top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Sigap Menangkal Babi-Babi Suap

    KOLONEL I Gusti Kompyang (IGK) Manila tahu betul beragam tantangan yang bakal dihadapi ketika menduduki jabatan manajer timnas Indonesia untuk SEA Games 1991 di Manila, Filipina. Bukan hanya soal segudang problem persiapan tim, tapi juga “hantu” judi dan suap yang sudah lama membayangi persepakbolaan Indonesia. Manila (kini Mayjen TNI Purnawirawan) punya keyakinan bahwa para bandar judi dan tukang suap masih jadi ancaman buat tim Garuda. Empat tahun sebelumnya, sebuah kasus suap menggegerkan persepakbolaan nasional. Suap hinggap ke timnas Indonesia pra-Olimpiade 1987. Elly Idris, Bambang Nurdiansyah, Noach Maryen, Louis Mahodim langsung dikenai hukuman larangan bertanding selama tiga tahun akibat kasus itu. Dalam persiapan timnas jelang SEA Games 1991 sendiri, Manila sudah beberapa kali bentrok pemikiran baik dengan pelatih Anatoly Polosin maupun dengan Ketua PSSI Kardono. Dengan Kardono, Manila sampai “berperang” argumen gara-gara mencoret nama pemain bintang Ricky Yakob dari skuad timnas . Toh, timnas akhirnya berangkat ke Manila setelah melewati berbagai persiapan, termasuk penggojlokan ala militer di Pusdik POM Cimahi. Namun, tantangan di luar lapangan belum kelar. Manila masih harus memantau dan menangkal para gembong judi yang acap menyuap pemain. Manila menyebutnya “babi-babi suap”. “Ya, mereka memang babi semua. Babi-babi suap,” kata Manila dalam biografi IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara karya Hardy R Hermawan dan Edy Budiyarso. Manila terbang ke Manila tak hanya membawa ofisial tim dan para pemain, namun juga sejumlah anak buahnya dari POM ABRI. Satu regu POM ABRI berpakaian sipil itu dibekali sejumlah identitas dan jadwal para tukang suap yang datang dari Jakarta ke Manila. Namun, anak buah-anak buah Manila hanya efektif menciduk para bandar judi “kelas teri”. Bandar kelas kakap ditangani langsung oleh Manila. “Ada satu, orang Sulawesi Selatan, tokoh sepakbola bangkotan tapi kerjanya enggak benar. Suka berhubungan dengan bandar judi dan sering menyuap pemain,” ujar Manila. Untuk menanganinya, Manila melakukannya dengan cara persuasif guna memberi pengertian sang bandar. Lantaran kenal baik dengan ayah sang bandar, Manila mengontak ayahnya terlebih dulu. Kepada mafia kelas kakap lain, yang berasal dari militer dan jauh lebih senior darinya, Manila memberi pengertian bahwa dia sedang menjalankan tugas negara dan bersedia pasang badan menghadapi segala macam gangguan. “Dia pun kemudian memahami dan detik itu juga meninggalkan hotel. ‘Selamat bertugas, Dik’,” ujar Manila menirukan kata-kata terakhir sang senior. Namun, masalah tak selesai sampai di situ. Oknum PSSI pun ternyata ada yang turut “bermain”. Untuk menanganinya, Manila menggunakan Bambang Nurdiansyah, salah satu pemain timnas, sebagai informan. Manila membawa Bambang untuk mendeteksi, mengenali, dan menginformasikan keberadaan sang mafia di hotel tim di Manila. “Bambang pemain berpengalaman, dia kenal semua orang bola, bandar, dan tukang suap. Ia sudah bertaubat dan mau bekerjasama dengan saya. 'Anda (Bambang) sekarang ada di timnas, bantu saja cegah babi-babi itu masuk ke area timnas. Lapor pada saya jika kau lihat ada babi-babi itu',” kata Manila. Bambang menyanggupi “tugas khusus” itu. Dia lalu mendeteksi ada oknum PSSI yang "bermain" dan segera melaporkan ke Manila. Dengan sigap dan segera, Manila mengusir anasir PSSI tersebut. Timnas sendiri pada akhirnya sukses merebut medali emas cabang sepakbola putra. Di final, anak asuh Manila menaklukkan Thailand 4-3 via adu penalti. Namun, pernyataan Manila itu dibantah Bambang. “Enggak, enggak. Saya sebagai apa (informan), enggak. Memangnya saya tukang bandar suap? Enggak ada. Saya enggak kenal (para tukang suap), memangnya saya bandar suap,” kata Bambang via sambungan telepon kepada Historia .

  • Letusan Gunung Agung dan Pariwisata Bali

    SUTOPO Purwo Nugroho setidaknya dua kali menulis di akun twitter -nya tentang letusan Gunung Agung sebagai potensi wisata. Menurutnya, fenomena letusan gunung api adalah langka. Tak semua negara punya gunung api. Sedangkan Indonesia punya 127 gunung api aktif. “Saat meletus dapat dinikmati wisatawan di tempat aman. Turis asing terpesona letusan Gunung Agung. Biarkanlah gunung bekerja, kita menyingkir dulu,” kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana itu. Menurut Sutopo letusan gunung api dapat dinikmati sebagai karya Ilahi, jika masyarakat tidak panik, memahami informasi gunung api dengan baik, dan berada di tempat aman (daerah berbahaya di Bali hanya di radius 8-10 km dari puncak kawah). Ajakan itu mengingatkan kembali pada peristiwa letusan Gunung Agung pada 1963. Saat itu, pemerintah daerah Bali dan pemuka masyarakat sepakat menggelar upacara Eka Dasa Rudra setelah 400 tahun tidak dilaksanakan. Upacara itu sebenarnya belum waktunya, tetapi diadakan karena insidental ( padgata-kala ). Menurut I Gede Mugi Raharja, dosen Program Studi Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar, Bali, upacara Eka Dasa Rudra dilaksanaan dengan pertimbangan sebagai pembayaran utang ( penregteg ) karena beberapa kali tidak pernah dilaksanakan pada pergantian abad, sejak abad ke-15. Upacara itu juga dimaksudkan sebagai pembersihan bumi ( pemarisuda jagat ) akibat bencana-bencana yang dialami Pulau Bali, seperti penjajahan Belanda, gempa 1917, Gunung Batur meletus 1926, penjajahan Jepang, perang kemerdekaan dan Puputan Margarana. “Eka Dasa Rudra pada hakikatnya adalah upacara memuja dan menyembah Hyang Widhi yang Maha Esa di sebelas arah (8 penjuru + titik tengah + atas + bawah), agar kekuatan-Nya yang Maha Dahsyat (Rudra), berubah kepada sifat sejati-Nya yang Maha Kasih dan Maha Luhur. Upacara ini pada intinya merupakan upacara kurban suci Bhuta Yadnya tertinggi yang dilaksanakan 100 tahun sekali, agar unsur-unsur alam senantiasa memberikan keselamatan dan kesejahteraan kepada masyarakat, khususnya umat Hindu di Bali,” tulis I Gede Mugi Raharja dalam, "Makna Gunung Agung dalam Kebudayaan Bali," isi-dps.ac.id. Rangkaian upacara Eka Dasa Rudra diselenggarakan pada 10 Oktober 1962 hingga 20 April 1963. Pemerintah pusat menjadikan upacara itu sebagai ajang untuk mendongkrak pariwisata Bali. “Pemerintah memanfaatkan kesempatan itu untuk berpromosi, dengan mengundang para peserta konferensi biro perjalanan yang tengah berlangsung di Jakarta untuk datang ke upacara tersebut bersama Presiden Sukarno,” tulis Michel Picard dalam Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata . Rangkaian upacara yang direncanakan akan berlangsung selama dua bulan itu hampir dihentikan oleh gejala-gejala awal letusan Gunung Agung. "Tanpa menghiraukan kekhawatiran berbagai pemuka agama, diputuskan untuk tetap melaksanakan upacara boleh jadi karena kepentingan nasional turut dipertaruhkan," tulis Picard. Letusan yang dikhawatirkan itu terjadi di tengah pelaksanaan upacara. Gunung Agung meletus mulai 18 Februari 1963 hingga 27 Januari 1964. Letusan paling dahsyat terjadi pada 17 Maret 1963, tiga hari sebelum Hari Raya Galungan. Akibatnya, seluruh bagian timur Bali porak-poranda, menelan ribuan korban jiwa, disusul bencana kelaparan dan wabah penyakit. “Pemerintah konon mengundang wakil-wakil dari biro-biro perjalanan untuk terbang di atas Gunung Agung dan menikmati pemandangan yang megah atas letusan gunung tersebut,” tulis Picard. “Sebagian orang Bali pun menduga bahwa bencana itu adalah hukuman para dewata yang marah melihat upacara dijadikan komoditas pariwisata.” Letusan gunung pernah jadi objek wisata ketika Gunung Krakatau meletus pada 1883. Biro pariwisata mengundang para pelancong dari Eropa untuk datang ke Hindia Belanda menyaksikan akibat dari bencana dahsyat itu. “Pada Mei 1883 ada pengumuman di Klub Harmonie dan Concordia berupa iklan dari Netherlands Indies Steamship Company untuk perjalanan ke wilayah dekat dengan Gunung Krakatau yang baru meletus, menggunakan kapal Loudon. Biaya sebesar 25 gulden. Ada sekitar 86 penumpang yang ikut. Di antara mereka ada yang berani mendekat dengan perahu. Bahkan ada yang sempat mengambil foto,” ujar Ahmad Sunjayadi, sejarawan yang mendalami pariwisata era kolonial, kepada Historia .

