Hasil pencarian
9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Pertarungan Dua Resimen
SUATU hari di Jakarta pada 1964. Batalyon II Resimen Tjakrabirawa (Tjakra) dari unsur KKo AL (Korps Komando Angkatan Laut) tengah berlatih terjun payung di Lapangan Banteng, Jakarta. Saat itulah, tetiba muncul satu truk berisi puluhan prajurit RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). Sembari berkeliling Lapangan Banteng, para prajurit muda tersebut mengeluarkan kata-kata ejekan kepada para anggota Tjakra. “Saya lihat sebagian dari mereka berjoget sambil memainkan pinggulnya mengejek kami…” kenang Kopral (Purn) Ali Mutaqiem, 75 tahun, kepada Historia . Jengah dengan prilaku kawan-kawan satu angkatannya, instruktur terjun payung Tjakra yang juga dari unsur Angkatan Darat (AD) lantas menghentikan truk tersebut. Namun baru saja truk berhenti, para prajurit Tjakra yang sudah tak bisa lagi menahan amarah, langsung menyerbu para prajurit RPKAD itu. Maka tak pelak lagi terjadilah perkelahian satu lawan satu yang berakhir dengan mundurnya anak-anak RPKAD ke arah Pasar Senen. Kendati sama-sama anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), RPKAD dan Tjakra memang tak pernah akur. Ada saja soal-soal yang membuat mereka bentrok, mulai soal ejek mengejek hingga rasa kesal karena perlakuan pemerintah pada saat itu yang kesannya lebih “memanjakan” Tjakra dibanding kesatuan-kesatuan lain termasuk RPKAD. Sebagai salah satu buktinya, menurut Kosim, 77 tahun, seragam Tjakra jauh lebih bagus dibanding tentara-tentara lain. Begitu juga soal fasilitas seperti senjata, makanan dan uang gaji. “Tapi soal baret, lucunya mereka awalnya minta dan meniru warna kebesaran kesatuan kami”ujar pensiunan Letnan RPKAD itu. Kata-kata Kosim memang benar adanya. Menurut AKBP Mangil Martowidjojo (Komandan Kawal Pribadi Resimen Tjakrabirawa) pada awal pendiriannya mereka memang mempergunakan baret merah RPKAD. “Letnan Kolonel CPM Sabur (Komandan Resimen Tjakrabirawa) pernah meminjam baret dari RPKAD, yang kemudian dicelup hingga menjadi merah tua. Inilah yang menjadi pembeda dengan baret warna merah darah milik RPKAD,” ujar Mangil dalam Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 . Nah, kemiripan warna baret inilah yang kerap menjadi masalah. Para anggota RPKAD berpendapat Tjakra tidak pantas memakai baret warna merah (yang untuk mendapatkannya saja perlu keringat dan darah dalam suatu seleksi pelatihan para komando yang sangat ketat). Sebaliknya prajurit Tjakra pun selalu merasa paling penting karena kedudukannya sebagai pelindung langsung keselamatan Presiden Sukarno. “Situasi tegang itulah yang kerap memicu konflik kecil-kecilan di antara para prajurit dari dua kesatuan ini di lapangan,” ungkap Kolonel (Purn) H.W. Sriyono, eks anggota Tjakra dari unsur Corps Polisi Militer (CPM). Bentrok yang paling besar terjadi di sekitar Pasar Senen dan Kwini pada 1964. Saat itu, menurut Jenderal (Purn) L.B. Moerdani alias Benny Moerdani, sekitar satu batalyon RPKAD berhasil menewaskan 10 prajurit KKo dan hampir saja menghancurkan markas besar kesatuan elit AL itu (yang juga dijadikan asrama Tjakra dari Yon II) dengan tembakan bazooka jika tidak dia cegah. “Benny dengan tegas memerintahkan anak buahnya untuk pulang kembali ke asrama mereka di Cijantung,” demikian menurut Julius Pour dalam Tragedi Seorang Loyalis . Namun soal ini dibantah keras oleh Ali Mutaqiem. Alih-alih mengakui versi yang diceritakan oleh Benny, ia malah menyebut dalam kejadian itu justru sepuluh korban tewas itu berasal dari RPKAD sedang dari pihak KKo hanya beberapa luka berat dan ringan. “Salah satunya adalah kawan saya yang sampai sekarang cacat akibat kejadian tersebut,” ungkap eks anggota Tjakra yang kala itu berpangkat Prajurit Satu. Ali juga masih ingat, Benny yang disebutnya “memimpin” penyerbuan itu sempat masuk dalam teleskop penembak runduk Yon II bernama Prajurit Dua Soekandar. Namun untunglah saat itu, Kapten Moeranto bisa mencegahnya. “Biar saya yang menangkap dia!” teriak Wakil Komandan Batalyon II Tjakra tersebut.
