top of page

Hasil pencarian

9592 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Mau Menikahi Megawati, Ini Syaratnya!

    PADA 30 September 1965 malam, Presiden Sukarno didaulat untuk berpidato di depan Musyawarah Nasional Teknik (Munastek) di Istora, Senayan. Bung Karno, seperti biasa, selalu memikat dalam setiap pidatonya. Dia bahkan membukanya dengan lagu irama lenso Mari Bergembira yang diciptakannya sendiri.  Menurutnya, kemampuan teknik mutlak dibutuhkan oleh sebuah bangsa. Dalam kesempatan yang sama dia mengatakan revolusi kemerdekaan telah berhasil menghancurkan sistem imperialisme yang bertahun-tahun berkuasa di Indonesia. Perjuangan berikutnya adalah menentang alam dan menundukan alam supaya bersahabat. Karena dengan demikian alam bisa bersahabat untuk menciptakan kemakmuran rakyat. “He kaum teknisi, sadarilah hal ini. Bahwa sekarang ini, saudara-saudara, kita berjuang menundukan alam, menundukan angin, menundukan gempa, menundukan laut, menundukan udara...semuanya kita tundukan, jadikan sahabat kita yang membantu  kepada kita,” ujar Bung Karno. Dia juga menegaskan bahwa tanpa kemampuan teknik yang mumpuni, kemakmuran dan keadilan bakal sulit dicapai. “Sosialisme tidak bisa dibina tanpa pengetahuan teknik.” Karena alasan itu pula Bung Karno mendidik kedua anaknya, Guntur dan Megawati, agar membantu mewujudkan sosialisme di Indonesia. Kepada kedua anaknya itu dia mewanti-wanti agar belajar serius demi tercapainya Indonesia yang makmur dan adil. Dengan bangga Bung Karno mengisahkan dua anaknya tersebut yang juga memilih kuliah di jurusan teknik. Dia menuturkan, “Guntur Sukarnaputra, mahasiswa ITB, jurusan teknik. Megawati milih jurusan teknik pertanian. Megawati –saya panggil dia Dis... Dis, engkau harus bantu di dalam usaha rakyat mendatangkan sosialisme Indonesia yang cukup sandang, cukup pangan.” Kendati menyampaikan hal-hal serius dalam pidatonya, Bung Karno tak lupa menyelipkan canda yang mengundang derai tawa peserta Munas. Sambil menujukan jarinya kepada para peserta Munas yang berjaket kuning (kemungkinan mahasiswa Universitas Indonesia), presiden pertama Republik Indonesia itu mengajukan satu syarat kepada mereka apabila mau mempersunting Megawati sebagai istri. “ Dus , he pemuda-pemuda, itu yang baju kuning itu, kalau engkau tidak jurusan teknik, jangan ngelamar Megawati, ya!” kata Presiden Sukarno disambut tawa para peserta. Dalam otobiografinya Penyambung Lidah Rakyat , Bung Karno juga beberapa kali menyebut anak perempuannya itu. Dia mengisahkan tentang kemahiran Megawati menari. “Megawati, yang biasa kupanggil Ega, pandai menari dan tariannya menggairahkan," kata Bung Karno kepada Cindy Adams, penulis otobiografinya. Megawati Sukarnoputri menikah pertama kali dengan Letnan Satu Surindro Supjarso, seorang pilot pesawat TNI AU yang tewas dalam tugasnya menerbangkan pesawat Skyvan T-701 di perairan Biak, 22 Januari 1970. Ia kemudian menikah lagi dengan Hasan Gamal, seorang diplomat Mesir. Pernikahan keduanya ini tak berlangsung lama setelah mereka memutuskan berpisah. Suami ketiga Megawati adalah Taufiq Kiemas, aktivis politik yang pernah menjabat ketua MPR periode 2009-2014. Taufik wafat  8 Juni 2013 pada usia 70 tahun.

  • Begini Naskah Proklamasi Dirumuskan

    SEKIRA pukul 02.00 tanggal 17 Agustus 1945. Sukarno, Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, mBah Soediro (sekretaris Subardjo), Sukarni, dan B.M. Diah; serta pihak Jepang terdiri dari Laksamana Tadashi Maeda, Shigetada Nishijima, Tomegoro Yoshizumi (dari Kaigun Bukanfu atau kantor Penghubung Angkatan laut dan Angkatan Darat); dan Miyoshi (Angkatan Darat Jepang), berkumpul di ruang makan rumah Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1 Menteng Jakarta Pusat. “Sekarang meja bundar tersebut duduklah Sukarno, Hatta, Maeda dan Miyoshi, dan saya sendiri,” kata Subardjo dalam Lahirnya Republik Indonesia . Menurut Hatta, waktu panitia lima bekerja, Maeda mengundurkan diri ke tingkat kedua, mungkin ke kamar tidurnya. Sedangkan Miyoshi masih tinggal, duduk tidak jauh dari mereka. Dia mungkin mendengarkan segala yang dipersoalkan, tetapi dia diam saja. Dia pun mengerti bahwa penyusunan teks Proklamasi itu bukanlah hal yang harus dicampurinya. “Miyoshi lebih dulu pulang ke rumahnya waktu kami pindah ke ruang tengah. Tetapi dia sudah tahu, bahwa rapat larut malam itu ialah akan mengesahkan teks Proklamasi yang dibuat, yang dilihatnya dari dekat,” kata Hatta dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Maeda dan Nishijima mengaku ikut membahas naskah Proklamasi, namun ketika ditahan dan diinterogasi oleh Belanda mereka bungkam. Keterlibatan mereka tidak pernah diakui oleh pihak Indonesia kemungkinan untuk menghindari tudingan Belanda bahwa kemerdekaan Indonesia bentukan Jepang. Dan memang sejak awal pun Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia sebagai bentukan Jepang. Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, dan hanya mengakui penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949. Ketika naskah Proklamasi dirumuskan, anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan beberapa pemuda, menunggu di ruangan tengah dan serambi rumah. Menurut Hatta yang hadir dalam perumusan naskah Proklamasi adalah Sukarno, Hatta, Subardjo, Sukarni, dan Sayuti Melik. “Kami duduk sekitar sebuah meja dengan maksud untuk membuat sebuah teks ringkas tentang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Tidak seorang di antara kami yang membawa dalam sakunya teks Proklamasi yang dibuat pada 22 Juni 1945, yang disebut Piagam Jakarta,” kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku . Menurut Subardjo, teks Proklamasi telah dirumuskan dalam Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. “Rumusan ini adalah hasil dari pertimbangan-pertimbangan mengenai Kata Pembukaan atau Bab Pengantar dari Undang-Undang Dasar kita oleh sembilan anggota Komite dimana Sukarno sendiri adalah ketuanya.” “Masih ingatkah saudara teks dari bab Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar kita?” tanya Sukarno kepada Subardjo. “Ya, saya ingat, tetapi tidak lengkap seluruhnya,” jawab Subardjo. “Tidak mengapa, kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang menyangkut Proklamasi dan bukannya seluruh teksnya,” kata Sukarno. “Aku persilakan Bung Hatta menyusun teks ringkas itu sebab bahasanya kuanggap yang terbaik,” kata Sukarno. “Sesudah itu kita persoalkan bersama-sama. Setelah kita memperoleh persetujuan, kita bawa ke muka sidang lengkap yang sudah hadir di ruang tengah.” “Apabila aku mesti memikirkannya,” kata Hatta, “lebih baik Bung menuliskan, aku mendiktekannya.” Semuanya setuju. Sukarno memegang pena dan menulis teks Proklamasi yang kalimatnya terdiri dari dua ayat. Kalimat pertama diambil dari akhir alinea ketiga rencana Pembukaan Undang-Undang Dasar yang mengenai Proklamasi: “Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia” adalah kalimat yang diingat Subardjo dari Piagam Jakarta yang antara lain berbunyi: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya. ” “Kami tidak mencari pena bulu ayam agar sesuai tradisi,” kenang Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . “Kami bahkan tidak menyimpan pena bersejarah yang dipakai menuliskan kata-kata yang akan hidup abadi itu. Aku tahu, para presiden Amerika Serikat membagi-bagikan pena yang telah digunakan untuk menandatangani undang-undang penting; tetapi aku, yang menghadapi momen penting dalam sejarah itu bahkan tidak ingat dari mana datangnya pena yang kupakai. Kukira aku meminjamnya dari seseorang.” Bagaimana dengan kertasnya? “Pernyataan (Proklamasi) ini tidak dipahatkan di atas perkamen dari emas,” kata Sukarno. “Kalimat-kalimat ini hanya digoreskan pada secarik kertas. Seseorang memberikan buku catatan bergaris-garis biru seperti yang dipakai pada buku tulis anak sekolah. Aku menyobeknya selembar dan dengan tanganku sendiri menuliskan kata-kata Proklamasi di atas garis-garis biru itu.” Hatta mengatakan, kalimat itu (Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia) hanya menyatakan kemauan bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. “Ini tidak cukup dan merupakan suatu pernyataan abstrak tanpa isi. Kita harus mengantar kemerdekaan kita pada pelaksanaan yang nyata dan kita tidak mungkin dapat berbuat demikian tanpa kekuasaan berada di tangan kita. Kita harus menambahkan pikiran tentang penyerahan kekuasaan dari Jepang ke dalam tangan kita sendiri,” kata Hatta. Lalu Hatta mendiktekan kalimat: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya” Jadi, konsep (klad) naskah Proklamasi yang ditulis tangan Sukarno, sebagai berikut: Proklamasi Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-2 yang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja. Djakarta, 17-8-05 Wakil-2 bangsa Indonesia Menurut anggota PPKI, Iwa Kusuma Sumantri dalam otobiografinya Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah , semula Sukarno dan Hatta akan memberikan judul pernyataan kemerdekaan itu dengan “Maklumat Kemerdekaan”. “Saya mengusulkan agar pernyataan kemerdekaan ini diberi judul Proklamasi,” kata Iwa.