  • Masa Lalu Orang Kaya Baru

    Fredrich Yunadi, pengacara Setya Novanto sesumbar. “Warisan saya saja untuk 10 turunan juga nggak habis kok. Sejak lahir saya sudah hidup berkecukupan. Supaya tahu. Jadi jangan kira saya ini OKB’,” katanya . Dia menolak anggapan bahwa reputasi dirinya sebagai orang kaya lantaran menangani kasus korupsi E-KTP yang menjerat Ketua DPR, Setya Novanto. Sontak ucapan angkuhnya menjadi viral di lini massa. Lantas, bagaimana ceritanya sebutan OKB (Orang Kaya Baru) mengemuka? Fenomena OKB sebenarnya bukan barang baru. Ia telah mengakar sejak zaman kolonial. Istilah ini mengacu kepada mentalitas suatu kelas sosial dalam masyarakat. Sejarawan Belanda terkemuka Bernard Vlekke mencatat, struktur masyarakat Batavia terbagi atas dua kelompok: pegawai Kompeni dan warga bebas. Hampir semua warga bebas adalah mantan pegawai Kompeni dan orang-orang kaya baru Batavia yang suka pamer kekayaan namun berselera rendahan. “Dianggap tanda kemakmuran bila punya banyak budak dan melepaskan semua kerja dan urusan, bahkan pendidikan anak-anak kepada pelayan,” tulis Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia . Ki Hadjar Dewantara dalam obituari mengenang Mr. C. Th. van Deventer bertajuk “De Taak” (Tugasnya) termuat di mingguan Algemeen Indisch Weekblad , Agustus 1917 pernah menyentil kaum perlente sebangsanya yang banyak gaya ini. Ki Hadjar menyebut mereka sebagai borjuis pribumi yang berorientasi Barat. Mereka memuja sesuatu yang berbau Barat dan fasih dalam penguasaan tata budaya Belanda. “Dia (Ki Hadjar Dewantara) mencela para parvenue (orang kaya baru) Jawa tertentu yang selalu ingin pamer dan menonjolkan materi, namun tidak mampu menghargai bentuk pendidikan yang tidak menyertakan bahasa Belanda,” demikian menurut Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900--1942 . Namun istilah OKB sendiri barangkali mulai mengkhalayak setelah meletusnya revolusi sosial di Sumatera Timur. Mohammad Radjab, wartawan Kantor Berita Antara , dalam reportasenya di Pematang Siantar pada 23 Juni 1947 melaporkan, banyak orang biasa yang tiba-tiba bergelimang harta; punya mobil, perhiasan, dan rumah mewah. Kekayaan itu ditengarai berasal dari penjarahan saat terjadi revolusi sosial yang menumbangkan kekuasaan kesultanan feodal di Sumatera Timur. Ratusan orang yang ”beruntung” itu hilir-mudik di jalan, berbelanja dan memborong di pasar. “Inilah busa tiap-tiap pergolakan. Oleh rakyat di sana mereka dinamakan O.K.B. (Orang Kaya Baru) atau kaum feodal baru yang menggantikan kaum feodal yang dibasminya setahun yang lalu,” tulis Radjab dalam memoarnya Tjatatan di Sumatera (1949). Antropolog Universitas Nasional Malaysia, Shamsul Amari Baharuddin juga meyakini istilah OKB bermula dari Sumatera. Istilah ini sejak tahun 1950-an sering disinggung dan menjadi diksi yang melekat dalam masyarakat hanya dengan singkatannya. OKB bahkan populer hingga ke Malaya. “Istilah OKB digunakan dalam percakapan sehari-hari, lirik lagu, pertunjukan komedi, cerita pendek, ataupun tajuk rencana koran-koran lokal berbahasa Melayu,” ungkap Shamsul dalam artikel “From Orang Kaya Baru to Melayu Baru” termuat di kumpulan tulisan Cultural Privilege in Capitalist Asia suntingan Michael Pinches. Gaya dan tren OKB pun mewabah. Di Jakarta yang telah menjadi ibu kota negara Indonesia, mereka teridentifikasi dari bangunan rumahnya yang menyolok. Firman Lubis dalam memoarnya Jakarta 1950-an:Kenangan Semasa Remaja menyaksikan bangunan rumah yang aneh-aneh di sekitaran Menteng, Kebayoran baru, Simpruk, atau Pondok Indah. Rumah-rumah ini dibangun dengan arsitektur meniru berbagai gaya bangunan asing seperti gaya Spanyol, klasik Eropa, Yunani, Italia, dan lain-lain. Padahal desain rumah demikian sangat tidak cocok dengan iklim tropis. “Tetapi memang begitulah umumnya yang terjadi pada orang kaya baru (OKB) yang mendadak duitnya banyak tetapi kurang diimbangi dengan kemampuan intelektualitasnya sehingga mempunyai selera seni yang rendah, kurang mempunyai estetika. Memang tidak ada istilah lain kecuali sekali lagi, norak!" celoteh Firman Lubis. Seiring dengan genjotan pembangunan dan modernisasi di era Orde baru, OKB berdandan mengikuti zaman. Mereka ini biasanya merujuk kepada para pejabat yang tiba-tiba kaya setelah menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan. Sebagian lainnya menyebut kepada orang yang ketiban warisan. Sebagai sebuah “suku urban”, menurut sejarawan Universitas Leiden Henk Schulte Nordholt, orang kaya macam ini dapat dikenali dari pakaian mereka yang berbeda dan mahal. Identitas kelasnya mencuat lewat gaya hidup baru: konsumerisme. Nordholt mencatat, ragam kebiasaan orang kaya baru yang menarik adalah upaya mereka untuk mengoleksi kartu nama, undangan, relasi (sosialita), alat pembakar roti, mobil hingga apartemen. Juga tak ketinggalan, aktivitas plesiran mancanegara. “Secara serempak dunia orang kaya baru ini terdiri atas sekumpulan jaringan kerja yang lebih besar, termasuk Hongkong (untuk belanja), Amerika Serikat (tempat anak-anak mereka bersekolah), Eropa (untuk perjalanan lima hari), dan Makah (untuk ibadah haji bintang lima),” tulis Nordholt dalam Outward Appreances: Trend, Identitas, Kepentingan.

