno menyebut HMI merupakan organisasi antirevolusi. “Kadar anti revolusinya sampai di mana, Pak?” tanya Zuhri seperti dikisahkannya dalam Berangkat dari Pesantren . “Yah, mereka suka bersikap aneh, tukang kritik, bersikap liberal, seolah-olah hendak mengembalikan adat kebarat-baratan dan lain-lain,” jawab Sukarno. Zuhri lantas menolak tuduhan itu. Dia secara halus menyebut presiden hanya akan jatuh kepada tindakan berlebihan jika membubarkan HMI. Sukarno menukasnya dan terjadilah “perdebatan” sengit. “Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan  gewetan  (perasaan hati) Bapak, maka tugas saya sebagai pembantu Bapak cukuplah hanya sampai di sini,” ujar Zuhri. Sukarno terdiam. “Ooohhh, jangan berkata begitu. Saya tetap memerlukan saudara untuk membantu saya,” katanya kemudian. Setelah perdebatan itu mereda dan kedua pihak sempat terdiam, tetiba Bung Karno berkata memecahkan kesunyian: “Baiklah! HMI tidak saya bubarkan. Tetapi saya minta jaminan HMI akan menjadi organisasi yang progresif. Kau bersama Nasution, Ruslan Abdulgani dan Syarif Thayeb harus membimbing HMI.” Batalnya pembubaran HMI oleh pemerintah menjadikan organisasi-organisasi yang berafiliasi ke PKI berang. Aksi pengganyangan HMI pun tetap berlanjut dengan pengerahan demonstrasi-demonstrasi di berbagai daerah oleh Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan organ-organ kiri lainnya. “Dapat dipahami jika situasi kemudian menjadi panas. Generasi Muda Islam (Gemuis) pada 13 September 1965 lantas mengadakan demonstrasi (tandingan) di Jalan Merdeka Barat dalam rangka solidaritas terhadap HMI,” tulis Sulastomo dalam Hari-Hari yang Panjang 1963-1966 . Di kampus UI Salemba, terjadi kekisruhan. Seorang pemimpin mahasiswa yang dikenal pro PKI diturunkan secara paksa oleh para aktivis HMI pimpinan Fahmi Idris. Gegaranya sang pimpinan mahasiswa itu menyerukan aksi pengganyangan HMI di UI. Puncak kekisruhan terjadi pada 29 September 1965. Malam hari, CGMI mengadakan rapat umum “menuntut pembubaran HMI” yang dihadiri puluhan ribu anggota PKI di Istana Olahraga Senayan, Jakarta. Seperti diceritakan oleh Ganis Harsono dalam Cakrawala Politik Era Sukarno , kegiatan itu juga menghadirkan para tokoh, di antaranya Presiden Sukarno, Menteri Perguruan Tinggi & Ilmu Pendidikan Johannes Leimena, Menteri Penerangan Achmadi, dan Ketua CC PKI D.N. Aidit. Sikap pemerintah sendiri awalnya akan disampaikan oleh Menteri Penerangan Achmadi. Namun begitu berdiri di depan mikrofon, teriakan-teriakan “bubarkan HMI” dari puluhan ribu peserta rapat umum seolah tak mau berhenti. Karena tak berhasil menenangkan massa, Achmadi merasa kesal lalu turun dari podium. Gagal menyampaikan sikap, pidato lantas dilanjutkan oleh Leimena. Dengan berteriak sekeras-kerasnya, sang menteri berkata: “Pemerintah tidak mempunyai niat untuk membubarkan HMI! HMI adalah organisasi yang nasionalistik, patriotik dan loyal kepada pemerintah. Pemerintah banyak mendapatkan sokongan dari HMI dalam perjuangan melawan Nekolim.” Usai Leimena, tibalah giliran Presiden Sukarno. Seperti biasanya dengan suara mengguntur, Si Bung berkata di hadapan lautan manusia yang ada di depannya: “Saudara-saudara! Sebelum memulai pidato, saya ingin menyampaikan hal berikut ini. Saudara-saudara baru saja mendengar tentang kebijakasanaan pemerintah yang disampaikan oleh Pak Leimena mengenai kedudukan HMI. HMI tidak akan dibubarkan! Karena saudara-saudara telah mendengarkan kebijaksanaan pemerintah, mungkin saudara-saudara ingin pula mengetahui sikap Ketua Partai Komunis Indonesia, saudara Aidit. Dia hadir sekarang di sini. Walaupun dia tidak tercantum dalam daftar yang akan berpidato malam ini, ada baiknya kalau kita mendengar bagaimana sikapnya sebelum saya melanjutkan dengan pidato saya, setuju?!” Massa menjawab ajakan Bung Karno dengan