  • Melacak Jejak Silam Freeport Mengeksploitasi Bumi Papua

    PADA 1959, Jean Jacques Dozy, seorang geolog anggota Ekspedisi Colijn yang pernah melakukan pendakian ke Puncak Cartenz pada 1936, kedatangan seorang tamu. Si tamu tadi bertanya kepadanya tentang keadaan Papua yang pernah dikunjunginya. “Katanya Anda pernah mengunjungi New Guinea (nama Papua saat itu,  red. ) dan menemukan badan bijih ( ore body ) ini. Seberapa besarnya?” tanyanya pada Dozy, sebagaimana dikutip dari buku Grasberg karya George A. Mealey. Pertanyaan tamunya membuat Dozy terhenyak. “Kagetnya serasa seperti sedang ditodong pistol tepat di dada,” kata dia. Bagaimana tidak, setelah 23 tahun lamanya, baru ada orang bertanya demikian kepada Dozy. “Baiklah,” kata Dozi melanjutkan, “ini menyerupai sebuah dinding tebing, tingginya kira-kira 75 meter dan begitu juga panjangnya.” “Oh..oh,” ujar tamunya. Menurut Dozy, setelah pertemuan itu, tamu tadi langsung terbang menuju Papua, untuk membuktikan apakah omongan Dozy bohong atau jujur. Dan ketika kembali, dia menemui lagi Dozy dan mengatakan, “(Ternyata) itu lebih besar dari yang pernah Anda bilang.” Tamu yang dimaksud Dozy adalah Forbes. K. Wilson, yang bekerja sebagai manajer eksplorasi sulfur di Freeport. Kelak bertahun kemudian Forbes jadi petinggi di Freeport. Sebelum bertemu Dozy, Forbes sudah terlebih dahulu mencari informasi tentang Ekspedisi Colijn. Dalam catatan hariannya, Dozy membuat sketsa gundukan batu hitam aneh yang berdiri menyembul pada ketinggian 3500 meter, di pedalaman Papua. Di bawah skesta itu, Dozy membubuhkan tulisan “Ertsberg” yang artinya “gunung bijih”. Dari sana Forbes mengendus kekayaan bumi Papua. Sebelum informasi itu ditemukan oleh Forbes, laporan Dozy hanya disimpan di perpustakaan Leiden. Setelah membuktikan temuan Dozy, pihak Freeport tak bisa begitu saja melakukan kegiatan eksploitasi di Irian Jaya (nama Papua saat itu). Terlebih karena kebijakan pemerintahan Sukarno menutup kemungkinan masuknya modal asing ke Indonesia. Peluang baru muncul saat terjadi peristiwa G30S 1965 yang bermuara pada kejatuhan Sukarno. Dua bulan setelah kup militer itu CEO Freeport Langbourne Williams menelepon Forbes. Dia mendapat kabar baik dari dua eksekutif Texaco bahwa negosiasi Ertsberg akan segera dimulai. Pemerintah Soeharto, kendati belum resmi, mereka anggap jauh lebih bersahabat dengan Amerika ketimbang Sukarno. Williams yakin, negoisasinya bakal mulus lantaran salah satu eksekutif Texaco, Julius Tahija, punya koneksi kuat dengan Soeharto, yang punya kans kuat untuk naik ke puncak kekuasaan. Julius Tahija adalah mantan tentara yang dekat Sukarno namun berubah menjadi penentangnya. Sejatinya, pada April 1965 Freeport sudah mendapat lampu hijau untuk menambang di Ertsberg. Namun negosiasi tak kunjung selesai lantaran pemerintahan Sukarno tak mau begitu saja kekayaan alam Indonesia dikelola oleh kelompok bisnis asing. Ketika perubahan politik sudah menunjukkan akhir dari kekuasaan Sukarno, terlebih mendapat pinjaman senilai 60 juta dolar dari lembaga-lembaga dana Amerika, kekuasaan, langkah Freeport kian mantap untuk mengesploitasi kekayaan alam di Papua. PADA April 1967, tiga bulan sesudah pemberlakuan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No 1/1967, Freeport Sulphur Incorporated menandatangani sebuah kontrak karya untuk mengeksplorasi dan menambah cadangan emas dan tembaga di Irian Jaya. Penandatangan itu, “membuat Freeport Sulphur perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan pemerintah baru dan satu-satunya perusahaan yang menandatangani kontrak di bawah kondisi yang luar biasa seperti itu,” tulis Denise Leith dalam The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia . Penandatangan itu terbilang unik dan berani. Selain penandatangannya dilakukan ketua presidium kabinet Ampera Jenderal Soeharto, bukan oleh presiden, wilayah konsesinya (Irian Barat), masih dalam sengketa. Menurut persyaratan kontrak itu, Freeport memperoleh masa bebas pajak selama tiga tahun serta konsesi pajak sebesar 35 untuk tujuh tahun berikutnya dan pembebasan segala macam pajak atau royalti selain lima persen pajak penjualan. “Namun segera setelah kontrak ‘generasi pertama’ ini ditandatangani, pemerintah menyadari bahwa kontrak itu perlu direvisi agar memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia,” ujar Mohammad Sadli, yang ketika itu menjabat menteri pertambangan, dalam buku Pelaku Berkisah dengan editor Thee Kian Wie. Sadli kelak menjadi anggota tim penasehat ekonomi Presiden Soeharto. “Karena itu kontrak-kontrak ‘generasi kedua’ dibuat lebih restriktif dan kurang menguntungkan investor asing, termasuk untuk perusahaan Kanada, Inco, yang menambang nikel di Soroako, Sulawesi Selatan.” Undang-Undang PMA, produk hukum yang baru diciptakan di masa transisi kepemimpinan nasional, menjadi salah satu langkah pemerintahan Soeharto untuk menarik modal asing demi memulihkan perekonomian nasional. Dan Freeport, salah satu koorporasi internasional pertama yang ketiban rezeki dari peralihan kekuasaan Sukarno ke Soeharto.*