  • Akhir Pertempuran Surabaya

    SENIN, 3 Desember 1945. Langit Surabaya masih berwarna kelabu karena asap gedung-gedung terbakar. Bau mesiu tercium menyengat. Di tengah kota yang porak poranda, pasukan infanteri Inggris bergerak perlahan. Mereka menduduki tempat-tempat strategis sejengkal demi sejengkal. “Pasukan Indonesia hanya bisa diusir dari Surabaya setelah pengeboman artileri dan penembakan meriam dari kapal perang secara besar-besaran,” ungkap Mayor R.B. Houston dari Batalyon Gurkha Rifles ke-10 dalam What Happened in Java; History of the 23rd Division. Kendati kekuatan tempur para pejuang Indonesia sudah mundur ke wilayah-wilayah sekitar Surabaya, namun kondisi keamanan di kota tersebut belum sepenuhnya pulih. Menurut Moekajat, para penembak runduk ( sniper ) masih menempati gedung-gedung tersembunyi dan kerap mengganggu pergerakan pasukan Inggris saat memasuki kota. “Banyak serdadu Inggris yang mati karena tembakan para sniper kita itu,” ujar eks veteran Pertempuran Surabaya tersebut. Penyelundupan para pejuang ke Surabaya pun masih berlangsung secara diam-diam. Mereka yang sebagian besar berasal dari kesatuan-kesatuan PRI (Pemoeda Republik Indonesia) itu menjalankan aksi-aksi gerilya kota secara sendiri dan nyaris tanpa koordinasi dengan pasukan Indonesia lainnya. “Mereka bangga merasa dapat mempermainkan pasukan Inggris, yang dari segi keperkasaannya jauh lebih menonjol,” ujar Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945. Militer Inggris sendiri sudah menghentikan sama sekali aksi bombardir dan penembakan artileri sejak hari Minggu, 2 Desember 1945. Menurut Frank Palmos dalam Surabaya 1945: Sakral Tanahku , sekira 15 ribu orang Indonesia meninggal akibat aksi militer tentara Inggris tersebut. Dari pihak Inggris sendiri diperkirakan 1200 prajurit gugur (termasuk dua jenderal) dan ratusan lainnya hilang atau melakukan aksi pembelotan ke kubu lawan. Dalam catatan Inggris sendiri, Pertempuran Surabaya disebut sebagai pengalaman tempur terberat pasca Perang Dunia II. Dalam surat kabar New York Times edisi 15 November 1945, para serdadu Inggris menjuluki “The Battle of Soerabaja” sebagai inferno atau neraka di timur Jawa. Palmos menyatakan keterlibatan Inggris di Indonesia pasca menyerahnya Jepang merupakan suatu “kecelakaan”. Itu terjadi selain adanya sikap meremehkan pihak Inggris terhadap daya juang orang-orang Indonesia, juga karena kecerobohan pihak intelijen Belanda yang memberikan informasi keliru sekitar situasi Indonesia pasca berakhirnya Perang Dunia II. Heroisme Pertempuran Surabaya berpengaruh besar kepada daerah-daerah lainnya di Indonesia. Di beberapa titik wilayah Jawa lainnya, tentara Inggris harus menghadapi perlawanan-perlawanan yang tak kalah sengit dari Surabaya. Dalam buku The Fighting Cock, Being the Story of the 23rd Indian Division 1942-1947 karya Latnan Kolonel A.J.F. Doulton, dilukiskan bagaimana tentara Inggris yang sejatinya sudah lelah berperang harus bekerja keras kembali menghadapi orang-orang Indonesia di Semarang, Ambarawa, Batavia, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Ciranjang dan Bandung serta beberapa tempat di wilayah Sumatera. “Kami seolah harus memasuki sebuah gudang mesiu yang siap meledak,” ujar Doulton. Pihak Inggris mulai mencari jalan keluar. Pada 15 November 1946, Lord Killearn, Komisioner Istimewa di Asia Tenggara (1946-1948) yang pernah ditugaskan secara khusus oleh pemerintah Inggris menyelesaikan persoalan-persoalan Inggris di Indonesia, menulis di buku hariannya bahwa membiarkan tentara Inggris bercokol lebih lama di Indonesia adalah suatu tindakan bunuh diri. “Jalan bijak yang harus kita ambil adalah meninggalkan tempat itu secepat mungkin,” tulis Killearn seperti dikutip Palmos.

  • Musibah Kapal Hibah

    TNI AL kehilangan salah satu kapalnya Sabtu, 2 Desember 2017, kemarin. KRI Sibarau (nomor lambung 847) dilaporkan karam di Selat Malaka dekat Sumatra Utara setelah diterpa badai dan kerusakan mesin. Menurut Kepala Dinas Penerangan AL Laksamana Pertama Gig Jonias Mozes Sipasulta dalam keterangan tertulis, KRI Sibarau tenggelam dalam tugas patroli di perairan Sumatra Utara dan tak ada korban dalam peristiwa nahas itu. “Penyebab tenggelamnya masih dalam penyelidikan,” ujarnya. Tak bisa dipungkiri, kapal patroli cepat yang tergabung dalam satuan patroli Armada Barat (Armabar) itu sudah uzur. Kapal tersebut didapatkan Indonesia dari Australia bukan karena pesanan baru, tapi hibah. Kapal buatan Walkers Ltd. of Maryborough itu dibuat khusus untuk AL Australia pada 1964. AL Australia resmi menggunakan kapal itu pada 14 Desember 1968 dengan nama HMAS Bandolier (P-95). Kapal “imut” berbobot (bersih) 100 ton dan panjang 32,8 meter serta lebar 6,1 meter itu ditenagai mesin diesel Paxman YJCM 2x16 silinder yang mampu memacu laju hingga 24 knot. Untuk persenjataan, kapal yang diawaki 16 pelaut plus tiga perwira itu memiliki sepucuk meriam Bofors kaliber 40 milimeter dan sepasang senapan mesin M2 Browning. HMAS Bandolier sering bertugas ke perairan perbatasan, terutama ketika Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia. Pada 16 November 1973, pemerintah Australia menghibahkan Bandolier kepada TNI AL. “Kapal seri ( Attack Class ) ini dirancang untuk misi pengintaian dan pengawasan sepanjang garis pantai Australia. Mereka punya 20 unit dan delapan unit di antaranya digunakan TNI AL lewat program hibah secara bertahap mulai 16 November 1973,” kata pengamat alutsista Haryo Adjie Nogo Seno kepada Historia via pesan singkat. Tujuh unit lainnya yang juga dihibahkan ke Indonesia adalah HMAS Archer (P-86) yang dihibahkan pada 21 Mei 1974 dan berganti nama menjadi KRI Siliman (848), HMAS Barricade (P-98), 20 Mei 1982, menjadi KRI Sigalu (857); HMAS Barbette (P-97), 15 Juni 1984, menjadi KRI Siada (862); HMAS Acute (P-81), 6 Mei 1983, menjadi KRI Silea (858), HMAS Bombard (P-99), 12 September 1983, menjadi KRI Siribua (859); HMAS Attack (P-90), 21 Februari 1985, menjadi KRI Sikuda (863); dan HMAS Assail (P-89), 18 Oktober 1985, menjadi KRI Sigurot (864). “Hadirnya kapal patroli dengan senjata meriam ini seolah jadi angin segar buat TNI AL untuk armada patroli (di era 1970-an dan awal 1980-an), terutama setelah berubah haluan alutsista dari blok Timur ke blok Barat,” imbuh Haryo. Nahas yang menimpa KRI Sibarau ini bukan kali pertama menimpa kapal TNI AL. Pada Juni 1994, KRI Teluk Lampung (540) nyaris mengalami hal sama. Ketika tengah berlayar kembali setelah direparasi di Jerman, KRI Teluk Lampung dihadang badai di Teluk Biscay, Spanyol. Amukan ombak sampai menjebol beberapa pintu kapal hingga air laut masuk. “Kapal terancam tenggelam. Namun masih bisa mengirim SOS (pesan darurat) yang lantas didengar SAR Prancis dan diteruskan ke SAR Spanyol,” lanjut Haryo. Nasib KRI Teluk Lampung tak sampai senahas KRI Sibarau. Kapal pendarat itu masih tertolong. Lima puluh satu awaknya diselamatkan dua helikopter SAR Spanyol dan kapalnya diseret kapal tunda hingga diamankan ke Gijon, Spanyol.