teriakan “setuju”. Saat dipanggil namanya, menurut Ganis, Aidit sendiri terlihat agak malas saat naik ke atas podium. Namun dia akhirnya berpidato juga di hadapan para anggotanya. “Kalau pemerintah tidak akan membubarkan HMI, maka janganlah kalian berteriak-teriak menuntut pembubaran HMI! Lebih baik kalian bubarkan sendiri! Dan kalau kalian tidak mampu melakukannya, lebih baik kalian jangan pakai celana lagi tapi tukar saja dengan sarung!” Seterusnya pidato Aidit tidak terbendung. Bukan hanya memprovokasi pembubaran HMI, dia pun memperingatkan kepada para anggotanya tentang bahaya pemimpin-pemimpin palsu yang merampok uang rakyat dan memelihara istri hingga sampat empat dan lima. Jelas-jelas dia sudah menantang Presiden Sukarno dalam “perang pidato” itu. Sukarno sendiri berusaha untuk tampil elegan dan tak terpancing oleh pidato Aidit. Sebelum meninggalkan Senayan, dengan lantang dia menegaskan bahwa tidak ada pembubaran terhadap HMI. Soal organisasi kontra revolusioner, dia mengatakan sudah pasti soal itu akan ditangani oleh pemerintah. “CGMI pun apabila ternyata kontra revolusioner, juga akan dibubarkan!” kata Bung Karno. Ketegangan pun terus berlangsung. Gegara soal HMI, hubungan Sukarno-Aidit memburuk. Hingga terjadi Gerakan 30 September dua hari kemudian.*

  • Sontani, Pelopor Pelarian dari Kamp Boven Digul

    “Son! Tok! tok! tok! Sontani…!” “Hai, siapakah itu?" “Sssst! Lupakah kau? Aku Saleh.” “O, ya…! Silahkan masuk! Tunggulah sebentar!” “Mengapa, tadi tidak bersedia lebih dulu?” “Mana boleh, tidak bersedia lebih dulu. Lihatlah ini, sudah mulai tadi aku berpakaian, waktu tidur masih juga bersepatu.” Semua perlengkapan telah disiapkan. Parang panjang dan botol minum di pinggang. Bekal telah terbungkus karung. Topi dikenakan dan kapak besar dipanggul. “Mari!” kata Sontani kepada Saleh. Mereka pun bergegas menuju ke belakang rumah dan masuk ke dalam hutan rimba. Maka dimulailah perjalanan Sontani dan Saleh, kabur dari Boven Digul! Kisah pelarian Sontani dan Saleh, dua Digulis itu terdapat dalam Minggat dari Digul yang termuat dalam buku Cerita dari Digul yang disunting oleh Pramoedya Ananta Toer. Selain Minggat dari Digul , Pram juga memuat empat cerita lainnya yakni Rustam Digulist oleh D.E. Manu Turoe, Darah dan Air-Mata di Boven Digul oleh Oen Bo Tik, Pandu Anak Buangan oleh Abdoe'l Xarim M.S.,dan Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digul oleh Wiranta. Namun, Minggat dari Digul merupakan satu-satunya yang tidak disertakan nama penulisnya, hanya tertera ‘Tanpa Nama’. Pram menambahkan bahwa cerita itu diterbitkan oleh PERSBUREAU ‘AWAS’, Solo, tanpa tahun. Sosok Sontani Pada 23 Mei 1965, surat kabar Harian Rakjat menerbitkan artikel tentang Sontani, tokoh dalam Minggat dari Digul yang juga sekaligus dijelaskan sebagai penulis kisah tersebut. Diceritakan, Sontani merupakan cucu dari Ronggopermadi, pejuang yang turut dalam barisan Diponegoro yang gugur di Gentingan. Ia lahir di Desa Modinan, Sleman, kemungkinan pada tahun 1895. Sontani tamat sekolah desa 3 tahun di Desa Modinan. Pernah bekerja sebagai buruh kereta api, kernet, tukang besi, hingga buruh pabrik gula. “Pengalaman-pengalaman revolusionernya dimulai sejak ia memasuki organisasi buruh gula, Sarekat Islam, VSTP. Sebagai buruh ia mengalami berbagai perlakuan-perlakuan yang kasar sampai pemecatan tanpa alasan dari majikannya,” tulis Harian Rakjat , 23 Mei 1965. Pada suatu ketika, terjadi sabotase di sekitar onderneming tebu di Beran, Yogyakarta. Pembakaran kebun-kebun tebu berhasil memusnahkan berhektar-hektar areal tebu. Sontani nampaknya turut dalam serangkaian aksi tersebut dan tertangkap pemerintah kolonial ketika hendak meledakkan gudang mesiu di Kotabaru, Yogyakarta. Tidak diketahui kapan ia bebas. Namun, ketika pemberontakan PKI meletus pada 1926, Sontani