top of page

Hasil pencarian

9588 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Indonesia, Tempat Utama Evolusi Manusia

    INDONESIA akan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mendirikan pusat studi evolusi manusia. Lembaga bernama Center for Human Evolution, Adaptation and Dispersals in Southeast Asia ini akan mengkaji bagaimana manusia prasejarah sampai ke Asia Tenggara dan persebarannya. Pusat studi ini akan berkoordinasi dengan para peneliti internasional terutama di Asia Tenggara. Mereka berasal dari berbagai ilmu penunjang antara lain paleoantropologi, arkeologi, biologi, paleontologi, palenologi, juga pertanggalan. “Kita akan melakukan hubungan penelitian yang ada di Afrika Timur, Afrika Selatan, Eropa, Georgia, dan juga dengan Asia Timur. Lingkupnya adalah penelitian evolusi manusia purba, tentang fauna, budaya, dan evolusi lingkungan,” kata Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Harry Widianto kepada Historia . Sejauh ini, proposal pendirian pusat studi telah diajukan ke UNESCO. Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB ini, mengirimkan ahlinya ke Indonesia untuk melihat kesiapannya. Rekomendasi dari ahli itu akan dibahas di sidang umum UNESCO pada November 2017 di Paris. “Di situ tinggal diterima atau ditolak. Kira-kira sudah berjalan 90 persen,” ujar Harry. Kesiapan yang dibutuhkan adalah fasilitas, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia yang mumpuni. Sejauh ini, telah banyak ditemukan situs manusia purba terutama di Jawa. Sarana dan prasarana penelitian di Situs Sangiran dinilai telah memadai. Saat ini, ada sekira 30 peneliti bergelar doktor dan master yang dididik di luar negeri. “Jadi sumber daya manusia nggak ada masalah. Indonesia nanti yang mengkoordinir dan mengaktifkan para peneliti di Asia Tenggara dan link ke Eropa, Afrika dan Cina,” jelasnya. Tempat Utama Fosil Homo erectus (manusia purba berdiri tegak) pertama kali ditemukan di Situs Trinil, Ngawi, Jawa Timur, pada 1891. Sejak itu, fosil-fosil manusia prasejarah ditemukan di situs-situs lain. Pada 1931 sebelas tengkorak Homo erectus ditemukan di Situs Ngandong di Blora. Setelah itu, fosil manusia purba ditemukan di Situs Sangiran, Sragen, pada 1934. Sangiran menjadi situs utama hingga kini karena menampilkan sendimentasi endapan mulai ketebalan 80-100 m. Situs ini pun mencirikan evolusi lingkungan mulai dari laut dalam, laut dangkal, rawa, hingga endapan daratan kontinental. Dari sisi temuannya, Situs Sangiran mewakili 50 persen populasi Homo erectus di dunia. Sebanyak 120 fosil individu ditemukan di sana yang berasal dari 1,5 juta tahun hingga 250 ribu tahun yang lalu. Sangiran juga mewakili evolusi fauna selama 1,8 juta tahun, evolusi kultural selama 1,2 juta tahun, dan evolusi lingkungan selama 2,4 juta tahun. Setelah Sangiran, pada 1936 ditemukan situs prasejarah di wilayah Mojokerto; Situs Pati Ayam ditemukan pada 1979; dan Situs Smedo di Tegal ditemukan pada 2004. “Itu semua situs-situs utama. Terutama Pulau Jawa merupakan salah satu tempat utama di dunia tentang evolusi manusia,” ujar Harry. Ahli paleontologi itu menjelaskan fosil Homo erectus juga ditemukan di Afrika Timur, Eropa, dan Tiongkok, termasuk di Situs Dmanisi, Georgia. Situs Dmanisi adalah situs utama di daerah Asia Depan terkait eksistensi Homo erectus yang bermigrasi keluar Afrika pada 1,8 juta tahun lalu. Situs ini ditemukan pada 1991. Menurut Harry kesamaan pertanggalan dengan Homo erectus yang bermigrasi keluar dari Afrika, membuktikan Asia Depan pun mempunyai spesimen Homo erectus yang kepurbakalaannya sama dengan spesimen dari Afrika. Dalam hal ini, Situs Dmanisi telah memberikan banyak spesimen Homo erectus yang paling tua. Karenanya Georgia juga dianggap sebagai pusat evolusi utama di dunia. Meski begitu, koleksi spesimen Homo erectus di Indonesia terbanyak di dunia. “Kita juga punya historis pertama kali di dunia. Sekarang dunia sangat hormat dengan proses evolusi yang terjadi di Indonesia,” lanjut Harry. Indonesia, khususnya Jawa, sebagai daerah tropis memang sangat memungkinkan untuk ditinggali manusia prasejarah. Sejak keluar Afrika, mereka terus berpindah ke Asia Tenggara hingga langsung tiba di Jawa. “Yang lain dilewati,” kata Harry. Di manapun tempat ditemukannya, Homo erectus punya ciri yang sama. Secara garis besar, ia mirip dengan Homo sapiens . Antara Homo erectus di satu tempat dengan yang lain dibedakan dari bagaimana mereka beradaptasi. “Tapi struktur tengkorak sama,” kata Harry. Homo erectus Indonesia memiliki penebalan pada terbit matanya. Di Jawa, dahinya landai dan miring. Antara penebalan torus di atas mata ( supra orbitalis ) dengan dahi tidak ada cekungan. Sementara Homo erectus di Cina, ada penonjolan pada supra orbitalis , diikuti sebuah cekungan baru bergabung dengan dahi landai juga. “Di Cina, bagian supra orbitalis sangat menonjol, di kita tidak,” jelas Harry. Bedanya dengan Homo sapiens , Homo Erectus punya tengkorak lonjong ke depan sampai belakang. Dahinya landai dengan atap tengkorak pendek. Ada penonjolan lancip pada bagian tengkorak dan lebar di daerah telinga. “ Homo sapiens sekarang kan tengkorak bundar. Dari genetika berbeda dengan yang ada di Amerika. Kita juga berbeda dengan yang di Afrika. Ada adaptasi lokal,” kata Harry.