  • Sumber Hidup Orang Melayu

    LAUT sahabat orang Melayu. Berkat budaya laut, orang Melayu berdiaspora ke wilayah pesisir pulau-pulau di Indonesia. Mereka banyak menempati wilayah pesisir Sumatra, kepulauan sekitar Selat Malaka, pesisir Kalimantan, pesisir Sulawesi, pesisir Kepulauan Maluku, dan Pesisir Jawa. “Sampai Jawa? Sampai Jawa berkat hubungan dagang,” ucap Lily Tjahjandari, wakil direktur Lembaga Kajian Indonesia, dalam Seminar Nasional Memori Kolektif dalam Kebudayaan Melayu, di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (30/11). Pada perkembangannya orang Melayu yang sampai di pesisir berbaur dengan suku lain. Mereka melahirkan keanekaragaman tradisi Melayu pesisir yang dilestarikan oleh masyarakat pesisir Indonesia. Wilayah pesisir memungkinkan berbagai pertemuan antarbudaya. Meski begitu, masih tetap terlihat kekhasan budaya pesisir yang mirip satu sama lain. Misalnya, Lily menyebut permainan perahu layar “jong” di wilayah Riau. Permainan ini merupakan ikon masyarakat Melayu pesisir. Biasanya dimainkan tak hanya oleh anak-anak tapi juga dewasa. Bukti persebaran budaya Melayu juga terlihat dari beberapa kesamaan tradisi di berbagai wilayah di Indonesia saat ini. Ada kemiripan antara ornamen pengantin Betawi mirip dengan ornamen perempuan Riau. “Untaian yang menutup itu kena dua pengaruh, Melayu dan Cina. Hanya warnanya beda, Riau juga untaiannya lebih jarang, kalau Betawi padat,” ujar Lily. Dalam budaya Melayu juga mengenal tradisi ritus laut sebagai bentuk persembahan masyarakat pesisir pada Sang Pencipta. Biasanya dengan cara menghanyutkan berbagai bentuk persembahan di laut, baik makanan, pakaian, dan buah-buahan. Ritual laut ini masih dilakukan di wilayah pesisir Jawa, Sulawesi, dan Sumatra. Di Jawa, ritual ini bisa dijumpai di Banten dan Cirebon. Kedekatan budaya Melayu dengan laut diwujudkan dengan lahirnya UU laut dalam UU Malaka pada sekira abad 14-15 M. Di dalamnya ada pasal-pasal yang mengatur soal kapal karam. Disebutkan, apabila karam, anak buah kapal yang karam harus menjadi hamba kapten kapal yang menolong mereka. “Mereka harus taat pada nakhoda kapal penyelamat,” kata Lily. Dalam undang-undang itu pula nakhoda kapal diwajibkan untuk memperhatikan anak buahnya. Dia tak boleh berlaku semena-mena. “Ada ancaman juga, jika masuk wilayah Malaka tanpa maksud baik, akan ada sanksi dari sultan,” jelasnya. UU itu, kata Lily, tak pernah disiarkan dengan bebas. Namun, aturannya dilakukan sebagai tindakan yang berpola. Karenanya, meski naskah tidak berpindah, pelakunya terus menerus mengamalkan aturan UU Malaka. “Sehingga menjadi sebuah sistem dan berlaku tidak selalu di wilayah Malaka,” ujar Lily. Bagaimanapun, baik laut maupun sungai, keduanya merupakan sumber kehidupan orang Melayu. Mereka memandangnya bagai sebuah semesta. Mereka pun menerapkan pantangan-pantangan untuk memberikan penghormatan terhadap sungai dan laut. “Laut adalah jiwa mereka. Sebagian besar mereka tinggal di dekatnya. Mereka melakukan ritus di dekat-dekat situ. Di situ pula sumber mereka mencari nafkah,” kata Welli Aprian, wakil ketua Yayasan Alam Melayu Sriwijaya.