kembali ditangkap di Modinan saat sedang tidur. “48 orang polisi mengepungnya dan sebelum ia sadar dan sempat menggunakan pistolnya, tangannya telah diborgol lebih dahulu. Ia dibawa ke tahanan, disimpan di WO, lalu kemudian dipindahkan ke sel Wirogunan,” tulis Harian Rakjat. Di penjara Wirogunan, ia bertemu dengan Sadiun, seorang pejuang yang dihukum 40 tahun penjara. Sontani berhasil membuat duplikat kunci sel sehingga ia dapat keluar sel tiap malam dengan sembunyi-sembunyi menjumpai Sadiun. Namun tak lama, kesempatan Sontani keluar masuk sel untuk menemui kawan barunya itu berakhir. Pada 21 Juni 1927, Sontani diangkut ke pengasingan di Tanah Merah, Digul. Pelarian Pertama dan Terlama Kamp Tanah Merah letaknya jauh di pedalaman hutan Papua, di kawasan atas aliran Sungai Digul. Kala itu, kota terdekat yaitu Merauke yang jaraknya kira-kira 160 km. Jika naik sampan melewati sungai yang penuh buaya itu, bisa menghabiskan empat malam perjalanan. Meski demikian, nampaknya pengalaman Sontani sebelum dibuang ke Digul menjadi bekal yang berharga. Bersama Saleh, ia berbulat tekad untuk melarikan diri dari kamp pengasingan itu. Dalam masa pelariannya, Sontani dan Saleh kemudian bertemu beberapa pelarian lain yang kemungkinan menyusul kabur setelah mereka. Di pedalaman hutan, seorang kawannya yang bernama Abas tewas ketika melawan serangan suku Kaya-kaya. Sementara itu, kawan lainnya yang bernama Partatjeleng justru dirawat suku Kaya-kaya yang lain karena sakit. Bahkan setelah ia sembuh, ia juga kawin dengan gadis suku tersebut dan tinggal bersama suku. Namun, suatu ketika ia ditangkap dan dibawa kembali ke pengasingan. Istrinya dan anaknya kemudian menyusul Partatjeleng ke Tanah Tinggi. Harian Rakyat menyebut Sontani adalah tahanan yang memelopori pelarian pertama sekaligus yang terlama dari pelarian-pelarian yang pernah dilakukan di Digul. Sontani dan kawan-kawan berhasil kabur 11 bulan lamanya sampai kemudian mereka ditangkap di Kota Bowen, Australia. Mereka pun harus kembali merasakan pengasingan di Boven Digul. Menurut Molly Bondan dalam Spanning a Revolution , Kisah Mohamad Bondan, Eks Digulis dan Pergerakan Nasional Indonesia,  aksi kabur Sontani dan kawan-kawan terjadi pada Maret 1929. Namun, cerita versi Molly yang didapat dari eks Digulis bernama Dulrachman sedikit berbeda dari cerita Sontani. Menurut Sontani sendiri, tulisannya memang perlu diperbarui karena ada beberapa bagian tidak sesuai kenyataan. Hal itu dilakukan untuk menghindari sensor pemerintah kolonial saat itu. Sontani menulis kisah itu ketika masih di Digul. “Kisah itu ditulisnya selama satu setengah bulan dalam 3 buah buku tulis yang tebalnya 32 halaman dengan tulisan tangan kecil-kecil, setiap baris buku dijadikan dua, dengan begitu berarti menjadi 6 buku tulis X 32 halaman,” tulis Harian Rakjat . Dari Digul, tulisan Sontani dibawa ke Jawa oleh Siswomintardjo, tahanan dari Surakarta. Tulisan itu kemudian dapat diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul Minggat dari Digul . Buku inilah yang membuat Utuy Tatang, sastrawan kelahiran Cianjur, menyematkan nama Sontani di belakang namanya menjadi Utuy Tatang Sontani. Dalam bukunya, Di Bawah Langit Tak Berbintang , Utuy mengaku mendapat buku Pelarian dari Digul (judul versi lain) dari seorang eks Digulis bernama Wiranta yang menulis Boeron dari Digoel . Tokoh Sontani membuatnya terkesan dan ia pertama kali menggunakan nama Sontani ketika mengirim cerita pendek ke surat kabar Sinar Pasundan . Menurut Harian Rakjat , selain Minggat dari Digul Sontani juga pernah menulis buku Perintis Djalan Menudju Marxisme , Twaalfstellingen , dan Political Economy . Dalam Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan: Seri Perjuangan Ex Digul , hingga tahun 1977, Sontani masih hidup dan bertempat tinggal di Yogyakarta.