  • Supratman sebagai Buronan

    MELIHAT beberapa rekannya semangat menyerukan perjuangan kemerdekaan di sebuah gudang pabrik di Makassar, Wage Rudolf Supratman (Rendra Bagus) tergerak untuk membantu mereka secara finansial. Bantuannya terhadap pergerakan ini diselidiki polisi setempat. Tak ingin keluarganya, Van Eldick (Wouter Aweers) dan Roekiyem (Putri Ayudya), terancam, dia memutuskan pindah ke Jawa. Di Jawa, Supratman bekerja sebagai wartawan dan penulis. Dia berteman dengan beberapa tokoh pergerakan. Dia juga bertemu dengan Fritz (Teuku Rifnu Wikana), polisi Belanda yang mengejarnya dan selalu mencari kesalahannya. Gambaran inilah yang ditampilkan John de Rantau dalam film Wage yang dirilis serentak pada 9 November 2017. John tak ingin menyebut film ini sebagai biopic melainkan noir . Meski film menceritakan perjalanan hidup Supratman sebagai pencipta lagu Indonesia Raya , inti cerita ada pada pengejaran seorang polisi Belanda bernama Fritz dengan buronannya, Wage. “Saya membuat film tentang penjahat yang dikejar-kejar polisi,” ujar John. Untuk membuat film berdasarkan kisah hidup tokoh sejarah, John mempersiapkan riset film ini secara on-off selama beberapa tahun belakangan dan terlaksana pada tahun kelima risetnya. “Saya melakukan riset pustaka, tidak mewawancarai narasumber. Yang dengan narasumber para pemain,” kata John. Jauh sebelumnya, pada 1980-an Perusahaan Film Negara (PFN) berencana membuat film tentang Supratman. Umar Nur Zain ditunjuk sebagai penulis naskah dan rencananya diterbitkan oleh PT Sinar Harapan. “Sayangnya, rencana ini tidak terealisasi karena PFN mengeluarkan film yang dianggap lebih penting untuk dibuat, yakni Pengkhianatan G 30 S PKI,” kata Asvi Warman Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Asvi mengapresiasi usaha John karena tak hanya membuat film tentang tokoh sejarah, tetapi juga pelurusan sejarah. Misalnya, tempat kelahiran Supratman di Desa Somongari, Purworejo, Jawa Tengah, bukan Jatinegara. “Tempat kelahiran Supratman sebenarnya di Purworejo. Bapaknya memang tugas di Jatinegara, biasanya tempat kelahiran ditulis seusai tempat tugas bapaknya,” kata Asvi. John menampilkan Supratman tak hanya sebagai tokoh pencipta lagu tapi juga seorang wartawan Sin Po dan penulis novel. John mengaku berusaha menghindari kontroversi seputar kehidupan Supratman. Misalnya, soal istri. Ada sumber yang menyebutkan Supratman menikah dengan Salamah, namun pihak keluarga membantahnya. John hanya menampilkan Supratman sempat menjalin hubungan dengan seorang gadis. Film yang didanai Pondok Pesantren Majma’ul Bahroin Hubbul Wathon Minal Iman Siddiqiyah ini, tak luput dari kritik. Salim Said, guru besar ilmu politik Universitas Pertahanan sekaligus mantan ketua Dewan Kesenian Jakarta, mengkritik adegan ketika perumusan Sumpah Pemuda. Para peserta kongres menolak usulan Sumpah Pemuda ketiga yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Padahal, di masa tersebut bahasa Indonesia sudah cukup luas digunakan, terbukti dari adanya terbitan berbahasa Indonesia. “Sulit menerima bahwa orang Jawa tidak mau menerima Sumpah Pemuda soal bahasa karena rata-rata elite politik Jawa sudah mengerti bahasa Melayu,” kata Salim. John juga melewatkan detil-detil dalam film. Misalnya, para perempuan bumiputra yang mengenakan baju terusan. Padahal, di tahun itu masih banyak dan lumrah perempuan bumiputra mengenakan kebaya. Justru memakai pakian ala barat yang tidak lumrah. Bangunan-bangunan bergaya Eropa yang rusak padahal seting film tahun 1920-an. Casting para pemain juga jadi catatan. John barang kali punya asalan, tapi sangat sulit rasanya melihat Teuku Rifnu Wikana, terlepas dari aktingnya yang patut diacungi jempol, memerankan seorang Indo-Belanda. Dialog-dialog dalam film juga terasa tidak natural. Meski demikian, film ini patut diapresiasi lantaran menampilkan tokoh sejarah tanpa terjebak heriosme dan tak menampilkan Belanda sebagai pihak yang melulu jahat.

  • Trofi Piala Dunia Tinggal Kenangan

    TROFI Piala Dunia akan kembali diperebutkan oleh timnas dari 32 negara pada 2018 di Rusia. Trofi itu karya Silvio Gazzaniga pada 1971. FIFA memilih desain trofi karya seniman Italia itu setelah mengalahkan 53 rancangan di fase seleksi. Desainnya berupa dua manusia memikul bola dunia di pundaknya. “Garis-garisnya menanjak naik dari dasar (trofi) menyerupai bentuk spiral, membentang untuk menahan dunia. Dari bentuk yang dinamis itu, muncul dua figur atlet yang sedang menghayati momen kemenangan,” kata Gazzaniga sebagaimana dikutip Donn Risolo dalam Soccer Stories: Anecdotes, Oddities, Lore and Amazing Feats. Trofi Piala Dunia memiliki tinggi 36,5 cm, bobot 6 kg, dilapisi emas 18 karat, ditopang dua lapis perunggu dengan tulisan: FIFA World Cup. Trofi itu dibuat dan dirampungkan Stabilimento Artistico Bertoni, perusahaan medali dan trofi asal Kota Milan, Italia, sebelum Piala Dunia 1974. Trofi ini untuk pertama kali direbut oleh tuan rumah Jerman Barat. Sebelumnya, sejak Piala Dunia pertama pada 1930 di Uruguay, yang diperebutkan adalah Trofi Jules Rimet. Posturnya lebih kecil hanya setinggi 35 cm dan berbobot 3,8 kg. Desainnya dibuat Abel Lafleur, pematung Prancis, dua tahun menjelang Piala Dunia 1930. Lafleur mendesain trofi berbentuk decagonal dengan pahatan seorang dewi bersayap di kedua sisi yang ditopang batu pualam. Trofi dengan pelat emas berlapis perak itu terinspirasi oleh patung Nike, Dewi Kemenangan Yunani Kuno yang terpajang di Museum Louvre. Awalnya, trofi ini dinamai Victory, namun publik lebih mengenalnya sebagai Coupe du Monde. Trofi ini pertama kali dimenangkan Uruguay sebagai tuan rumah Piala Dunia 1930. Sebelum pecah Perang Dunia II, trofi ini dimiliki Italia sebagai pemenang Piala Dunia 1938. Jika tak disembunyikan, ada kekhawatiran trofi ini akan diambil Nazi-Jerman sebagai sekutu Italia. Di sisi lain, ada dua versi kisah penyelamatan trofi ini. “Sebuah mitos berseliweran bahwa Ottorino Barassi, pemimpin olahraga Italia, menyimpannya di kotak sepatu dan disembunyikan di bawah tempat tidur. Rumor lainnya mengatakan, Jules Rimet, Presiden FIFA yang menyembunyikan trofi itu di kolong kasurnya. Sebenarnya trofi itu disimpan di brankas sebuah bank di Roma,” tulis John Snyder dalam Soccer’s Most Wanted . Pasca Perang Dunia, pada 1946 trofi itu diubah namanya menjadi Jules Rimet Trophy. Trofi ini baru kembali diperebutkan pada Piala Dunia 1950 di Brasil. Perang memang sudah usai, namun Trofi Jules Rimet tetap terancam. Empat bulan sebelum Piala Dunia 1966 di Inggris, trofi ini dicuri ketika dipajang pada Pameran Stampex di Westminster Central Hall, 20 Maret 1966. Publik sepakbola dunia geger. Wakil Ketua Dewan Asosiasi Sepabola Inggris (FA) Jack Steward rela menjadi pihak yang disalahkan. Sehari setelah kejadian, orang tak dikenal menelepon Ketua FA Joe Mears, meminta tebusan 15 ribu poundsterling. Polisi berhasil menciduk pencuri bernama Edward Betchley itu. Sayangnya, polisi tak menemukan trofinya. Akhirnya, Trofi Jules Rimet ditemukan tanpa sengaja. Pada 27 Maret 1966, ketika jalan-jalan di Beulah Hill, sebuah distrik di tenggara Kota London, David Corbett dan anjingnya, Pickles, menemukan trofi itu terbungkus koran lalu membawanya ke Kantor Polisi Gypsy Hill. Anjing dan tuannya diberi penghargaan, sementara trofinya diserahkan kepada FA sebelum pembukaan Piala Dunia 1966. FIFA memberikan hak kepemilikan permanen Trofi Jules Rimet kepada Brasil setelah memenangi Piala Dunia untuk ketiga kalinya pada 1970. Federasi Sepakbola Brasil (CBF) memajang trofi itu dalam lemari kaca di markasnya di Rio de Janeiro. Sialnya, pada 19 Desember 1983, markas CBF dibobol maling. Dalam Futebol: The Brazilian Way of Life, Alex Bellos menguraikan empat perampok membobol sisi belakang lemari kaca tempat Trofi Jules Rimet dengan linggis. Tak hanya itu, setelah mengelabui para penjaga, mereka juga menggondol Trofi Equaitativa dan Jurrito. Polisi berhasil mengidentifikasi dan menangkap para pencuri yaitu Sergio Pereira “Peralta” Ayres, seorang bankir dan agen pemain; Francisco Rivera, mantan opsir polisi; Jose Luiz Vieira, seorang dekorator, serta Antonio Setta. Peralta mengakui trofi itu sudah dilelehkan untuk dijadikan emas batangan oleh Juan Carlos Hernandez, pedagang emas asal Argentina. CBF meminta Eastman Kodak untuk membuat replika trofi itu. Presiden Brasil Joao Figueiredo menerima trofi replika itu pada 1984.