- Canting dari Sungai Kuning
PUTRI Ong Tien nelangsa. Sebagai istri wali Sunan Gunung Jati di Cirebon, dia belum juga beroleh keturunan. Untuk menghibur diri, kala senggang, dia melukis di kain. Corak batik hasil kreasinya kadang diberi warna-warna cemerlang seperti warna keceriaan musim semi di Tiongkok. Banyak dayang meniru motif ciptaan Ong Tien. Kini, kita mengenalnya sebagai motif mega mendung. Dari batik Cirebon, Pekalongan, hingga Lasem, pengaruh Tionghoa kental sekali dalam menambah kekayaan corak batik Nusantara. “Pengaruh budaya Tionghoa terhadap batik sangat kuat, terutama untuk batik pesisir, seperti batik Pekalongan atau batik Cirebon. Sebab, memang orang-orang di daerah pesisir yang aktif melakukan kontak dengan masyarakat luar, seperti dengan para pedagang asal negeri Tiongkok. Motif buket bunga pada batik pesisir itu kuat pengaruh Tionghoa,” kata Benny Gratha, asisten kurator Museum Tekstil Jakarta. Pekalongan atau dulu disebut Bandar Guminsang terkenal dengan batik encim. Tata warna dan motif khas Tionghoa terlihat pada ragam hias buketan (gambar bunga) dengan tata warna porselin Cina, kemudian motif burung hong , hingga cerita Sam Pek Eng Tay . Salah satu pengusaha Tionghoa terkemuka di Pekalongan adalah Oey Soe Tjoen. Mulai merintis sejak 1927 di wilayah Kedungwuni, perusahaan batik “Art” miliknya mampu bersaing dengan pengusaha batik keturunan Eropa macam Van Zuylen. Penggarapan tanahan , latar belakang dari desain utama, menjadi cirinya. Lasem, dikenal juga sebagai le Petit Chinois atau Cina Kecil, memiliki sejarah panjang tentang batik. Serat Badra Santi karya Mpu Santi Badra pada 1479 M, menyebut Na Li Ni, istri nahkoda dari Campa (kawasan Indo Cina) bernama Bi Nang Un, memberikan sentuhan Tionghoa dalam seni batik Lasem. Terlihat dari motif naga, burung merak, kilin (kuda-naga yang bertanduk dalam mitologi Cina), ayam, kupu-kupu, ikan emas, bunga Peony, dan bunga krisan. Motif dari Tionghoa tersebut berpadu-padan dengan motif geometris ala Jawa yang diwakili motif parang , kawung , pamor udan liris . Warna batik Lasem cukup beragam, seperti gelap-merah, biru, coklat muda, hijau, coklat gelap, dan ungu. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya , asal-usul teknik batik dan sejarahnya masih gelap. Teknik ini hanya didapati di Jawa namun itu pun pada zaman yang relatif mutakhir. Karenanya, dia berkesimpulan, “sulit bagi kita untuk menerima bahwa teknik merupakan ‘latar budaya’ Nusantara. Sebaliknya, berbagai argumen yang mengesankan adanya pengaruh India, atau Cina, masih sangat lemah.” Namun, Lombard juga menyebutkan, sejak abad ke-18 para pengrajin Cina berperan dalam produksi batik, khususnya di Cirebon dan Lasem. “… semua Jawa mengenal dengan baik berbagai motif yang diilhami oleh tradisi Cina yang telah mereka sebar luaskan,” tulisnya, menyebut contoh motif naga atau liong , swastika ( banji ), hingga mega mendung.
- Kerugian Nasional Akibat Genosida Politik 1965-1966
ADA dua arus besar penafsiran dalam perdebatan sejarah ihwal peristiwa 1965. Kelompok penafsir pertama berpendapat peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat 1 Oktober 1965 adalah puncak kekejaman PKI dalam sejarah politik Indonesia pascakemerdekaan. Dalam arus penafsiran itu, kekejaman tersebut melengkapi tabiat berontak sejak 1926, 1948 sampai 1965.
- Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S
BEBERAPA kali warganet mention ke akun twitter Historia menyoal mengapa tidak mencantumkan /PKI pada G30S. Sejak Reformasi, selain penghentian penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI , kurikulum tahun 2004 juga tidak lagi mencantumkan /PKI. Hal ini karena banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa pelaku peristiwa G30S tidak tunggal, sebagaimana versi Orde Baru yang menyebut PKI sebagai satu-satunya dalang di balik peristiwa berdarah itu. “Sukarno sendiri dalam Pidato Nawaksara mengatakan bahwa peristiwa G30S merupakan pertemuan tiga sebab, yaitu pimpinan PKI yang keblinger , subversi nekolim dan oknum yang tidak bertanggung jawab. Jadi, dalangnya tidak tunggal dan merupakan perpaduan unsur dalam negeri dengan pihak asing,” kata Asvi Warman Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Dari berbagai penelitian, setidaknya ada lima versi tentang pelaku G30S yaitu PKI, konflik internal Angkatan Darat, Sukarno, Soeharto, dan unsur asing terutama CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat). PKI Ini merupakan versi rezim Orde Baru. Literatur pertama dibuat sejarawan Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh bertajuk Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968). Intinya menyebut skenario PKI yang sudah lama ingin mengkomuniskan Indonesia. Buku ini juga jadi acuan pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer. Selain itu, rezim Orde Baru membuat Buku Putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara dan Sejarah Nasional Indonesia suntingan Nugroho Notosusanto yang diajarkan di sekolah-sekolah semenjak Soeharto berkuasa. Oleh karena itu, versi Orde Baru ini mencantumkan “/PKI” di belakang G30S. Para pelaku sendiri menamai operasi dan menyebutkannya dalam pengumuman resmi sebagai “Gerakan 30 September” atau “G30S”. Sebagai bagian dari propaganda Orde Baru, gerakan ini pernah disebut sebagai Gestapu (Gerakan September Tigapuluh). Penamaan ini adalah bagian dari propaganda untuk mengingatkan orang kepada Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang terkenal kejam. Presiden Sukarno mengajukan penamaan menurut versinya sendiri, yakni “Gerakan Satu Oktober” atau “Gestok.” Menurutnya, Gestok jauh lebih tepat menggambarkan peristiwanya karena kejadian penculikan para jenderal dilakukan lewat tengah malam 30 September yang artinya sudah memasuki tanggal 1 Oktober dini hari. Penyebutan G30S/PKI sebagai bagian propaganda untuk menegaskan bahwa satu-satunya dalang di balik peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat adalah PKI. Penamaan peristiwa ini selama bertahun-tahun digunakan dalam pelajaran sejarah sebagai satu-satunya versi yang ada. Penamaan tersebut menutup kemungkinan munculnya versi lain yang memiliki sudut pandang berbeda atas peristiwa yang terjadi. Kesimpulan tersebut diambil tanpa terlebih dahulu melewati sebuah penyelidikan. Sejarawan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto mengemukakan bahwa PKI sama sekali tidak terlibat secara kelembagaan. Sebagaimana semestinya sebuah keputusan resmi partai yang harusnya diketahui oleh semua pengurus, rencana gerakan Untung hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Struktur kepengurusan partai mulai dari Comite Central (CC) sampai dengan Comite Daerah Besar (CDB) tak mengetahui sama sekali adanya rencana itu. “Karena dia (Roosa) menggunakan sumber-sumber yang sangat kuat. Misalnya, keterangan pengakuan Iskandar Subekti, orang yang menulis pengumuman-pengumuman G30S di (Pangkalan) Halim. Dia juga menggunakan keterangan pengakuan Brigjen Supardjo. Artinya orang-orang yang betul-betul terlibat secara meyakinkan dalam kejadian tanggal 30 September 1965 sampai paginya itu,” kata Asvi. Konflik Internal Angkatan Darat Sejarawan Cornell University, Benedict ROG Anderson dan Ruth McVey mengemukakan dalam A Preliminary Analysis of the October 1 1965, Coup in Indonesi a atau dikenal sebagai Cornell Paper (1971), bahwa peristiwa G30S merupakan puncak konflik internal Angkatan Darat. Dalam Army and Politics in Indonesia (1978), sejarawan Harold Crouch mengatakan, menjelang tahun 1965, Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) pecah menjadi dua faksi. Kedua faksi ini sama-sama anti-PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Sukarno. Kelompok pertama, “faksi tengah” yang loyal terhadap Presiden Sukarno, dipimpin Letjen TNI Ahmad Yani, hanya menentang kebijakan Sukarno tentang persatuan nasional karena PKI termasuk di dalamnya. Kelompok kedua, “faksi kanan” bersikap menentang kebijakan Ahmad Yani yang bernafaskan Sukarnoisme. Dalam faksi ini ada Jenderal TNI A.H. Nasution dan Mayjen TNI Soeharto. Peristiwa G30S yang berdalih menyelamatkan Sukarno dari kudeta Dewan Jenderal, sebenarnya ditujukan bagi perwira-perwira utama “faksi tengah” untuk melapangkan jalan bagi perebutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan Angkatan Darat. Selain mendukung versi itu, W.F. Wertheim menambahkan, Sjam Kamaruzaman yang dalam Buku Putih terbitkan Sekretariat Negara disebut sebagai Kepala Biro Chusus Central PKI adalah “agen rangkap” yang bekerja untuk D.N. Aidit dan Angkatan Darat. Sukarno Setidaknya ada tiga buku yang menuding Presiden Sukarno terlibat dalam peristiwa G30S: Victor M. Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, October 1, 1965 (2004); Antonie C.A. Dake, The Sukarno File, 1965-67: Chronology of a Defeat (2006) yang sebelumnya terbit berjudul The Devious Dalang: Sukarno and So Called Untung Putsch: Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko (1974); dan Lambert Giebels, Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno. Menurut Asvi ketiga buku tersebut “mengarah kepada de-Sukarnoisasi yaitu menjadikan presiden RI pertama itu sebagai dalang peristiwa Gerakan 30 September dan bertanggung jawab atas segala dampak kudeta berdarah itu.” Ketika buku Dake terbit di Indonesia dengan judul Sukarno File (2005), keluarga Sukarno protes keras dan menyebutnya sebagai pembunuhan karakter terhadap Sukarno. Untuk menyanggah buku-buku tersebut, Yayasan Bung Karno menerbitkan buku Bung Karno Difitnah pada 2006. Cetakan kedua memuat bantahan dari Kolonel CPM Maulwi Saelan, wakil komandan Resimen Tjakrabirawa. Soeharto Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti Komando Daerah Militer V, Kolonel Abdul Latief dalam Pledoi Kolonel A. Latief: Soeharto Terlibat G30S (1999) mengungkapkan bahwa dia melaporkan akan adanya G30S kepada Soeharto di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim Jakarta pada 28 September 1965, dua hari sebelum operasi dijalankan. Bahkan, empat jam sebelum G30S dilaksanakan, pada malam hari 30 September 1965, Latief kembali melaporkan kepada Soeharto bahwa operasi menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal akan dilakukan pada dini hari 1 Oktober 1965. Menurut Latief, Soeharto tidak melarang atau mencegah operasi tersebut. Menurut Asvi, fakta bahwa Soeharto bertemu dengan Latief dan mengetahui rencana G30S namun tidak melaporkannya kepada Ahmad Yani atau AH Nasution, menjadi titik masuk bagi analisis “kudeta merangkak” yang dilakukan oleh Soeharto. Ada beberapa varian kudeta merangkak, antara lain disampaikan oleh Saskia Wierenga, Peter Dale Scott, dan paling akhir Soebandrio, mantan kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) dan menteri luar negeri. Dalam Kesaksianku tentang G30S (2000) Soebandrio mengungkapkan rangkaian peristiwa dari 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang dilakukan melalui empat tahap: menyingkirkan para jenderal pesaing Soeharto melalui pembunuhan pada 1 Oktober 1965; membubarkan PKI, partai yang memiliki anggota jutaan dan pendukung Sukarno; menangkap 15 menteri yang loyal kepada Presiden Sukarno; dan mengambilalih kekuasaan dari Sukarno. CIA Sebagai konsekuensi dari Perang Dingin tahun 1960-an, Amerika Serikat dan negara-negara Barat seperti Australia, Inggris, dan Jepang berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis. Amerika Serikat menyiapkan beberapa opsi terkait situasi politik di Indonesia. Menurut David T. Johnson dalam Indonesia 1965: The Role of the US Embassy , opsinya adalah membiarkan saja, membujuk Sukarno beralih kebijakan, menyingkirkan Sukarno, mendorong Angkatan Darat merebut pemerintahan, merusak kekuatan PKI dan merekayasa kehancuran PKI sekaligus menjatuhkan Sukarno. Opsi terakhir yang dipilih. Keterlibatan Amerika Serikat melalui operasi CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) dalam peristiwa G30S telah terang benderang diungkap berbagai sumber. Peter Dale Scott, profesor dari University of California, menulis US and the Overthrow of Sukarno 1965-1967 yang diterbitkan dengan judul CIA dan Penggulingan Sukarno (2004). Menurut Dale, CIA membangun relasi dengan para perwira Angkatan Darat dalam Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). Salah satu perwiranya adalah Soeharto. Sumber lain Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati (2001) karya wartawan Belanda Willem Oltmans. Juga buku Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S (2006) karya sejarawan Baskara T. Wardaya. Sejarawan John Roosa juga mengungkap bahwa pada akhir 1965 Amerika Serikat memberikan perangkat komunikasi radio lapangan yang sangat canggih ke Kostrad. Antenanya dipasang di depan markas besar Kostrad. Wartawan investigasi, Kathy Kadane dalam wawancaranya dengan para mantan pejabat tinggi Amerika Serikat di akhir 1980-an menemukan bahwa Amerika Serikat telah memantau komunikasi Angkatan Darat melalui radio-radio tersebut. CIA memastikan frekuensi-frekuensi yang akan digunakan Angkatan Darat sudah diketahui oleh National Security Agency (Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat). NSA menyadap siaran-siaran radio itu di suatu tempat di Asia Tenggara, dan sesudah itu para analis menerjemahkannya. Hasil sadapan itu kemudian dikirim ke Washington. Dengan demikian Amerika Serikat memiliki detil bagian demi bagian laporan tentang penyerangan Angkatan Darat terhadap PKI, misalnya, mendengar “komando-komando dari satuan-satuan intelijen Soeharto untuk membunuh tokoh-tokoh tertentu di tempat-tempat tertentu.” Amerika Serikat juga memberikan bantuan dana sebesar Rp50 juta (sekitar $10.000) untuk membiayai kegiatan KAP (Komite Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh) Gestapu. Selain itu, CIA juga memberikan daftar nama-nama tokoh PKI kepada Angkatan Darat.
