Hasil pencarian
9592 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Dilema Mallaby
Jumat, 26 Oktober 1945. Gubernur R.M.T.A. Soerjo baru saja menandatangani kesepakatan dengan Brigadir A.W.S. Mallaby. Pertemuan yang terbilang sukses itu melahirkan empat kesepakatan: Pihak Inggris (baca:Sekutu) mengakui keberadaan Republik Indonesia sebatas distrik Surabaya. Pihak Inggris tidak akan membawa masuk pasukan Belanda dan tidak ada pasukan Belanda yang disusupkan pada pasukan Inggris yang mendarat di Surabaya. Pasukan Inggris hanya dibolehkan berada pada radius 800 meter dari pelabuhan. Untuk memperlancar komunikasi antara pihak Inggris dengan Republik dalam keseharian, maka dibentuk Biro Kontak beranggotakan perwakilan dari kedua belah pihak. Menurut sejarawan Frank Palmos dalam Surabaya 1945 Sakral Tanahku , kesepakatan antara dua pihak itu lantas disiarkan secara luas oleh Radio Surabaya. Sementara semua puas. Untuk membuktikan adanya niat baik dari Pemerintah Jawa Timur, hari itu juga salah satu komandan kesatuan tentara Inggris yang mendarat di Tanjung Perak mendapat sambutan kalungan bunga. Namun rakyat Surabaya sendiri pada dasarnya tidak yakin Inggris akan konsisten melaksanakan kesepakatan itu. Kecurigaan itu terbukti benar. Begitu mendarat, secara sepihak Brigadir Mallaby memerintahkan pasukannya untuk menduduki 20 titik strategis di dalam kota. Sesungguhnya, penempatan seperti itu otomatis sudah melanggar kesepakatan: “… tidak bergerak melebihi radius 800 meter.” Sehari setelah perjanjian itu baru berlangsung, tiba-tiba sebuah pesawat melayang-layang di atas Surabaya. Pesawat milik Angkatan Udara Kerajaan Inggris (RAF) itu menyebarkan ribuan pamflet berisi ancaman: “…seluruh rakyat Surabaya harus mengembalikan seluruh senjata hasil rampasan dari tentara Jepang. Mereka yang menyimpan senjata akan langsung ditembak di tempat,” demikian seperti dikutip oleh Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya. Rupanya, pihak Inggris sendiri tidak pernah kompak dalam memperlakukan orang-orang Indonesia. Ketika pemerintah RI di Jawa Timur membangun kesepakatan dengan Mallaby, diam-diam pasukan Inggris di Surabaya menerima perintah baru dari Mayor Jenderal Douglas Hawthorn ( Komandan Tentara Inggris untuk Jawa, Madura, Bali dan Lombok) untuk secepatnya menduduki Surabaya secara militer. Mallaby yang sudah terlanjur menempuh jalur diplomasi menjadi gamang dan kecewa. Dalam The British Occupation of Indonesia 1945-1946 , Richard McMillan menceritakan begitu mendapatkan satu pamflet yang disebar lewat udara langsung dari Jakarta,Kapten Douglas McDonald langsung memberikannya kepada Mallaby. Usai membacanya, sang jenderal terdiam seribu bahasa. “Apa yang hendak anda lakukan, Sir?” tanya McDonald. “Saya akan mematuhinya…” jawab Mallaby dalam nada pelan. “Tapi anda telah berjanji?Sebagai seorang perwira dan wakil Yang Mulia Raja Inggris anda sudah berjanji kepada mereka kita di sini bukan untuk melucuti senjata mereka, melaksanakan apa yang dijalankan komite-komite lalu pergi?” McDonald coba mendebat. Mallaby terdiam. Nampak sekali ia mengalami dilema. Lalu sambil memandang McDonald, ia berkata: “Siapa sebenarnya komandan brigade ini? Kamu atau saya?” Kendati terkesan “tidak ada masalah” sesungguhnya Mallaby merasa “marah” dengan keputusan para atasannya di Jakarta. Dalam satu suratnya kepada istrinya,Mollie (Margaret Catherine Jones), dia menyebut atasannya “telah merusak segalanya” dengan penyebaran pamflet tersebut. “Pamflet ini adalah tamparan yang amat memalukan bagiku sebagai perwira tinggi,”tulisnya. Surat tersebut dibacakan oleh Anthony Mallaby (putra tunggal Mallaby-Mollie) di depan Des Alwi dalam suatu kunjungan ke London, Inggris pada 2005. Dari pihak Indonesia sendiri, penyebaran pamflet itu tentu saja sungguh mengejutkan. Satu jam setelah kejadian itu, Jenderal Mayor drg. Moestopo dan Residen Soedirman langsung menemui Mallaby. Dalam pertemuan tersebut, Mallaby menyatakan dirinya tidak tahu menahu mengenai pamflet yang ditandatangani oleh atasannya itu. “Namun sebagai perwira British, meski saya sudah menandatangani persetujuan dengan para pemimpin Republik di Surabaya, saya harus mematuhi instruksi panglima saya.” demikian menurut Mallaby seperti dicatat oleh Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945. Jawaban Mallaby membuat Moestopo dan Soedirman sangat kecewa. Sebagaimana orang-orang Surabaya lainnya, mereka berdua mulai kehilangan rasa percaya kepada pihak Inggris. Terutama ketika Mallaby memerintahkan pasukannya untuk menyita kendaraan-kendaraan milik orang-orang Indonesia, merampas senjata mereka, menduduki gedung-gedung baru dan menginstruksikan pamer kekuatan di tengah kota. Gubernur Soerjo terus berupaya untuk mencoba jalan tengah. Nyatanya, apa yang diusahakan Soerjo berjalan sia-sia. Situasi justru semakin memanas dan berujung kepada bentrok antara para pejuang Surabaya dengan tentara Inggris pada 28 Oktober 1945. Hingga hari ke-2 pertempuran, arek-arek Suroboyo telah membantai sekira 400 serdadu Inggris (termasuk 16 perwira). Sejarawan McMillan malah memiliki versi berbeda dan cara yang unik dalam menyebutkan jumlah korban: “Karena suatu “pamer kekuatan” menyebabkan 427 nyawa dari suatu pasukan yang memiliki kurang lebih 4.000 prajurit melayang begitu saja…” ungkap McMillan.