  • Menafsir Sejarah Lewat Senirupa

    SESOSOK perempuan menunggang kuda, menerjang barisan pasukan -mungkin tentara Belanda-, tangan kiri memegang kekang kuda dan tangan kanannya menggenggam tongkat bermata serupa bunga padma. Di belakang, agak menjorok ke belakang, tampang penunggang kuda lainnya: lelaki bersorban dan menghunus keris. Bisa jadi, apa yang digambarkan oleh Entang Wiharso dalam karyanya berjudul Under National History –berbahan aluminium resin dan berdimensi 323 x 219 cm- itu adalah gambaran Perang Jawa. Sosok perempuan penunggang kuda itu, mungkin saja penggambaran Nyi Ageng Serang, salahsatu penasehat perang Diponegoro. Selama 11 hari, mulai 11-30 Agustus 2015, karya Entang Wiharso dan belasan perupa kontemporer papan atas Indonesia itu memenuhi ruangan utama di gedung A Galeri Nasional, bilangan Gambir-Jakarta Pusat. Mereka semua turut berpartisipasi dalam pameran dalam rangka memperingati 70 tahun kemerdekaan RI yang diselenggarakan Galeri Canna dan Galeri Nasional Indonesia. Dengan kurator Jim Supangkat, pameran tersebut mengambil judul Langkah Kepalang Dekolonisasi . “Tema sejarah sengaja kami ketengahkan dalam pameran ini. Sejarah sampai saat ini belum menjadi domain publik. Sebagian besar publik belum mengetahui seluk beluk perdebatan sejarah. Lewat pameran inilah sejarah mencoba ditampilkan perupa,” jelas kurator Jim Supangkat dalam sesi konferensi pers sore tadi (19/8). Hampir semua karya yang tampil pada pameran tersebut adalah karya terbaru, buatan 2015. Dalam catatan kuratorialnya, Jim memberi penekanan mengenai episode perjuangan 1945-1949. Menurutnya, kemerdekaan Indonesia itu seperti mengungkapkan jawaban Perdana Menteri Inggris Winston Churchill yang tidak jelas pada akhir Perang Dunia II karena diliputi keraguan apakah dekolonisasi selayaknya dilakukan atau tidak. Jawaban yang terungkap kemudian, tulisnya, niat melaksanakan dekolonisasi di kalangan negara-negara penjajah dari Eropa sebenarnya memang tidak ada. Interpretasi perupa tentang sejarah dalam periode 1945-1949 itu tampak dalam karya Rosid berjudul Wajah-wajah Tokoh Kemerdekaan . Ia menggambarkan keberadaan Sukarno dan Mohammad Hatta yang diapit enam lukisan foto pahlawan. Rosid pun menambah instalasi berupa beras merah-putih dan taburan bunga mawar. Lukisan lain yang cukup menyita perhatian adalah karya Heri Dono berjudul Soekarno-Hatta Keluar dari Gunung Revolusi . Dalam lukisan berukuran 200 x 150 cm itu, sosok Sukarno dan Hatta digambarkan sebagai manusia super yang terbang keluar dari sebuah mulut gunung. Sukarno yang berpeci terbang ke kiri sembari membawa obor dan membakar kepala badut, sementara Hatta terbang kekanan membawa sebuah kitab dan sebuah neraca. Tak hanya itu, karya kedua Heri Dono yang lain berjudul The Anger of Dutch General in 1945 . Ia menggambarkan seorang jenderal Belanda bermata tiga dengan lidah bercabang empat menjulur keluar. Jenderal ini sudah berada dalam kotak yang diinjak-injak oleh dua sosok: satu berpeci yang bisa jadi gambaran Sukarno dan satu lagi berkacamata yang tak lain adalah sosok Mohammad Hatta. Dalam lukisan akrilik di atas kanvas dan berdimensi 200 x 150 itu, Heri Dono menggambarkan pula mahluk berkepala dua, bertangan tiga, dan salah satu tangannya memegang bendera Hinomaru, bendera Jepang. Selain pameran yang dikuratori Jim Supangkat, ternyata ada pula sub-pameran lain dan dikuratori oleh Donny Ahmad dan mengambil judul Negosiasi dan Agresi . “Jadi ini ada pameran didalam pameran. Pameran yang dikuratori Donny adalah karya dari generasi terbaru yang menginterpretasi persoalan sejarah,” pungkas Jim. Pameran lukisan dengan tema menafsir sejarah bukan diselenggarakan kali ini saja. Pada Juni 2012 lampau, panitia bulan Bung Karno pun pernah menyelenggarakan pameran seni rupa bertajuk “Energi Bung Karno” di Taman Ismail Marzuki, menampilkan karya perupa muda yang menafsirkan peran sejarah Bung Karno. Pameran lain yang juga bertema sama digelar pada November 2013. Dalam pameran tunggal tersebut pelukis Patrick Wowor menampilkan karya-karyanya, menafsir ulang sosok-sosok pelaku sejarah yang selama ini hilang dari ingatan kolektif bangsa Indonesia: mulai Sneevliet sampai Wikana.