  • Raja Diraja Pengawal Mistar Dunia

    SETELAH logo dan maskot, FIFA meresmikan poster resmi Piala Dunia 2018. Poster itu dibuat oleh seniman Rusia Igor Gurovich dengan inspirasi dari pergerakan konstruktivisme Rusia di akhir 1920-an. Dalam poster itu digambarkan seorang kiper berseragam serba hitam tengah “terbang” menangkap bola. Bola yang ditangkap bermotif lampau berpadu peta daratan Rusia yang mengeluarkan enam sinar berwarna oranye. Yang jadi sorotan dalam poster itu adalah gambaran sang kiper. Siapa lagi kalau bukan gambaran sosok Lev Ivanovich Yashin, penjaga gawang legendaris Uni Soviet. Menurut Sekjen FIFA Fatma Samoura, poster itu merupakan cerminan warisan sepakbola Rusia. Poster itu, kata Ketua Panitia Piala Dunia 2018 Vitaly Mutko, diharapkan akan jadi salah satu simbol Piala Dunia paling dikenang. “Penting bagi kami menggambarkan Rusia sebagai tuan rumah di poster resmi. Itu alasannya kami pilih Lev Yashin sebagai simbol sepakbola Rusia sebagai figur utama. Saya yakin para fans dan partisipan Piala Dunia juga sepakat,” cetus Mutko sebagaimana dikutip FIFA dalam situs resminya. Rekam jejak kiper berjuluk “The Black Spider” dan “Black Panther” itu dalam gelanggang sepakbola tak perlu diragukan. Bisa dibilang Yashin raja dirajanya kiper. Hingga zaman now , belum ada satu kiper pun yang bisa menyamainya dalam merebut trofi Ballon d’Or. Dino Zoff, kiper sekaligus kapten Italia ketika menjuarai Piala Dunia 1982, dan “Gigi” Buffon, portiere Italia saat menjuarai Piala Dunia 2006, hanya mampu jadi runner up Ballon d’Or. Yashin merupakan pionir dalam inovasi passing kaki dan lemparan bola dari kiper kepada rekan-rekannya agar bisa memulai serangan balik cepat. Dia juga yang memperkenalkan teknik meninju bola untuk menggantikan menangkap bola umpan silang lawan. Meski sepele, teknik itu acap vital mencegah dirinya dicederai lawan. Terkadang, Yashin menghalau bola lambung menggunakan kepalanya alias disundul. “Dia sering membuka topinya saat umpan lambung datang dan menyundul bola keluar dari sarangnya, kemudian dia memakai topinya lagi,” kenang istri Yashin, Valentina Yashina, saat diwawancara majalah asal Inggris The Blizzard pada 2013. Yashin juga dikenal sebagai sosok yang mempopulerkan peran kiper yang sering keluar sarang untuk memotong bola serangan lawan. Meski kiper Hungaria Gyula Grosics dan kiper Argentina Amadeo Carrizo sudah lebih dulu memainkan peran keluar sarang, Yashin melengkapinya dengan membaca serangan lawan dan memberi instruksi khusus kepada barisan belakang tim. Rekor statistik Yashin juga patut diacungi jempol. Selain punya catatan 270 pertandingan tanpa kebobolan, Yashin punya rekor 150 kali penyelamatan penalti. “Kebahagiaan melihat Yuri Gagarin terbang ke angkasa hanya tergantikan oleh kebahagiaan menyelamatkan penalti,” cetus Yashin, sebagaimana dikutip Adrian Adams di buku We Love Football . Di luar prestasi perorangan itu, Yashin mampu mengantarkan klubnya Dynamo Moskva lima kali menjadi juara Liga Soviet. Bersama Yashin, Dynamo juga tiga kali menjuarai Piala Soviet. Uni Soviet tak kalah beruntung dari Dynamo dengan memiliki Yashin. Ketika gawangnya dijaga Yashin, tim “Beruang Merah” berhasil menjuarai Piala Eropa pada 1960. Empat tahun sebelumnya, “Beruang Merah” berhasil merebut medali emas Olimpiade Melbourne 1956. Olimpiade Melbourne itu tak hanya dikenang rakyat Soviet tapi juga Indonesia. Dalam olimpiade itu, Indonesia sempat bertemu Soviet di perempat final. “Saya di gawang sini, dia (Yashin – red .) di gawang sana,” kenang Maulwi Saelan, kiper Indonesia dalam pertandingan itu, kepada Historia beberapa tahun lalu. Dalam pertandingan yang berlangsung di Olympic Park Stadium, 29 November 1956, itu Indonesia menahan imbang Soviet tanpa gol. Namun, Indonesia harus mengakui keunggulan Yashin cs. dalam pertandingan ulang dua hari berikutnya. Dalam pertandingan di stadion yang sama itu, Indonesia kalah 0-4. Soviet kemudian merebut emas setelah di final menang 1-0 atas Yugoslavia. Sayang, Yashin hanya mampu membawa Soviet empat kali berpartisipasi dalam Piala Dunia. Tak sekali pun trofi Piala Dunia pernah dia bawa ke negerinya. Tapi, FIFA tetap memasukkan Yashin ke dalam daftar tim terbaik abad ke-20. “Yashin kiper kelas satu, seorang kiper super. Dia menjadi model untuk kiper dalam kurun waktu 10-15 tahun berikutnya. Saya pribadi sering belajar darinya,” kata kiper legendaris Inggris Gordon Banks sebagaimana dilansir BBC , 21 Mei 2012. Di luar sepakbola, Yashin juga berprestasi dalam hoki es. Bersama tim hoki Dynamo Moskva, Yashin pernah menjuarai Soviet Champions Cup pada 1953. “Di waktu senggangnya dari sepakbola, dia mengasah skill bermainnya di tim hoki es Dynamo (Moskva). Refleksnya kian tajam dan rasa percaya dirinya makin kuat. Dia kembali (ke lapangan hijau) sebagai sosok yang berbeda,” tulis David Squires dalam The Illustrated History of Football: Hall of Fame . Pasca-pensiun pada 1970, Yashin “dikaryakan” dalam kepengurusan klub Dynamo Moskva. Seiring usianya yang menua, Yashin mulai dihantui beragam penyakit. Pada 1986, salah satu kakinya harus diamputasi karena mengalami penggumpalan darah beku. Empat tahun berselang, Yashin menghembuskan nafas terakhirnya akibat kanker perut. Jimmy Greaves dalam Football’s Great Heroes and Entertainers menuliskan, Yashin dimakamkan pada 20 Maret 1990 dengan upacara pemakaman kenegaraan sebagai tokoh kehormatan olahraga Soviet. Yashin meninggalkan seorang istri, Valentina Yashina, dan dua putri, Irina dan Elena. Jejak Yashin kini diteruskan cucunya, Vasili Frolov yang menjadi kiper di klub lama Yashin, Dynamo Moskva.

  • Hakim Garis Azerbaijan Pujaan Publik Inggris

    KETIKA berkunjung ke Baku, Azerbaijan untuk menyaksikan tim pujaannya menjalani laga kualifikasi Piala Dunia 2006 melawan tim tuan rumah, para suporter Inggris menyempatkan diri berziarah ke sebuah makam. Makam itu bukanlah makam tokoh besar, negarawan, politisi hebat, bintang lapangan hijau, pelatih, petinggi AFFA (Federasi Sepakbola Azerbaijan), atau pahlawan Inggris yang gugur di negeri seberang. Para suporter Inggris juga menyempatkan diri bertemu Bahram Bahramov, anak dari orang yang makamnya mereka ziarahi itu. Dalam momen itu, para suporter mengenakan t - shirt merah bertuliskan “Bahramov” dengan nomor punggung 66 –mengingatkan “jasa” Bahramov untuk Inggris pada Piala Dunia 1966. Para fans Inggris itu lalu menghadiahi Bahram t-shirt bertuliskan “ Cox Sag Ulun ” atau “terima kasih” dalam bahasa Azerbaijan. “Saya sangat senang melihat fans Inggris dan Azeri berada dalam atmosfer yang bersahabat. Sekarang Azerbaijan sudah merdeka dan waktunya sangat tepat untuk menghormatinya sebagai bagian dari bangsa Azeri. Figur seperti Tofiq Bahramov hanya lahir seratus tahun sekali,” ujar putranya, sebagaimana dikutip Football First, 17 Oktober 2004. Siapa Tofiq Bahramov? Dia hanya mantan seorang ofisial pertandingan alias wasit. Tapi pemerintah maupun rakyat Azerbaijan amat mengormatinya. Dua tahun setelah merdeka dari Uni Soviet pada 1991, pemerintah tak hanya membuatkan patung Bahramov di dekat sebuah stadion berkapasitas 31 ribu penonton tapi juga menamakan stadion itu Tofiq Bahramov adina Respublika Stadion. Sebelumnya, stadion yang dibangun para tahanan perang Nazi-Jerman pada 1951 itu bernama Stadion Joseph Stalin (1951-1956) dan Stadion Vladimir Lenin (1956-1993). Publik Inggris menghormati Bahramov karena momen “Wembley Goal” atau “Wembley-Tor” bagi publik Jerman. Peran kecil Bahramov amat berharga bagi gelar Piala Dunia 1966 yang diraih Inggris –satu-satunya gelar Piala Dunia yang dimiliki Inggris hingga kini. Dalam pertandingan final Piala Dunia 1966 yang dimainkan di Stadion Wembley, 30 Juli, Bahramov bertindak sebagai hakim garis bagi wasit utama Gottfried Dienst asal Swiss. Pertandingan antara Inggris kontra Jerman Barat (Jerbar) itu terpaksa berlanjut ke babak perpanjangan lantaran skor 2-2 bertahan hingga peluit akhir babak kedua. Peran penting Bahramov bagi Inggris terjadi tak lama setelah sebuah “gol hantu” terjadi pada menit ke-11 babak tambahan. Pada menit itu, striker Inggris Geoff Hurst menembak bola ke sisi dalam gawang Jerbar yang dikawal Hans Tilkowski. Bola itu lalu memantul ke tanah tepat di garis gawang dan terlontar kembali ke luar gawang gawang. Papan skor berubah 3-2. Para pemain Inggris bersorak merayakan gol sementara para pemain Jerbar terpaku dengan wajah datar lantaran merasa itu bukan gol. Para pemain Jerbar langsung mengerubungi wasit Dienst. “Awalnya wasit Dienst juga ragu. Oleh karenanya, dia mencoba berdiskusi dengan Bahramov sebagai hakim garis,” tulis The Glasgow Herald , 1 Agustus 1966. “Pada akhirnya, wasit dan hakim garis menunjuk titik tengah lapangan (pertanda gol),” tulis Max Palme dalam The Heroes of World Cup 1966 . Meski ada protes keras dari Franz Beckenbauer dan kawan-kawan, wasit Dienst melanjutkan laga. Hurst menambah golnya menjadi hattrick beberapa saat sebelum wasit Dienst meniup peluit akhir. Inggris akhirnya menekuk Jerbar 4-2 dan untuk pertamakalinya jadi juara Piala Dunia. Para pemain Jerman kembali mengerumuni wasit Dienst dan Bahramov dengan protes yang sama. Mereka merasa dirugikan oleh “gol hantu” Hurst. Mereka mengaku melihat kapur garis gawang berterbangan, pertanda bola hanya memantul tepat di garis gawang dan belum melewatinya. “Para pemain Jerman terus mengikuti Dienst ke tengah lapangan. Beckenbauer terus memprotesnya. Dengan mengabaikan para pemain Jerman, Dienst dan Bahramov saling bersalaman. Di dekat mereka, Siggi Held (pemain Jerman) memberi aplaus yang sarkastik,” ungkap Jonathan Mayo dalam The 1966 World Cup Final: Minute by Minute. Dalam memoarnya, Bahramov meyakini bahwa tendangan Hurst itu gol murni. Bukan “gol hantu” sebagaimana diprotes para pemain Jerman. Bahramov tak ragu menyebut bahwa bola bisa memantul keluar gawang karena sebelumnya mengenai jaring gawang. Selain para pemain, publik Inggris juga memuja Bahramov. Walau lahir di Azerbaijan, sang hakim garis kadung dikenal dengan sebutan “ Russian Linesman ” alias hakim garis Rusia, julukan yang bermula dari komentar pelatih Inggris Alf Ramsey terhadap Bahramov. Bahramov sendiri kian tersohor. Pada 1971 dia pernah menjadi wasit utama dalam laga final Piala UEFA antara Wolverhampton Wanderers kontra Tottenham Hotspur. Selepas pensiun dari wasit, Bahramov sempat menjabat Sekjen AFFA. Dia menghembuskan nafas terakhirnya pada 1993. Peristiwa getir di final Piala Dunia 1966 itu seolah menjadi titik nol “permusuhan” Jerman-Inggris di lapangan hijau. Meseki pada Piala Eropa 1996 Jerman sukses mempermalukan Inggris, perhitungan sebenarnya baru bisa mereka tunaikan di Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Di perdelapan final, 27 Juni 2010, Inggris merasakan tulah “gol hantu” itu saat tendangan Frank Lampard di menit ke-38 membentur mistar dan memantul ke tanah. Dari tayangan ulang, bola memantul melewati garis gawang dan mestinya disahkan sebagai gol. Namun, saat itu goal-line technology belum digunakan . Ditambah, reaksi kiper Jerman Manuel Neuer langsung menangkap bola pantulan itu agar bisa senatural mungkin melanjutkan pertandingan. Keputusan wasit Jorge Larrionda asal Uruguay lantas tak menetapkan kejadian itu sebagai gol. Inggris kerugian dan di akhir laga, mereka keok 1-3. “Saya berusaha untuk tidak bereaksi di hadapan wasit. Saya sadar bahwa bola itu sudah melewati garis gawang dan cara saya menanggapinya dengan cepat, seolah menipu wasit agar berpikiran bahwa itu bukan gol,” cetus Neuer, dilansir Goal , 29 Juni 2010.