- Bertani Zaman Kuno
TIKUS-tikus menyerang ladang. Seorang laki-laki nampak sedang membakar sesuatu. Asapnya diarahkan pada ladang yang sedang diserang tikus itu. Dia hendak menghalau tikus-tikus itu agar tak mengganggu ladangnya. Penggambaran itu terpahat pada relief Karmawibhangga di Candi Borobudur. Pada panil relief lainnya, babi muncul sebagai pengganggu. Ia pun ditombak oleh warga. Di panil lain digambarkan dua orang yang bertugas menjaga sawah. Mereka menunggu di dalam gubuk di tengah sawah. Ada pula seekor anjing yang berbaring di bawah gubuk itu. “Hama tikus diberantas pakai emposan , itu pakai daun kelapa yang kering dibakar tidak ada apinya, yang dipentingkan asapnya. Itu juga ada anjingnya disuruh jegok-jegok , nanti terus digropyok orang (tikusnya, red ),” kata Djaliati Sri Nugrahani, dosen arkeologi Universitas Gadjah Mada kepada Historia. Djaliati menjelaskan dalam banyak data prasasti disebutkan beberapa teknologi pertanian. Sejak lama masyarakat Jawa Kuno mengembangkan pertanian gaga atau menanam padi di tanah kering dan pertanian tadah hujan di lahan basah yang memanfaatkan hujan. Ada pula yang menggunakan irigasi. “Pakai sistem irigasi, ada petugas yang mengurus irigasinya. Mereka ini petugas hulu air . Hingga kini di Gunung Kidul juga masih ada padi gaga,” jelas Djaliati. Data arkeologis lainnya ditemukan pada penggalian di situs Liangan, Dusun Liangan, Purbosari, Ngadirejo, Temanggung. Di situs ini ditemukan bekas lahan pertanian kuno. Bahkan tim peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta menemukan teknik pertanian yang tak jauh berbeda dengan saat ini. Lahan pertanian itu dibentuk seperti sistem bedengan di masa kini. Di sana pun ditemukan sisa bulir padi yang menjadi arang dan sisa-sisa jagung. Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa juga menyebut macam-macam jenis tanah yang dapat didayagunakan oleh petani Jawa Kuno. Paling sering disebut adalah sawah (sawah), gaga (ladang), kbuan (kebun), renek (rawa). Terdapat juga padang rumput dan hutan. Dari segi nilainya, sawah menduduki tempat tertinggi, disusul ladang dan kebun. “Sesuai dengan nilai tanahnya, pemilikan atas tanah sawah tentunya mempengaruhi kedudukan seseorang di lingkungan wanua,” tulis Supratikno . Wanua mengacu pada suatu wilayah tempat tinggal para petani dan penduduk desa. Titi Surti Nastiti, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mencatat baik suami maupun istri saling bekerja sama menanam padi dan tumbuhan pangan lainnya. Pada relief Karmawibhangga juga terdapat adegan yang melukiskan laki-laki dan perempuan pergi ke sawah atau ladang bersama. “Yang laki-laki membawa suatu benda di bahunya. Sementara yang perempuan menjinjing sesuatu, mungkin bekal mereka berupa makan dan atau minuman,” tulis Titi dalam Perempuan Jawa . Adapun pada relief cerita Awadana dan Jataka di Candi Borobudur tergambar seorang laki-laki yang sedang membajak sawah menggunakan dua sapi. Ada pula penggambaran perempuan sedang menanam padi pada salah satu relief umpak di Situs Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Pada relief umpak Trowulan juga terdapat pahatan seorang perempuan yang sedang menabur benih di ladang. Setelah dipanen padi biasanya diangkut ke lumbung padi. Pada relief Jataka dan Awadana terdapat pahatan beberapa laki-laki sedang mengikat padi dan seorang memikul dua ikat besar padi. “Padi itu mungkin akan dibawa ke lumbung,” tulis Titi. Proses selanjutnya mengolah padi menjadi beras. Masyarakat Jawa Kuno, biasanya para perempuan, menumbuk padi kering dengan lumpang dan alu. Pekerjaan ini digambarkan pada relief cerita Krsnayana di Candi Wisnu, Prambanan. Tak cuma teknik pengendalian hama, tapi jenis tanaman pertanian dan cara budidayanya juga tergambar dalam relief candi, khususnya dalam Karmawibhangga di Candi Borobudur. “Semua itu pun masih dipakai oleh masyarakat Jawa hingga beberapa dekade kemudian,” kata Djaliati.
- Tamu Istimewa Jagoan Eropa
PADA era 1950-an, sebagai salah satu “macan” Asia, Indonesia menjadi langgangan tempat tujuan klub-klub besar Eropa. Klub Prancis Stade de Reims menjadi salah satu klub yang mau jauh-jauh datang ke tanah air untuk menjajal tim-tim lokal dan juga timnas. Tepatnya 20 Juni-7 Juli 1956. Reims dulu beda dari Reims sekarang yang kilaunya mulai pudar lantaran hanya tampil di Ligue 2, kasta kedua Liga Prancis. Di era 1950-an, Reims merupakan salah satu tim tergagah di Eropa. Kala menyambangi Indonesia, Reims berstatus finalis European Cup (sebutan lama Liga Champions) edisi pertama 1955/1956. Sekira sepekan setelah kalah 2-3 dari Real Madrid di final European Cup, Reims tur ke Indonesia atas undangan klub Chung Hwa Tsing Nien Hui dalam rangka HUT ke-10. Entraineur (pelatih) Albert Batteux membawa serta tim utamanya, termasuk pemain bintang Raymond Kopa, yang statusnya sudah dibeli Real Madrid. Namun, data RSSSF (Record Sport Soccer Statistics Foundation) yang merujuk pada koran De Preangerbode , Juni 1956, mencatat Reims tak bisa membawa empat bintangnya: Rene Bliard, Raoul Giraudo, Michel Leblond, dan Robert Siatka. Mereka kebetulan terkena wajib militer. Setelah mendarat di Bandara Kemayoran pada 18 Juni 1956, Reims menggelar partai perdananya melawan Persija dua hari kemudian. Pertandingan berlangsung di Stadion Ikada (kini Lapangan Monas), Jakarta dan disaksikan sekira 40 ribu penonton. Tuan rumah, yang tak diperkuat Thio Him Tjiang dan Tan Liong Houw karena cedera, bonyok dihajar 11-1. Raymond Kopa turut menyumbangkan sepasang gol ke gawang Persija yang dikawal Freddie Davies. “Suatu angka kekalahan yang selama ini belum pernah dialami Persija. Gol satu-satunya dari Persija dibuat Hamdani dalam menit ke-11 babak pertama, di mana pihak tamu baru leading 2-0,” tulis Suara Merdeka , 21 Juni 1956. Usai menghajar Persija, tiga hari kemudian Reims menjajal timnas PSSI di Stadion Ikada. Suratkabar Java-Bode , 24 Juni 1956, menuliskan bahwa tidak hanya Kopa, Batteaux sang pelatih yang merangkap pemain, sampai ikut mencantumkan dirinya di starting eleven . Timnas PSSI juga turun full team , termasuk kiper Maulwi Saelan dan pilar andalan Andi Ramang serta Aang Witarsa. Wakil Presiden Mohammad Hatta menyaksikan langsung pertandingan itu. Meski menang 5-1, laga tersebut lebih sengit bagi Reims dibanding saat melawan Persija. Para pemain Reims sampai ngambek tak mau melanjutkan laga gegara protes gol Aang Witarsa di menit ke-43. Menurut mereka, Aang Witarsa sudah offside . Gardien (kiper) Reims Rene-Jean Jacquet sampai melempar bola ke wasit Mohd. Sarim sebagai protes. Kericuhan antarpemain pun pecah. Penonton terbawa emosi, mereka menginvasi lapangan. Pertandingan ditunda beberapa saat. Aparat kepolisian akhirnya bisa mengondusifkan situasi. Setelah laga dilanjutkan, Kopa mencetak dua gol penutup kemenangan atas Ramang cs. Surabaya jadi tujuan Reims berikutnya. Di Stadion Tambaksari, klub Tionghoa Surabaya setidaknya menuai hasil lebih membanggakan ketimbang Persija dan timnas. Dalam pertandingan yang digelar 24 Juni 1956 sore itu, Reims menghadapi perlawanan alot tuan rumah dan hanya bisa menang 1-0 melalui gol Mohamed Maouche. “Arek-arek Suroboyo menghadapi lawan yang kuat (dengan) cukup ulet. Kiper Gwan Liep sore itu main bagus. Tionghoa Surabaya dapat memegang prestise untuk tidak menyerah mentah-mentah terhadap kesebelasan yang datang dari luar negeri,” tulis Suara Merdeka , 25 Juni 1956. Dari Kota Pahlawan, Reims melancong ke Parijs van Java untuk menghadapi Persib. Datang dengan kereta malam dari Surabaya ke Bandung pada 25 Juni, mereka mendapat sambutan meriah ofisial Chung Hua dan para penggemar bola se-Jawa Barat. “Mereka disambut dengan karangan bunga yang dililitkan orang Bandung ke leher mereka. Dari stasiun, pemain Prancis langsung ke Hotel Grand Preanger,” tulis Harian De Preangerbode , 26 Juni 1956. Di Bandung, Reims menerima perlawanan sengit