  • Kekerasan, Dampak Revolusi Kemerdekaan yang Bertahan Hingga Sekarang

    REVOLUSI Indonesia tidak termasuk ke dalam kategori revolusi besar di dunia.Tetapi, Indonesia berhasil merdeka melalui proses revolusi dan diplomasi. Di masa revolusi inilah Indonesia mengalami saat-saat krisis dan kritis untuk mencapai negara kesatuan. Demikian disampaikan Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi, dalam seminar “Memaknai 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia di Tengah Dunia yang Berubah dalam Perspektif Sejarah” yang diselenggarkan Program Studi Sejarah FIB UI di Balai Sidang Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 20 Agustus 2015 . Menurut Zuhdi, Perjanjian Linggarjati merupakan ujian pertama bagi Indonesia menuju negara kesatuan. Ada ketegangan di antara kekuatan-kekuatan besar yang seharusnya bersatu untuk menerima konsep Republik Indonesia Serikat yang termuat dalam Perjanjian Linggarjati yang diparaf pada 15 November 1946. “Hatta berpidato sedemikian keras di KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) agar Perjanjian Linggarjati diratifikasi. Di situ pula Sukarno menyatakan diri sebagai presiden revolusi,” ujar Zuhdi. Dalam konteks “merdeka 100 persen,” Jenderal Soedirman memilih bergabung dengan Persatuan Perjuangan yang dibentuk 4-5 Januari 1946 atas prakarsa Tan Malaka. Organisasi yang menghimpun 141 organisasi politik, laskar, dan lain-lain, ini oposisi terhadap Kabinet Sutan Sjahrir yang memilih cara diplomasi. Puncaknya, ketika Amir Sjarifuddin dan Musso mendirikan Front Demokrasi Rakyat hingga pecahnya Peristiwa Madiun 1948 . Hal ini membuktikan, tidak mudah cita-cita Proklamasi dapat digaungkan hingga semua komponen bangsa mendukung negara kesatuan. “Tidak mengherankan apabila muncul slogan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) harga mati. Akan tetapi, slogan ini hanya akan mati harga jika kita tidak memanfatkan segala potensi yang ada. Salah satunya sektor kelautan,” kata Zuhdi. “Sekarang, inilah tugas kita, bagaimana kita merajut pulau-pulau menjadi satu seperti yang biasa kita nyanyikan dari ‘Sabang sampai Merauke berjejer pulau-pulau.’Dan kalau boleh, jangan lagi kita menyebutkan istilah pulau terpencil atau pulau terluar dari kepulauan-kepualauan yang ada di Indonesia.” Sementara itu, Anthony Reid, sejarawan yang menggeluti sejarah Asia Tenggara, menyoroti dampak dari revolusi kemerdekaan. Menurutnya, ada jejak yang hilang dan muncul dari revolusi Indonesia pascakemerdekaan. Hal ini turut membentuk apa yang terjadi di Indonesia hari ini. Pertama, hilangnya kelas menengah asli Indonesia. Banyak etnis Tionghoa dan orang-orang Eurasia yang terbunuh masa revolusi 1945-1946. Padahal, mereka adalah elite intelektual dan pelaku ekonomi kreatif di masa itu. “Apa yang terjadi di Indonesia berbeda dengan apa yang terjadi terhadap Malaysia dan Thailand. Malaysia dan Thailand tidak mengalami jejak kekerasan dalam kemerdekaannya. Lewat proses negosiasi, banyak kelas menengah di Malaysia yang menjadi nasionalis. Sedangkan di Thailand, kebanyakan kelas menengah elitenya adalah orang-orang Tionghoa yang masih memiliki garis keturunan dengan kerajaan Thailand,” kata Reid. Kedua, munculnya legitimasi penggunaan kekerasan. Seperti yang terlihat dalam kasus Peristiwa Madiun 1948, Darul Islam sejak tahun 1949; separatisme di Maluku tahun 1950, Aceh tahun 1953, dan PRRI/Permesta tahun 1958; teror pasca-Gerakan 30 September 1965, hingga invasi ke Timor Timur tahun 1975. “Negara secara tidak langsung melegitimasi kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah,” kata Reid. “Hal ini mendorong terjadinya tindak pelanggaran hak asasi manusia dan berimplikasi terhadap sulitnya penegakan hukum di Indonesia.” “Rekonsiliasi pelaku-korban memang diperlukan tetapi yang lebih penting adalah hukum harus ditegakkan. Para pelanggar hak asasi manusia harus dihukum sesuai prosedur yang berlaku. Namun, hal ini agaknya susah terjadi karena hukum di Indonesia masih sangat lemah, ia digerakkan oleh penguasa,” kata Reid.

  • Orang Indonesia Pertama di Kabinet Belanda

    ADA beberapa orang Indonesia jadi anggota Parlemen Belanda, seperti Roestam Effendi dan L.N. Palar. Namun, orang Indonesia yang pernah duduk dalam kabinet Belanda hanya seorang dan satu-satunya, yaitu Raden Adipati Ario Soejono. Anaknya, Irawan Soejono, tewas ditembak tentara Nazi-Jerman. Ketika Jerman menduduki Belanda pada 1940, pemerintahan Kerajaan Belanda lari ke Inggris. Di sana, membentuk pemerintahan dalam pengasingan, yaitu Kabinet Gerbrandy. Sementara itu, menjelang kapitulasi Hindia Belanda kepada Jepang, Van Mook bersama Soejono dan Loekman Djajadiningrat, pergi ke Australia. Van Mook diangkat menjadi menteri daerah jajahan dalam kabinet yang dibentuk di London itu. Soejono membantu Van Mook sebagai penasihat tertinggi. Dia kemudian diangkat menjadi menteri tanpa portofolio pada 6 Juni 1942. “Dalam Kabinet Perang inilah diangkat seorang Indonesia menjadi Menteri Negara. Dia adalah RAA Soejono, pernah menjabat sebagai anggota Komisi Karet Internasional berkedudukan di Den Haag,” tulis majalah Warnasari, No. 101, 1987. Menurut sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah , maksud di balik pengangkatan Soejono sebagai menteri untuk menekankan adanya ikatan nasib antara Negeri Belanda dan Indonesia, serta untuk memperlihatkan terutama kepada sekutunya, Amerika Serikat, bahwa Negeri Belanda bukan negara kolonial yang reaksioner. Dalam sidang kabinet perdana yang dihadiri Soejono, Perdana Menteri Gerbrandy mengatakan, “saat bersejarah, karena sekarang untuk pertama kalinya seorang putra bangsa Indonesia menjadi anggota Pemerintah Belanda.” Perkataan ini disambut tepuk tangan. Soejono kemudian terlibat dalam pembicaraan mengenai ketatanegaraan Indonesia setelah perang. Hasil dari pembicaraan ini menjadi bahan pidato Ratu Wilhelmina pada 7 Desember 1942. Soejono pun mengajukan nota pada Oktober 1942, di mana dia menyatakan bahwa di kalangan masyarakat Indonesia terdapat keinginan yang laten untuk memutuskan samasekali hubungan dengan Negeri Belanda. Karena itu, menurut Soejono, pernyataan dari Belanda harus menjamin lahirnya kebersamaan sukarela dalam ikatan ketatanegaraan. “Bagi Soejono, ini berarti pengakuan secara prinsip terhadap hak Indonesia untuk menentukan nasib sendiri,” tulis Poeze. Soejono sampai tiga kali dalam sidang kabinet Oktober 1942, dengan sungguh-sungguh mengimbau rekan-rekannya, khususnya menteri-menteri dari SDAP (Partai Buruh Sosial Demokrat), tetapi sia-sia. Mereka, demikian juga Van Mook, menolak disinggungnya hal itu dalam pidato Ratu Wilhelmina. “Walau demikian Soejono beranggapan bahwa dia tak perlu mengundurkan diri,” tulis Poeze. “Inti pidato ini adalah mengusahakan sedapat mungkin agar Hindia Belanda tetap bersatu dalam wadah imperium Kerajaan Belanda,” tulis sejarawan Rushdy Hoesein dalam Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati . Tentu saja, Soejono menginginkan sesuatu yang mustahil dikabulkan oleh pihak Belanda, yaitu Indonesia menentukan nasib sendiri atau merdeka. Sebab, Belanda punya semboyan singkat: Indie verloren, rampspoed geboren artinya Hindia (Indonesia) hilang, malapetaka menjelang. “Ketakutan kehilangan Hindia tertanam dalam pemikiran bawah sadar kolektif masyarakat Belanda,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas . “Karena itu, Hindia luar biasa pentingnya: jika Indonesia memperoleh kemerdekaan, sejumlah orang menyesalkan, Belanda akan mengalami kemerosotan...” Soejono tak dapat berbuat banyak lagi dalam kabinet Belanda. Ajal menjemputnya pada 5 Januari 1943, pada usia 56 tahun.

  • Soegoro Atmoprasodjo, Orang Pertama yang Memperkenalkan Nasionalisme Indonesia di Papua