  • Wartawan Historia Raih Penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

    Martin Sitompul, reporter Historia.id , memperoleh penghargaan dari Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam malam “Apresiasi Pendidikan Keluarga Tahun 2019” di Balai Kartini, Jakarta (6/11/2019). Penghargaan itu diberikan setelah Martin menulis artikel berjudul “Gila Baca Pendiri Bangsa”. Melalui artikel ini, Martin mengangkat kebiasaan membaca buku para tokoh pergerakan nasional seperti Sukarno, Hatta, RA Kartini, Abdul Rivai, HOS Tjokroaminoto, dan Tan Malaka. Artikel Martin berangkat dari diskusi publik bertajuk “Literasi Kita, Masa Depan Bangsa” di Perpustakaan Nasional, Jakarta (31/07/2019). Tapi Martin tak berhenti hanya mengutip keterangan narasumber diskusi. Martin mengatakan, dia menelusuri kembali biografi dan sumber sejarah lain tentang kegemaran tokoh-tokoh pergerakan nasional terhadap buku. Dia menemukan pengakuan unik Hatta tentang buku. Dalam surat bertanggal 20 April 1934, Hatta menulis dia bisa hidup di mana saja asalkan bersama buku. Sekalipun itu di penjara. Ketika itu, Hatta sedang menjalani hukuman di Penjara Glodok, Batavia. Martin menemukan surat itu dimuat oleh suratkabar Daulat Ra’jat , 10 Mei 1934. Dari kebiasaan membaca buku, para tokoh pergerakan nasional mampu merangkai gagasannya sendiri tentang beragam hal: kemanusiaan, kemerdekaan, agama, ideologi, politik, filsafat, emansipasi wanita, dan identitas. Inilah alasan Martin mengambil tema tentang kebiasaan membaca tokoh pergerakan nasional untuk artikelnya. “Secara khusus (artikel ini) mengulik bagaimana minat dan budaya membaca membentuk gagasan para pendiri bangsa,” kata Martin. Tokoh pergerakan nasional juga mengenal dunia dan pikiran-pikiran terhebat dari membaca buku. “Kendati hidup di dunia kolonial, Sukarno telah membayangkan akan kemerdekaan bangsanya dan menjadi bangsa yang digdaya,” tulis Martin. Sementara itu, HOS Tjokroaminoto, pendiri Sarekat Islam sekaligus salah satu guru politik Sukarno, berupaya mengawinkan gagasan sosialisme dengan nilai-nilai Islam setelah melahap banyak buku. Menurut Martin, eksplorasi gagasan itu bisa mewujud sebab Tjokro sama sekali tidak alergi dengan buku-buku beraliran kiri. Sikap Tjokro ini bertolak belakang dengan sikap sekelompok masyarakat hari ini. Razia terhadap buku-buku tanpa membacanya terlebih dulu semakin merajalela di beberapa kota Indonesia. Bagi Martin, ini cukup aneh. Seperti ada keterputusan kultur literasi di masyarakat. “Padahal kultur literasi ini sudah disemai oleh para pendiri bangsa yang umumnya bibliofil (pecinta buku),” kata Martin. Dia berharap artikelnya bisa menjadi refleksi betapa pentingnya budaya membaca buku. Senada dengan Martin, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terus menerus menekankan pentingnya kebiasaan membaca buku. Kementerian menginginkan kebiasaan ini berakar dan bertumbuh dari lingkungan keluarga. Dari pemikiran tersebut, Kementerian mencanangkan program Gerakan Literasi Nasional (GLN) melalui Direktorat Pendidikan dan Keluarga. “GLN diharapkan menjadi pendukung keluarga, sekolah, dan masyarakat mulai dari perkotaan sampai wilayah terjauh untuk berperan aktif dalam menumbuhkan budaya literasi,” kata Dr. Sukiman, Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga. Salah satu strategi GLN ialah menumbuhkan budaya literasi keluarga melalui penghargaan jurnalistik. Penghargaan ini diwujudkan dalam Lomba Jurnalistik Pendidikan Keluarga. Lomba ini terbagi atas dua kategori: feature dan opini. Untuk menyeleksi artikel karya jurnalis, panitia mengundang juri dari beragam kalangan. Mulai pakar pendidikan, organisasi profesi wartawan, pegiat pendidikan keluarga, sampai orang dalam Kementerian. Juri telah menyeleksi 72 artikel feature di media daring terkait budaya literasi keluarga. Dari hasil seleksi itu, artikel Martin dianggap sebagai salah satu artikel yang layak memperoleh penghargaan. Selain kepada Martin, Kementerian juga memberikan penghargaan kategori Feature untuk Hari Setiawan dari jemberpost.net dan Susanto dari suaramerdeka.com . Harris Iskandar, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, mengatakan karya para jurnalis ikut mendukung program literasi Kementerian. Menurutnya, jurnalis juga mempunyai pengaruh dalam masyarakat dan berperan layaknya pendidik. “Para jurnalis ini juga adalah pendidik, pendidik bagi masyarakat. Influencer yang memberikan pengaruh pada masyarakat,” ungkap Harris.