  • Dari Ho Chi Minh hingga Kennedy

    MEGAWATI Sukarnoputri heran. Suatu hari, ayahnya meminta dia dan kakaknya, Guntur, berpakaian rapi dan bersepatu untuk menyambut seorang tamu agung istana. Namun, sang tamu yang dipanggil dengan sapaan Bak (Paman) Ho justru datang hanya mengenakan sandal. Mega langsung bertanya kepada ayahnya. “Kenapa Bak Ho pakai sandal?” tanya Mega. “Jangan keras-keras ngomongnya!” jawab sang ayah, Presiden Sukarno, sambil membungkuk dan berbisik ke anaknya. “Apa nggak punya sepatu ya?” “Ya, nanti diterangkan.” “Bapak belikan sepatu dong!” Sukarno langsung menceritakan kebingungan putrinya itu kepada sang tamu Ho Chi Minh, bapak pejuang kemerdekaan Vietnam. Alih-alih marah, Bak Ho langsung mendatangi Mega dan memeluknya sambil tersenyum. “Nanti kalau Vietnam sudah menang kamu kirim sepatu buat saya,” kata Bak Ho sebagaimana ditirukan Mega dalam sambutannya di acara peluncuran buku Seri Historia di Museum Nasional, Jakarta, Kamis, 30 November 2017. Sepenggal kenangan itulah yang Mega ingat tentang sahabat ayahnya dari Vietnam. Selain cinta anak-anak, Mega mengenang sosok Ho Chi Minh sebagai seorang penyabar yang sangat idealis. “Beliau tidak menikah. Dalam sumpah perjuangannya, tidak akan menikah sampai Vietnam menang,” kata Mega. Kesamaan pandangan tentang kemerdekaan bangsa itulah yang membuat relasi Sukarno dan Ho Chi Minh menjadi karib. Menurut sejarawan Yosef Djakababa, ada banyak kesamaan pandangan antara kedua founding fathers yang sama-sama berhasil mengalahkan kolonialis di negara masing-masing itu. “Keduanya mendedikasikan diri untuk memerdekakan bangsa. Itu karena pengalaman mereka sendiri melihat perlakuan penjajah kepada penduduknya untuk negara metropol kolonial. Ada ketimpangan antara negara jajahan dan metropol,” kata Yosef. Ho dan Sukarno, sambung Yosef, juga datang dari kalangan terdidik. Mereka bersentuhan dengan ide-ide besar di zamannnya seperti kolonialisme, komunisme, dan kapitalisme. Bukan hanya Ho, Daniel Dhakidae menjelaskan, Sukarno juga bersahabat dengan beberapa pemimpin dunia waktu itu seperti Gamal Abdul Naseer, negarawan Mesir; Norodom Sihanouk, raja Kamboja; dan Jenderal Aung San, pejuang nasionalis Burma sekaligus ayah Aung San Suu Kyi. Hubungan itu bukan tanpa sebab, kata Daniel. Tahun 1960-an adalah masa yang menentukan nasib negara-negara yang baru merdeka. Itu membuat ikatan antarpemimpin bangsa menjadi sangat kuat untuk memerdekakan negara-negara di Asia dan Afrika. Para pemimpin negara terjajah ini berkumpul dalam satu zaman penuh kolonialisme. “Bagi Sukarno, kolonialisme bukan hanya Belanda menjajah Indonesia, tapi menjadi permasalahan kolonialisme tiga benua. Dia bisa meng-universal-kan permasalahan kolonialisme menjadi masalah tiga benua. Sukarno menginspirasi para pemimpin nagara-negara terjajah,” ujarnya. Tapi bukan hanya pemimpin negara berkembang yang bersahabat dengan Sukarno, dia juga menjalin hubungan baik dengan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy. Dalam ingatan Mega, ketika berkunjung ke White House bersama ayahnya dia terkesan dengan Kennedy yang hangat dan tampan. Dalam kunjungan itu, Mega dibawa berkeliling White House sementara ayahnya masuk ke kamar pribadi Kennedy untuk berdiskusi. “Ayah berharap karena rasanya Kennedy bisa mengerti apa saja hal-hal yang diinginkan negara-negara baru merdeka dan berkembang,” ujar Mega. Sebagai penghormatan, Sukarno mengundang Kennedy ke Indonesia dan membuatkan sebuah wisma di belakang istana untuk tempat tinggal Kennedy selama di Jakarta. Namun, wisma itu tak pernah terpakai karena Kennedy keburu tewas sebelum bisa menginjakkan kakinya ke Jakarta. “Ayah saya sedih sekali karena sudah berharap suatu saat beliau (Kennedy) akan datang ke Indonesia,” kata Mega. Persahabatan Sukarno dengan kedua tokoh tadi masing-masing termuat dalam buku Ho Chi Minh & Sukarno dan Kennedy & Sukarno . Buku lain dalam serial yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas dan majalah Historia itu berjudul Mengincar Bung Besar .*