tim Maung Bandung pada 27 Juni. Di bawah hujan deras yang mengguyur Stadion Siliwangi, Reims hanya menang 3-2. Tiga gol Reims disarangkan Maouche, Michel Hidalgo dan Jean Templin. Sementara, Reims kecolongan dwigol bikinan Atik dan Aang Witarsa dari titik putih. Timnas PSSI B juga berkesempatan menjajal jawara Negeri Napoleon itu di Stadion Banteng, Padang, Sumatra Barat dua hari kemudian. Dua gol dari Danu dan Witarsa memaksa pertandingan berakhir imbang 2-2. Hasil terburuk selama tur Reims ke Indonesia itu lantas membuat mereka meminta pertandingan ulang, pasca-duel kontra PSMS di Stadion Teladan, Medan, 1 Juli. Reims menang 6-1. Laga ulang kontra PSSI membuat Reims membatalkan tur tambahan ke Vietnam Selatan dan Thailand. Beruntung Reims tak perlu menunggu lama karena PSSI batal melakoni dua partai kandang-tandang (8 dan 22 Juli) kontra Taiwan yang mundur dari Kualifikasi Olimpiade 1956. Stadion Ikada kembali menjadi venue laga ulang PSSI vs Reims, 7 Juli 1956. Gigihnya perlawanan PSSI membuat skor 0-0 sampai turun minum. Pun begitu, timnas PSSI akhirnya tetap harus mengakui superioritas Reims. PSSI hanya mampu memperkecil kekalahan jadi 2-3 lewat tendangan penalti. “Liong Houw yang menjadi algojo berhasil mengubah angka menjadi 3-2 yang sampai pertandingan diakhiri tidak berubah. Di antara ribuan penonton yang membanjiri Stadion Ikada sore itu, tampak hadir Wakil Presiden Moh Hatta, para menteri dan beberapa anggota Korps Diplomatik,” tandas lansiran berita Suara Merdeka , 9 Juli 1956.*
- In Memoriam Eddie Lembong (1936-2017)
SAYA tak pernah lupa gaya menyisirnya yang rapi dan klimis, begitu pula dengan cara berpakaiannya yang kerap necis. Alur bicaranya teratur, diselingi nada meninggi kala membahas topik yang menurutnya penting. Selera humornya cukup baik: tak segan mengejek diri sendiri untuk mengundang tawa lawan bicaranya, seperti saat dia mengisahkan kemampuan berbahasa Inggrisnya pada awal merintis industri farmasi di era 1960-an. “Waktu itu bahasa Inggris saya saja belum bagus, blepotan. Saya bahkan pernah keliru menggunakan kata “fabric” untuk pabrik, padahal dalam bahasa Inggris “fabric” ya kain bukan pabrik. Pabrik kan factory,” kata dia terkekeh menertawakan diri sendiri. Terinspirasi nama pulau Pharos di dekat Teluk Alexandria, Mesir, pada 1971 Eddie dan seorang rekannya mendirikan pabrik obat Pharos. Tak lama berkongsi, dia memutuskan mengambil alih kendali Pharos sendirian, sekaligus menanggung beban utang yang membelit perusahaan. Tiga tahun jungkir-balik mempertahankan kapal usahanya tetap berlayar di tengah badai tagihan kreditur, laju Pharos kian kencang seiring membaiknya keuangan perusahaan. Tak ada lagi cerita didemo karyawan gara-gara telat bayar tunjangan hari raya seperti terjadi di awal berdirinya perusahaan. Tak hanya pabrik obat, Eddie juga membangun jaringan pemasaran produknya melalui apotek Century yang didirikan pada 1993. Apotek tersebut tak hanya menjual obat, tapi juga menyediakan layanan informasi bagi konsumen mengenai obat yang mereka beli. Pemberi informasi tak lain adalah farmasi atau apoteker, yang pada apotek konvensional seringkali hanya dipinjam namanya sebagai cara mendapatkan izin membuka usaha apotek. Dalam jangka waktu 20 tahun, usaha farmasinya mencapai sukses. Namun, sejak awal dia mafhum bahwa usaha di bidang farmasi tak hanya sekadar mencari untung, tapi juga mengemban misi sosial. Salah satu produk Pharos yang mendapat sambutan baik dari masyarakat karena manjur sekaligus murah adalah Pharolit, merk obat diare kebanggaan Eddie. Kesuksesan bisnis Eddie Lembong ditopang situasi politik dan ekonomi yang relatif stabil di era Soeharto. Tapi itu tak berlangsung selamanya. Pada 1997 krisis moneter datang menghumbalang, membuat banyak perusahaan tumbang. Kepiawaian Eddie menakhodai armada usahanya kembali diuji. Saat banyak pengusaha lain mengambil fasilitas pinjaman lewat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dia tak tertarik mengambil se-sen pun dari tawaran tersebut. Terbukti keputusannya benar: saat banyak perusahaan lain dikejar utang, Pharos tetap melenggang tenang. Terpaan badai tak hanya menggoyahkan usahanya. Pada 13-14 Mei 1998 Jakarta terbakar diamuk massa, mengawali rangkaian tragedi rasial yang membawa luka mendalam bagi warga Tionghoa Indonesia. Eddie menyadari ada sesuatu yang salah pada hubungan antaretnis di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Sejak peristiwa tersebut, dia “banting setir” tak semata memikirkan bisnis lagi, tapi juga mencurahkan perhatiannya pada isu multikultural di tengah masyarakat Indonesia. Pada 5 Februari 1999, Eddie dan rekan-rekannya yang memiliki kepedulian yang sama mendirikan Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (INTI). Para pendiri INTI sadar diskriminasi yang kerap terjadi terhadap warga Tionghoa diwariskan sejak zaman kolonial, seperti termaktub dalam peraturan pemerintah kolonial tahun 1854 yang menggolongkan masyarakat jajahan ke dalam kelompok-kelompok ras. Pemikiran Eddie tentang relasi antaretnis di Indonesia bukannya tanpa dasar. Dia selalu merujuk kepada konsep pemikiran kebangsaan yang pernah dikemukakan Sukarno pada 1 Juni 1945. Dalam pidato tersebut, yang kemudian terkenal sebagai tonggak awal lahirnya Pancasila, landasan bernegara dan berbangsa Indonesia, Sukarno mengemukakan konsep nasionalisme modern Indonesia, bukan etnonasionalisme yang sempit. Kendati demikian masih ada anggapan kuat bahwa warga Tionghoa bukan termasuk ke dalam warga negara Indonesia. Prasangka rasial semakin menguat dengan kesan ekslusif kalangan warga Tionghoa. Belum lagi tuduhan sebagai “economic animal” yang terlalu mementingkan urusan bisnis ketimbang urusan lainnya. Eddie ingin mengubah gambaran itu dengan jalan menumbuhkan dialog antaretnis di Indonesia. Berhenti dari INTI, Eddie terus mengejar cita-citanya. Pada 30 September 2006, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-70, dia dan istrinya, Melly Saliman, mendirikan Yayasan Nabil, kependekan dari Nation Building. Melalui yayasan itu Eddie dan Melly mendukung banyak kegiatan mulai dari penelitian, penulisan buku, seminar dan pemberian anugerah tahunan Nabil Award bagi tokoh-tokoh yang dinilai telah menyumbangkan hidup serta karyanya untuk memperkokoh keberagaman masyarakat Indonesia. Melalui Yayasan Nabil, Eddie juga mengusahakan agar John Lie, perwira Angkatan Laut yang memainkan peranan penting dalam masa revolusi kemerdekaan Indonesia, mendapat gelar Pahlawan Nasional. Gelar tersebut diperoleh 9 November 2009. Tak hanya John Lie yang Tionghoa, Eddie juga mengajukan AR Baswedan dari tokoh Indonesia keturunan Arab sebagai Pahlawan Nasional. Namun, hingga kini Baswedan belum kunjung ditetapkan jadi Pahlawan Nasional. Pengajuan dua nama itu mewakili dua kelompok etnis, yang pada masa Belanda termasuk golongan timur asing, namun memiliki sumbangsih bagi pembentukan bangsa Indonesia. Komitmen Eddie bisa dilihat dari usahanya menyokong riset dan penulisan biografi serta penyelenggaraan seminar kedua tokoh itu sebagai syarat pengajuan sebagai Pahlawan Nasional. Menurut Eddie, kebudayaan yang berlaku pada masyarakat sebuah negeri turut berpengaruh pada maju atau mundurnya negeri tersebut. Rupanya dia terinspirasi dari buku yang disunting Samuel P. Huntington, Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia . Dalam buku itu, Samuel sebagaimana sering dikutip oleh Eddie, menyajikan hasil riset terhadap dua negeri dari dua benua yang berbeda: Korea Selatan dan Ghana. Pada awal 1960, kedua negeri berada dalam keadaan ekonomi yang setara: sama-sama terbelakang. Setelah diamati selama 30 tahun, dua negara yang semula berada pada titik berangkat yang sama itu ternyata mengalami perkembangan yang berbeda saat memasuki era 1990-an. Korea Selatan berkembang 15 kali lipat lebih pesat ketimbang Ghana. Para sarjana yang terlibat