  • Layar Terkembang PSM Makassar

    SEJAK menduduki jabatan sebagai CEO PSM Makassar pada 2016, Munafri Arifuddin alias Appi menelurkan sejumlah gebrakan. Ia punya visi yang terang soal bagaimana sepakbola modern dikelola. Hal itu dia ungkapkan secara bernas pada Historia di ruang VIP Stadion Andi Mattalatta usai kemenangan timnya atas Arema FC pada laga tunda pekan ke-23 Liga 1, Rabu, 16 Oktober 2019. Pria kelahiran Majene (kini Sulawesi Barat) 44 tahun lampau itu punya visi untuk tidak hanya membawa PSM kembali disegani di persepakbolaan Indonesia, namun juga kancah internasional. “Ini tim yang punya nama besar. Tim yang sangat legendaris, didukung oleh suporter yang begitu fanatik dan punya cerita panjang dalam persepakbolaan. Makanya jadi tantangan buat saya bagaimana membawa PSM kembali ke level yang harus disegani dan memberikan prestasi,” imbuhnya. Pasang-Surut Juku Eja Klub yang baru berdirgahayu ke-104 pada 2 November lalu itu terakhir mencicipi gelar hampir dua dasawarsa lewat, yakni juara Liga Indonesia VI (1999-2000). Juara liga itu jadi yang keenam buat PSM setelah bernaung di bawah PSSI sejak 1951. Sebelumnya, PSM jadi kampiun Perserikatan pada musim 1956-1957, 1957-1959, 1964-1965, dan 1991-1992. Hingga sekarang, prestasi 19 tahun lalu itu belum bisa diulangi tim berjuluk “Juku Eja” itu. Padahal, sejak 1991 PSM sudah ditopang sederet pengusaha. Artinya, dari segi finansial PSM tak punya masalah lantaran juga masih mendapat suntikan APBD. PSM Makassar menuntaskan dahaga gelar domestik 19 tahun dengan merebut Piala Indonesia pada Agustus 2019 (Foto: pssi.org ) Saat juara liga terakhir itu, PSM dipegang pengusaha agen perjalanan dan umrah Ande Latief. Kala itu, PSM disebutkan bisa juara karena beruntung lantaran lolos ke putaran enam besar hanya lewat keunggulan selisih gol. Keunggulan itu didapat setelah Persegres Gresik kalah 0-1 dari Persema Malang. Kompas 1 Maret 1992 menggambarkan kemenangan PSM atas PSMS Medan di final kompetisi Perserikatan 1991/1992 itu sebagai “foto kopi sebuah keberhasilan patriotisme atas idealisme.” “Persib Bandung yang secara teknik lebih unggul disingkirkan di semifinal. Kemudian Medan yang memilih bermain cantik dan menghilangkan ciri khas permainan kerasnya, disikat pula. Keduanya, Persib dan PSMS, dihantam PSM dengan skor yang sama 2-1,” ungkap Kompas. Meski tetap berlayar dengan gagah hingga partai puncak Perserikatan 1993, PSM dikaramkan Persib 0-2. Memasuki 1994, PSM dipegang Nurdin Halid. Untuk mengembangkan layar PSM di Liga Indonesia 1995, Nurdin menghadiahi tiga pemain asing: Marcio Novo, Jacksen F. Tiago, dan Luciano Leandro. Hasilnya? Tidak sesuai harapan. Harapan besar sempat muncul di musim 1997-1998. Namun sial, huru-hara Mei 1998 mengguncang negeri. “Ketika itu kita ada di posisi pertama (Divisi Timur). Tapi kompetisi stop karena ada masalah (kerusuhan) 1998 itu,” kenang Luciano. Sementara di pentas Asia, PSM yang ikut Piala Winners Asia 1997/1998 babak belur. Bahkan, mengalami kekalahan terburuk dibantai wakil Korea Selatan Suwon Samsung Bluewings 12 gol tanpa balas. Setelah kondisi negeri pulih dan kompetisi bergulir, di musim 1999/2000 PSM melaju kencang. PSM yang kala itu diperkuat banyak pemain timnas, tak terbendung. Mewakili Indonesia, PSM Makassar jadi kampiun Ho Chi Minh City Cup 2001 (Foto: thenurdinhalidinstitute.com ) Selain juara, hebatnya PSM hanya dua kali kalah dari total 31 laga yang dimainkan sejak babak penyisihan Wilayah Timur hingga final. Masa keemasan PSM itu mencapai klimaks dengan menjuarai Ho Chi Minh City Cup 2001. Di final, laskar ayam jantan dari Timur itu mengandaskan tim tuan rumah, Ho Chi Minh XI, 1-0. Di Liga Champions Asia 2001, PSM berhasil