- Hati-hati dengan Belati
BELATI, salah satu bentuk evolusi dari pisau potong, adalah salah satu senjata yang dipakai manusia dalam sebuah pertarungan. Ia memiliki dua sisi yang sama tajam dan meruncing di ujungnya. Biasanya belati tak lebih panjang dari 50 centimeter. Melihat bentuknya, belati cocok untuk pertarungan jarak dekat, seperti menusuk dan menikam lawan. Belati batu Para petarung Zaman Batu, sekira 20.000 SM, mencoba menciptakan senjata untuk pertahanan diri. Salah satunya belati yang terbuat dari batu; biasanya dipilih dari daerah berkapur. Guna mendapat tepi yang tajam, batu tersebut dipukulkan dengan batu lain hingga membentuk sisi yang tajam. Agar nyaman digenggam, gagangnya dililitkan kulit atau bagian otot hewan. Pugio Biasa dipakai tentara Romawi, dengan diikatkan di sisi kiri tubuh. Panjangnya tak lebih dari 30 centimeter. Bentuk mata belatinya seperti daun. Pugio menjadi senjata terakhir jika senjata utama, seperti pedang atau tombak, sudah lepas dari tangan. Namanya menjadi terkenal setelah digunakan Marcus Brutus, seorang senator, untuk menikam Gaius Julius Caesar (100-44 SM). Belati Iberia Para pandai besi dari kawasan Iberia di selatan Spanyol sejak abad ke-5 SM terkenal sebagai pembuat belati berbahan besi berkualitas. Bentuknya masih sederhana, dengan mata belati berbentuk segitiga dan menyambung dengan bagian gagangnya. Model belati Iberia ini kemudian diadopsi pasukan Hannibal dari Kartago, yang terletak di Mediterania dan menjadi pesaing utama Romawi. Belati Melayu Masyarakat Nusantara mengenal besi pada abad-abad terakhir sebelum masehi. Dari sinilah muncul pembuatan belati khas berbahan besi yang disebut keris. Selain besi, beberapa keris terbuat dari meteorit, pecahan batu meteor yang jatuh ke bumi, yang mengandung bahan logam semacam titanium. Keris memiliki bentuk bergelombang, dengan panjang sekira 40 centimeter. Di Jawa Barat terdapat kujang, sementara Aceh punya rencong. Quillon Berkembang di daratan Eropa pada abad ke-10. Mata belatinya ramping, dan terdapat semacam besi pembatas antara mata belati dan bagian yang digenggam untuk melindungi tangan ketika mengayunkan belati. Lalu di ujung bagian gagang yang digenggam terdapat logam yang biasanya berbentuk bulat. Fungsi logam ini, yang biasanya disebut pommel , untuk memukul balik lawan. Rondel Belati ini berkembang di Eropa, khususnya Inggris, sekira abad ke-13, dan biasa dipakai para ksatria. Mata belati bentuknya ramping, sederhana, meruncing di ujung. Sebagai penunjang duel jarak dekat, beratnya pun tak sampai setengah kilogram, dengan panjang sekitar 30 centimeter. Pegangannya sering dibuat dari tulang atau kayu. Stiletto Belati yang ramping ini berkembang di Italia, sekira 1600-an, diambil dari kata stilus atau alat menulis era Yunani kuno. Mata pisaunya ramping, terdiri dari tiga atau empat sisi, dan meruncing di ujung. Bentuknya yang sederhana menjadikannya mudah disembunyikan kala akan digunakan untuk menyergap musuh. Stiletto bisa menembus sela-sela baju zirah, sebab bentuk mata pisaunya yang ramping. Katar Belati dengan gagang atau pegangan berbentuk huruf ‘H’ ini berkembang di dataran Punjab, India. Mata belatinya sederhana, berbentuk segitiga, dengan ketajaman di kedua sisinya. Selain sebagai senjata, katar menunjukkan status pemakainya. Seorang pemburu harimau dari Punjab kadang hanya menggunakan katar sebagai senjata, yang menunjukkan tingkat keahlian dan keberaniannya. Ketika Inggris berkuasa di India, katar menjadi barang koleksi para kolektor dari Eropa. Belati Arkansas Belati dari Arkansas, Amerika Serikat, ini sering disebut “tusuk gigi dari Arkansas”. Model mata pisaunya sederhana, membentuk segitiga sama kaki dengan ujung runcing dengan memiliki panjang sekira 30 centimeter. Belati ini memiliki keseimbangan bentuk dan berat yang baik, sehingga cocok jika dilempar ke arah sasaran. Salah satu pembuat pisau ini adalah James Black (1800-1872) yang juga terkenal dengan pembuat pisau jenis Bowie. Gerber Model paling terkenal dari belati Gerber ini adalah Mark II, yang jadi favorit pasukan Amerika di palagan Vietnam. Nama Gerber diambil dari nama keluarga pembuat pisau Pete Gerber dari Oregon-Amerika Serikat. Pada 1968, Al Mar, seorang imigran China di Amerika dan mantan anggota cadangan pasukan khusus, bergabung dengan perusahaan Gerber dan merancang belati Gerber dengan tambahan gerigi.