dalam penulisan buku tersebut menemukan fakta bangsa Korea memiliki ciri khas budaya yang tak dimiliki oleh Ghana, yakni hemat, kerja keras, rajing menabung (berinvestasi), menjunjung pendidikan, organisasi dan disiplin. Budaya yang telah built in di dalam masyarakat Korea Selatan mendorong mereka jauh lebih cepat mengubah diri daripada rakyat Ghana. Eddie terus mencari penyebab kenapa bangsa Indonesia tak seulet dan seliat bangsa Korea. Padahal dengan ragam kebudayaan tiap suku bangsa yang menghuni negeri ini, ada nilai-nilai positif yang bisa diambil dan diramu dengan nilai-nilai budaya suku bangsa lainnya. Eddie lantas menyebutkan sejumlah ciri khas dari suku bangsa di Indonesia, semisal suku Jawa dikenal ulet dan suku Batak pemberani, Bali terkenal dengan jiwa seninya. Menurutnya, aspek positif dari tiap suku bangsa itu bisa diramu menjadi karakter bangsa Indonesia. Memang sekilas terlihat kalau Eddie melakukan “stereotipe” pada setiap suku bangsa. Karena sifat-sifat tersebut sebetulnya melekat pada individu, tidak bisa mencerminkan keseluruhan suku bangsa. Hal yang perlu digarisbawahi dari pemikiran tersebut adanya itikad untuk menghormati keunikan pada setiap suku bangsa yang harus diberi tempat di dalam bingkai kebangsaan Indonesia. Artinya, setiap orang berhak membawa keunikannya masing-masing sebagai ciri khas, baik fisik maupun kultural, yang terwariskan dari mana suku bangsanya berasal. Seorang Jawa bisa tetap menjadi seorang Jawa, begitu pula seorang Tionghoa bisa tetap menampilkan diri sebagai seorang Tionghoa. Ini pula berlaku secara kolektif, sehingga memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia, bukan malah menyeragamkannya. Gagasan tersebut membutuhkan kondisi yang “ Political correctness”, sehingga situasi “plural monokulturalisme” bisa menuju situasi yang “multikulturalisme”. Karena bagaimana pun masyarakat bineka hanya bisa dipertahankan oleh suatu budaya politik kewargaan yang demokratis (democratic citizenship) yang menjamin bukan saja hak-hak sipil dan politik setiap individu (individual rights), tetapi juga hak-hak sosial-budaya kelompok masyarakat (communitarian rights). Ketika diminta menulis biografinya, saya melihat secara prinsip ada kemiripan gagasan Eddie Lembong dengan ide “integrasi wajar” yang pernah dikemukakan oleh Siauw Giok Tjhan, ketua Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Ide pembauran itu bersaing dengan konsep asimilasi total yang diusung oleh kelompok Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) yang dimotori oleh Kristoforus Sindhunata dan Junus Jahja. Dalam konsep pembauran Giok Tjhan, seseorang lahir ke dunia membawa ciri khas yang telah melekat pada fisiknya. Dan ciri-ciri fisik tersebut, seperti bentuk mata, hidung, wajah dan warna kulit, tak pernah bisa diubah. Begitu pula dengan budaya yang diwariskan kepadanya. Maka dalam konsep integrasi wajar, seorang Tionghoa leluasa menjadi dirinya sendiri dan menampilkan ciri khas budayanya, asalkan dia tetap memiliki orientasi dan dedikasi kepada bangsa Indonesia. Berbeda dari konsep asimilasi total yang menyaratkan seorang keturunan Tionghoa sebisa mungkin harus melebur ke dalam masyarakat pribumi dengan mengganti nama dan menanggalkan ciri khas identitasnya yang terwaris dari budaya leluhur. Setelah peristiwa 1 Oktober 1965 terjadi, Baperki yang kerap diidentikan dengan PKI ikut dibubarkan dan dilarang. Konsep integrasi wajar pun turut lenyap bersamanya, betapapun gagasan pembauran ini terasa jauh lebih manusiawi dan egaliter. Stigma negatif itu membuat masyarakat trauma dan menghindari segala hal yang berbau kiri. Tidak terkecuali Eddie Lembong. Saat saya tulis analisis kesamaan pemikirannya itu, kontan saja editor mencoret nama Siauw Giok Tjhan dan Baperki dari naskah buku. Tapi setelah negosiasi dan berdiskusi panjang, akhirnya analisis tersebut tetap bisa disajikan di dalam buku. Ini bisa dipahami karena hingga sekarang gambaran tentang gerakan kiri beserta gagasan yang muncul dari kalangan mereka turut tercoreng bersama pabrikasi kisah sejarah monoversi produk Orde Baru. Bagaimana pun, konsep penyerbukan silang antarbudaya tersebut memang tak bisa dilepaskan dari pengalaman serta petualangan intelektual Eddie semasa hidupnya. Lahir sebagai anak kelima dari sepuluh bersaudara di Palasa, Kecamatan Tinombo, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, 30 September 1936, Eddie dibesarkan oleh kedua orangtua yang disiplin dan mengutamakan pendidikan. Ayahnya, Joseph Lembong dan ibunya, Maria, datang dari keluarga imigran Tiongkok. Kedua orang tua mereka membawanya ke Indonesia untuk memulai hidup dan mencari peruntungan baru. Joseph datang pada usia 15 tahun sementara Maria diboyong orangtuanya pada umur tiga tahun. Leluhur keluarga ini berasal dari suku Han, suku terbesar di Tiongkok. Eddie dan saudara kandungnya sejak kecil sudah terbiasa hidup membaur dengan warga setempat yang mayoritas beragama Islam, sebagaimana mayoritas warga di Kecamatan Tinombo. Daerah itu, sebagai mana tempat-tempat lain di Sulawesi Tengah memiliki keberagaman yang cukup tinggi. Warga pendatang beretnis Arab dan Tionghoa tak lagi asing dan telah “direken” sebagai kelompok warga yang telah membaur dengan warga lainnya. Dua kelompok warga ini telah datang ke Sulawesi sejak berabad lampau dan menjadi kelas-kelas pedagang yang cukup berpengaruh. Pembauran yang berlangsung mulus dan damai itu membentuk pula karakter masyarakatnya yang egaliter, tak memandang latar belakang ras dan kedudukan. Suatu kali Eddie pernah berkisah tentang seorang kusir dokar di Manado yang ikut masuk ke dalam sebuah kedai minuman ketika penumpangnya, seorang berpangkat, mampir ke kedai yang sama. “Kalau di Jawa ini pemandangan yang tidak lazim,” kata dia. Setelah melalui pendidikan sekolah dasar sampai menengah di Gorontalo, Manado dan Jakarta, pada 1956 Eddie mendaftar ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Menurut dia, pada tahun itu pula UI memberlakukan penjatahan terhadap calon mahasiswa yang berminat mendaftar ke FKUI. Penjatahan itu bernuansa rasialis karena membedakan secara tegas komposisi penerimaan berdasarkan etnisitas, yakni 50 persen Tionghoa dan 50 persen pribumi. Namun kemudian jatah bagi pribumi bertambah jadi 60 persen, otomatis penerimaan bagi kalangan warga Tionghoa pun berkurang jadi 40 persen, membuat Eddie tak bisa lolos. Inilah kebijakan rasialis pertama yang berimbas pada jalan hidupnya. Atas bantuan kakaknya, Johannes Lembong (ayah Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan, kini Kepala BKPM) yang saat itu sudah lebih dulu kuliah di Fakultas Kedokteran UI tingkat V, Eddie menghadap Dekan FKUI Prof. Dr. Djoened Poesponegoro. Dalam kesempatan itu Eddie memohon kepada Prof. Djoened untuk memberinya surat keterangan yang menyatakan prestasi akademisnya dalam ujian masuk itu bernilai baik. Surat itu diharapkan dapat berguna untuk melamar ke sekolah lain. Prof. Djoened pun memberi surat keterangan mengenai kemampuan akademis Eddie. Berbekal surat itu Eddie melamar ke Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Institut Teknologi Bandung (ITB, dulu masih Fakultas Teknik Universitas Indonesia). Kali ini Eddie beruntung, dia diterima kuliah di jurusan Farmasi ITB dan lulus sebagai sarjana farmasi pada 1964. Akhir 1965 dia menikahi Melly Saliman dan dari pernikahan mereka lahir tiga orang anak, dua di antaranya meneruskan jejak bisnis Eddie Lembong di bidang farmasi. Sebelum meninggal pada 1 November yang lalu, Eddie masih sempat menggagas penerbitan tiga jilid buku tebal berjudul Tionghoa dalam Keindonesiaan: Peran dan Kontribusi bagi Pembangunan Bangsa (2016). Dalam keadaan sakitnya, Eddie masih menyempatkan diri mengikuti berbagai kegiatan yang senapas dengan cita-citanya: mewujudkan masyarakat Indonesia yang multikultural, setara dan berkeadilan. Selamat jalan Pak Eddie...