mencapai babak perempatfinal. Sebetulnya, PSM punya kesempatan mentas lagi Champions Asia 2004 sebagai runner-up Liga Indonesia. Namun, manajemen klub memilih menolak kesempatan itu karena alasan finansial. “Padahal PSM tak perlu melalui kualifikasi, langsung masuk babak penyisihan grup yang diikuti 32 klub elit Asia. PSM mengaku pihaknya dilanda kesulitan finansial. Sponsor utama tim, PT Semen Bosowa, mengurangi jatah pendanaan PSM. Mungkin menurut pemikiran PSM turun di Asia adalah sesuatu yang sia-sia, sekadar formalitas,” ungkap Eko Nurhuda dalam Sepakbola Itu Lucu: Kumpulan Kejadian-Kejadian Menggelikan dalam Sepakbola . Kala itu PSM baru setahun dipegang Bosowa Corp. sebagai sponsor utama, menggantikan Reza Ali. Kebijakan pengurangan dana oleh manajemen tak hanya membuat PSM gagal ikut Liga Champions Asia, tapi juga menunggak gaji pemain beberapa bulan. PSSI turun tangan. PSM “dipaksa” tetap tampil. Akibatnya, PSM “setengah hati” dengan menurunkan tim kelas duanya di event itu. Alhasil, PSM jadi juru kunci Grup F di bawah Krung Thai Bank (Thailand), Hoang Anh Gia Lai (Vietnam), dan Dalian Shide (Cina). Di Bawah Panji Bosowa Seiring keluarnya kebijakan bahwa klub tak lagi disuntik dana APBD untuk tata kelola klub yang lebih baik, PSSI mempersyaratkan agar klub peserta Liga Super Indonesia 2008 harus berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT). Aturan itu mendorong PSM per 2008 membentuk (PT). Mengutip Antara , 27 Januari 2008, pembahasannya digodok sebuah forum bernama “Tim Lima” yang berisi sejumlah pengusaha dan pejabat daerah. Mulanya ada tiga opsi untuk pengelola PSM, yakni perusahaan daerah, yayasan, atau PT. “Kami memilih PT sekaligus mengadopsi pengelolaan klub-klub profesional di Liga Eropa yang menjadi tulang punggung pendanaan bagi PSM pada setiap pergantian musim kompetisi,” tutur Ketua Harian PSM Kadir Halid. Lantas disepakati, PT dengan modal awal Rp10 miliar dari KONI Makassar itu dinamakan PT Paggalona Sulawesi Mandiri (PT PSM). Tim PSM Makassar tengah berlatih di Stadion Andi Mattalatta-Mattoanging (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Namun, carut-marut kondisi persepakbolaan nasional yang bersumber dari kisruh di tubuh PSSI membuat PSM membelot dari Liga Super. PSM memilih ikut ke kompetisi tandingan, Liga Primer Indonesia (LPI). Alasannya PSM hanya ingin berlaga di kompetisi yang lebih bersih dan profesional. Meski sejak 2005 diponsori PT Semen Bosowa (Bosowa Corp.), manajemen PSM baru benar-benar dipegang perusahaan raksasa Sulawesi Selatan itu 10 dekade berselang. Tepatnya pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) klub, 23 Januari 2015. Bosowa melalui Bosowa Sport Indonesia mengambilalih saham mayoritas PT PSM, 51 persen, sekaligus mengubah susunan dewan komisaris dengan mengisi sejumlah petinggi Bosowa seperti Sadikin Aksa, Solihin J. Jalla, dan Andi Suruji. Posisi CEO kala itu masih dipegang Rully Habibie. Orang Bosowa, Munafri Arifuddin, baru menggantikannya pada RUPS 29 Januari 2016. Tugas berat langsung menanti Appi. Kompetisi Torabika Soccer Championship (TSC), kompetisi pengganti yang diadakan karena PSSI tengah disanksi FIFA, jadi yang pertama. Setelah itu, dia mesti membenahi klub agar memenuhi persyaratan standar internasional. “Setelah liga diadakan lagi habis tak lagi disanksi FIFA, kami berhasil dapat jatah Asia lagi. Tapi saat itu seluruh aspek yang menyangkut Club Licensing AFC kami di- reject . Dari pelajaran itu kami mendapat gambaran yang jelas, seperti apa seharusnya tatanan pengelolaan sepakbola yang benar,” terang Appi. Ada sekitar enam pilar pembangunan yang digulirkan Appi. Antara lain, akademi muda, pembinaan sepakbola putri, dan pembenahan