  • Pesta Petasan Memakan Korban

    LEDAKAN gudang petasan di Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, pada Kamis (26/10/2017), memakan korban tewas 48 orang dan 46 luka bakar, sisanya berhasil diselamatkan warga dengan membobol tembok gudang. Jumlah karyawan PT Panca Buana Cahaya Sukses itu sebanyak 103 orang. Penyebab ledakan adalah percikan api dari las. Polisi menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Insiden ledakan petasan yang memakan banyak korban juga pernah terjadi pada 1 Januari 1971 di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Perayaan tahun baru itu mestinya suka cita malah jadi duka cita. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menghelat pesta petasan. Berton-ton petasan berbagai jenis disediakan sebagai penanda pergantian tahun. Sejak 31 Desember 1970 siang, disiapkan lima tiang gantungan petasan setinggi lima meter. Koran Kompas, 4 Januari 1971, melaporkan Bang Ali menyiapkan sampai empat peti petasan impor dari Tiongkok dan Singapura. Tepat pukul 00.00, petasan-petasan itu disulut. Serentetan dentuman dan warna warni kembang api menghiasi langit ibukota. Nahasnya, pesta petasan itu memakan korban. “Dari catatan yang dikumpulkan petugas sampai jam 02.00 (1 Januari 1971) itu tercatat 11 korban petasan, lainnya terdapat dua orang yang mendapat luka-luka agak parah. Seorang anak 11 tahun mendapat luka parah pada tangan dan perutnya dan yang lainnya luka-luka pada mata dan kupingnya,” tulis Kompas. Adapun Tempo, 13 November 1971 melaporkan terdapat 50-60 orang menjadi korban, baik meninggal atau luka-luka termasuk seorang warga asing asal Amerika Serikat. Petaka petasan itu jadi perhatian Presiden Soeharto. Sejumlah aturan dikeluarkan jelang Hari Raya Idulfitri. Perayaan Lebaran sebagaimana perayaan-perayaan lainnya, sering digemuruhkan dengan pesta petasan. Pada Sidang Kabinet Paripurna 12 Oktober 1971, Presiden Soeharto menegaskan instruksi dan larangan soal petasan. Pabrik-pabrik petasan dalam negeri hanya diperbolehkan memproduksi petasan jenis “cabe”. Sementara impor petasan disetop. “Presiden menginstruksikan pada instansi-instansi yang berwenang, seperti polisi dan sebagainya agar mengawasi dan menertibkan pembuatan serta penjualan mercon. Diputuskan mulai sekarang impor petasan dari luar negeri dilarang,” tulis Kompas, 13 Oktober 1971. Instruksi Soeharto itu dijalankan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud dengan mengirim telegram kepada seluruh gubernur terkait pembatasan produksi petasan yang tak boleh lebih panjang dari 8 cm, diameter tak boleh lebih dari 1 cm, dan bobotnya tak boleh lebih berat dari 10 gram. Kemendagri juga menyetop izin impor petasan. Sedangkan Kapolri Komjen Pol. Moh. Hasan mengirim instruksi ke setiap Polda agar menertibkan produksi petasan. Lewat radio dan koran-koran, kaum ulama memberi pencerahan agar tak buang-buang uang demi petasan. Sayangnya, petasan masih jadi primadona masyarakat di setiap hari raya. Permintaan pasar yang tinggi membuat petasan impor masuk secara ilegal. Pabrik-pabrik petasan juga tak semuanya patuh. Mereka diam-diam menjual petasan berukuran besar lantaran pengawasan yang longgar.