  • Menghidupkan Ingatan Kolektif Budaya Melayu

    PENGARUH budaya Melayu meluas di Nusantara. Jejak budayanya masih bisa dilihat bukan cuma dari kesusastraan, tetapi juga bangunan istana di Sumatra, Sulawesi, dan Semenanjung Malaya. "Tapi kini seperti kayu yang tenggelam di sungai. Lama-lama menjadi keras," kata Chaidir, pembina Himpunan Melayu Riau, dalam Seminar Nasional Memori Kolektif dalam Kebudayaan Melayu, di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Depok, Jawa Barat, Kamis (30/11). Mantan ketua DPRD Riau dua periode 1999-2008 itu mengatakan, karakter khas orang Melayu adalah saling menghormati, menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, memegang kesantunan dalam bertutur, mengedepankan sikap persaudaraan dan gotong royong. Dalam nilai budaya Melayu juga, rakyat tak boleh mendurhakai pemimpin. Sebaliknya, pemimpin tak boleh pula mengkhianati rakyatnya. "Nah ini bermasalah dalam masyarakat kita," tegasnya. Mengapa bermasalah? Chaidir berkata, dalam perspektif adat Melayu, mungkin ada pantangan yang dilanggar. "Mungkin seorang raja telah mengubah janji. Mungkin anak cucu mendurhaka pemimpin," katanya. Kepatuhan kepada pemimpin masih bisa disaksikan dalam ritus-ritus Melayu. Seorang pawang dalam suatu ritus Melayu di Palembang, memiliki peran penting karena paling paham bagaimana, kapan, dan di mana melalukan ritus. Dia bertanggung jawab membaca mantra dan memimpin jalannya ritus. "Ini kearifan lokal soal kepatuhan kepada pemimpin. Semua sepakat untuk patuh pada pawang. Tanpa ada yang nyeleneh ," jelas Welli Aprian, wakil ketua Yayasan Alam Melayu Sriwijaya. Dalam ritus-ritus Melayu juga tercermin sikap gotong royong. Menurut Welli, tak ada pelaksanaan ritus yang dilakukan seorang diri. "20 kapal kami kerahkan dalam ritus gerhana matahari. Makin banyak orang makin bagus. Ini syiar," lanjutnya. Syahrial, dosen Departemen Susastra FIB UI menambahkan, ingatan kolektif budaya Melayu juga tercermin dalam seni bertopeng di Lampung. Ketika seorang kepala marga menikahkan anaknya, dalam iring-iringan pengantin biasanya didahului oleh 12 orang yang mengenakan topeng atau tuping. Keduabelas tuping itu mewakili 12 pengawal spiritual yang membantu perjuangan Radin Inten, pahlawan Lampung, dalam melawan Belanda. "Dampaknya buat masyarakat, dengan adanya tuping dalam upacara pernikahan orang diingatkan pada perjuangan Radin Inten dalam perjuangan melawan Belanda," kata Syahrial. Nilai lainnya adalah hubungan mistis antara keseharian masyarakat dengan tempat di sekitar mereka. Masyarakat diingatkan, leluhur mereka punya hubungan akrab dengan lingkungan sekitar. Pun heroisme leluhurnya melawan ketidakbenaran. Sayang, hal itu masih kurang dimaknai masyarakat dengan baik. Filosofi arak-arakan pengantin ini tak dilihat dari sudut pandang memunculkan kesejarahan ingatan kolektif. "Masyarakat tidak menganggap kegiatan ini penting. Perlahan nilai mistis dalam tuping pudar. Mulai ada yang menjadikannya sebagai usaha kerajinan yang memiliki nilai ekonomis," ujar Syahrial. Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi nilai budaya Melayu. Sementara itu, Lily Tjahjandari mengatakan bahwa Melayu bukan cuma sebagai suku. Ia adalah tren. "Zaman sekarang trennya Korea-Koreaan, dulu kita bergaya Melayu-Melayuan," ucap wakil direktur Lembaga Kajian Indonesia (LKI) itu. Maka tak heran, kata Lily, jika hingga kini Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang dipakai di seluruh Indonesia. Pada masa lalu, Bahasa Melayu menjadi bahasa penghubung ( lingua franca ) antarpulau di Nusantara khususnya dalam perdagangan. "Memori kolektif melayu itu tulang punggung bangsa ini. Kita semua berbagi identitas melayu," ujar dosen Departemen Susastra FIB UI itu.

  • Sejarah di Mata Generasi Z

    Dari masa ke masa, sosok Sukarno dan pemikiran-pemikirannya selalu diingat. Rasanya tidak sempurna, jika membahas sejarah Indonesia tidak menyebut nama Sukarno. Puluhan studi dan buku tentang Sukarno dalam beragam aspek pun telah jamak ditulis. Tetapi, tetap saja ada ruang yang bisa dieksplorasi darinya. Itulah yang kemudian melatari Penerbit Buku Kompas bekerjasama dengan majalah sejarah populer Historia menerbitkan seri buku Sukarno. Tiga seri buku yang diterbitkan adalah Mengincar Bung Besar , Ho Chi Minh & Sukarno , serta Kennedy & Sukarno . Buku pertama membahas tentang tujuh upaya pembunuhan terhadap Sukarno semasa aktif sebagai presiden. Dua lainnya membahas hubungan Sukarno dengan dua tokoh besar dunia, Ho Chi Minh dan John. F. Kennedy. “Karena itulah penerbitan buku-buku ini penting agar generasi muda mengetahui sejarah Bung Karno yang akurat. Kini generasi milenial punya perpustakaan terbuka bernama google, tetapi kita tidak pernah tahu kadar akurasinya,” ujar Budiman Tanuredjo dari Penerbit Buku Kompas. Buku seri Sukarno ini memang ditujukan untuk pembaca muda yang awam soal Sukarno. Namanya barangkali tetap diingat sebagai nama pahlawan yang memerdekakan Indonesia, tetapi sosok dan perannya belum tentu diketahui benar. Setidaknya itu terkonfirmasi oleh pengalaman dosen komunikasi Universitas Atma Jaya Andina Dwifatma. Suatu kali ia melontarkan pertanyaan "Apa yg terlintas di benak kalian tentang Sukarno?” kepada mahasiswanya melalui aplikasi pesan Line . Seorang mahasiswanya menjawab proklamasi. Seorang lainnya menjawab jasmerah. Lainnya menjawab politik berdikari. Ada juga yang mengutip kalimat tekenal Sukarno, "Beri aku sepuluh pemuda, akan kuguncang dunia." “Salah satu yang menarik ada yang menjawab airport , merujuk pada Bandara Sukarno-Hatta tentunya,” ujar Andina dalam acara peluncuran buku seri Sukarno di Museum Nasional, Jakarta, (30/11/2017). Menurutnya itulah sebagian kecil gambaran generasi Z (gen Z) tentang presiden pertama Indonesia. Gen Z adalah mereka yg lahir pada kisaran 1996 hingga 2010. Mereka disebut pula digital native karena sejak dini telah akrab dengan gawai dan internet. Gen Z umumnya memperoleh dan mencerna informasi dari internet. Mereka bisa memperoleh informasi apapun dari sana hampir tanpa batas. Tetapi, internet punya kendala besar, apa lagi terkait sejarah, yaitu akurasi. Celah inilah yang mesti ditambal oleh para sejarawan. “Dari pengalaman saya mengajar gen Z, berkaitan dengan Sukarno dan pemikirannya, saya sampai pada kesimpulan bahwa yang paling urgen dilakukan adalah membuat mereka gandrung pada Pancasila,” ujar Andina. Banyak riset yang menyimpulkan bahwa generasi muda Indonesia terbelah antara mereka yang apatis dan radikal. Mereka yang apatis umumnya tidak peka terhadap kondisi sosial di lingkungannya dan cenderung individualis. Di sisi lain, mereka yang radikal berusaha merongrong ideologi Pancasila. Menurut Andina, keduanya sangat berbahaya jika tidak dikelola dengan baik. Untuk menekan keduanya, Andina berpendapat Pancasila adalah solusi terbaik yang mesti dikuatkan kembali. “Tetapi, tidak dengan cara-cara lama seperti penataran P4. Gen Z yang punya karakteristik terbuka pada informasi, karena itu mereka akan menolak segala macam indoktrinasi,” tuturnya. Karena itulah, Andina mengapresiasi penerbitan seri buku Sukarno yang disusun berdasarkan liputan awak majalah Historia . Cara paling efektif untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada gen Z adalah melalui story telling sebagaimana yang diusung oleh Historia dalam seri buku Sukarno. "Kisah-kisah sejarah kecil dan berdimensi humanis akan lebih mudah dicerna oleh gen Z," tutur Andina. Untuk bisa mendapat perhatian gen Z, sejarah mesti direlasikan dengan hal-hal yang dekat dengan mereka. Sudah menjadi sifat alami manusia untuk menyukai sesuatu yang berhubungan dengan pribadinya. Jadi, untuk mendekatkan gen Z dengan sejarah, narasinya harus didekatkan dengan kehidupan mereka. Salah satunya dengan cara mengisahkan sejarah dalam bentuk media baru seperti film. "Saya pikir kisah-kisah percobaan pembunuhan terhadap Sukarno dalam buku Mengincar Bung Besar bisa menjadi serial film. Akan sangat menarik menikmati sejarah yang berbau thriller seperti ini dalam bentuk film," ungkapnya.