stadion. Untuk itulah klub rela merogoh kocek ratusan juta rupiah untuk memasang sendiri rumput dan lampu penerangan berstandar internasional. Di tahun keduanya, Appi mengganti nama PT dan logo klub. “Saya mencoba merombak tim dan manajemen. Di tahun kedua, setelah melalui banyak diskusi hingga perdebatan dengan para senior dan pemain-pemain legenda PSM, saya melakukan perubahan yang revolusioner. Saya mengganti nama PT (Paggolona Sulawesi Mandiri menjadi Persaudaraan Sepakbola Makassar),” tambah Appi. Sejak 1959, PSM memakai logo Pemerintah Kota Makassar. Logo baru dibuat agar, menurut Appi, membawa PSM keluar dari kesan milik pemda. Hanya gambar kapal phinisi dan warna merah yang masih dipertahankan dalam logo baru itu. Logo baru itu sendiri merupakan penyempurnaan dari logo pemenang sayembara yang diadakan manajemen pada 2015. Munafri Arifuddin menakhodai PSM Makassar sejak 2016 (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Dengan sejumlah gebrakan itu, Appi berharap PSM bisa menyemai prestasi yang lebih bergengsi ketimbang Piala Indonesia pada Agustus 2019. Di bawah Appi, PSM berhasil menuntaskan puasa gelar 19 tahunnya dengan menjuarai Piala Indonesia pada 6 Agustus lalu di Stadion Andi Mattalatta. PSM menang 2-0 atas Persija di final leg kedua, sekaligus memutar agregat 2-1 setelah di leg pertama di Jakarta kalah 0-1. Prestasi itu jelas baru awal dari jalan panjang yang mesti dilalui PSM. Butuh modal besar, tekad kuat, dan waktu yang panjang untuk bisa memapankan diri dalam industri sepakbola modern. “Saya cuma mau membangun kembali kekuatan sepakbola, menata kembali sistem sepakbola yang lebih profesional. Kalau tidak dimulai, itu tidak akan pernah bergerak dari pakemnya, tetap ada di bottom. Harus digerakkan. Kalaupun rugi mungkin setahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun. Pada suatu saat nanti, kalau nanti, di ujungnya akan menjadi industri sepakbola yang baik,” ujar Appi. Appi mencontohkan, Bali United sudah melalui proses semestinya sebagai sebuah klub dalam industri sepakbola modern. “Klub asal Pulau Dewata itu mencatatkan diri sebagai klub sepakbola pertama yang turun ke lantai bursa saham. Artinya ada harapan besar terhadap sepakbola di Indonesia.”

  • Sukarno Murka Jika Ada Orang Mengusik Hatta

    HASJIM Ning, keponakan Bung Hatta yang menjadi pengusaha nasional berjuluk “Raja Mobil Indonesia”, menyaksikan bagaimana banyak “serigala” di sekitar Presiden Sukarno ketika si bung berkuasa. Demi mencari muka dan tempat di hati presiden, para “serigala” itu saling memangsa kendati di permukaan terlihat selalu mesra. “Tradisi yang menjadi anggapan umum itu juga menjadi pedoman kerja para petugas intel dari berbagai instansi keamanan dan juga bagi instansi yang mengeluarkan izin, izin apa saja. Terutama oleh kalangan entrepreneur yang tidak mempunyai dukungan kekuatan politik, kondisi itu akan sama dengan penempatannya sebaga ‘mangsa’ yang setiap saat akan diserbu oleh para serigala yang kelaparan, yang sudah lama mengintai waktunya untuk melahap,” kata Hasjim dalam otobiografinya Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Sikap menjilat itulah yang membuat orang-orang non-politik yang bersabahat dengan Sukarno seperti Hasjim kerap jadi korban. Meski persahabatannya dengan presiden murni secara personal, Hasjim tak aman dari “terkaman” para serigala lantaran sebagai keponakan Bung Hatta, yang sering dianggap lawan politik pemerintah. Hasjim kerap ketiban sial oleh intrik atau insinuasi orang-orang yang tak suka pada dirinya ataupun Bung Hatta. “Suatu hari aku ‘terkena larangan’ menemui Bung Karno. Yang melarangku masuk dan menemui Bung Karno ke Istana adalah Kolonel Sabur, ajudan presiden