  • Tionghoa dalam Sumpah Pemuda

    HARI ini, 90 tahun lalu, para pemuda berkumpul untuk mengadakan Kongres Pemuda II di sebuah rumah di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda. Pemiliknya seorang Tionghoa, Sie Kong Liong, yang menyewakan rumah itu kepada para pemuda yang kelak menjadi tokoh penting, seperti Amir Sjarifuddin (perdana menteri), Muhammad Yamin (menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan), dan Mr. Assat (pejabat presiden Republik Indonesia). Mengingat jasanya memfasilitasi Kongres Pemuda II, Sie Kong Liong pernah diusulkan mendapatkan penghargaan. “Ada informasi tambahan dari Remy Silado (sastrawan, red .), salah satu peserta Sumpah Pemuda Jo Masdani dari Minahasa mengusulkan pada Sukarno pada 1959 supaya memberikan penghargaan pada Sie Kong Liong,” kata Didi Kwartanada, sejarawan yang menekuni sejarah Tionghoa, ketika ditemui di kantornya, Yayasan Nabil, Jakarta. Selain Sie Kong Liong, empat pemuda peranakan Tionghoa juga menghadiri Kongres Pemuda II. Kwee Thiam Hong anggota Jong Sumatranen Bond (JSB) kelahiran Palembang. Pelajar Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) berusia belasan itu mengajak sahabatnya Oey Kay Siang, John Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie. Mereka aktif sebagai anggota kepanduan. Sebagai anggota kepanduan, kata Didi, selain mengajarkan keterampilan di luar ruangan, mereka juga biasanya mengajarkan semangat nasionalisme dan patriotisme. “Sayangnya, mereka hanya tercatat nama saja. Bagaimana riwayatnya sekarang, keluarganya di mana belum ada yang menemukan,” ujar Didi. Namun, menurut Didi, berdasarkan wawancara Kwee dengan Kompas 25 Oktober 1978, tak ada yang memandang aneh keterlibatan Kwee dan teman-temannya. Dia yang kemudian berganti nama menjadi Daud Budiman merasa tidak melihat ada yang kurang senang dengan adanya pemuda etnis Tionghoa. “Keterlibatannya dalam nasionalisme Indonesia ini dipengaruhi oleh pidato H.O.S Tjokroaminoto dan Sukarno,” kata Didi. Di luar Kongres Pemuda II, suratkabar berbahasa Melayu-Tionghoa, Sin Po, yang pertama kali memuat lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman. Lagu dan notasi Indonesia Raya muncul di mingguan itu pada edisi No. 293 tanggal 10 November 1928. Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi Sin Po, menyebutkan hubungan pemimpin pergerakan Indonesia dengan pers Tionghoa, terutama Sin Po, memang sangat baik. “Bukan cuma kebetulan bahwa lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dikarang dan dibikin lagu oleh tuan Wage Rudolf Soepratman dimuat pertama kali bersama notnya dalam weekblad Sin Po.” Selain mencetak, Supratman juga meminta Sin Po untuk menjual dalam bentuk partitur lepas. Padahal, pemuatan maupun percetakan lagu Indonesia Raya melanggar aturan pemerintah kolonial Belanda. Kendati begitu, ada juga pengusaha Tionghoa yang berani mencetak Indonesia Raya dengan terang-terangan. Pengusaha rokok kretek Moro Seneng di Tulungagung, Jawa Timur, memuat utuh syair lagu dalam buku peringatan lima tahun perusahaan kreteknya. Supratman juga menyebarluaskan lagunya dalam bentuk piringan hitam yang menjadi primadona di kalangan terpelajar. Dia menawarkan kepada perusahaan asal Eropa dan Tio Tek Hong, pengusaha di Pasar Baru yang memiliki perusahaan rekaman, namun ditolak. Dia kemudian meminta bantuan temannya, Yo Kim Tjan, yang berhasil mencetaknya dalam piringan hitam. Titik Tolak Sumpah Pemuda bisa dikatakan titik tolak dari sikap Indonesia yang etnonasionalis menjadi melebur menjadi satu. Sebelumnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda memisahkan masyarakat Indonesia menjadi tiga golongan. Selain masyarakat Eropa, lainnya dimasukkan dalam golongan timur asing dan inlander (pribumi). Hal itu pun berdampak pada pergerakan politik masing-masing kelompok etnis. “Jadi, memang awal abad 20 masyarakat Indonesia terbagi berdasarkan garis warna dalam masyarakat kolonial,” jelas Didi. Hal itu bisa dilihat pada 1908 ketika Budi Utomo berdiri hanya untuk orang Jawa. Kemudian ada banyak organisasi pemuda daerah, seperti Jong Sumatranen Bond dan Jong Celebes, yang hanya mewakili etnis tertentu. Menurut Didi masyarakat golongan timur asing pun tersingkir dalam orientasi politiknya. Misalnya dalam organisasi Tiong Hoa Hwee Koan yang lahir pada 1900 sebelum Budi Utomo. “Jadi yang muncul pada awal abad 20 itu organisasi etnosentris, etnonasionalisme, bukan nasionalisme dalam arti modern, persamaan nasib, persamaan cita-cita dan sebagainya. Jadi masih sangat tersegregasi,” lanjut Didi. Ironisnya, Didi melanjutkan, partai yang dipimpin Sukarno, Partai Nasional Indonesia (PNI), hanya menerima etnis Tionghoa sebagai anggota luar biasa. Hal itu pun dimasukkan dalam AD/ART partai. “Partai ini hanya menerima golongan pribumi kala itu,” tambahnya. Menurut Didi, justru yang menjadi pelopor kesetaraan dalam organisasi politik adalah Indische Partij. Sayangnya, partai ini tak bertahan lama. Berdiri Desember 1912, partai ini sudah bubar pada 1913. “Indische Partij itu sebenarnya embrio dari sikap Indonesia untuk keluar dari sikap etnonasionalisme. Hindia untuk orang Hindia. Siapa orang HIndia itu? Bumiputra, Tionghoa, Indo, Arab bisa jadi anggotanya,” jelas Didi. Pada 1920, Partai Komunis Indonesia berdiri dan terbuka dalam menerima keanggotaan. Begitu pula dengan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) pada 1937 yang mengakomodasi seluruh etnis di Indonesia. Menurut Didi, pemberontakan PKI pada 1926 membuat pemerintah kolonial makin bersikap keras. Hal ini memunculkan perasaan senasib sebagai sesama masyarakat terjajah. Hingga akhirnya melebur dalam Kongres Pemuda II. “Sumpah Pemuda,” kata Didi, “bisa dikatakan sebagai penggorengan yang pertama. Tonggak pergerakan nasional yang ada sebelumnya belum secara inklusif merangkul seluruh etnis yang ada. Sumpah Pemuda representasi kebhinekaan Indonesia saat itu.”*

  • Perempuan dalam Kongres Pemuda

    NONA POERNOMOWULAN naik ke atas mimbar sebagai pembicara pertama dalam Kongres Pemuda II. Sebagai guru yang aktif dalam pendidikan dan pembinaan pemuda, dia membacakan prasarannya bahwa usaha mencerdaskan bangsa haruslah disertai usaha menciptakan suasana tertib dan disiplin dalam pendidikan. Setelah Poernomowulan, Sarmidi Mangunsarkoro, tokoh pendidikan, juga membacakan prasarannya tentang pendidikan. Dari kesaksian Wage Rudolf Supratman, Poernomowulan dan Sarmidi hadir sebagai pembicara utama dalam kongres tersebut. Ketika acara memasuki pandangan umum, cukup banyak hadirin yang menyambut dengan semangat juga menanggapi prasaran dari para pembicara. Tak hanya Nona Poernomowulan, perempuan yang hadir dalam kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda itu antara lain Siti Sundari, Emma Poeradiredja, Suwarni Pringgodigdo, Johanna Masdani Tumbuan, Dien Pantouw, dan Nona Tumbel. Dari 10 perempuan yang hadir, tujuh di antaranya bisa ditelusuri. Total hadirin 750 orang dan hanya 75 orang yang namanya tercatat. “Para pemudi yang hadir lebih banyak dibanding ketika kongres pemuda Indonesia pertama 1926,” tulis Bambang Sularto dalam Wage Rudolf Supratman . Para perempuan yang hadir dalam Kongres Pemuda II aktif dalam pergerakan. Poernomowulan aktif dalam Jong Java. Siti Sundari, adik dr. Sutomo, aktif dalam gerakan dan menerbitkan WanitaSworo . Majalah berbahasa dan aksara Jawa ini terbit di Pacitan pada 1912. Sementara Emma Poeradiredja aktif dalam Jong Java, Jong Islaminten Bond, dan mendirikan Istri Pasundan. Suwarni Pringgodigdo dikenal sebagai pendiri gerakan Istri Sedar. Pasca Indonesia merdeka, dia menjadi anggota DPR. Ketika Kongres Pemuda, Johanna Masdani Tumbuan berusia 18 tahun, kemudian aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Dia menerima beberapa penghargaan dari era Sukarno hingga Habibie: medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia (1953), Bintang Satya Gerilya (1958), Bintang Satya Lencana Penegak (1967), Bintang Mahaputera Utama (1998), dan beberapa penghargaan lain. Sementara Dien Pantouw merupakan istri dari Sunario Sastrowardoyo. Keduanya pertama kali bertemu saat Kongres Pemuda II dan beberapa waktu setelahnya saling berkirim surat sampai akhirnya menikah. Sedangkan Nona Tumbel adalah anggota Jong Celebes. Kongres Pemuda memiliki peranan yang signifikan terhadap Kongres Perempuan. Sebab, selain Sumpah Pemuda, tujuan utama Kongres Pemuda adalah mempersatukan pemuda dalam satu wadah organisasi. Sementara topik mengenai perempuan tidak banyak dibahas. “Jadi, dari Kongres Pemuda menginspirasi para perempuan untuk membuat kongres perempuan karena Kongres Pemuda pada waktu itu fokusnya untuk membahas pergerakan pemuda tidak banyak membahas topik perempuan,” kata Sejarawan Amurwani Dwi Lestariningsih kepada Historia . Suyatin Kartowijono, salah satu penggagas Kongres Perempuan, tidak hadir dalam Kongres Pemuda kerena berada di Yogyakarta. Meski demikian, dia mengikuti jalannya sidang dari pemberitaan media massa dan kabar dari rekan-rekannya di Jakarta. “Suyatin Kartowijono, tokoh yang begitu gencar memperjuangkan ide-ide perempuan pada saat itu terinspirasi dengan adanya Sumpah Pemuda. Dia mengajak rekan-rekannya untuk menyelenggarakan Kongres Perempuan. Dari awal dia memang punya greget untuk memajukan wanita,” kata Amurwani. Dua bulan setelah Kongres Pemuda, Kongres Perempuan diselenggarakan di Yogyakarta. Kongres membahas masalah dan hak perempuan serta pergerakan kemerdekaan. Hasil kongres menyepakati bahwa perempuan harus ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan dan ikut memajukan organisasi-organisasi pemuda.