  • Pabrik Pemusik

    SEKOLAH Perguruan Cikini tenar karena pernah dilanda tragedi penggranatan pada 1957. Tapi ada hal lain yang tak bisa diabaikan: sekolah ini melahirkan banyak musisi handal. Beberapa di antaranya ikut menentukan perjalanan sejarah musik dalam negeri. Nasution Bersaudara (Debby, Gauri, Keenan, Oding, dan Zulham) adalah salah satunya. Mereka murid sekolah Percik. Rumah orangtua Nasution Bersaudara di Jalan Pegangsaan Barat di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, menjadi tempat nongkrong teman-teman sekolah mereka yang hobi musik. Atas gagasan Debby Nasution, lahirlah Gank Pegangsaan. Selain itu, lahir pula kelompok musik Sabda Nada pada 1966 sebelum tiga tahun kemudian berubah nama jadi Gipsy. Chrisye, yang juga suka nongkrong di Pegangsaan, ikut bergabung di dalam Gipsy sebagai pemain bas. Chrisye kelak dikenal sebagai legenda musik pop Indonesia. Guntur, putra Presiden Sukarno, ikut mengharumkan nama Percik di bidang musik. Bersama Samsudin Hardjakusumah (yang kemudian mendirikan Bimbo), Guntur mendirikan grup Aneka Nada dan merilis album perdana di bawah label Loakananta, Solo. Bersama grup keduanya, Kwartet Bintang, Guntur kembali rekaman di Remaco. Jejak Guntur diikuti sang adik, Guruh. Setelah membentuk The Flower Poetman, Guruh mengajak sahabat-sahabatnya di Percik yang aktif di band Gipsy untuk membuat proyek bareng pada 1975. Chrisye mengisahkan awal pembuatan album tersebut dalam biografinya berjudul Chrisye . Dia dipanggil Keenan, yang mengatakan dia, Gauri, dan Guruh sudah bereksperimen menciptakan sejumlah lagu. “Sepanjang ia bercerita, saya hanya bisa menganga. Apa yang diceritakan Keenan adalah sebuah proyek yang sungguh tidak terbayangkan di zaman itu,” ujar Chrisye. “Guruh berniat membuat satu album idealis yang menggabungkan musik Barat dan tradisional Indonesia. Mendengar ini saja saya sudah bisa membayangkan bagaimana rumitnya. Bahkan, kata mereka, unsur art rock ada pula di dalamnya.” Dua tahun kemudian, kerjasama itu melahirkan sebuah album monumental Guruh Gipsy . Nama Guruh di blantika musik nasional terus melambung. Di genre rock, Eet Syahranie, putra Gubernur Kalimantan Timur Abdoel Wahab Sjachranie, mungkin jadi pelopor di Percik. Eet sekolah di Perguruan Cikini tahun 1978. Di sekolah, dia bergabung dengan band sekolah dengan nama Cikini Rock. Dalam ajang Festival Band Antar-SLTA se-Jakarta, Eet meraih predikat gitaris terbaik, sementara Cikini’s Band menduduki peringkat kedua. Eet kemudian dipercaya menggarap musik Operette Cikini di sekolah. Bersama Iwan Madjid dan Fariz RM, Eet membentuk grup band WOW. Ketika WOW merilis album Produk Hijau , Eet tengah mengikuti workshop Recording Sound Engineering di Amerika. Pulang ke tanah air, dia membantu kawan-kawannya sesama musisi yang rekaman dengan mengisi track gitar. Hingga akhirnya, bersama Ecky Lamoh, dia mendirikan grup band EdanE, singkatan dari nama keduanya. Bimbim Sidharta melanjutkan tradisi musisi Percik pada 1980-an. Dia merintis karier lewat Cikini Stones Complex, yang dibentuk bersama teman-temannya di SMA Perguruan Cikini. Karena bosan membawakan lagu-lagu Rolling Stones, Cikini Stones Complex dibubarkan. Bimbim kemudian mendirikan grup baru bernama Red Evil. Kalau manggung, untuk meramaikan suasana, “mereka kerap mengajak teman-teman di sekolahnya yang tak lain adalah anak-anak Perguruan Cikini dengan bayaran ... sebotol minuman,” tulis slank.com . Pada Desember 1983, nama Red Evil kemudian diubah jadi Slank. Dimulailah perjalanan salah satu band terbesar tanah air yang masih eksis hingga kini. Ketika orangtua Bimbim pindah ke Gang Potlot, Pasar Minggu, rumahnya menjadi tempat nongkrong teman-temannya. Seperti Gank Pegangsaan, Potlot jadi komunitas yang melahirkan banyak musisi, dari Andy Liani hingga Oppie Andaresta. Dalam “School of Rock: Perguruan Cikini”, dimuat rollingstone.co.id , 25 November 2013, penulis musik Denny Sakrie menyebut Percik secara tak sengaja menjadi tempat persemaian pemusik Indonesia. “Meskipun bukan sekolah musik, tapi tanpa sengaja ternyata Yayasan Perguruan Cikini bisa menjaga benang merah peta musik yang terbentang begitu panjang, dari era awal 60-an hingga saat sekarang ini,” tulis Denny Sakrie. Sadar bahwa banyak alumninya jadi musisi handal, Percik memunculkan atmosfir musik. Sejak 1989 Percik mendirikan Orkes Simfoni, yang hingga kini masih eksis. Lima tahun kemudian berdiri Lembaga Pendidikan Musik Percik, yang kini tersebar di beberapa wilayah di Jakarta dan sekitarnya. Tak cukup di situ, pada 2005 Percik mendirikan Sekolah Menengah Musik (kini, SMK Musik), yang siap dan telah mencetak musisi-musisi tanah air seperti Wizzy Williana yang menghasilkan beberapa album single .*

bottom of page