    MARCUS Kaisiepo, siswa Sekolah Pamong Praja di Kota Nica (sekarang Kampung Harapan di Jayapura), mendengar berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia dari radio. Dia bersama pelajar lain mendiskusikan Proklamasi itu. Silas Papare meminta Marcus memberitahu J.P.K. van Eechoud, residen Papua dan pendiri Sekolah Pamong Praja bahwa orang Papua tidak menghendaki apa pun dengan adanya Proklamasi itu. Tentu saja Van Eechoud senang karena dia lebih berupaya membangun identitas kepapuaan ketimbang turut mengikuti irama nasionalisme Indonesia. Namun, dia blunder dengan merekrut Soegoro Atmoprasodjo sebagai pengajar dan direktur asrama Sekolah Pamong Praja yang menghimpun para pemuda lokal untuk menjadi pegawai pemerintah Belanda. Beberapa di antaranya kemudian menjadi tokoh lokal terdidik dan elite pertama Papua, seperti Frans Kaisiepo, Nicolaas Jouwe, Marthen Indey, Corinus Krey, Silas Papare, Baldus Mofu, O. Manupapami, dan Herman Wajoi. “Soegoro sangat dipercaya oleh Van Eechoud dan dianggap loyal kepada Belanda sehingga diangkat menjadi direktur pertama Sekolah Pamong Praja di Hollandia,” tulis Bernarda Meteray dalam Nasionalisme Ganda Orang Papua. Namun, Soegoro memanfaatkan kedudukannya itu untuk menyemai nasionalisme Indonesia. Tindakannya menentang pemerintah Belanda membuat kecewa Van Eechoud yang selama ini telah menganggapnya sebagai anak emas. “Menurut Corinus Krey, Soegoro adalah orang pertama yang memperkenalkan nilai-nilai nasionalisme Indonesia kepada para siswa,” tulis Bernarda . Van Eechoud pun mengakuinya bahwa sehubungan dengan keadaan yang berlangsung di Jawa, Soegoro terdorong untuk melakukan kegiatan yang mendukung perjuangan di Jawa. Soegoro Atmoprasodjo lahir di Yogyakarta, 23 Oktober 1923. Dia aktif dalam Taman Siswa bentukan Ki Hadjar Dewantara dan aktivis Partai Indonesia (Partindo). Pada 1935, dia dibuang ke Digul, Tanah Merah, Papua, dengan tuduhan terlibat pemberontakan Partai Komunis Indonesia terhadap Belanda pada 1926/1927 di Jawa Tengah. Pada awal pendudukan Jepang, pemerintah Belanda membawanya ke Australia. Setelah Jepang kalah, dia kembali dibawa ke Papua dan bekerja di Sekolah Pamong Praja. Cara Soegoro menanamkan nasionalisme Indonesia kepada para siswanya di antaranya memperkenalkan lagu Indonesia Raya dan membentuk kelompok diskusi politik. Dalam berbagai diskusi, dia berusaha meyakinkan murid-muridnya bahwa mereka bagian dari Indonesia yang memiliki keanekaragaman seperti halnya Papua yang berasal dari banyak suku. Kepada muridnya, dia menekankan persatuan menjadi kunci utama untuk melepaskan diri dari kuasa kolonial Belanda. Upayanya membuahkan hasil. Menurut Suyatno Hadinoto dalam Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat, Soegoro kemudian membentuk gerakan bawah tanah untuk menentang pemerintah Belanda. Gerakan tersebut bernama IRIAN (Ikut Republik Indonesia Anti Nederland). Soegoro merencanakan pemberontakan dengan melibatkan siswa di kota Nica dan anggota batalion Papua antara lain Corinus Krey, Marcus Kaisiepo, Lukas Rumkoren, Lisias Rumbiak, Frans Kaisiepo, dan dua orang asal Sumatera, yaitu Sutan Hamid Siregar dan Aran Panjaitan. Soegoro juga mengajak eks tentara Heiho yang kebanyakan berasal dari Sumatera dan Jawa.  Menurut Suyatno, pemberontakan akan dilancarkan pada 31 Agustus 1945. Sedangkan Bernarda menyebut Soegoro baru menyampaikan rencana perlawanannya pada 15 dan 16 Agustus 1945.  Rencana pemberontakan itu keburu terendus pemerintah Belanda. Sekira 250 eks Heiho ditahan. Soegoro dipenjarakan di Hollandia (Jayapura). Di penjara, Soegoro kembali merencanakan dua pemberontakan pada Juli 1946 dan Januari 1947, yang melibatkan Marthen Indey, Corinus Krey, Bastian Tauran, sebelas Ambon yang bekerja sebagai tukang reparasi, tentara KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda), anggota batalion Papua, dan 30 pemuda Papua yang berasal dari sekitar Danau Sentani. Rencana itu gagal karena seorang anggota batalion Papua membocorkannya kepada pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda menangkap dan menginterogasi para pemberontak. Beberapa pelaku dibebaskan, namun Soegoro dihukum 14 tahun, semula di Hollandia kemudian dipindahkan ke penjara Tanah Merah, Merauke.  Pada 5 April 1947, Soegoro dan Willem Nottan asal Tual Kei yang dihukum sepuluh tahun, serta lima tahanan lainnya, berhasil melarikan diri dari penjara Tanah Merah, Merauke, menuju Papua Nugini, lalu ke Australia. Pada 1950, Soegoro kembali ke Indonesia dan bekerja di Departemen Luar Negeri. Menjelang kembalinya Papua ke pangkuan Republik Indonesia, Soegoro menjadi delegasi Indonesia dengan kedudukan sebagai penasihat dalam pemerintahan transisi UNTEA (United Nations United Nations Temporary Executive Authority ). Putra-putra Papua didikannya kemudian menyebut Soegoro sebagai Bapak IRIAN.

  • Pers Perjuangan di Kalimantan

    SETELAH Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, terjadi kekosongan kekuasaan di Kalimantan Selatan. Ini memberi peluang bagi Belanda untuk kembali mengatur pemerintahan. Dalam waktu sekira tiga minggu, Belanda berhasil menyusun kembali alat-alat pemerintahannya dengan bantuan militer. “Di bidang media massa yang merupakan alat penting dalam menanam kembali kekuasaannya, Belanda menerbitkan harian Soeara Kalimantan sebagai pengganti Borneo Shimbun dengan mengambilalih semua fasilitas dari surat kabar itu , ” tulis sejarawan Abdurrachman Surjomoharjodo, dkk. dalam Beberapa Segi Perkembangan Sejaran Pers di Indonesia . Menurut Hassan Basry dalam Kisah Gerila Kalimantan dalam revolusi Indonesia, 1945-1949, para pemuda sengaja membeli surat-surat kabar pro-NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda), terutama Soeara Kalimantan , untuk menghindari penyiaran yang bertentangan dengan isi pamflet yang disebarkan ke seluruh Kalimantan Selatan pada 1 Oktober 1945. “Pamflet itu berisi bahwa Indonesia telah merdeka dan mengajak segala lapisan dan golongan, pegawai-pegawai, polisi-polisi, buruh-buruh dan sebagainya bersatu padu dan supaya menolak kedatangan NICA,” tulis Hassan Basry. Menariknya, menurut Hassan, pamflet itu diberikan oleh dua tentara Australia (sebagai tentara Sekutu yang ditempatkan di Kalimantan), Charles Forster dan Victor Little, yang mengaku anggota Partai Komunis Australia. Pamflet tersebut dicetak di Australia oleh pejuang Indonesia yang beralamat di Hotel Metropole, Melbourne. Mereka menyerahkan lima lembar pamflet kepada tokoh pejuang di Banjarmasin, Hadhariah M. Di Banjarmasin, pamflet itu disebarkan oleh Hadhariah bersama F. Mohani, Hamli Tjarang dan Abdurrachman Noor. Di Kandangan pamflet itu disiarkan oleh H.M. Rusli, Hasnan Basuki cs., dan di Barabai disiarkan oleh H. Badrum cs. Bahkan, menurut Hassan Basry, tentara Australia mengambil peranan penting dalam tersebarnya penyiaran ini sampai ke pelosok-pelosok yang jauh terpencil. “Maka tersiarlah lebih meluas dan diiringi dengan pencoretan-pencoretan rumah Belanda oleh pemuda-pemuda yang menyatakan bahwa rumah-rumah itu adalah milik Republik Indonesia,” tulis Hassan Basry. Sementara itu, pada 10 Januari 1946 dibentuk wadah perjuangan Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI) atas inisiatif D.S. Diapari, A.A. Rivai, Suranto, A. Sinaga, dan lainnya. Dengan didirikannya SKI, menurut Abdurrachman, perjuangan politik lebih tersusun dan mempengaruhi lahirnya pers perjuangan yang dipelopori oleh majalah Republik , harian Kalimantan Berdjuang , dan harian Terompet Rakjat . Majalah Republik yang berupa stensilan terbit pada 17 Agustus 1946 di Kandangan untuk mengimbangi Soeara Kalimantan, harian kooperatif terhadap Belanda. Majalah ini menjadi media perjuangan pertama di Kalimantan Selatan dengan pemimpin umum sekaligus pemimpin redaksinya Zalfry Zamzam. Terbitan pertama Republik memuat lengkap susunan kabinet pertama dan kabinet Sutan Sjahrir serta teks Proklamasi dalam bahasa Indonesia dan Inggris. “Majalah ini memperjuangkan supaya Kalimantan Selatan tetap merupakan wilayah Republik Indonesia dan menentang dengan tegas politik separatisme Belanda yang dilancarkan melalui konferensi-konferensi Malino dan Denpasar untuk mendirikan negara Kalimantan,” tulis Abdurrachman. Harian Kalimantan Berdjuang juga lahir di Kandangan pada 1 Oktober 1946. Pemimpin umum A. Jabar dan pemimpin redaksi Adonis Samad. Harian stensilan yang dikenal dengan singkatan Ka-Be ini berhaluan nasionalis dan berlambang kepala banteng di atas halaman muka. “Dari awal sampai akhir, harian ini tetap mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan,” tulis Abdurachman. Selain anti-Belanda, Ka-Be juga anti-PKI dan condong pro-Islam dengan cukup banyak artikel soal Islam. Ketika Soeara Kalimantan menerbitkan majalah Bahtera , Ka-Be mengimbanginya dengan menerbitkan majalah Waspada di bawah pimpinan Haspan Hadna. Pada 2 Desember 1946, harian Terompet Rakjat terbit di Amuntai, kemudian pindah ke Alabio. Harian ini dipimpin oleh Amran Ambrie dan Ys. Antemas. Semboyannya sama dengan Republik dan Ka-Be : mempertahankan Republik Indonesia. Harian ini juga menerbitkan majalah Menara Indonesia dan surat kabar bawah tanah Obor Perdjuangan yang hanya ketik. Berbeda dengan staf Ka-Be dan Republik yang terdiri dari wartawan yang tidak ikut aktif dalam perjuangan fisik. Staf Terompet Rakjat tergabung dalam Gerpindom (Gerakan Pembela/Pengejar Kemerdekaan Indonesia). Ketiga media masa perjuangan mengakhiri penerbitannya menjelang Agresi Militer Belanda II pada Desember 1948 karena dibredel Belanda. Belanda juga menangkap para pemimpinnya: Zafry Zamzam, Adonis Samad, Haspan Hadna, Amran Ambrie dan Ys. Antemas. Setelah sebulan mati, Ka-Be dihidupkan lagi pada 11 November 1948. Ka-Be menunjukkan sikapnya mendukung Republik dalam setiap tajuk rencana, seperti tajuk rencana tanggal 16 November 1948 berjudul “Republik tetap menjadi tiang perdamaian di Indonesia.”