- Fragmen DI/TII dalam Film Darah dan Doa
KH Said Aqil Siraj ikut berkomentar soal polemik penayangan kembali film Pengkhianatan G30S/PKI . Saat mengumumkan persiapan pelaksanaan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU 2017, Jumat (22/9/2017), Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu menyatakan setuju dengan penayangan kembali film itu sebagai bahan refleksi sejarah. Dia juga sepakat pada ide pembuatan ulang film tersebut. Hanya saja, Said Aqil menambahkan, kini sudah saatnya dibuat pula film-film lain yang juga menggambarkan peristiwa kelam yang penting dalam sejarah Indonesia. Dia menyebut perlunya dibuat film sejarah tentang pemberontakan yang dilakukan oleh DI/TII pimpinan SM Kartosoewiro, PRRI-Permesta, dan pemberontakan PKI di Madiun 1948, serta sejumlah peristiwa-peristiwa terorisme seperti bom Bali. Film-film tentang peristiwa sejarah kelam yang dialami Indonesia bukannya belum pernah dibuat. Setidaknya peristiwa pemberontakan DI/TII menjadi bagian cerita dalam film Darah dan Doa (1950). Film besutan Usmar Ismail itu merekam peristiwa long march Divisi Siliwangi dari Jawa Tengah kembali ke pos-pos mereka di Jawa Barat pada Desember 1948. Dalam Darah dan Doa digambarkan bahwa prajurit Siliwangi yang kembali ke basisnya itu belum mengetahui benar tentang DI/TII. Selama long march di daerah Jawa Tengah mereka hanya menghadapi serangan Belanda. Karenanya, ketika sampai di daerah Jawa Barat mereka tidak mengantisipasi akan adanya serangan dari DI/TII. Diceritakan, sepasukan Siliwangi pimpinan Kolonel Sudarto (Del Juzar) telah sampai di suatu desa di Jawa Barat. Kedatangan mereka disambut baik oleh penduduk dan lurah desa itu. Pasukan Kapten Sudarto yang kelelahan itu juga mendapat bantuan keamanan dari penduduk desa. Mereka dipersilakan istirahat dan tidur dengan penjagaan dari warga. Kapten Sudarto menyambut baik bantuan itu, tetapi sekondannya, Kapten Adam (R. Soetjipto) , memilih tetap siaga. Untuk menjaga kewaspadaan, Adam memerintahkan beberapa anak buahnya untuk tetap berjaga. Dia juga mengeluhkan Kapten Sudarto yang terlalu percaya diri dan gampang lengah. Kekhawatiran Adam terbukti manakala pada malam harinya segerombolan warga desa bersenjata menyergap pasukannya yang sedang terlelap. Tanpa mengetahui siapa sebenarnya musuhnya, mereka terpaksa melawan. Kapten Sudarto dan Adam yang kaget atas sergapan itu hanya bisa menduga-duga. “Apakah ini yang disebut Darul Islam itu?” kata Adam seraya bergegas mengambil senjata. Untungnya, meskipun tanpa persiapan memadai, pasukan Kapten Sudarto berhasil melawan. Tetapi, dia sendiri tertembak lengannya. Dalam pertempuran singkat itu, para pemberontak Darul Islam berhasil dilumpuhkan. Seorang pemimpin ditangkap dan disidang oleh Kapten Sudarto. Sidang memutuskan untuk mengeksekusi mati dengan ditembak. Sersan Sumbara Karta yang diperintahkan untuk mengeksekusi sangat tertekan. Sumbara mengatakan kepada Suster Widya dan seorang tentara bahwa orang yang akan dieksekusi itu adalah ayahnya. Kapten Sudarto merasa sangat menyesal. Fragmen dalam film Darah dan Doa itu bukan isapan jempol. Lepas Perjanjian Renville, militer Indonesia hijrah ke Jawa Tengah. Tetapi ada sebagian laskar yang menolak hijrah atau melucuti senjatanya. Di antara laskar-laskar itu adalah Hizbullah dan Sabilillah. Mereka tetap aktif di Jawa Barat ketika Divisi Siliwangi hijrah. Agar laskar-laskar ini tetap terkendali, Jenderal Soedirman mengangkat Sutoko sebagai koordinator laskar gerilya di Jawa Barat. Sayangnya, dia tidak begitu berhasil menjalankan tugasnya. Menurut sejarawan Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan , umumnya laskar-laskar itu menolak dilucuti dan tetap aktif. Situasi bebas itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh SM Kartosoewirjo untuk menggalang kekuatan DI/TII. “Bebas dari pengawasan aktif Tentara Republik di Jawa Tengah, dan terutama atas prakarsa Kartosuwiryo, kedua satuan ini mengadakan organisasi militer dan pemerintahan sendiri, yang dalam jangka satu tahun akan menjadi inti Negara Islam Indonesia,” tulis Van Dijk. Saat Divisi Siliwangi long march kembali ke Jawa Barat, laskar-laskar yang telah disatukan oleh Kartosoewirjo itu menghadangnya. Salah satu tujuan mereka adalah merebut senjata TNI untuk memperkuat Tentara Islam Indonesia. Sejauh itu, menurut Van Dijk, Kartosoewirjo belum secara terang-terangan memusuhi Republik. Tetapi, Kartosoewirjo dengan kekuatan politiknya menekan seluruh tentara dan laskar yang tetap tinggal di Jawa Barat untuk mengakui kekuasaannya. Yang menolak akan ditundukkan dengan kekerasan. “Maka, dengan mendadak dia menyerang sebuah kompi Tentara Republik yang tetap tinggal di Jawa Barat dan mendirikan markas besarnya di Banyuresmi dan mengusir mereka setelah menolak tiga kali berturut-turut untuk menyerah kepadanya,” tulis Van Dijk. Usai Agresi Militer Belanda II, Kartosoewirjo mulai berani menggunakan nama Negara Islam Indonesia. Karena itulah ketika Divisi Siliwangi sampai di Jawa Barat mereka disambut dengan pamflet-pamflet yang mendesak untuk bergabung dengan NII. Dan ketika menolak tentu saja mereka diperangi.