- Imajinasi Wajah Pahlawan Nasional
SEPULUH lukisan wajah Pahlawan Nasional karya pelukis Basoeki Abdoellah menjadi salah satu koleksi yang dipamerkan dalam eksebisi dokumentasi bertajuk "Lacak" di Museum Basoeki Abdullah, Cilandak, Jakarta Selatan, 7-22 November 2017. Pada sisi dinding pertama, lima lukisan dipajang sejajar, mulai dari Teuku Umar hingga Tuanku Imam Bonjol. Lima lukisan lainnya, mulai I Gusti Ngurah Rai hingga Robert Wolter Monginsidi, di dinding sebaliknya yang juga dipasang berjajar. “Jika lukisan-lukisan tersebut dijajar, saya merasakan kita tengah menyaksikan para ‘ avengers Indonesia’ ada di depan, tengah beraksi. Itulah nilai estetika lukisan-lukisan pahlawan yang dikreasi oleh Basoeki Abdullah,” ujar Mikke Susanto, kurator pameran, kepada Historia . Pada 1975, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Syarif Thayeb mengadakan Proyek Biografi Pahlawan Indonesia. Tujuannya mengumpulkan dan menerbitkan materi-materi biografi Pahlawan Nasional. Sasaran dari publikasi ini adalah anak-anak sekolah dasar hingga menengah, mahasiswa, dan masyarakat umum. Menurut Klause H. Schreiner, “Penciptaan Pahlawan-Pahlawan Nasional” termuat dalam Outward Appearancess, proyek itu sebetulnya berasal dari Lembaga Sejarah dan Antropologi pada masa Sukarno (1959) guna mengkoordinasikan semua sumber publikasi dan tulisan historis untuk mendapatkan historiografi nasional yang bertalian. Biografi tersebut berupa buklet bersampul gambar pahlawan dan tebal isinya mulai dari 50 hingga 200 lembar. Tidak ada yang tahu seperti apa wajah sebenarnya dari para pahlawan ini. Potret yang diwujudkan ini hanya menampilkan wajah yang kokoh. Pemerintah pun menunjuk pelukis Basoeki Abdullah untuk menjadi pelukis wajah pahlawan-pahlawan nasional itu. “Wajah-wajah pahlawan itu dilukis tahun 1976, dan tidak semua Pak Bas (panggilan Basoeki Abdullah, red ) tahu wajahnya. Imajinasi. Salah satu kasus adalah lukisan wajah Cut Nyak Dhien, itu jilbaban atau enggak . Nah, foto yang didapat Pak Bas bukan berjilbab. Mengenai lukisan Sisingamangraja diinspirasi dari pelukis sezaman. Dia karikaturis yang kemudian melukis dengan meriset di keluarga-keluarga Sisingamangaraja. Lukisan itu lalu diterima Sukarno. Nah, Pak Bas melihat itu lalu melukisnya,” terang Mikke. Karikaturis yang dimaksud adalah Agustin Sibarani. Menurut Mikke, Basoeki mampu menerjemahkan pesanan pemerintah Orde Baru yaitu mengedepankan nasionalisme. “Imajinasi Basoeki yang amat kuat dicampur dengan realisasi teknik yang mumpuni, membuat pemerintah nyaris tak punya pilihan yang lebih baik daripada Basoeki. Lukisan-lukisan Pahlawan Nasional karya Basoeki Abdullah yang dikerjakan kisaran 1976 ini telah menjadi representasi kepahlawanan di mata para siswa dan rakyat kebanyakan di Indonesia. Lukisan dari Pak Bas lalu menghiasi buku-buku mengenai sejarah Indonesia, dan untuk digunakan pula dalam buku-buku PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa),” ujar Mikke. Selama bertahun-tahun Mikke mengamati dengan cermat karya-karya Basoeki Abdullah, termasuk karya wajah pahlawan. Menurutnya, pemerintah Orde Baru berusaha menampilkan jiwa nasionalis dan patriotik melalui wajah-wajah Pahlawan Nasional. “Secara teknis, belasan lukisan tema pahlawan karya Basoeki Abdullah, sangat kuat, bahkan terdapat kesan yang melampaui citra aslinya. Jiwa maskulinitas sang figur tajam. Hal ini bisa dirasakan dari warna yang dipakainya. Warna coklat tua, biru dan hijau gelap, dengan kuning oker yang mencitrakan tanah dan air yang membentuk ras Melayu amat kental. Wajah mereka rata-rata keras dan raut muka serius dengan ciri khas masing-masing makin menguatkan kesan maskulin, meskipun di antaranya adalah tokoh perempuan. Goresan kasar yang dipakai dicampur dengan sedikit arsiran halus membuat lukisan mengesankan kelembutan dan kekerasan terpadu,” ujar pengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini. Saat disinggung mengenai berapa besar proyek lukisan wajah pahlawan yang diterima Basokei Abdullah dari pemerintah, Mikke mengaku belum mendapat angka pasti. “Belum kutemukan informasinya. Rasionalnya begini, setiap pesanan lukisan sepanjang sejarah seni, biasanya pelukis mendapat sejumlah dana. Hal ini sudah dibuktikan pada masa revolusi ketika Sukarno memesan belasan lukisan potret pahlawan pada Sudjojono, Dullah, Harijadi, dll. Apalagi Basoeki Abdullah mengerjakan lebih dari 10 lukisan, pasti dapat ongkos kerja. Info mengenai jumlah dana belum diketahui. Hanya efeknya yang cukup menarik, setelah lukisan tersebut dikerjakan oleh Basoeki, nama dan eksistensinya makin kuat. Kedua, pekerjaan ini tentu memerlukan riset ala seniman, yaitu mencari data visual yang terdekat dengan wajah sang pahlawan,” ujar Mikke. Jika lukisan wajah pahlawan itu hasil imajinasi, tentu timbul pertanyaan, seperti apa wajah asli pahlawan tersebut. “Ini kan perlu mendekonstruksi lagi lukisan pahlawan itu. Misalnya, seperti Pattimura, apakah betul wajahnya seperti itu,” ujar Restu Gunawan, direktur kesenian Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain kesepuluh lukisan wajah Pahlawan Nasional itu, lukisan wajah Pattimura karya Basoeki Abdullah juga dipamerkan namun sebagai sampul majalah Pembinaan Pendidikan edisi November 1977.*
- Konsekuensi Persahabatan Atlet “Nazi”
POSTURNYA tegap dengan tinggi 184 cm. Bermata biru serta berambut pirang. Gambaran fisik sempurna sebagai figur ras arya itu ada pada Carl Ludwig “Luz” Long, seorang atlet Jerman. Long menjadi tumpuan harapan Jerman, yang pada medio 1930-an disemarakkan oleh ideologi Nazi, di Olimpiade Berlin 1936. Long diharapkan sebagai salah satu pemenang dalam “etalase” propaganda di perhelatan akbar olahraga itu. Sebagaimana lazimnya kompetisi, Long punya rival kuat dari Amerika Serikat (AS) di nomor lompat jauh. Dia adalah James Cleveland “Jesse” Owens, atlet berkulit hitam yang di nomor sebelumnya sempat “menampar” muka Der Fuhrer Adolf Hitler dua kali dengan merebut medali emas di nomor lari 100 dan 200 meter putra. Owens, pelari yang di negaranya sendiri pun kesulitan untuk menikmati hidup lantaran rasisme, dalam ideologi Nazi termasuk untermesch atau ras inferior. Klasifikasi itu juga disandang orang-orang Gipsi maupun Yahudi. “Saya tidak diundang untuk bersalaman dengan Hitler, tapi saya juga tidak diundang ke Gedung Putih untuk bersalaman dengan Presiden (AS, Franklin D Roosevelt, red. ),” ungkap Owens dalam Jesse Owens: A Biography karya Jacqueline Edmonson. Dalam perhelatan itu Owens total merebut empat medali. Selain dari nomor lari 100 dan 200 meter, dia juga mengalungi medali emas dari nomor estafet 400 meter dan lompat jauh. Di nomor terakhir itulah Owens bersaing ketat dengan Long. Long memang kalah, namun dia punya “kemenangan” tersendiri. Dia tak segan memberi selamat dan bahkan merangkul Owens di depan mata Hitler yang tengah berdiri di podium kehormatan Olympiastadion. Meski memiliki fisik sempurna menurut ideologi Nazi, Long muak dengan ideologinya Hitler itu dan dia jelas bukan anggota Nazi. Momen indah yang diabadikan banyak fotografer itu lalu dilestarikan dalam video dokumenter Olympia, Fest der Volker besutan Helene Bertha Amalie “Leni” Riefenstahl, sineas Jerman yang menaruh simpati terhadap Owens. Momen itu lantas menggemparkan publik Jerman. Owens sendiri terkejut dengan keberanian Long yang mau berteman dan merangkulnya, seorang yang dalam ideologi Nazi bahkan bukan dianggap manusia. “Butuh keberanian dari