  • Dari Timbul Lahirlah Indonesia Raya

    PADA suatu sore, Wage Rudolf Supratman, wartawan suratkabar Sin Po, tersentak oleh artikel dalam majalah Timbul . Musababnya sebuah kalimat, “Alangkah baiknya kalau ada salah seorang dari pemuda Indonesia yang bisa menciptakan lagu kebangsaan Indonesia, sebab lain-lain bangsa semua telah memiliki lagu kebangsaannya masing-masing!” Kalimat itu mengusik Supratman. Sepengetahuannya saat itu telah ada lagu Dari Barat Sampai ke Timur sebagai lagu kaum pergerakan . Tetapi, lagu itu belum mengesankan dan menggugah semangat berjuang. Dari situ muncul ide membikin lagu kebangsaan bukan sekadar lagu pergerakan. Hingga suatu kali di pertengahan 1926, Supratman dikunjungi kakak iparnya, Oerip Kasansengari. Dia mendapat kawan diskusi yang menyenangkan. Selama seminggu keduanya banyak berdiskusi, umumnya soal politik. Termasuk tentang artikel majalah dan idenya tentang lagu kebangsaan. “Begini Mas,” Supratman membuka pembicaraan, “saya pernah membaca majalah Timbul yang terbit di Solo, Jawa Tengah, yang isinya antara lain menanyakan kapan ada komponis kita yang dapat menciptakan lagu kebangsaan Indonesia, yang dapat menggelorakan semangat rakyat!” Supratman menunjukkan majalah itu kepada Oerip. “Kalau bangsa Belanda punya lagu kebangsaan Wilhelmus , mengapa Indonesia belum punya. Sebab itu sekarang saya sedang mulai mengarang lagu dan saya beritahukan juga kepada bapak dan saudara-saudaraku untuk mendapat restunya,” kata Supratman. “Selamat dan semoga berhasil dengan cita-citamu itu,” kata Oerip. Menurut Anthony C. Hutabarat dalam biografi Wage Rudolf Soepratman , hasratnya untuk menggubah lagu yang dapat menjadi lagu kebangsaan semakin bertambah, setelah tersiar berita dari Indonesische Studieclub yang dipimpin Bung Karno, bahwa perlu adanya segera lagu nasional. Meskipun tak berorganisasi, Supratman akrab dengan orang-orang pergerakan. Dia meliput kegiatan-kegiatan mereka. Dia juga bergaul dengan anggota Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI). Dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Bondan Winarno mencatat Supratman mulai sering ikut berdiskusi dengan para pemuda yang selalu berkumpul di Gedung Perkumpulan Indonesia (Indonesische Clubgebow) di Gang Kramat (sekarang Jalan Kramat 106 Jakarta Pusat). Atmosfer itu yang mendorong Supratman membikin lagu kebangsaan. Dengan lagu itu dia bisa berkontribusi dalam pergerakan nasional. Tidak jelas berapa lama dia menggubah lagu kebangsaan. Menurut Bondan dalam prosesnya Supratman dibantu Theo Pangemanan, tokoh kepanduan yang mahir bermusik. Ketika nadanya telah tercipta, dia langsung menetapkan judul “Indonesia” untuk lagunya. Sementara liriknya mengambil inspirasi dari jargon dan ungkapan aktivis pergerakan yang akrab didengarnya dalam percakapan-percakapan di Gang Kramat. Ketika lagu itu selesai digubah, para pemuda pergerakan di Batavia sedang sibuk mempersiapkan Kongres Pemuda II. Supratman menulis surat kepada panitia guna memperkenalkan lagunya dan menjajaki kemungkinan lagu itu diperdengarkan dalam kongres. Panitia mengizinkan lagu itu diperdengarkan dalam penutupan kongres. “Dia membawa ciptaannya itu dan memperdengarkannya antara lain kepada Sugondo Joyopuspito, Arnold Mononutu, dan A. Sigit,” tulis Bondan. Supratman kemudian membawakan lagu itu dengan biolanya usai sidang pleno ketiga Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928. Penampilannya mendapat sambutan hangat peserta kongres. “Setelah Wage Rudolf Supratman mengakhiri permainan biolanya, serentak para hadirin memberi sambutan dengan tepuk tangan gemuruh. Sebagian malah ada yang berdiri sejenak untuk bertepuk tangan. Sebagian lagi ada yang meneriakkan pujian,” tulis B. Sularto dalam Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya .

  • Indonesia Raya Mengancam Belanda

    MEMASUKI sidang ketiga Kongres Pemuda II, polisi rahasia Belanda makin siaga. Takut-takut kalau para pemuda mengadakan gerakan. Tetiba Ketua Panitia Kongres Sugondo Djojopuspito dihampiri Wage Rudolf Supratman, peserta kongres merangkap wartawan Sin Po . “Bung Gondo, apakah saya dapat memperdengarkannya sekarang,” tanya Supratman yang menenteng kotak biola dan menggenggam secarik naskah lagu. Sugondo membaca naskah lagu itu. Kalimat “Indonesia Raya” dalam lirik lagu membuatnya cemas. Dia menyerahkan naskah lagu itu kepada petinggi pemerintah kolonial yang hadir, Charles van der Plas. Van der Plas malah menyarankan supaya meminta izin kepada perwira polisi Belanda. Sugondo tak bersedia. Supratman lantas meyakinkan kawannya itu. “Saya hanya mau memperdengarkan dengan permainan biola,” kata Supratman dalam Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya karya B. Sularto. Sidang akan kembali digelar dengan agenda penetapan hasil keputusan kongres. Sebelum dimulai, Supratman mendapat kesempatan memperdengarkan lagu ciptaannya dengan biola. Ratusan pasang mata menatap ke arahnya. “Sekalipun hanya mendengar alunan instrumentalia tanpa lirik, lagu berjudul Indonesia Raya itu tampak mendatangkan rasa hikmat dan khusuk pada hadirin,” tulis Parakitri Simbolon dalam Menjadi Indonesia . Ketika Supratman mengakhiri permainan biolanya, seluruh hadirin takjub. Tepuk tangan yang gemuruh masih terdengar mengiringi kepergian Supratman kembali ke tempat duduknya. Setelah kongres ditutup dengan ikrar Sumpah Pemuda, lagu itu kembali diperdengarkan. “Saya ingat, rapat penutupan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928 waktu Indonesia Raya diperdengarkan untuk pertama kali. Lagu itu dinyanyikan bersama-sama oleh hadirin,” kenang Soegondo Djojopoespito dalam tulisan ”Beberapa Cerita yang Kurang Tepat dalam Beberapa Karangan tentang Sumpah Pemuda” termuat dalam 45 Tahun Sumpah Pemuda . Seorang gadis remaja bernama Dolly Salim, putri Haji Agus Salim menjadi pemandu lagu itu. Lagu itu segera mengkhalayak di mana-mana. Di beberapa forum resmi, bahkan lagu itu dikumandangkan dengan sikap hormat. “Sejak itu lagu tersebut sangat terkenal di kalangan para pemuda perkotaan,” tulis Bob Hering dalam Mohammad Hoesni Thamrin: Tokoh Betawi-Nasionalis Revolusioner Perintis Kemerdekaan . Menurut Sularto, pemerintah kolonial secara diam-diam memerintahkan tenaga ahlinya untuk meneliti peranan lagu Indonesia Raya . Mereka sepakat, lagu Indonesia Raya dapat mengancam pemerintah. Menyanyikan lagu ini bahkan menggumamkannya dianggap dapat mengancam ketenangan dan ketertiban umum. “Lagu gubahan Supratman yang sangat puitis akan mendorong lahirnya kesadaran baru bangsa Indonesia,” tulis Hering. Pemerintah kolonial Belanda meresponnya secara represif. Untuk beberapa waktu lamanya lagu Indonesia Raya dilarang diperdengarkan.

  • Stadion GBK Kebakaran

    STADION kebanggaan nasional, Gelora Bung Karno (GBK), direnovasi jelang perhelatan Asian Games 2018. Dalam proses renovasi, Stadion GBK sempat kebakaran pada 3 Maret 2017. Penyebabnya: puntung rokok dan korsleting listrik. Insiden serupa pernah melanda venue yang sama ketika stadion ini dibangun pada 1961 untuk Asian Games 1962. Rumor yang beredar, insiden itu karena sabotase. “Beberapa bulan sebelum berlangsung Asian Games, terjadi sabotase terhadap pembangunan Stadion Utama, sebagian kecil bangunan yang megah tersebut terbakar,” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik . Sepertiga bangunan stadion hangus dilalap api. Selaku pejabat presiden, dr. Leimena segera melakukan pengecekan selepas pemadam kebakaran berhasil memadamkan si jago merah. Insiden ini mengusik persiapan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games IV. “Pemerintah bertindak cepat menyelesaikan kasus kebakaran ini dengan membentuk dua komisi independen. Komisi pertama untuk menemukan penyebab kebakaran misterius tersebut. Komisi kedua meneliti dampak kebakaran, untuk kemudian merumuskan saran dan langkah lanjutan agar pembangunan bisa secepatnya dilanjutkan,” tulis Julius Pour dalam Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno. Namun, tak ada pernyataan resmi dari pihak berwenang, termasuk dua komisi itu, mengenai penyebab kebakaran. Sementara itu, isu sabotase terus bergulir dan tak kunjung diklarifikasi. Kebakaran itu sampai dikaitkan dengan politik tingkat tinggi mengingat pembangunan Stadion GBK merupakan proyek bersama Indonesia dan Uni Soviet yang terlibat Perang Dingin dengan Amerika Serikat. “Tentu saja pemerintah kita tidak akan bisa mengatakan demikian (sabotase, red. ). Tetapi indikasi ke arah sana memang nampak sangat jelas,” kata Ashari Danudirdjo, sekretaris panitia pelaksana pembangunan Stadion GBK. Terlepas dari isu sabotase, para anggota Federasi Asian Games (AGF) meragukan kompetensi Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games. Ditambah lagi media-media asing seolah mengompori. Suratkabar The Strait Times asal Singapura memajang headline : “Lonceng Kematian Asian Games Segera Berbunyi dari Jakarta.” Presiden AGF Sri Sultan Hamengkubuwono IX segera mengundang anggota Exco atau Komite Eksekutif AGF ke Jakarta. Mereka lega setelah melihat pembangunan Stadion GBK yang dikerjakan siang-malam. Hasil peninjauan mereka dibahas dalam sidang Exco AGF pada April 1962. Sidang memutuskan Asian Games IV akan digelar sesuai jadwal, 24 Agustus-4 September 1962. Bahkan, para anggota Exco AGF mengungkapkan kekagumannya terhadap Stadion GBK. Mereka menyebut Stadion GBK sebagai stadion terbesar dan terindah di Asia. Pujian juga datang dari mingguan The Asia Magazine asal Hong Kong yang menuliskan: “... its construction is a feat unquelled in the annals of sports history in Asia dan perhaps in the world ” (pembangunannya merupakan sebuah prestasi yang tidak terbayangkan dalam sejarah olahraga di Asia dan mungkin di dunia).” Presiden Sukarno meresmikan stadion berkapasitas 110 ribu orang itu pada 21 Juli 1962 sekaligus digelarnya general rehearsal (gladi resik) pembukaan Asian Games IV.