- Survei SMRC Membuktikan Mayoritas Orang Tidak Percaya PKI Bangkit
TAHUN-tahun belakangan, diskursus soal kebangkitan PKI mengemuka. Pada September atau Oktober hampir bisa dipastikan isu ini menjadi perbincangan hangat di media sosial. Masyarakat pun terbelah, antara yang percaya kebangkitan PKI dan yang kontra. Tetapi, bagaimana sikap masyarakat sesungguhnya tentang wacana kebangkitan PKI? Guna mengetahui opini publik secara nasional, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengadakan survei terkait isu kebangkitan PKI. Untuk itu, SMRC mensurvei 1.057 responden. Margin of error dari jumlah tersebut berkisar 3,1 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Responden dipilih secara acak dari 34 provinsi serta dari latar belakang etnis, agama, dan tempat tinggal yang mencerminkan populasi nasional Indonesia. Hasilnya, didapat data 86,8 persen warga responden tidak memercayai bahwa PKI sedang bangkit kembali. Sementara itu 12,6 persen warga responden percaya sekarang PKI sedang mencoba bangkit. Sisanya sebesar 0,6 persen menjawab tidak tahu. “Artinya overwhelming majority warga Indonesia tidak setuju dengan pendapat bahwa PKI bangkit lagi. Mereka tidak percaya ada kebangkitan PKI,” ujar Sirojudin Abbas, peneliti SMRC, dalam pemaparan temuan surveinya pada Jumat (29/9/2017) di kantor SMRC, Menteng, Jakarta Pusat. Lebih jauh, survei SMRC juga menyebut lebih detil tentang profil warga yang percaya pada “sedang terjadi kebangkitan PKI” itu. Data-data menunjukkan bahwa opini tentang adanya kebangkitan PKI lebih banyak terdapat pada warga yang intens mengikuti berita di media massa, terutama internet dan koran. Mereka ini mayoritas adalah warga perkotaan dan berusia muda (di bawah 21 tahun hingga 25 tahun). Mereka juga mayoritas adalah berpendidikan tinggi, sejahtera. Sementara wilayah provinsi yang paling banyak terdapat opini kebangkitan PKI adalah di DKI Jakarta dan Banten. Menilik hasil ini Syamsuddin Haris, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, berkomentar, “Isu kebangkitan PKI ini adalah isu dunia maya, bukan di dunia nyata. Ini sesuatu yang diada-adakan untuk kepentingan politik tertentu.” Pendapat Syamsuddin Haris itu didasarkan pada temuan SMRC lainnya terkait preferensi politik warga yang setuju dan tidak setuju “adanya kebangkitan PKI”. SMRC mendapati hasil bahwa warga yang percaya kebangkitan PKI dengan persentase terbesar ada pada pemilih PKS, Gerindra, dan PAN. Juga pada fenomena dikaitkannya Presiden Joko Widodo dengan PKI. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa opini kebangkitan PKI di masyarakat tidak terjadi secara alamiah, melainkan hasil mobilisasi opini kekuatan politik tertentu. Karena, bila keyakinan adanya kebangkitan PKI itu alamiah maka keyakinan itu akan ditemukan secara proporsional di antara semua eksponen politik. Atas temuan survei SMRC tersebut Salim Said, guru besar ilmu politik Universitas Pertahanan, berkomentar, “Tidak ada perubahan sosial politik di Indonesia tanpa mobilisasi. Ini tentu saja dimobilisasi oleh elite. Pada akhirnya ini adalah permainan elite.” Salim Said sendiri dalam banyak kesempatan berulangkali menegaskan bahwa PKI dan ideologinya sudah bangkrut. Meski begitu, isu kebangkitan PKI yang dipolitisasi tetap harus diwaspadai dan disikapi dengan bijak. Menyambung Salim Said, Syamsuddin Haris juga mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada indikasi-indikasi nyata bahwa PKI akan bangkit. Tetapi, “Isu ini berpotensi memecah-belah jika tidak dikelola secara bijak,” ujar Syamsuddin Haris.
- Ricuh Komunisme di KAA Bandung
PERDEBATAN soal komunisme kembali marak mendekati akhir September dan awal Oktober ini. Situasi tersebut terjadi di jagad dunia maya hingga layar kaca televisi. Perdebatan yang sama pernah terjadi satu dekade sebelum tragedi 1965. Itu berlangsung dalam pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Ketika itu, sejumlah negara-negara antikomunis menyerang delegasi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang diketuai oleh Perdana Menteri Zhou Enlai, secara verbal lewat pidato-pidato pembuka. Dalam pidato-pidatonya wakil dari Irak, Filipina, Pakistan dan Thailand, menyatakan bahwa kolonialisme dan imperialisme tidak boleh dipisahkan pula dengan kebijakan-kebijakan luar negeri Uni Soviet yang juga cenderung bersifat imperialisme. Mereka juga menyebut bahwa imperialisme tidak hanya dilakukan negara-negara barat, namun juga negara-negara blok timur. Karena itu, mereka memperingatkan forum KAA ini tidak boleh dimanfaatkan untuk propaganda komunisme. “Pidato-pidato keras tentang antikomunis disampaikan di hari pembuka Konferensi Asia Afrika di Bandung, Indonesia oleh Menlu Irak Fadhil Jamal, Perdana Menteri Pakistan Mohammed Ali, perwakilan Filipina Carlos Romulo dan Menlu Thailand Pangeran Wan Waithayakon. Jelas dari pidato-pidato itu bahwa mereka tidak ingin konferensi berkembang menjadi kendaraan propaganda komunis. Selain mengkritisi kolonialisme barat, dia juga memperingatkan imperialisme komunis sebagai bahaya besar terhadap negara-negara baru di Asia dan Afrika,” tulis majalah Philippines Free Press yang turut meliput KAA Bandung. Menhadapi berbagai serangan itu, Zhou Enlai yang sebelumnya tidak berniat ikut memberi pidato pembuka, angkat bicara. Dia menyatakan secara tegas bahwa tak akan ada propaganda komunis di forum KAA. “Sebenarnya Zhou Enlai ingin melewatkan haknya menyampaikan pidato pembuka. Namun sementara yang lain berpidato dan mengekspresikan sikap mereka terhadap komunisme, Zhou En Lai berdiri dan menyatakan bahwa dia berhak menyampaikan pidato pembelaan,” ungkap Lisandro E. Claudio mengutip memoar Sir John Kotelawala dalam Liberalism and the Postcolony . Zhou menyatakan bahwa kehadirannya di KAA Bandung bukan untuk mempromosikan paham komunis. Perdebatan menjadi ricuh saat Menteri Luar Negeri Irak Fadhil Jamali terus-menerus menyerang Zhou dan kebijakan negaranya yang represif. Begitu emosionalnya Jamail, sampai-sampai harus “diajak” keluar oleh diplomat Indonesia, Abdul Rahman Baswedan. Baswedan lantas membawa Menlu Irak itu untuk berdiskusi dengan tokoh-tokoh nasional macam M Natsir, Parwoto dan M Roem. Dalam agenda tukar pikiran itu, Fadhil Jamali juga mencurahkan ketidaknyamanannya semenjak tiba di Bandara Kemayoran Jakarta, sebelum menghadiri KAA di Bandung. Diungkapkan Sutarmin dalam Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya, Menlu Irak menguraikan keheranannya pula bahwa Indonesia yag dipimpin oleh seorang Ahmad Sukarno, membolehkan partai komunis ikut Pemilu 1955. Menlu Irak itu juga menceritakan bahwa dia tak nyaman karena terlalu banyak melihat atribut-atribut kampanye PKI dalam perjalanannya dari Jakarta ke Bandung. M Roem pun mencoba memberi penjelasan bahwa Indonesia sebagai negara demokratis, memberi kesempatan pada partai apapun untuk ikut Pemilu. “Ya, tuan punya demokrasi membikin partai komunis besar dan kelak akan merebut kekuasaan pemerintah,” cetus Jamali memotong penjelasan M. Roem. Dia juga melanjutkan kecamannya kepada komunisme sebagai ideologi yang tak boleh diberikan ruang untuk hidup. “Di Irak, kami tidak memberi kesempatan sedikit pun pada gerakan komunis. Begitu kelihatan muncul, segera kita injak,” ujarnya seraya memperagakan gerakan hentakan kaki ke tanah.