dirinya untuk berteman dengan saya di hadapan Hitler. Anda bisa meleburkan semua medali dan trofi yang saya punya, namun mereka takkan bisa membuat persahabatan berpelat emas 24 karat yang saya rasakan pada Luz Long di momen itu,” cetus Owens dikutip Jeff Burlingame dalam Jesse Owens: I Always Loved Running. Momen Long merangkul Owens itu jelas mendatangkan konsekuensi tersendiri. Terlebih, Long kerap menentang kebijakan anti-semitisme Hitler. Saat Perang Dunia II pecah, Long dikenakan wajib militer di Wehrmacht (Angkatan Darat Jerman) untuk dikirim ke front terdepan. Tapi Long tetap berteman dengan Owens. Dia mengirimi Owens sejumlah surat. Suatu hari, Long mengirim surat kepada Owens yang isinya beda dari surat-surat sebelumnya. “Hati saya mengatakan bahwa ini mungkin surat terakhir selama saya hidup. Jika benar begitu, saya mohon satu hal: Ketika perang selesai, pergilah ke Jerman dan temukan putra saya dan ceritakan tentang ayahnya. Ceritakan tentang masa-masa perang tidak memisahkann kita –dan ceritakan hal-hal yang sebenarnya bisa berbeda antara manusia dan dunia ini. Saudaramu, Luz,” demikian bunyi petikan surat tersebut yang disitir Jeremy Schaap dalam Triumph: The Untold Story of Jesse Owens and Hitler’s Olympic . Surat itu ternyata menjadi surat wasiat Long untuk Owens. Invasi Sekutu ke Pulau Sisilia, Italia membuat Long luka parah. Dia tewas tak lama kemudian di sebuah rumahsakit darurat militer milik tentara Inggris di Italia pada 10 Juli 1943. Jasadnya lalu dikebumikan di Pemakaman Perang Motta Sant’ Anastasia. Wasiat Long ditunaikan Owens selepas Perang Dunia II. Pada 1951, Owens berhasil menemukan putra Long, Kai-Heinrich Long. “Saya melihat sosok Luz lagi di wajah putranya,” tandas Owens.
- Adakah Udang di Balik Gelar Pahlawan Nasional?
INDONESIA adalah negara dengan jumlah pahlawan terbanyak di dunia. Saat ini sebanyak 173 nama menghiasi album Pahlawan Nasional. Jumlahnya akan terus bertambah. Sebabnya, setiap tahun menjelang Hari Pahlawan, selalu ada nama baru. Sejak kapan ritual gelar pahlawan ini bermula? Sejarawan Prancis Denys Lombard mencatat , ide untuk memunculkan sosok pahlawan digagas pada penghujung 1950. Saat itu ada keinginan merehabilitasi semua korban kesewenang-wenangan Belanda. Dalam memori masyarakat mereka adalah orang-orang yang berani menentang kompeni dan ada di berbagai daerah. Masyarakat menghargainya dengan beberapa cara. Potret tokoh-tokoh yang dianggap pahlawan diusung. Biografi mereka dibuat dengan kisah yang diperindah. Nama-nama tertentu bahkan diabadikan sebagai nama jalan. “Agar prakarsa-prakarsa itu dapat ikut memperkuat ideologi persatuan, sejak 1959 Sukarno memutuskan untuk menyusun sebuah daftar resmi ‘Pahlawan Nasional’,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid I: Batas-batas Pembaratan. Abdul Muis, sastrawan-cum-politisi Sarekat Islam, menjadi yang pertama menerima gelar ini. Belum jelas alasannya. Tak berselang lama, masih di tahun 1959, Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan dan pendiri Indische Partij, serta Surjopranoto, tokoh perburuhan yang juga kakak sulung Ki Hadjar Dewantara, ditetapkan sebagai pahlawan. Jumlah pahlawan kemudian terus bertambah. “Sukarno sering menggunakan hak istimewanya sebagai presiden untuk mengusulkan kandidat-kandidat pahlawan dan untuk menyatakan mereka sebagai pahlawan tanpa mempertimbangkan atau persetujuan sebelumnya oleh komite yang berwenang,” tulis sejarawan Jerman Klaus H. Schreiner dalam “Penciptaan Pahlawan-Pahlawan Nasional dari Demokrasi Terpimpin sampai Orde Baru 1959-1993” termuat di Outward Appearances suntingan Henk Schulte Nordholt. Ini bisa dilihat dari pemberian gelar Pahlawan Revolusi pasca-Gerakan 30 September 1965. Kepentingan politik juga mendasari pengangkatan Tan Malaka dan Alimin sebagai pahlawan. Menurut Schreiner, Sukarno mengangkat dua tokoh komunis sebagai pahlawan berdasarkan kepentingan strategis: menempatkan wakil dari ideologi komunis dalam Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis). Gelar pahlawan Tan dan Alimin tak pernah dicabut, kendati nama mereka pernah tak muncul dalam daftar Pahlawan Nasional yang terbit pada masa Orde Baru. Di era Sukarno, hampir semua pahlawan berasal dari masa pergerakan nasional dan kebanyakan dari Pulau Jawa. Hanya empat dari 33 pahlawan yang tercatat hidup dan berjuang pada masa sebelumnya: Sisingamangaradja XII, Tjut Meutia, Tjut Njak Dien, dan Pakubuwono VI. Keempatnya dilihat sebagai eksponen-eksponen perlawanan antikolonial regional. Sosok paling tua di antara tokoh gerakan nasional adalah Haji Samanhudi, pendiri Sarekat Dagang Islam. Sedangkan yang termuda Jenderal Sudirman. Sutan Sjahrir menjadi nama terakhir yang dinobatkan sebagai pahlawan nasional era Sukarno. Di masa Soeharto, keputusan pengangkatan pahlawan lebih ketat daripada rezim sebelumnya. Bedanya, varian tokoh pahlawan diperluas, baik secara historis maupun geografis. Kendati demikian, kepentingan politik tak luput dari pertimbangan. Menurut Schreiner, sejarah hubungan antara rakyat Indonesia dan Belanda dikonseptualisasi sebagai suatu sejarah perjuangan antikolonial yang memuncak pada kebangkitan rezim Orde Baru. Nama pertama yang dinominasikan rezim Soeharto adalah Laksamana Martadinata pada 1966. Martadinata adalah tokoh yang mendukung Soeharto sesaat setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Gelar yang sama juga diberikan kepada Basuki Rachmat pada 1969, salah satu dari tiga jenderal yang menjadi saksi Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), simbol tonggak berdirinya Orde Baru. Pengangkatan juga terjadi pada Siti Hartinah, yang tak lain istri Soeharto. Sebaliknya, sejumlah tokoh yang layak mendapat gelar pahlawan justru sempat gagal karena bersikap kritis terhadap rezim Orde Baru. Ini dialami Bung Tomo, pejuang dalam Pertempuran Surabaya. Bung Tomo baru diakui sebagai pahlawan tahun 2008. Kontroversi juga muncul ketika Soeharto memberikan gelar Pahlawan Proklamasi kepada dwitunggal Sukarno-Mohammad Hatta pada 1986. Masalahnya, selain undang-undang tak mengaturnya, gelar itu justru membelenggu nama besar dan mereduksi peran keduanya secara sendiri-sendiri maupun dalam konteks peristiwa sejarah –hanya pada peristiwa proklamasi. Setelah reformasi, kontroversi masih mengiringi pemberian gelar pahlawan. Pada 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soekarno dan Mohammad Hatta. Padahal UU No 20/2009 menyebut Pahlawan Nasional mencakup semua jenis gelar yang pernah diberikan, yakni Pahlawan Perintis Kemerdekaan, Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Pahlawan Proklamasi, Pahlawan Kebangkitan Nasional, Pahlawan Revolusi, dan Pahlawan Ampera. Yang menarik lagi, sekarang nama-nama Pahlawan Ampera juga tak tercantum, misalnya dalam buku Profil Pahlawan Nasional yang dikeluarkan Kementerian Sosial tahun 2016. Apakah mereka masih Pahlawan Nasional? Hartono Laras hanya memberikan jawaban singkat: “(Kalau) menurut UU No. 20 Tahun 2009... Pahlawan Nasional.” Kontroversi yang tak pernah surut tentu saja usulan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, mantan presiden. “Pahlawan itu keputusan politik sebetulnya. Ada simbol sosial di sana. Pada intinya, pahlawan itu ada dua sisi. Pertama akademik, kedua politik. Penentunya itu politik karena itu yang menentukan pemerintah,” ujar Abdul Syukur, sejarawan Universitas Negeri Jakarta yang juga anggota Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP).