  • Film Anak Riwayatmu Dulu

    BIOSKOP kelas rakyat di Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta, kedatangan calon penonton sejak sore. Calon penonton mengerumuni loket karcis demi beroleh kesempatan menyaksikan film pertama, pukul 18.15. Sejumlah kanak-kanak di bawah umur ikut masuk kerumunan. Rebutan karcis. Mereka mengabaikan papan peringatan “Untuk 17 tahun ke atas” pada poster film. “Padahal saya percaya, mereka itu tidak mengetahui arti film yang hendak dipertunjukan itu. Hal ini di muka bioskop rakyat, tetapi keadaan ini pun tidak asing pula di muka bioskop cabang atas,” tulis BS, saksimata antrean bioskop, kepada majalah Wanita , No. 15, Agustus 1950. Dia menilai anak-anak tak bakal beroleh banyak faedah dari menonton film berkategori 17 tahun ke atas. Menurut saksimata, anak-anak selayaknya menonton film untuk anak-anak. Misalnya The Little Ballerina dan Circus Boy . Dua film buatan Inggris ini pernah tayang di Garden Hall (Kebun Binatang Jakarta). “Anak-anak sungguh bergembira melihatnya, sebab hampir semua yang dipertunjukan itu dapat ditangkap oleh jiwa akal si anak,” tulis BS. BS berharap perusahaan film nasional berkenan membuat film serupa. Sebab film untuk anak-anak masih amat jarang tayang di bioskop. Padahal anak-anak butuh tontonan untuk membantu tumbuh-kembangnya jiwa dan pikiran mereka. Berniat memenuhi kebutuhan film untuk anak-anak, Perusahaan Film Negara (PFN) memproduksi film Si Pintjang pada 1951. “Dalam soal film anak-anak ini, Perusahaan Film Negara telah mempelopori membuatnya untuk ikut memberikan gambaran sebagian dari watak anak-anak yang beribu-ribu macam watak,” tulis Minggu Pagi , 9 September 1951. Kotot Sukardi, sutradara dan penulis skenario Si Pintjang , memberi anak-anak terlantar ruang berekspresi. Dia mempercayakan pemeran utama film pada anak-anak itu. Cerita utama film pun seputar kehidupan anak-anak, korban pendudukan Jepang. Perang memisahkan mereka dari orangtua dan saudara kandung. Tayang pada 1952, Si Pintjang hanya beroleh sedikit apresiasi. Salahsatunya dari Usmar Ismail, tokoh sohor perfilman Indonesia. “ Si Pintjang film Kotot Sukardi yang pertama sebagai sutradara mempunyai arti penting karena pemakaian anak sebagai pemain dengan secara efektif,” tulis Usmar dalam Usmar Ismail Mengupas Film . Apresiasi lebih justru datang dari luar negeri. Panitia Festival Film Internasional Praha, Cekoslowakia, memberi Si Pintjang penghargaan pada 1952. Begitu Si Pintjang hilang dari bioskop dalam negeri, film untuk anak-anak lainnya hadir menggantikannya. Antara lain Membalas Budi dan Si Melati . Sebenarnya banyak film menampilkan anak-anak sebagai pemeran. Tapi mereka tak lantas bisa berlabel film untuk anak-anak. Sebab cerita dan dialognya jauh dari dunia anak-anak. Star Weekly , 5 Februari 1955, menyebut hanya ada tiga film untuk anak-anak buatan dalam negeri sejak 1926 hingga 1955 : Si Pintjang , Membalas Budi, dan Si Melati . Ini sangat sedikit dari total produksi film dalam negeri. Publik, terutama guru dan orangtua, menyoroti kekurangan film untuk anak-anak. Mereka berpendapat film menjadi lapangan pendidikan ketiga, setelah rumah dan sekolah. Maka mereka minta perusahaan film lebih giat lagi memproduksi film untuk anak-anak. Perusahaan film sulit memenuhi permintaan itu. “Secara praktis, membuat film anak-anak memang lebih sukar dari pembuatan film orang dewasa,” tulis Purnama , No. 1, 1961. Secara finansial, hasilnya pun kurang menguntungkan. Kekurangan film untuk anak-anak berlanjut hingga 1970-an. Untuk mengatasi kekurangan film untuk anak-anak, pemerintah mengeluarkan kebijakan: tiap 10 film impor, harus ada 1 film untuk anak-anak. Demi terpenuhinya kebutuhan anak-anak terhadap film, pemerintah juga memotong dana pungutan film impor untuk anak-anak. “Dana untuk impor dewasa Rp250.000 per film, sedangkan untuk film anak-anak hanya Rp75.000 per film,” tulis Kompas , 30 April 1973. Saat bersamaan, perusahaan film dalam negeri mulai berusaha kembali memproduksi film untuk anak-anak. Jumlah film untuk anak-anak pada 1973 mencapai 8 buah. Jumlah ini turun lagi pada tahun-tahun berikutnya. Sejumlah cendekiawan, budayawan, dan pendidik lalu menggelar seminar untuk membahas permasalahan film untuk anak-anak pada September 1988 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. “Membuat film anak-anak adalah pekerjaan sulit. Dan kalau mau membuat film anak-anak sebaiknya menjauhkan guru, ahli pendidikan, dan para ahli psikologi dari proyek ini,” kata Asrul Sani, budayawan sekaligus pembicara seminar, dalam Kompas , 30 September 1988. Dia lebih percaya pada orang yang pandai bercerita dalam urusan pembuatan film untuk anak-anak. Memasuki 1990-an, film untuk anak-anak menggeliat kembali. Film Langitku, Rumahku karya sutradara Slamet Rahardjo meraih banyak penghargaan dari sejumlah festival film dalam negeri. Melihat pencapaian Langitku, Rumahku , produser film lebih berani memproduksi film untuk anak-anak. Setelah itu, film untuk anak-anak tumbuh bak cendawan di musim hujan pada 2000. Anak-anak kini punya banyak pilihan film.