- Amukan di Nusa Dewata
Data dari Kementerian Sosial (Kemensos) RI, sampai pada Senin (25/9/2017), pengungsi bencana gunung Agung sudah mencapai 60 ribu jiwa. Menurut para ahli vulkanologi, gunung Agung berpotensi meletus dan dikhawatirkan berdampak buruk sebagaimana letusan gunung yang sama pada 54 tahun lampau. Dalam catatan sejarah Nusantara, amukan gunung yang dikeramatkan di pulau dewata itu sudah terjadi empat kali.Mulai pada tahun 1808, 1821, 1843 dan yang paling dahsyat terjadi pada 18 Februari 1963. Bencana yang berlangsung hingga 1964 itu memakan korban jiwa sekira 1.148 orang. Saat itu, letusan pertama gunung Agung terdengar pada 18 Februari dengan hanya menyemburkan asap. Enam hari berselang, kawah Gunung Agung mulai meluberkan lava yang turun hingga mencapai jarak 7 kilometer dalam kurun 20 hari berikutnya. Pada 17 Maret, gunung tersebut bererupsi dengan skala 5 VEI (Indeks Letusan Vulkanis), seraya melontarkan pasir, hingga bebatuan vulkanis mencapai 8-10 kilometer ke udara. Tidak ketinggalan disusul semburan “Wedhus Gembel” alias awan panas. Fase itu yang menyebabkan kematian nyaris 1.500 orang. Dalam laporan dua ahli geologi dari ITB dan Survei Geologis Indonesia, MT Zen dan Djajadi Hadikusumo pada 1964, turut disebutkan 200 orang lainnya meninggal akibat lahar dingin yang disebabkan hujan deras pasca-erupsi. “Neraka” di nusa Dewata belum berhenti sampai di situ. Kondisi puluhan ribu pengungsi teramat memprihatinkan. Situasi yang lantas kian memperburuk kondisi ekonomi rakyat di Bali yang sebelum letusan Gunung Agung-pun, tidak bisa dibilang baik. “Pada Oktober 1963 dilaporkan ada 98.792 pengungsi internal, 15.595 penderita kekurangan gizi yang parah dan 122.743 penderita kekurangan gizi yang sudah gawat,” tulis surat kabar Suara Indonesia 21 Oktober 1963. Tidak hanya gelombang pengungsian, gelombang pengangguran juga terjadi di mana-mana. Betapa tidak, lahan pertanian sekira 25 ribu hektare musnah dan 100 ribu hektare lainnya takkan lagi bisa digarap dalam jangka waktu tahunan. “Kami harus memberi makan 85.000 pengungsi dan kami semata-mata tidak punya makanan untuk itu,” cetus Gubernur Bali Bagus Sutedja, sebagaimana dikutip Disaster in Paradise oleh PW Booth, RE Sisson and SW Matthews yang dimuat majalah National Geographic edisi 124 tahun 1963. Padahal sebelum amukan tersebut, kondisi masyarakat setempat juga sedang tiarap. Geoffrey Robinson dalam Sisi Gelap Pulau Dewata menuliskan, wabah tikus, serangan hama dan gagal panen sudah datang silih berganti sejak 1962 hingga 1965. “Di desa-desa yang menghasilkan surplus beras pun, petani miskin hanya sedikit makan nasi atau tidak sama sekali. Laporan mengenai kematian akibat kelaparan dan merajalelanya kekurangan gizi kian lazim terbaca di berita-berita koran selepas 1963, walaupun laporan semacam itu di media nasional dibatasi oleh keinginan melestarikan citra tentang Bali yang subur dan harmonis,” tulis Robinson.
- Pahlawan yang Taat Agama
RIAN Ekky Pradipta (30), atau lebih dikenal dengan Rian d’Masiv, bukan hanya dikenal sebagai vokalis band d’Masiv tapi juga pencipta lagu. Karya-karyanya menghiasi kelima album d’Masiv. Dia juga menciptakan lagu yang dibawakan penyanyi tenar lainnnya seperti Noah, Iwan Fals, hingga Afghan. Baru-baru ini lagu berjudul “Musnah” dibuatnya untuk album grup band Nidji. Di tengah kesibukannya bermusik, Rian menyimpan kekaguman pada sosok pahlawan nasional Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro, lahir 11 November 1785 dengan nama B.R.M. Antarwirya, adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwono III, raja ketiga dari Kesultanan Yogyakarta. Dia dikenal karena memimpin Perang Jawa (1825-1830), perlawanan besar terakhir terhadap dominasi Belanda di Jawa sekaligus yang memakan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak. Sebagai seorang muslim yang saleh, Diponegoro tak senang dengan kendurnya religiusitas di istana akibat pengaruh Belanda, di sampng kebijakan-kebijakan pro-Belanda yang dikeluarkan istana. Bagi Diponegoro dan para pengikutnya, perang ini merupakan perang jihad. Sisi ketaatan beragama ini pula yang menarik perhatian Rian. Menurutnya, selain sebagai pahlawan nasional, ada sisi lain yang patut diteladani dari sosok Diponegoro. “Dia taat beragama,” ujar Rian, ketika ditemui seusai peluncuran album Nidji teranyar, “Love, Fake & Friendship” di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Dari mana Anda mengenal Pangeran Diponegoro? Cuma dari buku sejarah, waktu sekolah. Apa yang paling bisa diingat ketika mendengar namanya? Sosoknya yang selalu digambarkan pakai baju putih dengan sorban. Tapi kalau detil ceritanya aku tahu dia berani dan taat agama. Apa menariknya sosoknya Diponegoro? Dia pahlawan. Tapi sebenarnya nggak cuma melawan penjajah, yang kesatria dan gagah berani. Dari segi agama, dia orang yang taat beragama. Apa yang bisa direfleksikan dari perjuangannya untuk masa sekarang? Keberaniannya, tapi bukan berarti harus menyakiti. Melawan penjajahan di masa sekarang butuh kecerdasan, menahan emosi, dan kasih contoh yang baik. Nggak harus lagi pakai fisik. Jadi melawan dengan soft power . Menurut Anda pengenalan tokoh pahlawan ini kurang nggak sih? Kurang ya. Apalagi lewat hiburan, seperti film. Seringnya Sukarno. Kalau pahlawan Indonesia yang lain jarang. Mungkin kurang informasi. Membuatnya jadi film itu kan sulit, kalau bikinnya nggak sesuai banyak yang protes. Jadi harus benar-benar apa ya... real .