sendiri,” sambung Hasjim. “Saudara tidak dibenarkan lagi masuk Istana, karena Suadara keponakan Hatta, lawan presiden,” kata Sabur sebagaimana dikutip Hasjim. Akibat larangan itu, enam bulan Hasjim tak pernah lagi ke Istana dan bertemu Sukarno. Keduanya baru kembali bertemu setelah menghadiri makan siang bersama antara presiden dan IPKI, partai politik yang ikut disokong Hasjim pada awal 1950-an. Sukarno kaget ketika di antara penyambutnya terdapat Hasjim. Saat berjabat tangan, Sukarno langsung menanyakan kenapa Hasjim tak pernah lagi ke Istana. Pertanyaan itu dijawab Hasjim dengan pemberitahuan bahwa dirinya dilarang Kol. Sabur. Jawaban Hasjim jelas membuat Sukarno kaget. Dia langsung marah pada Sabur yang berada di dekatnya. “Siapa yang kasih perintah sama kamu?” kata Sukarno bertanya kepada ajudannya. Sabur yang ketakutan pun menjawab sambil gelagapan bahwa larangan yang dikeluarkan terhadap Hasjim diambil atas inisiatifnya karena Hasjim merupakan keponakan Bung Hatta yang saat itu merupakan lawan politik Sukarno. Jawaban Sabur membuat presiden makin naik pitam. “Jangan kamu campur adukkan masalahku dengan Bung Hatta. Betul aku tidak suka pada sikap politiknya, tapi dia adalah sahabat baikku, tahu?” Sabur langsung mengambil sikap sempurna dan menyatakan kesiapannya begitu mendengar perkataan Sukarno. “Aku tidak suka kamu larang-larang Hasjim datang ke Istana. Kapan dia suka, dia boleh datang!” Begitulah Sukarno yang diketahui Hasjim. Ia hampir selalu “berkelahi” dengan Bung Hatta dalam soal politik, namun tak pernah terima bila kehidupan pribadi Hatta diusik orang. Saking pahamnya terhadap Sukarno, Hasjim langsung menemui sang presiden begitu mendengar di masyarakat terlontar isu Bung Hatta akan ditangkap tak lama setelah Bung Hatta mengkritik penguasa lewat tulisannya, “Demokrasi Kita”. “’Demokrasi Kita’ ditulis Bung Hatta pada tahun 1960 dan dimuat dalam Pandji Masjarakat, dengan Buya Hamka sendiri sebagai pengawas pencetakannya, meneliti sampai titik-komanya, tidak boleh ada salah cetak sedikitpun, untuk menyesuaikan dengan kebiasaan Bung Hatta yang selalu correct,” tulis Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal dalam Satu Abad Bung Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan . Tulisan itu membuat Sukarno marah. Hasjim melihatnya sendiri ketika bertemu di Istana. “Hai, Hasjim, Hatta itu mau apa sebenarnya menulis begitu?” kata Sukarno, dikutip Hasjim. Namun karena Hasjim tak tahu dan menyuruh Sukarno bertanya langsung pada pamannya, kemarahan Sukarno pun reda dan keduanya kembali bercanda. Yang pasti, tulisan itu dijadikan lawan-lawan politik Hatta untuk mencari simpati politik presiden. “Semua media massa yang memuat tulisan Bung Hatta itu diberangus oleh pemerintah. Sesungguhnya aku tidak percaya Bung Karno sampai mau memerintahkan pemberangusan itu. Meski tahu beberapa di antara media massa itu sangat tidak disukainya, aku percaya bahwa ada kekuatan politik tertentu yang meniup-niupkan api agar pemberangusan terjadi sehingga ketika yang berwenang melakukan pemberangusan itu, Bung Karno membiarkannya saja,” kata Hasjim. Maka begitu bertemu Sukarno di Istana, Hasjim langsung menanyakan benar-tidaknya isu penangkapan Bung Hatta. “Bapak, aku tahu bahwa Bapak tidak pernah bertindak keliru dalam hal-hal yang prinsipil,” kata Hasjim membuka pembicaraan. “Jadi, sekarang jij percaya bahwa aku telah melakukan kekeliruan?” jawab Sukarno untuk mendapatkan kejelasan maksud pertanyaan Hasjim. “Ya, kalau Bapak menangkap Bung Hatta,” kata Hasjim. Jawaban itu membuat Sukarno terperanjat. “Gila kamu bisa berpikir begitu. Tidak ada orang yang bisa berani-berani menangkapnya,” kata Sukarno setengah berteriak.

bottom of page