  • Kisah Plonco Sejak Zaman Londo

    Awal ajaran baru tahun 2015, berbagai pihak mencermati tradisi menyambut siswa atau mahasiswa baru, yaitu plonco. Alih-alih sebagai masa orientasi siswa (MOS), kegiatan ini kerap tidak mendidik dan hanya menjadi ajang balas dendam para senior. Mendikbud Anies Baswedan pun melarang tindakan kekerasan dalam MOS. MOS merupakan tanggungjawab sekolah, guru dan kepala sekolah. Mereka harus bisa mengendalikannya. “MOS tak boleh ada plonco, (jika terjadi) kepala sekolah bertanggungjawab. Dinas pendidikan jangan ragu memberi sanksi pada kepala sekolah. MOS itu adalah masa penunjukkan rencana belajar bukan pemuasan keinginan senior,” ujar Anies, dikutip detik.com . Perploncoan sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda. Mohammad Roem, menceritakan pengalamannya diplonco ketika masuk Stovia (Sekolah Dokter Bumiputera) pada 1924. “Bahasa Belandannya plonco waktu itu adalah ontgroening . Kata groen artinya hijau. Murid baru adalah hijau, dan ontgroening dimaksudkan untuk menghilangkan warna hijau itu. Dia harus diberi perlakukan agar dalam waktu singkat menjadi dewasa, berkenalan dengan teman-teman seluruh Stovia,” kata Roem dalam Bunga Rampai dari Sejarah Jilid 3 . Roem mengakui, bahwa perploncoan itu sudah bertahun-tahun dilaksanakan, tetapi belum pernah terdengar kejadian yang tidak sedap atau melampaui batas. Hal ini karena pengawasan yang ketat, sehingga ekses dapat dihindarkan. “Pertama waktu-waktu dibatasi, tidak boleh memplonco di waktu belajar dan waktu istirahat. Masih banyak waktu di luar itu dan memang suasana ramai selama tiga bulan pertama itu,” kata Roem. Perploncoan berlangsung cukup lama sampai tiga bulan karena Stovia adalah sekolah berasrama. Salah satu materi plonco yang rutin ditanyakan soal asal siswa. Waktu Roem menjawab orang Jawa, maka pertanyaan berikutnya apakah dia tahu alfabet Jawa. Kemudian dia harus mengucapkannya. Pertanyaan berikutnya, apakah dia dapat mengucapkan alfabet Jawa secara terbalik, dari belakang. Dia bisa, tapi sangat lambat. Seniornya meminta dia harus mengucapkannya sama lancarnya dari depan atau belakang. Malam itu, sesudah selesai pekerjaan sekolah (PR), dia masih memerlukan setengah jam lebih untuk menghapalkan alfabet Jawa dari belakang ke depan. “Perploncoan itu hanya dijalankan dalam tembok sekolah dan asrama, dan plonco tidak boleh digunduli,” kata Roem. Penggundulan masa perploncoan kemungkinan besar kali pertama dilakukan pada masa pendudukan Jepang. Menurut R. Darmanto Djojodibroto dalam Tradisi Kehidupan Akademik, mantan mahasiswa Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran) –yang tidak disebutkan namanya– menyatakan bahwa kata perploncoan untuk pertama kali digunakan sebagai kata pengganti ontgroening . “Kata perploncoan itu berasal dari kata plonco artinya kepala gundul. Hanya anak kecil yang berkepala gundul waktu itu, sehingga kata plonco mengandung arti seseorang yang belum mengetahui sesuatu mengenai kehidupan masyarakat dan dianggap belum dewasa, karena itu perlu sekali diberi berbagai petunjuk untuk menghadapi masa depan,” kata mahasiswa Ika Daigaku itu, sebagaimana dikutip Darmanto. Pada masa revolusi kemerdekaan kegiatan perploncoan terus dilakukan, seperti di Universitas Indonesia pada April 1949. Selain di Jakarta, tulis Darmanto, semasa revolusi fisik itu, penggemblengan melalui perploncoan diselenggarakan di Klaten, Solo dan Malang, walaupun dalam suasana penuh kemelut, ikatan batin dan rasa setia kawan tidak pudar, bahkan membaja dalam durch Leide und Freude (duka dan suka). Perploncoan dianggap sisa kolonialisme dan feodalisme, karenanya pernah terjadi penolakan. Menurut Darmanto, partai dan organisasi komunis seperti PKI dan CGMI menolak perploncoan karena menganggapnya sebagai tradisi kolonial, selain itu ada juga organisasi yang menolak berdasarkan alasan lain. Alhasil, perploncoan dilarang oleh pemerintah dan diganti namanya menjadi Masa Kebaktian Taruna (1963), Masa Prabakti Mahasiswa atau Mapram (1968), Pekan Orientasi Studi (1991), Orientasi Studi Pengenalan Kampus (Ospek), Orientasi Perguruan Tinggi (OPT), dan sekarang umumnya disebut Masa Orientasi Siswa (MOS). Tidak hanya namanya yang diubah tetapi penyelenggaranya juga institusi pendidikan serta wajib diikuti seluruh siswa dan mahasiswa baru. Ironisnya, menurut Darmanto, jika saat masih bernama perploncoan kegiatan ini tidak pernah menghasilkan korban, setelah namanya diganti dengan maksud agar tidak bersifat kolonial dan feodal malah ada kejadian korban meninggal atau cedera. “Sekali lagi ditekankan bahwa tujuan perploncoan adalah terciptanya keakraban di antara anggota masyarakat mahasiswa, para senior menjadi mentor yang junior,” tulis Darmanto. “Tujuan perploncoan bukan menciptakan cedera atau kematian mahasiswa baru.”