- Akhir Tragis Koran Marhaenis
SUATU hari di tahun 1964, ratusan eksemplar Suluh Indonesia (disingkat menjadi Sulindo, surat kabar milik Partai Nasional Indonesia) edisi terbaru ditemukan berserakan sepanjang jalur kereta api di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari para informan terpercaya, Satya Graha mendapat kabar bahwa itu merupakan ulah para buruh kereta api yang berafiliasi ke SOBSI (organisasi buruh yang terkait dengan PKI). Mereka mendapat perintah dari pihak Harian Rajat , koran kiri yang merupakan saingan berat Sulindo . “Cara mereka memang kasar, maka saya putuskan untuk membalas aksi mereka tersebut,” ujar wakil pemimpin redaksi Sulindo kala itu. Satya lantas meminta tolong kepada para buruh kereta api yang berafiliasi dengan KBM (organisasi buruh yang merupakan onderbouw Partai Nasional Indonesia). Permintaannya, agar para buruh marhaenis itu “menahan” koran Harian Rajat supaya terlambat datang ke pelosok-pelosok tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. “Dibandingkan aksi mereka sebelumnya, cara saya itu bisa dikatakan masih halus lho,” kata Satya. Rupanya aksi balasan tersebut sampai ke telinga Presiden Sukarno, yang secara pribadi memang dekat dengan Satya. Maka pada suatu pagi, usai sarapan, Sukarno pun memanggil Satya. “Satya, kamu sekarang sudah mulai komunistophobia juga ya?” selidik Bung Karno “Lho, maksudnya bagaimana, Pak?” “ Aku dengar kamu mulai menyusahkan Harian Rajat. ” Mendengar jawaban Bung Karno tersebut, Satya langsung maklum: ia telah dilaporkan oleh orang-orang PKI. Tanpa ragu ia lantas menceritakan duduk persoalan pertamanya mengapa semua itu terjadi. Lantas bagaimana reaksi Bung Karno? “Ia diam saja, tapi sepertinya paham dengan apa yang saya sampaikan,” ujar Satya. Sulindo memang kerap memilih “jalur keras” terkait dengan PKI. Saat ramai-ramainya aksi sepihak yang dilakukan oleh aktivis-aktivis tani komunis, Sulindo pun tampil mengecam aksi-aksi tersebut sebagai “revolusi kebablasan”. Bahkan bukan PKI saja, Bung Karno pun sempat “kena sikat” Sulindo . Ceritanya, saat Si Bung menikahi Hartini pada 1953, Sulindo secara berani memuat artikel yang dikirim tokoh perempuan nasionalis, S.K.Trimurti, berjudul “Kambing Tua Memakan Daun Muda”. Akibatnya, Satya dilarang untuk datang ke Istana Negara selama tiga bulan oleh Kolonel R.H. Sugandhi, salah satu pengawal Presiden Sukarno. Kala bandul PNI mengarah ke kiri, tak jarang Sulindo mendapat peringatan dari beberapa tokoh partai karena tetap memelihara kekritisannya kepada PKI. Namun karena kedekatan dan kepercayaan Ali Satroamidjojo (ketua umum PNI hasil Kongres Purwokerto) kepada Satya Graha, lelaki yang pernah mengikuti kursus jurnalistik di Inggris tersebut memilih tetap jalan terus. Namun sikap kritis itu pun tidak serta merta menjadikan Sulindo dan Satya mendapat tempat di kalangan kanan PNI. Malah sebaliknya, menurut Nazaruddin Sjamsuddin dalam PNI dan Perpolitikannya , Satya Graha pernah disebut-sebut oleh orang-orang sayap kanan PNI sebagai “orang yang diselundupkan PKI” ke tubuh PNI. “Ya memang, Pak Osa Maliki (tokoh sayap kanan PNI) pernah menjuluki saya sebagai 'kuda troya' kaum komunis,” kata Satya. Juli 1965, terjadi pembersihan oleh orang-orang sayap kiri di tubuh PNI. Sebagai kader yang pro kubu Osa Maliki, atasan Satya yakni Isnaeni pun tidak lepas dari sapu pembersih: ia diturunkan sebagai Pemred Sulindo . Yang mengejutkan, Ali Sastroamidjojo menunjuk Satya Graha sebagai pengganti Isnaeni. Sabtu, 2 Oktober 1965, Presiden Sukarno mengangkat Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker Menteri Panglima Angkatan Darat menggantikan Letjen TNI Ahmad Yani yang saat itu masih belum jelas keberadaannya. Namun di lain pihak, Markas Besar Angkatan Darat justru menetapkan Panglima Kostrad, Mayjen TNI Soeharto sebagai pengganti Ahmad Yani. Tentu saja situasi tersebut menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat, termasuk media massa. Namun, sebagai pemred, Satya Graha tak ingin lama-lama diombang-ambing ketidakjelasan. Untuk memenuhi unsur keadilan dalam pemberitaan maka ia memutuskan Sulindo memuat kedua versi pengangkatan tersebut pada edisi Minggu, 3 Oktober 1965. “Saya tak menyangka koran yang memuat berita tersebut menjadi penerbitan kami yang terakhir, setelah itu koran kami berakhir tragis: tenggelam dan sebagian awaknya ditangkapi, termasuk saya,” kenangnya.
- Soeharto Ingin Bangun Pabrik Senjata Buatan Amerika
PRESIDEN Amerika Serikat Richard Nixon mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada 27-28 Juli 1969. Dua hari sebelumnya, Nixon mendeklarasikan Doktrin Guam atau Doktrin Nixon. Doktrin tersebut menyerukan kepada negara-negara Asia untuk meningkatkan pertahanannya sehubungan dengan penarikan pasukan Amerika Serikat dari Vietnam.






