- Coreng Moreng Anugerah Nasional
HARTONO Laras, direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial, mengambil selembar brosur berwarna hijau di mejanya. Dengan seksama dibacanya satu per satu kalimat-kalimat yang tertera di dalamnya. “Nah ini dia, seorang yang berhak mendapat gelar Pahlawan Nasional salah satunya harus memiliki kriteria: tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan,” ujarnya sambil menunjuk bagian kalimat yang disebutnya. Bagi sejarawan- cum -ahli tata negara A.B.Kusuma, justru di situlah masalahnya; kriteria yang sudah ditetapkan kerap dilanggar. Misal, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Anak Agung Gde Agung tahun 2007. “Untuk mendapatkan Bintang Mahaputra mungkin masih bisalah, tapi untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional belum pantas,” ujar Kusuma, peneliti senior di Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Menurutnya, orang-orang yang mempromosikan bangsawan Bali itu boleh saja berkilah Anak Agung berjasa dalam terwujudnya Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berujung pada pengakuan kedaulatan Indonesia. Bersama Sultan Hamid, Anak Agung menyarankan Louis Beel, wakil Mahkota Belanda di Indonesia, untuk berkompromi dengan Indonesia lewat KMB. “Tapi bagi saya dia hanya seorang oportunis yang bisa mengendarai angin perubahan kala itu,” ujar Kusuma . Pendapat Kusuma sudah dilontarkan sejumlah veteran pejuang Bali. Salah satunya Nyoman Suwandi Pendit. Dalam buku Bali Berjuang (1954), Pendit menyebut Anak Agung adalah orang yang harus bertanggungjawab terhadap gugurnya I Wayan Dipta dan I Gusti Ngurah Rai, dua pahlawan terkemuka Bali. Pada penghujung 1945, Anak Agung terlibat dalam pembentukan Pemuda Pembela Negara (PPN), milisi bumiputra yang didukung Pemerintah Sipil Hindia Belanda (NICA). “Jadi kondisinya secara historis di Bali ada dua Pahlawan Nasional yang saling berhadapan sebagai musuh. Ini aneh sekali,” ujar Kusuma. Kusuma mengatakan, situasi penuh kontradiksi itu terjadi karena tak ada ketegasan mengenai kriteria seorang Pahlawan Nasional. Dia juga menyebut peran Kementerian Sosial dalam proses penganugerahan Pahlawan Nasional sangat bias, karena yang lebih cocok menangani soal ini adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang memiliki Direktorat Sejarah. Setahun sebelumnya di Jawa Barat, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional untuk KH Noer Alie juga menuai kontroversi. Bukan tokoh pahlawannya melainkan proses promosinya yang diwarnai isu plagiarisme. KH Noer Ali, seorang ulama kharismatik yang terlibat dalam pertempuran Karawang-Bekasi, harus menempuh proses panjang sebelum ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Namanya mulai dimunculkan pada 1994. Namun Soeharto, presiden saat itu, hanya memberikan penghargaan Bintang Nararya, satu level di bawah Pahlawan Nasional. Pengajuan sebagai Pahlawan Nasional dilakukan setiap tahun dan baru berhasil tahun 2006. Salah satunya berkat Nina H. Lubis, guru besar sejarah Universitas Padjadjaran Bandung. Nina “disewa” pemerintah Kabupaten Bekasi untuk mempromosikan secara akademis KH Noer Alie menjadi Pahlawan Nasional. Namun dia dituduh plagiat karena menjiplak karya Ali Anwar, sejarawan Bekasi, berjudul Kemandirian Ulama Pejuang: Biografi KH. Noer Ali. Ali Anwar menuturkan, dia mengerjakan biografi KH Noer Alie sejak lulus kuliah tahun 1991. Dia juga sempat mewawancarai Noer Alie sebelum meninggal tahun 1992. Biografi itu dipublikasikan terbatas untuk santri-santri di Pesantren At Taqwa yang didirikan Noer Alie. Nina sebelumnya meminta izin Ali Anwar via telepon untuk meringkas biografi Noer Alie untuk proyek pencalonan Pahlawan Nasional. Ali Anwar memberi izin dengan catatan tak lebih dari 20 halaman. Namun yang terjadi tidak demikian. ”Nyatanya dia membuat satu buku tersendiri yang 80% diambil dari karya saya,” ujar Ali. Ali sempat mengadukan soal ini ke rektor Universitas Padjadjaran, pemerintah Kabupaten Bekasi, dan gubernur Jawa Barat. Namun, hingga kini tak ada jawaban. “Kalau pemerintah Kabupaten Bekasi sempat menawarkan penyelesaian secara kekeluargaan tapi saya tolak,” kata Ali. Hingga kini, Nina tak mau menanggapi tuduhan itu. Ketika sepekan lalu Historia mengajukan permintaan wawancara, dia hanya memberikan jawaban singkat via WhatsApp : “Mohon maaf saya tidak bisa memenuhi permintaan Saudara karena sedang ada kesibukan yang luar biasa.”