  • Bisnis Candu Kompeni Belanda

    Pekerjaan rumah besar menanti Gustaaf Willem van Imhoff (1705-1750) kala dirinya ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) di Batavia pada 1743. Van Imhoff dituntut melakukan reformasi ekonomi oleh Heeren XVII , dewan direksi pemegang saham terbesar VOC. Saat itu, efek huru-hara di Batavia yang berujung pembantaian 10.000 orang Tionghoa membuat perekonomian Batavia pincang. Profit dagang intra-Asia VOC stagnan. Rempah-rempah VOC tidak lagi menjadi primadona setelah komoditas baru seperti tekstil India, teh Cina, dan kopi Arab mulai masuk pasaran. Masalah perdagangan intra-Asia ini menjadi sasaran utama reformasi Van Imhoff. Dia berniat menjadikan perdagangan lada, timah, dan utamanya opium, sebagai sumber utama profit VOC di Asia; dengan melibatkan sektor swasta. Tujuannya tak lain untuk menggarap profit dengan anggaran operasional perusahaan seminim mungkin. “VOC menyerahkan sahamnya hanya untuk sektor perdagangan swasta, dan tidak pernah sama sekali, dalam kondisi apapun, berniat menyerahkan hak monopolinya kepada pedagang-pedagang asing,” tulis Chris Nierstrasz dalam In the Shadow of the Company: The Dutch East India Company and its Servants in the period of its Decline (1740-1796) . Opium yang diimpor VOC diproduksi di Bengal, India, untuk kemudian dijual kembali dengan harga tinggi di Batavia, utamanya kepada pedagang Tionghoa, yang kemudian menjual langsung kepada konsumen di Jawa, Bali, Makassar. Namun keberadaan penyeludup ilegal membuat alur distribusi opium VOC kerap tak terkontrol. Untuk itu, Van Imhoff menginisiasi berdirinya Amfioensocieteit (Komunitas Opium), di Batavia pada 1 September 1745, sebagai perusahaan swasta mitra VOC dalam mendistribusikan opium. Amfioensocieteit terdiri atas seorang direktur, dua pemegang saham utama, kasir, dan akuntan merangkap sekretaris. Direktur pertamanya adalah Jacob Mossel, dan van Imhoff sebagai pejabat eksekutifnya. Saham publiknya berjumlah 300 lembar, per satuannya seharga 2000 rix dollar. “Ide awalnya, untuk selanjutnya VOC akan membatasi dirinya dalam impor opium, sementara Amfioensocieteit membeli produknya dengan harga yang ditentukan –dalam takaran jual minimum– dan menjalankan monopolinya dalam pasar eceran,” tuis J.W. Gerritsen dalam The Control of Fuddle and Flash: A Sociological History of the Regulation of Alcohol and Opiates . Sesuai kontrak, Amfioensocieteit harus membeli 1200 peti opium dengan harga 450 rixdollar per peti. Dalam setengah tahun operasionalnya, 708 peti terjual. Tahun kelima, Amfioensocieteit bahkan mampu membeli 1800 peti yang kemudian menghasilkan profit 150.000 rix dollar. Salah satu yang menikmati profit adalah Joan Gideon Loten (1710-1789), pejabat VOC. Dalam isi suratnya pada Januari 1756 yang dicantumkan oleh Alexander J.P. Raat dalam The Life of Governor Joan Gideon Loten (1710-1789): A Personal History of a Dutch Virtuoso , Loten menyebut bahwa dia untung sampai 15.000 gulden dari investasinya di Amfioensocieteit , jumlah terbesar untuk profit individu kala itu. Kemitraan VOC- Amfioensocieteit membuat perekonomian Batavia bernapas kembali. Setidaknya sampai 1757, ketika Inggris merebut Bengal dari Kesultanan Mughal. Loji VOC terkucilkan dan pasokan opium tersendat. Pada 1759, VOC mengirim tujuh kapal besar dan 1400 prajurit dari Batavia untuk mempertahankan lojinya di Bengal, namun pasukan ini dipukul mundur Inggris. Kondisi Amfioensocieteit merosot, seiring kolapsnya VOC akibat korupsi. VOC memang masih bisa membeli opium di Bengal, namun harus melalui Inggris dengan harga mahal. Akhirnya, pada 1794 Amfioensocieteit bubar, diganti dengan Amfioendirectie yang dipegang VOC langsung. Amfioendirectie bertahan di tengah maraknya penyeludupan dan tren pasar yang kian berubah sampai akhirnya dibubarkan oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 17 September 1808.

  • Merayakan Sejarah Masa Depan Indonesia

    PULUHAN orang berjejal di dalam rangkaian trem yang sekujur gerbong bagian luarnya ditulisi grafiti slogan kemerdekaan berbahasa Inggris. “We need just now Independence!” Kami hanya butuh kemerdekaan sekarang juga. Trem tersebut melaju beriringan dengan tank-tank milik Inggris yang baru saja tiba di Jakarta. Setelah Jepang kalah perang, Indonesia dan beberapa negara di wilayah Asia Tenggara lainnya, menjadi kewenangan Inggris. Ada agenda rahasia Belanda terselip di misi tersebut: kembali berkuasa di Indonesia. Namun nasionalisme yang telah tumbuh subur di kalangan rakyat, menentang upaya tersebut. Situasi itu terekam dalam film dokumenter Setelah Proklamasi yang diputar pada peluncuran buku dan pameran foto sejarah 70 Tahun HistoRI Masa Depan , Sabtu (22/08) lalu di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Film dokumenter selama kurang lebih 15 menit tersebut menampilkan situasi Jakarta setelah proklamasi kemerdekaan. “Bung Karno berkeliling Jakarta menemui rakyat. Ini Haji Darip, tokoh masyarakat terkemuka dari Karawang,” kata sejarawan Rushdy Hoesein menjelaskan film selama penayangannya. Selain tampak figur Bung Karno, terekam pula aktivitas warga yang memenuhi alamat kantor redaksi koran Merdeka , berdesakan membeli koran. Rosihan Anwar muda terlihat masih ceking kala mendampingi kedatangan Menteri Penerangan Amir Sjarifoeddin yang datang berkunjung. Meutia Hatta yang didaulat membuka acara menyampaikan kekagumannya pada suasana Jakarta di masa itu yang ditunjukkan di dalam film. Melalui pameran ini, dia berharap anak-anak muda berminat belajar sejarah. “Pameran ini diharapkan dapat menggugah muda-mudi untuk mengenal sejarah bangsanya,” kata anak pertama Bung Hatta itu dalam sambutannya. Tak hanya film yang menggambarkan suasana revolusi, puluhan foto lama yang selama ini belum terpublikasi juga turut dipamerkan. Kurator galeri Antara Oscar Motuloh mengatakan sebagian koleksi foto dia dapatkan dari museum Bronbeek di Belanda. Beberapa foto bersejarah penting lainnya yang dipamerkan adalah 14 lembar foto-foto pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56. Foto yang selama ini beredar tak lebih dari empat foto, yang memperlihatkan Bung Karno sedang membaca teks proklamasi, memimpin doa, dan pengerekan bendera Merah Putih. Menurut tim riset Yayasan Bung Karno yang juga bekerjasama menyelenggarakan pameran ini, ada sudut pandang menarik lainnya dari foto-foto seputar proklamasi. Selama ini versi yang beredar hanya menyebutkan bahwa peristiwa bersejarah itu hanya dihadiri oleh tak kurang dari 100 orang. Namun foto yang berhasil ditemukan menunjukkan ada lebih dari 500 orang turut menyaksikan pembacaan teks proklamasi. Satu foto yang paling menarik dari 14 foto proklamasi itu adalah pekik “merdeka” yang dilakukan ala salam “banzai” Jepang dengan mengangkat kedua tangan. Bung Karno memimpin dan diikuti ratusan hadirin berseragam peta yang juga mengangkat kedua tangan mereka ke atas. Selembar foto lain menunjukkan Bung Karno menyambut serombongan anggota Barisan Laskar Rakyat yang datang terlambat karena mengira pembacaan teks proklamasi dilakukan di lapangan Ikada. Mereka berbondong bersenjatakan bambu runcing di tangan.  Dendam kesumat tentara Belanda pada Bung Karno pun terlihat pada sebuah foto di mana tank Belanda memasang posternya tepat di ujung moncong meriamnya. Foto yang sama memperlihatkan empat serdadu Belanda awak tank yang berpose tersenyum di depan kamera. Pameran foto yang berlangsung sampai Oktober mendatang memberikan gambaran yang lebih meriah tentang revolusi kemerdekaan Indonesia. Foto-foto yang mengandung ribuan kata-kata penjelasan tentang semangat zaman pada masa-masa awal kemerdekaan.

bottom of page