  • Penumpasan PKI di NTT dalam Dokumen Rahasia AS

    DI Pulau Rote, ujung paling selatan Indonesia, seorang antropolog AS, James J. Fox, menyaksikan praktik penumpasan PKI. Dia menetap di Rote sejak 1965 untuk kepentingan studinya di Universitas Oxford, Inggris. Bersama istrinya, dia melaporkan situasi yang terjadi selama masa pembersihan berlangsung kepada Kedubes AS di Jakarta. Kedubes kemudian menerbitkannya dalam laporan berjudul “Conditions and Attitudes in East Nusatenggara” (Kondisi dan Sikap di Nusa Tenggara Timur). Laporan ini menjadi salah satu dari 39 dokumen rahasia AS yang dideklasifikasi pada 17 Oktober 2017. Fox melaporkan bahwa satu detasemen AD tiba di Rote pada Januari atau Februari 1966. Misi tentara memburu Sukirno, kader PKI dari Jakarta yang ditugaskan memimpin PKI di Rote, beberapa minggu sebelum 30 September 1965. Tentara mundur karena tak menemukan yang dicari. Mereka kembali lagi ke Rote pada pertengahan Maret 1966. “Kunjungan ini menghasilkan eksekusi sebanyak 40 sampai 50 orang komunis di Rote ditambah 30 orang lainnya dari pulau tetangga, Sawu,” tulis telegram bernomor A-65 tanggal 3 Agustus 1966. Kunjungan tentara yang ketiga terjadi pada Juni 1966. Satu atau dua orang anggota PKI dieksekusi yang sebelumnya menghindari penangkapan. Fox melakukan perjalanan melalui Timor untuk berbicara dengan sebanyak mungkin masyarakat setempat. Informasi yang digalinya menyimpulkan sekira 800 orang atau paling banyak 1000 orang telah dieksekusi di Timor, Sumba, Alor, Rote, Sabu dan di pulau kecil lainnya. Alor merupakan basis PKI terkuat dengan 105 orang dieksekusi. Sementara untuk Flores, dia tidak mengetahui persis namun diperkirakan jauh lebih banyak. Sebagai antropolog, Fox mengamati implikasi sosial yang ditimbulkan oleh operasi tentara. Alih-alih menuai simpati, aksi pembersihan ternyata menodai citra tentara di mata masyarakat Rote. Daerah ini sebagian besar beragama Kristen dan berisi beragam orang non-Jawa. Sementara, ketika tentara datang, “mereka sebagian besar terdiri dari orang-orang Muslim dari Jawa dan nampaknya penduduk setempat menjadi korban pendudukan orang asing,” kata Fox. Menurut Fox, tentara melakukan pesta mewah hari demi hari dengan mengorbankan harta milik penduduk, yang mengakibatkan populasi ternak (kambing) menipis. Di Kupang, korupsi yang dilakukan tentara diperkirakan meningkat sepuluh kali lipat. Beberapa muatan kapal dari luar negeri yang dibongkar di Kupang, naik ke tangan tentara dan hanya bisa dibeli oleh penduduk dengan harga selangit. Hal ini sempat menimbulkan ancaman kelaparan bagi masyarakat setempat. Kesaksian Pembanding Wartawan senior asal Pulau Sawu, Peter A. Rohi meyakini kebenaran dokumen laporan Fox tersebut. Menurutnya, yang disebut PKI yang dibantai di Timor termasuk Pulau Rote dan Sawu adalah anggota-anggota nonaktif. Mereka kebanyakan petani buta huruf dan nelayan kecil yang berlangganan di koperasi PKI. “Mereka yang masih menganut agama lokal pun disamakan dengan atheis dan atheis itu komunis. Para aktivis yang selama masa itu selalu bertentangan dengan kebijakan pemerintah juga digolongkan komunis. Petani dan nelayan-nelayan itu sama sekali tak mengerti Marxisme. Bagi mereka yang penting kebutuhan mereka tersedia di koperasi yang ternyata milik PKI,” kata Peter. Bahkan, Peter mengungkapkan saudara sepupu ibunya beserta anak sulungnya yang pulang melaut langsung ditangkap tanpa diberi kesempatan pulang ke rumah. Keduanya kreditur jaring di koperasi milik PKI lantas dibunuh bersama banyak orang lain yang PKI atau di-PKI-kan. Seorang hakim di Ende, Flores, bernama Soedjono ditangkap massa dan dibunuh hanya karena namanya sama dengan seorang buronan PKI di Jawa. Setelah itu, baru diketahui dia bukanlah Soedjono yang dicari. “Pokoknya histeria massal saat itu terjadi karena selebaran-selebaran hoax seakan-akan PKI akan membunuh semua ulama dan pendeta, pastor, para pejabat resmi, serta tokoh masyarakat yang berpengaruh yang namanya tercantum dalam selebaran itu,” kata Peter. Pengalaman senada juga dikisahkan Ben Mboi dalam memoarnya Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja . Menurut dokter yang saat itu berdinas di Flores dan Ende, kehadiran PKI di desa-desa bertumbuh karena PKI diplesetkan menjadi Partai Koperasi Indonesia, dan seterusnya. Keanggotaan PKI pun diimingi-imingi naik haji bagi petani kecil, atau pedagang keliling, dan sebagainya. Ketika situasi politik berbalik menekan PKI, tragedi kemanusiaan yang memilukan pun tak terelakkan. Gerakan kontra PKI berjalan cepat dan kejam sekali. Aksi pengganyangan menyala-nyala dan tak manusiawi. “Tokoh-tokoh komunis disiksa, dipukuli sampai luka-luka, dikirim ke rumah sakit, dikembalikan lagi, disiksa lagi, dikirim lagi ke rumah sakit, sampai persediaan alat balut yang sudah terbatas itu makin terkuras saja,” kata Mboi yang kemudian menegur kepala Kodim setempat. Di Ende, keadaan tak jauh berbeda. “Ada orang PKI yang disiksa lalu ditembak, ada yang disiksa sambil berjalan sampai mati, ada yang dibakar hidup-hidup.” Mboi juga menyaksikan ada dua guru yang dipenggal dan diarak massa keliling kota Ende, lalu dipamerkan di tugu tengah kota. Kedua jenazah baru dikuburkan setelah kepala seksi satu Kodim mendapat teguran. Menurut Mboi, korban keganasan epilog G30S di Flores terbesar kedua setelah Bali. Selain PKI, anggota-anggota PNI kubu Ali-Surachman juga menjadi korban. Keganasan tak lebih ringan dari yang dialami PKI, malahan lebih ganas, oleh karena ada motif pribadi. “Masa ini benar-benar merupakan the blackest and the bleakest months of my life (paling gelap dan paling suram dalam hidupku), dan sampai hari ini pun bayangan bulan-bulan itu masih terpatri dalam ingatan seperti baru terjadi kemarin saja!” kenang Mboi yang meninggal pada 23 June 2015.