- Guntur Soekarnoputra Menikah Tanpa Ayah
PRESIDEN Joko Widodo tengah berbahagia. Putrinya, Kahiyang Ayu, telah melangsungkan pernikahan dengan Muhammad Affif Bobby Nasution pada Rabu, 8 Novemer 2017. Kebahagiaan itu bertambah lantaran dalam pernikahan di Gedung Graha Saba Buana, Solo, itu Jokowi sendiri menjadi wali nikah Kahiyang, tak mewakilkan. Kebahagiaan bisa menikahkan dan menyaksikan pernikahan anak seperti itu tak dialami Sukarno sewaktu anak sulungnya, Guntur Soekarnoputra, menikah. Ketika Guntur hendak menikah, Sukarno tidak bisa menghadiri pernikahan tersebut. Selain sedang sakit, Sukarno dilarang oleh rezim Soeharto. Menurut sineas yang menggemari sejarah Iman Brotoseno, pelarangan terhadap Sukarno disebabkan oleh ketakutan rezim Soeharto. Bila Sukarno bertemu banyak orang, dikhawatirkan bisa membangkitkan kembali memori tentang masa-masa Sukarno. Pasalnya, ketika pernikahan Rachmawati dilaksanakan, Sukarno sempat datang dan bertemu banyak orang. Penguasa lalu membatasi dia agar tak terlalu berbaur dengan tamu. “Lebih-lebih bulan Februari 1970 adalah masa-masa yang semakin keras dengan interogasi dan penjagaan,” kata Iman kepada Historia . Kondisi itu membuat Guntur akhirnya memilih mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang tak terdampak oleh transisi kekuasaan, untuk menjadi wali nikahnya. Pemilihan itu berangkat dari saran Sukarno. Sebelum menikah, Guntur menemui Sukarno untuk meminta restu. “Waktu itu sudah ada rekonsialiasi Guntur dengan Sukarno. Sebelumnya, Guntur ngambek karena Sukarno nikah dengan Hartini. Guntur membela ibunya dan tidak mau menemui ayahnya. Akhirnya rekonsiliasi dan Guntur mau datang lagi,” kata Iman. Menurut Puti Guntur Sukarno, memang ngambek dan membela ibunya tapi bukan tidak mau bertemu dengan Bung Karno. "Papa dan eyang masih sama-sama di Istana sampai mereka diultimatum harus keluar Istana dan mereka berdua punya gentleman agreement. Kalau papa jarang di Istana karena saat itu sudah kuliah di ITB," kata Puti kepada Historia. Ditemani ibunya, Fatmawati, Guntur datang menemui Hatta. Dia mengutarakan niat dan kondisi riil yang ada. “Ya, saya bersedia,” kata Hatta menjawab permintaan putra sulung sahabatnya itu sebagaimana dikenang Guntur dalam Bung Karno, Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku . Guntur tak menyangka Hatta menyanggupi permintaannya mengingat pertikaian politik antara Sukarno dan Hatta. Calon istri Guntur merupakan ratu kebaya Bandung, Henny Emilia Hendayani. Guntur mengenalnya ketika kuliah di ITB dan Henny kuliah di Jurusan Pertanian Universitas Padjadjaran. Masa pacaran mereka sangat sederhana. Saat kencan pertama, misalnya, Henny sempat gugup saat Guntur hendak menjemput. Henny berdandan rapi karena mengira Guntur akan menjemputnya dengan mobil dan mengajak makan di restoran mewah. Kenyataan jauh panggang dari api, Guntur menjemput Henny dengan skuter butut dan mengajaknya makan di warung pinggir Jalan Cikawao. Pernikahan mereka pun akhirnya berlangsung di Bandung pada Februari 1970, empat bulan sebelum Sukarno mangkat. “Pernikahan Guntur sederhana, waktu itu situasinya tidak memungkinakan teman-teman Bung Karno untuk datang lagi karena mereka agak menjauh. Setahu saya yang waktu itu datang adalah Ali Sadikin,” kata Iman. Menurut sejarawan Saleh As’ad Djamhari dalam “De-Sukarnoisasi dan Akhir Demokrasi Terpimpin”, termuat dalam Malam Bencana 1965, Hatta datang ke pernikahan Guntur dengan perasaan haru. Hatta menyadari kepedihan hati Sukarno yang tidak bisa menyaksikan putra sulungnya menikah.*
- Katakan Cinta dengan Kelopak Bunga
SUATU malam sebelum Rukmini dinikahkan dengan Raja Cedi, Kresna membujuk seorang dayang untuk menyerahkan surat kepada Rukmini. Ketika surat itu sampai, sang putri masuk ke kamarnya dan membaca surat cinta yang panjang dan penuh emosi itu. Rukmini terharu. Hatinya gelisah. Kresna memang sudah berniat melarikan Rukmini. Putri itu pun keluar lagi menuju taman. Seorang pelayan menyarankan dia menuliskan perasaannya di atas pudak supaya tersembunyi dari para putri yang akan menemaninya malam nanti di taman. Demikianlah Mpu Triguna melukiskan kisah cinta Kresna dan Rukmini dalam Kakawin Krsnayana sekira abad 12 M . Dalam banyak karya sastra klasik, khususnya di Jawa, surat menyurat telah menjadi hal biasa bagi sepasang kekasih untuk mengungkapkan perasaannya. Misalnya, dalam salah satu panil relief di Candi Panataran, Blitar, tergambar bagaimana cara sepasang perempuan dan laki-laki bertukar pesan. Seorang laki-laki yang mengenakan tutup kepala tekes menggenggam gulungan surat. Di depannya ada burung kakak tua. Di panil selanjutnya, burung itu terbang membawa gulungan surat itu. Ia menyebrangi ladang dan pepohonan. Di panil berikutnya, burung itu menyerahkan surat pada seorang panakawan yang berada di bawah seorang putri, kemungkinan majikannya. Ia mengambilkan surat itu dan menyerahkannya kepada sang putri. Di belakang putri, dua dayang menyaksikan. Meski tak jelas terbuat dari apa surat itu, banyak kakawin sering menyebut selembar pudak sebagai media untuk menyampaikan pesan sepasang kekasih. “Karena dalam hampir setiap kakawin terdapat sebuah kisah asmara dan dalam kisah-kisah asmara itu hampir selalu surat cinta macam itu terbang kian kemari,” tulis Petrus Josephus Zoetmulder, pakar Jawa, dalam Kalangwan. Menurut Zoetmulder pudak dinamakan juga ketaka atau ketaki dan cindaga. Pudak adalah bunga dari pohon yang mirip pohon nanas. Dia menyamakannya dengan pohon pandan. Pohon pandan memang sering masuk dalam deskripsi tentang alam di berbagai kakawin. Tanaman ini banyak tumbuh di sepanjang pantai atau sungai, di atas batu-batu karang yang muncul ke atas, hampir menyentuh permukaan air. Bentuk bunga pandan ( pudak ) tersusun dalam beberapa lapisan. Bunganya berwarna kuning, terbungkus semacam bungkus lonjong, yang pada satu ujung meruncing. Bunganya akan terlihat jika pelepah itu mekar. Daun bunga pudak yang panjang dan putih inilah yang dipakai sebagai media tulis. Pudak dipakai sebagai media tulis karena tak sulit mendapatkannya. Begitu pula dengan alat untuk menulisnya. Setiap benda tajam bisa digunakan untuk menulis. Misalnya, sebatang tusuk gading atau biasa disebut sadak. Alat ini sering menjadi hiasan rambut para perempuan. Selain sadak, duri pohon pandan juga bisa dipakai untuk menulis. Namun, pudak tidak awet karena daun bunganya cepat layu dan latarbelakangnya yang putih atau kuning mudah menjadi hitam, sama seperti tulisan di atas kulitnya. Setiap goresan tulisan seketika menjadi hitam sehingga pemakaiannya hanya sekali. “Khususnya surat cinta dalam bentuk kakawin singkat dan yang panjangnya tak lebih banyak dari beberapa bait saja atau menggambarkan wajah sang kekasih yang sedang dirindukan,” tulis Zoetmulder. Dengan begitu, pudak bukan media tulis bagi para penyair profesional melainkan bagi para amatir. “Pudak membuka kesempatan bagi para kekasih untuk mengungkapkan isi hatinya yang terpendam, tanpa meninggalkan tulisan yang tahan lama dan yang kemudian hari mungkin merepotkan mereka,” lanjut Zoetmulder. Dalam kebudayaan masa itu, pudak nampaknya lekat dengan urusan percintaan. Pudak, dalam berbagai karya sastra Jawa Kuno, sering diumpamakan betis seorang wanita bila kainnya terbuka sedikit. Pudak juga menjadi sebuah ungkapan, seperti dalam kakawin Sumanasantaka abad 13 karya Mpu Monaguna, tertulis: “Bila kau menjelma menjadi bunga pudak , aku akan merupakan tulisan di atas daunnya.”






