  • Perempuan Melawan Jerman

    Pearl Witherington Cornioley bangun dari duduknya. Dia menuju pintu belakang pesawat lalu merebahkan tubuhnya di dinding pesawat. Tiba-tiba pesawat pembom Halifax yang ditumpanginya bermanuver tajam. Jantungnya berdegup kencang. Matanya terus menatap petugas pemberi aba-aba untuk terjun. Misi penerjunan ke Prancis pada 15 September 1943 itu menjadi puncak mimpinya selama beberapa tahun belakangan. Pendudukan Jerman membuat Pearl dan keluarganya terpaksa keluar dari Prancis. Dia kembali ke Prancis setelah bergabung dengan Special Operation Executives (SOE), badan intelijen yang dibentuk pemerintah Inggris untuk membantu perjuangan bawah tanah negara-negara yang diduduki Jerman. Ketika Halifax mengurangi ketinggian sampai 500 kaki, perasaan Pearl campur aduk antara senang, bangga, dan khawatir. Kekhawatirannya makin bertambah karena perintah terjun tak kunjung datang. Ketidakpastian itu baru usai setelah pilot mengumumkan: misi dibatalkan. Pearl kecewa. Pearl merupakan anak diplomat Inggris di Prancis. Lahir dan besar di Prancis, dia menganggap Prancis sebagai rumahnya. Itulah yang membuatnya amat marah ketika Prancis diduduki Jerman dalam Perang II. “Yang membuatku sangat marah adalah pendudukan. Dan itu adalah sesuatu yang tak bisa membuatku tinggal diam,” kata Pearl dalam memoarnya, Code Name Pauline: Memoirs of a World War II Special Agent yang ditulis bersama Kathryn Atwood. Saat pendudukan Jerman, Mei 1940, Pearl belum lama bekerja di kantor Atase Udara Kedutaan Inggris di Paris. Dia menjadi tulang punggung keluarga lantaran ayahnya terjerembab dalam alkohol. Dia menyerahkan semua gaji kepada ibunya, sementara untuk uang saku dia memberi les bahasa Inggris. Lantaran dianggap sebagai staf lokal, pemerintah Inggris tak mengevakuasi Pearl dan keluarganya. Dia terpaksa bersusah payah untuk membawa ibu dan ketiga adik perempuannya keluar Prancis. Sayang, di Normandy mereka tertinggal kapal menuju Inggris. Dia terpaksa kembali ke Paris. Mereka baru berhasil ke Inggris pada akhir tahun lewat Portugal lalu Gibraltar. Tak lama setelah kedatangannya di Inggris, Pearl mendapat pekerjaan di Kementerian Udara. Tapi dia tak puas hanya duduk di balik meja. Hasratnya untuk membantu Prancis keluar dari pendudukan tetap membara. Melalui seorang teman, dia lalu bergabung dengan SOE pada 8 Juni 1943. Dia mengikuti pelatihan intens, termasuk terjun payung, selama beberapa pekan. Pada 15 September 1943, Pearl dan agen-agen SOE mendadak batal diterjunkan ke Prancis. Penyebabnya, “Hector”, kepala jaringan SOE yang sedianya membawahi Pearl, ditangkap Gestapo, polisi rahasia Nazi-Jerman. Saat pesawat Halifax hendak menerjunkan Pearl dan kawan-kawan, Hector tepat berada di bawah pesawat. Lima hari kemudian, Pearl kembali ke Prancis menggunakan pesawat angkut dari Lapangan Udara Hazells Hall, dekat Pangkalan RAF Tempsford. “Ini adalah kesempatan terakhir saya, kesempatan terakhir saya,” kata Pearl dalam hati, dikutip Carole Seymour-Jones dalam She Landed by Moonlight: The Story of Secret Agent Pearl Witherington . Pearl bekerja dalam jaringan SOE bernama “Wrestler” yang dipimpin Maurice Southgate. Dengan nama samaran Marie Verges, dia berperan sebagai kurir. Dia mengantar pesan ke banyak orang dan melaporkannya ke London. Untuk menjalankan tugas itu Pearl menyamar sebagai agen kosmetik. Pada Mei 1944, Southgate ditangkap Gestapo dan dimasukkan ke Kamp Buchenwald. Pearl mengambilalih kepemimpinan Wrestler. Dia dan tunangannya, Henri Cornioley, sempat tertangkap Gestapo dan hampir dibunuh. Keduanya melarikan diri ke lembah Sungai Cher, Prancis Tengah, dan bersembunyi di rumah penjaga perkebunan. Pearl dan Henri mengubah struktur Wrestler menjadi kelompok kecil perlawanan dan mengganti metode kerjanya. Pearl berganti nama menjadi Pauline. Rumah penjaga perkebunan menjadi markasnya. Mereka merekrut penduduk setempat yang kebanyakan petani. Dalam waktu singkat, pengikutnya mencapai 1500 orang dibagi menjadi empat subregu. Selain mengumpulkan informasi, mereka melakukan sabotase yang meningkat menjelang D-Day. “Saat menerima pesan aksi D-Day di BBC , Maquis (kaum perlawanan Prancis, red .) Pearl mulai menebangi pohon di jalan-jalan dan memutus kabel telepon,” tulis Marcus Binney dalam The Women Who Lived for Danger . Setelah Juni, Pearl menyerukan kelompoknya angkat senjata. Dia dan Henri melatih mereka menggunakan senjata modern yang disuplai SOE. “Tampaknya pertandingan tak setara: petani melawan Nazi. Tapi orang-orang Indre, yang baru dipersenjatai oleh Pearl dengan senjata asing, senjata api dan peluncur roket, mampu belajar dengan cepat,” tulis Carole Seymour. Maquis pimpinan Pearl makin sering merepotkan lawan sehingga kian dikenal. Bahkan Jerman sampai membanderol kepala Pearl sebesar satu juta Franc. “Pearl menyanyi saat dia memimpin sekelompok orang Prancis memasuki pertempuran. Lagu yang dia pilih, Avec mes Sabots , juga merupakan lagu marching Joan of Arc. Bagi teman-teman Pearl, Henri Cornioley, Mayor Clutton dari Jedburgh, dan mungkin pasukannya, kepemimpinan visioner Pearl dalam rentang waktu Mei-September 1944 mengingatkan orang pada kepemimpinan Joan,” tulis Carole Seymour. Pada subuh lima hari setelah D-Day, sekira dua batalyon Jerman menyerang Maquis di Les Souches. Pertempuran sengit berlangsung hingga malam. Pearl tak ikut bertempur karena harus menyelamatkan uang operasional yang didrop SOE. Nyawanya hampir melayang saat masuk ke ladang jagung untuk mengambil uang. Hampir bersamaan pasukan Jerman membakar gudang yang merembet ke kebun. Dia merangkak keluar dari ladang sembari menghindari para personel Jerman. Dia selamat karena pasukan Jerman hanya membakar dan istirahat. “Beberapa orang Jerman yang sudah lelah perang hanya tinggal di rumah pertanian terdekat, termasuk pondok tempat Pearl dan Henri tidur, dan meminta makan,” tulis Binney. Serangan Jerman membuat Pearl dan mayoritas anggotanya terdesak terus mundur ke arah timur hingga Doulcay. Mereka ditampung suami istri petani, Trochet. Tak lama kemudian sekira 45 personel Jerman mendatangi tempat itu. Namun, mereka salah memberikan nama buruan sehingga Pearl dan pasukannya selamat. “Sejak saat itu, kami tidur di hutan dan makan dari pertanian,” kata Pearl dikutip Binney. Menjelang 24 Juni 1944, Maquis Pearl mendapatkan banyak kiriman senjata api, ransum dan pakaian. Perlawanan kembali menguat. Pada 18 Agustus 1944, mereka melakukan penyergapan heroik. Sekira 30 personel Maquis menyerang satu detasemen SS di Reuilly. Dalam pertempuran satu setengah jam, Maquis hanya kehilangan seorang prajurit sementara Jerman kehilangan 20 personel. Delapan hari kemudian, satu kelompok Maquis di sub-sektor lain menyerang konvoi 128 kendaran pasukan Jerman. Selain memaksa mereka memutar balik, serangan itu memakan korban jiwa 150 personel Jerman. Pada akhir perang, Maquis Pearl berhasil menewaskan setidaknya seribu personel Jerman dan melukai ribuan lainnya. Mereka juga berperan dalam penyerahan 18 ribu Jerman di sektor Issoudun, yang selanjutnya dikirim ke Orleans, Amerika Serikat. Meski pemerintah Inggris merendahkan peran Pearl dan Maquis-nya, Jenderal Eisenhower menganggap mereka justru berkontribusi besar. “Berkat mereka, Jerman kehilangan kendali atas posisi belakang mereka selama Overlord, dan lelaki maupun perempuan dari kaum perlawanan yang membebaskan Prancis di selatan Loire,” kata Ike, sapaan akrab panglima tertinggi Sekutu di Eropa Barat semasa PD II itu. Dan Pearl merupakan satu-satunya agen SOE yang memimpin pasukan mengangkat senjata.

bottom of page